Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Virus Epstein-Barr (EBV) adalah herpes virus yang terdapat dimana-mana dan
merupakan agen penyebab mononucleosis infeksius akut, karsinoma nasofaring,
limfoma Burkitt, dan gangguan limfoproliferatif lain pada orang dengan defisiensi
imun. 1

EBV biasanya ditularkan melalui saliva yang terinfeksi dan memulai infeksi di
orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel epitel (atau limfosit B permukaan) faring dan
kelenjar saliva. Banyak orang melepaskan virus dalam jumlah sedikit selama beberapa
minggu hingga bulan setelah terinfeksi. Sel B yang terinfeksi menyebarkan infeksi dari
orofaring ke seluruh tubuh. Pada orang normal kebanyakan sel yang terinfeksi virus
dieliminasi, tetapi sejumlah kecil limfosit yang terinfeksi secara laten menetap seumur
hidup di dalam pejamu. 1

Infeksi EBV dapat mencetuskan respon imun yang hebat yang terdiri dari antibody
terhadap banyak protein spesifik virus, sejumlah respon selular, dan sekresi limfokin.
Imunitas selular dan sel T sitotoksol penting dalam membatasi infeksi primer dan
mengendalikan infeksi kronik. Pemeriksaan serologi untuk menentukan pola antibody
spesifik untuk kelas antigen EBV yang berbeda merupakan tindakan yang lazim untuk
memastikan status pasien yang berhubungan dengan infeksi EBV. 1

Gejala pada infeksi mononucleosis ditandai dengan adanya faringitis, pembesaran


kelenjar getah bening, kelelahan, dan demam. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia
tanpa musiman dan paling sering didapatkan pada remaja dan dewasa muda dari negara
maju. Cara penularan virus EBV pada remaja muda dan dewasa belum diketahui, bias
terjadi karena terinfeksi dari orang tua atau saudara yang terkena virus EBV pada sekret
oral. 2

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Faring


Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan esofagus pada ketinggian tulang rawan krikoid. Bila
terjadi radang disebut pharyngitis. Faring dibagi menjadi 3 bagian yaitu
nasofaring, orofaring, dan laringofaring. 3

Gambar 1. Cavitas oris, pharynx, dan larynx potongan sagital.

2
A. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah
adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke belakang
adalah vertebra servikal. 4
Nasofaring yang relative kecil, mengandung serta berhubungan erat
dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada
dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller,
kantong Rathke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan
kartilago tuba eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui n.
glosofaring, n. vagus, dan n. asesorius spinal saraf kranial dan vena jugularis
interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba
eustachius. 4
Nasofaring dilapisi oleh sel epitel respiratorik dan memiliki tonsil
pharyngealis di media dan muara bilateral tuba auditorius untuk setiap telinga
tengah. 2

B. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, ke depan adalah rongga mulut,
sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. 4
Struktur yang terdapat pada rongga orofaring adalah dinding posterior
faring, tonsil palatine, fossa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior,
uvula, tonsil lingual dan foramen sekum. 4
 Dinding posterior faring
Secara klinik dinding posterior faring penting karena ikut terlibat pada
radang akut atau radang kronik faring, abses retrofaring, serta gangguan

3
otot-otot di bagian tersebut. Gangguan otot posterior faring bersama-sama
dengan otot palatum mole berhubungan dengan gangguan n. vagus. 4
 Fossa tonsil
Fossa tonsil dibatasi oleh arkus faring anterior dan posterior. Batas
lateralnya adalah m.konstriktor faring superior. Pada batas atas yang
disebur kutub atas (upper mole) terdaoat suatu ruang kecil yang
dinamakan fossa supratonsil. Fossa ini berisi jaringan ikat jarang dan
biasanya merupakan tempat nanah memecah keluar bila terjadi abses.
Fossa tonsil diliputi oleh fasia yang merupakan bagian dari fasia
bukofaring, dan disebut kapsul yang sebenarnya bukan merupakan kapsul
yang sebenarnya. 4
 Tonsil
Tonsil merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan
ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya. 4
Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil
palatine, dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran
yang disebut cincin Waldeyer. Tonsil palatine yang biasanya disebut
tonsil saja terletak di dalam fossa tonsil. Pada kutus atas tonsil seringkali
ditemukan celah intratonsil yang merupakan sisa kantong faring yang
kedua. Kutub bawah tonsil biasanya melekat pada dasar lidah. Permukaan
medial tonsil bentuknya beraneka ragam dan mempunyai celah yang
disebut kriptus. Epitel yang melapisi tonsil ialah epitel skuamosa yang
juga meliputi kriptus. Di dalam kriptus biasanya ditemukan leukosit,
limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa makanan. Permukaan
lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering juga disebut kapsul
tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring, sehingga mudah
dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat darah dari a.
palatine minor, a. palatine asendens, cabang tonsil a. maksila eksterna, a.

4
faring asendens dan a. lingualis dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar
lidah dan dibagi mejadi dua oleh ligamentum glosoepiglotika. Di garis
tengah, di sebelah anterior massa ini terdapat foramen sekum pada apeks,
yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-
kadang menunjukkan penjalaran duktus tiroglosus dansecara klinik
merupakan tempat penting bila ada massa tiroid lingual bila ada massa
tiroid lingual atau kista duktus tiroglosus. 4

C. Laringofaring
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis, batas
anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas posterior
adalah vertebra servikal. Bila lariongofaring diperiksa dengan kaca tenggorok
pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada
pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama yang tampak di bawah
dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan dua buah cekungan yang
dibentuk oleg ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi. Valekula
disebut juga “kantong pil” (pill pockets), sebab pada beberapa orang, kadang-
kadang bila menelan pil akan tersangkut disitu. 4
Di bawah valekula terdapat epiglottis. Pada bayi epiglottis ini terbentuk
omega dan pada perkembangannya akan lebih melebar, meskipun kadang-
kadang bentuk infantile (bentuk omega) ini tetap sampai dewasa. Dalam
perkembangannya, epiglotis ini dapat menjadi demikian lebar dan tipisnya
sehingga pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung tampak pita suara.
Epiglottis berfungsi juga untuk melindungi glottis ketika menelan minuman
atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan
ke esofagus. 4
Nervus laring superior berjalan di bawah dasar sinus piriformis pada tiap
sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada pemberian analgesia
local di faring dan laring pada tindakan laringoskopi langsung. 4

5
Gambar 2. Nasofaring, Orofaring, dan Laryngofaring.

2.2. Fisiologi Faring


Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,
resonansi suara, dan untuk artikulasi. 4
A. Respirasi
Pernafasan adalah proses inspirasi udara kedalam paru-paru dan ekspirasi
udara dari paru-paru ke lingkungan luar tubuh. Inspirasi terjadi bila muskulus
diafragma telah dapat rangsangan dari nervus pernikus lalu mengkerut datar.
Saat ekspirasi otot akan kendor lagi dan dengan demikian rongga dada
menjadi kecil kembali maka udara didorong keluar. Jadi proses respirasi
terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara rongga pleura dan paru-paru.3
B. Menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal, dan
fase esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan

6
disini disengaja (voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transpor bolus
makanan melalui faring. Gerakan disini tidak sengana (involuntary). Fase
esofagal gerakannya tidak disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan
bergerak secara peristaltic di esofagus menuju lambung. 4
Makanan melewati epiglottis lateral melalui ressus piriformis masuk ke
esofagus tanpa membahayakan jalan udara. Gerakan menelan mencegah
masuknya makanan ke jalan udara, pada waktu yang sama jalan udara ditutup
sementara. Permulaan menelan, otot mulut dan lidah konstraksi secara
bersamaan. 3
C. Proses bicara
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpadu dari otot-otot
palatum dan faring. Gerakan ini anatara lain berupa pendekatan palatum mole
kearah dinding belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat
dan melibatkan mula-mula m.salpingofaring dan m.palatofaring, kemudian
m.levator veli palatine bersama-sama m.konstriktor faring superior. Pada
gerakan penutupan nasofaring m.levator veli palatine menarik palatum mole
ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak yang tersisa
ini diisi oleh tonjolan (fold of) passavant pada dinding belakang faring yang
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil
gerakan m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif
m.konstriktor faring superior. Mungkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada
waktu yang bersamaan. 4

7
BAB III

INFEKSI MONONUKLEOSIS

3.1. Definisi
Mononucleosis infeksiosa (“mono”, “kissing disease”) adalah penyakit infeksi
akut yang ditandai oleh demam, malaise, somnolen, pembesaran limfonodus
(khususnya daerah servikal posterior), dan sediaan apus darah tepi menunjukkan
limfositosis dengan gambaran limfosit abnormal. Penyebab perantara dipikirkan
adalah virus, yang paling mungkin adalah virus Epstein-Barr (EBV) atau
sitomegalovirus. 5
Infeksi mononukleus adalah sindroma klinis yang disebabkan oleh Epstein-Barr
virus (EBV) yang menyerang anak-anak dan remaja. Gambaran khas infeksi
mononucleosis yaitu faringitis, adenopati, malaise, dan limfositosis atipikal.
Splenomegaly, hepatomegaly, ikterus dapat terjadi pada pasien dengan infeksi
mononucleosis, tetapi komplikasi ini jangan terjadi. 6

3.2. Epidemiologi
Infeksi virus ini terjadi di seluruh dunia, dan kebanyakan orang terinfeksi oleh
EBV selama mereka hidup. Mayoritas infeksi primer EBV seluruhnya terjadi
secara subklinik. Studi seroepidemis menunjukkan sekitar 90-95% manusia di
seluruh dunia terinfeksi EBV. Pada grup dengan sosioekonomi rendah dan di area
dengan higenitas rendah, EBV cenderung menginfeksi anak-anak dengan usia dini
dengan gejala yang tidak umum infeksi mononucleosis. Pada grup dengan
sosioekonomi dengan standar higenitas yang lebih tinggi, infeksi EBV lebih sering
tertunda sampai remaja dengan infeksi mononucleosis yang lazim. Infeksi
mononucleosis dianggap sebagai penyakit untuk orang dewasa muda. 7

8
3.3. Etiologi
Penularan EBV terjadi terutama melalui paparan air liur yang terinfeksi, sering
terjadi karena berciuman. Virus ini juga telah dilaporkan bahwa ada di secret pada
kelamin laki-laki maupun perempuan, dan dapat muncul karena transmisi dari
hubungan seksual. Waktu inkubasi 4-8 minggu. 7
EBV berperan penting dari faktor lingkungan. Terpapar banyak karsinogen
lingkungan berperan dalam kecenderungan peningkatan insiden kanker. 8 EBV
adalah anggota keluarga virus herpes di bawah subfamily gamma Herpesviridae
dengan limfoproliferatif potensial tumbuh melimpah di jaringan limfoid. 9

3.4. Penularan
Berciuman adalah rute transmisi penyebaran infeksi EBV terbesar pada remaja
dan dewasa muda. Penetrasi hubungan seksual dapat meningkatkan resiko
penularan. Selain dari berciuman, infeksi primer EBV dapat transmisi dari
transfusi darah, transplantasi organ, tetapi jarang untuk kasus seperti ini. 10
EBV biasanya ditularkan melalui saliva yang terinfeksi dan memulai infeksi di
orofaring. Replikasi virus terjadi pada sel epitel (atau limfosit B permukaan) faring
dan kelenjar saliva. Banyak orang melepaskan virus dalam jumlah sedikit selama
beberapa minggu hingga bulan setelah infeksi. Sel B yang terinfeksi menyebarkan
infeksi dari orofaring ke seluruh tubuh. Pada orang normal, kebanyakan sel yang
terinfeksi virus dieliminasi, tetapi sejumlah kecil limfosit yang terinfeksi secara
laten menetap seumur hidup di dalam pejamu (satu dari sel B 105 – 106). 1

3.5. Patogenesis
Sel target utama EBV adalah limfosit B. bila limfosit B manusia terinfeksi
EBV, jalur sel kontinu dapat terbentuk, menunjukkan bahwa sel mengalami
imortalisasi oleh virus. Sedikit sekali sel yang immortal menghasilkan virus yang
infeksius. Selama infeksi primer, replikasi virus pertama kali terdeteksi di rongga
mulut. 1

9
Melalui saluran pernafasan, virus mendapatkan akses ke sel epitel faring
melalui reseptor CR 2 (atau CD 21). Mereka berkembang biak secara lokal,
menyerang aliran darah dan menginfeksi limfosit B dimana terdapat 2 jenis
produksi. Kebanyakan kasus virus pada masa laten masuk di dalam limfosit, yang
bertransformasi sehingga mereka mampu tumbuh secara in vitro. Mereka secara
poliklonal mengaktifasi dengan memproduksi banyak jenis immunoglobulin. Pada
titik tertentu selama masa inkubasi, virus bergerak dari rongga mulut ke darah.
Respons interferon tipe I terdeteksi oleh profil ekspresi gen sekitar 2 minggu
sebelum timbulnya gejala pada beberapa subjek yang mengalami infeksi EBV
primer. Genom virus kadang-kadang dapat dideteksi dalam darah perifer paling
cepat tiga minggu sebelum timbulnya gejala dan secara konsisten setidaknya satu
minggu sebelum penyakit. 9
Ketika EBV dimasukkan ke dalam orofaring, virus memulai proses replikasi.
Ada kecenderungan untuk infeksi sel B dari jaringan limfoid. Selanjutnya, infeksi
menyebar melalui system limfatik. Tubuh bereaksi dengan mengembangkan
antibodi terhadap virus. Dalam 90% atau lebih kasus, antibody heterofil diproduksi
sebagai respons terhadap infeksi dengan EBV. EBV adalah infeksi seumur hidup
dengan reaktivasi berkala. Dalam system respons imun yang buruk, ada resiko
kecil keganasan yang disebabkan EBV, seperti limfoma Hodgin. 11
Reaktivasi pada infeksi EBV laten dapat terjadi, dibuktikan dengan
meningkatnya kadar virus dalam saliva dan DNA dalam sel darah. Reaktivasi ini
secara klinis biasanya tidak terlihat. Imunosupresi diketahui menimbulkan
reaktivasi infeksi, kadang-kadang dengan akibat yang serius. 1
EBV dikenal sebagai penyebab limfoma Burkitt, karsinoma nasofaring,
penyakit Hodgin, dan beberapa limfoma lain. Serum dari pasien limfoma Burkitt
atau karsinoma nasofaring mengandung peningkatan kadar antibody terhadap
antigen yang spesifik virus, sedangkan jaringan tumor mengandung DNA EBV
dan menunjukkan gen virus dalam jumlah terbatas. Limfoma sel B terkait EBV
merupakan komplikasi pada pasien dengan defisiensi imun. 1

10
3.6. Diagnosis
A. Anamnesis
Gejala yang terjadi setelah masa inkubasi tidak spesifik. Gejala masa
prodromal seperti lelah, malaise, dan mialgia dapat berlangsung selama 1-2
minggu sebelum timbul demam, sakit tenggorokan, dan limfadenopati.
Demam, limfadenopati, dan faringitis adalah gejala pada 2 minggu pertama,
sedangkan splenomegaly lebih menonjol selama minggu kedua dan ketiga.
Gejala faringitis dapat bervariasi dari eritema ringan hingga eksudat tebal
berwarna abu-abu pada tenggorokan. 5
Sebagian besar orang dewasa muda terkena infeksi mononucleosis setelah
terinfeksi EBV primer. Tanda dan gejala yang paling sering adalah: sakit
tenggorokan (95%), limfadenopati servikal (80%), kelelahan (70%), gejala
pernafasan atas (65%), sakit kepala (50%), nafsu makan berkurang (50%),
demam (47%), dan mialgia (45%). Sebagian besar temuan bertahan 10 hari
atau kurang, tetapi kelelahan dan limfadenopati serviks sering bertahan selama
setidaknya 3 minggu. 2
B. Pemeriksaan Fisik THT
Pada pemeriksaan fisik didapatkan eksudat “whitewash” pada pemeriksaan
tonsil pada infeksi mononucleosis untuk membedakan bintik-bintik eksudat
pada tonsillitis bacterial dan eritema pada faringitis viral. 11

Gambar 3. Infeksi yang disebabkan bakteri Streptococcus. 12

11
Terdapat lymphadenopathy di anterior dan posterior pada segitiga dari
leher, yang membedakan infeksi mononucleosis dan tonsillitis bakteri karena
biasanya terdapat pada submandibullar. 12
Virus Epstein-Barr mempunyai khas petekiae pada palatum, pertemuan
kedua palatum yaitu palatum durum dan palatum mole, dan terjadi 25-60%
kasus. 12

Gambar 4. Petekiae di palatum karena EBV. 12


C. Pemeriksaan Fisik non THT
Pada infeksi mononucleosis kadang-kadang terdapat edema pada
preorbital. Pada 90% pasien yang terserang EBV yang mengkonsumsi
amoxicillin dan ampicillin terdapat rash maculopapular. 12

Gambar 5. Edema periorbital pada EBV. 12

12
Gambar 6. Rash maculopapular dengan pengobatan amoxicillin. 12
Pasien dengan infeksi mononucleosis kebanyakan mengalami
splenomegaly. Walaupun tidak semua pasien saat pemeriksaan fisik terdapat
pembesaran limpa. Beberapa studi mengatakan bahwa pasien yang dirawat
inap dengan infeksi mononucleosis dan penyakit berat penyerta didapatkan
splenomegaly pada USG, dan beberapa juga mengalami hepatomegaly. Hanya
17% dengan splenomegaly dan 8% hepatomegaly pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik. 6

D. Pemeriksaan Penunjang
Uji laboratorium termasuk hitung darah lengkap dan sediaan apus dengan
pemeriksaan limfosit tidak khas. Pada awalnya mungkin terdapat peningkatan
jumlah sel darah putih dengan lebih banyak neutrophil, tetapi kemudian diikuti
oleh leukositosis limfositik. Uji slide “mono spot” adalah positif, dan ketika
uji antibody heterofil dilakukan ternyata titernya melebihi 1:60. 5
Evaluasi laboratorium paling umum akan mengungkapkan limfositosis,
dengan diferensial limfosit sering lebih besar dari 50%. Limfositosis atipikal
lebih besar dari 10% dapat dilihat pada apusan darah. Leukositosis umum dan
kadang-kadang trombositopenia. Tanda khas yang lain ialah kesanggupan
serum pasien untuk beraglutinasi terhadap sel arah merah domba (reaksi Paul
Bunnel). 13

13
Tes monospot (atau antibody heterofil) untuk mononucleosis adalah tes
diagnostic pilihan dan hampir 100% spesifik untuk penyakit ini. Sensitivitas
tes ini mendekati 85%. Jika pasien pada awal penyakit, tes mungkin negative
palsu, dan harus diulang kemudian selama perjalanan penyakit. Jika
diagnosisnya tidak jelas, pasien juga harus menjalani evaluasi infeksi
streptokokus dengan tes antigen cepat atau biakan tenggorokan. 5
Tes heterofil menggunakan salah satu dari sejumlah kit antibody yang
tersedia secara komersial paling sering dilakukan untuk mendukung diagnosis
klinis. Tes heterofil relatif murah dan mudah dilakukan, namun antibody
heterofil menurut definisi tidak spesifik, antobodi kelas IgM yang diarahkan
melawan eritrosit mamalia. Tes heterofil positif palsu telah dilaporkan dalam
berbagai kondisi termasuk infeksi akut lainnya, penyakit autoimun, dan
kanker. 10
Tes heterofil adalah metode praktis untuk memastikan diagnosis klinis,
namun mempunyai kekurangan. Sekitar 40% anak-anak berusia 4 tahun atau
lebih muda tidak mengembangkan antibodi heterofil setelah terinfeksi EBV
primer. Jika heterofil adalah satu-satunya tes yang digunakan, diagnosis akan
terlewatkan. Kedua, antibodi heterofil tidak spesifik dan mungkin pada infeksi
disebabkan oleh pathogen lain, keganasan, dan penyakit autoimun. Akhirnya,
antibodi heterofil dapat bertahan selama satu tahun atau lebih dan oleh karena
itu tidak selalu menjadi diagnostic infeksi EBV akut. 2
Tes antibody spesifik yang paling berguna adalah VCA IgM, VCA IgG,
dan EBNA-1 IgG yang biasanya diukur menggunakan platform immunoassay
enzim. Tes antibody spesifik EBV memiliki sensitivitas lebih tinggi 97% (95-
99%) dan spesifisitas 94% (86%-100%) tetapi juga tes yang paling mahal
untuk mendiagnosis infeksi mononukleasis. IgM terhadap biasanya muncul
pada awal infeksi dan menghilang 4-6 minggu. Antibody IgM tidak dapat
mendeteksi pada infeksi kronis, sehingga hamper di diagnosis infeksi EBV
primer. 2

14
Antibody IgG terhadap EBNA biasanya tidak terdeteksi 6-12 minggu
setelah onset infeksi mononucleosis karena hanya muncul ketika virus menjadi
laten, dan bertahan selama hidup. Semua pasien dengan infeksi mononucleosis
mengembangkan antibody IgG ke VCA, jadi ini adalah tes laboratorium
terbaik untuk mendokumentasikan infeksi EBV sebelumnya. Antibodi IgG
antigen awal (EA) bukan diagnostic infeksi EBV primer karena hanya 60-80%
pasien positif selama penyakit akut dan antibody ini dapat ditemukan pada
20% orang sehat. 2

Tabel 1. Diagnosis Laboratorium Infeksi Mononukleosis. 7


a) Isolasi dan Identifikasi Virus
Hibridisasi asam nukleat merupakan cara yang paling sensitive dalam
mendeteksi EBV pada bahan dari pasien RNA EBER sangat banyak
diekspresikan pada sel yang terinfeksi secara laten maupun litik dan
merupakan target diagnostik yang bermanfaat untuk mendeteksi sel yang
terinfeksi EBV melalui hibridisasi. Antigen virus dapat ditunjukkan secara
langsung pada jaringan limfoid dan karsinoma nasofaring. Selama fase
akut infeksi, sekitar 1% limfosit dalam sirkulasi mengandung penanda
EBV, setelah pulih dari infeksi, sekitar satu dari 1 juta limfosit B akan
membawa virus. 1

15
EBV dapat diisolasi dari saliva, darah perifer, atau jaringan limfoid
dengan imortalisasi limfosit manusia normal, biasanya diperoleh dari darah
tali pusat. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan di laboratorium,
membutuhkan waktu yang lama (6-8 minggu), memerlukan fasilitas
khusus, dan jarang dilakukan. Kultur limfosit B yang ditransformasi secara
spontan dari DNA EBV atau pasien yang terinfeksi virus juga mungkin
dilakukan. Setiap agen penyebab imortalisasi dipastikan sebagai EBV
dengan deteksi DNA EBV atau atigen spesifik virus pada limfosit yang
mengalami imortalisasi, EBV terdapat dalam saliva pada banyak pasien
dengan imunosupresi. Hinggal 20% orang dewasa sehat juga akan
memberikan hasil positif virus pada bilasan tenggorok. 1
b) Serologi
Prosedur serologi yang sering untuk deteksi antibody EBV meliputi uji
ELISA, immunoblot assay, dan uji imunofluoresensi tidak langsung yang
menggunakan sel limfoid positif EBV. 1
Pada awal penyakit akut, terjadi peningkatan sementara antibody IgM
terhadap antigen kapsid virus, kemudian digantikan dalam beberapa
minggu oleh antibody IgG terhadap antigen tersebut yang menetap seumur
hidup. Tak lama kemudian, antibody terhadap antigen dini timbul dan
menetap selama beberapa bulan. Beberapa minggu setelah infeksi akut,
antibody terhadap EBNA dan antigen membrane meningkat serta menetap
seumur hidup. 1
Uji aglutinasi heterofil yang kurang spesifik dapat digunakan untuk
mendiagnosis infeksi EBV. Pada perjalanan penyakit mononucleosis
infeksius, kebanyakan pasien memiliki antibody heterofil sementara yang
mengaglutinasi sel domba. Uji spot yang tersedia bebas sangat
memudahkan. Hubungan antigenic tak disengaja memberikan spesifikasi
reaksi heterofil tersebut. 1

16
c) Interpretasi Hasil
Uji serologi untuk antibody EBV memerlukan beberapa interpretasi.
Adanya antibody tipe IgM terhadap antigen kapsid virus menunjukkan
infeksi yang baru terjadi. Antibody tipe IgG terhadap antigen kapsid virus
merupakan tanda infeksi di masa lampau dan menunjukkan imunitas.
Anitbodi antigen dini umumnya merupakan tanda infeksi virus yang baru
terjadi, meskipun antibody seperti ini sering ditemukan pada pasien dengan
limfoma Burkitt atau karsinoma nasofaring. Antibody terhadap antigen
EBNA menunjukkan infeksi di masa lampau oleh EBV meskipun
peningkatan antibody anti-EBNA akan menunjukkan adanya infeksi
primer. Tidak semua orang mempunyai antibody terhadap EBNA. 1

3.7. Diagnosis Banding


Infeksi Acute Cytomegalovirus (CMV) dan toxoplasmosis mempunyai
karateristik sama dengan infeksi mononucleosis, seperti splenomegaly,
hepatomegaly, limfositosis, limfositosis atipik, dan bahkan jika tes antibody
heterofil yang didapatkan negative palsu. Diagnosis banding infeksi
mononucleosis pada tabel 2. 6

Tabel 2. Perbandingan diagnosis banding infeksi mononucleosis. 6

17
3.8. Tatalaksana
Medikamentosa
A. Simptomatik 11
o Jika pasien merasa nyeri maka dapat diberikan analgesic anti inflamasi
seoerti natrium diclofenac untuk meredakan nyerinya.
o Jika pasien mengalami edema faring dan laring yang menyebabkan
obstruksi pernafasan atau fenomena autoimun anemia dan trombositopenia
maka indikasi diberikan kortikosteroid seperti prednison.
o Jika pasien mengalami demam, maka berikan antipiretik seperti
paracetamol.
o Pada pasien dengan iritasi faring, dapat berkumur dengan lidocain 2%,
povidone-yodium atau larutan air garam pekat untuk meredakan iritasi.
B. Antiviral
o Penggunakan Acyclovir memiliki potensi besar dalam mengurangi
serangan sekunder dalam kontak dari pasien infeksi mononucleosis. 11
o Acyclovir mengurangi pelepasan EBV dari orofaring selama pemberian
terapi, tetapi tidak mempengaruhi jumlah sel B yang mengalami
imortalisasi oleh EBV. Acyclovir tidak memberikan efek pada gejala
mononucleosis dan dapat dibuktikan pada pengobatan limfoma yang
disebabkan oleh EBV pada pasien imunokompromais. 8
C. Vaksin
Sebagian besar upaya pengembangan vaksin telah fokus pada gp350 EBV
glycoprotein, yang merupakan target utama dari antibody penetral yang terjadi
secara alami. Studi acak fase II telah dipublikan dengan menjanjikan hasil.
Memang, orang dewasa muda yang divaksinasi tidak dilindungi dari
tertularnya infeksi, tetapi kurang kemungkinan memiliki gejala infeksi
mononucleosis selama infeksi EBV primer, dibandingkan dengan pasien yang
tidak divaksinasi. 5

18
Non-Medikamentosa
Bed rest. Kegiatan pasien sebaiknya sebagian besar dikurangi selama fase akut,
dengan kembali secara bertahap pada kegiatan normal. 3
Pada pasien dengan splenomegaly sebaiknya jangan melakukan olahraga
secara berlebihan untuk mencegah adanya rupture pada limpa. 6

3.9. Komplikasi
Komplikasi berat yang terjadi pada infeksi mononucleosis jarang terjadi pada
pasien. Terapi intensif mungkin di dapatkan pada pasien dengan pembesaran tonsil
yang dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Dapat terjadi juga rupture pada
limpa jika beraktivitas secara berlebihan. Komplikasi serius lain adalah
neutropenia berat dan anemia aplastic. 12

Tabel 3. Komplikasi dari virus Epstein-Barr. 7

19
3.10. Algoritma

Gambar 7. Algoritma infeksi mononucleosis. 6

Gambar 8. Algoritma dan Terapi infeksi mononucleosis karena EBV. 6

20
BAB III
RINGKASAN

Virus Epstein-Barr adalah herpes virus yang merupakan agen penyebab infeksi
mononucleosis akut. Infeksi primer biasanya tanpa gejala di masa kecil; pada masa
remaja dan dewasa muda, mengarah pada infeksi mononucleosis dengan gejala
demam, kelelahan, dan sakit tenggorokan yang bisa bertahan selama berbulan-bulan.
Penyakit ini biasanya akan sembuh dengan sendirinya tetapi kadang dapat menjadi
rumit oleh berbagai macam komplikasi. Pengobatan untuk infeksi mononucleosis yaitu
hidrasi yang memadani, pemberian simptomatik seperti analgesic, antipiretik. Peran
pengobatan kortikosteroid dan antivirus masih diperdebatkan dan tidak
direkomendasikan secara umum, sementara pengembangan vaksinasi masih dibawah
penyelidikan. Ulasan ini berkonsentrasi pada diagnosis, potensi komplikasi, dan
strategi terapi pada pasien dengan infeksi mononucleosis.
Pada infeksi mononucleosis jarang dilakukan rawat inap karena penyakit ini
termasuk self-limiting disease. Akan dilakukan rawat inap jika terdapat kondisi dengan
komplikasi serius. Pasien dengan IM tanpa komplikasi disarankan untuk tidak
melakukan olahraga berat setidaknya selama 3 minggu karena potensi pecahnya limpa.
Pemeriksaan klinis tidak direkomendasikan sebagai alat untuk evaluasi splenomegaly
karena sensitivitas rendah, sementara USG bermanfaat dalam berbagai kasus.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Jawetz et al. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta : EGC. 2008


2. Balfour, H. et al. Infectious Mononucleosis. 33 edition. Feb; 4(2). [PubMed].
[http://ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4346501/]
3. Setiadi. Anatomi dan Fisiologi Manusia. Edisi 1. Graha Ilmu. Yogyakarta; 2007.
4. Soepardi, E. et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2015.
5. Adams, G.L. et al. Boeis Buku Ajar Penyakit THT (Boeis Fundamentals of
Otolaryngology). Edisi 6. Jakarta : EGC. 1997
6. Ebell, M.H. et al. Epstein-Barr Virus Infectious Mononucleosis. Volume 70.
Number 7. Oct; 1. American Family Physician.
[https://www.aafp.org/afp/2004/1001/p1279]
7. Valachis, A. et Kofteridis, D. Mononucleosis and Epstein-Barr Virus Infection:
Treatment and Medication. Department of Internal Medicine, Infectious Disease
Unit, University Hospital of Heraklion. Virus Adaption and Treatment.
[http://www.dovepress.com/2012]
8. Sudiono, J. et Hassan, I. DNA Epstein-Barr Virus (EBV) sebagai Biomarker
Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Volume 46. Number 3. Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Trisakti. Dent J. Sept; 2013.
9. Prashant, M. et al. Heterophile Antibody Positive Infectious Mononucleosis by
Epstein-Barr Virus (EBV). Volume 1.A Short Review. Department of
Microbiologym Metropolis Healthcare Ltd, Mumbai, India; 2018.
[https://actascientific.com/ASMI/pdf/ASMI-01-0111]
10. Dunmire. et al. Infectious Mononucleosis. Curr Top Microbiol Immunol. Center
of Immunology, University of Minnesota, Minneapolis; 2015.
[https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4670567/]

22
11. Lennon, P. et al. Infectious Mononucleosis. [Clinical Review]; 2005.
[https://www.bmj.com/content/350/bmj]
12. Charles, P. Infectious Mononucleosis. Vol 32. No 10. Australian Family
Physician. [PubMed]; 2003. [https://www.racgp.org.au/afp/200310/20031001]
13. Soepardi, E. et al. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
dan Leher. Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; 2015.

23

Anda mungkin juga menyukai