STRUMA
DISUSUN OLEH :
ARISTA STHAVIRA
030.08.042
Kata Pengantar.................................................................................................................................i
Daftar Isi..........................................................................................................................................1
BAB I Pendahuluan.........................................................................................................................2
BAB IV Kesimpulan.......................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................23
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
Untuk mengetahui penyakit dan kelainan tiroid, perlu diingat kembali tentang
anatomi tiroid. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat kembali sebelum
terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut menjadi suatu penyakit atau
kelainan.
Kelenjar tiroid terdiri dari tiga lobus, yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan isthmus
yang terletak di bagian tengah. Kadang- kadang dapat ditemukan bagian keempat yaitu
lobus piramidalis yang letaknya di atas isthmus agak ke kiri dari garis tengah. Lobus ini
merupakan sisa jaringan embrional tiroid yang masih tertinggal.
Kelenjar tiroid mempunyai berat sekitar 25 – 30 gram dan terletak antara tiroidea
dan cincin trakea keenam. Seluruh jaringan tiroid dibungkus oleh suatu lapisan yang
disebut true capsule.
3
Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari :
Saraf yang melewati tiroid adalah Nervus Rekurens. Saraf ini terletak di dorsal
tiroid sebelum masuk ke laring.
4
2.2 Fisiologi Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan suatu kelenjar endokrin yang mensekresikan hormon Tiroksin
atau T4, triiodotironin atau T3 dan kalsitonin. Di dalam darah sebagian besar T3 dan T4 terikat
oleh protein plasma yaitu albumin, Thyroxin Binding Pre Albumin (TBPA) dan Thyroxin Binding
Globulin (TGB). Sebagian kecil T3 dan T4 bebas beredar dalam darah dan berperan dalam
mengatur sekresi TSH. Hormon tiroid dikendalikan oleh thyroid-stimulating hormone ( TSH ) yang
dihasilkan lobus anterior glandula hypofise dan pelepasannya dipengaruhi oleh thyrotropine-
releasing hormone ( TRH ). Kelenjar thyroid juga mengeluarkan calcitonin dari parafolicular cell,
yang dapat menurunkan kalsium serum berpengaruh pada tulang.
2) efek kardiogenik
3) simpatogenik
5
6
BAB III
PEMBAHASAN
1) Struma Toksik, yaitu struma yang menimbulkan gejala klinis pada tubuh,
berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
2) Struma Nontoksik, yaitu struma yang tidak menimbulkan gejala klinis pada
tubuh, berdasarkan perubahan bentuknya dapat dibagi lagi menjadi
7
Proses peradangan pada kelenjar tiroid seperti pada tiroiditis akut, tiroiditis
subakut (de Quervain) dan tiroiditis kronis (Hashimoto)
3) Neoplasma
Struma menimbulkan gejala klinis dikarenakan oleh perubahan kadar hormon tiroid
di dalam darah. Kelenjar tiroid dapat menghasilkan hormon tiroid dalam kadar berlebih
atau biasa disebut hipertiroid maupun dalam kadar kurang dari normal atau biasa disebut
hipotiroid. Gejala yang timbul pada hipertiroid adalah :
Tremor
Diare
Exophtalmus
Bradikardi, tekanan sistolik yang rendah dan tekanan nadi yang lemah
8
Gerak tubuh menjadi lamban dan edema pada wajah, kelopak mata dan
tungkai
3.1.1 Definisi
Struma difusa toksik dapat kita temukan pada Grave’s Disease. Penyakit ini juga biasa
disebut Basedow. Trias Basedow meliputi pembesaran kelenjar tiroid difus, hipertiroidi dan
eksoftalmus. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang muda dengan gejala seperti
berkeringat berlebihan, tremor tangan, menurunnya toleransi terhafap panas, penurunan
berat badan, ketidakstabilan emosi, gangguan menstruasi berupa amenorrhea, dan
polidefekasi ( sering buang air besar ). Klinis sering ditemukan adanya pembesaran
kelenjar tiroid, kadang terdapat juga manifestasi pada mata berupa exophthalmus dan
miopatia ekstrabulbi. Walaupun etiologi penyakit Graves tidak diketahui pasti, tampaknya
terdapat peran dari suatu antibodi yang dapat ditangkap reseptor TSH, yang menimbulkan
stimulus terhadap peningkatan hormon tiroid. Penyakit ini juga ditandai dengan
peningkatan absorbsi yodium radiokatif oleh kelenjar tiroid.
3.1.2 Patofisiologi
9
Grave’s Disease merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh kelainan system
imun dalam tubuh, di mana terdapat suatu zat yang disebut sebagai Thyroid Receptor
Antibodies. Zat ini menempati reseptor TSH di sel-sel tiroid dan menstimulasinya secara
berlebiham, sehingga TSH tidak dapat menempati reseptornya dan kadar hormone tiroid
dalam tubuh menjadi meningkat.
Pada saluran cerna sekresi maupun peristaltik meningkat sehingga sering timbul
polidefekasi dan diare.
10
Gangguan menstruasi dapat berupa amenorea sekunder atau metrorhagia. Kelainan
mata disebabkan oleh reaksi autoimun berupa ikatan antibodi terhadap reseptor pada
jaringan ikat dan otot ekstrabulbi dalam rongga mata. Jaringan ikat dan jaringan lemaknya
menjadi hiperplastik sehingga bola mata terdorong ke luar dan otot mata terjepit. Akibatnya
terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata akibat keratitis.
Gangguan gerak otot akan menyebabkan strabismus.
3.1.4 Tatalaksana
11
Terapi definitif dapat dipilih antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan
yodium radiokatif, atau tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi
dilakukan terutama jika pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid
besar. Pembedahan yang baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen
meskipun kadang dijumpai terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
3.2.1 Definisi
Struma nodosa toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus yang disertai
dengan tanda-tanda hipertiroid. Pembesaran noduler terjadi pada usia dewasa muda sebagai suatu
struma yang nontoksik. Bila tidak diobati, dalam 15-20 tahun dapat menjadi toksik. Pertama kali
dibedakan dari penyakit Grave’s oleh Plummer, maka disebut juga Plummer’s disease.
3.2.2 Patofisiologi
Penyakit ini diawali dengan timbulnya pembesaran noduler pada kelenjar tiroid yang tidak
menimbulkan gejala-gejala toksisitas, namun jika tidak segera diobati, dalam 15-20 tahun dapat
menimbulkan hipertiroid. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan dari nontoksik menjadi
toksik antara lain adalah nodul tersebut berubah menjadi otonom sendiri (berhubungan dengan
penyakit autoimun), pemberian hormon tiroid dari luar, pemberian yodium radioaktif sebagai
pengobatan.
Saat anamnesis, sulit untuk membedakan antara Grave’s disease dengan Plummer’s
disease karena sama-sama menunjukan gejala-gejala hipertiroid. Yang membedakan adalah saat
pemeriksaan fisik di mana pada saat palpasi kita dapat merasakan pembesaran yang hanya terjadi
pada salah satu lobus.
3.2.4 Tatalaksana
Terapi yang diberikan pada Plummer’s Disease juga sama dengan Grave’s yaitu
ditujukan pada pengendalian keadaan tirotoksisitas/ hipertiroidi dengan pemberian
antitiroid, seperti propil-tiourasil ( PTU ) atau karbimazol. Terapi definitif dapat dipilih
12
antara pengobatan anti-tiroid jangka panjang, ablasio dengan yodium radiokatif, atau
tiroidektomi. Pembedahan terhadap tiroid dengan hipertiroidi dilakukan terutama jika
pengobatan dengan medikamentosa gagal dengan kelenjar tiroid besar. Pembedahan yang
baik biasanya memberikan kesembuhan yang permanen meskipun kadang dijumpai
terjadinya hipotiroidi dan komplikasi yang minimal.
3.3.1 Definisi
3.3.2 Patofisiologi
13
itulah yang dikenal dengan goiter hipotiroid. Derajat pembesaran tiroid mengikuti level
dan durasi defisiensi hormon tiroid yang terjadi pada seseorang.
Goiter Difus
Goiter difus adalah bentuk goiter yang membentuk satu buah pembesaran yang
tampak tanpa membentuk nodul. Benttuk ini biasa ditemukan dengan sifat non-toksik
(fungsi tiroid normal), oleh karena itu bentuk ini disebut juga goiter simpel. Dapat juga
disebut sebagai goiter koloid karena sel folikel yang membesar tesebut umumnya dipenuhi
oleh koloid. Kelainan ini muncul pada goiter endemik dan sporadik.
Goiter endemik muncul di tempat yang tanah, air, maupun suplai makanannya
mengandung sedikit iodin, sehingga terjadi defisiensi iodin secara meluas di daerah
teresebut. Contoh daerahnya adalah daerah pegunungan Alps, Andes atau Himalaya.
Sementara itu, goiter sporadik muncul lebih jarang dan dapat disebabkan oleh
berbagai hal, yaitu konsumsi bahan yang menghambat sintesis hormon tiroid atau
gangguan enzim untuk sintesis hormon tiroid yang turun secara herediter.
Pada goiter simpel, terdapat dua fase evolusinya, yaitu hiperplastik dan involusi koloid.
Pada fase hiperplastik, kelenjar tiroid membesar secara difus dan simetris, walaupun
pembesarannya tidak terlalu besar (hingga 100-150 gram). Folikel-folikelnya dilapisi oleh
sel kolumner yang banyak dan berdesakan. Akumulasi sel ini tidak sama di keseluruhan
kelenjar. Apabila setelah itu konsumsi iodin ditingkatkan atau kebutuhan tubuh akan
hormon tiroid menurun, terjadi involusi sel epitel folikel sehingga terbentuk folikel yang
besar dan dipenuhi oleh koloid. Biasanya secara makroskopik tiroid akan terlihat coklat
dan translusen, sementara secara histologis akan terlihat bahwa folikel dipenuhi oleh koloid
serta sel epitelnya gepeng dan kuboid.
3.3.4 Tatalaksana
14
Tujuan dari pengobatan struma endemik adalah untuk mengecilkan struma dan mengatasi
hipotiroidisme yang mungkin ada, yaitu dengan pemberian SoL Lugoli selama 4-6 bulan. Bila ada
perbaikan, pengobatan dilanjutkan sampai tahun dan kemudian tapering off dalam 4 minggu. Bila
6 bulan sesudah pengobatan struma tidak juga mengecil maka pengobatan medikamentosa tidak
berhasil dan harus dilakukan tindakan operatif.
3.4.1 Definisi
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tiroid yang secara klinik
teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme. Istilah struma nodosa
menunjukkan adanya suatu proses, baik fisiologis maupun patologis yang menyebabkan
pembesaran asimetris dari kelenjar tiroid. Karena tidak disertai tanda-tanda toksisitas pada tubuh,
maka pembesaran asimetris ini disebut sebagai struma nodosa nontoksik. Kelainan ini sangat sering
dijumpai sehari-hari, dan harus diwaspadai tanda-tanda keganasan yang mungkin ada.
3.4.2 Patofisiologi
SNNT dapat juga disebut sebagai goiter sporadis. Jika goiter endemis terjadi 10% populasi
di daerah dengan defisiensi yodium, maka goiter sporadis terjadi pada seseorang yang tidak tinggal
di daerah endemik beryodium rendah. Penyebabnya sampai sekarang belum diketahui dengan jelas,
bisa terdapat gangguan enzim yang penting dalam sintesis hormon tiroid atau konsumsi obat-obatan
yang mengandung litium, propiltiourasil, fenilbutazone, atau aminoglutatimid.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena tidak
ada hipo- atau hipertiroidisme. Yang penting pada diagnosis SNNT adalah tidak adanya
gejala toksik yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid, dan pada palpasi
dirasakan adanya pembesaran kelenjar tiroid pada salah satu lobus. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
15
Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa dapat hidup
dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol ke
depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya
bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai jauh ke arah
kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan.
Penyempitan yang berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi
dispnea dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik untuk menutup
laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi pada trakea.
3.4.4 Tatalaksana
a. Lobektomi, yaitu mengangkat satu lobus, bila subtotal maka kelenjar disisakan
seberat 3 gram
3.5.1 Definisi
Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel) yang
terjadi pada kelenjar tiroid. Kanker tiroid adalah sutu keganasan pada tiroid yang memiliki 4 tipe
yaitu: papiler, folikuler, anaplastik dan meduller. Kanker tiroid jarang menyebabkan pembesaran
16
kelenjar, lebih sering menyebabkan pertumbuhan kecil (nodul) dalam kelenjar. Sebagian besar
nodul tiroid bersifat jinak, biasanya kanker tiroid bisa disembuhkan
Kanker tiroid sering kali membatasi kemampuan menyerap yodium dan membatasi
kemampuan menghasilkan hormon tiroid, tetapi kadang menghasilkan cukup banyak hormon tiroid
sehingga terjadi hipertiroidisme.
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan nodul tiroid
jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik :
17
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan sukar digerakkan,
walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun nodul yang
mengalami kalsifikasi dapat ditemukan pada hiperplasia adenomatosa yang sudah
berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupaka tanda keganasan, walaupun nodul ganas
tidak selalu melakukan infiltrasi. Jika ditemukan ptosis, miosis, dan enoftalmus merupakan
tanda infiltrasi ke jaringan sekitar
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang ganas.
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurigai ganas terutama yang
tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba membesar progresif
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah bening regional atau
perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus
karena desakan pembesaran nodul (Berry’s Sign)
3.5.1 Anamnesis
Pada anamnesis, keluhan utama yang diutarakan oleh pasien bisa berupa benjolan di leher
yang sudah berlangsung lama, maupun gejala-gejala hipertiroid atau hipotiroidnya. Jika pasien
mengeluhkan adanya benjolan di leher, maka harus digali lebih jauh apakah pembesaran terjadi
sangat progresif atau lamban, disertai dengan gangguan menelan, gangguan bernafas dan
perubahan suara. Setelah itu baru ditanyakan ada tidaknya gejala-gejala hiper dan hipofungsi dari
kelenjer tiroid. Perlu juga ditanyakan tempat tinggal pasien dan asupan garamnya untuk mengetahui
apakah ada kecendrungan ke arah struma endemik. Sebaliknya jika pasien datang dengan keluhan
ke arah gejala-gejala hiper maupun hipofungsi dari tiroid, harus digali lebih jauh ke arah hiper atau
hipo dan ada tidaknya benjolan di leher.
18
Pada pemeriksaan fisik status lokalis pada regio coli anterior, yang paling pertama
dilakukan adalah inspeksi, dilihat apakah pembesaran simetris atau tidak, timbul tanda-tanda
gangguan pernapasan atau tidak, ikut bergerak saat menelan atau tidak.
Pada palpasi sangat penting untuk menentukan apakah bejolan tersebut benar adalah
kelenjar tiroid atau kelenjar getah bening. Perbedaannya terasa pada saat pasien diminta untuk
menelan. Jika benar pembesaran tiroid maka benjolan akan ikut bergerak saat menelan, sementara
jika tidak ikut bergerak maka harus dipikirkan kemungkinan pembesaran kelenjar getah bening
leher. Pembesaran yang teraba harus dideskripsikan :
- Lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
- Ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
- Jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
- Konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
- Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
- Mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus sternokleidomastoidea
- Kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada pembesaran atau tidak
3. Pemeriksaan radiologis
19
Foto rontgen dapat memperjelas adanya deviasi trakea atau
pembesaran struma retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun
sudah bisa diduga. Foto rontgen leher posisi AP dan lateral biasanya
menjadi pilihan.
20
3. Struma dengan gangguan kompresi
4. Kosmetik
Bila kasus yang dihadapi adalah inoperable maka dilakukan tidakan biopsi
insisi untuk keperluan pemeriksaan histopatologis. Dilanjutkan dengan tindakan
debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi. Bila nodul tiroid suspek
maligna yang operable atau suspek benigna dapat dilakukan tindakan
isthmolobektomi atau lobektomi. Jika setelah hasil PA membuktikan bahwa lesi
tersebut jinak maka operasi selesai, tetapi jika ganas maka harus ditentukan
terlebih dahulu jenis karsinoma yang terjadi.
b. Dispneu
21
c. Paralisis N. Rekurens Laryngeus. Akibatnya otot-oto laring terjadi
kelemahan
BAB IV
22
KESIMPULAN
Struma adalah suatu penyakit yang sering kita jumpai sehari-hari. Sangat penting untuk
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dan cermat untuk mengetahui ada
tidaknya tanda-tanda toksisitas yang disebabkan oleh perubahan kadar hormon tiroid dalam
tubuh. Begitu juga dengan tanda-tanda keganasan yang dapat diketahui secara dini.
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Widjosono, Garitno, Sistem Endokrin : Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor
Syamsuhidayat R.Jong WB, Edisi Revisi, EGC, Jakarta, 1997 : 925-952.
2. Kariadi KS Sri Hartini, Sumual A., Struma Nodosa Non Toksik & Hipertiroidisme :
Buku Ajar Ilmu Pneyakit Dalam, Edisi Keiga, Penerbit FKUI, Jakarta, 1996 : 757-
778.
3. Schteingert David E., Penyakit Kelenjar Tiroid, Patofisiologi, Edisi Keempat, Buku
Dua, EGC, Jakarta, 1995 : 1071-1078.
4. Liberty Kim H, Kelenjar Tiroid : Buku Teks Ilmu Bedah, Jilid Satu, Penerbit
Binarupa Aksara, Jakarta, 1997 : 15-19.
24