“Untuk melihat apa penyebab lambatnya pertumbuhan tersebut kami melakukan yang
namanya diagnosa pertumbuhan, dan ternyata faktor pertama dalam ekonomi Indonesia
yang menghambat pertumbuhan adalah masalah regulasi dan institusi,” kata Bambang di
Istana Kepresidenan Bogor seperti dikutip dari Setkab.go.id, Senin (8/7/2019).
Institusi, menurut Bambang, artinya birokrasi pemerintahan masih dianggap belum cukup
handal untuk bisa memudahkan investasi maupun melancarkan di sektor perdagangan.
Investasi
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di Jakarta, Senin (7/5). Badan
Pusat Statistik (BPS) melansir pertumbuhan ekonomi kuartal 1 2018 mencapai 5,06%.
(Liputan6.com/Immanuel Antonius)
Demikian juga untuk investasi, Bambang memaparkan, untuk memulai bisnis di Indonesia
diperlukan rata-rata masih sekitar 19 hari. Angka ini masih jauh di atas negara-negara
tetangga.
Selain itu, lanjut Bambang, biaya untuk mulai investasi di Indonesia pun lebih tinggi
dibandingkan biaya memulai investasi di negara-negara tetangga.
“Solusi yang diusulkan intinya adalah fokus kepada yang namanya penataan regulasi dan
khususnya pada regulasi yang dianggap bisa menghambat investasi maupun perdagangan,
baik ekspor maupun impor,” kata Bambang.
“Tadi poinnya itu sehingga presiden mengulangi lagi apa instruksi yang sebenarnya sudah
disampaikan berkali-kali pada beberapa kementerian,” pungkas Bambang.
Selain itu, posisi fiskal yang lebih kuat akan memungkinkan bertambahnya investasi
pemerintah termasuk proyek infrastruktur baru dan upaya rekonstruksi di Lombok dan Palu
pasca bencana alam.
Pada kuartal pertama 2019 pertumbuhan PDB riil Indonesia tetap stabil di tingkat 5,1
persen. Meski terjadi gejolak global, ekonomi Indonesia tumbuh pada tingkat yang
konsisten dengan pertumbuhan PDB triwulanan antara 4,9 hingga 5,3 persen selama 3,5
tahun terakhir.
"Manajemen ekonomi Indonesia yang bijaksana telah membuahkan hasil. Meski pada
tahun 2018 arus keluar modal dari pasar negara-negara berkembang lebih besar dari pada
saat Amerika Serikat meningkatkan tingkat suku bunga pada tahun 2013, ekonomi
Indonesia tetap kuat sehingga membantu menurunkan tingkat kemiskinan ke rekor
terendah sebesar 9,7 persen pada September 2018," kata Kepala Perwakilan Bank
Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Rodrigo A. Chaves, di Jakarta, Senin (1/7/2019).
Selama kuartal pertama 2019 terjadi peralihan pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Pertumbuhan investasi melambat dari tingkat tertinggi selama beberapa tahun, sementara
konsumsi masyarakat dan pemerintah meningkat.
Defisit transaksi berjalan mengecil pada awal 2019 karena impor menyusut lebih cepat dari
ekspor akibat pertumbuhan investasi yang melambat.
Kondisi makro keuangan Indonesia telah membaik sejak November 2018. Aliran modal
masuk kembali pulih pasca gejolak keuangan global pada pertengahan 2018 ketika aliran
modal keluar dari negara-negara berkembang lebih besar dari pada saat tingkat suku
bunga di Amerika Serikat meningkat di tahun 2013.
Dengan nilai tukar mata uang yang relatif stabil, harga minyak yang rendah, dan harga
energi domestik yang stabil, inflasi turun menjadi rata-rata 2,6 persen pada kuartal pertama
2019, tingkat terendah sejak kuartal keempat 2009.
Selama ini, geliat ekonomi Indonesia lebih banyak berpusat di Pulau Jawa. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik (BPS), Jawa menyumbang HYPERLINK
"https://www.bps.go.id/pressrelease/2019/08/05/1621/ekonomi-indonesia-triwulan-ii-2019-tumbuh-5-05-
persen.html" \t "_blank" 59,11 persen HYPERLINK "https://www.bkkbn.go.id/po-content/uploads/Laporan-
4-Tahun-Jokowi-JK.pdf" \t "_blank" Membangun Papua untuk kemakmuran Rakyat" (PDF). Program
Jokowi untuk Papua antara lain membuka keterisolasian antardaerah melalui Jalan Trans Papua,
membangun bandara dan pelabuhan baru, hingga menaikkan rasio elektrifikasi PLN.
Sejumlah program lainnya, sementara itu, bertujuan untuk meningkatkan produksi daging dan
perkebunan rakyat, memberikan 10 persen divestasi Freeport untuk Papua, hingga membangun kawasan
zona industri. Tak ketinggalan, pemerintah juga meningkatkan pelayanan di bidang pendidikan dan
kesehatan di Pulau Papua.
Merujuk data dari BPS, tren pertumbuhan ekonomi di Papua dan Papua Barat meningkat positif, namun
kurang stabil. Belakangan, pertumbuhan ekonomi Papua dan Papua Barat malah minus.
Pertumbuhan ekonomi Papua pada kuartal II/2019 ini minus 23,98 persen dari periode yang sama tahun
lalu. Begitu pula Papua Barat. Pertumbuhan ekonomi di provinsi tersebut pada kuartal II/2019 juga turun
0,5 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
"Penurunan ini terutama disebabkan berkurangnya produksi bijih logam Freeport di Papua, di mana
sedang dalam masa transisi dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah Grasberg Block Cave
(GBC)," sebut BPS dalam HYPERLINK
"https://papua.bps.go.id/pressrelease/2019/08/05/384/pertumbuhan-ekonomi-papua-triwulan-ii-2019.html"
\t "_blank" rilisnya HYPERLINK "https://tirto.id/37-ribu-warga-nduga-papua-harus-mengungsi-akibat-
konflik-bersenjata-eggR" \t "_blank" mengungsi akibat konflik bersenjata antara aparat keamanan dengan
OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal menyatakan situasi rentan konflik dapat mengancam laju
pertumbuhan ekonomi di Bumi Cendrawasih. "Apalagi motor pertumbuhan ekonomi di Pulau Papua dari
sektor tambang juga sedang turun. Investasi baru tentu dibutuhkan untuk mengganti itu. Tapi, dengan
konflik yang berlarut-larut seperti ini, sulit untuk mengundang investor," katanya kepada Tirto.
Ia menambahkan pula bahwa konflik yang terjadi di Pulau Papua juga bisa jadi merupakan konsekuensi
dari, salah satunya, penurunan geliat ekonomi Papua dalam dua kuartal terakhir. Dalam jangka panjang,
konflik ini akan membuat ekonomi Papua semakin terpuruk.
Studi Akhiruddin Mahjuddin dari Universitas Indonesia bertajuk "Dampak Konflik terhadap Perkembangan
Ekonomi dan Tingkat Kesejahteraan Rakyat ( HYPERLINK "http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20314941-
T31788-Dampak%20konflik.pdf" \t "_blank" Studi Kasus Aceh