Pada uji asam sianida ini digunakan metode kromatografi kertas dimana
kertas saring yang telah dicelupkan dalam asam pikrat kemudian dikeringkan
setelah itu dicelupkan dalam larutan Na2CO3 dan kertas saring tersebut diletakkan
dalam tabung yang tertutup berisi sampel dan asam tartarat 5% yang dipanaskan.
Dalam suasana asam, uap dari sampel yang mengandung asam sianida akan
berikatan dengan pikrat dan menghasilkan warna merah muda pada bagian kertas
saring yang tercelup Na2CO3. terbentuknya warna merah muda pada kertas pikrat
menunjukkan sampel yang diuji mengandung asam sianida. Prinsip dari metode
kromatografi kertas ini adalah partisi multiplikatif senyawa antara dua cairan
yang saling tidak bercampur.
Asam fitat adalah senyawa anti nutrisi yang memiliki sifat chelating agent
yang mampu mengikat mineral, akibatnya pelepasan dan absorbsi mineral pangan
menurun. Degradasi asam fitat merupakan proses pemutusan ikatan gugus
myoinositol dengan gugus fosfat. Mineral yang terikat fitat akan terlepas dan
dapat dimanfaatkan oleh tubuh (Susanti, 2012)
Pada pengujian asam fitat ini digunakan sampel kacang tanah, beras, ketan,
dan kacang hijau dengan menggunakan metode spektrofotometri. Prinsip dari
penentuan kadar asam fitat adalah berdasarkan atas pengendapan asam fitat
sebagai garam Fe kemudian kadar diukur dengan menggunakan spektrofotometri.
Pada pratikum ini digunakan beberapa reagen yaitu HNO3, FeCl3, amil
alkohol, dan ammonium tiosianat. Menurut Vojtiskova (2012), pada perhitungan
asam fitat, reagen HNO3 berfungsi sebagai pengekstrak asam fitat dalam sampel.
Sedangkan, fungsi dari ammonium tiosianat adalah membentuk warna merah
muda pada larutan sampel. Perubahan warna ini menunjukkan adanya ion feri
fitat yang tidak terikat dengan asam fitat sehingga bereaksi dengan ammonium
sulfat membentuk warna merah muda. Sedangkan untuk FeCl3 menurut Sahni
(2000), penambahan FeCl3 adalah untuk mengendapkan dari senyawa asam fitat
yang telah diekstrak dari sampel. Menurut Talamond (1999), penambahan amil
alkohol berperan dalam memberikan intensitas warna merah yang akan diuji pada
spektrofotometer. Penggunaan pemanasan digunakan untuk memisahkan ion ferri
yang berada pada asam fitat. Selain itu penggunaan panas juga digunakan untuk
menguapkan air dalam filtrat.
Berdasarkan hasil pengamatan, kadar asam fitat pada sampel kacang tanah
sebesar 1249,9801 mg/g, pada sampel beras sebesar 3394,0201 mg/g. Sedangkan
kadar asam fitat pada sampel ketan dan kacang hijau tidak diketahui karena tidak
terdeteksi pada saat proses spektrofotometri. Hal ini tidak sesuai dengan teori
yang dinyatakan oleh Reddy et al. (1982) bahwa kacang – kacangan pada
umumnya mengandung asam fitat. Menurut Erdman (1979), besarnya kandungan
asam fitat dan sebarannya di dalam biji tergantung pada jenis biji – bijian tersebut.
Graff (1983) menyatakan, kadar asam fitat di dalam biji – bijian berkisar antara
0,8 – 5,3 % berat kering.
Asam fitat sebagian besar terakumulasi di lapisan aleuron dan hanya sedikit
terdapat di lembaga. Lapisan aleuron ini tersusun dari dua bagian, yaitu globoid
dengan kandungan fitat tinggi, dan lapisan kulit yang terdiri atas protein dan
karbohidrat. Hal ini akan berpengaruh pada jumlah fitat dari produk-produk
dengan metode penggilingan. Misalnya dedak mempunyai kandungan asam fitat
yang cukup tinggi, berbeda dengan produk tepung yang jumlah fitatnya lebih
kecil (Arinanti, 2005).
Senyawa fitat atau fitin merupakan inositol hexaphosphoriric acid yang
mengikat kalsium, magnesium dan terdapat hampir pada semua jenis
kacang-kacangan. Senyawa ini menyebabkan penurunan ketersediaan mineral
karena dapat membentuk kompleks dengan kalsium dan 70 magnesium melalui
mekanisme pengikatan kalsium dan magnesium. Asam fitat (IP6) adalah senyawa
cincin inositol tersubtitusi heksafosfat yang dalam bentuk terprotonasi memiliki
afinitas tinggi terhadap mineral divalen seperti Ca, Mg, Zn, Fe, Cu dan Co.
Kalsium atau Mg dari fitat adalah senyawa fosfat yang terdapat secara alami
dalam tanaman terutama serealia, kacang-kacangan dan biji-bijian berminyak
yang kadarnya bisa mencapai 5% berat basah ( Fitriana, 2001).
Asam fitat mengandung sekitar 70% fosfor sehingga asam fitat dapat menjadi
sumber fosfor. Namun, fosfor pada asam fitat sulit dicerna sehingga tidak dapat
dimanfaatkan oleh tubuh. Selain itu, asam fitat akan membentuk ikatan dengan
mineral bervalensi dua seperti Ca, Me dan Fe maupun protein menjadi senyawa
yang sukar larut. Hal ini akan menyebabkan mineral dan protein tidak dapat
diserap oleh tubuh karena menurunnya nilai cerna senyawa tersebut. Sifat asam
fitat ini disebut dengan rakhitogenik yaitu sifatnya yang membentuk garam tidak
larut yang mengakibatkan mineral-mineral tersebut tidak dapat diserap oleh
dinding usus Selain mengikat ion logam, asam fitat juga dapat berikatan dengan
protein membentuk senyawa yang tidak larut. Apabila keadaan kekurangan
mineral dan protein tersebut berlangsung lama, dapat menyebabkan gangguan
kesehatan, misalnya anemia zat besi, pertumbuhan yang tidak normal ataupun
penyakit rakhitis (Delliani 2008).
Kandungan asam fitat dalam bahan pangan dapat diturunkan atau bahkan
dihilangkan melalui berbagai macam metode pengolahan. Proses pengolahan
tersebut antara lain adalah perendaman, perkecambahan, perebusan, pemasakan
dan fermentasi (Yanuartono; dkk, 2017)
Asam oksalat adalah asam dikarboksilat yang hanya terdiri dari dua atom C
pada masing-masing molekul, sehingga dua gugus karboksilat berada
berdampingan. Karena letak gugus karboksilat yang berdekatan, asam oksalat
mempunyai konstanta disosiasi yang lebih besar daripada asam-asam organik
lain.
Pada uji asam oksalat ini digunakan bahan bayam yang diberi perlakuan
berbeda. Sampel yang digunakan adalah air rebusan bayam, bayam rebus, bayam
mentah, daun bayam disiram air panas, daun bayam mentah, dan tangkai daun
bayam mentah. Berdasarkan hasil pengamatan, kadar asam oksalat dengan kurva
standar diketahui jika kadar asam oksalat tertinggi adalah pada bayam mentah
(tanpa perlakuan) yaitu sebesar 8%. Sedangkan kadar asam oksalat terendah ada
pada air rebusan bayam dan batang bayam mentah yaitu sebesar 2%. Hal ini
sesuai dengan teori yang dinyatakan oleh Mardius (2007) yang menyatakan
bahwa kandungan kadar oksalat bertambah atau semakin banyak larut apabila
dibiarkan terlalu lama atau sayuran dipanaskan kembali.
Pada dasarnya sayur memang banyak mengandung vitamin, mineral, kalsium,
kalori, lemak dan kabohidrat. Selain mengandung gizi sayuran juga mengandung
zat anti gizi, seperti oksalat, Besi (III) Fe3+ dan ion nitrit NO2 yang bersifat racun
bagi tubuh, hal ini desebabkan oleh pengolahan yang kurang tepat, seperti
memasak terlalu lama dan membiarkannya terlalu lama setelah dimasak, ini bisa
menyebabkan meningkatnya kadar oksalat dalam sayur, dan berubahnya besi (II)
Fe+2 dua menjadi besi (III) Fe3+ dan berubahnya ion nitrat (NO3) menjadi nitrit
(NO2). Chamjangali (2006) memaparkan bahwa sayur bayam mengandung
oksalat dengan kadar oksalat 3,81 mg/L. Dasar yang digunakan untuk
menentukan kandungan oksalat pada bayam yang sudah dimasak adalah lamanya
penyimpanan setelah daun bayam dimasak yaitu lebih kurang 5 jam.
Asam oksalat membentuk garam netral dengan logam alkali (Na dan K),
yang larut dalam air (5-25 %), sementara itu dengan logam dari alkali tanah,
termasuk Mg atau dengan logam berat, mempunyai kelarutan yang sangat kecil
dalam air. Jadi kalsium oksalat secara praktis tidak larut dalam air
Asam oksalat dalam tubuh manusia membentuk senyawa yang tak larut dan
tidak dapat diserap tubuh. Senyawa ini menumpuk dan membentuk butiran yang
tajam dalam saluran kemih dan butiran ini apabila menumpuk terus menerus
maka akan terentuk batu di ginjal maupun di saluran kemih. Asam oksalat
bersama-sama dengan kalsium dalam tubuh manusia membentuk senyawa yang
tak larut dan tak dapat diserap tubuh, hal ini tak hanya mencegah penggunaan
kalsium yang juga terdapat dalam produk-produk yang mengandung oksalat,
tetapi menurunkan CDU dari kalsium yang diberikan oleh bahan pangan lain. Hal
tersebut menekan mineralisasi kerangka dan mengurangi pertambahan berat
badan (Ratnasari, 2014)
Daftar Pustaka
Arinanti, Margaretha, 2005. Aktivitas Antioksidan Komponen Fenolik dan Asam Fitat
pada Berbagai Jenis Kacang. Tesis Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Chamjangali, M.A, et al, 2006, Kinetic Spectrophotometric Method For The
Determination of Trace Amouns of Oxalate by an Activation Effect,
Analitycal Scienes, The Japan Society For Analitycal Chemestry
Deliani, 2008. Pengaruh Lama Fermentasi Terhadap Kadar Protein, Lemak,
Komposisi Asam Lemak dan Asam Fitat Pada Pembuatan Tempe. Tesis.
Universitas Sumatera Utara. Medan.
Erdman J.W. and K.E. Weingartner, 1979. Nutritional Implications. J. Am Oil Chem
Soc. 56:736 – 741.
Fitriana. 2001. Kajian Senyawa Asam Fitat, Antitripsin dan Antioksidan dalam Biji
Kacang Gude(Cajanus Cajan L.), Biji Kapri (Pisum Sativum L), dan Biji
Koro Hitam (Lablab Purpureus L). Skripsi Jurusan TPHP FTP UGM.
Yogyakarrta.
Graff, E. 1983. Aplication of Phytic Acid. J. Am. Oil Soc. 60 : 1861 -1867.
Mardius S, dkk, 2007, Pemeriksaan Kadar Oksalat Dalam Daun Singkong (Manihot
Utillissima), Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi
Nurfadila A. 2017. Pembuatan Asam Oksalat(H2C2O4) Dari Limbah Batang Pisang
Kepok (Musa paradisiaca L.) Dengan Metode Peleburan Alkali
Ratnasari, Dessy. “Pembuatan Asam Oksalat dari Kulit Singkong dengan Variasi
Konsentrasi HNO3 dan Lama Pemanasan Pada Proses Hidrolisis”. Skripsi,
Palembang: Politeknik Negeri Seriwijaya (2014): h. 1-34.
Reddy, N. R. and D. K. Salunkhe. 1981. Interaction Between Phytate, Protein, and
Mineral in Whey Fraction of Black Gram. Journal Food and Science. (46) (2).
Page 564-567.
Sahni S., S. Tickoo, Sindhu V. K. dan H. B. Singh. 2000. Development of Technology
for Detoxification of Indian Mustard Deolid Cake for Poultry and Livestock
Consumption. Science Article of Feed and Industrial RAW Material
Susanti E. R. 2012. Degradasi Asam Fitat pada Kambing Peranakan Etawah Laktasi
yang Mendapat Ransum Bersuplemen Kedelai Sangrai, Vitamin dan Mineral.
Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Talamond, Pascale, Sylvie D., Isabelle R., Jean-Pierre G., dan Serge T. 1999.
Anion-exchange High-perfomance Liquid Chromatography with
Conductivity Detection for the Analysis of Phytic Acid in Food. Journal of
Chromatography A Vol. 1(2)
Vojtiska P., S Kracmar dan I. Hoza. 2010. Content of Phytic Acid on The Nutritional
Value of Foodstuffs. Doctoral Thesis Chemistry and Food Technology
Tomas Bata University