Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN

A. RANCANGAN UNDANG-UNDANG YANG DISUSUN DPR


Proses atau tata cara pembentukan undang-undang adalah suatu tahap kegiatan
yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undang-undang.
Proses ini diawali dari terbentiknya suatu ide atau gagasan tentang perlunya
pengaturan terhadap suatu permasalahn yang dilanjutkan dengan kegiatan
mempersiapkan Rancangan Undang-Undang baik oleh DPR RI , Pemerintah maupun
oleh DPD RI, kemudian kegiatan pembahasan RUU di DPR RI untuk mendapatkan
persetujuan bersama antara DPR RI dan Presiden sampai pada tahap terakhir yaitu
pengesahan dan pengundangan terhadap RUU tersebut.1
Pembentukan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-
undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan dan pengundangan.

1. Tahap Perencanaan UU
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 16 s.d Pasal 23UU No. 12 tahun 2011.
Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Porlegnas, karena dalam rangka
Pembentukan UU Porlegnas merupakan prioritas program dengan tujuan untuk
mewujudkan sistem Hukum Nasional (Pasal 17 UU no. 12 tahun 2011).
Perencanaan penyusunan UU dalam Prolegnas merupakan skala
prioritas program pembentukan undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem
hukum nasional yang integralistik, baik dalam konteks pembentukan UU maupun
peraturan di bawah UU. Penyusunan daftar RUU yang masuk dalam Prolegnas
didasarkan atas:2
a. Perintah UUD NKRI Tahun 1945
b. Perintah Ketetapan MPR
c. Perintah UU lainya
d. Sistem perencanaan pembangunan nasional
e. Rencana pembangunan jangka panjang nasional

1
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 49
2
Ahmad Yani, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Responsif, (Jakarta: Konstitusi Press,
2013), hal. 245

2
3

f. Rencana pembangunan jangka menegah


g. Rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR
h. Aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Penyusunan Prolegnas memuat judul RUU, materi yang diatur, dan
keterkaitanya dengan peraturan perundang-undangan lainya. Materi yang diatur
dan keterkaitanya dengan peraturan perundang-undang lainya merupakan
keterangan mengenai konsep RUU yang meliputi:3
a. Latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. Sasaran yang ingin diwujudkan;
c. Jangkawan dan arah peraturan.

2. Tahap Penyusunan UU
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 43 s.d Pasal 51 UU No. 12 tahun 2011, Pasal
43 (1) s.d (5) UU No. 12 tahun 2011 menggarisbawahi beberapa ketentuan sebagai
berikut:
 RUU dapat berasal dari DPD RI atau Presiden
 RUU yang berasal dari DPR RI dapat berasal dari DPD
 RUU yang berasal dari DPR RI, Presiden atau DPD harus disertai Naskah
Akademik
 Untuk RUU APBN, RUU penetapan Perpu menjadi UU dan RUU pencabutan
UU atau pencabutan Perpu tidak harus disertai Naskah Akademik, namun
harus disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi
muatan yang diatur.

3. Tahap Pembahasan RUU


Ketentuan ini diatur dalam Pasal 65s.d Pasal 71 UU No.12 tahun 2011yang
terangkum dalam Bab VII (Pembahasan dan Pengesahan RUU), Bagian
“Pembahasan RUU”.
Pembahasan RUU di DPR RI dilakukan oleh DPR RI bersama-sama dengan
Presiden RI atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden. Menteri yang ditugasi oelh
Presiden tersebut adalah Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya berkaitan
dengan materi muatan RUU yang sedang dibahas di DPR RI.

3
Ahmad Yani, Ibid.,
4

Menurut ketentuan Pasal 66 UU No. 12 tahun 2011, pembahsan UU di DPR


RI dilakukan 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu:
1. Pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Panitia
Badan Anggaran atau rapat Panitia Khusus
2. Pembicaraan tingkat II dalam rapat Paripurna DPR RI.

4. Tahap Pengesahan RUU


RUU yang dibahas di DPR RI oleh DPR RI dan Presiden RI yang telah
disetujui bersama DPR RI disampaikan oleh Pimpinan DPR RI kepada Pesiden RI
untuk idsahkan menjadi UU.
Penyampaian RUU dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (hari)
terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
RUU disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tngan dalam jangka
waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersamma oleh
DPR dan Presiden.
Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling alam
30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi
UU dan wajib diundangkan.

5. Tahap Pengundangan UU
UU yang baru disahkan harus diundangkan dengan menempatkanya dalam
lembaran-lembaran resmi negara, yaitu:
a. Lembaran Negara RI
b. Tambahan Lembaran Negara RI (Pasal 81 UU No. 12 tahun 2011)
Pengundangan UU dengan penempatanya dalam Lembaran Negara RI oleh
Sekretaris Negara, adalah prlaksanaan pertama dan utama UU yang dilaksanakn
asalah perintah pengundangan oleh undnag-undang tersebut yang dirumuskan
dalam bagian penutup UU.4Dengan diundangkanya UU dalam lembaran resmi
tersebut, maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya. Selain UU, Peraturan
Perundang-undangan lainya diundankan dalam Lembaran Negara RI , meliputi:
a. Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang
b. Peraturan Pemerintah

4
Soehino, Hukum Tata Negara, (Yogyakarta: BPFE, 2006), hal. 21
5

c. Peraturan Presiden
d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-
undangan yang berlaku harus diundangakan dalam Lembaran Negara RI.5
Pengundangan UU dengan penempatanya dalam Lembaran Negara RI dalam
sistem Legislasi di Indonesia mempunyai dua macam aspek, yakni:
a. Aspek Yuridis, yang merupakan salah satu syarat agar produk yang merupakan
hasil karya badan pembentuk UU secara formal sah berbentuk UU. Dua syarat
lainya adalah
 Tata cara pembentukanya harus melalui tata cara yang telah ditentukan,
sejak mempersiapkan rancangan UU sampai dengan pengesahan
rancangan UU menjadi UU
 Dituangkan dalam bentuk formal yang telah ditentukan.
b. Aspek penyebarluasan UU kepada seluruh masyarakat dengan penerbitan
sebanyak mungkin, Lembaran Negara RI atau aspek publikasi yaitu
pengmuman yang bersifat memperluas, mempercepat, memperlancar
penyebarluasan UU yang dikeluarkan.
Untuk dapat membentuk peraturan perundang-undangan, khusunya UU yang
baik harus diperhatikan, difahami serta berdasarkan asas-asas peraturan perundang-
undangan, baik asas-asas peraturan perundang-undangan formal maupun materi.

B. RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-


UNDANG
Pembahasan RUU tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang (PERPU) menjadi undang-undang dilakukan melalui tata cara yang sama
dengan pembahsan RUU. DPR RI dan Presiden RI hanya dapat menyetujui bersama
atau menerima sepenuhnya atau menolak sepenuhnya PERPU tersebut.
Apabila PERPU itu tidak mendapat persetujuan bersama DPR RI dan Presiden RI,
maka PERPU tersebut tidak berlaku karena hukum. Presiden segera mengajukan RUU
tentang Pencabutan PERPU tersebut dan dapat mengatur pula segala akibat hukum
yang timbul dari penolakan tersebut.

5
Aziz Syamsuddin, Proses dan Teknik Penyusunan Undang-Undang, 65
6

C. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-


UNDANG
Partisipasi masyarakat dibidang penyusunan Peraturan Perundang undangan pada
hakikatnya mengandung makna agar masyarakat lebih berperan dalam proses
pembangunan hukum melalui mekanisme dari bawah ke atas (bottom up), dengan
pendekatan memperlakukan manusia sebagai subyek dan bukan sebagai obyek
pembangunan.
Pokok pokok pikiran yang melandasi perlunya partisipasi masyarakat menurut
Harjosoemantri yaitu :
1. Memberi informasi kepada pemerintah.
Pengambilan keputusan dalam bentuk Peraturan Perundang undangan akan
meningkat kualitasnya apabila mendapat masukan dari masyarakat maupun para
ahli yang dimintai pendapat masyarakat. Partisipasi masyarakat memberi masukan
kepada pemerintah menyebabkan pemerintah dapat mengetahui pelbagi
kepentingan yang dapat terkena tindakan, yang perlu diperhatikan.
2. Meningkatkan kesedian masyarakat untuk menerima keputusan.
Suatu keputusan tidak akan memuaskan kepentingan semua golongan atau
semua warga masyarakat. Warga yang telah berpartisipasi dalam proses
pengambilan keputusan cendrung memperlihatkan kesedian lebih besar menerima
atau menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut.
3. Membantu perlindungan hukum.
Keputusan yang diambil dengan memperhatikan keberatan keberatan yang
diajukan masyarakat pada saat proses, kurang atau kecil kemungkinan
memberatkan masyarakat.
4. Mendemokrasikan pengambilan keputusan.
Bahwa kendati dalam pemerintahan dengan sistem perwakilan dimana wakil-
wakil rakyat dipandang repsentasi rakyat namun partisipasi masyarakat dalam
proses pengambilan keputusan semakin memperkuat keabsahan demokratisasi
karena ada anggapan bahwa wakil-wakil rakyat tidak dijamin mewakili
kepentingan masyarakat.
Urgensi Partisipasi masyarakat dalam pembentukan Peraturan perundang
undangan:
7

1. Menjaring pengetahuan, keahlian atau pengalaman masyarakat sehingga Peraturan


Perundang undangan yang dibuat benar-benar memenuhi syarat sebagai Peraturan
Perundang undangan yang baik.
2. Menjamin Peraturan Perundang undangan sesuai kenyataan didalam masyarakat,
menumbuhkan rasa memiliki, rasa bertanggung jawab dan akuntabilitas.
3. Menumbuhkan adanya kepercayaan, penghargaan dan pengakuan masyarakat
terhadap pemerintah.

Dampak negatif tidak adanya partisipasi didalam proses pembentukan Peraturan


Perundang undangan, antara lain :
1. Rasa memiliki masyarakat terhadap hal yang terdapat dalam Peraturan Perundang
undangan, rendah.
2. Masyarakat kurang memahami tujuan dan program pemerintah.
3. Program pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan atau karateristik masyarakat.
4. Lunturnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Contoh : permasalah undang-undang lalu lintas

Pasal 96 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 mengatur :
1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/ atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang undangan.
2. Masukan secara lisan dan/ atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui :
a. Rapat dengar pendapat umum ;
b. Kunjungan kerja;
c. Sosialisasi ; dan/ atau
d. Seminar, lokakarya, dan/ atau diskusi.

Anda mungkin juga menyukai