Anda di halaman 1dari 84

ANTIBIOTIK SISTEMIK

Antibiotik adalah senyawa zat terlarut yang terbuat dari organisme


yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik merupakan zat
yang dihasilkan oleh suatu mikroba, terutama fungi, yang dapat
menghambat atau dapat membasmi mikroba jenis lain.1,2

I. Klasifikasi Antibiotik Sistemik1


Antibiotik yang terkini bersifat sintetik atau semi-sintetik.
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibiotik dibagi menjadi dua
jenis yaitu yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal
sebagai aktivitas bakteriostatik dan ada yang bersifat membunuh
mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisidal. Walaupun
perbedaannya tidak begitu jelas, misalnya eritromisin dapat bersifat
bakteriostatik atau bakterisidal tergantung dari organisme yang
menginfeksi dan konsentrasi obat.
Tabel 1. Klasifikasi antibiotik berdasarkan sifat toksisitas selektif.
Bakteriostatik Bakterisidal
Kloramfenikol Aminoglikosida
Klindamisin Basitrasin
Eritromisin Karbapenem
Sulfonamida Monobaktam
Tetrasiklin Penisilin
Trimetoprim Polymyxin B
Kuinolon
Vankomisin

Pada penggunaan klinik, antibiotik dibagi ke dalam kelompok


spektrum sempit dan spektrum luas yang berespon terhadap
mikroorganisme Gram-negatif dan Gram-positif. Berdasarkan
mekanisme kerjanya, antibiotik dibagi dalam lima kelompok, yaitu:
1. mengganggu metabolisme sel mikroba (Para-aminobenzoic acid
(PABA) antagonis,
2. menghambat sintesis dinding sel mikroba,
1
3. mengganggu permeabilitas membrane sel mikroba,
4. menghambat sintesis protein sel mikroba, dan
5. menghambat sintesis atau merusak asam nukleat sel mikroba.

Tabel 2. Klasifikasi antibiotik sistemik berdasarkan mekanisme


kerja.
Nama antibiotik Tempat Mekanisme Kerja
Penisilin
Sefalosporin
Karbapenem
Dinding sel
Monobaktam
Vankomisin
β-lactamase inhibitor
Sulfonamida Menghambat sintesis asam nukleat
Trimetoprim
Kuinolon DNA gyrase
Metronidazol Memecah rantai DNA
Aminoglikosida–30S
Tetrasiklin–30S
Kloramfenikol–50S Subunit Ribosom
Klindamisin–50S
Makrolid–50S

II. Karakteristik Antibiotik Sistemik


1. Penisilin1
a. Mekanisme Kerja
Merupakan golongan β-laktam, bekerja dengan
berikatan secara ireversibel pada target protein pengikat
penisilin (Penicillin-Binding Protein, PCP), seperti
karboksipeptidase, endopeptidase, dan transpeptidase. PCP
merupakan suatu enzim yang dibutuhkan untuk biosintesis
dan remodelling peptidoglikan pada dinding sel bakteri.
Penisilin berikatan dengan PCP oleh kemiripan molekulnya
dengan dipeptida D-Ala-D-Ala pada peptidotglikan, dan

2
membentuk asil-enzim yang memblokir transfer asil
selanjutnya.
b. Farmakokinetik1
Absorpsi penisilin bervariasi tergantung stabilitas tiap
senyawa asam dan jumlah yang terikat pada makanan.
Kebanyakan penisilin harus di konsumsi minimal 1 jam
sebelum atau 1 jam setelah makan. Absorpsi amoksisilin
tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat ini berdifusi dengan
baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam
cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami
infeksi. Obat ini diekskresi ke urin dalam kadar terapeutik.

c. Indikasi1,2
1) Sifilis.
2) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Streptococcus
sp. (erysipelas, demam scarlet, impetigo, dll).
3) Antraks (bila sensitif).
4) Aktinomikosis.
5) Gigitan serangga yang terinfeksi.

d. Sediaan dan Dosis


Tabel 3. Sediaan dan dosis antibiotik penisilin1,2
Nama Generik Rute Dosis
Penisilin G IM, IV Dewasa: 2-24 juta unit per hari terbagi 4 dosis
(18-24 juta unit per har untuk neurosifilis)
Neonatus: 50mg/kg dosis terbagi 2
Bayi: 75mg/kg dosis terbagi 3
Anak 1-12 tahun: 100mg/kg dosis terbagi 4
Benzatin penisilin G IM Dewasa:
2,4 juta unit x1 (sifilis awal)
2,4 juta unit tiap minggu x3 (sifilis > 1 tahun)
Dicloxacillin Oral Dewasa:
500 mg tiap 6 jam
Anak:

3
12,5-50 mg/kg/hari terbagi 4 dosis
Nafsilin IM, IV Dewasa:
IM: 500 mg tiap 4-6 jam
IV: 0,5-2 gr tiap 4-6 jam
Oksasilin Oral Dewasa:
1-2 gr tiap 4-6 jam
Amoksisilin Oral Dewasa:
500 mg tiap 8 jam
Anak:
20-40 mg/kg/hari terbagi 3 dosis
Amoksisilin/klavulanat Oral Dewasa:
250 mg tiap 12 jam
Anak:
20-40 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis

e. Peringatan
1) Hipersensitivitas terhadap penisilin
2) Peningkatan kadar penisilin dengan probenesid dan
disulfiram
3) Peningkatan efek oleh metotreksat dan warfarin

f. Efek Samping
1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan
urtikaria. Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis
eksfoliatif, Sindroma Steven Johnson (SSJ),
vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi
anafilaktoid.
2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi kolitis
pseudomembranosa.
3) Hepatitis, nefritis intersisiel, neurotoksisitas (pada
dosis tinggi), infiltrat eosinofil pulmonal, serta
reaksi hematologis dimediasi imun jarang terjadi.

4
2. Sefalosporin1
a. Mekanisme Kerja1
Merupakan golongan β-laktam dengan mekanisme kerja
yang sama dengan penisilin. Baik sefalosporin maupun penislin
memiliki struktur dasar yang unik yang disebut cincin β-laktam,
yang menjadi dasar mekanisme kerja kedua antibiotik. Cincin β-
laktam pada keduanya berikatan pada tiazolidin dan membentuk
asam nukleat 6-amino-penisilanat (rantai samping R1).
Sefalosporin berbeda dari penisilin secara struktur dimana cincin
β-laktam juga terikat pada cincin dihidrotiazin (rantai samping
R2).

Gambar 1. Struktur dasar β-laktam.

Sefalosporin terbagi atas 4 generasi, berdasarkan aktivitas


spektrum dan perkembangan evolusinya. Generasi pertama
antara lain sefaleksin, sefadroksil, sefazoiln dan sefalotin
parenteral, dimana semuanya memiliki aktivitas yang baik
melawan S. Aureus dan Streptococcus sp yang sensitif-metisilin,
serta aktivitas yang sangat terbatas melawan bakteri gram
negatif. Generasi kedua antara lain sefprozil, sefaklor,
sefuroksim asetil, dan agen parenteral sefotetan, sefoksitin,
sefuroksim, dapat digunakan lebih luas pada bakteri gram negatif
dibanding generasi pertama, secara spesifik melawan

5
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Generasi
ketiga termasuk sefdinir, sefditoren, serta agen prenteral
sefotksim, seftriakson, seftazidime, sefoperazon, sangat aktif
melawan bakteri gram negatif dengan spektrum yang luas.
Sefalosporin generasi ketiga sangat efektif untuk infeksi
nosokomial bakteri gram negatif. Satu-satunya generasi keempat
yang tersedia di Amerika adalah sefepim, obat parenteral dengan
aktivitas yang baik terhadap baik gram positif maupun gram
negatif spektrum luas, termasuk P. Aeruginosa.(1)

b. Farmakokinetik
Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2
berdasarkan rute pemberian. Sefaleksin, sefadroksil, sefaklor,
sefprozil, asetil sefuroksim, sefdinir, dan sefditoren dapat
diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna.
Sefalosporin lainnya diberikan parenteral. Beberapa sefalosporin
generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim
dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan
serebrospinal. Sefalosporin juga melewati sawar plasenta,
mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin
generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak
mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi,
terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam
bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar
diekskresi melalui empedu. Sefalosporin generasi pertama,
kedua, dan ketiga dapat diberikan pada ibu menyusui, dan
ekskresi pada ASI berbeda-beda tiap obat.(1)

c. Indikasi (1)
1) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Staphylococcus aureus
dan Streptococcus pyogenes tanpa komplikasi dapat

6
diberikan sefalosporin generasi pertama dan kedua, juga
sefdinir dan sefditoren.
2) Gonore
3) Penyakit lyme dapat diberikan seftriakson pada tahap lanjut,
dan sefuroksim pada onset awalnya.

d. Sediaan dan Dosis


Tabel 4. Sediaan dan dosis antibiotik sefalosporin.
Nama generik Dosis anak Dosis dewasa
Sefaleksin 25-100 mg/kg/hari terbagi 250-500 mg 4x1
2 atau 4 dosis
Sefadroksil 30 mg/kg/hari terbagi 2 1-2 gr per hari
dosis
Sefaklor 40 mg/kg/hari terbagi 2 250-500 mg 3x1
atau 3 dosis
Lorakarbef 15-30 mg/kg/hari terbagi 2 200-400 mg 2x1
dosis
Sefprozil 30 mg/kg/hri terbagi 2 250-500 mg per hari
dosis
Seforuksim aksetil 20-30 mg/kg/hari terbagi 2 250-500 mg 2x1
dosis
Sefpodoksim 10 mg/kg/hari terbagi 2 100-400 mg 2x1
proksetil dosis
Seftibuten 9 mg/kg/hari 400 mg per hari
Sefiksim 8 mg/kg/hari terbagi 1 atau 200 mg 2x1 atau 400
2 dosis mg 1x1
Seftriakson 50 mg/kg IM (maks. 1 gr) 1-4 gr per hari IM;
250 mg IM (maks. 1
gr) untuk gonore non
komplikata
Sefdinir 14 mg/kg/hari terbagi 1 300 mg 2x1 atau 600
atau 2 dosis mg 1x1

e. Peringatan (1)
1) Hipersensitivitas terhadap sefalosporin maupun penisilin.

7
2) Absorpsi sefdinir berkurang dengan antasida dan preparat
besi.
3) Kadar siklosporin meningkat dengan seftriakson dan
seftazidim.
4) Perubahan efek warfarin dengan sefotetan, sefamandole,
sefoperazon, sefiksim, dan sefaklor.
5) Ekskresi renal terganggu oleh hampir semua sefalosporin
bersama probenesid.

f. Efek Samping (1)


1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan
urtikaria. Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis
eksfoliatif, SSJ, vaskulitis, angioedema, reaksi
anafilaksis, reaksi anafilaktoid.
2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi pseudokolelitiasis.
Nekrosis tubular ginjal, reaski disulfiram-like (spesifik),
tromboplebitis (lokasi IV), serum sickness like reaction
(sefaklor, sefprozil).

3. Tetrasiklin
Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah
klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofacien.
Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin,
tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.1

8
Gambar 2. Struktur kimia golongan tetrasiklin.

a. Mekanisme Kerja
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri
pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam
masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri Gram-negatif
pertama secara difusi pasif. Tetrasiklin diyakini dapat menjadi
bakteriostatik, tetapi kemudian ditemukan bahwa dapat menjadi
bakteriostatik dan bakterisidal. Antibiotik ini memiliki dua mode
mekanisme antibiotik. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum
antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan negatif,
aerobik dan anaerobik, selain itu juga aktif terhadap spiroket,
mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.
Doxycycline dan minocycline adalah tetrasiklin sistemik
generasi kedua yang paling umum digunakan dalam
dermatologi.(1)

b. Farmakokinetik1
Tetrasiklin diserap tidak sempurna di lambung dan usus
kecil, yang terutama dikonsumsi saat perut kosong. Doxycycline
dan minocycline tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya

9
makanan dan mempunyai waktu paruh lebih lama dari
tetrasiklin, dan membutuhkan dosis yang sedikit.(1) Tetrasiklin
tidak bisa dikonsumsi bersama dengan makanan, terutama yang
mengandung susu. Besi, kalsium dan magnesium dapat
mengurangi 50% penyerapan.
Tetrasiklin diekskresikan terutama di ginjal, dan pasien
dengan gagal ginjal memerlukan dosis penyesuaian. Doxycycline
diekskresikan dalam tinja dan tidak ada penyesuaian untuk gagal
ginjal atau hati yang diperlukan. Minocycline sebagian besar
dimetabolisme sebelum diekskresi, tapi tidak terakumulasi pada
pasien dengan gagal hati. Tetrasiklin melewati plasenta dan
terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam ASI. Antibiotik ini dapat
menumpuk dan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan gigi
sehingga penggunaan selama kehamilan dan saat menyusui harus
dihindari.(1)

c. Indikasi (1)
a) Aktinomikosis
b) Gigitan serangga (Pasteurella multocida)
c) Infeksi Anthrax (Bacillus anthracis)
d) Infeksi Chlamydia sp.
e) Ehrlichiosis
f) Penyakit Lyme
g) Infeksi MRSA
h) Penyakit riketsia
i) Sifilis (penisilin-alergi granuloma inguinale pasien)

d. Sediaan dan Dosis


Untuk pemberian oral, tetrasiklin tersedia dalam bentuk
kapsul dan tablet. Untuk pemberian parenteral tersedia bentuk
larutan obat suntik (oksitetrasiklin) atau bentuk bubuk yang

10
harus dilarutkan lebih dulu (tetrasiklin HCL, tigesiklin,
doksisiklin, minosiklin).(1)

Tabel 5. Sediaan dan dosis antibiotik tetrasiklin. 1


Derivat Sediaan Dosis
Tetrasiklin Kapsul/tablet 250mg dan 500mg Oral,4 kali 250-500mg
Bubuk obat suntik IM 100mg dan Parenteral, 300IM mg sehari
200mg/vial yang dibagi dalam 2-3 dosis,
Bubuk obat suntik IV 250 dan dosis atau 250-500mg IV
500mg/vial diulang 2-4kali sehari.
Parenteral,untuk pemberian IM
15-25 mg/kgBB/hari sebagai
dosis tunggal atau dibagi dalam
2-3 dosis dan IV 20-
30mg/kgBB/hari dibagi dalam 2-
3 dosis.
Doksisiklin Kapsul atau tablet 100mg, tablet Oral, dosis awal 200mg,
50mg selanjutnya 100-200 mg/hari
Sirup 10mg/ml
Minosiklin Kapsul 100mg Oral, dosis awal 200mg,
dilanjutkan 2 kali sehari
100mg/hari

e. Peringatan 1
a) Pasien dengan gagal ginjal (ekskresi terganggu dan anti
anabolik)
b) Fotosensitifitas (doxycycline)
c) Menyusui, kehamilan, dan pada anak (< 9 tahun)
d) Gangguan penyerapan oleh kalsium, magnesium, aluminium
(kation lainnya), besi, natrium bikarbonat, dan simetidin
e) Peningkatan metabolisme doxycycline dengan penggunaan
fenitoin, karbamazepin, barbiturat, dan alkohol
f) Kebutuhan insulin berkurang pada pasien diabetes
g) Peningkatan kadar serum digoxin, lithium, dan warfarin
h) Anestesi metoksifluran (gagal ginjal)

11
f. Efek Samping
Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian
golongan tetrasiklin ialah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan
dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah edema
angioneutrotik dan reaksi anafilaksis. Pada pemberian minosiklin
dapat terjadi hiperpigmentasi dari kulit dan kuku, iritasi pada
lambung serta pada anak- anak dapat terjadi hiperpigmentasi dari
gigi.(1) Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan
darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipi, granulasi toksik
pada granulosit dan trombositopenia.

4. Florokuinolon
a. Mekanisme kerja
Florokuinolon adalah derivat kuinolon generasi pertama
(nalidixic acid).(1) Golongan kuinolon menghambat enzim DNA
girase pada mikroba yang fungsinya menata kromosom yang
sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel
mikroba yang kecil. Antibiotik ini menghambat kerja enzim
topoimerase II (DNA girase) dan IV dimana enzim ini berfungsi
pada replikasi DNA, transkripsi, dan perbaikan DNA.(1)
Kuinolon aktif pada bakteri yang dihambat adalah bakteri aerob
gram-negatif, staphylococci, dan streptococci tetapi tidak cukup
aktif pada bakteri anaerob.

12
Gambar 3. Struktur kimia antibiotik florokuinolon.

Antibiotik ini aktif melawan jenis organisme gram-negatif


seperti, Salmonella, Shigella, Enterobacter, Campylobacter, dan
Neisseria. Ciprofloxacin cukup aktif melawan untuk
Pseudomonas aeruginosa. Gemifloksasin dan mofifloksasin
terbukti bisa aktif pada mikroorganisme gram-positif, walaupun
secara umum florokuinolon memiliki aktivitas terbatas untuk
organisme gram-positif. (1)
Florokuinolon termasuk antibiotik yang poten berspektrum
luas dan sering digunakan pada penyakit infeksi. Florokuinolon
menghambat supercoiling dalam sel bakteri yang akan merusak
replikasi DNA (dosis rendah) dan mematikanj sel (dosis letal).
Sel target utama pada bakteri gram-negatif adalah DNA gyrase,
sedangkan sel target utama pada mikroorganisme gram-positif
adalah topoimerase IV.

b. Farmakokinetik
Florokuinolon diabsorpsi dengan cepat setelah ingesti oral
dengan distribusi volume yang besar.(1) Kuinolon terdistribusi
dengan luas di seluruh tubuh. Penetrasi ke jaringan lebih besar

13
dari konsentrasi yang dicapai di plasma, feses, cairan empedu,
jaringan prostat, dan jaringan paru-paru.
Makanan tidak menghambat absorpsinya dan dapat diberikan
dua kali sehari. Florokuinolon diekskresi oleh ginjal.
Mofifloksasin dieliminasi di hati dengan cara dikonjugasikan
dengan glukoronid dan sulfat. Florokuinolon tidak dapat
dihilangkan dengan dialisis. Kebanyakan diekskresi bersama ASI
tetapi jarang menimbulkan efek samping pada bayi.
Ciprofloksasin bisa menimbulkan fototoksik, kolitis
psudomembran, dan erupsi gigi.(1) Ketika digunakan dalam
kombinasi dengan agen dari kelas antibiotik lain, seperti beta-
laktam dan aminoglikosida, kuinolon diduga tidak sinergis.
Ciprofloxacin dan rifampisin bersifat antagonis terhadap
Staphylococcus aureus. Waktu paruh kuinolon bervariasi mulai
dari 1,5 jam sampai 16 jam, kebanyakan diberikan setiap 12 jam
sampai 24 jam.

c. Indikasi(1)
1) Terapi lini pertama
Antrhax, Skin and sof-tissue infection (SSTIs) akibat
mikroorganisme patogen gram-negatif, infeksi Pseudomonas
aeroginosa (otitis eksterna, ektima gangrenosum, SSTI).(1)
2) Terapi lini kedua
Infeksi Bartonella sp, canchroid, chlamydia, , gonorrhea,
granuloma inguinale, infeksi Rickettsia sp.(1)

d. Sediaan dan Dosis


Tabel 6. Sediaan dan dosis antibiotic florokuinolon(1)
Nama generik Rute Dosis pada orang dewasa
Gonore: 500 mg x 1
PO, Gonococcemia: 500 mg tiap 12 jam x 7 hari
Ciprofloksasin
IV Canchroid: 500 mg tiap 12 jam x 3 hari
Anthrax kutaneus: 10-15 mg/kgBBq 12 jam x 60 hari

14
PO, Tanpa komplikasi: 500 mg tiap 24 jam
Levofloksasin
IV Dengan komplikasi: 750 mg tiap 24 jam

e. Peringatan
Florokuinolon dapat menurunkan bioavaibilitas dengan
antasid (aluminium, magnesium, alum), besi, zinc, dan sucralfat.
Siprofloksasin dapat menghambat metabolisme
theophylline/aminophylline. Secara umum kuinolon bisa
menyebabkan arthropati pada studi hewan imatur. Ruptur tendon
dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal,
hemodialisis, atau penggunaan steroid. Florokuinolon bisa
menurunkan ambang kejang dan menurunkan metabolisme
silosporin dan warfarin.(1)

f. Efek Samping
Efek samping yang biasa didapatkan pada pasien adalah
adanya mual, muntah, sakit kepala, dan menggigil. Sedangkan
efek samping yang jarang didapatkan adalah exanthem,
fotosensitivitas delirium, kejang, rupture pada tendon, artropati,
pemanjangan interval QT, dan hepatitis.(1) Komplikasi yang
bermanifestasi pada kulit seperti rash, pruritus, dan reaksi
fotosensitivitas.

5. Trimetoprim/Sulfametoksazol
a. Mekanisme Kerja
Trimetoprim/sulfametoksazol (kotrimoksazol) adalah
kombinasi dari trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol (SMX)
dengan perbandingan 1:5. Kedua senyawa ini menghambat
sintesis asam nukleat dengan menghambat dua enzim dalam jalur
sintesis asam tetrahydrofolic bakteri. Bersama-sama, senyawa ini
bersifat sinergis yang relatif spesifik untuk sel-sel bakteri.1

15
Gambar 5. Struktur kimia antibiotik trimetoprim dan
sulfametoksazol.

SMX menghambat produksi dihidrofolat dari komponen


prekursor p-aminobenzoat, pteridin, dan glutamat. TMP bekerja
pada metabolisme folat secara kompetitif dengan menghambat
dihidrofolat reduktase, yaitu enzim yang memproduksi
tetrahidrofolat aktif. TMP/SMX adalah antibiotik spektrum luas
dengan aktivitas yang baik terhadap banyak aerobik gram-positif
seperti Staphylococcus aureus, S. pyogenes, S. viridans. Obat ini
tidak memiliki aktivitas terhadap mikroorganisme anaerob.(1)
TMP dan SMX bila digunakan tunggal akan bersifat
bakteriostatik, sedangkan jika dikombinasikan atau bentuk
kotrimoksazol akan bersifat bakterisidal.

16
Gambar 6. Mekanisme kerja trimetoprim dan
sulfametoksazol.

Bakteri memerlukan PABA (p-aminobenzeic acid)) untuk


membentuk asam folat yang digunakan untuk sintesis purin dan
asam nukleat. Sulfametoksazol merupakan penghambat bersaing
PABA. 1

b. Farmakokinetik1
Trimetoprim dan sulfametoksazol baik diabsorpsi secara oral
dengan distribusi ke seluruh jaringan pada tubuh.(5) Distribusinya
juga melalui cairan serebrospinal dan sputum.(1) Absorpsi
melalui saluran cerna terjadi dengan mudah dan cepat. Sekitar
70-100% dosis oral diabsorpsi melalui saluran cerna dan dapat
ditemukan dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi
melalui vagina, saluran napas, kulit yang terluka pada umumnya
kurang baik, tetapi cukup menyebabkan reaksi toksik atau
hipersensitivitas. Semua terikat pada protein plasma terutama
albumin. Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai
50-80% kadar dalam darah. Dalam tubuh, terjadi proses asetilasi
dan oksidasi. Hasil oksidasi ini yang akan menyebabkan reaksi
toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan hipersensitivitas,
sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat.
17
Hampir semua diekskresi melaui ginjal dan sebagian kecil
diekskresi melalui feses, empedu dan ASI.
Farmakokinetik TMP-SMX tidak berubah secara signifikan
dan waktu paruhnya tidak memanjang jika terjadi gangguan hati.
Saat ini belum ada studi yang melaporkan dosis maksimum
TMP-SMX untuk gangguan ginjal.

c. Indikasi
Trimetoprim dan sulfametoksazol digunakan untuk
community acquired MRSA, infeksi Nocardia asteroids, Skin
and Soft Tissue Infections (SSTIs) yang tidak berkomplikasi, dan
pada chancroid.(1)

d. Sediaan dan Dosis


Tabel 7. Sediaan dan dosis antibiotik trimetoprim dan
sulfametoksazol.(1)
Antibiotik Rute Dosis pada orang dewasa
Trimetoprim- 180 mg/800mg (DS) pemberian setiap
PO
sulfametoksazol 12 jam
(Kotrimoksazol) IV 5 mg/kgBB pemberian setiap 6-8 jam

e. Peringatan
Penggunaan TMP-SMX pada pasien dengan HIV/AIDS
dapat terjadi reaksi berat, pasien dengan terapi warfarin akan
terjadi pemanjangan protrombin, dan dikontraindikasikan
terhadap pasien yang mendapat metroteksat.(1)

f. Efek Samping
Efek samping yang biasa didapatkan pada penggunaan
antibiotik TMP-SMX adalah adanya eksantem, fotosensitivitas,
mual, muntah, anoreksia, glossitis, stomatitis (sering pada pasien
HIV/AIDS). Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan

18
adalah delirium, sindroma steven johnson, nekrolisis epidermal
toksik, vaskulitis, urtikaria, erupsi pustular, Sweet Syndrome,
hepatitis kolestatik, nekrosis hepatik, reaksi hipersensitivitas
berat, sefalgia, halusinasi, tremor, nefrolitiasis, dan nefritis
intertisiel.(1) Sekitar 8% antibiotik ini juga dapat menyebabkan
reaksi kulit tipikal pada pasien.

6. Klindamisin
Klindamisin adalah antibiotik linkosamid yang diperoleh melalui
modifikasi kimia dari linkomisin. Yang dimana penyerapan dan
aktifitas spektrumnya yang lebih baik dari pendahulunya, yang
sekarang sudah ditinggalkan.(1)
a. Mekanisme Kerja
Klindamisin berikatan dengan bakteri subunit ribosom 50s
dan menghambat sintesis protein melalui blokade inisiasi rantai
peptida. Klindamisin memudahkan opsonisasi serta fagositosis
dan mengurangi adhesi bakteri (sel inang) dan produksi
eksotoksin stafilokokus. Klindamisin efektif terhadap sebagian
besar kokus Gram-positif, anaerob, dan beberapa protozoa.
Dalam bidang dermatologi, klindamisin efektif terhadap
sebagian besar jenis streptococcus (termasuk S. viridans),
methicillin-sensitif S. aureus, serta S.epidermidis. Aktifitas
spektrum anaerob termasuk Peptococci, Peptostreptococci,
Propionibacteria, Clostridium perfringens, serta fusobacteria.
Toxoplasma gondii seringkali efektif diobati dengan kombinasi
termasuk klindamisin.(1)

b. Farmakokinetik
Klindamisin diserap hampir sempurna pada pemberian oral.
Adanya makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi
absorpsi obat ini.(4) Klindamisin merupakan obat pilihan dalam
kelompok ini karena penetrasi jaringan yang baik kecuali pada

19
SSP. Klindamisin memiliki daya serap peroral yang baik dan
tidak ada persyaratan dosis yang diperlukan jika terdapat
penyakit ginjal, klindamisin juga merupakan alternatif pada
pasien yang alergi pada penisilin. Klindamisin terutama
dimetabolisme oleh hati serta diekskresikan di empedu,
meskipun 10% diekskresikan di urin. Dosis harus disesuaikan
untuk pasien dengan gagal hati atau kombinasi gagal hati dengan
gagal ginjal.(1)

c. Indikasi
a) Infeksi dalam jaringan: necrotizing fasciitis
b) Profilaksis bedah pada pasien alergi penisilin
c) Profilaksis untuk infeksi stafilokokus berulang
d) Ulkus kaki diabetik (kombinasi dengan infeksi Gram-negatif)
e) Bakterial vaginosis
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 8. Sediaan dan dosis antibiotik klindamisin
pada orang dewasa.(1)
Rute pemberian Dosis

Klindamisin
Oral 150-450 mg per 6 jam
Intravena 600-800 mg per 8 jam

Untuk anak atau bayi berumur lebih dari 1 bulan diberikan


15-25 mg/kgBB sehari. Untuk infeksi berat dosisnya 25-40
mg/kgBB sehari yang dibagi dalam beberapa dosis pemberian.

e. Peringatan
Penggunaan antibiotik klindamisin harus mendapat perhatian
jika pasien dengan gagal hati, terdapat peningkatan blokade
neuromuskular dengan tubocurare dan pancuronium. Antibiotik
ini bersifat antagonis terhadap eritromisin.(1)

20
f. Efek Samping
Diare dilaporkan terjadi pada 2-20% pasien yang mendapat
klindamisin. Diperkirakan sekitar 0,01-10% pasien dilaporkan
menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam,
nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. 1 Bila
selama terapi timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus
dihentikan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin
yang diberikan 4 kali 125 mg sehari peroral atau IV selama 7-10
hari atau metronidazole oral 3 x 500 mg/hari. 1

7. Makrolid
Eritromisin adalah antibiotik prototip makrolid; derivatif
termasuk dirithromycin, klaritromisin, dan azitromisin. Makrolid
bervariasi dalam aktivitasnya terhadap patogen Gram-positif:
klaritromisin>eritromisin> azitromisin.(1) Makrolid secara luas
digunakan untuk mengobati infeksi ringan pada jaringan saluran
pernapasan. Antibiotik ini aktif terhadap bakteri Gram-negatif dan
Gram-positif, termasuk kuman intraseluler seperti Chlamydia dan
Legionella.
a. Mekanisme Kerja
Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman
dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit
50S dan umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun terkadang
dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka.1
b. Farmakokinetik
Makrolid terakumulasi secara intraseluler pada leukosit
polimorfonuklear dan makrofag, antara lain beraktivitas untuk
melawan bakteri patogen pada intraseluler.(1) Eritromisin diserap
baik oleh usus kecil bagian proksimal, aktivitasnya menurun
karena dirusak oleh asam lambung, eritromisin diberi selaput
yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau
etilsuksinat, adanya makanan juga menghambat penyerapan

21
eritromisin.1 Dibandingkan dengan eritromisin, klaritromisin dan
azitromisin lebih asam stabil dan memiliki bioavailabilitas oral
yang lebih besar.
Konsentrasi makrolid umumnya melewati kadar plasma.
Konsentrasi eritromisin dalam ASI sekitar 50% dari kadar serum.
Eritromisin dapat melewati plasenta, kecuali klaritromisin
(kategori kehamilan C), secara umum makrolid adalah Kategori
B.(1)
Klaritromisin dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 3A4
(CYP3A4) menjadi bentuk enzim 14-hidroksi aktif dan enam
produk tambahan. Sekitar 30-40% dari dosis oral klaritromisin
diekskresikan dalam urin sebagai 14-hidroksi metabolit yang
aktif atau tidak berubah. Eliminasi Azitromisin terjadi terutama
dalam feses sebagai obat yang tidak mengalami perubahan, dan
ekskresi urin minimal. Tidak seperti klaritromisin, azitromisin
tidak berinteraksi dengan sistem sitokrom P450.
c. Indikasi (1)
a) SSTIs tanpa komplikasi (folikulitis, erysipelas, selulitis)
b) Lyme disease
c) Chlamydia
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 9. Sediaan dan dosis antibiotik makrolid. (1)
Oral 500mg per 6 jam atau 12 jam
Eritromisin
IV 1gr per 6jam
Klaritromisin Oral 250-500 mg per 12 jam
Makrolid 500 mg hari pertama, lalu 250 mg setiap
Oral hari 2-5 kali untuk klamidian, 1gr dosis
Azitromisin
tunggal
IV 500 mg per 24jam

22
e. Peringatan (1)
1) CYP 3A4 inhibition
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi
serum): warfarin, karbamazepin, buspiron, benzodiazepin,
kortikosteroid (methylprednisolon), HMG CoA reductase
inhibitor, kontrasepsi oral, cyclosporine, tacrolimus,
disopyramide, felodipin, ergot alkaloid.
2) CYP 1A2 inhibition
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi
serum): theophylline, omeprazol.
3) Lainnya
Digoxin (konsentrasinya meningkat akibat perubahan
metabolisme obat oleh gut flora), Fluconazol (meningkatkan
konsentrasi klaritromisin)

f. Efek samping
Pada eritromisin efek samping berat jarang terjadi, reaksi
alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan
eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Efek samping
klaritromosin adalah iritasi saluran cerna dan peningkatan
sementara enzim hati.1

V. Korelasi Klinis Penggunaan Antibiotik Sistemik pada Pengobatan


Penyakit Kulit

A. Pioderma (impetigo, folikulitis, selulitis, dan erisypelas) 2


1. Terapi lini pertama
a. Kloksasilin: Dewasa 4 x 250-500 mg per hari per oral. Anak:
50 mg/kg per hari terbagi dalam 4 dosis selama 5 sampai 7
hari.
b. Pada S.aureus yang resisten terhadap eritromisin dapat
diberikan:

23
1) Amoksisilin dan asam klavulanat: Dewasa 3 x 250 - 500
mg per hari. Anak: 25 mg/kgBB per ,hari terbagi dalam 3
dosis selama 5 - 7 hari.
2) Sefaleksin 40- 50 mg/kgBB per hari terbagi dalam 4
dosis selama 5-7 hari.
3) Sefaklor: 20 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis.

2. Terapi lini kedua


a. Azitromisin: 1x500 mg per hari (hari pertama), dilanjutkan
1x250 mg (hari ke-2 sampai hari ke-5).
b. Klindamisin: 15 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis
selama 10 hari.
c. Eritromisin: Dewasa 4x250-500 mg per hari. Anak: 20-50
mg/kgBB terbagi dalam 4 dosis selama 5-7 hari.

B. Antraks 2
Terapi pilihan untuk antraks adalah kristalin penisilin G
parenteral 2 juta unit setiap 6 jam, yang diberikan selama 7-14 hari
(sampai edema lokal menghilang atau lesi kulit mengering).
Antibiotik yang direkomendasikan saat ini adalah terapi
siprofloksasin dengan dosis 20-30mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
(dosis maksimum untuk dewasa 500mg 2 kali sehari) atau
doksisiklin 100mg 2 kali sehari peroral selama 60 hari.
Untuk anak dan wanita menyusui diberikan amoksisilin dengan
dosis 40mg/kgBB (BB kurang dari 20kg) dibagi dalam 3 dosis atau
500mg 3x/hari untuk anak BB lebih dari 20kg/dewasa.

C. Acne Vulgaris2
Antibiotik oral diberikan pada acne vulgaris derajat sedang
sampai berat, diberikan selama minimal 6–8 minggu, maksimal 12–
18 minggu. Antibiotik oral pilihan:

24
1. Tetrasiklin 500 mg 2x/hari (saat ini penggunaannya jarang
digunakan karena terdapat resistensi terhadap tetrasiklin) (1)
2. Doksisiklin 50-100 mg 2x/hari
3. Minosiklin 50-100 mg 2x/hari
4. Klindamisin 150-300 mg 2-3x/hari

D. Eritrasma 2
Antibiotik oral diberikan pada eritrasma dengan lesi yang luas,
dimana eritromisin terbukti efektif diberikan 1 gram sehari (4 x
250mg) selama 2-3 minggu dan antibiotik klaritomisisn 1 gram dosis
tunggal.

E. Aktinomikosis (1)
Terapi pilihan untuk aktinomikosis adalah penisilin G, 18-24 juta
unit secara intravena selama 2-6 minggu, kemudian diteruskan
dengan penisilin atauamoksisilin oral selama 6-12 bulan.

25
F. Infeksi Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA)
Tabel 10. Dosis Antibiotik pada Penyakit MRSA
Antibiotik Dosis dewasa Dosis anak
30 mg/kg/hari dalam 2 40 mg/kg/hari dalam 4
Vankomisin
dosis terbagi/ IV dosis terbagi/ IV
25-40 mg/kg/hari dalam 3
Klindamisin 600 mg/8 jam/IV
dosis terbagi
Daptomisin 4 mg/kg/hari/IV Tidak digunakan
Seftarolin 600 mg/12 jam/IV Tidak digunakan
Tidak direkomendasikan
Doksisiklin 100 mg 2x1 PO
dibawah 8 tahun
8-12 mg/kg/hari
Trimetroprim- (berdasarkan trimetoprim)
1-2 tablet 2x1 PO
sulfametoksasol dalam 4 dosis terbagi IV
atau 2 dosis terbagi PO

G. Penyakit Lyme (1)


1. Terapi lini pertama (per oral)
a. Doksisiklin 100mg peroral 2 x sehari
b. Amoksisilin 500mg peroral 3 x sehari
c. Cefuroxime 500mg peroral 2 x sehari
2. Terapi alternatif (peroral)
a. Azitromisin 500mg peroral 4 x sehari
b. Eritromisin 500mg peroral 4 x sehari
c. Klaritromisin 500mg peroral 2 x sehari
3. Terapi lini pertama (parenteral)
Ceftriaxone 2gr/intravena 4x/sehari
4. Terapi alternatif (parenteral)
a. Penisilin G (18-24 unit dibagi dalam 6 dosis tiap 4 jam)
b. Cefotaksim 2gr per intravena setiap 8 jam
c. Doksisiklin 200-400mg perhari per intavena dibagi dalam 2
dosis

26
H. Sifilis2
1. Terapi pilihan
a. Stadium dini (stadium I, II, dan laten < 2 tahun):
Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit.
b. Stadium lanjut (stadium laten > 2 tahun dan III):
Benzatinpenisilin G 7,2 juta unit (injeksi intramuskular
Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit/kali dengan interval 1
minggu).
2. Terapi alternatif
a. Tetrasiklin 4x500mg/hari
b. Eritromisin 4x500mg/hari
c. Doksisiklin 2x100mg/hari
Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau lebih 30 hari
(stadium lanjut).

I. Gonore2
1. Terapi pilihan: Sefiksim 400mg per oral.
2. Terapi alternatif
a. Levofloksasin 500mg per oral dosis tunggal
b. Tiamfenikol 3,5gram per oral dosis tunggal
c. Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal
d. Seftriakson 250mg injeksi intamuskular dosis tunggal (tidak
boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak di
bawah 12 tahun)

J. Infeksi Chlamydia sp
1. Limfogranuloma venereum2
a. Doksisiklin dosis 2x 100mg/hari selama 14-21 hari atau
tetrasiklin 2 gr/hari atau tetrasiklin 2gr/hari atau minosiklin
300mg diikuti 200mg 2x/hari.
b. Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari.

27
c. Eritromisin: (pilihan kedua) dosis 4x500mg/ hari selama 21
hari terutama pada kasus-kasus alergi obat golongan cycline,
pada wanita hamil dan menyusui.
d. Kotrimoksasol: 480mg 3x 2 tablet/ hari selama 7 hari.
2. Uretritis Non Gonore2
a. Golongan tetrasiklin
1) Tetrasiklin 250-500mg, 4x sehari selama 7-21 hari
2) Doksisiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
3) Minosiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
b. Golongan makrolid
1) Eritromisin 250-500 mg selama 7-21 hari terutama untuk
resistensi tetrasiklin dan untuk wanita hamil
2) Azitromisin 1 gram dosis tunggal
c. Golongan kuinolon
Ofloksasin 200mg 2x sehari selama 7-14 hari

VI. Antibiotik Sistemik untuk Alergi Obat pada Pengobatan Penyakit


Kulit
Antibiotik golongan beta laktam penisilin adalah antibiotik yang
paling sering digunakan. Antibiotik ini terbukti sebagai antibiotik yang
efektif untuk infeksi bakteri. Golongan beta laktam merupakan salah
satu terapi pilihan pada pengobatan penyakit kulit. Berdasarkan studi
epidemiologi, dilaporkan bahwa antibiotik sering menyebabkan alergi
obat. Dari berbagai kelas antibiotik, golongan antibiotik beta laktam
(penisilin dan sefalosporin) sering didapatkan kasus alergi obat.
Golongan antibiotik yang termasuk aman adalah vankomisin.
Vankomisin merupakan pilihan terapi untuk pasien dengan alergi obat
penisilin maupun sefalosporin. Vankomisin juga aktif melawan bakteri
penyebab MRSA. Vankomisin adalah antibiotik glukopeptida trisiklik
yang diproduksi oleh Stretococcus orientalis yang dapat dibuktikan
keamanannya melalui hasil studi porspektif.

28
Tabel 11. Dosis antibiotik vankomisin
Nama Generik Rute Dosis
Vankomisin IV Dewasa: 30mg/kgBB dibagi dalam 2-3 dosis per
hari
Neonatus (<7 hari): diberikan dosis dimulai
dari15mg/kg kemudian diteruskan 10mg/kg
setiap 12 jam
Bayi (8 hari-30 hari): diberikan dosis dimulai
dari15mg/kg kemudian diteruskan 10mg/kg
setiap 8 jam
Anak: diberikan dosis dimulai dari15mg/kg
kemudian diteruskan 10mg/kg setiap 6 jam

29
ANTIBIOTIK TOPIKAL

Antibiotik topikal berguna dalam pengobatan jerawat dan rosasea.


Antibiotik topikal dapat diberikan pada kasus impetigo sehingga antibiotik
oral untuk kasus tersebut tidak perlu diberikan. Pada prosedur bedah (clean
surgical), pemberian antibiotic topical tidak perlu diberikan terkait dengan
pencegahan infeksi luka. 1,2
Antibiotik topikal memiliki peran penting dalam pengelolaan
berbagai kondisi umum dermatologis umum Antibiotik topikal masih sering
digunakan sebagai agen profilaksis setelah operasi minor atau prosedur
kosmetik untuk mengurangi risiko infeksi pasca operasi dan mempercepat
penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik topikal untuk profilaksis setelah
prosedur minor terbukti tidak perlu digunakan menimbulkan risiko yang
dapat merangsang alergi. Petrolatum direkomendasikan untuk digunakan
setelah prosedur bedah. 1,2

Terapi Topikal pada Acne dan Rosasea


Efek antibiotik topikal untuk pengobatan acne vulgaris dan rosacea
selain efek langsung antibiotik,dapat memberikan efek anti-inflamasi
dengan menekan faktor kemotaktik neutrofil atau dengan mekanisme lain.
Ada kekhawatiran tentang penggunaan antibiotik topikal dalam pengobatan
acne vulgaris karena semakin tingginya tingkat resistensi antibiotik.
Menggabungkan antimikroba benzoil peroksida dengan antibiotik dapat
mengurangi perkembangan resistensi antibiotik.

ANTIBIOTIK TOPIKAL
Nama Obat Sediaan Mekanisme Kerja Pengaruh
Terhadap Jenis
Bakteri
Bacitracin Ointment Inhibisi dinding sel Gram Positif
Polymyxin B Ointment Detergent Gram Negatif
Gramicidin Ointment Ion Channel Grm Positif
Nama Obat Sediaan Mekanisme Kerja Pengaruh

30
Terhadap Jenis
Bakteri
Muporicin Ointment, Krim Inhibisi Transfer Gram Positif
RNA
Neomycin Ointment Inhibisi ribosom 30S Gram Negatif
Erythromycin Solusio, Gel, Inhibisi ribosom 50S Gram positif dan
Pladget, Ointment Gram negative
Clindamycin Solusio, Gel, Inhibisi ribosom 50S
Lotion
Fusidic acid Tidak tersedia di Interferes with EF-G
Amerika Serikat
Silver sulfadiazine Krim
Mafenide Acetate Ointment Inhibisi Enzim Gram positif dan
Gram negative
Nitrofurazone Krim, Solusio Inhibisi Enzim Gram positif dan
Gram negative
Metronidazole Gel, Krim, Lotion Elektrokimia Anaerob
Clioquinol Krim, Ointment Tidak diketahui Spektrum luas
Azelaic acid Krim, Gel Inhibisi sintesis Gram Positif
protein

ERITROMISIN1
Eritromisin merupakan kelompok antibiotik macrolide dan aktif
melawan bakteri kokus Gram-positif dan bateri basil Gram-negatif. Hal ini
digunakan terutama sebagai agen topikal dalam pengobatan jerawat.
Mekanisme eritromisin ialah mengikat ribosom 50S dari bakteri dan
memblok translokasi molekul peptidil-RNA transfer (tRNA) molekul,
mengganggu pembentukan rantai polipeptida dan menghambat sintesis
protein. Selain sifat antibakteri, eritromisin memiliki aktivitas antiinflamasi.
Sediaan eritromisin, 1,5% - 2,0% dalam solusio, gel, pledgets, dan salep
sebagai bahan/obat tunggal. Eritromisin juga tersedia dalam kombinasi
dengan benzoil peroksida.

31
KLINDAMISIN1
Klindamisin adalah antibiotic semisintetik semisintetis lincosamide
yang berasal dari linkomisin. Mekanisme kerja sangat mirip dengan
eritromisin, dengan mengikat 50S ribosom dan menekan sintesis protein
bakteri. Klindamisin digunakan secara topikal dengan kadar 1% sebagai gel,
solusio, suspensi (lotion), dan foam terutama untuk pengobatan jerawat. Hal
ini juga tersedia sebagai kombinasi dengan benzoil peroksida, yang dapat
memperlambat perkembangan resistensi antibiotik untuk klindamisin. Hal
ini juga tersedia dengan kombinasi benzoil peroksida, yang dapat
memperlambat perkembangan resistensi antibiotik untuk klindamisin.
Kolitis pseudomembran jarang dilaporkan terjadi dengan penggunaan
topikalklindamisin.

METRONIDAZOL1
Metronidazol atau nitroimidazole topikal, saat ini tersedia sebagai
0,75% dalam bentuk gel, krim, atau lotion dan 1% sebagai krim atau gel
untuk pengobatan topikal dari rosasea. Dalam efek yang lebih rendah, itu
digunakan dua kali sehari, dan dalam efek yang lebih tinggi, digunakan
sekali sehari. Secara oral, metronidazol memiliki aktivitas spektrum luas
terhadap banyak organisme protozoa dan anaerob.

ASAM AZELAIC1
Asam azelaic adalah asam dikarboksilat ditemukan dalam makanan
(sereal gandum dan produk hewani). Mekanisme kerja dianggap
berpengaruh padaproses keratinisasi (penurunan ketebalan stratum korneum,
penurunan jumlah dan ukuran granul keratohyaline, dan penurunan jumlah
filaggrin). Secara uji invitro asam azelaic dapat melawan Propionibacterium
acnes dan Staphylococcus epidermidis dengan kemungkinan mekanisme
dapat menghambat sintesis protein. Pada mikroorganisme aerobik, terdapat
mekanisme inhibisi oleh enzim oxidoreductive. Pada bakteri anaerob,
terdapat gangguan dari glikolisis. Asam azelaic digunakan terutama dalam
pengobatan akne vulgaris dan rosacea, meskipun ada beberapa bukti

32
pendukung penggunaannya dalam pengobatan hiperpigmentasi (seperti
melasma). Namun, US Food and Drug Administration belum menyetujui
obat untuk indikasi ini. Asam azelaic tersedia sebagai gel 15% atau 20%
krim.

SULFONAMID (SULFACETAMID) 1
Sulfacetamid adalah sulfonamid topikal yang digunakan dalam
pengobatan rosasea dan jerawat. Mekanisme antibakteri pada sebagian
besar sulfonamid adalah kompetitif dengan para-aminobenzoic acid
(PABA) selama sintesis asam folat. Mekanisme kerja untuk pengobatan
topikal dari rosasea tidak dipahami. Sulfacetamid tersedia sebagai 10%
lotion dan dalam kombinasi dengan 5% sulfur dalam gel, krim, suspensi,
cleanser, cloths, dan mask.

DAPSON1
Sediaan obat dapson topikal gel 5% disetujui oleh FDA untuk
pengobatan topikal jerawat. Mekanisme kerja obat dapson pada acne
vulgaris tidak diketahui pada saat ini; Namun, ada kemungkinan keterkaitan
dengan aktivitas neutrofil. Jika benzoil peroksida diberikan setelah
pemberian dapson topikal, maka dapat terjadi perubahan warna
oranye/kuning yang bersifat sementara pada kulit dan rambut wajah.

AGEN/ZAT YANG DIGUNAKAN PADA TERAPI TOPIKAL


BAKTERI SUPERFISIAL DAN LUKA BAKAR1
Penyakit seperti impetigo lokal,kulit yang mengalami abrasi
superfisial, dan infeksi kulit sekunder kronis biasanya diobati dengan
antibiotik topikal. impetigo lokal, lecet kotor dangkal, dan infeksi sekunder
dermatosis kronis biasanya diobati dengan antibiotik topical. Namun pada
kasus impetigo luas, infeksi pada ekstremitas bawah, atau penyakit yang
terjadi pada individu immunocompromised harus diobati dengan antibiotik
sistemik untuk mengurangi risiko komplikasi. Antibiotik topikal masih pada
prosedur bedah minor. Hasil sebuah studi besar yang membandingkan

33
bacitracin dan petrolatum di lebih dari 1.200 prosedur bedah minor
menunjukkan bahwa bacitracin secara statistik tidak menurunkan tingkat
infeksi. Beberapa pasien, bagaimanapun, terbukti alergi terhadap
bacitracin.Petrolatum terbukti lebih murah, kemanjuran yang sama dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan bacitracin.Ketika
luka bersih yang diakibatkan selama operasi kecil, tidak perlu menggunakan
salep antibakteri untuk membantu penyembuhan atau mencegah infeksi.
Selain itu luka bakar (burns) menghasilkan lahan subur untuk infeksi
sekunder untuk berkembang, sehingga terapi topikal sering digunakan untuk
profilaksis.

MUPIROCIN1
Mupirocin, yang sebelumnya dikenal sebagai pseudomonic acid A,
adalah agen antibiotik topikal berasal dari Pseudomonas fluorescens. Obat
ini mengikat isoleucyl-tRNA sintetase dan menghambat sintesis protein
bakteri. Efek mupirocin terbatas pada bakteri Gram-positif, terutama
staphylococci dan paling banyak pada streptokokus. Aktivitas obat ini
meningkat di lingkungan pH asam (5,5), yang merupakan pH normal kulit.
Mupirocin agak sensitive dengan suhu tinggi, oleh karena itu muporicin
akan kehilangan efikasi jika terkena suhu tinggi. Mupirocin salep 2%
diberikan tiga kali sehari dan terutama diindikasikan untuk pengobatan
impetigo lokal yang disebabkan oleh S. aureus dan Streptococcus pyogenes.
Satu studi di Tennessee Veterans’ Affairs Hospital menunjukkan bahwa
penggunaan jangka panjang salep mupirocin untuk mengontrol methicillin-
resistant S. aureus (MRSA) , terutama pada pasien terbaring di tempat tidur
dengan ulkus dekubitus, menyebabkan resistensi yang signifikan. Formulasi
baru yang melibatkan penggunaan garam kalsium dari mupirocin yang
tersedia untuk intranasal digunakan sebagai salep 2% dan krim topikal 2%

RETAPAMULIN1
Retapamulin disetujui untuk pengobatan topikal pada impetigo
dengan usia lebih dari usia 9 bulan. Ini adalah pleuromotilin antibiotik

34
semisintetik yang berasal dari fermentasi Clitopilus paseckerianus yang
memiliki aktivitas melawan terhadap staphylococcus.
Mekanisme antibakterinya adalah menghambat sintesis protein melalui
ribosom 50S bakteri di protein L3, dekat pusat peptidil tranferase.
Retapamulin menghambat peptidyltranferase dan inhibisi parsial pengikatan
initiator tRNA pada P-site ribosom. Dermatitis kontak alergi terhadap bahan
aktif telah dilaporkan.

BACITRACIN1
Bacitracin adalah antibiotik polipeptida topikal yang diisolasi dari
Tracy-I strain Bacillus subtilis. Bacitracin adalah polipeptida siklik dengan
beberapa komponen (A, B, dan C). Bacitracin A adalah komponen utama
dari produk komersial dan sering digunakan sebagai garam seng. Bacitracin
mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat dan menghambat
defosforilasi dari membran-terikat lipid pirofosfat. Bacitracin aktif terhadap
kokus Gram-positif seperti stafilokokus dan streptokokus. Kebanyakan
organisme Gram-negatif dan ragi resisten terhadap obat. Sediaan dalam
bacitracin salep dan seng bacitracin, dengan 400 sampai 500 unit per gram.
Bacitracin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit
seperti impetigo, furunkulosis, dan pyodermas. Hal ini sering
dikombinasikan dengan polimiksin B dan neomycin sebagai salep tripel
antibiotik diaplikasikan beberapa kali sehari untuk pengobatan infeksi
sekunder dermatitis eczematous seperti dermatitis atopik, dermatitis
nummular, atau dermatitis stasis. Tetapi, aplikasi topikal dari bacitracin
disertai dengan risiko sensitisasi kontak alergi dan, kadang syok anafilaksis.

POLIMIKSIN B1
Polimiksin B adalah derivat antibiotik topikal dari spora B. polymyxa
aerob. Polimiksin B adalah campuran dari polimiksin B1 dan B2, yang
keduanya merupakan polipeptida siklik. Mereka berfungsi sebagai kationik
yang berinteraksi kuat dengan fosfolipid membran dinding sel bakteri,
sehingga mengganggu integritas membran sel.

35
Polimiksin B aktif terhadap berbagai organisme Gram negative, termasuk P.
aeruginosa, Enterobacter, dan Escherichia coli. Polimiksin B tersedia
dalam bentuk salep (5.000 hingga 10.000 unit per gram) dalam kombinasi
dengan bacitracin atau sebagai salep tripel antibiotik dengan bacitracin dan
neomycin. Harus diaplikasikan 1-3 kali sehari.

AMINOGLIKOSIDA TOPIKAL (NEOMICIN DAN GENTAMICIN) 1


Aminoglikosida merupakan kelompok penting dari antibiotik yang
digunakan baik topikal dan sistemik untuk pengobatan infeksi yang
disebabkan oleh basil Gram-negatif. Aminoglikosida memiliki efek
bakterisida dengan mengikat subunit ribosom 30S dan mengganggu sintesis
protein.
Neomycin sulfat merupakan aminoglikosida yang paling sering
digunakan secara topikal, yaitu produk fermentasi dari Streptomyces
fradiae. Neomycin (komersial) adalah campuran dari neomycin B dan C,
sedangkan framycetin, yang digunakan di Kanada dan beberapa negara
Eropa, adalah murni neomycin B. Neomycin sulfat memiliki aktivitas
terhadap bakteri gram negatif aerobik dan paling sering digunakan untuk
profilaksis terhadap infeksi pada luka lecet yang superfisial, luka, dan luka
bakar. Sediaannya dalam bentuk salep (3,5 mg / g) dan juga dikemas dalam
kombinasi dengan antibiotik lain seperti bacitracin, polimiksin, dan
gramicidin. Agen lain, seperti lidocaine, pramoxine, atau hidrokortison, juga
tersedia dalam kombinasi dengan neomycin.

Neomycin tidak dianjurkan oleh banyak dermatologists karena


responsible pada sejumlah besar kasus dermatitis kontak alergi. Prevalensi
dermatitis kontak ini tinggi, 6% - 8% dari pasien positif positif pada
pengujian patch. Neomycin sulfat (20%) petrolatum digunakan untuk
menilai kontak alergi.
Gentamisin sulfat merupkan derivate fermentasi dari
Micromonospora purpurea. Sediaannya 0,1% krim atau salep topikal. Hal
ini digunakan oleh beberapa ahli bedah dermatologi ketika operasi di derah

36
telinga, terutama pada pasien diabetes atau pasien immunocompromised
lainnya, untuk memberikan profilaksis terhadap malignan otitis externa
karena P. aeruginosa. Selain itu juga berguna dalam perawatan luka operasi
di daerah periorbital.

SULFONA MIDES (SILVER SULFADIAZINE AND MAFENIDE


ACETATE ) 1
Sulfonamida secara struktural mirip dengan PABA dan bersaing
dengannya selama sintesis asam folat. Sulfonamid digunakan untuk
mengobati akne vulgaris, akne rosacea, dan luka bakar. Silver sulfadiazin
diduga melepaskan perak perlahan dan efeknya pada dinding sel dan
membran bakteri. Mekanisme kerja dari mafenide tidak sama dengan
mekanisme sulfonamide karena PABA tidak menjadi agonisant kerjanya.
Asetat Mafenide, jika digunakan di daerah yang luas dari kulit, memiliki
potensi untuk menyebabkan asidosis metabolik, dan dapat menyebabkan
rasa sakit pada pemberian topikal. Kedua agen antibakteri ini memiliki
spektrum luas yang berguna dalam pengobatan luka bakar.

NITROFURAZONE1
Nitrofurazone (Furacin) merupakan turunan nitrofuran digunakan
untuk pengobatan pasien luka bakar. Mekanisme kerja melibatkan
penghambatan enzim bakteri yang terlibat dalam degradasi aerobik dan
anaerobik glukosa dan piruvat. Nitrofurazone tersedia dalam krim 0,2%,
solusio, atau larutan, dan spektrum aktivitasnya termasuk staphylococci,
streptokokus, E. coli, Clostridium perfringens, dan Proteus sp.

AGEN-AGEN LAIN1
GRAMICIDIN1
Gramicidin adalah antibiotik topikal yang berasal dari B. brevis.
gramicidins merupakan peptida linier yang membentuk saluran ion stasioner
pada bakteri yang rentan. Aktivitas antibiotik gramicidin terbatas untuk
bakteri Gram-positif.

37
CLIOQUINOL1
Clioquinol (juga dikenal sebagai iodochlorhydroxyquin) adalah
antibakteri spektrum luas /antijamur topikal yang saat ini diindikasikan
untuk pengobatan inflamasi kulit dan tinea pedis dan telah digunakan untuk
infeksi bakteri minor. Clioquinol ini merupakan sintetis hydroxyquinoline
yang mekanismenya tindakan tidak diketahui. Kerugian dari clioquinol yaitu
perubahan warna pakaian, kulit, rambut, dan kuku dan berpotensi
menyebabkan iritasi. Clioquinol dapat mengganggu fungsi tiroid bila
digunakan secara oral dan mungkin topikal jika digunakan secara ekstensif.
Gugus yodium mengganggu tes yang menggunakan penyerapan yodium
(efek ini dapat bertahan hingga 3 bulan setelah aplikasi). Namun, clioquinol
tidak mengganggu tes untuk T3 atau T4.

38
PENGOBATAN ORAL ANTIJAMUR

Sampai saat ini, prinsip-prinsip farmakologi dalam penanganan infeksi


jamur masih banyak yang belum dimengerti, walaupun dalam tiga dekade
terakhir telah banyak ditemukan obat-obat antijamur. Kesulitan terbesar
yang dialami adalah timbulnya variasi yang sangat luas dari berbagai
penelitian dengan metode penelitian yang berbeda, mengenai efek klinis
yang dihasilkan dari obat-obat yang diteliti; bahkan pada penelitian dengan
menggunakan metode yang sama. Pengembangan obat antijamur saat ini
telah dilakukan baik oleh perusahaan farmasi maupun kalangan
akademisi.1,2

Obat antijamur oral digunakan baik pada infeksi sistemik maupun


infeksi kulit yang superfisial. Untuk infeksi kulit, antijamur oral biasanya
digunakan pada pasien yang tidak berespon baik dengan pengobatan topikal.
Infeksi jamur sistemik paling sering terjadi pada individu dengan status
imun yang rendah.1

Obat antijamur oral terdiri dari beberapa penggolongan besar, yaitu


golongan azole, golongan allylamine, golongan analog nukleosida, dan
golongan lainnya. Obat golongan azole antara lain itrakonazol, flukonazol,
ketokonazol, dan vorikonazol. Obat golongan allylamine yaitu terbinafine.
Obat golongan analog nukleosida yaitu flusitosin. Obat golongan lainnya
yaitu griseofulvin.1

Itrakonazol

Itrakonazol dihasilkan pertama kali sekitar tahun 1986. Digunakan


pertama kali di Amerika dalam pengobatan mikosis secara sistemik pada
September 1992, kemudian dilanjutkan dalam terapi onikomikosis pada
Oktober 1995. Diperkirakan bahwa obat ini telah digunakan sebanyak 40
juta kali di seluruh dunia, terutama pada pengobatan onikomikosis dan
dermatomikosis superfisialis yang lain.1

39
Itrakonazol bersifat fungistatik dan efektif sebagai antijamur spektrum
luas, termasuk dermatofit, yeast, dan infeksi jamur sistemik.1

Farmakologi

Formula molekular itrakonazol yaitu C35H38Cl2N8O4 dengan berat


molekul 705,64. Itrakonazol bersifat lipofilik kuat, basa lemah (pKa = 3,7),
tidak dapat larut dalam air, dan dapat terionisasi pada pH yang rendah.
Bioavailibilitas oral paling maksimal ketika dikonsumsi bersamaan dengan
makanan biasa terutama yang mengandung banyak lemak atau minuman
asam, yang dapat berbeda pada tiap individu. Itrakonazol diabsorpsi
sempurna dan mencapai kadar puncak plasma dalam waktu 4 jam.1

Gambar 1*. Struktur kimia itrakonazol

Itrakonazol memiliki ikatan kuat dengan protein plasma dan


didistribusikan ke dalam jaringan lipofilik. Konsentrasi obat ini dalam
jaringan lemak, omental, hati, ginjal, dan kulit sama dengan 2-20 kali
konsentrasi plasma. Terdapat juga pada saliva dan cairan serebrospinal
dalam jumlah yang kecil.1

Itrakonazol dimetabolisme di hati. Lebih dari 30 metabolit telah


diidentifikasi dan kebanyakan berupa metabolit inaktif. Itrakonazol
diekskresi melalui urine (35%) dan feses (54%).

Mekanisme kerja itrakonazol, yaitu menghambat sitokrom P-450


enzim lanosterol 14-α-demethylase sehingga tidak terjadi konversi
lanosterol menjadi ergosterol. Ergosterol merupakan komponen sterol utama
40
dari membran sel jamur. Bila ergosterol tidak ada, akan terjadi kerusakan
permeabilitas dan keseluruhan aktivitas membran sel jamur.1

Indikasi

Itrakonazol digunakan dalam pengobatan infeksi yeast, dermatofit,


bahkan mikosis sistemik. Kontraindikasi untuk penggunaan obat ini yaitu
individu yang hipersensitif terhadap itrakonazol dan kehamilan. Itrakonazol
merupakan obat yang masuk dalam kategori C pada kehamilan dan tidak
dianjurkan diberikan selama masa menyusui karena sifat obat yang juga
dieksresi melalui air susu. Itrakonazol aman dan efektif digunakan pada
orang usia lanjut.1

Efek Samping

Efek samping yang paling sering terjadi yaitu sakit kepala, gangguan
gastrointestinal, dan kelainan kulit. Efek samping lain seperti
hipertrigliserida, edema, urtikaria, anafilaktik, eritema multiforme,
neuropati, impotensi, hipertensi, leukopeni, sindroma nefrotik, dan
peningkatan moderat dari enzim hepar.1

Pemberian itrakonazol pada pasien dengan riwayat gagal jantung


merupakan kontraindikasi dan juga tidak dianjurkan pemberian pada pasien
dengan riwayat penyakit hati. Perlu untuk terus mengevaluasi tes faal hati
terutama kadar serum transaminase bila itrakonazol diberikan lebih dari 1
bulan dan pada individu dengan gangguan fungsi hati.1,

Sediaan dan Dosis

Itrakonazol tersedia dalam bentuk kapsul 100 mg. Dosis yang


diberikan pada tinea korporis dan tinea kruris yaitu 200 mg per hari selama
1 minggu atau dapat pula 100 mg per hari selama 2 minggu. Pada tinea
pedis dan tinea manum, dosis yang diberikan yaitu 200 mg dua kali sehari
selama 1 minggu atau 100 mg per hari selama 2-4 minggu. Untuk tinea
unguium, dosis yang diberikan 200 mg per hari selama 6-8 minggu (tinea
pada kuku jari tangan) atau selama 3-4 bulan (tinea pada kuku jari kaki).
41
Sedangkan pada kandidosis oral dapat diberikan 100 mg per hari selama 2
minggu.1 Dosis pada anak biasanya 5 mg per kilogram berat badan setiap
hari, dengan dosis maksimal 200 mg per hari.

Flukonazol

Flukonazol diformulasikan pada tahun 1981. Disepakati pertama kali


untuk digunakan kepada manusia pada tahun 1988 di Perancis dan Inggris,
serta di Amerika pada tahun 1990. Diterima oleh 19 negara untuk digunakan
dalam terapi onikomikosis. Cina dan Finlandia merupakan dua negara
pertama yang menggunakan flukonazol dalam terapi onikomikosis.
Diperkirakan bahwa obat ini telah digunakan sebanyak 50 juta kali di
seluruh dunia.

Fluconazole bersifat fungistatik dan efektif terhadap yeast dan


dermatofit.

Farmakologi

Formula molekuler flukonazol yaitu C13H12F2N6O dengan berat


molekul 306,3. Flukonazol diabsorpsi dengan baik bila diberikan secara
oral. Bioavailabilitas cukup tinggi yang mungkin disebabkan oleh berat
molekul yang relatif rendah dan sifatnya yang lebih hidrofilik bila
dibandingkan dengan golongan azole yang lain. Absorpsi flukonazol tidak
dipengaruhi oleh perubahan pH lambung. Absorpsi flukonazol juga tidak
terlalu dipengaruhi oleh pemberian bersama makanan ataupun antasida.
Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-2 jam. Flukonazol tidak bersifat
lipofilik kuat. Flukonazol membentuk ikatan lemah terhadap protein, lemak
maupun jaringan dan sekitar 90% beredar bebas dalam plasma. Berbeda
dengan ketokonazol dan itrakonazol, flukonazol dapat berdifusi dengan baik
ke dalam cairan serebrospinal.1

Tidak seperti obat golongan azole yang lain, flukonazol kurang


mengalami metabolisme primer di hati. Obat ini dikeluarkan primer melalui
42
ekskresi ginjal. Sekitar 80% diekskresikan melalui urine, 2% diekskresikan
melalui feses , sekitar 11% sebagai metabolit, dan sisa 7% masih tidak
diketahui.1

Mekanisme kerja flukonazol hampir sama dengan obat golongan azole


yang lain. Secara in vitro, obat ini menunjukkan aktivitas fungistatik. Sama
dengan itrakonazol, flukonazol juga menghambat lanosterol 14-α-
demethylase.1

Gambar 2*. Struktur kimia flukonazol

Indikasi

Di Amerika, flukonazol secara resmi tidak digunakan dalam terapi


onikomikosis ataupun dermatomikosis lainnya. Flukonazol lebih
diindikasikan pada kandidosis vaginalis, kandidiasis esofagus dan orofaring,
dan meningitis kriptokokal. Sebagai profilaksis, flukonazol juga
diindikasikan pada pasien transplantasi sumsum tulang yang mendapat
kemoterapi sitotoksik atauoun radioterapi. Di beberapa negara lain,
flukonazol dapat digunakan dalam penanganan onikomikosis dan juga jenis
dermatomikosis yang lain.

Flukonazol ditoleransi baik pada orang usia lanjut. Walaupun


demikian, pada usia lanjut dengan kerusakan ginjal diperlukan perhatian
dalam menyusun dosis pemberian obat. Fluconazole merupakan obat yang
masuk dalam kategori C pada kehamilan. 1

43
Suatu studi menunjukkan efektivitas penggunaan flukonazol dalam
mencegah terjadinya infeksi jamur invasif pada preterm infant dengan berat
badan yang sangat rendah.1

Efek Samping

Efek samping yang paling sering dilaporkan antara lain sakit kepala,
sakit perut, gangguan pernafasan, diare, dan nausea. Efek samping yang
lain, seperti drug eruptions, trombositopenia, transient amenorrhea,
peningkatan tes fungsi hati, sedikit peningkatan kadar serum kreatinin
fosfokinase, dizziness, anoreksia, dan alopesia juga dapat terjadi walaupun
pada umumnya dapat teratasi dengan berlanjutnya terapi flukonazol. 1

Sediaan dan Dosis

Flukonazol tersedia dalam sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan
200 mg. Sangat penting untuk memperhatikan dosis pemberian mengingat
flukonazol diekskresi terutama melalui ginjal.1

Pada kandidosis orofaring biasanya diberikan dosis 200 mg hari


pertama dilanjutkan 100 mg per hari selama paling kurang 2 minggu.
Kandidosis esofagus berespon baik pada dosis 100-200 mg per hari. Dosis
tersebut juga telah digunakan untuk mengurangi candiduria pada pasien
resiko tinggi. Untuk kandidosis vaginalis, dosis yang diberikan 150 mg
dosis tunggal. Dosis 400 mg per hari juga dapat menurunkan insiden
kandidosis dalam pada penerima transplantasi sumsum tulang allogenik dan
juga bermanfaat untuk mengatasi kandidemia pada pasien
nonimmunosuppressed. Flukonazol 400 mg per hari selama 8 minggu
pertama digunakan pada pasien AIDS setelah kondisi klinis sedikit
membaik. Setelah 8 minggu, dosis diturunkan sampai 200 mg per hari.1
Dosis pada anak biasanya 3-6 mg per kilogram berat badan per hari.1

44
Ketokonazol

Ketokonazol merupakan obat golongan imidazol yang pertama


tersedia untuk penanganan infeksi jamur. Obat ini dikeluarkan di Amerika
pada tahun 1981. Walaupun ketokonazol termasuk obat yang harganya lebih
rendah namun jarang dipakai karena sifatnya yang hepatotoksik.

Farmakologi

Ketokonazol merupakan antijamur sistemik per oral yang diserap baik


melalui saluran cerna dan menghasilkan kadar plasma yang cukup untuk
menekan aktivitas berbagai jenis jamur. Penyerapan melalui saluran cerna
akan berkurang pada penderita dengan pH lambung yang tinggi, pada
pemberian bersama antagonis-H2 atau bersama antasida. Pengaruh makanan
tidak begitu nyata terhadap penyerapan ketokonazol. Distribusi setelah
diserap belum banyak diketahui.1

Gambar 3*. Struktur kimia ketokonazol

Setelah pemberian per oral, obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar
lemak, air ludah, juga pada kulit yang mengalami infeksi, tendon dan cairan
sinovial. Kadar ketokonazol dalam cairan otak sangat kecil dan hanya
ditemukan pada infeksi selaput otak. Dalam plasma, 84% ketokonazol
berikatan dengan protein plasma terutama albumin. Lima belas persen
berikatan dengan sel darah dan 1% dalam bentuk bebas. Sebagian besar dari
obat ini mengalami metabolisme lintas pertama. Diduga ketokonazol
diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus dan hanya sebagian
kecil saja yang dikeluarkan bersama urine, semuanya dalam bentuk

45
metabolit yang tidak aktif. Gangguan ginjal dan faal hati yang ringan tidak
mempengaruhi kadarnya dalam plasma.1

Indikasi

Ketokonazol digunakan baik pada infeksi dermatofit maupun pada


deep fungal infection. Ketokonazol terutama efektif untuk histoplasmosis
paru, tulang, sendi dan jaringan lemak. Ketokonazol tidak dianjurkan untuk
meningitis kriptokokus karena penetrasinya kurang baik, tetapi obat ini
efektif untuk kriptokokus nonmeningeal, dan terbukti bermanfaat pula pada
parakoksidioidomikosis, beberapa bentuk koksidioidomikosis,
dermatomikosis dan kandidosis (mukokutan, vaginal dan oral).1

Efek Samping

Efek toksik ketokonazol lebih ringan daripada amfoterisin B. Mual


dan pruritus adalah efek samping yang paling sering dijumpai, keadaan ini
akan lebih ringan bila obat ditelan bersama makanan, sebelum tidur, atau
dibagi dalam beberapa dosis. Efek samping yang lebih jarang ialah sakit
kepala, vertigo, nyeri epigastrik, fotofobia, parestesia, gusi berdarah, erupsi
kulit dan trombositopenia. Obat ini dapat meningkatkan aktivitas enzim hati
untuk sementara waktu dan kadang-kadang dapat menimbulkan kerusakan
hati. Frekuensi kerusakan hati yang berat ialah sekitar 1:10000-15000.
Hepatotoksisitas yang berat lebih seirng dijumpai pada wanita berumur
lebih dari 40 tahun yang menggunakan obat ini untuk onikomikosis atau
penggunaan lama. Nekrosis hati yang masif telah menimbulkan kematian
pada beberapa penderita. Sebaiknya dilakukan pemantauan faal hati pada
terapi jangka panjang. 1

Ginekomastia, infertilitas, penurunan libido atau oligospermia dapat


terjadi pada pria, terutama bila diberikan lebih dari 600 mg per hari. Karena
ketokonazol menghambat aktivitas sitokrom P450, maka sintesis testosteron
gonad dan androgen adrenal juga dapat terhambat. Hal ini mengakibatkan
peningkatan kadar LH dan FSH dalam serum. Dosis 600-800 mg sehari
menghambat steroidogenesis adrenal pada tahap 11-hidroksilasi proses
46
sintesisnya. Ketoonazol juga menghambat deposisi metilprednisolon,
prednison, dan prednisolon dengan menghambat 6-hidroksilase. Akibatnya
efek supresi adrenal kortikosteroid ini memanjang. Ketokonazol juga
menghambat sintesis kortisol endogen. 1

Obat ini sebaiknya dihindarkan pada wanita hamil, karena pada tikus,
dosis 80 mg/kgBB/hari menimbulkan cacat pada jari fetus hewan coba
tersebut. 1

Sediaan dan Dosis

Ketokonazol tersedia dalam sediaan 200 mg. Dosis pada orang dewasa
biasanya 400 mg sekali sehari dan pada anak 3,3-6,6 mg/kgBB/hari. Dosis
yang biasa digunakan, antara lain 200-400 mg per hari selama 5 hari untuk
tinea versikolor, tinea pedis dan tinea kapitis; 200 mg per hari selama 28
hari pada pityrosporum folikulitis dan dermatitis seboroik.1

Vorikonazol

Vorikonazol merupakan obat antijamur spektrum luas biasanya


digunakan pada infeksi Candida dan cendawan. US Mycoses Study Group
dan Invasive Fungal Infections Co-operative Group of the European
Organisation for Research and Treatment of Cancer telah melaporkan
signifikansi penggunaan voriconazole dibandingkan D-AmB pada pasien
invasive aspergillosis, dengan tingkat respon 53% : 31%, tingkat survival
71% : 58%. Laporan ini akan menimbulkan perdebatan mengenai perlu
tidaknya menentukan standar baru dalam antifungal lini pertama pada
penderita invasive aspergillosis.1

47
Farmakologi

Vorikonazol secara cepat dan diabsorpsi baik melalui pemberian


secara oral. Obat ini didistribusikan secara luas di dalam jaringan tubuh.
Waktu paruh vorikonazol tergantung daripada dosis yaitu kira-kira 6 jam
pada dosis 200 mg. Vorikonazol dimetabolisme di hati dan hanya sekitar
2% diekskresikan melalui urine.13

Gambar 4*. Struktur kimia vorikonazol

Indikasi

Vorikonazol digunakan pada kandidosis esofagus, invasive


aspergillosis, infeksi jamur Scedosporium spp dan Fusarium spp, serta
infeksi jamur berat lainnya.1

Vorikonazol tidak boleh diberikan pada wanita hamil. Pemberian


vorikonazol pada wanita menyusui juga tidak dianjurkan, karena obat ini
diekskresikan melalui air susu.1

Efek Samping

Efek nonterapi yang telah dilaporkan antara lain nausea, vomitus,


sakit kepala, sakit perut, diare, serta pembengkakan pada tungkai dan
lengan.13

Sediaan dan Dosis

48
Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 200 mg. Dosis
dewasa yang dianjurkan yaitu : (1) bila berat badan > 40 kg, dosis yang
diberikan 400 mg setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 200 mg
dua kali sehari; (2) bila berat badan < 40 kg, dosis yang diberikan 200 mg
setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 100 mg dua kali sehari.
Jika respon klinis tidak adekuat, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 300
mg dua kali sehari pada pasien dengan berat badan > 40 kg dan 150 mg dua
kali sehari pada pasien dengan berat badan < 40 kg. Dosis anak umur 2 - <
12 tahun adalah 6 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam dalam 24 jam
pertama dilanjutkan 4 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam.1

Flusitosin

Flusitosin merupakan obat antifungal tipe antimetabolik. Kapsul


flusitosin telah dipasarkan di Amerika Serikat sejak tahun 1972. Flusitosin
memiliki spektrum anti jamur yang agak sempit. Obat ini efektif untuk
pengobatan kriptokokosis, kandidosis, kromomikosis, torulopsis, dan
aspergilosis. Criptococcus dan Candida dapat menjadi resisten selama
pengobatan dengan flusitosin.1

Farmakologi

Flusitosin merupakan satu-satunya obat antimetabolik yang


mempunyai efektivitas antifungal. Dalam sel jamur, flusitosin mengalami
deaminasi menjadi 5-flurouracil. Flusitosin menghambat sintesis protein
jamur dengan cara mengganti uracil dengan 5-flurouracil pada rantai RNA
jamur. Keadaan ini tidak terjadi pada mamalia karena dalam tubuh mamalia,
flusitosin tidak diubah menjadi 5-flurouracil.1

Flusitosin diserap dengan cepat dan baik melalui saluran cerna.


Pemberian bersama makanan memperlambat penyerapan tanpa mengurangi
jumlah zat yang diserap. Penyerapan juga diperlambat pada pemberian
dengan suspensi magnesium hidroksida atau alumunium hidroksida dan
dengan neomisin. Kadar puncak dalam darah adalah 1-2 jam setelah
pemberian oral. Pada penderita insufisiensi ginjal, kadar dalam darah akan
49
meningkat. Setelah diserap, flusitosin didistribusikan dengan baik ke
seluruh jaringan. Flusitosin dapat memasuki cairan akuosa. Dalam saliva
kadar flusitosin kira-kira separuh kadarnya dalam darah. Sembilan puluh
persen flusitosin akan dikeluarkan bersama melalui filtrasi glomerulus
dalam bentuk utuh. Waktu paruh obat ini pada orang normal adalah sekitar
2,4-4,8 jam, sedikit memanjang pada bayi prematur, dan dapat sangat
memanjang pada penderita insufisiensi ginjal. Pada orang normal bersihan
kreatinin dari flusitosin adalah sekitar 75% dari bersihan kreatinin. Karena
itu, bersihan kreatinin dapat digunakan sebagai patokan dalam penyesuaian
dosis obat. Flusitosin dapat dikeluarkan dengan hemodialis dan peritoneal
dialisis. 1

Gambar 5*. Struktur kimia flusitosin

Indikasi

Flusitosin merupakan obat jamur yang penting pada infeksi sistemik,


selain karena kurang toksik, obat ini dapat diberikan peroral. Karena cepat
terjadi resistensi jamur terhadap flusitosin, obat ini sering dikombinasikan
dengan obat lain misalnya amfoterisin B. Penggunaan flusitosin sebagai
obat tunggal hanya diindikasikan pada kromoblastomikosis.1

Efek Samping

50
Flusitosin dapat menimbulkan anemia, leukopeni, dan trombositopeni,
terutama pada penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang
mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang, dan
penderita dengan riwayat memakai obat tersebut. Efek samping lainnya
adalah mual, muntah, diare, dan enterokolitis yang hebat, kira-kira 5%
penderita mengalami peningkatan enzim SGOT dan SGPT, serta dapat juga
terjadi hepatomegali. Efek samping ini hanya terjadi sementara, dan
menghilang sendiri ketika pengobatan dihentikan. Kadang-kadang dapat
pula terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi.
Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik. Keamanan obat ini pada kehamilan
belum terbukti, sebaiknya flusitosin tidak diberikan kepada ibu hamil. 1

Sediaan dan Dosis

Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang
biasa digunakan adalah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis.
Dosis ini harus disesuaikan padai penderita dengan insufisensi ginjal. 1

Khusus pada meningitis yang disebabkan Cryptococcus, kombinasi


100-150 mg/kgBB/hari flusitosin dengan 0,3 mg/kgBB/hari amfoterisin B
merupakan obat terpilih. 1

Griseofulvin

Griseofulvin pertama kali diisolasi dari Penicilium griseofulvum


dierckx pada tahun 1939 namun kurang mendapat perhatian karena tidak
mempunyai efek terhadap bakteri. Griseofulvin digunakan untuk mengobati
penyakit dermatofit sejak tahun 1958. 1

Secara in vitro, griseofulvin efektif terhadap berbagai jenis jamur


dermatofit seperti Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum.
Terhadap sel muda yang sedang aktif bertumbuh, griseofulvin bersifat
fungisidal, tapi pada sel yang lebih tua, griseofulvin hanya dapat
menghambat unsur yang dorman (fungistatik). Griseofulvin bekerja dengan
51
menghambat mitosis jamur dengan mengikat protein mikrotubuler dalam
sel. 1

Farmakologi

Griseofulvin kurang baik penyerapannya pada saluran cerna bagian


atas karena obat ini tidak larut dalam air. Penyerapannya akan lebih mudah
bila diberikan bersama makanan berlemak. 1,9,11,15

Gambar 6*. Struktur kimia griseofulvin

Obat ini mengalami metabolisme di hati. Waktu paruh obat ini kira-
kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan dikeluarkan melalui urine
dalam bentuk metabolit (6-metilgriseofulvin) selama 5 hari. Kulit yang sakit
mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan
dihimpun dalam sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru
berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin, sehingga sel baru ini resisten
terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas
dan diganti oleh sel yang normal. Obat ini dapat ditemukan dalam lapisan
tanduk pada kulit 4-8 jam setelah pemberian oral. Keringat dan hilangnya
cairan transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran obat
ini pada srtatum korneum. Sedikit sekali obat yang ditemukan dalam cairan
dan jaringan tubuh lainnya. 1

Indikasi

52
Griseofulvin efektif untuk infeksi jamur di kulit, jamur, dan kuku yang
disebabkan oleh jamur Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum.
Gejala pada kulit akan berkurang setelah 48-96 jam setelah pengobatan
dengan griseofulvin, sedangkan penyembuhan total akan terjadi setelah
beberapa minggu. Biakan jamur menjadi negatif setelah 1-2 minggu,
sehingga pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4 minggu. Infeksi
pada telapak tangan dan kaki lebih lambat bereaksi, biakan baru menjadi
negatif setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-8
minggu. Infeksi kuku kaki membutuhkan waktu 6-12 bulan. Trichophyton
rubrum dan Trichophyton mentagrophytes membutuhkan dosis yang lebih
tinggi dari dosis biasanya. Pada keadaan yang disertai hiperkeratosis perlu
penambahan zat keratolitik. Kandidiasis dan tinea versikolor tidak dapat
diobati dengan griseofulvin, tetapi cukup dengan pemberian sediaan topikal.
1

Efek Samping

Efek samping yang berat jarang timbul akibat pemakaian griseofulvin.


Leukopeni dan granulositopeni dapat terjadi namun sering hilang bila terapi
dilanjutkan. Sakit kepala merupakan efek yang paling sering dikeluhkan
penderita, kira-kira pada 15% penderita, yang biasanya menghilang sendiri
meskipun pemakaian obat dilanjutkan. Efek samping lainnya seperti
artralgia, neuritis perifer, demam, pandangan kabur, insomnia, berkurangnya
kecakapan, pusing dan sinkop. Pada saluran cerna dapat terjadi mulut
kering, mual, muntah, diare, dan flatulensi. Mungkin pula ditemukan
albuminuria dan silinderuria tanpa kelainan ginjal. Pada kulit dapat terjadi
urtikaria, reaksi fotosensitifitas, eritema multiform, vesikel, dan erupsi
menyerupai morbili.1

Sediaan dan Dosis

Terdapat 2 tipe preparat yang tersedia, yaitu griseofulvin microsize


dan griseofulvin ultramicrosize. Bentuk ultramicrosize lebih baik diserap
dan hanya membutuhkan 50-70% dosis bentuk microsize.

53
Griseofulvin microsize dipasarkan di Indonesia dalam bentuk tablet
125 mg dan 500 mg.serta suspensi mengandung 125 mg/ml. Dosis pada
anak 10 mg/kgBB/hari, sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari dalam
dosis tunggal. Bila dosis tunggal tidak dapat ditoleransi maka dibagi
menjadi beberapa dosis. Dosis yang lebih besar (1,5-2 gr/hari) dapat
diberikan dalam waktu singkat, kemudian harus diturunkan kembali menjadi
0,5-1 gr/hari setelah lesi mengalami perbaikan. Hasil memuaskan akan
dicapai bila dosis yang dibutuhkan dibagi menjadi 4 dan diberikan tiap 6
jam. Lama pengobatan sangat tergantung dari tempat infeksi. Tablet yang
mengandung ultramikrosize tersedia dalam takaran 330 mg. 1

Terbinafin

Terbinafin adalah antijamur sintetik yang merupakan golongan


alllylamine. Semua derivat alllylamine mempunyai gugus alllylamine
tersier, suatu struktur yang penting dalam aktivitas antijamur. 1

Terbinafin pertama kali ditemukan pada tahun 1974. Obat ini pertama
kali digunakan di Inggris pada februari 1991, di Kanada pada mei 1993, dan
di Amerika Serikat pada Mei 1996.6

Secara in vitro, terbinafin efektif terhadap beberapa strain Aspergillus


spp., beberapa jamur endemik yang patogen, dan Sporothrix schenckii.
Candida spp., termasuk strain yang resisten terhadap triazole, dan P. boydii,
dapat memberi respon yang baik ketika dikombinasi dengan golongan azole
atau amfoterisin B. 1

Farmakologi

Terbinafin diserap dengan baik pada saluran pencernaan. Waktu


paruhnya adalah 1,5 jam. Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, dan
didistribusikan di seluruh jaringan lemak, dermis, epidermis, dan kuku. Obat
ini bertahan di plasma, dermis, epidermis, rambut, dan kuku selama
beberapa minggu. Keberadaan obat ini dalam plasma harus diperhatikan
ketika telah ditemukan efek samping. Terbinafin masuk ke stratum korneum

54
melalui kelenjar sebasea, masuk ke keratin, dan berdifusi di sepanjang
dermis-epidermis. Terbinafin tidak ditemukan dalam kelenjar ekrin.
Terbinafin ditemukan di kulit dengan konsentrasi di atas mean inhibitory
concentration (MIC) kebanyakan dermatofit selama 2-3 minggu setelah
penghentian terapi oral. Setelah 6-12 minggu setelah terapi, terbinafin
ditemukan di lempeng kuku selama 30-36 minggu, yang konsentrasinya di
atas MIC kebanyakan dermatofit. 1

Terbinafin dimetabolisme di hati. Oleh karena itu, penyesuaian dosis


diperlukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Pada penderita
gangguan ginjal, eliminasi obat dari dalam tubuh dapat terjadi lebih lambat
karena sekitar 80% obat ini diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui
feses. Dosis terbinafin harus dibagi dua jika serum kratinin lebih dari 3000
umol/L, atau bersihan kreatinin kurang atau sama dengan 50 ml/menit. 1

Gambar 7*. Struktur kimia terbinafine

Indikasi

Terbinafin sangat efektif untuk onikomikosis dan penyakit


dermatomikosis yang lain. Pada penelitian yang membandingkan
penggunaan terbinafin dan itrakonazole pada terapi onikomikosis kuku jari
kaki ditemukan bahwa penggunaan terbinafin lebih efektif dari pada
itrakonazole.1

Efek Samping
55
Karena selektivitasnya yang tinggi, insiden efek samping jarang
ditemukan. Efek samping yang sering ditemukan adalah efek pada
gastrointestinal (sekitar 3,5-5%). Efek samping lain seperti sakit kepala,
exanthematous eruption, acute generalized exanthematous pustulosis
(AGEP), psoriasis pustular, subacute cutaneus lupus erythematosus, nyeri
dada, hipestesi, kelelahan, dan malaise. Pada beberapa kasus ditemukan
hepatoselllular injury, agranulositosis yang reversibel, dan reaksi kulit berat,
termasuk toxic epidermal necrolysis dan erythema multiforme.Terbinafin
tidak boleh diberikan pada ibu yang sedang mengandung atau sedang
menyusui.1

Sediaan dan Dosis

Sediaan terbinafin adalah tablet 250 mg dan harus diminum 1 kali


sehari dalam 6 minggu untuk pengobatan onikomikosis pada kuku jari
tangan dan 1 kali sehari selama 12 minggu untuk onikomikosis pada kuku
jari kaki. Sebelum di terapi dengan terbinafin, sebaiknya diperiksa serum
transaminasenya dan jika pasien memiliki gangguan fungsi hati, obat
sebaiknya tidak diberikan. Jika gejala atau tanda infeksi sekunder ditemukan
pada pasien yang sementara mendapat terapi terbinafin, pemeriksaan darah
lengkap harus untuk melihat ada tidaknya neutropenia.1

56
OBAT ANTIJAMUR TOPIKAL
Pengobatan topikal untuk infeksi dermatofit antara lain:
1. Golongan allylamine
Allylamuie serupa dengan derivat benzylamine yang titik
tangkapnya menekan biosintesis ergosterol pada metabolik
tingkat awal, berdiri sendiri pada enzim sitokrom P-450 kerjanya
menghambat aktifitas squnlene epoxidase menghasilkan
defisiensi ergosterol dengan akumulasi squalene dalam sel jamur
yang berperan dalam kematian sel. Allylamine adalah obat
dermatofit yang bersifat fungisida dan fungistatik. Allylamine
dapat ditoleransi dengan baik, efek sampingnya berupa gatal,
rasa terbakar, dan iritasi.1
Produk allylamine berespon lebih cepat dibandingkan
dengan azoles meskipun penggunaannya sama. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa allylamine lebih efektif dibandingkan
dengan azoles, tetapi harganya lebih mahal. 1
Obat-obat yang termasuk golongan allylamine adalah:
a. Naftifin
Naftifin kerjanya melalui sguatene epoxidase dan
menghambat sintesis ergosterol, lanosterol, dan kolesterol
pada membran sel. Titik tangkap obat ini yaitu menghambat
biosintesis kolesterol pada tahap perubahan squalene menjadi
lanosterol. Disamping mempunyai kerja antimikatik, senyawa
ini juga mempunyai antiflogisti. Obat ini dikatakan sangat
baik terhadap dermatofita. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara naftifin dengan terbinafin. 4
Naftifin tersedia dalam bentuk krim 1%. Pada
penggunaan obat ini, jika secara klinik tidak ada kemajuan
selelah 4 minggu maka pasien dievaluasi kembali. Pada
pasien dewasa, krim atau gel dioleskan pada daerah yang
terinfeksi selama 2 minggu. Pada anak, penggunaan obat ini
sana dengan dewasa. Pada kulit yang sensitif merupakan

57
kontraindikasi diberikannya obat ini. Penggunaannya
dihentikan jika terjadi iritasi.Obat ini hanya untuk
penggunaan luar dan tidak boleh mengenai mata.1
b. Terbinafin
Terbinafin merupakan famili allylamine dan fungisida
yang titik tangkapnya menghambat sintesis ergosterol melalui
squalen epoxidase, menghasilkan penurunan tingkat
ergosterol dan meningkatkan konsentrasi squalen, berperan
penting dalam kematian sel. Secara medik obat ini digunakan
sampai gejalanya berkurang. Penggunaan obat ini dioleskan
pada daerah yang terinfeksi selama 1- 4 minggu.1,2
2. Golongan benzylamine
Obat golongan benzylamine adalah butenafin yang tersedia
dalam krim 1%. Titik tangkapnya merusak membran sel jamur
sehingga menyebabkan menghambat pertumbuhan sel jamur .
Dosis untuk dewasa diberikan pada kulit yang terinfeksi selama
2-4 minggu.1
3. Golongan imidazol
Penemuan obat antijamur golongan imidazol merupakan
penemuan yang penting dalam bidang pengobatan penyakit
jamur, karena hampir semua persyaratan obat anti jamur yang
ideal dapat terpenuhi. Obat ini memiliki efektifitas yang tinggi,
spektrum yang luas, dan hampir tanpa efek samping. Mekanisme
kerjanya yaitu menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur yang
penting untuk intregitas membran sel. Dalam konsentrasi rendah
obat ini bersifat fungistatik dan dalam konsentrasi tinggi bersifat
fungisid. Obat yang termasuk dalam golongan imidazol antara
lain:
▪ Mikonazol
Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif
stabil, mempunyai spektrum antijamur yang luas baik
terhadap jamur sistemik maupun jamur dermatofit. Obat ini

58
berbentuk kristal putih tidak berwarna dan berbau, sebagian
kecil larut dalam air tetapi lebih larut dalam pelarut organik.
Mikonazol menghambat aktifitas jamur Trichophyton,
Epidermophyton, Microsporum, Candida, dan
Malassezia.furfur. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui
sepenuhnya. Mikonazol titik tangkapnya menghambat
suitesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membran
sel jamur meningkat. Dapat terjadi gangguan sintesis asam
nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang
akan menimbulkan kerusakan. Obat yang sudah menembus
ke dalam lapisan tanduk kulit akan menetap di sana selama 4
hari. Mikonazol topikal diindikasikan untuk dermatofitasis,
tinea versikolor, dan kandidiasis mukokutan.
Efek samping penggunaan mikonazol topikal berupa iritasi,
rasa terbakar, dan maserasi sehingga penggunaan mikonazol
harus dihentikan. Mikonazol dalam jumlah kecil diserap
melalui mukosa vagina, tetapi belum ada laporan tentang efek
samping pada bayi yang ibunya mendapat mikonazol
intravaginal pada waktu hamil. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim 2% dan bedak tabur, penggunaannya 2 kali
sehari selama 2-4 minggu. Krim 2% untuk penggunaan
intravaginal diberikan 1 kali sehari pada malam hari untuk
mendapatkan retensi selama 7 hari. Penggunaan mikonazol
tidak boleh mengenai mata. 1
▪ Klotrimazol
Klotrimazol berbentuk bubuk tidak berwarna yang tidak larut
dalam air, larut dalam alkohol dan klorofonn, serta sedikit
iarut dalam eter. Obat ini mempunyai efek antijamur dan
antibakteri dengan mekanisme kerja seperti mikonazol. Obat
ini merupakan antijamur spektrum luas yang menghambat
pertumbuhan jamur dengan mengubah permeabilitas
membran sel sehingga menyebabkan kematian sel jamur Obat

59
ini digunakan secara topikal untuk pengobatan tinea pedis,
tinea kruris, dan tinea korporis yang disebabkan oleh T.
rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum, dan M. canis.
Senyawa ini merupakan senyawa trifenihnetilimidazol yang
tersulih klor, bekerja terhadap semua mikroba patogen untuk
manusia. Senyawa ini hanya dipakai lokal (dalam bentuk
sediaan dengan kadar 1%) karena efek sampingnya yang kuat
serta perbedaan absorbsi yang besar pada penggunaan
sistemik. Titik tangkapnya adalah sama seperti kelompok
mikonazol, bekerja pada biosintesis ergosterol yang
merupakan komponen esensial membran sel jamur Tipe
kerjanya secara in vitro adalah fungisida, secara in vivo
umumnya fungistatik.
Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusioispray, dan
lotion. Obat ini dapat diperoleh tanpa resep. Obat ini
dioleskan pada daerah yang terinfeksi selama seminggu.
Krim vagina 1 % digunakan 1 kali sehari pada malam hari
selama 7 hari. Pada pemakaian topikal dapat terjadi rasa
terbakar, eritema, edema, gatal, dan urtikaria. Obat ini tidak
digunakan untuk pengobatan infeksi jamur sistemik, tidak
boleh mengenai mata, dan jika terjadi iritasi maka
penggunaannya hams dihentikan. 1,2
▪ Ketokonazol
Ketokonazol merupakan golongan imidazol yang mempunyai
kelebihan yaitu cukup dioleskan 1 kali sehari dengan
efektifitas yang sama dengan yang lain. Obat ini titik
tangkapnya menghambat enzim lanosterol, demetilase,
sitokrom P-450. Enzim ini menyebabkan membran sel jamur
tidak stabil sehingga sel tidak dapat berproduksi dan
terjadilah kematian sel jamur secara lambat.
Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1-2%. Penggunaannya
pada daerah infeksi selama 2-4 minggu. Obat ini untuk

60
penggunaan luar, tidak boleh mengenai mata, dan jika terjadi
iritasi penggunaannya harus dihentikan. 1
Penggunaanya tidak boleh mengenai mata dan organ yang
mempunyai mukosa. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan
menggunakan resep.1,2
4. Obat golongan lain: Tolnaftat
Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk
pengobatan sebagian besar dermatofitosis yang disebabkan T.
rubrum, T. mentagrophytes, E. flaccosum: M. canis. M.
auduoini, dan P. orbiculare tetapi tidak efektif terhadap
kandida.
Angka keberhasilan penggunaan tolnaftat pada tinea pedis
80%. Obat ini tersedia dalam bentuk krim l %, solusio/spray,
bubuk, gel, cairan erosol, atau larutan topikal dengan kadar
1%. Tolnaftat diberikan 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang
dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan
dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lest dengan
hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan
asam salisilat 10%. Beberapa kasus membutuhkan waktu
pengobatan selama 4-6 minggu, tetapi jarang melebihi 10
minggu. Obat ini hanya untuk penggunaan luar.1,2
5. Golongan haloprogin
Haloprogin merupakan antijamur sintetik, berbentuk kristal
putih kekuningan, sukar larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol.
Obat ini bersifat fungisidal terhadap Epidermophytora,
Trichophyton, Microsporum, Malassezia furfur, dan Candida.
Haloprogin sedikit sekali diserap melalui kulit, dalam tubuh akan
terurai menjadi triklorofenol.
Selama pemakaian obat ini dapat timbul iritasi lokal, rasa
terbakar, vesikulasi, meluasnya maserasi dan sensitisasi.
Sensitisasi mungkin merupakan pertanda cepatnya respon
pengobatan, sebab toksin yang dilepaskan kadang kadang

61
memperburuk lesi. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan
larutan dengan kadar 1%. Obat ini hanya untuk penggunaan
luar.1,2

62
KORTIKOSTEROID SISTEMIK

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi


klinis yang sangat luas. Mamfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya
dibatasi.
Berdasarkan khasiatnya, kortikosteroid dibagi menjadi mineralokortikoid
dan glukokortikoid. Mineralokortikoid mempunyai efek terhadap metabolisme
elektrolit Na dan K, yaitu menimbulkan efek retensi Na dan deplesi K, maka
mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Sedangkan glukokortikoid
mempunyai efek terhadap metabolisme glukosa, anti imunitas, efek
neuroendokrinologik dan efek sitotoksik. Sebagian besar khasiat yang diharapkan
dari pemakaian kortikosteroid adalah sebagai antiinflamasi, antialergi atau
imunosupresif. Karena khasiat inilah kortikosteroid banyak digunakan dalam
bidang dermatologi.

BIOSINTESIS DAN KIMIA1


Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolesterol, yang kemudian
dengan bantuan berbagai enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan
21 atom karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Androgen ini juga
merupakan sumber estradiol. Sebagian besar kolesterol yang digunakan untuk
steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada keadaan basal maupun
setelah pemberian ACTH. Sedangkan sumber steroid farmaseutik biasanya
disintesis dari cholic acid (diperoleh dari hewan ternak) atau steroid sapogenin
dalam diosgenin dan hecopenin tertentu yang ditemukan dalam tumbuhan.
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus
disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk beberapa
menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya
disesuaikan dengan kecepatan sekresinya.

MEKANISME KERJA1
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik
63
dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid
dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.

FARMAKOKINETIK1
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.
Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat
sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam
sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal,
disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol
terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan
dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada
sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan
konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti
dexamethason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit,
waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol)
diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau
penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai
kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan
lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula
kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan
protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon
bentuk aktifnya dalam tubuh.

64
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan
ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.

FARMAKODINAMIK1
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik,
sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya
penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi
perubahan lingkungan.
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis,
makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga
ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran
kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid
diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan
terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap
katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis
fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau
farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan
tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan
kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun
kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi
sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi
natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
antiinflamasinya.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar,
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.
Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan
glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron.

65
Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi
yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan
kerja lama (>36 jam).

Tabel 8 perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan


kortikosteroid
Potensi Dosis
Lama
Kortikosteroid Retensi Anti- ekuivalen
kerja
natrium inflamasi (mg)*
Kortisol (hidrokortison) 1 1 S 20
Kortison 0,8 0,8 S 25
Kortikosteron 15 0,35 S -
6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4
Fludrokortison 125 10 I -
(mineralokortikoid)
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam);
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam);
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam).

Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut:
Metabolisme.
Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan
kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang
sensitive dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang
lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah

66
peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke
dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak
dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas
asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan
perifer.
Hormone ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di
perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan
terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi
osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative.
Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang
berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.
Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka
panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang
khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian
belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face),
sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.
Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat meningkatkan
reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme
inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume
cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan
sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan
hidrasi sel.
System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem
kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah
terhadap keseimbangan air and elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi
pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini
didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh
langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol,
dan miokard.
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil
menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus
dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru.
Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan
hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada

67
ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan
berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol,
akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan
bertambah.
Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi
dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon
ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada
insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak
terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau
kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada pasien
aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian
glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka
yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya
pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas
fosforilase, dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan
fungsi mitokondria.
Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara
langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan
efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan
elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan
mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan waktu
lama atau pasien penyakit Addison.
Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan
serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood
yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain
memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan peningkatan
aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien yang pernah
mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik.
Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar
hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul
polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami
anemia normokromik, normositik yang ringan.
Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena
mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan
mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel

68
limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah
pemberian glukokortikoid.
Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog sintetiknya
dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi,
zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat
fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan
fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena
efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan
juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi
serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit
kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh
serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang
berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian
dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil
meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi
tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam
dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh
peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan
migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada
tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan dan sel
penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap
antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama
menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh
mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,
metalloproteinase dan activator plasminogen.
Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi
reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan
platelet-aktivating factor.
Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan
langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast.

69
Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah
histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast.
Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan
terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap
ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi
yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya
secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif.
Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak
menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat
mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan
sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga
respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit ke daerah inflamasi.
Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat
menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon
pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat
maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan
oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon
pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel
di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.

INDIKASI1
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu
diperhatikan sebelum obat ini digunakan:
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis
melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek
anti-inflamasinya.

70
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam
jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan
digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih
efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai
tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi bertujuan
mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah cukup
besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat
dilipatgandakan.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis
besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi
cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini
tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.
Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi
sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri
(insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:
• Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg
hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat
mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.
• Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis
terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien
memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-
0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.
• Hyperplasia adrenal congenital.
• Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.

Indikasi kortikosteroid yang lain adalah pada dermatosis alergik atau


penyakit yang dianggap mempunyai dasar alergik (dermatitis atopik, pemfigus,
dermatitis seboroik, dll). Yang harus diperhatikan adalah kadar kandungan
steroidnya. Erupsi eksematosa biasanya diatasi dengan salep hidrokortison 1%.
Pada penyakit kulit akut dan berat serta pada eksaserbasi penyakit kulit kronik,
kortikosteroid diberikan secara sistemik.

71
DOSIS DAN MEKANISME PEMBERIAN1
Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya.
Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai
dermatosis
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg

Mengurangi Dosis Steroid Sistemik


Jangan berhenti tiba-tiba penggunaan steroids sistemik; terutama
penting jika Anda telah menggunakan selama lebih dari enam bulan.
Sebagai contoh:
• Tidak diperlukan penurunan jika penggunaan steroids telah kurang dari
satu minggu.
• Setelah mengambil dosis 30 mg atau lebih per hari untuk 3-4 minggu,
mengurangi dosis 10 mg atau kurang per hari, butuh beberapa hari hingga
beberapa bulan untuk menghentikan semuanya.
• Pengurangan dosis lambat mungkin diperlukan jika obat yang telah
dilakukan selama beberapa bulan.

EFEK SAMPING1
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
72
Tempat Macam efek samping
1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
2. Otot Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
3. Susunan saraf tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh
pusat diri), nafsu makan bertambah.
Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang
4. Tulang panjang.
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis,
5. Kulit purpura, telangiektasis.
Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
6. Mata Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
7. Darah Kenaikan tekanan darah
8. Pembuluh darah Atrofi, tidak bisa melawan stres
9. Kelenjar
adrenal bagian
kortek Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi,
10. Metabolisme obesitas, buffao hump, perlemakan hati.
protein, KH dan
lemak Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia
11. Elektrolit kor)
12. Sistem Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes
immunitas simplek, keganasan dapat timbul.

Efek Samping Dari Penggunaan Singkat Steroids Sistemik


Jika sistemik steroids telah ditetapkan untuk satu bulan atau kurang,
efek samping yang serius jarang. Namun masalah yang mungkin timbul
berikut:
• Gangguan tidur
• Meningkatkan nafsu makan
• Meningkatkan berat badan
• Efek psikologis, termasuk peningkatan atau penurunan energi
Jarang tetapi lebih mencemaskan dari efek samping penggunaan
singkat dari kortikosteroids termasuk: mania, kejiwaan, jantung, ulkus
peptik, diabetes dan nekrosis aseptik yang pinggul.

73
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
• Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan
steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang
dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA)
penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan,
kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau
trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
• Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua,
orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan
diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah
tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini
terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan
lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari
pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
• Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar
ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
• Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
• Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi
pinggul).
• Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
• Kenaikan lemak darah (trigliserida).
• Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
• Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan
berat badan dan gagal jantung.
• Kegoyahan dan tremor.
• Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan
katarak subcapsular posterior.
• Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,
kegembiraan, delirium atau depresi.
• Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
• Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan
(misalnya tuberkulosis).
• Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-
inflamasi.

74
• Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit
kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.
Pemantauan regular selama perawatan termasuk:
• Tekanan darah
• Berat badan
• Gula darah

75
KORTIKOSTEROID TOPIKAL

Klasifikasi Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid topikal diklasifikasikan dalam 7 golongan
berdasarkan potensi klinisnya, yaitu: 1,2

1. Golongan I : Super Potent


• Clobetasol proprionate ointment dan cream 0,5%
• Betamethasone diproprionate gel dan ointment 0,05%
• Diflorasone diacetate ointment 0,5%
• Halobetasol proprionate ointment 0,05%

2. Golongan II : Potent
• Amcinonide ointment 0,1%
• Betamethasone diproprionate AF cream 0,05%
• Mometasone fuorate ointment 0,1%
• Diflorasone diacetate ointment 0,05%
• Halcinonide cream 0,1%
• Flucinonide gel, ointment, dan cream 0,05%
• Desoximetasone gel, ointment, dan cream 0,25%

3. Golongan III : Potent, upper mid-strength


• Triamcinolone acetonide ointment 0,1%
• Fluticasone proprionate ointment 0,05%
• Amcinonide cream 0,1%
• Betamethasone diproprionate cream 0,05%
• Betamethasone valerate ointment 0,1%
• Diflorasone diacetate cream 0,05%
• Triamcinolone acetonide cream 0,5%

4. Golongan IV : Mid-strength
• Fluocinolone acetonide ointment 0,025%
76
• Flurandrenolide ointment 0,05%
• Fluticasone proprionate cream 0,05%
• Hydrocortisone valerate cream 0,2%
• Mometasone fuorate cream 0,1%
• Triamcinolone acetonide cream 0,1%

5. Golongan V : Lower mid-strength


• Alclometasone diproprionate ointment 0,05%
• Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
• Betamethasone valerate cream 0,1%
• Fluocinolone acetonide cream 0,025%
• Flurandrenolide cream 0,05%
• Hydrocortisone butyrate cream 0,1%
• Hydrocortisone valerate cream 0,2%
• Triamcinolone acetonide lotion 0,1%

6. Golongan VI : Mild strength


• Alclometasone diproprionate cream 0,05%
• Betamethasone diproprionate lotion 0,05%
• Desonide cream 0,05%
• Fluocinolone acetonide cream 0,01%
• Fluocinolone acetonide solution 0,05%
• Triamcinolone acetonide cream 0,1%

7. Golongan VII : Least potent


• Obat topikal dengan hydrocortisone, dexamethasone, dan
prednisole.
Dalam penggolongan ini, obat yang sama dapat ditemukan dalam
klasifikasi potensi obat yang berbeda tergantung dari vehikulum yang
digunakan. 1,2

77
Mekanisme Kerja Kortikosteroid Topikal1,2
Kortikosteroid berdifusi melalui barrier stratum korneum dan
melalui membran sel untuk mencapai sitoplasma keratinosit dan sel-sel lain
yang terdapat epidermis dan dermis. Pada waktu memasuki jaringan,
kortikosteroid berdifusi menembus sel membran dan terikat pada kompleks
reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid.2
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang
berhubungan dengan mekanisme kerja yang berbeda, antara lain adalah efek
anti-inflamsi, imunosupresif, antiproliferasi, dan vasokonstriksi. Efek
kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi oleh ikatan kortikosteroid
pada reseptor di sitosol, diikuti dengan translokasi kompleks obat-reseptor
ke daerah nukleus DNA yang dikenal dengan corticosteroid responsive
element, dimana lalu bisa menstimulasi atau menghambat transkripsi gen
yang berdampingan, dengan demikian meregulasi proses inflamasi.2
• Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan
kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek
anti-inflamasinya dengan menghibisi pelepasan phospholipase A2, suatu
enzim yang bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin,
leukotrin, dan derivat asaam arachidonat yang lain. Kortikosteroid juga
menginhibisi faktor-faktor transkripsi yang terlibat dalam aktivasi gen pro-
inflamasi. Gen-gen ini diregulasi oleh kortikosteroid dan memiliki peran
dalam resolusi inflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan
interleukin 1α (IL-1α), sitokin proinflamasi penting, dari keratinosit.
Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid
adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom
dalam memfagositosis sel.1,2

78
• Efek imunosupresif
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya.
Kortikosteroid menekan produksi dan efek faktor-faktor humoral yang
terlibat dalam proses inflamasi, menginhibisi migrasi leukosit ke tempat
inflamasi, dan mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mast dan
fibroblas. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa
menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit.1,2
• Efek antiproliferasi
Efek antiprolifrasi kortikosteroid topikal dimediasi oleh inhibisi
sintesis dan mitosis DNA, yang sebagian menjelaskan terapi obat-obat ini
pada dermatosis dengan scale. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen
juga diinhibisi oleh kortikosteroid topikal.2
• Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid menyebabkan vasokonstriksi masih
belum jelas, namun dianggap berhubungan dengan inhibisi vasodilator
alami seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Steroid topikal
menyebabkan kapiler-kapiler di lapisan superfisial dermis berkonstraksi,
sehingga mengurangi edema. 2
Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis
kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan
kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan
pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison,
misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh
mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak
menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi
1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan.
Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan
kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai
adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang
tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik
penetrasinya).2

79
Indikasi
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan
obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa
kortikosteroid bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan
bukan merupakan pengobatan kausal.1,2
Kortikosteroid topikal direkomendasikan untuk aktivitas anti-
inflamasinya pada penyakit kulit inflamasi, tetapi dapat juga digunakan
untuk efek antimitotik dan kapasitasnya utnuk mengurangi sistesis molekul-
molekul connective tissue. Variebel tertentu harus dipertimbangkan saat
mengobati kelainan kulit dengan kortikosteroid topikal. Contohnya respon
penyakit terhadap kortikosteroid topical yang bervariasi. Dalam hal ini, bisa
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu sangat responsif, responsif sedang, dan
kurang responsif.2

Tabel 1. Responsivitas Penyakit Kulit terhadap Kortikosteroid Topikal2


Highly Responsive Moderately Responsive Least Responsive
• Psoriasis • Psoriasis • Palmo-plantar psoriasis
(intertriginous) • Atopic dermatitis (adult) • Psoriasis of nails
• Atopic dermatitis • Nummular eczema • Dyshidrotic eczema
(children) • Primary irritant • Lupus erythematous
• Seborrheic dermatitis dermatitis • Pemphigus
• Intertrigo • Popular urticaria • Lichen planus
• Parapsoriasis • Granuloma annulare
• Lichen simplex • Necrobiosis lipoidica
chronicus diabeticum
• Sarcoidosis
• Allergic contact
dermatitis, acute phase
• Insect bites

Anak-anak, terutama bayi, memiliki peningkatan risiko dalam


penyerapan kortikosteroid untuk beberapa alasan. Karena anak-anak dan
bayi memiliki rasio lebih tinggi dalam luas permukaan kulit terhadap berat
badan, aplikasi pada daerah yang diberikan mengakibatkan dosis steroid

80
sistemik yang secara potensial lebih besar. Bayi juga kurang mampu
memetabolisme kortikosteroid poten dengan cepat. Bayi premature terutama
memiliki risiko karena kulitnya lebih tipis dan penetrasi obat topical yang
diberikan akan sangat meningkat. Penyerapan kortikosteroid topikal yang
berlebihan bisa menekan produksi kortisol endogen. Akibatnya, penghentian
terapi steroid topikal setelah terapi jangka panjang dapat, walaupun jarang,
menyebabkan addisonian crisis. Supresi produksi kortisol yang kronik juga
dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Bila terdapat supresi kortisol,
maka anak harus secara perlahan dihentikan pemberian steroidnya untuk
mencegah komplikasi ini.4
Pasien usia tua juga memiliki kulit yang tipis, yang memungkinkan
peningkatan penetrasi kortikosteroid topical. Pasien usia tua juga lebih
mungkin memiliki pre-existing atrofi kulit sekunder karena penuaan.2

Dosis
Largo dan Maibach mengobservasi dalam beberapa literature terkini
bahwa untuk kortikosteroid super poten, pemberian satu kali per hari sama
manfaatnya dengan pemberian dua kali per hari. Sama halnya, tidak ada
perbedaan atau hanya sedikit perbedaan dengan pemberian sekali atau dua
kali per hari untuk kortikosteroid poten atau poten sedang. Karena itu,
pemberian kortikosteroid topical satu kali per hari lebih dipilih, dapat
mengurangi risiko efek samping, mengurangi biaya pengobatan, dan
meningkatkan kepatuhan pasien.2
Sebagai aturan kerja, pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya
tidak lebih dari 45 g/minggu untuk kortikosteroid topikal poten atau 100
g/minggu untuk potensi sedang dan lemah jika absorpsi sistemik dihindari.4
Penyakit-penyakit yang sangat responsif biasanya akan memberikan
respon pada preparat steroid lemah, sedangkan penyakit yang kurang
responsif memerlukan steroid topical potensi menengah atau tinggi.
Kortikosteroid topikal potensi lemah digunakan pada daerah wajah dan
intertriginosa. Kortikosteroid sangat poten seringkali diperlukan pada
hiperkeratosis atau dermatosis likenifikasi dan untuk penyakit pada telapak

81
tangan dan kaki. Kortikosteroid topikal harus dihindari pada kulit dengan
ulserasi atau atrofi.1,2
Bentuk potensi tinggi digunakan untuk jangka pendek (2 atau 3
minggu) atau secara intermiten. Saat control terhadap penyakit sudah
dicapai sebagian, penggunaan gabungan potensi lemah harus dimulai.
Pengurangan frekuensi pemakaian (misalnya pemakaian hanya pada pagi
hari, 2 hari sekali, pada akhir pekan) dilakukan ketika control terhadap
penyakit sudah tercapai sebagian. Tetapi penghentian pengobatan tiba-tiba
harus dihindari setelah penggunaan jangka panjang untuk mencegah
rebound phenomena.4

Efek Samping
Efek samping dapat terjadi apabila:1,2
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat
atau penggunaan sangat oklusif.
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk
atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis,
hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.1,2
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid menjadi
beberapa tigkat, yaitu:1,2
• Efek Epidermal
Efek ini antara lain:
1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas
kinetik dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan
keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-epidermal.
Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal
secara konkomitan.
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah
ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid
atau injeksi steroid interakutan.

82
• Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi
dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal
yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau
terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat
untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan
membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.

• Efek Vaskular
Efek ini termasuk:
1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya
menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di
superfisial.
2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan
pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa
mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan kadang-kadang
pustulasi.

83
DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung. Farmakologi Dasar & Klinik. Edisi 12. Jakarta: EGC.


2014.
2. Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, editors. 2016. Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. Ed 7.Jakarta: Badan Penerbit FKUI.

84

Anda mungkin juga menyukai