Anda di halaman 1dari 16

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Laporan Kasus

Fakultas Kedokteran Juni 2019


Universitas Haluoleo

ANEMIA APLASTIK

Oleh:

Wa Ode Siti Rahayu Fathanah, S.Ked


K1A1 15 123

Pembimbing:
dr. Tety Yuniarty Sudiro, Sp.PD, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Wa Ode Siti Rahayu Fathanah, S.Ked.

NIM : K1A1 15 123

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Referat : Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH)

Telah menyelesaikan tugas referat dalam rangka kepanitraan klinik pada Bagian
Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Juni 2019

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Tety Yuniarty Sudiro, Sp.PD, FINASIM


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulisan referat yang berjudul “Paroxysmal Nocturnal
Hemoglobinuria (PNH)” dapat dirampungkan dengan baik. Shalawat dan salam
juga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penulisan laporan ini
disusun untuk melengkapi tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo. Melalui kesempatan ini
secara khusus penulis persembahkan ucapan terima kasih dr. Tety Yuniarty
Sudiro, Sp.PD. FINASIM sebagai pembimbing referat dan laporan kasus saya.
Dengan segala kerendahan hati penulis sadar bahwa dalam penulisan tugas ini
masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan.Penulis mengharapkan
masukan, kritik dan saran yang bersifat membangun kearah perbaikan dan
penyempurnaan tugas ini. Semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan.

Kendari, Juni 2019

Wa Ode Siti Rahayu Fathanah, S.Ked


DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
BAB I. IDENTIFIKASI KASUS
A. Identitas Pasien ........................................................................................ 5
B. Anamnesis ............................................................................................... 5
C. Pemeriksaan Fisis .................................................................................... 6
D. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 8
E. Diagnosis Sementara ............................................................................... 11
F. Diagnosis Banding ................................................................................... 11
G. Follow Up ................................................................................................ 10
H. Penatalaksanaan ....................................................................................... 10
I. Prognosis ................................................................................................. 11
J. Analisis Kasus ......................................................................................... 12
BAB II. PEMBAHASAN
A. Defenisi Anemia Aplastik........................................................................ 16
B. Epidemiologi ........................................................................................... 16
C. Etiologi .................................................................................................... 16
D. Klasifikasi ................................................................................................ 17
E. Gejala Klinis ............................................................................................ 18
F. Pemeriksaan Fisis .................................................................................... 19
G. Pemeriksaan Penunjang ........................................................................... 20
H. Diagnosis ................................................................................................. 22
I. Diferential Diagnosis ............................................................................... 23
J. Penatalaksanaan ....................................................................................... 23
K. Prognosis ................................................................................................. 25
DAFTAR PUSAKA ...................................................................................... 26
BAB II
PENDAHULUAN

A. PAROXYSMAL NOCTURNAL HEMOGLOBINURIA


1. DEFENISI

Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH) adalah suatu


kelainan kronis didapat (acquired) yang ditandai terjadinya hemolisis
intravascular dan hemoglobinuria yang umunya terjadi pada saat pasien
tidur di malam hari, yang disebabkan oleh kelainan seluler karena mutasi
somatik pada Hematopoietic stem cell pluripotent yang menyebabkan
keruskan instrinsik pada membran sel darah nerah sehingga lebih rentan
terhadap aksi lisis dari komplemen, hal ini dapat pula menimbulkan
trombositopenia, leukopenia dan kegawatan akibat thrombosis vena.1
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) adalah kelainan
langka yangdidapat akibat gangguan pada membran eritrosit. Gangguan
pada membran eritrositmenyebabkan sel abnormal sensitif terhadap lisis
oleh komplemen. Nama penyakit inididapat dari pola klasik serangan
intermiten hemolisis intravaskular danhemoglobinuria nokturnal. Namun,
banyak pasien memiliki hemolisis kronis yangtidak terkait dengan tidur
dan hemoglobinuria yang tidak jelas.2
Gambaran kelainan ini pertama kali dipublikasikan oleh Strubbing
pada tahun 1882, sedangkan karakteristik klinisnya pertama kali dijelaskan
oleh Marchiava dan Nazari pada tahun 1911 serta Micheli ditahun 1931,
karena itulah kelainan PNH sering juga disebut Marchiavafa-Micheli
Syndrome. Meskipun PNH umunya terjadi pada dekade ke empat dan
kelima, tetapi dapat pula terjadi pada anak-anak dan orang tua.1
Secara umum gambaran klinis PNH meliputi gejala anemia,
hemoglobinuria, tanda-tanda perdarahan, serta keluhan gastroinstestiunal.
Penegakan diagnosis dapat ditemukan melalui pemeriksaan darah, urin,
sum sum tulang dan sitogenik.1
2. EPIDEMIOLOGI

Pasien dengan PNH pertama kali dipublikasikan oleh SAtrubing


pada tahun 1982, tetapi gambaran klinis yang khas pasien PNH pertama
kali dijelaskan oleh Narchiavava dan Michel di Italia. Insiden PNH sangat
bervariasi pada berbagai populasi dan lebih sering terjadi di Asia
Tenggara. PNH adalah penyakit yang jarang, dengan pemeriksaan yang
tepat angka kejadian PNH hampir sama dengan anemia palstik. PNH
biasanya terjadi pada usia muda tetapi juga bias terjadi pada anak-anak dan
orang tua.1
Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria adalah penyakit yang sangat
jarang terjadi dengan kejadian sekitar 16 per juta kasus. Meskipun ada
dominasi kasus pada individu usia 20-30 tahun, kelainan ini dijelaskan
dengan baik pada anak-anak dan orang tua. Mutasi pada PIG-A terjadi
pada kromosom X yang aktif, sehingga tidak ada perbedaan kejadian pada
laki-laki dan perempuan.5

3. KLASIFIKASI
Penyakit PNH oleh beberapa ahli diklasifikasikan menjadi tiga
kelompok berdasarkan gejala klinik, yaitu : 3,4
a. PNH Klasik Pasien dengan PNH klasik memiliki gambaran klinis
hemolisis intravascular (retikulositosis, konsentrasi yang meningkat
pada laktat dehidrogenase (LDH) dan bilirubin indirect, dan konsentrasi
serum haptoglobin yang rendah), tanpa kelainan sumsum tulang.
b. PNH dengan gangguan sumsum tulang. Pasien dalam subkategori ini
memiliki gambaran klinis dan laboratorium hemolisis
tetapi juga memiliki kelainan sumsum tulang seperti anemia aplastik,
myelodysplastic syndrome (MDS), atau mielopati lainnya (misalnya
myelofibrosis).
c. PNH subklinis. Pasien tidak memiliki gejala klinis atau laboratorium
hemolisis intravaskuler tapi terdeteksi dengan flowcytometry adanya
defisiensi GPI.
4. PATOGENESIS
Pathogenesis terjadinya PNH adalah gangguan mutasi somatik
pada pluripotent haemotopoetic stem cell.1 Menurut sifat kemampuan
diferensiasinya maka sel induk hemopoetik dapat dibagi menjadi :
1. Pluripotent (totipotent)stem cell
sel induk yang mempunyai yang mempunyai kemampuan untuk
menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.
2. Committeed stem cell
sel induk yang mempunyai komitmet untuk berdiferensiasi melalui
salah satu garis turunan sel (cell line). Sel induk yang termasuk
golongan ini ialah sel induk myeloid dan sel induk limfoid.
3. Oligopotent stem cell
sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya beberapa jenis sel.
Misalnya CFU-GM (colony forming unit-granulocytelmonocyte) yang
dapat berkembang hanya menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel
monosit.
4. Unipotent stem cell
sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi satu jenis sel saja.
Contoh CFU-E (colony forming uniterythrocyte) hanya dapat menjadi
eritrosit, CFU-G (colony forming unit-granulocyte) hanya mampu
berkembang menjadi granulosit.
Pada orang dewasa dalam keadaan fisiologik semua hemopoesis
terjadi pada sumsum tulang. Untuk kelangsungan hemopoesis diperlukan :
a. Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell)
Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi
sel-sel darah, termasuk eritrosit, lekosit, trombosit, dan juga beberapa
sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang paling
primitif sebagai pluripotent (totipotent) stem cell. Sel induk
pluripotent mempunyai sifat :
1) Self renewal yaitu kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga
tidak akan pernah habis meskipun terus membelah;
2) Proliferative merupakan kemampuan membelah atau
memperbanyak diri;
3) Diferensiatif merupakan kemampuan untuk mematangkan diri
menjadi sel-sel dengan fungsi-fungsi tertentu.
b. Lingkungan mikro (microenvirontment) sumsum tulang Lingkungan
mikro sumsum tulang adalah substansi yang memungkinkan sel induk
tumbuh secara kondusif. Komponen lingkungan mikro ini meliputi :
1) Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
2) Sel-sel stroma yaitu sel endotel , sel lemak, fibroblast, makrofag
dan sel reticulum
3) Matriks ekstraseluler : fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen,
dan proteoglikan.
Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada bahan genetik (DNA
maupun RNA), baik pada taraf urutan gen (disebut mutasi titik) maupun
pada taraf kromosom. Mutasi somatik adalah adalah mutasi yang terjadi
pada sel somatik, yaitu sel tubuh. Mutasi ini tidak akan diwariskan pada
keturunannya. Mutasi somatik ini kemudian menyebabkan terjadinya
defisiensi berbagai jenis protein yang diperlukan bagi pembentukan
glycosylphosphatidylinositol anchored (GPI Anchored), yakni antara lain
leucocyte alkaline phospatase, acethylcholineesterase, decay accelerating
factor (DAF, CD55), membrane inhibitor of reactive lysis (MIRL, CD59),
FeganmaRIIIb, C8 binding protein, lymphocyte function associated
antigen 3, CD14, dan urokinase receotor.1
Akibat defisiensi ini, GPI anchored yaitu suatu struktur kompleks
yang berfungsi mengatur protein permukaan sel hematopoetik serta
mengatur kadar complement-mediated lysis. Juga mengalami defisiensi
absolute atau relative. Hal ini kemudian memberikan efek langsung
terhadap proses hemolisis normal lewat dua cara.
Pertama : bahwa kekurangan satu atau lebih protein tertambat GPI
akan menimbulkan kegagalan dalam menginhibisi jalan alternatif dari
proses hemolisis yang dimediasi komplemen. Sebagai akibatnya, sel
eritrosit PNH akan mengikat lebih banyak C3 aktif dari pada eritrosit
normal dan banyaknya jumlah ikatan C3 ini selanjutnya berpengaruh
terhadap sensitifitas lysis eritrosit. Semakin besar proporsi eritrosit yang
sensitive terhadap lisis yang dimediasi kompplemen semakin berat derajat
dari hemolisisnya. Kedua : terjadinya defisiensi dari protein-protein
anchored akan menyebabkan terganggunya struktur dan kadar protein
permukaan hemopoetik serta terjadinya keruskan membrane sel
hemopoetik, yang menyebabkan eristrosit PNH lebih peka terhadap proses
lisis komplemen.1
Berdasar sensitivitasnya terhadap komplemen, secara invitrro PNH
dibagi menjadi 3 type yaitu : PNH, I, II, III. PNH I : adalah sel eritrosit
PNH yang memiliki sensitivitas normal terhadap komplemen. PNH II dan
III : secara berturur-turut memiliki sensitivitas 3-4 kali serta 15-25 kali
darin sensitivitas normal. 1
Mutasi somatik yang terjadi pada PNH tidak hanya terbatas pada
eritrosit, tetapi dapat juga mencakup trombosit, leukosit, dan sel-sel
pluripoten hematopoesis. Karena itulah, kalinan ini dapat bermanifestasi
pula sebagai kelainan dysplasia sumsum tulang seperti : anemia aplastik,
sindroma mielodisplastik dan leukimi akut.1
Mutasi genetik pada kromososn X gen PIG-A yang mengkode
protein GPI anchor, menyebabkan tidak terbentuknya GPI anchor.
Kegagalan pembentukan GPI anchor menyebabkan tidak adanya molekul
permukaan berupa DAF Decay (Acceleration Factor) dan MIRL
(Membran Inhibitor Reactive Lysis). Protein DAF (CD55) dan MIRL
(CD59) terikat pada GPI anchor yang diekspresikan pada permukaan
eritrosit sebagai pelindung terhadap komplemen homolog. Protein DAF
menghambat pembentukan regulasi C3 dan C5 convertase sedangkan
MIRL bekerja menghambat pembentukan Membran Attack Complex
(MAC). Pada PNH, sebagai akibat tidak adanya GPI anchor, CD 55 dan
CD 59 tidak terpasang pada membrane sehingga sel-sel lebih sensitif
terhadap penghancuran yang dimediasi komplemen, dan hemolisis
intravaskular spontan dan kronis terjadi. 6,7
Hemolisis intravaskuler yang terjadi pada PNH menyebabkan
pelepasan hemoglobin bebas dalam plasma. Hemoglobin kemudian diikat
dengan protein plasma yaitu haptoglobin, kompleks hemoglobin-
haptoglobin diangkut ke makrofag hati, dimetabolisme menjadi bilirubin
dan diekskresi ke usus halus melalui saluran empedu.8

Gambar. 1. Tindakan pelengkap pada subyek sehat (A) dan pasien PNH (B).
(A) Karena adanya protein membran, DAF dan MIRL, RBC normal dilindungi
dari aktivasi komplemen. (B) Kekurangan DAF dan MIRL membuat RBC
sensitif terhadap serangan komplemen, menghasilkan hemolisis. Sel darah
merah darah, kompleks serangan MAC membran.2
Hemoglobin bebas yang masih ada dalam sirkulasi akan difltrasi
oleh glomerulus dan direabsorbsi oleh tubulus proksimal. Bila kecepatan
filtrasi melebihi kemampuan reabsorbsi maka hemoglobin akan
dikeluarkan melalui urin (hemoglobinuria). Urin bisa berwarna merah
muda, merah atau kecoklatan tergantung beratnya hemoglobinuria.8

5. TANDA DAN GEJALA KLINIS


Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria ditandai secara klinis oleh
tiga fitur berbeda yang terdiri dari hemolisis intravaskular, kecenderungan
abnormal thrombosis vena dan arteri, dan berbagai tingkat kegagalan
sumsum tulang. Trias fitur klinis ini dan tingkat variabelnya dari setiap
manifestasi klinis membuat diagnosis penyakit ini seringkali sulit
ditegakkan, sehingga pasien tidak mendapat diagnosis yang tepat untuk
jangka waktu yang lama. Perlu dicatat bahwa manifestasi klinis klasik
terdiri dari hemolisis intravaskular akut atau kronis menyebabkan
haemoglobinuria hanya dilaporkan sebesar 26% pasien pada diagnosis awal.
(Tabel 1). Di hampir semua pasien, anemia muncul pada diagnosis awal.
Disebabkan oleh kehilangan besi kronis melalui hemolisis intravaskular.
Banyak pasien yang mengeluh gejala yang tidak spesifik seperti sakit perut,
kelelahan atau dispnu. Selain itu, kejadian tromboemboli ditemukan pada
sekitar 40% dari semua pasien saat diagnosis.10
Berikut ini tanda dan gejala klinis PNH : 1
a. Anemia, ikterus, splenomegali
b. Hemoglobinuria, terutama pagi hari. Sebagian besar kasus hemoglobinuria
tidak tampak dengan jelas, walaupun terjadi hemolisis kronis
c. Adanya anemia hemolitik kronik
d. Kekurangan zat besi sebagai akibat keluarnya zat besi melalui urin
e. Perdarahan akibat terjadinya trombositopenia
f. Thrombosis vena ditempat-tempat yang tidak biasa. Seperti vena hepatka,
sindrom Budd-Chiari, vena serebral, vena lienalis, vena subkutis, vena
msenterika.
g. Kehamilan pada pasien PNH dapat dihubungkan dengan borsi dan
thrombosis vena.

Gambar 1. Hemoglobinuria pada urin penderita PNH 11


h. Manifestasi pada ginjal: hipostenuria, kelainan fungsi tubulus, gagal ginjal
akut dan kronik.
Tabel 1. Gejala Klinis PNH11
Gejala Klinis Insidens (%)
Trombosis 40
Dyspneu 66
Hipertensi Pulmonal 47
Gagal Ginjal Kronis 64
Nyeri Perut 57
Anemia 88
Fatigue,Impaired Qol 96
Hemoglobinuria 26
Dysphagia 41
Gangguan Ereksi 47
(Sumber : John Wiley & Sons Ltd, 2015).

6. LABORATORIUM
a. Darah rutin : Darah rutin. Anemia normositik normokrom atau
makrositik, dapat mikrositik jika terjadi defisiensi
besi disertai retikulositosis, direct antiglobulin (Coombs) test negatif
leukopenia atau trombositopenia.4,12
b. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering
disertai gambaran anemia defisiensi besi, dapat pula menyerupai
anemia aplastik.1
Gambaran apusan darah tepi dapat dijumpai eritrosit berinti dan
schistocytes. Gambaran anemia mikrositik hipokrom bila terdapat
defisiensi besi yang disebabkan oleh hemoglobinuria berat. 4,12
c. Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoesis atau hypoplasia.1
Pemeriksaan sumsum tulang didapatkan selularitas meningkat dengan
peningkatan aktivitas eritropoetik.4,12
d. Leukosit alkalin fosfatse rendah.1
e. Kimia darah. Konsentrasi haptoglobin serum rendah dan konsentrasi
LDH meningkat secara nyata, mencerminkan hemolisis intravaskular
kronis. Kadar bilirubin indirect meningkat. 4,12
f. Sucrose waters test dan Acid Hams Test : positif
Uji hemolisis sukrosa, sel diinkubasikan dalam larutan isotonik dengan
kekuatan ion rendah dengan sedikit jumlah serum yang ada dalam
campuran. Hemolisis <5% negatif, hemolisis 5-10% borderline, > 10%
konsisten dengan PNH.9 Pada Ham’s test, sel-sel PNH dilisiskan pada
keadaan asam (pH 6,5– 7,0) pada suhu 37 ̊ C. Sensitivitas membran
eritrosit akan mengalami lisis oleh komplemen, terutama dalam batas
pH lebih rendah. Eritrosit pasien PNH sangat sensitif terhadap
komplemen pada suhu 37 ̊ C pada lingkungan asam lemah.9
g. Pada pemeriksaan urin didapatkan : hemoglobinuria, hemosiderinuria.
Secara makroskopik tampak merah coklat, tes darah samar positif,
ekskresi urobilinogen meningkat,hemosidenuria positif. 4,12
h. Flow cytometry. Diagnosis PNH ditegakkan apabila ditemukan
defisiensi GPI linked protein pada permukaan sel darah yang dapat
dideteksi dengan antibodi monoklonal CD55 dan
CD59 dengan flowcytometer. Flowcytometry merupakan mertode
utama untuk mendeteksi PNH setelah Ham test dilakukan sebagai
skrining awal. 6,7
7. DIAGNOSIS
a. Gejala: Anemia, hemoglobinuria.
b. Hapusan darah tepi : sesuai dengan gambaran anemia hemolitik, sering
disertai gambaran anemia defisiensi besi, dapat pula menyerupai anemia
palastik
c. Retikulositosis
d. Aspirasi sumsum tulang : hyperplasia eritropoiesis atau hyplopasia.
e. Leukosit alkalin fosfatase rendah
f. Sucrose waters test dan acid hans test : positif
g. Pada pemeriksaan urin didapatkan : hemoglobinuria, hemosiderinuria.1

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) tidak selamanya ditandai


dengan adanya gejala urin berwarna gelap di pagi hari. Skrining PNH
sebaiknya segera dilakukan, khususnya ketika terjadi bersamaan dengan
anemia atau cytopenia. Tanda-tanda dan gejala mungkin termasuk sakit perut,
dispneu, trombosis, dan kelelahan ekstrim. Karena gejala-gejala ini cukup
sering dalam praktek klinis, sehingga tidak praktis dalam melakukan skrining
pada semua pasien yang datang. Dengan demikian, dokter harus fokus
mengenali kelompok berisiko tinggi tertentu dalam melakukan skrining.
Pedoman dari International Clinical Cytometry Society (ICCS) dan the
International PNH Interest Group memberikan rekomendasi untuk
mengidentifikasi risiko tinggi pada kelompok ini. (Gambar 3).
Ada tiga kategori pasien yang memiliki insidensi PNH yang secara
signifikan lebih besar dibandingkan dengan populasi umum yaitu pasien
dengan hemolisis atau hemoglobinuria, pasien dengan sindrom kegagalan
sumsum tulang, dan pasien dengan thrombosis yang tidak biasa atau tidak
terjelaskan. Tes standar baku untuk diagnosis PNH adalah high-sensitivity
flow cytometry yang dilakukan pada sampel darah perifer. Tes flow cytometry
mendeteksi ikatan antara antibodi monoklonal terhadap regulator
komplemen.7
8. DIAGNOSIS BANDING
a. Anemia hemolitik lain
b. Anemia defisiensi besi
c. Anemia palstik
d. Black water fever
e. Paroxysmal cold hemoglobinuria
9. PENGOBATAN
a. Bila anemia, transfusi darah dengan washed erythrocyte.
b. Asam folat 1 mg/ hari
c. Bila ada defisiensi besi diberi sulfas ferrous 3 x 1 tab
d. Prednisone 20-60 mg/hari.
e. Hormon androgen : fluoksimesteron : 5-30 mg/ hari ; oksimetolon 10 – 50
mg/hari diberikan selama 6 – 8 minggu, bila tidak ada respon obat
dihentikan.
f. Antikoagulan : tidak terbukti bermanfaat untuk mencegah terjadinya
thrombosis
g. Streptokinase : urokinase : bila ada thrombosis.
h. Transplantasi sumsum tulang merupakan indikasi defenitif.

10. PROGNOSIS
a. Pasien PNH rata-rata hidup 10-50 tahun
b. Kematian biasanya disebabkan oleh karena komplikasi ; thrombosis;
pansitopenia
c. Pasien PNH dapat mengalami perubahan menjadi : leukemia akuut ;
sindrom mielodisplasia; mielofibrosis; leukemia limfositik kronik;
leukemia mielositik kronik; polisitemia vera dan eritroleukimia
d. Prognosis buruk bila : usia diatas 55 tahun saat diagnosis ditegakkan;
adanya thrombosis; perubahan menjadi : pansitopenia, sindrom
mielodisplasia atau leukemia akut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi, P.R., 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Interna
Publishing. Jakarta.
2. Devalet, B.R.R., Mullier, F.O., Chatelain, B., Dogne, J.M., Chatelain, S.
2014. The central role of extracellular vesicles in the mechanisms of
thrombosis in paroxysmal nocturnal haemoglobinuria: a review. Journal of
Extracellular Vesicles. 3 : 23304
3. Parker Charles, Omine Mitsuhiro et al. 2005. Diagnosis and management
of paroxysmal nocturnal hemoglobinuria.106 (12), p 3699-3709.
Available at : www.bloodjournal.org.
4. Parker CJ, Ware RE. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. 2014.
Wintrobe’s Clinical Hematology, 13th Ed. Lippincott Williams & Wilkins
Philadelphia.
5. Weitz Ceil Ilene. 2015. Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria: new
concepts in pathophysiology and treatment. Orphan Drugs: Research and
Reviews; 5, 75–81.
6. Bessler Monica, Hiken Jeffrey. 2008. The Pathophysiology of Disease in
Patients with Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria. American Society of
Hematology. p 104-110
7. Sharma R Vivek, MD. 2013. Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria:
Pathogenesis, Testing, and Diagnosis, Clinical Advances in Hematology &
Oncology. 11, (9), p 1-11.
8. McKenzie B Shirlyn. 2016. Hemoglobin in Clinical Laboratory
Hematology, Pearson Education Limited. England. Third Edition
9. Blann Andrew, Ahmed Nessar. 2014. The Pathology of the Red Blood
Cell in Blood Science Principles and Pathology, John Wiley & Sons, Ltd
firstth edition West Sussex.
10. Schubert Jorg, Roth Alexander. 2015. Update on paroxysmal nocturnal
haemoglobinuria: on the long way to understand the principles of the
disease. European Journal of Haematology. p 1-9.
11. (paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH) dengan hypercoagulable
state Desfiyanda, F & Wahid, R. Laporan Kasus.
12. Kaushansky K, MD, Beutler E, MD, et al. 2010 Paroxysmal Nocturnal
Hemoglobinuria in: Williams Hematology, 8th ed. New York: McGraw-
Hill.

Anda mungkin juga menyukai