Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN

A. DEFENISI
Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling sering terjadi di
mandibula dan maksila. Tumor ini berasal dari epitelium yang terlibat dalam proses
pembentukan gigi, akan tetapi pemicu transformasi neoplastik pada epitel tersebut belum
diketahui dengan pasti. Secara mikroskopis, ameloblastoma tersusun atas pulau-pulau
epitelium di dalam stroma jaringan ikat kolagen. Ameloblastoma juga mempunyai
beberapa variasi dari tampilan histopatologis, akan tetapi tipe yang paling sering terlihat
yaitu tipe folikular dan pleksiform. Pada sebagian besar kasus, ameloblastoma biasanya
asimptomatik, tumbuh lambat, dan dapat mengekspansi rahang (Arif, 2001).
Tumor ini jarang ganas atau metastasis (yaitu, mereka jarang menyebar ke bagian
lain dari tubuh), dan kemajuan perlahan, lesi yang dihasilkan dapat menyebabkan
kelainan yang parah dari wajah dan rahang. Selain itu, karena pertumbuhan sel yang
abnormal mudah infiltrat dan menghancurkan jaringan sekitar tulang, bedah eksisi luas
diperlukan untuk mengobati gangguan ini.

B. ETIOLOGI
Etiologi ameloblastoma sampai saat ini belum diketahui dengan jelas, tetapi
beberapa ahli mengatakan bahwa ameloblastoma dapat terjadi setelah pencabutan gigi,
pengangkatan kista dan atau iritasi lokal dalam rongga mulut. Ameloblastoma dapat
terjadi pada segala usia, namun paling banyak dijumpai pada usia dekade 4 dan 5. Tidak
ada perbedaan jenis kelamin, tetapi prediksi pada golongan penderita kulit berwarna.
Ameloblastoma dapat mengenai mandibula maupun maksila, paling sering pada
mandibula sekitar 81%-98%, predileksi di daerah mandibula; 60% terjasi di regio molar
dan ramus, 15% regiopremolar dan 10% regio simpisis.
Tumor ini tumbuh dari berbagai asal, walaupun rangsangan awal dari proses
pembentukan tumor ini belum diketahui. Tumor ini dapat berasal dari:
o Sisa sel dari enamel organ atau sisa-sisa dental lamina. Struktur mikroskopis
dari beberapa spesimen dijumpai pada area epitelial sel yang terlihat pada perifer
berbentuk kolumnar dan berhubungan dengan ameloblast yang pada bagian
tengah mengalami degenerasi serta menyerupai retikulum stelata.
o Sisa-sisa dari epitel Malassez. Terlihat sisa-sisa epitel yang biasanya terdapat
pada membran periodontal dan kadang-kadang dapat terlihat pada tulang
spongiosa yang mungkin menyebabkan pergeseran gigi dan menstimulasi
terbentuknya kista odontogenik
o Epitelium dari kista odontogenik, terutama kista dentigerous dan odontoma.
Pada kasus yang dilaporkan oleh Cahn (1933), Ivy (1958), Hodson (1957)
mengenai ameloblastoma yang berkembang dari kista periodontal atau kista
dentigerous tapi hal ini sangat jarang terjadi. Setelah perawatan dari kista
odontogenik, terjadi perkembangan dan rekurensi menjadi ameloblastoma.
o Basal sel dari epitelium permukaan dari tulang rahang. Siegmund dan Weber
(1926) pada beberapa kasus ameloblastoma menemukan adanya hubungan dengan
epiteluim oral

LAPOR
AN PENDAHULUAN AMELOBLASTOMA

C. PATOFISIOLOGI
Tumor ini bersifat infiltratif, tumbuh lambat, tidak berkapsul, berdiferensiasi baik. Lebih
dari 75% terjadi di rahang bawah, khususnya regio molar dan sisanya terjadi akibat
adanya kista folikular. Tumor ini muncul setelah terjadi mutasi-mutasi pada sel normal
yang disebabkan oleh zat-zat karsinogen tadi. Karsinogenesisnya terbagi menjadi 3 tahap
1. Tahap pertama merupakan Inisiaasi yatu kontak pertama sel normal dengan zat
Karsinogen yang memancing sel normal tersebut menjadi ganas.
2. Tahap kedua yaitu Promosi, sel yang terpancing tersebut membentuk klon melalui
pembelahan(poliferasi).
3. tahap terakhir yaitu Progresi, sel yang telah mengalami poliferasi mendapatkan
satu atau lebih karakteristik neoplasma ganas.
D. PENYIMPANGAN KDM
E. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik, dalam tahap awal jarang menunjukkan keluhan, oleh karena itu
tumor ini jarang terdiagnosa secara dini, umumnya diketahui setelah 4 sampai dengan 6
tahun.
Gambaran Klinik
a. Pembengkakan dengan berbagai ukuran yang bervariasi sehingga dapat
meyebabkan deformitas wajah.
b. Konsestensi bervariasi ada yang keras dan kadang ada bagian yang lunak
c. Terjadi ekspansi tulang ke arah bukal dan lingual
d. Tumor ini meluas ke segalah arah mendesak dan merusak tulak sekitarnya
e. Terdapat tanda egg shell cracking atau pingpong ball phonemona bila massa tumor
telah mendesak korteks tulang dan tulangnya menipis
f. Tidak terdapat nyeri dan parasestesi, hanya pada beberapa penderita dengan
benjolan disertai rasa nyeri.
g. Berkurangnya sensilibitas daerah distribusi n.mentalis kadang-kadang terdapat
ulserasi oleh karena penekanan gigi apabilah tumor sudah mencapai ukuran besar.
h. Biasanya berisi cairan berwarna merah kecoklatan
i. Gigi geligi pada daerah tumor berubah letak dan goyang.

Ameloblastoma merupakan tumor yang jinak tetapi merupakan lesi invasif secara
lokal, dimana pertumbuhannya lambat dan dapat dijumpai setelah beberapa tahun sebelum
gejala-gejalanya berkembang. Ameloblastoma dapat terjadi pada usia dimana paling umum
terjadi pada orang-orang yang berusia diantara 20 sampai 50 tahun dan hampir dua pertiga
pasien berusia lebih muda dari 40 tahun.
Hampir sebagian besar kasus-kasus yang dilaporkan menunjukkan bahwa
ameloblastoma jauh lebih sering dijumpai pada mandibula dibanding pada maksila. Kira-kira
80% terjadi dimandibula dan kira-kira 75% terlihat di regio molar dan ramus,
Ameloblastoma maksila juga paling umum dijumpai pada regio molar.
Pada tahap yang sangat awal , riwayat pasien asimtomatis (tanpa gejala).
Ameloblastoma tumbuh secara perlahan selam bertahun-tahun, dan tidak ditemui sampai
dilakukan pemeriksaan radiografi oral secara rutin. Pada tahap awal , tulang keras dan
mukosa diatasnya berwarna normal. Pada tahap berikutnya, tulang menipis dan ketika
teresobsi seluruhnya tumor yang menonjol terasa lunak pada penekanan dan dapat memiliki
gambaran berlobul pada radiografi. Dengan pembesarannya, maka tumor tersebut dapat
mengekspansi tulang kortikal yang luas dan memutuskan batasan tulang serta menginvasi
jaringan lunak. Pasien jadi menyadari adanya pembengkakan yang progresif, biasanya pada
bagian bukal mandibula, juga dapat mengalami perluasan kepermukaan lingual, suatu
gambaran yang tidak umum pada kista odontogenik. Ketika menembus mukosa, permukaan
tumor dapat menjadi memar dan mengalami ulserasi akibat penguyahan. Pada tahap lebih
lanjut,kemungkinan ada rasa sakit didalam atau sekitar gigi dan gigi tetangga dapat goyang
bahkan tanggal.
Pembengkakan wajah dan asimetris wajah adalah penemuan ekstra oral yang
penting. Sisi asimetris tergantung pada tulang utama atau tulang-tulang yang terlibat.
Perkembangan tumor tidak menimbulkan rasa sakit kecuali ada penekanan saraf atau terjadi
komplikasi infeksi sekunder. Terkadang pasien membiarkan ameloblastoma bertahan selama
beberapa tahun tanpa perawatan dan pada kasus-kasus tersebut ekspansi dapat menimbulkan
ulkus namun tipe ulseratif dari pertumbuhan karsinoma yang tidak terjadi. Pada tahap lanjut,
ukurannya bertambah besar dapat menyebabkan gangguan penguyahan dan penelanan.
Perlu menjadi perhatian, bahwa trauma seringkali dihubungkan dengan
perkembangan ameloblastoma. Beberapa penelitian menyatakan bahwa tumor ini sering kali
diawali oleh pencabutan gigi, kistektomi atau beberapa peristiwa traumatik lainnya. Seperti
kasus-kasus tumor lainnya pencabutan gigi sering mempengaruhi tumor (tumor yang
menyebabkan hilangnya gigi) selain dari penyebabnya sendiri.
Tumor ini pada saat pertama kali adalah padat tetapi kemudian menjadi kista pada
pengeluaran sel-sel stelatenya. Ameloblastoma merupakan tumor jinak tetapi karena sifat
invasinya dan sering kambuh maka tumor ini menjadi tumor yang lebih serius dan ditakutkan
akan potensial komplikasinya jika tidak disingkirkan secara lengkap. Tetapi sudah
dinyatakan bahwa sangat sedikit kasus metastasenya yang telah dilaporkan.

F. Tinjauan Umum Perawatan Luka


1. Definisi luka
Berikut merupakan beberapa definisi dari luka, yaitu antara lain:
a. Luka adalah terputusnya kontinuitas suatu jaringan oleh karena adanya cedera
atau pembedahan (Agustina, 2009 Dalam Maryunani, 2015).
b. Luka adalah terputusnya kontinutitas jaringan akibat trauma (tajam atau
tumpul), kimia termal (panas atau dingin), listrik, radiasi (Widhiastuti, 2008
Dalam Maryunani, 2015).
c. Luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang menggangu proses selular
normal; luka dapat dijabarkan dengan adanya kerusakan pada
kontinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan
substansi jaringan. (InETNA, 2008 Dalam Maryunani, 2015).
2. Klisifikasi luka
luka diklasifikasi dengan berbagai macam cara diantaranya:
a. Berdasarkan kedalaman dan luasnya, luka dapat dibagi menjadi:
1) Luka superfisial; terbatas pada lapisan epidermis.
2) Luka “partial thickness”; hilangnya jaringan kulit pada lapisan epidermis
dan lapisan bagian tas dermis.
3) Luka full thickness; jaringan kulit yang hilang pada lapisan epidermis,
dermis , fasia, tidak mengenai otot.
4) Luka mengenai otot, tendon dan tulang. (Maryunani , 2015)
b. Luka berdasarka kedalaman dan luasnya, dapat dinyatakan menurut stadium
luka, yaitu sebagai berikut;
1) Stadium I: Luka superfisial, yaitu luka yang terjadi pada lapisan epidermis
kulit.
2) Stadium II: Luka partial thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada
lapisan epidermis dan bagian atas dermis.
3) Stadium III: Luka full thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan sampai
jaringan subkutan yang dapat meluas tetapi tidak mengenai otot.
4) Stadium IV: Luka full thickness yang telah mencapai lpisan otot, tendon
dan tulang dengan adanya distruksi/kerusakan yang luas (Maryunani ,
2015).
c. Luka diklasifikasikan berdasarkan kedalaman dan luasnya dengan pembagian
berdasarkan tingkat keperahannya, dapat dibagi menjadi:
1) Tingkat I: kemerahan (perubahan warna), teraba hangat, bengkak atau
teraba lebih keras.
2) Tingkat II: luka lebih dalam melibatkan sebagain jaringan kulit.
3) Tingkat III: luka melibatkan seluruh jaringan kulit dan bagian dibawahnya
termasuk lemak tetapi tidak menganai fascia.
4) Tingkat IV: luka lebih dalam melibatkan otot, atau tulang dan jaringan
sekitarnya. (Maryunani , 2015).
d. Terminologi luka yang dihubungkan dengan waktu penyembuhan/waktu
kejadianya, luka dapat dibagi menjadi luka akut dan luka kronik:
1) Luka akut:
a) Luka baru, mendadak dan waktu penyembuhannya sesuai dengan
waktu yang diperkiraka.
b) Luka dengan masa penyembuhan sesuai dengan konsep penyembuhan
yang telah disepakati.
c) Luka akut merupakan luka trauma yang biasanya segera mendapat
penaganan dan dapatsembuh dengan baik bila tidak terjadi komplikasi.
Contohnya: luka sayat, luka bakar, luka tusuk, crush injury.
d) Luka operasi dapat dianggap luka akut yang dibuat oleh ahli bedah.
Contohnya: luka jahit dan skin graft.
e) Dapat disimpulkan bahwa luka akut adalah luka yang mengalami
proses penyembuhan, yang terjadi akibat proses integritas fungsi dan
anatomi secara terus menerus, sesuai dengan tahap dan waktu yang
normal.
2) Luka kronis
Pengantar:
a) Luka yang mengalami kegagalan dalam proses penyembuhan, dapat
karena faktor eksogen atau endogen.
b) Luka gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan, tidak berespon
abaik terhadap terapai dan punya tendensi untuk timbul kembali.
c) Luka yang berlangsung lama atau sering rekuren dimana terjadi
ganggauan pada proses penyembuhan yang biasanya disebabkan oleh
masalah multifactor dari penderita.
d) Dapat disimpulkan bahwa luka kronik adalah luka yang gagal
melewati proses perbaikan untuk mengembalikan integritas fungsi dan
anatomi sesuai dengan tahap dan waktu yang normal.

Krakteristik luka kronik


a) Luka kronik disebabkan inflamasi kronik yang ditandai dengan siklus
aktivitas sel yang tidak mendukung penyembuhan.
b) Aktifitas proteolitik dapat tidak adekuat (i.e melapaui periode
bermanfaat) sehingga berperan dalam kronisitas luka.
c) Kadar matrix metalloproteinase dan protease serine meningkat
dibandingkan cairan luka akut.
d) Kadar laktat pada luka kronik semakin menurun selama masa
penyembuhan.
e) Pada luka kronik, kadar albumin, protein total, dan glukosa semakin
meningkat menuju masa penyembuhan.
f) Beberpa spesies bakteri bertahan dalam luka kronik yang lembab
sehingga menghambat penyembuhan luka. (Maryunani , 2015).

3. Jenis penutupan luka


Penyembuhan luka dapat dijelaskan sesuai dengan jenis/metode penutupan pada
penyembuhan luka berikut ini:
a. Primary Intention
1) Luka, dengan kedalaman luka full thickness ditutup dengan menggunakan
jahitan, staples, atau perekat/plester.
2) Luka yang ditutup dengan mendekatkan jaringan yang terputus degan
jahitan steples atau pelester.
3) Dengan berlalunya waktu, maka terjadi sitesis, siposisi dan saling silang
kolagen yang memeberikan kekuatan dan integritas penyembuhan
jaringan.
b. Secondary Intention
1) Luka, dengan kedalaman luka partial thickness atau full thickness,
dibiarkan terbuka agar penyembuhannya melalui deposisi jaringan
granulasi
2) Luka, yang penutupan lukanya terjadi bila luka berkontraksi secara
biologis.
3) Contoh yang paling jelas adalah luka stump amputasi yang dibiarkan
terbuka.
4) Kegagalan penutupan luka secara spontan akan menghasilkan luka kronik.
c. Tertiary intention
1) Luka, dengan kedalaman full thickness dibiarkan terbuka untuk
mengupayakan debridement atau penurunan edema sampai kondisi
optimal terpenuhi untuk penutupan luka aktif.
2) Kondisi luka diapproximated/didekatkan
3) Jahitan, steples, dan plester digunakan untuk menutupan luka. (Maryunani
, 2015).
4. Manajemen perawatan luka
Hal hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen perawatan luka kaki diabetik
adalah sebagai berikut:
a. Proses penyembuhan luka
1) Fase Inflamasi/eksudasi (tahap pembersihan) : menghentikan perdarahan
dean mempersiapkan tempat luka menjadi bersih dari benda asing/ kuman
sebelum dimulai proses penyembuhan. Fase ini ditandai dengan migrasi
berturutan leukosit ke dalam luka. Fase ini berlangsung 0 – 3 hari.
2) Fase Proliferasi/ granulasi (rekonstruksi) : pembentukan jaringan granulasi
untuk menutup defek atau cedera pada jaringan yang luka. Fase ini
berlangsung 3 - 21 hari.
3) Fase Maturasi/ diferensiasi (tahap epitelisasi) : memoles jaringan
penyembuhan yang telah terbentuk menjadi matang dan fungsional. Pada
fase ini, kolagen terbentuk yang meningkatkan kekuatan tensile pada luka
dimana tepi-tepi luka saling menarik (kontraksi). Fase ini berlangsung 22
– 3 tahun (Maryunani, 2013).

a) Tipe penyembuhan luka


Tipe penyembuhan luka terbagi atas:
 Primary intention healing : kehilangan jaringan minimal, tepi luka
dapat direkatkan kembali.
 Delayed Primary intention healing : primary intention yang
tertunda akibat benda asing atau infeksi.
 Secondary Intention healing : proses penyembuhan tertunda dan
melalui tahap (Maryunani, 2013).
b) Faktor penghambat penyembuhan luka menurut Maryunani (2013)
adalah
 Lingkngan luka kering yang memungkinkan sel-sel epitelial
mengering dan mati
 Defisiensi nutrisi (vit C, protein, dan zinc) dimana menghambat
pembentukan serabut kolagen dan perkembangan kapilaria,
mengurangi suplai asam amino untuk perbaikan jaringan, dan
mengganggu epitelisasi.
 Gangguan sirkulasi dimana mengurangi suplai nutrisi pada area
luka dan menghambat proses inflamasi dan pengangkatan debris
dari area luka
 Stres (nyeri, kurang tidur) dimana pada keadaan stres, tubuh
melepaskan katekolamin yang menyebabkan fase konstriksi
 Antiseptik seperti H2O2, povidone iodine, clorhexidine,
kortikosteroid dimana antiseptik tersebut merupakan toksik pada
fibroblast , sel darah merah, sel darah putih, mengganggu
fagositosis, menghambat proliferasi, menekan pembentukan
jaringan granulasi, dan menghambat kontraksi luka.
 Benda asing dimana dapat meningkatkan respon inflamasi dan
menghambat penutupan luka.
 Infeksi dimana meningkatkan kerusakan jaringan dan respon
inflamasi.
 Gesekan mekanik dimana merusak atau memusnahkan jaringan
granulasi.
 Akumulasi cairan dimana akumulasi pada daerah yang terkena
mengambat jaringan mendekat.
 Radiasi dimana menyebabkan nekrosis jaringan dan menghambat
aktivitas fiibroblastik.
 Penyakit diabetes melitus dimana menghambat sintesa kolagen dan
mengganggu sirkulasi dan pertumbuhan kapilaria.
 Anemia dimana mengurangi suplai oksigen.
c) Pengukuran luka
Hal yang perlu diperhatikan selanjutnya mengenai luka kaki diabetik
yaitu pengukuran luka. Adapun pengukuran luka terdiri atas:
 Pengukuran dua dimensi
Pengukuran dua dimensi dilakukan pada luka terbuka dengan
indicator pengukuran, yaitu panjang x lebar.
 Pengukuran tiga dimensi
Pengukuran tiga dimensi dilakukan pada luka berongga atau
berterowongan undermining. Pengukuran ini biasanya digunakan
untuk menilai ada tidaknya undermining/ goa/ lorong, saluran sinus,
dan fistula. Pengukuran tiga dimensi dilakukan dengan mengkaji
panjang, lebar, dan kedalaman luka.
Secara garis besar ada 4 parameter yang digunakan dalam pengukuran
luka, yaitu; panjang, lebar, kedalaman, dan diameter (Maryunani, 2013).
d) Cairan luka (eksudat)
Eksudat adalah istilah generic yang digunakan untuk
mengidentifikasi cairan yang dihasilkan dari luka. Dalam mengkaji
eksudat, perlu diperhatikan: tipe/jenis, jumlah, warna, konsistensi, bau,
bau, kulit sekitar, dan infeksi luka.
Tipe/jenis eksudat, sebagai berikut:
 Serosa : cairan berwarna jernih
 Hemoserosa : cairan serosa yang berwarna merah terang/cairan
serosa yang bercampur darah
 Sanguenous : cairan berwarna darah kental/ pekat
 Purutlent : cairannya kental mengandung nanah
e) Jumlah eksudat: derajat/jumlah eksudat secara tradisional dikategorikan
sebagai tidak ada, sedikit, sedang, atau banyak. Eksudat/ cairan yang
berlebih terjadi karena permeabilitas fibrinogen dan plasma meningkat.
f) Bau tidak sedap (odor)
Berikut merupakan klasifikasi dari skor bau:
 Kuat : bau tercium kuat dalam ruangan (6-10 langkah dari
penderita), balutan tertutup
 Sedang : bau tercium kuat dalam ruangan (6-10 langkah dari
penderita), balutan terbuka
 Ringan : bau tercium bila dekat dengan penderita pada saat balutan
diganti
 Tidak ada : bau tidak tercium saat di samping pasien dengan
balutan terbuka.
g) Perawatan luka
Menurut Syaiful (2017), melakukan perawatan luka/ulkus diabetes perlu
diketahui prinsip “TIME” yaitu:
 Tissue management: mengambil jaringan mati
Tissue management atau manajemen jaringan luka ditujukan
untuk menyiapkan bantalan luka. Oleh karena itu dipandang perlu
untuk segera melakukan debridement untuk mengangkat jaringan
nekrotik dan slough.
 Inflamasi dan infeksi kontrol: pemberian antibiotik dari dalam dan
pilih dressing antimikrobial untuk kontrol infeksi dari luar
Luka kronik selalu dianggap terkontaminasi sehingga terjadi
kolonisasi bakteri yang pada akhirnya akan mengakibatkan infeksi.
Sibbald (2002) menggambarkan pentingnya mempertahankan
keseimbangan bakteri ketika luka terkontaminasi atau terkolonisasi
oleh bakteri tapi tidak mengganggu proses penyembuhan. Jika luka
tidak sembuh dengan penggunaan topical therapy, penggunaan
antibiotic sistemik dapat dipertimbangkan, utamanya jika terjadi
infeksi jaringan dalam.

 Moisture balance: Pertahankan kelembaban lingkungan luka


Luka dapat memproduksi eksudat mulai dari jumlah sedikit,
sedang, hingga banyak. Luka dengan eksudat yang banyak
dapat menyebabkan maserasi pada kulit sekitar luka dilain pihak luka
dengan eksudat sedikit atau tidak ada dapat menjadi kering. Oleh
karena itu perlu ada keseimbangan kelembaban pada luka.
Adapun alasan rasional dari teori perawatan luka dalam suasana
lembab (Dikutip dari Gitarja, 2002) antara lain:
 Mempercepat fibrinolisis
Fibrin yang terbentuk pada luka kronis dapat dihilangkan lebih
cepat oleh netrofil dan sel endotel dalam suasana lembab
 Mempercepat angiogenesis
Dalam keadaan hipoksia pada perawatan luka tertutup akan
merangsang lebih cepat pembentukan pembuluh darah yang baru
(anggiogenesis).
 Menurunkan resiko infeksi
Berdasarkan hasil penelitian Colwell et al di Amerika Serikat
pada tahun 1993, angka kejadian infeksi ternyata relatif lebih rendah
jika luka dirawat dengan lingkungan yang lembab jika dibandingkan
dengan perawatan kering.
 Mempercepat pembentukan Growth Faktor,
Growth factor berperan pada proses penyembuhan luka untuk
pembentukan stratum corneum dan angiogenesis, dimana produksi
komponen tersebut lebih cepat terbentuk dalam lingkungan yang
lembab.
 Mempercepat terjadinya pembentukan sel aktif
Pada keadaan lembab, invasi netrofil yang diikuti oleh
makrofag, monosit dan limfosit ke daerah luka berfungsi lebih dini.
h) Epithelial edge and advanced: rawat dan jaga area sekitar luka
Penyembuhan luka bukan hanya menyiapkan bantalan luka, tapi
yang juga tak kalah penting adalah menyiapkan tepi luka (wound edge).
Selama ini dalam perawatan luka kita hanya berfokus pada lukanya dan
mengabaikan perawata kulit sekitar luka. Tepi luka yang berwarna pink
merupakan gambaran luka yang sehat sebaliknya tepi luka yang
menebal atau tidak jelas batasnya merupakan gambaran luka yang
kurang baik. Untuk perawatan tepi luka dapat dilakukan dengan
mengontrol eksudat agar tidak mengenai tepi luka, memberi
kelembaban pada kulit sekitar luka dapat menggunakan skin tissue, skin
lotion, dll (Maryunani, 2013).
A. Tinjauan Umum Modern dressing
Pemilihan dressing berdasarkan fungsi menurut Maryunani (2013), yaitu:
1. Rehidrasi
Untuk warna dasar luka hitam atau nekrotik kering
a. Hydroactive Gel / Hydrogel
Indikasi:
1) Luka kering dengan atau tanpa kedalamannya
2) Luka partial atau full thickness
3) Luka bakar derajat 1 dan 2
4) Ulkus stasis dan neuropatik
5) Jaringan nekrotik
b. Hydrocolloids
Indikasi:
1) Luka dengan sedikit eksudat sampai sedang
2) Jaringan granulasi/luka yang berwarna merah
3) Luka akut dan kronik
4) Luka dangkal
5) Abses
6) Luka dengan epitelisasi
7) Luka yang terinfeksi derajat 1 dan 2
8)
9) Luka tekan
10) Sebagai penutup untuk gel atau alginate
Kontraindikasi:
1) Luka yang terinfeksi grade III-IV
c. Transparant film
Indikasi:
1) Primary atau secondary dressing
2) Dapat digunakan pada luka yang memerlukan
dressing fiksasi yang tahan air
3) Dapat membantu penyembuhan luka di
permukaan kulit
Kontraindikasi:
1) Pada luka dengan eksudat banyak dan sinus

d. Prontosan gel
Protosan gel merupakan topical untuk membersihkan dan menjaga
kelembaban luka kulit dan luka bakar, serta dekontaminasi. Protosan gel
bekerja dengan mengurangi waktu penyembuhan, menghapus dan mencegah
biofilm, mencegah infeksi, mengurangi pergantian luka yang menyakitkan,
serta kompatibel dengan yang umum digunakan dressing luka
e. Foam dressing
Indikasi:
(1) Dapat digunakan pada luka full thickness atau partial thickness
(2) Paling sering digunakan pada luka yang berair/basah
(3) Juga dapat berguna untuk luka lembab
(4) Luka eksudat sedang-berat
Kontraindikasi:
(1) Luka dengan eksudat minimal
(2) Luka dengan jaringan nekrotik hitam
(3) Luka bakar derajat 3
(4) Luka yang tidak ada cairan karena balutan bisa lengket pada dasar luka
(5) Seharusnya tidak digunakan untuk mengisi saluran sinus

f. Calcium Alginate
Indikasi:
(1) Luka dengan warna dasar luka merah atau
granulasi sel
(2) Luka dengan eksudat sedang maupun banyak
(3) Luka mudah berdarah/luka dengan perdarahan
(4) Luka yang dalam hingga berlubang (sinus)
(5) Luka dengan ada slough/slaft dan nekrosis
(6) Luka akut maupun kronik
(7) Luka bakar derajat 1 dan 2
(8) Luka pasca operasi dan luka operasi tebuka
(9) Luka donor site (luka donor)
Kontraindikasi:
Luka dengan jaringan nekrotik dan kering
g. Hidroselulosa (hydrofiber)
Indikasi:
(1) Luka kaki (leg ulcers)
(2) Luka tekan/dekubitus (stadium II-IV)
(3) Luka diabetes melitus
(4) Luka bedah dan Traumatik
(5) Luka bakar yang tidak melebihi 10% dari
seluruh permukaan tubuh
(6) Penyerapan cairan luka pada luka kanker (onkologi)
h. Low adherent
Low adherent absorbent dressing memiliki
keunggulan tidak lengket pada luka, dapat mengontrol
eksudat, khususnya eksudat ringan, tiak merembes ke
permukaan dressing. Indikasinya sebagai dressing untuk
luka superficial, luka post op, luka dengan eksudat
ringan.
1) Balutan Antimikrobial
i. Hidrofobik
Indikasi:
(1) Digunakan pada luka yang disertai eksudat,
kotor, berkoloni, dan terinfeksi
(2) Luka yang berongga dan luka trauma
(3) Luka kronik seperti pada vena, arteri, luka
diabetic, dan luka dekubitus
(4) Luka setelah pemotongan fitula dan abses
j. Silver
(1) Silver ada yang berbentuk cream, pasta atau lembaran
(2) Indikasi: Untuk luka yang terinfeksi
(3) Dapat mempertahankan luka tetap lembab
(4) Penggunaan 2-3 minggu
k. Cadexomer Iodine
(1) Antiseptik : bakteri, jamur, virus, protozoa,
trichomonas, dan spora
(2) Bereaksi dengan asam amino dan enzim
mikroba
(3) Tidak toksik terhadap fibroblas (tidak bersifat
sitotoksik)
(4) Lama kerja panjang (48-72 jam)
(5) Indikasi: Untuk luka yang terinfeksi
l. Topical Therapy
Pemberian topical therapy bertujuan untuk mensupport, kelembaban
luka, menghilangkan bau. Adapun jenis topical therapy yang dapat diberikan,
contohnya yaitu Metcovazine dan Epitel Wound Zalf (EWZ).
1) Metcovazine
Metcovzine adalah salah satu sediaan zink yang telah
dikembangkan dalam bentuk cream. Zink (zinc oxide) memiliki ikatan
kima ZNO, Z untuk Zinc dan O untuk oksigen. Zinc oxide terdiri atas satu
atom zink dan satu atom oksigen yang saling berikatan. Ada sekitar 300
enzim yang membutuhkan Zinc dalam kegiatannya, sebagai mineral
esensial dalam pembentukan sintesis DNA, sintesis protein, pergantian
dan perbaikan jaringan.
Defisiensi Zink dapat menyebabkan gangguan dalam
penyembuhan luka, terutama penurunan jumlah protein dan sintesis
kolagen selama proses penyembuhan luka. Saat proses penyembuhan luka,
terjadi peningkatan kebutuhan zink, terutama pada fase inflamasi dan
proliferasi.
Metcovazin direkomendasikan untuk luka dengan warna dasar luka
hitam, kuning, dan merah. Metcovazin tidak dapat menyerap eksudat dan
tidak dapat membunuh kuman kecuali dikombinasikan dengan
antimikroba (Arisanty, 2013).
Ada 3 jenis Metcovazine yaitu:
 Gold : luka dengan Kritikal kolonisasi
dan infeksi
 Red: luka yang granulasi

 Reguler: autolisis (warna dasar


luka hitam dan kuning)

m. Epitel Wound Zalf (EWZ)


Epitel zalf mengandung anti inflaasi, anti infeksi, serta memiliki
kandungan protein yang tinggi sehingga mempercepat pembentukan kolagen,
sintesis protein dalam pembentukan jaringan granulasi. Epitel zalf memiliki
vit A dan mempercepat pembentukan fibroblast sehingga pembentukan epitel
pada kulit sangat cepat. Epitel zalf pada dressing sebagai advance
moisterbalance (mendukung proses kelembaban) sehingga penggunaannya
nyaman kepada pasien ditambah mengandung parfum untuk memberikan
kesegaran pada luka.
n. Balutan Fiksasi

Balutan fiksasi merupakan balutan akhir yang diberikan dengan tujuan


untuk mengurangi nyei, merekatkan balutan, dan memberi rasa nyaman.
Contoh balutan fiksaasi, yaitu:
1) Adhesive tape

2) Chohesive Bandage
DAFTAR PUSTAKA

Bruner & Suddarth. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 2. EGC:
Jakarta.
Doenges. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk perencanaan dan
Pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: EGC.
Mansjoer, Arif. (2001). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1.UI: Media.
Price, Sylvia A. (2006). Patofisiologi. Jakarta: EGC.

Smeltzer & Bare. (2002). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai