Anda di halaman 1dari 69

1

Diskusi Topik

PENYAKIT VASKULER

Oleh :

ELMIRA RACHMA PUTRI


INDY DUHARTA
MILANO WIBI

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN KARDIOVASKULAR


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RUMAH SAKIT UMUM ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2018
DAFTAR PUSTAKA

Halaman

DAFTAR ISI ii

1. Aterosklerosis 1

2. Diseksi Aorta 9

3. Aneurisma Aorta 16

4. Trombosis Vena Dalam 27

5. Varises Vena Tungkai 36

6. Buerger’s Disease 49

7. Fenomena Raynaud 54

8. Tromboflebitis 58

9. Vaskulitis 62

10. Acute Limb Ischemia 64

DAFTAR PUSTAKA 68
1

1. Aterosklerosis
1.1 Definisi

Aterosklerosis adalah suatu perubahan pada dinding arteri ditandai oleh adanya

deposit substansi berupa endapan lemak, trombosit, makrofag, leukosit, kolesterol,

produk sampah seluler, kalsium dan berbagai substansi lainnya yang terbentuk di

seluruh lapisan tunika intima dan akhirnya ke tunika media yang menimbulkan

penebalan dan pengerasan dinding arteri, sehingga mengakibatkan kekauan dan

kerapuhan pada arteri. Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya

Penyakit Jantung Koroner (PJK). 1

1.2 Etiologi

Aterosklerosis sangat dipengaruhi kadar kolesterol yang tinggi (khususnya

LDL), merokok, tekanan darah tinggi, diabetes mellitus, obesitas, dan kurangnya

aktivitas fisik. Tingginya kadar homosistein darah, fibrinogen, dan lipoprotein-a juga

dilaporkan sebagai faktor risiko terjadinya aterosklerosis. Ada empat faktor risiko

biologis yang tak dapat diubah, yaitu; usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga

(genetik).1

Aterosklerosis merupakan suatu proses inflamasi kronis. Inflamasi memainkan

peranan penting dalam setiap tahapan aterosklerosis mulai dari perkembangan plak

sampai terjadinya ruptur plak yang dapat menyebabkan trombosis. Aterosklerosis

dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi sebab sel yang berperan berupa makrofag

yang berasal dari monosit dan limfosit ini merupakan hasil proses inflamasi.

Patogenesis aterosklerosis (aterogenesis) dimulai ketika terjadi jejas (akibat berbagai

faktor risiko dalam berbagai intensitas dan lama paparan yang berbeda) pada endotel
2

arteri, sehingga mengaktivasi atau menimbulkan disfungsi endotel. Paparan jejas pada

endotel, memicu berbagai mekanisme yang menginduksi dan mempromosi lesi

aterosklerotik.2

1.3 Patogenesis

Patogenesis aterosklerosis (aterogenesis) dimulai ketika terjadi jejas (akibat

berbagai faktor risiko dalam berbagai intensitas dan lama paparan yang berbeda) pada

endotel arteri, sehingga mengaktivasi atau menimbulkan disfungsi endotel. Paparan

jejas pada endotel, memicu berbagai mekanisme yang menginduksi dan mempromosi

lesi aterosklerotik. Disfungsi endotel merupakan awal terjadinya aterosklerosis.

Disfungsi endotel ini disebabkan oleh faktor-faktor risiko tradisional seperti

dislipidemia, hipertensi, DM, obesitas dan merokok dan faktor-faktor risiko lain

misalnya homosistein dan kelainan hemostatik. Pembentukan aterosklerosis terdiri

dari beberapa fase yang saling berhubungan. Fase awal terjadi akumulasi dan

modifikasi lipid (oksidasi, agregasi dan proteolisis) dalam dinding arteri yang

selanjutnya mengakibatkan aktivasi inflamasi endotel. Pada fase selanjutnya terjadi

rekrutmen elemen – elemen inflamasi seperti monosit ke dalam tunika intima.

Awalnya monosit menempel pada endotel, penempelan endotel ini diperantarai oleh

beberapa molekul adhesi pada permukaan sel endotel, yaitu Inter Cellular Adhesion

Molecule -1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion Molecule -1 (VCAM-1) dan Selectin.

Molekul adhesi ini diatur oleh sejumlah faktor yaitu produk bakteri lipopolisakarida,

prostaglandin dan sitokin. Setelah berikatan dengan endotel kemudian monosit

berpenetrasi ke lapisan lebih dalam dibawah lapisan intima. Monosit-monosit yang


3

telah memasuki dinding arteri ini akan berubah menjadi makrofag dan "memakan"

LDL yang telah dioksidasi melalui reseptor scavenger. Hasil fagositosis ini akan

membentuk sel busa atau "foam cell" dan selanjutnya akan menjadi “fatty streaks”.

Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan

merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media ke tunika

intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti elastin dan kolagen,

yang mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk fibrous cap. Pada tahap ini

proses aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut dan disebut sebagai plak

aterosklerotik.3

Pembentukan plak aterosklerotik akan menyebabkan penyempitan lumen arteri,

akibatnya terjadi berkurangnya aliran darah. Trombosis sering terjadi setelah

rupturnya plak aterosklerosis, terjadi pengaktifan platelet dan jalur koagulasi. Apabila

plak pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik,

yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah

muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses

aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif.

Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang

bersifat tidak stabil/progresif yang dikenal juga dengan sindroma koroner akut.
4

Gambar 1.1 Patofisiologi aterosklerosis

Pembentukan bercak ateroma diawali oleh adanya fatty streak, yang merupakan

lesi terawal dari aterosklero-sis. Fatty streak ini tidak menyebabkan penebalan

dinding pembuluh darah dan tidak menyebabkan gangguan aliran darah. Biasanya

fatty streak muncul sebagai bintik pipih berwarna kuning, multipel, dengan diameter

< 1 mm, yang menyatu dalam larikan panjang sekitar 1 cm atau lebih. Fatty streak

terdiri dari sel makrofag dan sel otot polos dengan sito-plasma distensi karena

mengandung le-mak dan membentuk sel busa. Fatty streak merupakan prekursor

bercak atero-ma, yang sudah dibentuk sejak usia dini, tersering pada dekade pertama,

namun tidak semuanya akan berkembang menjadi bercak ateroma atau lesi-lesi

lanjut.4

Pembentukan bercak ateroma atau disebut juga ateromatosa, atau bercak

fibrolipid (fibrous atau fibrofatty) merupa-kan proses utama pada aterosklerosis dan

secara morfologik ditandai oleh penebalan tunika intima dan penimbunan lemak.

Bercak ateroma berupa suatu lesi fokal yang meninggi pada tunika intima, lembut,

warna kekuningan dengan bagian pusat mengandung lemak (terutama terdiri dari
5

kolesterol dan ester kolesterol), ditutupi oleh suatu penutup warna putih yang keras

disebut fibrous cap. Ukuran bercak ateroma bervariasi 0,3-1,5 cm, kadang-kadang

menyatu sehingga mem-bentuk massa yang lebih besar.1-3 Umum-nya bercak

ateroma secara progresif terus menerus berubah, menjadi lebih besar, terdapat

kematian sel dan degenerasi, sin-tesis dan degradasi matriks ekstrasel (re-modeling)

dan organisasi trombus. Manifestasi klinik akibat aterosklerosis terutama disebabkan

oleh karena penyempitan arteri, dan bila penyempitan >70% maka dapat terjadi

iskemik pada organ yang dipasoknya.

Pada stadium lanjut bercak-bercak ateroma dapat mengalami komplikasi yang

secara klinis sangat berarti. Komplikasi dapat berupa ruptur fokal, ulserasi, atau erosi

fokal dari permukaan lumen bercak ateroma, perdarahan ke dalam bercak serta

trombosis yang merupakan komplikasi yang penting dan paling ditakuti karena dapat

menyebabkan penutupan arteri sebagian atau secara total, kalsifikasi, dan dilatasi

aneurisma.5
6

Gambar 1.2 Perjalanan aterosklerosis

1.4 Faktor Resiko

Faktor resiko aterosklerosis terbagi atas faktor resiko yang tidak dapat diubah

dan dapat diubah.Faktor yang tidak dapat diubah meliputi usia, jenis kelamin, riwayat

keluarga dan ras. Faktor yang dapat diubah dibagi menjadi 2 yaitu faktor mayor

meliputi peningkatan lipid serum, hipertensi, merokok, gangguan toleransi glukosa,

diet tinggi lemak jenuh, kolesterol dan kalori. Faktor minor meliputi gaya hidup yang

kurang bergerakdan stress psikologik.

1.5 Manifestasi Klinis

Aterosklerosis biasanya tidak menimbulkan gejala dan tanda sampai kondisi

yang parah atau penyumbatan total pada arteri yang terkena. Gejala dan tanda yang

muncul sesuai dengan arteri yang tersumbat. Bila penyumbatan terjadi pada arteri

koroner, gejala yang muncul berupa nyeri dada akibat otot yang tidak mendapatkan
7

suplai oksigen yang cukup. Gejala yang muncul bila aterosklerosis terjadi pada arteri

karotis dapat menyerupai gejala stroke seperti kelemahan yang tiba-tiba, paralisis,

kebingungan hingga nyeri kepala hebat. Aterosklerosis pada arteri perifer akan

memunculkan gejala kebas, nyeri bahkan infeksi berbahaya. Penyumbatan pada arteri

renal akan menyebabkan menurunkan fungsi ginjal bahkan penyakit ginjal kronik.6

1.6 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya

aterosklerosis yaitu:

1. ABI (ankle-brachial index), dilakukan pengukuran tekanan darah dipergelangan

kaki dan lengan

2. Pemeriksaan doppler di daerah yang terkena

3. Scanning ultrasonik duplex

4. CT scan di daerah yang terkena

5. Arteriografi resonansi magnetik, arteriografi di daerah yang terkena

6. IVUS (intravascular ultrasound)

7. Carotid Intimal Media Thickness (CIMT)

8. Coronary Artery Calcium (CAC)

1.7 Penatalaksanaan Medis

Perubahan gaya hidup meliputi diet jantung sehat, melakukan olahraga secara

teratur, berhenti merokok dan menurunkan stres.4 Pada pasien yang mendapatkan

tatalaksana obat statin secara intensif menginduksi perubahan pada jaringan plak

setelah penatalaksanaan selama tiga sampai empat bulan. Statin sangat efektif untuk
8

menurunkan level kolesterol LDL dan tidak menimbulkan efek samping yang berarti.

Pada pasien yang tidak toleran dengan statin, dapat direkomendasikan pemakaian bile

acid sequestrant atau asam nikotinat. Untuk mengurangi resiko terbentuknya bekuan

darah, dapat diberikan obat-obatan seperti aspirin, ticlopidine dan clopidogrel atau

anti-koagulan. Angioplasti balon dilakukan untuk meratakan plak dan meningkatkan

aliran darah yang melalui endapan lemak. Enarterektomi merupakan suatu

pembedahan untuk mengangkat endapan. Pembedahan bypass merupakan prosedur

yang sangat invasif, dimana arteri atau vena yang normal dari penderita digunakan

untuk membuat jembatan guna menghindari arteri yang tersumbat.7

1.8 Skrining Aterosklerosis

Gambar 1.3 Algoritma Skrining populasi sehat asimptomatik8

2. DISEKSI AORTA

2.1 Definisi
9

Diseksi Aorta merupakan kegawatdaruratan kardiologi yang terjadi secara

mendadak. Diseksi aorta klasik umumnya diawali dari robekan tunika intima dinding

aorta, menyebabkan darah mengalir masuk menuju media, memisahkan lapisan-

lapisan dinding aorta, dan menciptakan lumen palsu. Darah yang mengalir ke dalam

lumen palsu dapat menyebabkan beberapa masalah: mengurangi darah yang dialirkan

ke tubuh,1 diseksi bertambah luas, serta menghambat aliran darah aorta (lumen

sebenarnya) dan juga arteri yang dipercabangkannya. Diseksi juga dapat melemahkan

dinding aorta, menyebabkan aneurisma atau ruptur aorta.9

Gambar 2.1 Diseksi Aorta

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian diseksi aorta diperkirakan sekitar 3 kasus per 100.000 orang per

tahun Diseksi aorta asenden terjadi paling sering pada usia 50-60 tahun, sedangkan

aorta desenden paling sering terjadi pada usia 60-70 tahun. Diseksi aorta setidaknya

terjadi dua kali lebih sering pada laki-laki.5 Lebih dari dua per tiga pasien memiliki

riwayat hipertensi. Frekuensi serangan meningkat pada pagi hari, kemungkinan

karena siklus sirkadian tekanan darah. Jika tidak segera ditangani, rata-rata 50%

pasien meninggal dalam 48 jam.

2.3 Faktor Resiko


10

Faktor resiko dari diseksi aorta antara lain hipertensi, aterosklerosis, penyakit

katup yang mengakibatkan ketidakberaturan aliran darah pada aorta , terdapatnya

aneurisma pada aorta dan merokok.10

2.3 Patofisiologi

Tekanan darah tinggi, regangan jaringan ikat dan adanya kelainan pada tunika

intima (aterosklerosis) menyebabkan robekan mendadak pada tunika intima. Darah

masuk ke lapisan diantara tunika intima dan media, dan tekanan yang tinggi

menyebabkan darah mengalir ke arah longitudinal sepanjang aorta, ke arah depan dan

belakang dari titik masuk, membentuk lumen palsu. Tekanan dari darah yang

mengalir di dalam dinding aorta menyebabkan ukuran diseksi membesar. Distensi

lumen palsu menyebabkan intimal flap menekan dan mempersempit ukuran lumen

sebenarnya, dapat menyebabkan gejala-gejala akibat gangguan perfusi.9

Kondisi apapun yang mempengaruhi integritas normal tunika media dapat

menjadi faktor predisposisi diseksi aorta. Degenerasi dapat disebabkan oleh

hipertensi kronik, penuaan, atau kondisi degenerasi medial sistik (seperti pada

sindrom Marfan dan sindrom Ehler-Danlos). Selain itu, trauma tumpul dada, katup

aorta bikuspid, iatrogenik (seperti tindakan kateterisasi arteri atau pembedahan

jantung), dan pengguna kokain juga menjadi faktor predisposisi. Faktor risiko

tersering pada pasien usia kurang dari 40 tahun adalah sindrom Marfan dan

kehamilan.
11

Diseksi dibagi menjadi dua tipe, tergantung dari ada tidaknya keterlibatan aorta

asendens, Pembagian ini penting untuk menentukan pendekatan terapi dan prognosis.

Sekitar dua per tiga diseksi aorta dalah tipe A, yaitu:9

Tipe A : titik robekan intima ada pada aorta asendens. Diseksi biasanya menjalar ke

arah distal mengenai aorta desendens kemudian ke arah proksimal merusak aparatus

katup aorta dan masuk ke dalam perikardium.

Tipe B : titik robekan intima terdapat pada aorta desendens, biasanya tepat di bawah

ujung awal arteri subklavia sinistra. Robekan jarang menyebar ke arah proksimal.

Gambar 2.2 Klasifikasi berdasarkan lokasi diseksi aorta

2.4 Gambaran klinis

Gambaran klinis sangat bervariasi. Gejala timbul akibat lepasnya tunika intima

dari dinding aorta dan akibat terganggunya suplai darah ke organ vital atau ruptur.

Gambaran klinis tersering adalah nyeri mendadak yang sangat berat pada

dada/punggung, terutama pada pria usia pertengahan dengan hipertensi. Nyeri pada

diseksi aorta biasanya tanpa didahului gejala awal dan onsetnya mendadak

(langsung), sangat berat dan dirasakan seperti dirobek-robek. Lokasi nyeri


12

menunjukkan tempat diseksi di sepanjang aorta. Maka pada bentuk klasik, diseksi

aorta asendens dimulai di dada anterior, terjadi sangat cepat (kurang dari beberapa

menit), bergerak ke arah leher kemudian ke punggung. Diseksi yang berasal dari

arkus aorta mula-mula dirasakan di leher, dan pada diseksi aorta desendens nyeri

dirasakan di daerah interskapula atau bahu.11

Sekitar 4,5% pasien diseksi aorta tidak mengeluh nyeri dada.3 Pada kasus

seperti ini, biasanya diseksi dideteksi pada saat CT scan elektif, sering ditemukan

pada pasien dengan riwayat diabetes, aneurisma aorta, dan pembedahan jantung.

Tidak ada keluhan nyeri dada tidaklah langsung menyingkirkan kecurigaan diseksi

aorta.Pada pemeriksaan fisik, hipertensi sering ditemukan. Hipertensi dapat

merupakan kondisi yang mendasari, Sejumlah kecil pasien diseksi aorta dilaporkan

dengan keadaan hipotensi atau syok, yang dapat sekunder karena miokard infark akut,

gagal jantung ventrikel kiri, regurgitasi aorta berat, tamponade jantung, atau ruptur

aorta.

Regurgitasi aorta dapat terjadi pada tipe A akibat terlibatnya ujung awal aorta

menyebabkan rusaknya cincin katup aorta, sehingga terjadi kebocoran katup.

Gambaran klinis lain berhubungan dengan komplikasi. Diseksi dapat meluas dan

menghambat aliran arteri yang bercabang dari aorta.

2.5 Pemeriksaan penunjang10

 EKG : penting untuk menyingkirkan MI. Bisa menunjukkan hipertropi ventrikel

kiri (LVH) akibat hipertensi yang berlangsung lama.


13

 Foto Toraks : dapat memperlihatkan pelebaran mediastinum akibat

hemomediastinum, atau efusi pleura, yang disebabkan oleh ruptur aorta ke

rongga pleura (biasanya yang kiri).

 CT Scan : merupakan teknik pencitraan terpilih di banyak rumah sakit.

Pencitraan aorta potongan melintang menunjukkan adanya flap, lumen asli, dan

lumen palsu bila diberi kontras. Dapat menolong klinisi mengkonfirmasi atau

menyingkirkan diagnosis diseksi aorta, mengklasifikasi jenis diseksi dan

menentukan komplikasi.

 Ekokardiografi : jarang memperlihatkan flap diseksi, namun bisa tampak adanya

komplikasi seperti hemoperikardium dan regurgitasi aorta. Ekokardiografi

transesofagus (TEE) sangat sensitif untuk pencitraan aorta desendens. Suatu

penanda eko khusus dimasukkan melalui esofagus, dan ditempatkan di belakang

jantung, memungkinkan pencitraan pembuluh darah besar dan jantung, tanpa

terhalang tulang-tulang iga atau paru.

2.6 Penatalaksanaan

Tatalaksana awal mencakup stabilisasi pasien, menurunkan tekanan darah dan

kekuatan kontraksi ventrikel kiri, dan mengontrol nyeri. Pendekata terapi ini harus

dimulai secepatnya saat menjalani evaluasi diagnostik. Terapi lini pertama adalah

beta bloker untuk menurunkan kekuatan kontraksi ventrikel kiri, tekanan darah, dan

frekuensi jantung. Target frekuensi jantung sebaiknya 60 kali/ menit atau kurang, dan

tekanan darah sistolik 100-120 mmHg. Pilihan obat adalah beta bloker kerja cepat
14

esmolol, atau beta dan alfa bloker labetalol intravena. Propanolol atau metoprolol oral

atau intravena juga dapat digunakan. Jika terdapat kontraindikasi terhadap beta

bloker, penyekat kanal kalsium non-dihidropiridin, seperti diltiazem dan verapamil,

dapat sebagai alternatif.11

Sodium nitroprusside atau nitrogliserin sebagai vasodilator diberikan secara

intravena, untuk membantu menurunkan tekanan darah. Nikardipin, nitrogliserin, dan

fenoldopam juga dapat menjadi pilihan. Sebelum administrasi vasodilator, beta bloker

harus diberikan lebih dulu karena vasodilatasi dapat menyebabkan refleks

katekolamin yang dapat meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel kiri. Diseksi

aorta dapat bertambah luas dengan cepat saat tekanan darah atau kekuatan kontraksi

jantung meningkat. Beta bloker dan vasodilator diberikan untuk menurunkan risiko

tersebut. Tanpa melihat tipe diseksi, atau indikasi operasi, terapi harus segera dimulai.

Keluhan nyeri perlu ditangani dengan analgesik yang adekuat, seperti opiat.

Rangsang nyeri dapat makin meningkatkan tekanan darah.

Pasien diseksi aorta akut membutuhkan evaluasi dan tatalaksana multidisiplin.

Pasien harus segera dirujuk ke pelayanan tersier yang memiliki spesialisasi kardiologi

dan bedah toraks kardiovaskularUntuk diseksi Tipe A memiliki risiko komplikasi

yang berbahaya, kususnya ruptur ke perikardium, sangat tinggi, dengan rata-rata

kematiam per jam ± 2%. Pasien harus dipindahkan dengan ambulans lampu

biru/udara ke pusat pelayanan kardiotoraks sesegara mungkin dan segera dilakukan

pembedahan untuk mengganti ujung aorta, dengan atau tanpa kelainan katup aorta

sebagai penyerta. Pada Tipe B pembedahan memiliki risiko tinggi sehingga pada
15

keadaan ini tidak diindikasikan sebagai terapi lini pertama.Tipe ini merupakan

indikasi untuk kontrol TD agresif, dengan target TD sistolik < 100mmHg.

Pembedahan seperti Thoracic Endovascular Aortic Repair (TEVAR) hanya dilakukan

bila terjadi komplikasi yang mengancam jiwa, seperti ruptur yang berbahaya. Lumen

palsu bisa membeku dan menjadi stabil.

2.7 Prognosis

Diseksi tipe A memiliki tingkat mortalitas segera yang sangat tinggi, namun

bila pasien tidak mempunyai komplikasi yang mengancam jiwa (seperti stroke,

paraplegia) keadaan pasien setelah pembedahan yang berhasil biasanya baik.

Keadaan setelah terapi pada diseksi tipe B lebih baik, walaupun bisa terdapat

komplikasi lanjut, di antaranya pembentukan dan ruptur aneurisma.11

3. ANEURISMA AORTA

3.1 Definisi

Aneurisma adalah suatu keadaan dilatasi lokal permanen dan ireversibel dari

pembuluh darah, dilatasi ini minimal 50% dari diameter normal. Kondisi ini
16

melibatkan penipisan ketiga lapisan dinding pembuluh darah. Penyebab pasti

penyakit ini belum diketahui, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

pembentukan aneurisma antara lain usia, hipertensi, perokok, dan penyakit

arteriosklerosis.

Sebagian besar aneurisma aorta (AA) terjadi pada aorta abdominalis, disebut

aneurisma aorta abdominal atau abdominal aortic aneurysms (AAA).Aneurisma yang

terbentuk di aorta torakalis disebut thoracic aneurysm (TA).Aneurisma yang

terbentuk di segmen torak dan abdomen disebut thoracoabdominal aneurysms

(TAA).

3.2 Epidemiologi

Insiden aneurisma aorta abdominal menunjukkan peningkatan terutama pada

usia tua. Beberapa data menunjukkan aneurisma aorta abdominal mengenai 6-9%

populasi di atas usia 65 tahun. Frekuensi aneurisma mengalami peningkatan terus

menerus pada pria diatas 55 tahun, mencapai puncaknya sebanyak 6% pada usia 80-

85 tahun. Pada wanita, terjadi peningkatan pada usia 70 tahun, mencapai puncaknya

sebanyak 4,5% pada usia diatas 90 tahun. Perbandingan pria dan wanita 4 :1 sampai 5

: 1 pada kelompok usia 60 sampai 70 tahun, tetapi usia diatas 80 tahun rasio menjadi

1:1.10

3.3 Klasifikasi

Aneurisma digolongkan berdasarkan bentuknya, sakular dan fusiform.

Aneurisma sakular menyerupai kantong (sack) kecil, hanya melibatkan sebagian dari

lingkar arteri dimana aneurisma berbentuk seperti kantong yang menonjol dan
17

berhubungan dengan dinding arteri melalui suatu leher yang sempit.Aneurisma

fusiformis menyerupai kumparan, dilatasi simetris dan melibatkan seluruh lingkar

arteri.

Gambar 3.1 Tipe aneurisma aorta

3.4 Etiologi 12
1. Degeneratif (aterosklerosis): Proses ateroskelrosis ini terutama merusak tunika

intima, yang disebut atheroma atau plak fibropatty, yang masuk ke lumen arteri.
2. Nekrosis kistik medial: Nekrosis kistik medial adalah suatu gamabaran

histopatologik yang menjelaskan proses degenarasi dari kolagen dan jaringan

elastin pada tunika media aorta, dan hilang nya sel medial yang diganti dengan

bahan mukoid yang sering terjadi pada sindrom marfan, sindrom Ehlers Danlos

tipe IV, riwayat keturunan, katup aorta bicuspid.


3. Diseksi aorta kronis. Proses diseksi aorta yang melemahkan dinding aorta, dapat

berlanjut ke dilatasi dindng aorta.


4. Infeksi :
a) Aneurisma pada penyakit sifilis ditemukan 90% didaerah aorta asending

atau arkus aorta. Proses yang terjadi adalah proses inflamasi pada periaorta
18

dan mesoaorta jaringan elastin, sehingga dinding aorta akan menipis dan

melemah.
b) Sedangka proses tuberkulosis spesifik berasal dari infeksi langsung

kelenjar getah bening hilus terinfeksi, atau abses dihilus. Dapat juga karena

kerusakan elastic dari aorta akibat proses dektruksi granulomatosa pada

dinding medial.
c) Infeksi lainnya bisa disebabkan oleh bakteri stafilokokkus, streptokokkus,

salmonella, atau infeksi jamur.


5. Trauma
3.5 Patogenesis

The Vascular Biology Research Program of the National Heart, Lung and Blood

Institutte: 13

1. Degredasi proteolitik dinding aorta pada imbalance remodeling pada matriks

ekstraseluler (ECM), terutama sekali elastin, kolagen dan sel otot polos vaskuler

(VSMCs). Terjadinya aneurisma mengikutsertakan proses kompleks

pengerusakan lapisan media dan lamina aorta melalalui degradasi elastin dan

kolagen. Hal ini menyebabkan menurunnya kekuatan dinding aorta.

2. Inflamasi dan respon imun respon inflamasi vaskuler melibatkan interaksi

komplek anatara sel inflamasi (limfosit, monosit, makrofag, netrofil, sel vascular

endothelial, VSMCs,, fibroblast adventisial dan ECM). Hasil dari respon

inflamasi meningkatkan pengeluaran molekul adesi, growth factor, sitokin dan

kemokin, yang memfasilitasi pengumpulan dan aktifasi local dari sel-sel

inflamasi dan remodeling matriks. Angiotensin II merangsang aktifitas pro-

inflamasi pada dinding vascular, merangsang produksi sitokin inflamasi, molekul


19

adesi, dan pembentukan reactive oxygen species (ROS), menghasilkan

akumulasi makrofag, diferensiasi miofibroblas, dan dilatasi aorta terlokalisasi

yang diikuti diseksi.14

3. Stress biomekanik dinding aorta, aneurisma aorta diduga melalui proses

multifaktorial, termasuk faktor biologi, biomekanik, dan biokomia. Tekanan yang

disebabkan cairan pada dinding arteri dibagi tiga :1. Tekanan hidrostatik 2.

Peregangan sirkumferensial menyebabkan tekanan longitudinal dan. Stress akibat

aliran darah.

4. Faktor genetik riwayat keluarga diketahui sebagai faktor risiko untuk terjadinya

aneurisma aorta abdominalis diperkirakan sekitar 15% memiliki riwayat

keluarga.

Gambar 3.2 Patogenesis Aneurisma Aorta

3.6 Gejala dan tanda


20

Aneurisma terbentuk secara perlahan selama beberapa tahun dan sering tanpa

gejala. Jika aneurisma mengembang secara cepat, maka terjadi robekan (ruptur

aneurisma), atau kebocoran darah disepanjang dinding pembuluh darah (aortic

dissection), gejala dapat muncul tiba-tiba.15

a. Aneurisma aorta abdominal


Aneurisma asimptomatik. Aneurisma ini biasanya ditemukan saat pemeriksaan

fisik rutin dengan dideteksinya pulsasi aorta yang prominen. Lebih sering aneurisma

asimptomatik ditemukan sebagai penemuan insidental saat pemeriksaan USG

abdomen atau CT scan. Denyut perifer biasanya normal, tetapi penyakit arteri oklusif

pada renal atau ekstremitas bawah sering ditemukan pada 25% kasus.
Aneurisma simptomatik. Nyeri midabdominal atau punggung bawah atau

keduanya dan adanya pulsasi aorta prominen dapat mengindikasikan pertumbuhan

aneurisma yang cepat, ruptur, atau aneurisma aorta inflamatorik. Aneurisma

inflamatorik terhitung kurang dari 5% dari aneurisma aorta dan dikarakteristikkan

dengan inflamasi ekstensif periaortic dan retroperitoneal dengan sebab yang belum

diketahui. Pada pasien ini terdapat demam ringan, peningkatan laju endap darah, dan

riwayat infeksi saluran pernapasan atas yang baru saja, pasien sering sebagai perokok

aktif. Infeksi aneurisma aorta (baik dikarenakan oleh emboli septik atau kolonisasi

bakteri aorta normal dari aneurisma yang ada) sangat jarang terjadi tetapi harus

diperkirakan pada pasien dengan aneurisma sakular atau aneurisma yang bersamaan

dengan fever of unknown origin.


Ruptur aneurisma. Pasien dengan ruptur menderita nyeri hebat pada punggung,

abdomen, dan flank serta hipotensi. Ruptur posterior terbatas pada retroperitoneal

dengan prognosis yang lebih baik daripda ruptur anterior ke rongga peritoneum.
21

Sembilan puluh persen meninggal sebelum tiba di rumah sakit. Satu-satunya

kesempatan untuk menolong adalah perbaikan bedah emergensi. Gejala ruptur antara

lain:
o Sensasi pulsasi di abdomen
o Nyeri abdomen yang berat, tiba-tiba, persisten, atau konstan
o Nyeri dapat menjalar ke selangkangan, pantat, atau tungkai bawah
o Abdominal rigidity
o Nyeri pada punggung bawah yang berat, tiba-tiba, persisten,atau konstan, dapat

menjalar ke selangkangan, pantat, atautungkai bawah


o Anxietas
o Nausea dan vomiting
o Kulit pucat
o Shock
o Massa abdomen

b. Aneurisma aorta thoracica

Manifestasi klinisnya tergantung dari besarnya ukuran, posisi aneurisma, dan

kecepatan tumbuhnya. Sebagian besar adalah asimptomatik dan ditemukan dalam

prosedur diagnostik untuk keadaan lain Pada anamnesis aneirisma aorta torakalis

umumnya asimptomatik, tetapi apabila aneurisma membesar dapat menekan dan

mengakibatkan erosi jaringan sekitar. Maka keluhan yang timbul berupa nyeri dada,

sesak nafas, batuk, wheezing, atau pneumonia rekuren, akibat dari efek penekanan

dari trakea dan bronkus utama, Yang lainnya menderita dispneu, stridor, atau batuk

akibat penekanan pada trakhea, disphagia akibat penekanan pada esophagus,

hoarseness akibat penekanan pada nervus laryngeus recurrent sinistra, atau edema

leher dan lengan akibat penekanan pada vena cava superior. Pada rupture aneurisma

aorta torakal bisa ditemukan keluhan sindrom akut aorta berupa nyeri dada hebat,

baik dileher, punggung dan abdomen disertai tanda-tanda syok.. Regurgitasi aorta
22

karena distorsi anulus valvula aortikus

dapat terjadi dengan aneurisma aorta

ascenden.15

3.7 Pemeriksaan penunjang


a. Ultrasound adalah pemeriksaan skrining dan untuk mengetahui perkembangan

aneurisma pada pasien dengan aneurisma yang kecil (<5 cm). Biasanya

aneurisma membesar 10% diameter per tahunnya; sehingga USG abdomen

direkomendasikan untuk aneurisma yang lebih besar 3,5 cm


b. Radiologi thorak pelebaran mediastinum, pembesaran aortic knob, atau

tertariknya trakea
c. CT scan — metode yang sangat akurat untuk mendiagnosa adanya aneurisma

maupun mengetahui ukuran aneurisma.


d. Angiography aorta (aortography) — gold standard adanya aneurisma aorta dan

bagian aorta yang terlibat. Diindikasikan sebelum repair aneurisma arterial

oclusive disease pada viseral dan ekstremitas bawah atau saat repair endograft

akan dilakukan.
e. Ekokardigrafi : Dapat mengukur diameter aorta relatif terhadap diameter yang

berdasarkan umur dan besar tubuh pada aneurisma torakalis.

Gambar 3.2 Gambaran Angiography pada aneurisma aorta

Gambar 3.3 Gambaran Aneurisma pada USG


23

3.8 Penatalaksanaan
a. Aneurisma aorta abdominalis

Aneurisma berukuran kecil dan tidak ada gejala (misalnya aneurisma yang

ditemukan saat pemeriksan kesehatan rutin), maka direkomendasikan pemeriksaan

kesehatan periodik saja, meliputi pemeriksaan USG tiap tahunnya, untuk memantau

apakah aneurisma menjadi besar.

Penatalaksanan aneurisma aorta adalah dengan cara mengontrol penyakit yang

dapat memperburuk aneurisma aorta, yaitu mengontrol tekanan darah, optimalisasi

profil lemak, berhenti merokok dan mereduksi hal yang lain yang dapat menyebabkan

aterosklerosis.

Pada pasien dengan hipertensi sebaiknya target tekanan darah sibawah 140/90

mmHg pada pasien tanpa diabetes atau di bawah 130/80 mmHg pada pasien dengan

diabetes. Obat anti hipertensi yang jadi pilihan adalah angiotensin-converting

enzyme inhibitor, angiotensin reseptor blockers, dan beta adrenergic blocker.14

Penatalaksanaan dengan statin untuk mencapai target LDL kolesterol kurang

dari 70 mg/dl untuk pasien dengan risiko yang setara dengan penyakit jantung

koroner dan pada risiko tinggi timbulnya penyakit jantung koroner akibat kejadian

iskemik koroner, dengan target terapi adalah LDL kurang dari 100mg/dl. Terapi awal

sebaiknya diberikan statin.

Indikasi operasi: pasien dengan diagnosis aneurisma ≥ 5 cm atau dengan

pelebaran aneurisma yang progresif dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan.

Perubahan mendadak seperti nyeri yang sangat hebat merupakan tanda bahaya dan
24

dapat merupakan suatu tanda pelebaran aneurisma yang progresif, kebocoran, dan

ruptur. Tujuan tindakan bedah adalah melaksanakan operasi sebelum komplikasi

terjadi.

Ada dua pendekatan tindakan bedah. Dahulu dengan membuka abdomen.

Pembuluh darah yang abnormal digantikan oleh graft yang dibuat dari material

sintetis, seperti Dacron. Pendekatan lain disebut endovascular repair. Endovascular

Aortic Aneurysm Repair (EVAR) teknik EVAR, stent-graft dimasukkan ke dalam

lumen aneurisma melalui arteri femoralis dan difiksasi ditempatnya pada leher aorta

yang tidak mengalami aneurisma dan arteri iliaca dengan melebarkan stent atau

balloon-expandable stents.

b. Aneurisma aorta Thoracica

Indikasi untuk pembedahan meliputi adanya gejala, ekspansi cepat, atau ukuran

yang lebih besar dari 5 cm. Risiko operasi dari kondisi komorbid harus

dipertimbangkan jika merekomendasikan repair aneurisma yang asimtomatik.

Morbiditas dan mortalitas tinggi dibandingkan dengan aneurisma aorta abdominal..

Repair endovascular dari aneurisma aorta thoracica mengurangi risiko

kardiopulmonal, tetapi lokasi aneurisma yang sulit, dapat menggantikan repair

endovascular dengan metode terkini. Penelitian terbaru mengembangkan branched

stent graft untuk perbaikan dari aneurisma arkus dan thorakoabdominal.

3.9 Prognosis

Outcome biasanya baik jika perbaikan dilakukan oleh ahli bedah yang

berpengalaman sebelum ruptur. Kurang dari 50% dari pasien bertahan dari ruptur
25

aneurisma abdominal. Mortalitas setelah open elective atau endovascular repair

adalah 1-5%. Pada umumnya pasien dengan aneurisma aorta yang lebih besar dari 5

cm mempunyai kemungkinan tiga kali lebih besar untuk meninggal sebagai

konsekuensi dari ruptur dibandingkan dari reseksi bedah. Survival rate 5 tahun

setelah tindakan bedah adalah 60-80%.

5- 10% pasien akan mengalami

pembentukan aneurisma lainnya

berdekatan dengan graft.14

4. TROMBOSIS VENA DALAM (Deep Vein Thrombosis)

4.1. Definisi

Deep vein thrombosis (DVT) adalah kondisi medis yang ditandai dengan

pembentukan bekuan darah di vena dalam yang terdiri atas fibrin, eritrosit, leukosit

dan trombosit. Deep vein thrombosis dapat menyumbat baik seluruh maupun

sebagian aliran darah yang melalui vena dan akhirnya dapat menyebabkan gangguan
26

sirkulasi darah. Deep vein thrombosis biasanya terjadi pada vena di ekstremitas

bawah seperti vena vena di betis, vena poplitea dan vena di panggul.16

Gambar 4.1 Deep Vein Trombosis pada ekstremitas

4.2. Epidemiologi
DVT sangat sering dijumpai pada pasien medis dan bedah, menyerang sekitar

10-30% dari seluruh pasien bedah umum yang berusia di atas 40 tahun dan menjalani

operasi besar. Emboli paru sering menyebabkan kematian tiba-tiba pada pasien

rumah sakit (0,5-3,0% pasien meninggal karena emboli paru). Angka kejadian DVT

meningkat sesuai umur, sekitar 1 per 10.000 – 20.000 populasi pada umur di bawah

15 tahun hingga 1 per 1000 populasi pada usia di atas 70 tahun.


4.3. Faktor Risiko

Faktor-faktor resiko dari DVT adalah sebagai berikut : 16

1. Defisiensi Anto trombin III, protein C, protein S dan alfa 1 anti tripsin.

2. Tindakan operatif

Faktor resiko yang potensial terhadap timbulnya trombosis vena adalah operasi

dalam bidang ortopedi dan trauma pada bagian panggul dan tungkai bawah. Pada

operasi di daerah panggul, 54% penderita mengalami trombosis vena, sedangkan

pada operasi di daerah abdomen terjadinya trombosis vena sekitar 10%-14%.


27

3. Kehamilan dan persalinan

Selama trimester ketiga kehamilan terjadi penurunan aktifitas fibrinolitik, statis

vena karena bendungan dan peningkatan faktor pembekuan VII, VIII dan IX. Pada

permulaan proses persalinan terjadi pelepasan plasenta yang menimbulkan lepasnya

plasminogen jaringan ke dalam sirkulasi darah, sehingga terjadi peningkatkan

koagulasi darah.

4. Infark miokard dan gagal jantung

Pada infark miokard penyebabnya adalah dua komponen yaitu kerusakan jaringan

yang melepaskan plasminogen yang mengaktifkan proses pembekuan darah dan

adanya statis aliran darah karena istirahat total. Trombosis vena yang mudah terjadi

pada payah jantung adalah sebagai akibat statis aliran darah yang terjadi karena

adanya bendungan dan proses immobilisasi pada pengobatan payah jantung.

5. Immobilisasi yang lama dan paralisis ekstremitas.

Immobilisasi yang lama akan menimbulkan statis aliran darah yang

mempermudah timbulnya trombosis vena.

6. Obat-obatan konstraseptis oral

Hormon estrogen yang ada dalam pil kontrasepsi menimbulkan dilatasi vena,

menurunnya aktifitas anti trombin III dan proses fibrinolitik dan meningkatnya faktor

pembekuan darah. Keadaan ini akan mempermudah terjadinya trombosis vena.

7. Obesitas dan varices

Obesitas dan varices dapat menimbulkan statis aliran darah dan penurunan

aktifitas fibriolitik yang mempermudah terjadinya trombosis vena.


28

8. Proses keganasan

Pada jaringan yang berdegenerasi maligna di temukan “tissue thrombo plastin-

like activity” dan “factor X activiting” yang mengakibatkan aktifitas koagulasi

meningkat. Proses keganasan juga menimbulkan menurunnya aktifitas fibriolitik dan

infiltrasi ke dinding vena. Keadaan ini memudahkan terjadinya trombosis. Tindakan

operasi terhadap penderita tumor ganas menimbulkan keadaan trombosis 2-3 kali

lipat dibandingkan penderita biasa.

4.4. Etiologi

Adapun faktor resiko tinggi untuk menderita trombosis vena dalam adalah

adanya riwayat trombosis dan stroke, pasca tindakan bedah, imobilisasi yang lama,

gagal jantung kronik dan penyakit keganasan. Faktor resiko lain diantaranya usia di

atas 40 tahun, obesitas, sepsis, trombofilia, penyakit inflamasi usus, trauma, penyakit

jantung, dan kehamilan/estrogen.17

Trias Virchow:
a. Kelainan dinding pembuluh darah pada trauma dan pembedahan
b. Perubahan aliran darah
c. Gangguan pembekuan darah
4.5. Patofisiologi

Berdasarkan “Triad of Virchow”, terdapat 3 faktor yang berperan dalam

patogenesis terjadinya trombosis pada arteri atau vena yaitu kelainan dinding

pembuluh darah, perubahan aliran darah dan perubahan daya beku darah.

Trombosis vena adalah suatu deposit intra vaskuler yang terdiri dari fibrin, sel darah

merah dan beberapa komponen trombosit dan lekosit.18

1. Statis Vena
29

Aliran darah pada vena cendrung lambat, bahkan dapat terjadi statis terutama

pada daerah-daerah yang mengalami immobilisasi dalam waktu yang cukup lama.

Statis vena merupakan predisposisi untuk terjadinya trombosis lokal karena dapat

menimbulkan gangguan mekanisme pembersih terhadap aktifitas faktor pembekuan

darah sehingga memudahkan terbentuknya trombin.

2. Kerusakan pembuluh darah

Kerusakan pembuluh darah dapat berperan pada pembentukan trombosis vena,

melalui:

a. Trauma langsung yang mengakibatkan faktor pembekuan.

b. Aktifitasi sel endotel oleh cytokines yang dilepaskan sebagai akibat kerusakan

jaringan dan proses peradangan.

Permukaan vena yang menghadap ke lumen dilapisi oleh sel endotel. Endotel

yang utuh bersifat non-trombo genetik karena sel endotel menghasilkan beberapa

substansi seperti prostaglandin (PG12), proteoglikan, aktifator plasminogen dan

trombo-modulin, yang dapat mencegah terbentuknya thrombin.

Apabila endotel mengalami kerusakan, maka jaringan sub endotel akan terpapar.

Keadaan ini akan menyebabkan sistem pembekuan darah di aktifkan dan trombosir

akan melekat pada jaringan sub endotel terutama serat kolagen, membran basalis dan

mikro-fibril. Trombosit yang melekat ini akan melepaskan adenosin difosfat dan

tromboksan A2 yang akan merangsang trombosit lain yang masih beredar untuk

berubah bentuk dan saling melekat. Kerusakan sel endotel sendiri juga akan

mengaktifkan sistem pembekuan darah.


30

3. Perubahan faktor pembekuan darah

Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah

dan sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas

pembekuan darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun.

Trombosis vena banyak terjadi pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan

darah meningkat, seperti pada hiper koagulasi, defisiensi Anti trombin III, defisiensi

protein C, defisiensi protein S dan kelainan plasminogen.

4.6. Gambaran klinis dan diagnosis

Skor Wells dapat digunakan untuk stratifikasi menjadi kelompok risiko ringan,

sedang, atau tinggi. Kombinasi Well’s rule dengan hasil tes non-invasif diharapkan

dapat meningkatkan ketepatan diagnosis, sehingga dapat mengurangi kebutuhan

investigasi lebih lanjut. Skor 0 atau kurang, menandakan kemungkinan DVT rendah,

skor 1 atau 2 menandakan kemungkinan DVT sedang, dan skor 3 atau lebih

menandakan kemungkinan DVT tinggi.19


31

Gambar 4.2 Skor Well’s

Gejala klinis yang sering ditemukan :

 Pembekakan disertai rasa nyeri pada daerah yang bersangkutan


 Nyeri dapat timbul jika tungkai ditekukkan
 Kemerahan dan nyeri tekan pada daerah yang terkena
 Edema pergelangan kaki, pireksia ringan
 Flegmasia alba/caerulea dolens

Diagnosis trombosis vena dalam dapat dilakukan dengan :

a. Anamnesis. Dari anamnesis didapatkan nyeri lokal, bengkak, perubahan warna

dan fungsi berkurang pada anggota tubuh yang terkena


b. Pemeriksaan fisik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan edema, eritema,

peningkatan suhu lokal tempat yang terkena, homan sign (+) dan pembuluh vena

teraba.
c. Pemeriksaan penunjang yaitu Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan

peningkatan kadar D-dimer dan penurunan antitrombin (AT). Pemeriksaan D-

dimer dapat dilakukan dengan ELISA atau latex agglutination assay. D-dimer

adalah produk degradasi fibrin. Jika D-dimer <0,5 mg/mL maka dapat

menyingkirkan diagnosis DVT. Pemeriksaan lain yang juga dapat dilakukan

adalah venografi dan penurunan kadar antitrombin III.

Pemeriksaan radiologis penting untuk mendiagnosis DVT. Beberapa jenis

pemeriksaan radiologis yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis DVT,

yaitu:

1. Venografi

Venografi disebut juga sebagai plebografi. Prinsip pemeriksaannya adalah

menyuntikkan zat kontras ke dalam sistem vena, akan terlihat gambaran sistem vena
32

di betis, paha, inguinal sampai ke proksimal vena iliaca. Venografi dapat

mengidentifikasi lokasi, penyebaran, dan tingkat keparahan bekuan darah serta

menilai kondisi vena dalam. Sensitivitas dan spesifisitasnya mendekati 100%,

sehingga menjadi gold standard diagnosis DVT.

2. Flestimografi Impedans

Prinsip pemeriksaan ini adalah memantau perubahan volume darah tungkai.

Pemeriksaan ini lebih sensitif untuk trombosis vena femoralis dan iliaca

dibandingkan vena di daerah betis.

3. Ultrasonografi (USG) Doppler

Saat ini USG sering dipakai untuk mendiagnosis DVT karena non-invasif. USG

memiliki tingkat sensitivitas 97% dan spesifisitas 96% pada pasien yang dicurigai

menderita DVT simptomatis dan terletak di proksimal.

4.7. Penatalaksanaan
Non-farmakologi :
a. Tinggikan ekstremitas yang terkena untuk melancarkan aliran darah vena
b. Kompres hangat untuk meningkatkan sirkulasi mikrovaskuler
c. Latihan lingkup gerak sendiri
d. Pemakaian alas kaki elastic.
e. Penggunaan compression stocking selama kurang lebih 2 tahun dimulai 2-3

minggu ketika diagnosis DVT ditegakkan dapat menurunkan risiko post-

trombosis syndrome.

Terapi farmakologi :20

a. Antikoagulasi selama 3-6 minggu


 Unfractionated Heparin: Terapi unfractionated heparin berdasarkan berat badan

dan dosisnya dititrasi berdasarkan nilai Activated Partial Thromboplastin Time

(APTT). Nilai APTT yang diinginkan adalah 1,5-2,5 kontrol. Mekanisme kerja
33

utama heparin adalah: 1). meningkatkan kerja antitrombin III sebagai

inhibitor faktor pembekuan, dan 2). melepaskan tissue factor pathway

inhibitor (TFPI) dari dinding pembuluh darah.Diberikan dengan cara bolus 80

IU/kgBB intravena dilanjutkan dengan infus 18 IU/ kgBB/jam. APTT, masa

protrombin (protrombin time /PT) dan jumlah trombosit harus diperiksa sebelum

memulai terapi heparin, terutama pada pasien berusia lebih dari 65 tahun, riwayat

operasi sebelumnya, kondisi-kondisi seperti peptic ulcer disease, penyakit hepar,

kanker, dan risiko tinggi perdarahan (bleeding tendency).21


 Low-Molecular-Weight Heparin selama 4-5 hari. LMWH lebih menguntungkan

daripada heparin karena waktu paruh biologis lebih panjang, dapat diberikan

subkutan satu atau dua kali sehari, dosisnya pasti dan tidak memerlukan

pemantauan laboratorium. Salah satu LMWH adalah pemberian Enoxaparin 1

mg/KgBB yang diberikan dua kali sehari.


 Warfarin adalah obat pilihan untuk antikoagulasi akut. Pemberian warfarin segera

setelah diagnosis DVT ditegakkan, namun kerjanya memerlukan satu minggu

atau lebih. Oleh karena itu, LMWH diberikan bersamaan sebagai terapi

penghubung hingga warfarin mencapai dosis terapeutiknya. Dosis standar

warfarin 5 mg/ hari, dosis disesuaikan setiap tiga sampai tujuh hari
b. Trombektomi

5. VARISES VENA TUNGKAI

5.1. Definisi
Varises vena tungkai bawah (VVTB) adalah vena superfisial tungkai bawah yang

mengalami dilatasi, pemanjangan, dan berkelok-kelok dengan fungsi katup yang


34

abnormal. Hal tersebut diakibatkan oleh meningkatnya tekanan vena dalam jangka

waktu lama yang ditandai dengan penonjolan vena yang besar dan tampak dibawah

kulit.22
Gambar 5.1 Varises vena tungkai bawah

5.2. Epidemiologi

Varises vena tungkai bawah lebih sering terjadi pada wanita daripada pria.

Prevalensi VVTB di populasi barat usia lebih dari 15 tahun adalah 10-15% pada pria

dan 20-25% pada wanita. Prevalensi di Amerika Serikat adalah 15% pada pria dan

27,7% pada wanita. Dari penelitian Hirai dkk di Jepang didapatkan sebanyak 42%

pasien VVTB dengan adanya riwayat keluarga dan sebanyak 14% pada pasien VVTB

tanpa riwayat keluarga.

Insiden VVTB meningkat seiring bertambahnya usia. Menurut penelitian yang

dilakukan di Inggris, prevalensi pada penderita usia 40 tahun adalah 22% sedangkan

pada usia 50 tahun adalah 35% dan pada usia 60 tahun adalah 41%.17 Di Indonesia,

belum ada angka yang pasti mengenai insiden terjadinya VVTB.

5.3. Faktor Risiko

Faktor-faktor yang diduga berperan serta dapat mempengaruhi timbulnya

VVTB, antara lain :22

1) Riwayat keluarga
35

2) Usia

Dinding vena menjadi lemah karena lamina elastis menjadi tipis dan atrofik

bersama dengan adanya degenerasi otot polos. Disamping itu akan terdapat atrofi otot

betis sehingga tonus otot menurun.

3) Overweight/obesitas

Hal ini dihubungkan dengan tekanan hidrostatik yang meningkat akibat

peningkatan volume darah serta kecenderungan jeleknya struktur penyangga vena.

4) Multiparitas kehamilan

Pengaruh hormonal, peningkatan volume darah, dan obstruksi akibat pembesaran

uterus merupakan penyebab VVTB pada kehamilan, namun VVTB akan mengalami

perbaikan 3-12 bulan setelah melahirkan. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa

terjadi prevalensi VVTB yang lebih tinggi pada penderita dengan kehamilan lebih

dari dua kali.

5) Faktor hormonal

Estrogen menyebabkan relaksasi otot polos dan perlunakan jaringan kolagen

sehingga meningkatkan distensibilitas vena. Selain itu dapat meningkatkan

permeabilitas kapiler dan edem. Progesteron menyebabkan penurunan tonus vena dan

peningkatan kapasitas vena sehingga dapat menginduksi terjadinya stasis vena, hal ini

disebabkan karena adanya hambatan pada aktomiosin kontraktil dinding vena.

6) Faktor berdiri lama

Peningkatan tekanan hidrostatik kronis pada pekerjaan yang membutuhkan

berdiri lama juga berperan dalam menimbulkan VVTB. Pada posisi tersebut tekanan
36

vena menjadi 10 kali lebih besar, sehingga vena akan teregang di luar batas

kemampuan elastisitasnya sehingga terjadi inkompetensi pada katup.

7) Merokok

Modifikasi pada endothelium venandapat menyebabkan peningkatan tonisitas

vasomotor dan proliferasi otot polos.

8) Konsumsi alkohol

Alkohol menyebabkan vasodilatasi segera dan penurunan tekanan darah yang

diikuti oleh rebound elevasi tekanan darah.

5.4. Patofisiologi

Patofisiologi terjadi VVTB pada dasarnya dibagi menjadi 4 faktor yang dapat

saling tumpang tindih yaitu:23

1) Peningkatan tekanan vena profunda

2) Inkompetensi katup primer

3) Inkompetensi katup sekunder

4) Kelemahan fasia

Keadaan-keadaan yang dapat mengakibatkan peningkatan tekanan vena

profunda adalah peningkatan tekanan intra abdomen (keganasan abdominal, ascites,

kehamilan), inkompetensi safenofemoral, inkompetensi katup vv perforantes,

obstruksi vena intraluminal. Kembalinya darah yang efisien ke jantung tergantung

pada fungsi sistem vena profunda. Jika otot tungkai berkontraksi, darah seolah-olah

diperas dari sinusoid vena otot dan vena disekitarnya sehingga terjadi peningkatan

vena profunda. Kontraksi otot-otot betis bisa menyebabkan tekanan vena profunda
37

meningkat sampai 200 ml Hg atau lebih. Bila terjadi inkompetensi katup, maka

tekanan tersebut dapat menyebabkan aliran darah berbalik dari vv profunda ke vv

superfisial, sehingga setiap gerakan otot akan semakin menambah jumlah darah

kearah v. profunda dan v. superfisial, akibatnya terjadi peningkatan tekanan vena dan

gangguan mikrosirkulasi.

Hipertensi vena kronis pada tungkai menyebabkan aliran tidak beraturan hingga

terjadi dilatasi vena dan inkompetensi katup lebih lanjut. Katup yang lemah atau tidak

berfungsi dapat merupakan faktor pencetus yang mengubah haemodinamik vena

sehingga terjadi VVTB.

Inkompetensi katup primer dapat terjadi karena kerusakan katup yang menetap,

misal destruksi atau agenesis katup. Inkompetensi katup sekunder merupakan

penyebab tersering VVTB, katup tersebut dapat normal tetapi menjadi inkompeten

akibat pelebaran dinding vena atau karena destruksi paska trombosis vena

profunda.Vena safena magna dan cabang-cabangnya merupakan tempat yang paling

sering mengalami varises, sebab dinding vena superficial ini lemah. Vena safena

magna hanya mempunyai sedikit jaringan penyangga berupa jaringan ikat, lemak

subkutis, dan kulit sehingga tidak mampu menahan tekanan hidrostatik yang tinggi

akibat gaya gravitasi.

Faktor risko varises tungkai diantaranya keturunan atau genetic, usia, obesitas

serta peningkatan tekanan hidrostatik dan volume darah pada tungkai.

5.5 Klasifikasi
38

Menurut klasifikasi Clinical, Etiological, Anatomic, Pathophysiologic (CEAP)

VVTB dibagi berdasarkan berat ringan manifestasi klinisnya, yaitu :24

1) Derajat 0 : tidak terlihat atau teraba tanda gangguan vena

2) Derajat 1 : telangiektasis, vena retikular

3) Derajat 2 : varises vena

4) Derajat 3 : edem tanpa perubahan kulit

5) Derajat 4 : perubahan kulit akibat gangguan vena (pigmentasi, dermatitis statis,

lipodermatosklerosis)

6) Derajat 5 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus yang sudah sembuh

7) Derajat 6 : perubahan kulit seperti di atas dengan ulkus aktif.

Gambar 5.2 Klasifikasi Varises vena

5.6. Diagnosis

Sebelum melakukan pemeriksaan khusus pada penderita VVTB, pemeriksaan

klinis tetap merupakan dasar penilaian medis. Evaluasi penderita VVTB dimulai

dengan riwayat penyakitnya, meskipun saat ini teknologi dalam menentukan

diagnosis kelainan vena sudah berkembang pesat.

 Anamnesis

Secara garis besar, anamnesis yang penting ditanyakan antara lain : 23

1) Keluhan penderita

Terdiri atas keluhan rasa berat, rasa lelah, rasa nyeri, rasa panas / sensasi

terbakar pada tungkai, kejang otot betis, bengkak serta keluhan kosmetik. Keluhan
39

biasanya berkurang dengan elevasi tungkai, untuk berjalan atau pemakaian bebat

elastik dan makin bertambah setelah berdiri lama, selama kehamilan, menstruasi, atau

pengobatan hormonal.

2) Gejala dan perkembangan

Lesi adalah faktor penting yang perlu dipertimbangkan untuk mengetahui

keparahan penyakit dan perencanaan pengelolaan.

3) Faktor predisposisi.

4) Riwayat penyakit sistemik, pengobatan, dan tindakan medis/pembedahan

sebelumnya.

 Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik sistem vena cukup sulit. Di sebagian besar wilayah tubuh,

sistem vena profunda tidak dapat dilakukan inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi.

Pemeriksaan sistem vena superfisial harus berfungsi sebagai panduan langsung ke

sistem vena profunda.

1) Inspeksi

Inspeksi tungkai dilakukan di bawah penyinaran yang cukup pada posisi

eksorotasi tungkai dan pemeriksaan pada tungkai yang abduksi dari arah belakang

akan membantu visualisasi VVTB. Perlu diperhatikan tanda kronisitas dan kelainan

kulit seperti talengiektasis, dermatitis statis, edem, perdarahan, ulkus. Vena yang

mengalami VVTB diperhatikan apakah vena superfisial utama (VSM dan VSP) atau

cabangnya. Biasanya vena tersebut tampak jelas melebar, berkelok-kelok, dan


40

berwarna kebiruan. Varises vena tungkai bawah pada cabang vena superfisial

biasanya lebih berkelok-kelok dibanding pada vena superfisial utama.

2) Palpasi

Daerah vena yang berkelok diraba untuk menilai ketegangan VVTB dan

besarnya pelebaran vena. Pulsasi arteri harus teraba, bila tidak teraba maka harus

dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada obstruksi arteri.

Distribusi anatomi VVTB perlu digambarkan dengan jelas.

3) Perkusi

Perkusi dilakukan untuk mengetahui keadaan katup vena superfisial. Caranya

dengan mengetuk vena bagian distal dan dirasakan adanya gelombang yang menjalar

sepanjang vena di bagian proksimal.

4) Manuver Perthes

Manuver Perthes adalah sebuah teknik untuk membedakan antara aliran darah

retrogade dengan aliran darah antegrade. Tes ini digunakan untuk penentuan

berfungsinya sistem vena profunda. Penderita berdiri beberapa saat lalu dipasang

ikatan elastis di bawah lutut untuk membendung vena superfisial. Kemudian

penderita melakukan gerakan berjingkat beberapa kali agar otot-otot betis

berkontraksi sehingga darah dipompa dari sinusoid vena otot dan vena sekitarnya.

Bila vena yang terletak di distal dari ikatan kempis / kosong berarti katup-katup vena

perforantes dan vena profunda berfungsi baik dan tidak ada sumbatan. Sebaliknya

bila vena superfisial bertambah lebar berarti katup-katup tersebut mengalami

kegagalan atau terdapat sumbatan pada vena profunda.


41

5) Tes Trendelenburg

Tes ini digunakan untuk menentukan derajat insuffisiensi katup pada vena

komunikans. Mula-mula penderita berbaring dengan tungkai yang akan diperiksa

ditinggikan 30°-45° selama beberapa menit untuk mengosongkan vena. Setelah itu

dipasang ikatan yang terbuat dari bahan elastis di paha, tepat di bawah percabangan

safenofemoral untuk membendung vena superfisial setinggi mungkin. Kemudian

penderita berdiri dan pengisian vena diperhatikan. Bila vena lambat sekali terisi ke

proksimal, berarti katup komunikans baik. Vena terisi darah dari peredaran darah kulit

dan subkutis. Bila vena cepat terisi misalnya dalam waktu 30 detik, berarti terdapat

insuffisiensi katup komunikans. Uji Trendelenburg positif berarti terdapat pengisian

vena safena yang patologis.

 Pemeriksaan Penunjang

1) Ultrasonografi Doppler

Beberapa pemeriksaan seperti Tes Trendelenburg dan Tes Perthes dapat

memperkirakan derajat dan ketinggian lokasi inkompetensi katup vena, namun

ultrasonografi doppler dapat menunjukkan dengan tepat lokasi katup yang abnormal.

2) Duplex ultrasonography

Merupakan modalitas pencitraan standar untuk diagnosis sindrom insuffisiensi

vena dan untuk perencanaan pengobatan serta pemetaan sebelum operasi. Duplex

ultrasonography adalah kombinasi dari pencitraan model B dan Doppler. Pencitraan

model B menggunakan tranduser gelombang ultra yang ditempelkan pada kulit

sebagai sumber dan detektor. Pantulan gelombang suara yang terjadi dapat
42

memberikan citra struktur anatomi, dan pergerakan struktur tersebut dapat dideteksi

dalam bentuk bayangan.

3) Plebography

Plebography merupakan pemeriksaan invasif yang menggunakan medium

kontras. Terdapat 4 teknik pemeriksaan yaitu : ascending, descending, intra osseus,

dan varicography. Pemeriksaan ini untuk mengetahui adanya sumbatan dan

menunjukkan vena yang melebar, berkelok-kelok serta katup yang rusak.

Plebography juga dapat menunjukkan kekambuhan VVTB paska operasi yang sering

disebabkan oleh kelainan vena perforantes di daerah kanalis Hunter di paha.

5.7. Penatalaksanaan

Penanganan VVTB dapat berupa konservatif (non bedah) dan/atau

pembedahan, tergantung keadaan penderita serta berat ringannya penyakit.

Penanganan ditujukan bukan hanya untuk menghilangkan keluhan, namun juga

memperbaiki fungsi vena, perbaikan kosmetik, dan mencegah komplikasi, tetapi juga

untuk memperbaiki kualitas hidup penderita.25

a. Terapi Kompresi

Dasar penanganan terhadap insufisiensi vena adalah terapi kompresi. Cara ini

berfungsi sebagai katup vena yang membantu pompa otot betis untuk mencegah

kembalinya aliran darah vena, edem kaki, dan bocornya bahan fibrin sehingga

mencegah pembesaran vena lebih lanjut, tetapi tidak mengembalikan ukuran vena

Terapi kompresi dapat berupa compression stockings, compression bandages,

dan pneumatic compression pumps. Menurut klasifikasi European Standardization


43

Commission, Compression stockings (CS) dibagi berdasarkan tekanan terhadap

pergelangan kaki menjadi 4 kategori. CS dengan tekanan 16-20 mmHg pada

thrombosis prophylaxis. CS dengan tekanan 21-30 mmHg pada VVTB simtomatis

post-skleroterapi, kehamilan. CS dengan tekanan 31-40 mmHg pada post-trombotic

syndrome. Sedangkan CS dengan tekanan > 40 mmHgpada phlebolimpoedem.CS

digunakan sepanjang hari kecuali penderita tidur dan pemakaiannya harus tepat dari

telapak kaki sampai bawah lutut.

b. Skleroterapi

Merupakan tindakan penyuntikan larutan ke dalam pembuluh darah vena yang

melebar secara abnormal atau yang mengganggu secara kosmetik. Terapi ini juga

akan menghilangkan keluhan nyeri dan rasa tidak nyaman serta mencegah komplikasi

seperti phlebitis yang kambuhan dan ulserasi.

Penyuntikan larutan (sklerosan) ke dalam vena menyebabkan iritasi tunika

intima dan merusak lapisan endotel, sehingga menyebabkan trombosis, endosklerosis,

dan fibrosis pembuluh darah yang selanjutnya diserap oleh jaringan sekitarnya tanpa

terjadi rekanalisasi. Sklerosan dapat digolongkan dalam 3 jenis, yaitu : larutan

deterjen (polidokanol), larutan osmotik/hipertonik (larutan garam hipertonik atau

kombinasi dengan gula hipertonik), iritan kimia (polyiodide iodide).

Skleroterapi dilakukan untuk telangiektasis, varises retikular, varises persisten

atau rekuren paska bedah serta varises pada penderita lanjut usia. Kontra indikasi

skleroterapi pada VVTB adalah obstruksi berat pada tungkai, riwayat trombosis vena

profunda, penyakit pembekuan darah. Sedangkan kontra indikasi relatif adalah


44

kehamilan, penderita imobilisasi, diabetes, obesitas, urtikaria, dan dugaan alergi

terhadap sklerosan.

Efek samping yang mungkin timbul adalah urtikaria, hiperpigmentasi,

dermatitis kontak, folikulitis, telangiektasis, lepuh, erosi, memar di sekitar suntikan,

dan rasa nyeri. Komplikasi yang lebih serius tetapi jarang adalah nekrosis kulit, ulkus,

mikrotrombus, hematom intravaskular, tromboplebitis superfisialis, trombosis vena

profunda dengan emboli paru, anafilaksis.

c. Terapi Pembedahan

Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita VVTB dengan varises ukuran

besar, varises pada tungkai atas sisi medial atau anterior, adanya komplikasi statis

(pigmentasi, dermatitis, ulkus), simtomatik, dan insufisiensi perforantes.26

Tujuan metode pembedahan adalah untuk menghilangkan gejala, mengurangi

atau mencegah komplikasi, memulihkan fisiologi vena, dan memperbaiki penampilan

(kosmetik). Kontraindikasi tindakan pembedahan adalah usia lanjut atau keadaan

umum buruk, berat badan berlebihan, tromboflebitis aktif, tukak vena terinfeksi,

kehamilan, sumbatan arteri menahun pada tungkai bersangkutan, dan tumor besar

intra abdomen.

Komplikasi tindak bedah pada VVTB adalah perdarahan, infeksi, edema

tungkai, kerusakan saraf kulit (n. safena atau n. suralis), limfokel, dan trombosis vena

profunda. Infeksi berat dapat terjadi pada bekas saluran ”stripper”. Untuk mencegah

edem tungkai dianjurkan memakai kaos kaki elastis selama dua bulan pasca bedah.
45

Limfokel terbentuk karena saluran limfe terpotong saat operasi, pengobatannya cukup

dengan aspirasi. Trombosis vena dalam dapat berakibat fatal.

d. Laser Therapy

Endovenous laser therapy (ELT) adalah terapi untuk VVTB dimana serat optik

dimasukkan ke dalam pembuluh darah yang akan diobati dan sinar laser (biasanya di

bagian inframerah dari spektrum) diarahkan ke bagian dalam pembuluh darah. Terapi

ini lebih tidak menyakitkan dibanding vein ligation and stripping, menggunakan

anestesi lokal serta memiliki waktu pemulihan yang lebih pendek. Selain itu, laser

adalah pilihan yang baik untuk mengobati pembuluh yang resisten terhadap

skleroterapi.

Kontraindikasi ELT adalah pasien yang sedang hamil atau menyusui, sistem

vena dalam tidak memadai untuk mendukung aliran balik vena setelah terapi,

disfungsi hati atau alergi yang mustahil menggunakan anestesi lokal, sindrom

hiperkoagulabilitas berat, refluks vena skiatik, Komplikasi yang dapat timbul adalah

perforasi vena, deep vein thrombosis, echymoses, hiperpigmentasi, dan reaksi alergi.

5.8. Pencegahan

Penderita VVTB harus mencegah berlanjutnya gangguan ini dan perkembangan

edem tungkai bawah dengan memperbaiki kualitas hidup antara lain :24

1) Tidur dengan tungkai dinaikkan (15-20 cm)

2) Menghindari berat badan berlebihan. Diet dianjurkan kaya serat

3) Hindari berdiri terlalu lama (berjalan lebih baik)

4) Kompresi segmental pada tungkai (bebat pergelangan kaki)


46

5) Menggunakan kaus kaki penyokong selama kehamilan

6) Berolahraga secara teratur. Olahraga yang dianjurkan yaitu berjalan, berenang

6. Buerger’s disease

6.1. Definisi
Buerger’s disease atau tromboangitis obliterans (TAO) adalah nonaterosklerotik,

penyakit inflamasi segmental yang paling sering mengenai arteri serta vena berukuran

kecil dan sedang pada keempat ekstremitas.Inflamasi akut ini mengenai seluruh

lapisan lapisan dinding pembuluh darah. TAO dapat dibedakan dari vaskulitis karena

kecenderungannya menyerang pria usia muda, sangat kuat hubungannya dengan

penggunaan tembakau.27

Gambar 10.1 Buerger disease

6.2. Etiologi

Etiologi penyakit Buerger tidak diketahui, meskipun penyakit buerger adalah

jenis vaskulitis, tetapi berbeda dari vaskulitis lainnya.

a. Merokok
47

Paparan tembakau memainkan peran dalam inisiasi dan perkembangan penyakit.

Penelitian Adar et al menunjukkan bahwa pasien dengan TAO memiliki tingkat

kepekaan seluler terhadap jenis I dan III kolagen pada perokok dibandingkan dengan

bukan perokok dan mengakibatkan inflamasi. Purified tobacco glycoprotein (TGP)

dapat dikaitkan dengan perubahan reaktivitas vaskular yang mungkin terjadi dalam

rokok.27
b. Genetik
Di Inggris ditemukan adanya peran dominan dari HLA-A9 dan antigen HLA-

B5.
c. Hiperkoagulabilitas
Choudhury menunjukkan bahwa tingkat aktifator urokinaseplasminogen dua

kali lebih tinggi dan aktifator plasminogen bebas menghambat 40% lebih rendah pada

pasien dengan TAO dari pada orang yang sehat. Terjadi peningkatan respon platelet

serotonin pada penderita penyakit TAO.


d. Disfungsi endotalial
Dalam sebuah studi dari 28 pasien dengan TAO menunjukkan bahwa antibodi sel

anti endotelial meningkat pada 25% kasus dan titer antibodi endotel berhubungan

dengan tingkat keparahan penyakit.


e. Infeksi
Peneitian Iwai et al menyatakan 93% kasus ditemukannya DNA bakteri mulut

(periodontal) di pembuluh darah arteri pada spesimen penderita penyakit buerger.


6.2. Patogenesis
Beberapa observasi menyebutkan bahwa fenomena imunologi menyebabkan

vasodisfungsi dan trombus inflamatori. Pasien dengan TAO mengalami peningkatan

sensitivitas seluler pada kolagen tipe I dan III, peningkatan serum sel anti-endotelial

dan rusaknya vasorelaksasi periferal endotelium-dependen.


Patologi dari TAO terbagi menjadi tiga fase yaitu akut, subakut dan kronik.

Karakteristik dari fase akut adalah hiperseluler dan trombus inflamatori dengan
48

inflamasi akut pada dinding vaskuler yang terkena. Pada fase ini, polimorfonuklear

(PMN) adalah sel radang yang utama yang dapat membentuk mikroabses di dalam

trombus. Pada fase subakut atau fase intermediet, terjadi trombus oklusif yang

progresif, PMN dikelilingi oleh inflamasi granulamatosa yang dapat mengakibatkan

rekanalisasi trombus. Fase kronik atau fase akhir dikarakteristik dengan organisasi

trombus oklusif dengan rekanalisasi luas, trombus matur dengan fibrosis vaskuler

dapat terlihat pada fase akhir.28


6.3. Manifestasi klinis

Gejala yang paling sering dan utama adalah nyeri yang bermacam-macam

tingkatnya. Nyeri dirasakan saat istirahat dan bertambah berat pada waktu malam dan

keadaan dingin, nyeri akan berkurang bila ekstremitas dalam keadaan tergantung.

Serangan nyeri juga dapat bersifat paroksimal dan sering mirip dengan gambaran

penyakit Raynaud. Pada keadaan lebih lanjut, ketika telah ada tukak atau gangren,

maka nyeri sangat hebat dan menetap. Manifestasi terdini mungkin klaudikasi (nyeri

pada saat berjalan) lengkung kaki yang patognomonik untuk penyakit Buerger.

Klaudikasi kaki merupakan cermin penyakit oklusi arteri distal yang mengenai arteri

plantaris atau tibioperonea. Nyeri istirahat iskemik timbul progresif dan bias

mengenai tidak hanya jari kaki, tetapi juga jari tangan dan jari yang terkena bias

memperlihatkan tanda sianosis atau rubor bila bergantung. Sering terjadi radang

lipatan kuku dan akibatnya paronikia. Infark kulit kecil bias timbul, terutama

pulpaphalang distal yang bias berlanjut menjadi gangrene atau ulserasi kronis yang

nyeri. Tanda dan gejala lain dari penyakit ini meliputi rasa gatal dan bebal pada

tungkai dan fenomena Raynaud ( suatu kondisi dimana ekstremitas distal : jari, tumit,
49

tangan, kaki, menjadi putih jika terkena suhu dingin). Ulkus dan gangrene pada jari

kaki sering terjadi pada penyakit buerger. Sakit mungkin sangat terasa pada daerah

yang terkena.

6.4. Pemeriksaan diagnostik


Beberapa kriteria dapat digunakan untuk mendiagnosis TOA, salah satunya

adalah kriteria Shionoya, yaitu riwayat merokok, onset pada umur di bawah 50 tahun,

oklusi arteri infrapoplitea, plebitis migrans, tidak adanya faktor risiko aterosklerosis

lain selain merokok.28


Pada anamnesis didapatkan umur di bawah 45 tahun, riwayat pemakaian

tembakau, riwayat klaudikasio, nyeri saat istirahat, ulkus iskemik, gangren,

disangkalnya riwayat autoimun, status hiperkoagulasi dan diabetes melitus. Pada

pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema dan tromboflebitis superfisial.29


6.5. Penatalaksanaan

Pengobatan yang paling efektif untuk penyakit Buerger adalah berhenti merokok.

Bantuan psikologis mungkin berguna dalam kasus-kasus tertentu, tetapi pasien harus

diyakinkan bahwa jika mereka berhasil berhenti merokok sepenuhnya, penyakit akan

masuk ke remisi dan amputasi bisa dihindari. Selektif antagonis reseptor cannabinoid,

seperti rimonabant, telah menunjukkan hasil yang baik dalam membantu pasien

berhenti merokok.

Terapi non Bedah :31

a. Platelet Inhibitor

Aspirin efektif dalam mencegah kejadian sekunder dan harus dipertimbangkan pada

semua pasien dengan PAD. Aspirin ini tidak diindikasikan, namun untuk pengobatan

gejala klaudikasio intermiten.


50

b. Clopidogrel

Clopidogrel merupakan agen antiplatelet yang telah terbukti lebih berpengaruh

dari pada aspirin dalam mengurangi kejadian sekunder pada pasien dengan penyakit

aterosklerosis.

c. Vasodilator

Ketika terapi vasodilator diberikan, pembuluh proksimal lesi stenosis atau lesi

oklusi berdilatasi dan meningkatkan aliran darah ke vaskuler. Peningkatan ini

menyebabkan mengenai lesi proksimal stenosis atau oklusi, mengurangi aliran darah

dari jaringan distal sudah iskemik. Vasodilator juga memiliki kapasitas untuk

mengurangi resistensi pembuluh darah sistemik keseluruhan, mengarah ke penurunan

tekanan perfusi. Penurunan ini dalam tekanan perfusi berhubungan dengan

meningkatkan iskemik ke perifer. Konsep ini meningkatkan aliran darah dengan

memberikan vasodilator sistemik mungkin salah.

Terapi pembedahan :

a. Simpatektomi :Untuk mengurangi efek vasokostriksi saraf simpatis

b. Penyisipan kawat intramedulla

c. Operasi bypass arteri.

7. Fenomena Raynaud

7.1. Definisi

Fenomena Raynaud merujuk pada spasme arteriola perifer yang bersifat

reversibel sebagai respon terhadap dingin atau stres. Biasanya terlihat pada distal
51

digitalis namun dapat ditemukan di hidung, telinga atau lidah. Fenomena ini ditandai

oleh tiga fase, yaitu fase palor akibat vasokonstriksi muskular prekapilari arteriol,

fase sianosis akibat deoksigenasi darah vena dan fase eritem karena reaktif hiperemia

yang dihubungkan dengan nyeri.32

Gambar 7.1 Tiga fase fenomena Raynaud


Serangan dapat menghilang dalam satu jam setelah paparan dingin. Fenomena

Raynaud dapat dibagi dua, Raynaud primer dihubungkan dengan gangguan fungsi.

Raynaud sekunder merupakan gangguan dari struktural mikrovaskular, paling sering

pada pasien dengan skleroderma atau cedera vibrasi.

7.2. Faktor risiko

Penyebabnya bisa idiopatik atau disebut Raynaud primer, pasien biasanya adalah

seorang perempuan di usia dekade ketiga. Ketika ada penyakit yang mendasari maka

disebut Raynaud sekunder. Penyebab utamanya adalah penyakit autoimun seperti

skleroderma atau sistemik lupus eritematosus, artritis rematoid, dan ateroskeloris.

7.3. Patogenesis

Ketika tangan atau kaki terangsang dingin atau terjadi Fase Pucat yang

disebabkan vasokonstriksi. Vasokonstriksi ini terjadi karena spasme pada pembuluh

darah. Akibat dari spasme pembuluh darah maka kaki atau tangan tidak dapat
52

menerima aliran darah yang cukup dan bahkan tidak cukup untuk menjaga nutrisi

yang cukup.31

Pada kasus yang parah, maka pembuluh darah itu terus menerus menyempit

selama bertahun-tahun, sehingga nutrisi sangat tidak tercukupi atau berkurang yang

kemungkinan besar akan menyebabkan iskemik pada jaringan dan jari-jari tangan

atau kaki dapat menyebabkan ganggren. Tapi pada kasus yang lebih jinak, hanya

terjadi sumbatan sementara pada pembuluh darah pada sebagian jaringan. Pembuluh-

pembuluh darah juga tidak dapat mengalir mengalir ke tangan atau kaki, begitupun

nutrisinya juga sangat tidak mencukupi. Disini juga akan terjadi iskemik pada

jaringan, tetapi iskemik tersebut hanya berlangsung beberapa menit dan akan terjadi

Hyperemia Re-aktif. Setelah Hyperemia Re-aktif akan terjadi Fase Sianotik, dimana

fase ini terjadi mobilitas bahan-bahan metabolic abnormal yang mampu memperberat

atau menambah rasa sakit, dimana rasa sakit tadi semakin lama akan terus bertambah

sakit. Setelah Fase Sianotik terjadi Fase Rubor. Fase ini terjadi akibat dilatasi

pembuluh darah pada tangan atau kaki dan mungkin juga diakibatkan Hyperemia Re-

aktif yang mampu menimbulkan warna merah yang sangat pada tangan atau kaki.

Kadang-kadang juga mampu menimbulkan perasaan baal atau kesukaran dalam

pergerakan motorik halus dan suatu sensasi dingin.

7.4. Manifestasi klinis

Pada fenomena Raynaud, biasanya ruas jari berubah menjadi putih (vasospasme),

kemudian biru (deoksigenasi darah vena yang statis) kemudian merah (reperfusi)

karena respon terhadap dingin atau stres emosional. Sebuah penelitian menunjukkan
53

70% perubahan warna terjadi pada jari tengah. Fenomena Raynaud primer

menunjukkan kerusakan fungsional, tanpa kerusakan struktural, sedangkan fenomena

Raynaud sekunder lebih merujuk pada kerusakan struktural.Biasanya gejala yang

muncul bilateral dan simetris.Fenomena Raynaud merujuk pada palor paroksismal

atau sianosis ruas jari tangan atau kaki dan kadang mengenai hidung, telinga atau

sangat jarang mengenai lidah.32

Tabel 7.1 Perbedaan antara fenomena primer dan sekunder Raynaud

Primary Raynaud Secondary Raynoud

Respon fisiologis berlebihan terhadap Sekunder untuk penyakit yang


dingin atau stres mendasari serius
Tidak arteri kelainan struktural, Adanya lipatan kuku kapiler abnormal
lipatan-kuku kapiler normal
Serangan simetrik Serangan intens asimetris
Jaringan nekrosis, ulserasi atau Adanya lesi kulit iskemik
gangren tidak ada
Usia rata-rata onset adalah 14 tahun Usia > 30 tahun
Gambaran klinis dari penyakit Gambaran klinis dari CTD seperti
jaringan ikat (CTD) tidak ada arthritis, myalgia, sclerodactyly,
demam, ruam, penurunan berat badan,
dan kelainan kardiopulmoner
ESR normal, CPR negatif ESR meningkat, CPR positif
ANA dan auto antibodi negatif ANA dan auto antibodi positif
Peningkatan frekuensi migrain dan
Prinzmetal Angina (gangguan
vasospastik) dapat hadir. 25%
mungkin memiliki riwayat keluarga
Raynaud Primer di tingkat pertama
relatif

7.5. Pemeriksaan diagnostik


54

Pasien dievaluasi untuk penyakit lain yang terkait dengan fenomena Raynaud,

termasuk: gangguan jaringan ikat (lupus, rheumatoid arthritis dan scleroderma),

cedera getaran dari penggunaan alat-alat listrik dan penyakit gangguan aliran darah.

Tes untuk sekunder Raynaud mungkin termasuk studi aliran darah non-invasif dari

tangan dan lengan dan tes darah yang disebut ANA atau faktor rematik.32

7.6. Penatalaksanaan

Tindakan umum34

a. Menghindari paparan dingin, alat getar dan stres. Pasien diminta untuk tetap hangat

tubuh dengan memakai sarung tangan serta teknik relaksasi dan biofeedback untuk

mengurangi stres emosional sehingga ada sedikit stimulasi simpatomimetik.

b. Hindari obat seperti estrogen, simpatomimetik (dekongestan), klonidin,

ergotamine, reseptor agonis Serotonin – sumatriptan

c. Hentikan merokok, karena nikotin dapat menyebabkan pembekuan pembuluh

darah.

d. Calcium channel blockers (CCB):

• CCB adalah vasodilator arteri yang memiliki efek antiplatelet dan mengurangi stres

oksidatif.

• Nifedipin: 10-30 mg tid per oral (PO)

• Amlodipine: 5 - 20 mg PO setiap hari

• Diltiazem juga dapat digunakan tetapi tidak seefektif kelas dihidropiridin CCB.

E. Simpatolitik
55

Prazosin: 1-5 mg / d PO ( tidak tersedia α 1 adrenergik Blocker sebagai α 2

adrenoreseptor blocker).

8. Tromboflebitis

8.1. Definisi

Tromboflebitis superfisial adalah keadaan patologis yang dikarakteristikkan

dengan adanya trombus pada lumen vena superfisial, diikuti dengan reaksi inflamasi

dinding vena. Dapat dilihat dari vena yang dapat dipalpasi, panas nyeri pada vena

superfisial. Ukuran bervariasi dari kecil hingga besar yang dapat menyebabkan

trombosis vena dalam bahkan emboli pulmonal.35

8.2. Faktor risiko

Faktor risiko dari perkembangan tromboflebitis superfisial adalah varises vena di

ekstremitas bawah, umur di atas 60 tahun, wanita, obesitas, kehamilan, pembedahan

atau imobilisasi, pengobatan hormonal, merokok, penggunaaan jalur intravaskular

serta status hiperkoagulasi.26Penyebab lain berupa hiperkoagulabiliti, perjalanan jauh,

trauma, inflamasi, tidak lancarnya aliran darah dan malignansi.35

8.3. Patogenesis

Terjadinya thrombus :

 Abnormalitas dinding pembuluh darah

Formasi trombus merupakan akibat dari statis vena, gangguan koagubilitas darah

atau kerusakan pembuluh maupun endotelial. Stasis vena lazim dialami oleh orang-

orang yang imobilisasi maupun yang istirahat di tempat tidur dengan gerakan otot
56

yang tidak memadai untuk mendorong aliran darah. Stasis vena juga mudah terjadi

pada orang yang berdiri terlalu lama, duduk dengan lutut dan paha ditekuk,

berpakaian ketat, obesitas, tumor maupun wanita hamil.

 Perubahan komposisi darah (hyperkoagulabilitas)

Hyperkoagulabilitas darah yang menyertai trauma, kelahiran dan IMA juga

mempermudah terjadinya trombosis. Infus intravena, banyak faktor telah dianggap

terlibat dalam patogenesis flebitis karena infus intravena, antara lain:36

1. Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan (flebitis kimia)

- pH dan osmolaritas cairan infus yang ekstrem selalu diikuti risiko flebitis tinggi.

Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium

klorida, vancomycin, amphotrecin B, cephalosporins, diazepam, midazolam dan

banyak obat khemoterapi.

- Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama

pencampuran.

- Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat

dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas > 500 mOsm/L. Hindarkan vena

pada punggung tangan jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut

- Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi dibanding

politetrafluoroetilen (teflon) karena permukaan lebih halus, lebih thermoplastik dan

lentur. Risiko tertinggi untuk flebitis dimiliki kateter yang terbuat dari polivinil

klorida atau polietilen.


57

2. Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi.

(Kanula yang dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis.

Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan baik).

3. Agen infeksius.

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:

 Teknik pencucian tangan yang buruk


 Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak.
 Pembungkus yang bocor atau robek mengundang bakteri.
 Teknik aseptik tidak baik
 Teknik pemasangan kanula yang buruk
 Kanula dipasang terlalu lama
 Tempat suntik jarang diinspeksi visual

8.4. Pemeriksaan diagnostik

Pasien dengan tromboflebitis spontan harus dilakukan evaluasi status

hiperkoagulasinya. Dapat juga dilakukan pemeriksaan faktor V Leiden dan mutasi

gen protrombin, protein C, protein S, antitrombin III, antikoagulan, antikardiolipin

dan beta 2 glikoprotein. Pencitraan dengan menggunakan ultrasound Duplex

merupakan pilihan untuk mencari trombosis vena. Venografi jarang digunakan dan

memungkinkan munculnya banyak komplikasi salah satunya flebitis itu sendiri.37

8.5. Penatalaksanaan

Tujuan utama dari manajemen tatalaksana ini adalah untuk menghindari flebitis

yang semakin luas. Untuk tatalaksana tromboflebitis yang superfisial, tatalaksana

dengan analgesik seperti aspirin atau NSAID. Pasien bisa melanjutkan aktifitas

sehari-hari. Pasien dengan varikositis, plebotomi pada segmen yang terkena dapat

diindikasikan. Tromboflebitis yang lebih parah dapat ditatalaksana dengan istirahat


58

total dengan elevasi tungkai serta aplikasi kompres hangat.Tromboflebitis merupakan

sebuah kasus peradangan non infeksi, namun tatalaksana dengan menggunakan

antibiotik sering digunakan untuk mencegah kemungkinan infeksi. Resolusi spontan

dapat terjadi dalam dua hingga tiga minggu, namun butuh dua hingga tiga bulan

untuk hancurnya trombus. Kadang akibat produksi melanin yang dihubungkan

dengan proses inflamasi dan hemosiderin dari kerusakan produk darah yang akan

tampak perubahan warna kulit menjadi lebih coklat.37

9. Vaskulitis

9.1. Definisi

Vaskulitis adalah grup heterogen dari penyakit yang dikarakteristikkan dengan

keadaan infllamasi patologik di dalam dinding pembuluh darah. Keadaan inflamasi

ini secara histologis terlihat sebagai gambaran nekrosis fibrinoid dan dapat dilihat

sebagai jaringan yang nekrosis.38

9.2. Klasifikasi

The American College of Rematology telah mengklasifikasikan vaskulitis, yaitu

poliarteritis nodusa, sindrom Chrug-Strauss, Wegener granulomatosis, vaskulitis

hipersensitivitas, purpura Henoch-Schonlein, arteritis sel raksasa dan Takayasu

arteritis.38

9.3. Patogenesis

Patogenesis dari vaskulitis sangat sulit dimengerti. Tiga mekanisme yang

mungkin terjadi adalah akibat kompleks imun, humoral respon dan respon T-limfosit

dengan pembentukan granulosit. Akhir dari jalurr-jalur ini adalah aktivasi sel endotel
59

dengan obstruksi pembuluh darah hingga iskemik jaringan. Hal ini dapat

menyebabkan hemorage jaringan, dalam beberapa kasus melemahkan dinding

pembuluh dan berakhir dengan aneurisma.39

9.4. Manifestasi klinis

Pasien dengan vaskulitis dapat menunjukkan gejala demam, kemerahan, mialgia,

artralgia, malaise hingga penurunan berat badan.39

9.5. Pemeriksaan diagnostik

Pemeriksaan fisik dapat berupa palpasi nadi perifer, pengukuran tekanan darah

bilateral, auskultasi bruit.40Penemuan pada pemeriksaan laboratorium juga dapat

membantu mendiagnosis vaskulitis serta menggambarkan organ yang terkena.

Anemia akibat penyakit kronik, tingginya eritrosit sedimen, peningkatan protein C-

reaktif adalah indikator dari vaskulitis yang aktif. Pasien dengan proteinuria dan

hematuria menunjukkan glomerulonefritis. Pemeriksaan Blood Urea Nitrogen (BUN)

dan serum kreatinin dapat digunakan untuk mengidentifikasi efek toksik

siklofosfamid pada kandung kemih.39Pemeriksaan anti neutrofil sitoplasmik antibodi

(ANCA) rutin dilaksanakan untuk kasus terdug vaskulitis nekrotik sistemik. 38Pasien

dengan vaskulitis aktif sering menunjukkan leukositosis, anemia dan

trombositopenia. Pemeriksaan darah lengkap juga dibutuhkan untuk melihat

kemungkinan supresi sumsum tulang sebagai hasil dari penatalaksanaan

vaskulitis.39Standar emas untuk pemeriksaan untuk arteritis sel raksasa adalah biopsi

arteri temporal, namun hal ini tidak 100% spesifik atau sensitif akibat adanya jarak
60

antar lesi.Biopsi yang sensitif dihubungkan dengan klaudikasio rahang, arteri

temporal yang teraba menonjol seperti manik-manik dan diplopia.40

9.6. Penatalaksanaan

Penalataksanaan medikamentosa untuk arteritis sel raksasa dapat berupa

glukokortikoid yang harus segera diberikan tanpa jeda. Prednison diberikan pada

dosis 40-60 mg/hari selama 4 minggu. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan

intravena untuk pasien dengan impending atau hilang penglihatan yang baru terjadi.

Takayasu’s arteritis dapat menyebabkan stenosis permanen, pembedahan

rekonstruktif harus dilakukan pada fase tanpa gejala. Pemberian siklofosfamid dan

glukokortikoid menunjukkan perbaikan yang signifikan pada vaskulitis pembuluh

kecil.40

10. ACUTE LIMB ISCHEMIA

10.1 Definisi

Suatu kondisi dimana terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas secara tiba

tiba yang menyebabkan gangguan pada pergerakan, rasa nyeri atau tanda tanda

iskemik berat dalam jangka waktu 2 minggu. Pria dan wanita mempunyai prevalensi

yang seimbang hal ini dapat terjadi ketika ekstremitas kekurangan aliran darah yang

adekuat. Gejalanya tergantung pada tingkat keparahan hipoperfusi, prosesnya dapat

berkembang mendadak.

Aterosklerosis adalah penyebab yang paling umum pada iskemia ekstremitas bawah.

Beberapa faktor utama yang menyebabkan peningkatan prevalensi dan insiden


61

iskemia ekstremitas bawah adalah penuaan, meningkatnya aterosklerosis, perifer

aneurisma, dan lesi vaskular yang lain yang terkait dengan usia lanjut. Faktor kedua

adalah meningkatknya insidensi diabetes. Diabetes mempercepat perkembangan

aterosklerosis dan iskemia ekstremitas bawah. Faktor ketiga adalah meningkatnya

jumlah pasien yang memiliki riwayat operasi bypass arteri perifer yang berpotensi

oklusi pada graft.41

10.2 Etiologi

Iskemia tungkai akut dapat terjadi akibat embolisasi atau in-situ trombosis.

Emboli berasal dari jantung dan biasanya terjadi pada lokasi bifurkasio arteri seperti

arteri femoralis komunis distal atau arteri poplitea. Trombus yang terbentuk di dalam

jantung sering disebut macrotrombus yang menyumbat dari percabangan arteri.

Sumber trombus lainnya adalah dari trombus yang terbentuk pada anerisma aorta,

yang sering disebut microtrombus. Microtrombus berasal dari anerisma aorta yang

menyumbat di aretri kecil-kecil pada jari kaki (disebut bluetoes) akan menimbulkan

bintik-bintik kecil-kecil bewarna biru yang lama-kelamaan bersatu bertambah besar

dan bewarna gelap.

10.3 Diagnosis

Iskemia tungkai akut adalah diagnosis klinis. Pasien mengeluhkan mati rasa dan

nyeri di ekstremitas, pada kasus yang berat hilangnya fungsi motorik dan kekakuan

otot. Pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulselessness yang menunjukkan iskemia

tungkai akut. Proses ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan trombosis vena

dalam. Meskipun trombosis vena dalam dapat bermanifestasi sebagai iskemia tungkai
62

yang berat (phlegmasia cerulea dolens), edema ekstremitas bawah jarang disebabkan

oleh iskemia arteri murni. Nyeri dapat berupa konstan atau ditimbulkan oleh gerakan

pasif ekstremitas yang terlibat. Oklusi emboli biasanya tiba-tiba dan dengan intensitas

yang besar, sehingga onset timbul dalam beberapa jam. Riwayat penyakit dahulu

yang mempengaruhi seperti klaudikasio intermiten, bypass kaki, aritmia jantung dan

aneurisma aorta. Faktor risiko aterosklerosis seperti merokok, hipertensi, diabetes,

hiperlipidemia, riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung atau pembuluh

darah.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengidentifikasi letak obstruksi,

kemungkinan penyebab dan derajat iskmia. Informasi tersebut diperlukan untuk

pengobatan yang tepat. Anamnesis melihat durasi dan progresi, riwayat penyakit

jantung sebelumnya bisa menyulitkan pengobatan. Pada klaudikasio menandakan

sebelumnya mendapat penyakit aterosklerotif oklusi. Pemeriksaan fisik mendapatkan

kemungkianan sumber dari emboli. Tanda-tanda iskemia kronis tungkai bawah,

hipertropic kuku, atrofi kulit, rambut rontok pada kaki menandakan sebelumnya

mempunyai penyakit oklusi. Adanya insufisiensi arteri akut biasanya ditandai dengan

perubahan suhu pada ekstremitas distal pada level obstruksi. Kemampuan untuk

dorsifleksi dan plantarfleksi dari jari-jari kaki menunjukkan viabilitas dari otot-otot

betis, ketidak mampuan menggerakkan dari jari-jari kaki menandakan impending

nekrosis pada otot otot betis.41

10.4 Penatalaksanaan

1. Preoperatif anticoagulation dengan IV heparin.


2. Resusitasi cairan, koreksi asidosis sistemik, inotropic support.
63

3. Terapi pembedahan dilakukan untuk iskemik yang mengancam ekstremitas.


4. Trombectomy atau embolectomy.
5. Melindungi vascular bed distal terhadap obstruksi proksimal merupakan hal

yang sangat penting dan dapat dipenuhi oleh antikoagulan sistemik yang

diberikan segera, dengan heparin intravena.


6. Terapi utama dari iskemi akut adalah rekontruksi pembedahan vascular yang

pantas.
64

DAFTAR PUSTAKA
1. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Desease: a collaborative project of medical

students and aculty. Boston. Wolters Kluwer


2. Lumongga F. Atherosclerosis. Departemen Patologi Anatomi Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatra Utara. 2007


3. National Heart, Lung and Blood Institute. Atherosclerosis. NIH Publication.2009
4. Lorkowski S. Atherosclerosis: Pathogenesis, clinical feature and treatment.

Encyclopedia of life sciences. 2007


5. Dessi M, Noce A, Bertucci P, Villahermosa SM, Zenobi R, Costagnoola V,

Addessi E, dkk. Atherosclerosis, dyslipidemia and inflammation: The

significant role of polyunsaturated fatty acids. Hindawi Pub Corp.2013


6. National Heart, Lung and Blood Institute. What are the sign and symptoms of

atherosclerosis. 2013. Dapat diakses di https://www.nhlbi.nih.gov/health/health-

topics/topics/atherosclerosis/signs
7. Boudi FB, Ali YS. Coronary artery atherosclerosis cliniclal presentation. 2016.

Dapat diakses dihttp://emedicine.medscape.com/article


8. Teramoto T, Sasaki J, Ishibashi S, Birou S, Daida H, Dohi S. Diagnosis of

Atherosclerosis. J of Ather Thromb: 21(4). 2013


9. ESC Guideline. 2014 ESC guidelines on the diagnosis and treatment of aortic

disease. Eu Heart J. 2014


10. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II. Edisi ke-6. Jakarta: Internal Publishing;

2014. P. 1509-15.
11. Mabun Hasiholan JM. Diseksi Aorta: kegawatdaruratan kardiovaskuler. Banten;

2016
12. Nelson, BP. Aneurysm, Thoracic. 2009. Available at: http:// emedicine.

medscape.com/article/761627-overview.
13. Gloviczki, P & Ricotta, JJ. Aneurysmal Vascular Disease. In Sabiston Textbook

of Surgery.18th.ed.2007.
65

14. Price SA, Wilson LM. Pathophysiology: clinical concepts of disease prosesses.

United States: Elsevier Science; 2002. p. 681


15. Sjamsuhidajat. R., de Jong. W., Bab 28 Jantung, Pembuluh Arteri, Vena, dan

Limfe: Aneurisma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, ed.2. Jakarta, EGC, 2004.
16. Kesieme E, Kesieme C, Jebbin N, Irekpita E, Dongo A. Deep vein thrombosis: a

clinical review. J Blood Med: 2. 2011) (Skinner N, Moran P. Deep vein

thrombosis (DVT). CMAG.2007


17. Skinner N, Moran P. Deep vein thrombosis (DVT). CMAG.2007
18. Jayanegara AP. Diagnosis dan tatalaksana Deep Vein Trombosis. Continuing

medical education. Kalimantan Tengah; 2016


19. Opie LH, Gersh JB. Drugs for the Heart 8 th edition. United States: Elsevier

Saunders. 2013
20. Endig H, Michalski F, Westendorf JB. Deep vein thrombosis – current

management strategies. Clin Med Ins : 8. 2016


21. Ramzi DW. Leeper KV. DVT and pulmonary embolism: part II. Treatment and

prevention. AAFP : 69(12). 2004


22. Adriana, C. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjadinya

Varises Vena Tungkai Bawah pada Wanita Usia Produktif. Karya Tulis

Ilmiah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang. Tersedia Pada:

http://eprints.undip.ac.id
23. Naoum JJ, Hunter GC. Pathogenesis of varicose veins and implications for

clinical management.Vascular. 2007;15(5):242-249.


24. Lin F, Zhang S, Sun Y, Ren S, Liu P. The management of varicose veins. Int

Surg:100. 2015
25. Jones RH, Carek PJ. Management of varicose veins. AAFP. 2008
26. Lew WK, Rowe VL. Varicose vein surgery. 2015. Dapat diakses di

http://emedicine.medscape.com/article/462579-overview#a12
27. Vijayakumar A, Tiwari R, Prabhuswamy VK. Tromboangiitis obliterans

(Buerger’s disease) – current practices. Int J of Inf. 2013) (Chavarria IJR,


66

Gutierrez JDB. Thromboangiitis obliterans (Buerger’s disease). Annals Med

Surg: 7. 2016
28. Nassiri N, Rowe VL. Thromboangiitis obliterans (Buerger disease). 2016. Dapat

diakses di http://emedicine.medscape.com/article/460027-overview#a3
29. Salimi J, Tavakkoli H, Salimzadeh A, Ghadimi H, Habibi G, Masoumi AA.

Clinical characteristic of Buerger’s disease in Iran. J Col Phy Surg Pakist: 18 (8).

502-5. 2008
30. Sobreira ML, Bonneti Y, Lastoria S. Superficial thrombophlebitis: epidemiology,

physiopathology, diagnosis and treatment. J Vasc Bras: 7(2). 2008


31. Chibisov I. Superficial thrombophlebitis. Coagulation Update: 3. 2012
32. Saigal R, Kansal A, Mittal M, Singh Y, Ram H. Raynaud’s phenomenon. JAPI:

58. 2010
33. Gayraud M. Raynaud’s phenomenon. Elsevier Masson. 2006
34. Moskal AK, Kita J, Hryniewicz A. Raynaud’s phenomenon: new aspects of

pathogenesis and the role of nailfold videocapillaroscopy. Rheumatologia: 53(2).

87-93. 2015
35. Kitchens CS. How i treat superficial venous thrombosis. Blood J: 117(1). 2011
36. Vascular Health Care. Superficial Thrombophlebitis (STP). 2013
37. Shantaram V. Vasculitis. Med Up: 18. 2008) (Sharma P, Sharma S, Baltaro R,

Hulter J. Systemic vasculitis. AAFP: 83(5). 2011


38. Sharma P, Sharma S, Baltaro R, Hulter J. Systemic vasculitis. AAFP: 83(5). 2011
39. Miller A, Chan M, Wiik A, Misbah SA, Luqmani RA. An approach to the

diagnosis and management of systemic vasculitis revised version with tracked

changes removed. Clin Exp Immunol :160(2). 2010


40. Gerhard-Herman, et al. 2016 AHA/ACC guideline on the management of

patients with lower extremity peripheral artery disease: executive summary.

Circulation. 2017;135:e686–e725
41. Tendera, et al. ESC Guidelines on the diagnosis and treatment of peripheral

artery diseases. European Heart Journal (2011) 32, 2851–2906.


67

Anda mungkin juga menyukai