Anda di halaman 1dari 9

KONSUMSI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

AIK 4 –Islam dan Ekonomi

Dosen Pengampu

Bpk. Hamron Z,M.Si

Disusun Oleh :

Fauzan Rukmana 15.0102.0210

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

TAHUN 2017/2018
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari


kegiatan konsumsi. Sebab manusia memiliki kebutuhan yang perlu dipenuhi, sehingga
melakukan kegiatan konsumsi. Tetapi tidak semua kebutuhan dapat terpenuhi.
Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan
rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat
mencukupi kebutuhan pokoknya.

Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis akan menjelaskan pengertian dari
konsumsi, konsep maslahah dalam perilaku konsumen islam, perilaku konsumen islam,
serta tujuan konsumsi.

Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian dari konsumsi?

2. Bagaimana konsep maslahah dalam perilaku konsumen islam?

3. Bagaimana perilaku konsumen islam?

4. Apa tujuan dari konsumsi?


PEMBAHASAN

TEORI KONSUMSI ISLAM

A. Pengertian Konsumsi

Konsumsi, dari bahasa Belanda consumptie, ialah suatu kegiatan yang


bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa
barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung.
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

B. Konsep Maslahah Dalam Perilaku Konsumen Islam

Maslahah merupakan tujuan hukum syara’ yang paling utama. Menurut


Imam Syabiti, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang atau jasa yang
mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia dimuka bumi
ada 5 elemen dasar menurut beliau yakni, kehidupan/jiwa, properti atau harta benda,
keyakinan, intelektual, dan keluarga/keturunan.
Kegiatan-kegiatan ekonomi meliputi produksi, konsumsi dan pertukaran
yang menyangkut maslahah tersebut harus dikerjakan sebagai suatu “religious
duty”.
Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat,
baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Tidak semua barang/jasa yang memberikan kepuasan atau utility
mengandung maslahah didalamnya, sehingga tidak semua barang/jasa dapat dan
layak dikonsumsi oleh umat islam. Kita perlu membandingkan tingkatan-tingkatan
tujuan hukum syara’, yakni:
 Daruriyyah: merupakan tujuan yang harus ada dan mendasar bagi
penciptaan kesejahteraan didunia dan akhirat, yaitu mencakup
terpeliharanya lima elemen dasar kehidupan yakni jiwa, keyakinan
atau agama, akal/intelektual, keturunan dan keluarga serta harta
benda.
 Hajiyyah: bertujuan memudahkan kehidupan dan menghilamgkan
kesempitan.
 Tahsiniyyah: syariah menghendaki kehidupan yang indah dan
nyaman didalamnya.

Islam memberikan arahan yang sangat indah dengan memperkenalkan


konsep israf (berlebih-lebihan) dalam membelanjakan harta dan tabzir.

Islam memperingatkan agen ekonomi agar jangan sampai terlena dalam


berlomba-lomba dalam mencari harta (at-takaatsur). Islam membentuk jiwa dan
pribadi yang beriman, bertakwa, bersyukur, dan menerima pola hidup
konsumtivisme seperti diatas tidak pantas dan tidak selayaknya dilakukan oleh
pribadi yang beriman dan bertakwa. Satu-satunya gaya hidup yang cocok adalah
hidup sederhana dalam pengetian yang benar secara syar’i.

Islam mengajarkan kepada kita agar pengeluaran rumah tangga muslim lebih
mengutamakan kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Setidaknya
terdapat tiga kebutuhan pokok:

 Pertama adalah kebutuhan primer, yakni nafkah-nafkah pokok bagi manusia


yang dapat mewujudkan lima tujuan syariat. Kebutuhan ini meliputi kebutuhan
akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan, dan
pernikahan.
 Kedua adalah kebutuhan sekunder, yakni kebutuhan manusia untuk
memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan. Kebutuhan ini tidak perlu
dipenuhi sebelum kebutuhan primer terpenuhi.
 Ketiga adalah kebutuhan pelengkap, yaitu kebutuhan yang dapat menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia.

Untuk mewujudkan lima syariat ini, ibu rumah tangga harus disiplin dalam
menempatkan skala priorotas kebutuhan tadi, sesuai dengan pendapatan yang
diperoleh suaminya. Meski satu rumah tangga sudah mampu memenuhi sampai
kebutuhan ketiga atau pelengkap, islam tetap tidak menganjurkan, bahkan
mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan terkesan mewah.

C. Perilaku Konsumen Islam


Berbeda dengan konsumen konvensional, seorang muslim dalam penggunaan
penghasilannya memiliki 2 sisi, yaitu pertama untuk memenuhi kebutuhan diri dan
keluarganya dan sebagiannyalagi untuk dibelanjakan dijalan Allah.

1. Model keseimbangan konsumsi islam


Keseimbangan konsumsi dalam ekonomi islam didasarkan pada prinsip keadilan
distribusi. Dalam ekonomi islam, kepuasan konsumsi seorang muslim
bergantung pada nilai-nilai agama yang diterapkan pada rutinitas kegiatannya,
tercermin pada alokasi uang yang dibelanjakannya.

2. Batasan konsumsi dalam syari’ah


Dalam islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan
keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara
pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan
sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk
kepuasan material maupun spiritual.
Batasan konsumsi dalam islam tidak hanya memperhatikan aspek halal-
haram saja tetapi termasuk pula yang diperhatikan adalah yang baik, cocok,
bersih, tidak menjijikkan. Larangan israf dan larangan bermegah-megahan.
Begitu pula batasan konsumsi dalam syari’ah tidak hanya berlaku pada
makanan dan minuman saja. Tetapi juga mencakup jenis-jenis komoditi lainnya.
Pelarangan atau pengharaman konsumsi untuk suatu komoditi bukan tanpa
sebab.
Pengaharaman untuk komoditi karena zatnya karena antara lain memiliki
kaitan langsung dalam membahayakan moral dan spiritual.

D. Tujuan Konsumsi
Tujuan konsumsi sesorang dalam ajaran Islam antara lain:
1. Untuk mengharap ridha Allah SWT.
Tercapainya kebaikan dan tuntutan jiwa yang mulia harus direalisasikan
untuk mendapatkan pahala dari Allah SWT. Allah telah memberikan tuntutan
kepada para hamba-Nya agar menjadikan alokasi dana sebagai bagian dari amal
sholeh yang dapat mendekatkan seorang muslim kepada Tuhannya dan untuk
mendapatkan surga dengan segala kenikmatan yang ada didalamnya.
Sebagaimana irman Allah SWT dalam surat Al Qashash ayat 77

‫ك ِ لولل تلربإغ ارلفللساَلد إفيِ ارللرر إ‬


‫ض ِ إإنن‬ ‫ك إملن الددرنلياَ ِ لوألرحإسرن لكلماَ ألرحلسلن ن‬
‫اا إإللري ل‬ ‫اا الندالر ارلإخلرةل ِ لولل تلرن ل‬
‫س نل إ‬
‫صيبل ل‬ ‫ك ن‬ ‫لواربتلإغ إفيلماَ آلتاَ ل‬
‫ب ارلامرفإسإديِلن‬‫ال لل يِاإح د‬ ‫ن‬

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah
berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.”

2. Untuk mewujudkan kerja sama antaranggota masyarakat dan tersedianya


jaminan sosial.
Mengulurkan bantuan makanan kepada orang yang kelaparan merupakan
perbuatan utama yang didalamnya terkandung nilai tolong-menolong
antarmanusia dan mengokohkan pondasi jaminan diantara mereka. Meniadakan
perbuatan saling menolong, menghilangkan eksistensinya dan membiarkan
manusia tidak mendapatkan jaminan akan mengantarkan pelaku pada siksaan
dunia dan akhirat yang paling pedih.

3. Untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab individu terhadap kemakmuran diri,


keluarga dan masyarakat sebagai bagian aktivitas dan dinamisasi ekonomi.
Islam telah member kewajiban adanya pemberian nafkah terhadap beberapa
kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori saudara dan yang
digolongkan sebagai saudara. Penjelasannya terdapat pada Q.S. Al-Baqarah ayat
232.

‫ف ِ ذلذلإ ل‬
‫ك ايِوُلعظا بإإه لمرن لكاَلن‬ ‫ضروُا بلرينلهارم إباَرللمرعارو إ‬
‫ضالوُهانن ألرن يِلرنإكرحلن ألرزلوالجهانن إإلذا تللرا ل‬ ‫طلنرقتاام الننلساَلء فلبلللرغلن أللجللهانن فللل تلرع ا‬ ‫لوإإلذا ل‬
‫اا يِلرعللام لوألرنتارم لل تلرعللاموُلن‬ ‫إمرناكرم يِارؤإمان إباَنلإ لوارليلروُإم ارلإخإر ِ ذلذلإاكرم ألرزلكذى للاكرم لوأل ر‬
‫طهلار ِ لو ن‬

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka


janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma
´ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

4. Untuk meminimalisasi pemerasan dengan menggali sumber-sumber nafkah.


Negara mempunyai kewajiban untuk menjaga media dan sumber nafkah
yang sangat banyak, baik dengan membuka lapangan kerja, meningkatkan upah,
dan juga dengan memenuhi kebutuhan orang-orang yang masih kekurangan.
Demikian juga kewajiban kaum yang berharta untuk memberikan nafkah akan
memperbanyak sisi penting dalam kehidupan. Dengan segala siklusnya, hal ini
akan menutupi kekurangan dan memenuhi berbagai kebutuhan banyak keluarga.
Mereka tidak lagi membutuhkan harta yang diambil dari zakat sebagai bentuk
jaminan sosial antarmasyarakat. Pada kondisi tersebut, zakat hanya dikhususkan
bagi kaum miskin dan mereka yang membutuhkan yang tidak mempunyai
keluarga.

5. Supaya Negara melakukan kewajibannya terhadap warga Negara yang masih


miskin.
Negara lebih banyak memiliki kesempatan untuk mengambil peran dengan
jalan:
a. Penyediaan lapangan kerja bagi para pengangguran.
b. Pemberian nafkah kepada golongan masyarakat yang tidak memiliki sumber
penghasilan serta tidak ada orang yang menjamin nafkahnya. Golongan yang
termasuk kategori ini adalah orang yang sakit, gila, manula, anak kecil yang
tidak memiliki keluarga, dan lainnya.
c. Menyediakan pendidikan dan sarana kesehatan secara gratis, karena
sesungguhnya penyakit dan kebodohan merupakan musuh bersama suatu
bangsa.
d. Penyediaan tempat tinggal untuk menampung orang-orang lemah, orang-orang
jompo, orang gila, dan orang-orang yang terganggu mentalnya.
e. Negara harus menanggung masyarakat berkekurangan yang terancam oleh
adanya bahaya kelaparan, tertimpa wabah penyakit, kehilangan hak-hak, sarana
beribadah, dan sebagainya.

PENUTUP

Kesimpulan
Setiap manusia pasti akan melakukan konsumsi untuk memenuhi kenutuhannya.
Namun, dalam memenuhi kebutuhan kita harus bisa memprioritaskan barang yang memang
kita perlukan atau hanya yang kita butuhkan.
Dalam islam, kita tidak diperbolehkan untuk membelanjakan uang secara
berlebihan. Islam mengajarkan kepada kita agar pengeluaran muslim lebih mengutamakan
kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat.

Anda mungkin juga menyukai