Anda di halaman 1dari 22

1.

SEJARAH SINGKAT
Kumis kucing merupakan tanaman obat berupa tumbuhan berbatang basah yang tegak.
Tanaman ini dikenal dengan berbagai istilah seperti: kidney tea plants/java tea (Inggris), giri-giri
marah (Sumatera), remujung (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan songot koneng (Madura).
Tanaman Kumis kucing berasal dari wilayah Afrika tropis, kemudianmenyebar ke wilayah Asia
dan Australia.
Nama daerah: Kumis kucing (Melayu – Sumatra), kumis kucing (Sunda), remujung (Jawa), se-
salaseyan, songkot koceng (Madura).
2. URAIAN TANAMAN
2.1 Klasifikasi
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Keluarga : Lamiaceae
Genus : Orthosiphon
Spesies : Orthosiphon spp.
2.2 Deskripsi
Tanaman terna yang tumbuh tegak, pada buku-bukunya berakar tetapi tidak tampak nyata,
tinggi tanaman sampai 2m. Batang bersegi empat agak beralur. Helai daun berbentuk bundar telur
lonjong, lanset, lancip atau tumpul pada bagian ujungnya, ukuran daun panjang 1 – 10cm dan
lebarnya 7.5mm – 1.5cm, urat daun sepanjang pinggir berbulu tipis atau gundul, dimana kedua
permukaan berbintik-bintik karena adanya kelenjar yang jumlahnya sangat banyak, panjang
tangkai daun 7 – 29cm. Kelopak bunga berkelenjar, urat dan pangkal berbulu pendek dan jarang
sedangkan di bagian yang paling atas gundul. Bunga bibir, mahkota berwarna ungu pucat atau
putih, dengan ukuran panjang 13–27mm, di bagian atas ditutupi oleh bulu pendek yang berwarna
ungu atau putih, panjang tabung 10 – 18mm, panjang bibir 4.5 – 10mm, helai bunga tumpul,
bundar. Benang sari ukurannya lebih panjang dari tabung bunga dan melebihi bibir bunga bagian
atas. Buah geluk berwarna coklat gelap, panjang 1.75 – 2mm.
2.3 Jenis Tanaman
Spesies kumis kucing yang terdapat di Pulau Jawa adalah O. aristatus, O. thymiflorus, O.
petiolaris dan O. tementosus var. glabratus. Klon kumis kucing yang ditanam di Indonesia adalah
Klon berbunga putih dan ungu.
3. MANFAAT TANAMAN
Daun kumis kucing basah maupun kering digunakan sebagai bahan obat-obatan. Di
Indonesia daun yang kering dipakai (simplisia) sebagai obat yang memperlancar pengeluaran air
kemih (diuretik) sedangkan di India untuk mengobati rematik. Masyarakat menggunakan kumis
kucing sebagai obat tradisional sebagai upaya penyembuhan batuk encok, masuk angin dan
sembelit. Disamping itu daun tanaman ini juga bermanfaat untu pengobatan radang ginjal, batu
ginjal, kencing manis, albuminuria, dan penyakit syphilis.
KANDUNGAN KIMIA
Tumbuhan kumis kucing menghasilkan senyawa-senyawa terpenoid dan senyawa fenol
seperti diterpenoid jenis isopimaran, flavonoid, benzokromen, dan turunan asam organik. Ciri
khas senyawa diterpenoid yang diisolasi dari kumis kucing adalah mempunyai kerangka karbon
jenis isopimaran yang terdiri dari tiga cincin dan mengandung banyak gugus fungsi oksigen
(utamanya pada C-1, 2, 3, dan 7). Cincin C mengandung gugus hidroksi tersier pada C-8 dan gugus
karbonil pada C-14 dan dapat pula mengandung gugus fungsi oksigen pada C-11, 12, dan 20.
Gugus-gugus fungsi hidroksi ini seringkali teresterifikasi dengan asam asetat dan benzoat
(Achmad et al., 2007).
(Achmad et al., 2007).

Gambar Kerangka karbon isopimaran


Senyawa diterpen jenis isopiraman yang banyak mengandung gugus fungsi oksigen (highly
oxygenated diterpenes) telah ditemukan dari kumis kucing di antaranya yaitu ortosifol A dan
ortosifol B (Awale et al., 2001; Masuda 1992; Takeda, 1993).

Dari ekstrak metanol tumbuhan yang berasal dari Indonesia telah ditemukan pula senyawa
isopiraman turunan ortosifol berikutnya yakni senyawa 7-O-deasetil-ortisifol B dan 6-
hidroksiortosifol B (Awale et al., 2003).

Dari herba O. stamineus ditemukan pula beberapa senyawa isopimaran sejenis yaitu ortosfol F,
ortosifol G, ortosifol H (Stampoulis, 1999), ortosifol K (Awale, 2001), ortosifol O, dan ortosifol
P (Awale, 2002).
Kemudian dari fraksi kloroform ekstrak metanol herba O. stamineus yang berasal dari Indonesia
ditemukan pula turunan isopiraman berikutnya yaitu ortosifol T, ortosifol U, ortosifol V,
ortosifol W, dan ortosifol X (Awale, 2003).
Selanjutnya dilaporkan pula penemuan senyawa turunan isopimaran yang teroksigenasi pada
atom C-12 yang diberi nama ortosifol L dan ortosifol R (Awale 2001).

Tambahan lagi dari ekstrak metanol tumbuhan O. stamineus yang berasal dari Indonesia
ditemukan pula bebrapa senyawa turunan isopimaran yang teroksigenasi pada atom C-20 yang
diberi nama sifonol A, sifonol B, sifonol C, dan sifonol D (Awale 2003b).
Dari air rebusan daun O. aristatus (=O. stamineus) ditemukan pula senyawa diterpen turunan
isopimaran yang mengandung gugus fungsi karbonil pada atom C-3 yang diberi nama
ortosifonon B (Ohashi, 2002b; Shibuya, 1999a).

Herba O. stamineus juga mengandung beberapa senyawa isopimaran sejenis yang mengandung
gugus fungsi karbonil pada C-3 yang berkonjugasi dengan ikatan trangkap pada posisi C-1,2
seperti dicontohkan oleh senyawa ortosifol D dan ortosifol E (Takeda, 1993), ortosifol Y
(Awale 2003a) dan 14-deokso-14-O-asetilortosifol Y (Nguyen, 2004).
Selanjutnya dari herba O. stamineus yang berasal dari Vietnam dan Indonesia dapat diisolasi
senyawa diterpen turunan isopimaran yang mengandung gugs fungsi karbonil pada atom C-11
yaitu ortosifol I, Ortosifol J, Ortosifol M, ortosifol N, 3-O-deasetilortosifol I dan 2-O-
deasetilortosifol J (Awale, 2003) bersama-sama dengan ortosifonon A (Shibuyya, 1999a),
ortosifonon C, dan ortosifonon D (Nguyen, 2004).
Turunan isopimaran yang mengandung tiga gugus karbonil pada atom C-3, C-11, dan C-14 yaitu
ortosifol Q dan ortosifol Z, dan yang mengandung tiga gugus karbonil pada C-2, C-11, dan C-14
yaitu ortosifol S juga dihasilkan oleh O. stamineus (Awale, 2002, 2003a, 2003b).
Dilaporkan pula bahwa dari herba O. stamineus yang berasal dari Vietnam ditemukan pula
senyawa diterpen yang telah mengalami perubahan kerangka karbon karena perpindahan gugus
vinil dari atom C-13 ke C-13 dan dikenal sbagai turunan staminan. Senyawa-senyawa dimaksud
antara lain staminol A, staminol B, staminol C, neoortosifol A dan neoortosifol B bersama-sama
dengan turunan staminan yang mengandung gugus karbonil tak jenuh pada C-3 yaitu staminol D
(Awale, 2001, 2003a, 2003b; Nguyen, 2004; Shibuya, 1996b; Stampoulis, 1999; Tekuza, 2000).
Dari ektrak metanol herba O. stamineus yang berasal dari Indonesia diisolasi pula suatu senyawa
norpimaran C19 yang mengandung gugus formil terikat pada atom karbon C-13 menggantikan
gugus vinil yang disebut sifonol E (Awale, 2003).

Selanjutnya O. stamineus juga menghasilka sejumlah senyawa diterpen jenis staminan yang
mempunyai sistem cincin A terbuka seperti dicontohkan oleh norortosifonolida A, sekooertosifol
A, sekoortosifol B, sekokortisfol B dan sekokoortosfol C (Awale, 2002, 2003c).
Selanjutnya, O. stamineus juga menghasilkan beberapa senyawa diterpen C19 jenis
sekostaminan, yang mempunyai sistem C terbuka, yang diberi nama norstamil A, norstamil B,
norstamil C, norstamilakton A, stamilakton B, dan norstaminon A (Awale, 2001, 2004;
Stampoulis, 1996b; Tekuza, 2000).
Penyelidikan menunjukkan bahwa tumbuhan O. stamineus juga mengandug senyawa fenol yang
termasuk golongan flavonoid. Senyawa-senyawa ini dicirikan oleh senyawa jenis flavon yang
termetoksilasi pada posisi C-4′,5,6,7 atau pada posisi C-3′,4′,5,6,7. Misalnya dari fraksi
kloroform ekstrak air ditemukan senyawa 4′,5,6,7,-tetrametoksiflavon atau disebut skutelarein
tetrametil eter, eupatorin, 3′,4′,5,6,7-pentametoksiflavon atau sinensetin dan 3′-hidroksi-4,5,6,7-
tetrametoksiflavon (Schneider, 1973; Matsuura, 1973). Skutelarein tetrametil eter, eupatorin, dan
sinensetin juga ditemukan pada daun O. spicatus (=O. stamineus) (Wollenweber, 1985).

Selanjutnya, telah ditemukan pula beberapa flavonoid yaitu salvigenin dan 5-hidroksi-3′,4′,6,7-
tetrametoksiflavon, bersama-sama dengan apigenin trimetil eter, dan luteolin tetrametil eter
(Malterud, 1989).
Beberapa senyawa flavon sejenis juga telah ditemukan yaitu 4′,5-hidroksi-6,7-dimetoksi-flavon,
5-hidroksi-4′,6,7-trimetoksiflavon, 6-hidroksi-4′,5,7-trimetoksiflavon, 4′-hidroksi-5,6,7-
trimetoksiflavon, dan 3′,5-dihiroksi-4′,6,7-trimetoksi-flavon telah ditemukan pula dari
(Sumaryono, 1991a, 1991b).
Tambahan pula, dari daun kumis kucing ditemukan pula dua glikosida flavonol masing-msaing
kaemferol-3-O-beta-glukosida dan kuersetin-3-O-beta-glukosida (Sumaryono, 1991).
Selain diterpenoid dan flavonoid, tumbuhan kumis kucing juga menghasilkan sejumlah asam
organik. Misalnya dari daun telah ditemukan asam kafeat dan turunannua asam rosmanirat
(Graxza, 1984; Nikonov 1971; Takeda, 1993; Tezuka, 2000).

Selanjutnya dari daun kumis kucing dapat pula diisolasi beberapa asam organik sejenis seperti
asam kafeoil tartarat, asam dikafeoil tartarat, bersama-sama dengan asam litospermat I dan
turunannya, asam litospermat II serta asam litospermat III (Sumaryono, 1991).
Senyawa fenol turunan kromen ditemukan pula pada tumbuhan kumis kucing. Misalnya
metilripariokromen A telah diisolasi dari kumis kucing yang merupakan sumber penting bagi
senyawa tersebut (Guerin, 1989; Matsubara, 199a).

Kemudian dari kumiskucing ditemukan pula beberapa senyawa triterpen dan sterol, yaitu asam
oleanolat, hederagenin, asam ursolat, asam betulinat, dan beta-sitosterol (Sheu, 1984; Tezuka,
2000).
Tumbuhan kumis kucing pada penyulingan uap menghasilkan minyak atsiri yang antara lain
mengandung beberapa senyawa seskuiterpen seperti beta-selinen, beta-elemen, beta-bourbonen,
alfa-guaien, beta-kariofilen oksid, dan beta-humulen sebagai komponen utama (Schmidt, 1986;
Scut, 1986).
Dari kumis kucing telah diisolasi pula beberapa karoten seperti alfa-karoten, beta-karoten,
kriptoksantin, neo-beta-karoten, alfa-karoten epoksida, dan lutein (Kudritskaya, 1987).

Anda mungkin juga menyukai