2
membentuk asil-enzim yang memblokir transfer asil
selanjutnya.
b. Farmakokinetik1
Absorpsi penisilin bervariasi tergantung stabilitas tiap
senyawa asam dan jumlah yang terikat pada makanan.
Kebanyakan penisilin harus di konsumsi minimal 1 jam
sebelum atau 1 jam setelah makan. Absorpsi amoksisilin
tidak dipengaruhi oleh makanan. Obat ini berdifusi dengan
baik di jaringan dan cairan tubuh, tapi penetrasi ke dalam
cairan otak kurang baik kecuali jika selaput otak mengalami
infeksi. Obat ini diekskresi ke urin dalam kadar terapeutik.
c. Indikasi1,2
1) Sifilis.
2) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Streptococcus
sp. (erysipelas, demam scarlet, impetigo, dll).
3) Antraks (bila sensitif).
4) Aktinomikosis.
5) Gigitan serangga yang terinfeksi.
3
12,5-50 mg/kg/hari terbagi 4 dosis
Nafsilin IM, IV Dewasa:
IM: 500 mg tiap 4-6 jam
IV: 0,5-2 gr tiap 4-6 jam
Oksasilin Oral Dewasa:
1-2 gr tiap 4-6 jam
Amoksisilin Oral Dewasa:
500 mg tiap 8 jam
Anak:
20-40 mg/kg/hari terbagi 3 dosis
Amoksisilin/klavulanat Oral Dewasa:
250 mg tiap 12 jam
Anak:
20-40 mg/kg/hari terbagi 2-3 dosis
e. Peringatan
1) Hipersensitivitas terhadap penisilin
2) Peningkatan kadar penisilin dengan probenesid dan
disulfiram
3) Peningkatan efek oleh metotreksat dan warfarin
f. Efek Samping
1) Reaksi hipersensitivitas: sering terjadi eksantem dan
urtikaria. Pada kasus jarang dapat terjadi dermatitis
eksfoliatif, Sindroma Steven Johnson (SSJ),
vaskulitis, angioedema, reaksi anafilaksis, reaksi
anafilaktoid.
2) Diare, pada kasus jarang dapat terjadi kolitis
pseudomembranosa.
3) Hepatitis, nefritis intersisiel, neurotoksisitas (pada
dosis tinggi), infiltrat eosinofil pulmonal, serta
reaksi hematologis dimediasi imun jarang terjadi.
4
2. Sefalosporin1
a. Mekanisme Kerja1
Merupakan golongan β-laktam dengan mekanisme kerja
yang sama dengan penisilin. Baik sefalosporin maupun penislin
memiliki struktur dasar yang unik yang disebut cincin β-laktam,
yang menjadi dasar mekanisme kerja kedua antibiotik. Cincin β-
laktam pada keduanya berikatan pada tiazolidin dan membentuk
asam nukleat 6-amino-penisilanat (rantai samping R1).
Sefalosporin berbeda dari penisilin secara struktur dimana cincin
β-laktam juga terikat pada cincin dihidrotiazin (rantai samping
R2).
5
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Generasi
ketiga termasuk sefdinir, sefditoren, serta agen prenteral
sefotksim, seftriakson, seftazidime, sefoperazon, sangat aktif
melawan bakteri gram negatif dengan spektrum yang luas.
Sefalosporin generasi ketiga sangat efektif untuk infeksi
nosokomial bakteri gram negatif. Satu-satunya generasi keempat
yang tersedia di Amerika adalah sefepim, obat parenteral dengan
aktivitas yang baik terhadap baik gram positif maupun gram
negatif spektrum luas, termasuk P. Aeruginosa.(1)
b. Farmakokinetik
Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2
berdasarkan rute pemberian. Sefaleksin, sefadroksil, sefaklor,
sefprozil, asetil sefuroksim, sefdinir, dan sefditoren dapat
diberikan per oral karena diabsorpsi melalui saluran cerna.
Sefalosporin lainnya diberikan parenteral. Beberapa sefalosporin
generasi ketiga misalnya moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim
dan seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan
serebrospinal. Sefalosporin juga melewati sawar plasenta,
mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin
generasi ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak
mencapai vitreus. Kadar dalam empedu umumnya tinggi,
terutama sefoperazon. Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam
bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang sebagian besar
diekskresi melalui empedu. Sefalosporin generasi pertama,
kedua, dan ketiga dapat diberikan pada ibu menyusui, dan
ekskresi pada ASI berbeda-beda tiap obat.(1)
c. Indikasi (1)
1) Infeksi kulit dan jaringan lunak oleh Staphylococcus aureus
dan Streptococcus pyogenes tanpa komplikasi dapat
6
diberikan sefalosporin generasi pertama dan kedua, juga
sefdinir dan sefditoren.
2) Gonore
3) Penyakit lyme dapat diberikan seftriakson pada tahap lanjut,
dan sefuroksim pada onset awalnya.
e. Peringatan (1)
1) Hipersensitivitas terhadap sefalosporin maupun penisilin.
7
2) Absorpsi sefdinir berkurang dengan antasida dan preparat
besi.
3) Kadar siklosporin meningkat dengan seftriakson dan
seftazidim.
4) Perubahan efek warfarin dengan sefotetan, sefamandole,
sefoperazon, sefiksim, dan sefaklor.
5) Ekskresi renal terganggu oleh hampir semua sefalosporin
bersama probenesid.
3. Tetrasiklin
Antibiotik golongan tetrasiklin yang pertama ditemukan ialah
klortetrasiklin yang dihasilkan oleh Streptomyces aureofacien.
Tetrasiklin sendiri dibuat secara semisintetik dari klortetrasiklin,
tetapi juga dapat diperoleh dari spesies Streptomyces lain.1
8
Gambar 2. Struktur kimia golongan tetrasiklin.
a. Mekanisme Kerja
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri
pada ribosomnya. Paling sedikit terjadi dua proses dalam
masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri Gram-negatif
pertama secara difusi pasif. Tetrasiklin diyakini dapat menjadi
bakteriostatik, tetapi kemudian ditemukan bahwa dapat menjadi
bakteriostatik dan bakterisidal. Antibiotik ini memiliki dua mode
mekanisme antibiotik. Tetrasiklin memperlihatkan spektrum
antibakteri luas yang meliputi kuman Gram-positif dan negatif,
aerobik dan anaerobik, selain itu juga aktif terhadap spiroket,
mikoplasma, riketsia, klamidia, legionela dan protozoa tertentu.
Doxycycline dan minocycline adalah tetrasiklin sistemik
generasi kedua yang paling umum digunakan dalam
dermatologi.(1)
b. Farmakokinetik1
Tetrasiklin diserap tidak sempurna di lambung dan usus
kecil, yang terutama dikonsumsi saat perut kosong. Doxycycline
dan minocycline tidak dipengaruhi oleh ada atau tidaknya
9
makanan dan mempunyai waktu paruh lebih lama dari
tetrasiklin, dan membutuhkan dosis yang sedikit.(1) Tetrasiklin
tidak bisa dikonsumsi bersama dengan makanan, terutama yang
mengandung susu. Besi, kalsium dan magnesium dapat
mengurangi 50% penyerapan.
Tetrasiklin diekskresikan terutama di ginjal, dan pasien
dengan gagal ginjal memerlukan dosis penyesuaian. Doxycycline
diekskresikan dalam tinja dan tidak ada penyesuaian untuk gagal
ginjal atau hati yang diperlukan. Minocycline sebagian besar
dimetabolisme sebelum diekskresi, tapi tidak terakumulasi pada
pasien dengan gagal hati. Tetrasiklin melewati plasenta dan
terdapat dalam konsentrasi tinggi dalam ASI. Antibiotik ini dapat
menumpuk dan mempengaruhi pertumbuhan tulang dan gigi
sehingga penggunaan selama kehamilan dan saat menyusui harus
dihindari.(1)
c. Indikasi (1)
a) Aktinomikosis
b) Gigitan serangga (Pasteurella multocida)
c) Infeksi Anthrax (Bacillus anthracis)
d) Infeksi Chlamydia sp.
e) Ehrlichiosis
f) Penyakit Lyme
g) Infeksi MRSA
h) Penyakit riketsia
i) Sifilis (penisilin-alergi granuloma inguinale pasien)
10
harus dilarutkan lebih dulu (tetrasiklin HCL, tigesiklin,
doksisiklin, minosiklin).(1)
e. Peringatan 1
a) Pasien dengan gagal ginjal (ekskresi terganggu dan anti
anabolik)
b) Fotosensitifitas (doxycycline)
c) Menyusui, kehamilan, dan pada anak (< 9 tahun)
d) Gangguan penyerapan oleh kalsium, magnesium, aluminium
(kation lainnya), besi, natrium bikarbonat, dan simetidin
e) Peningkatan metabolisme doxycycline dengan penggunaan
fenitoin, karbamazepin, barbiturat, dan alkohol
f) Kebutuhan insulin berkurang pada pasien diabetes
g) Peningkatan kadar serum digoxin, lithium, dan warfarin
h) Anestesi metoksifluran (gagal ginjal)
11
f. Efek Samping
Reaksi kulit yang mungkin timbul akibat pemberian
golongan tetrasiklin ialah erupsi mobiliformis, urtikaria, dan
dermatitis eksfoliatif. Reaksi yang lebih hebat ialah edema
angioneutrotik dan reaksi anafilaksis. Pada pemberian minosiklin
dapat terjadi hiperpigmentasi dari kulit dan kuku, iritasi pada
lambung serta pada anak- anak dapat terjadi hiperpigmentasi dari
gigi.(1) Terapi dalam waktu lama dapat menimbulkan kelainan
darah tepi seperti leukositosis, limfosit atipi, granulasi toksik
pada granulosit dan trombositopenia.
4. Florokuinolon
a. Mekanisme kerja
Florokuinolon adalah derivat kuinolon generasi pertama
(nalidixic acid).(1) Golongan kuinolon menghambat enzim DNA
girase pada mikroba yang fungsinya menata kromosom yang
sangat panjang menjadi bentuk spiral hingga bisa muat dalam sel
mikroba yang kecil. Antibiotik ini menghambat kerja enzim
topoimerase II (DNA girase) dan IV dimana enzim ini berfungsi
pada replikasi DNA, transkripsi, dan perbaikan DNA.(1)
Kuinolon aktif pada bakteri yang dihambat adalah bakteri aerob
gram-negatif, staphylococci, dan streptococci tetapi tidak cukup
aktif pada bakteri anaerob.
12
Gambar 3. Struktur kimia antibiotik florokuinolon.
b. Farmakokinetik
Florokuinolon diabsorpsi dengan cepat setelah ingesti oral
dengan distribusi volume yang besar.(1) Kuinolon terdistribusi
dengan luas di seluruh tubuh. Penetrasi ke jaringan lebih besar
13
dari konsentrasi yang dicapai di plasma, feses, cairan empedu,
jaringan prostat, dan jaringan paru-paru.
Makanan tidak menghambat absorpsinya dan dapat diberikan
dua kali sehari. Florokuinolon diekskresi oleh ginjal.
Mofifloksasin dieliminasi di hati dengan cara dikonjugasikan
dengan glukoronid dan sulfat. Florokuinolon tidak dapat
dihilangkan dengan dialisis. Kebanyakan diekskresi bersama ASI
tetapi jarang menimbulkan efek samping pada bayi.
Ciprofloksasin bisa menimbulkan fototoksik, kolitis
psudomembran, dan erupsi gigi.(1) Ketika digunakan dalam
kombinasi dengan agen dari kelas antibiotik lain, seperti beta-
laktam dan aminoglikosida, kuinolon diduga tidak sinergis.
Ciprofloxacin dan rifampisin bersifat antagonis terhadap
Staphylococcus aureus. Waktu paruh kuinolon bervariasi mulai
dari 1,5 jam sampai 16 jam, kebanyakan diberikan setiap 12 jam
sampai 24 jam.
c. Indikasi(1)
1) Terapi lini pertama
Antrhax, Skin and sof-tissue infection (SSTIs) akibat
mikroorganisme patogen gram-negatif, infeksi Pseudomonas
aeroginosa (otitis eksterna, ektima gangrenosum, SSTI).(1)
2) Terapi lini kedua
Infeksi Bartonella sp, canchroid, chlamydia, , gonorrhea,
granuloma inguinale, infeksi Rickettsia sp.(1)
14
PO, Tanpa komplikasi: 500 mg tiap 24 jam
Levofloksasin
IV Dengan komplikasi: 750 mg tiap 24 jam
e. Peringatan
Florokuinolon dapat menurunkan bioavaibilitas dengan
antasid (aluminium, magnesium, alum), besi, zinc, dan sucralfat.
Siprofloksasin dapat menghambat metabolisme
theophylline/aminophylline. Secara umum kuinolon bisa
menyebabkan arthropati pada studi hewan imatur. Ruptur tendon
dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit ginjal,
hemodialisis, atau penggunaan steroid. Florokuinolon bisa
menurunkan ambang kejang dan menurunkan metabolisme
silosporin dan warfarin.(1)
f. Efek Samping
Efek samping yang biasa didapatkan pada pasien adalah
adanya mual, muntah, sakit kepala, dan menggigil. Sedangkan
efek samping yang jarang didapatkan adalah exanthem,
fotosensitivitas delirium, kejang, rupture pada tendon, artropati,
pemanjangan interval QT, dan hepatitis.(1) Komplikasi yang
bermanifestasi pada kulit seperti rash, pruritus, dan reaksi
fotosensitivitas.
5. Trimetoprim/Sulfametoksazol
a. Mekanisme Kerja
Trimetoprim/sulfametoksazol (kotrimoksazol) adalah
kombinasi dari trimetoprim (TMP) dan sulfametoksazol (SMX)
dengan perbandingan 1:5. Kedua senyawa ini menghambat
sintesis asam nukleat dengan menghambat dua enzim dalam jalur
sintesis asam tetrahydrofolic bakteri. Bersama-sama, senyawa ini
bersifat sinergis yang relatif spesifik untuk sel-sel bakteri.1
15
Gambar 5. Struktur kimia antibiotik trimetoprim dan
sulfametoksazol.
16
Gambar 6. Mekanisme kerja trimetoprim dan
sulfametoksazol.
b. Farmakokinetik1
Trimetoprim dan sulfametoksazol baik diabsorpsi secara oral
dengan distribusi ke seluruh jaringan pada tubuh.(5) Distribusinya
juga melalui cairan serebrospinal dan sputum.(1) Absorpsi
melalui saluran cerna terjadi dengan mudah dan cepat. Sekitar
70-100% dosis oral diabsorpsi melalui saluran cerna dan dapat
ditemukan dalam urin 30 menit setelah pemberian. Absorpsi
melalui vagina, saluran napas, kulit yang terluka pada umumnya
kurang baik, tetapi cukup menyebabkan reaksi toksik atau
hipersensitivitas. Semua terikat pada protein plasma terutama
albumin. Dalam cairan tubuh kadar obat bentuk bebas mencapai
50-80% kadar dalam darah. Dalam tubuh, terjadi proses asetilasi
dan oksidasi. Hasil oksidasi ini yang akan menyebabkan reaksi
toksik sistemik berupa lesi pada kulit dan hipersensitivitas,
sedangkan hasil asetilasi menyebabkan hilangnya aktivitas obat.
17
Hampir semua diekskresi melaui ginjal dan sebagian kecil
diekskresi melalui feses, empedu dan ASI.
Farmakokinetik TMP-SMX tidak berubah secara signifikan
dan waktu paruhnya tidak memanjang jika terjadi gangguan hati.
Saat ini belum ada studi yang melaporkan dosis maksimum
TMP-SMX untuk gangguan ginjal.
c. Indikasi
Trimetoprim dan sulfametoksazol digunakan untuk
community acquired MRSA, infeksi Nocardia asteroids, Skin
and Soft Tissue Infections (SSTIs) yang tidak berkomplikasi, dan
pada chancroid.(1)
e. Peringatan
Penggunaan TMP-SMX pada pasien dengan HIV/AIDS
dapat terjadi reaksi berat, pasien dengan terapi warfarin akan
terjadi pemanjangan protrombin, dan dikontraindikasikan
terhadap pasien yang mendapat metroteksat.(1)
f. Efek Samping
Efek samping yang biasa didapatkan pada penggunaan
antibiotik TMP-SMX adalah adanya eksantem, fotosensitivitas,
mual, muntah, anoreksia, glossitis, stomatitis (sering pada pasien
HIV/AIDS). Sedangkan efek samping yang jarang didapatkan
18
adalah delirium, sindroma steven johnson, nekrolisis epidermal
toksik, vaskulitis, urtikaria, erupsi pustular, Sweet Syndrome,
hepatitis kolestatik, nekrosis hepatik, reaksi hipersensitivitas
berat, sefalgia, halusinasi, tremor, nefrolitiasis, dan nefritis
intertisiel.(1) Sekitar 8% antibiotik ini juga dapat menyebabkan
reaksi kulit tipikal pada pasien.
6. Klindamisin
Klindamisin adalah antibiotik linkosamid yang diperoleh melalui
modifikasi kimia dari linkomisin. Yang dimana penyerapan dan
aktifitas spektrumnya yang lebih baik dari pendahulunya, yang
sekarang sudah ditinggalkan.(1)
a. Mekanisme Kerja
Klindamisin berikatan dengan bakteri subunit ribosom 50s
dan menghambat sintesis protein melalui blokade inisiasi rantai
peptida. Klindamisin memudahkan opsonisasi serta fagositosis
dan mengurangi adhesi bakteri (sel inang) dan produksi
eksotoksin stafilokokus. Klindamisin efektif terhadap sebagian
besar kokus Gram-positif, anaerob, dan beberapa protozoa.
Dalam bidang dermatologi, klindamisin efektif terhadap
sebagian besar jenis streptococcus (termasuk S. viridans),
methicillin-sensitif S. aureus, serta S.epidermidis. Aktifitas
spektrum anaerob termasuk Peptococci, Peptostreptococci,
Propionibacteria, Clostridium perfringens, serta fusobacteria.
Toxoplasma gondii seringkali efektif diobati dengan kombinasi
termasuk klindamisin.(1)
b. Farmakokinetik
Klindamisin diserap hampir sempurna pada pemberian oral.
Adanya makanan dalam lambung tidak banyak mempengaruhi
absorpsi obat ini.(4) Klindamisin merupakan obat pilihan dalam
kelompok ini karena penetrasi jaringan yang baik kecuali pada
19
SSP. Klindamisin memiliki daya serap peroral yang baik dan
tidak ada persyaratan dosis yang diperlukan jika terdapat
penyakit ginjal, klindamisin juga merupakan alternatif pada
pasien yang alergi pada penisilin. Klindamisin terutama
dimetabolisme oleh hati serta diekskresikan di empedu,
meskipun 10% diekskresikan di urin. Dosis harus disesuaikan
untuk pasien dengan gagal hati atau kombinasi gagal hati dengan
gagal ginjal.(1)
c. Indikasi
a) Infeksi dalam jaringan: necrotizing fasciitis
b) Profilaksis bedah pada pasien alergi penisilin
c) Profilaksis untuk infeksi stafilokokus berulang
d) Ulkus kaki diabetik (kombinasi dengan infeksi Gram-negatif)
e) Bakterial vaginosis
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 8. Sediaan dan dosis antibiotik klindamisin
pada orang dewasa.(1)
Rute pemberian Dosis
Klindamisin
Oral 150-450 mg per 6 jam
Intravena 600-800 mg per 8 jam
e. Peringatan
Penggunaan antibiotik klindamisin harus mendapat perhatian
jika pasien dengan gagal hati, terdapat peningkatan blokade
neuromuskular dengan tubocurare dan pancuronium. Antibiotik
ini bersifat antagonis terhadap eritromisin.(1)
20
f. Efek Samping
Diare dilaporkan terjadi pada 2-20% pasien yang mendapat
klindamisin. Diperkirakan sekitar 0,01-10% pasien dilaporkan
menderita kolitis pseudomembranosa yang ditandai oleh demam,
nyeri abdomen, diare dengan darah dan lendir pada tinja. 1 Bila
selama terapi timbul diare atau kolitis, maka pengobatan harus
dihentikan. Obat terpilih untuk keadaan ini adalah vankomisin
yang diberikan 4 kali 125 mg sehari peroral atau IV selama 7-10
hari atau metronidazole oral 3 x 500 mg/hari. 1
7. Makrolid
Eritromisin adalah antibiotik prototip makrolid; derivatif
termasuk dirithromycin, klaritromisin, dan azitromisin. Makrolid
bervariasi dalam aktivitasnya terhadap patogen Gram-positif:
klaritromisin>eritromisin> azitromisin.(1) Makrolid secara luas
digunakan untuk mengobati infeksi ringan pada jaringan saluran
pernapasan. Antibiotik ini aktif terhadap bakteri Gram-negatif dan
Gram-positif, termasuk kuman intraseluler seperti Chlamydia dan
Legionella.
a. Mekanisme Kerja
Golongan makrolid menghambat sintesis protein kuman
dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit
50S dan umumnya bersifat bakteriostatik, walaupun terkadang
dapat bersifat bakterisidal untuk kuman yang sangat peka.1
b. Farmakokinetik
Makrolid terakumulasi secara intraseluler pada leukosit
polimorfonuklear dan makrofag, antara lain beraktivitas untuk
melawan bakteri patogen pada intraseluler.(1) Eritromisin diserap
baik oleh usus kecil bagian proksimal, aktivitasnya menurun
karena dirusak oleh asam lambung, eritromisin diberi selaput
yang tahan asam atau digunakan dalam bentuk ester stearat atau
etilsuksinat, adanya makanan juga menghambat penyerapan
21
eritromisin.1 Dibandingkan dengan eritromisin, klaritromisin dan
azitromisin lebih asam stabil dan memiliki bioavailabilitas oral
yang lebih besar.
Konsentrasi makrolid umumnya melewati kadar plasma.
Konsentrasi eritromisin dalam ASI sekitar 50% dari kadar serum.
Eritromisin dapat melewati plasenta, kecuali klaritromisin
(kategori kehamilan C), secara umum makrolid adalah Kategori
B.(1)
Klaritromisin dimetabolisme di hati oleh sitokrom P450 3A4
(CYP3A4) menjadi bentuk enzim 14-hidroksi aktif dan enam
produk tambahan. Sekitar 30-40% dari dosis oral klaritromisin
diekskresikan dalam urin sebagai 14-hidroksi metabolit yang
aktif atau tidak berubah. Eliminasi Azitromisin terjadi terutama
dalam feses sebagai obat yang tidak mengalami perubahan, dan
ekskresi urin minimal. Tidak seperti klaritromisin, azitromisin
tidak berinteraksi dengan sistem sitokrom P450.
c. Indikasi (1)
a) SSTIs tanpa komplikasi (folikulitis, erysipelas, selulitis)
b) Lyme disease
c) Chlamydia
d. Sediaan dan Dosis
Tabel 9. Sediaan dan dosis antibiotik makrolid. (1)
Oral 500mg per 6 jam atau 12 jam
Eritromisin
IV 1gr per 6jam
Klaritromisin Oral 250-500 mg per 12 jam
Makrolid 500 mg hari pertama, lalu 250 mg setiap
Oral hari 2-5 kali untuk klamidian, 1gr dosis
Azitromisin
tunggal
IV 500 mg per 24jam
22
e. Peringatan (1)
1) CYP 3A4 inhibition
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi
serum): warfarin, karbamazepin, buspiron, benzodiazepin,
kortikosteroid (methylprednisolon), HMG CoA reductase
inhibitor, kontrasepsi oral, cyclosporine, tacrolimus,
disopyramide, felodipin, ergot alkaloid.
2) CYP 1A2 inhibition
Meningkatkan toksisitas obat (meningkatkan konsentrasi
serum): theophylline, omeprazol.
3) Lainnya
Digoxin (konsentrasinya meningkat akibat perubahan
metabolisme obat oleh gut flora), Fluconazol (meningkatkan
konsentrasi klaritromisin)
f. Efek samping
Pada eritromisin efek samping berat jarang terjadi, reaksi
alergi mungkin timbul dalam bentuk demam, eosinofilia dan
eksantem yang cepat hilang bila terapi dihentikan. Efek samping
klaritromosin adalah iritasi saluran cerna dan peningkatan
sementara enzim hati.1
23
1) Amoksisilin dan asam klavulanat: Dewasa 3 x 250 - 500
mg per hari. Anak: 25 mg/kgBB per ,hari terbagi dalam 3
dosis selama 5 - 7 hari.
2) Sefaleksin 40- 50 mg/kgBB per hari terbagi dalam 4
dosis selama 5-7 hari.
3) Sefaklor: 20 mg/kgBB per hari terbagi dalam 3 dosis.
B. Antraks 2
Terapi pilihan untuk antraks adalah kristalin penisilin G
parenteral 2 juta unit setiap 6 jam, yang diberikan selama 7-14 hari
(sampai edema lokal menghilang atau lesi kulit mengering).
Antibiotik yang direkomendasikan saat ini adalah terapi
siprofloksasin dengan dosis 20-30mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis
(dosis maksimum untuk dewasa 500mg 2 kali sehari) atau
doksisiklin 100mg 2 kali sehari peroral selama 60 hari.
Untuk anak dan wanita menyusui diberikan amoksisilin dengan
dosis 40mg/kgBB (BB kurang dari 20kg) dibagi dalam 3 dosis atau
500mg 3x/hari untuk anak BB lebih dari 20kg/dewasa.
C. Acne Vulgaris2
Antibiotik oral diberikan pada acne vulgaris derajat sedang
sampai berat, diberikan selama minimal 6–8 minggu, maksimal 12–
18 minggu. Antibiotik oral pilihan:
24
1. Tetrasiklin 500 mg 2x/hari (saat ini penggunaannya jarang
digunakan karena terdapat resistensi terhadap tetrasiklin) (1)
2. Doksisiklin 50-100 mg 2x/hari
3. Minosiklin 50-100 mg 2x/hari
4. Klindamisin 150-300 mg 2-3x/hari
D. Eritrasma 2
Antibiotik oral diberikan pada eritrasma dengan lesi yang luas,
dimana eritromisin terbukti efektif diberikan 1 gram sehari (4 x
250mg) selama 2-3 minggu dan antibiotik klaritomisisn 1 gram dosis
tunggal.
E. Aktinomikosis (1)
Terapi pilihan untuk aktinomikosis adalah penisilin G, 18-24 juta
unit secara intravena selama 2-6 minggu, kemudian diteruskan
dengan penisilin atauamoksisilin oral selama 6-12 bulan.
25
F. Infeksi Methicillin Resistance Staphylococcus aureus (MRSA)
Tabel 10. Dosis Antibiotik pada Penyakit MRSA
Antibiotik Dosis dewasa Dosis anak
30 mg/kg/hari dalam 2 40 mg/kg/hari dalam 4
Vankomisin
dosis terbagi/ IV dosis terbagi/ IV
25-40 mg/kg/hari dalam 3
Klindamisin 600 mg/8 jam/IV
dosis terbagi
Daptomisin 4 mg/kg/hari/IV Tidak digunakan
Seftarolin 600 mg/12 jam/IV Tidak digunakan
Tidak direkomendasikan
Doksisiklin 100 mg 2x1 PO
dibawah 8 tahun
8-12 mg/kg/hari
Trimetroprim- (berdasarkan trimetoprim)
1-2 tablet 2x1 PO
sulfametoksasol dalam 4 dosis terbagi IV
atau 2 dosis terbagi PO
26
H. Sifilis2
1. Terapi pilihan
a. Stadium dini (stadium I, II, dan laten < 2 tahun):
Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit.
b. Stadium lanjut (stadium laten > 2 tahun dan III):
Benzatinpenisilin G 7,2 juta unit (injeksi intramuskular
Benzatinpenisilin G 2,4 juta unit/kali dengan interval 1
minggu).
2. Terapi alternatif
a. Tetrasiklin 4x500mg/hari
b. Eritromisin 4x500mg/hari
c. Doksisiklin 2x100mg/hari
Lama pengobatan 30 hari (stadium dini) atau lebih 30 hari
(stadium lanjut).
I. Gonore2
1. Terapi pilihan: Sefiksim 400mg per oral.
2. Terapi alternatif
a. Levofloksasin 500mg per oral dosis tunggal
b. Tiamfenikol 3,5gram per oral dosis tunggal
c. Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal
d. Seftriakson 250mg injeksi intamuskular dosis tunggal (tidak
boleh diberikan pada ibu hamil, menyusui, atau anak di
bawah 12 tahun)
J. Infeksi Chlamydia sp
1. Limfogranuloma venereum2
a. Doksisiklin dosis 2x 100mg/hari selama 14-21 hari atau
tetrasiklin 2 gr/hari atau tetrasiklin 2gr/hari atau minosiklin
300mg diikuti 200mg 2x/hari.
b. Sulfonamid: dosis 3-5 gr/hari selama 7 hari.
27
c. Eritromisin: (pilihan kedua) dosis 4x500mg/ hari selama 21
hari terutama pada kasus-kasus alergi obat golongan cycline,
pada wanita hamil dan menyusui.
d. Kotrimoksasol: 480mg 3x 2 tablet/ hari selama 7 hari.
2. Uretritis Non Gonore2
a. Golongan tetrasiklin
1) Tetrasiklin 250-500mg, 4x sehari selama 7-21 hari
2) Doksisiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
3) Minosiklin 100mg, 2x sehari selama 7-21 hari
b. Golongan makrolid
1) Eritromisin 250-500 mg selama 7-21 hari terutama untuk
resistensi tetrasiklin dan untuk wanita hamil
2) Azitromisin 1 gram dosis tunggal
c. Golongan kuinolon
Ofloksasin 200mg 2x sehari selama 7-14 hari
28
Tabel 11. Dosis antibiotik vankomisin
Nama Generik Rute Dosis
Vankomisin IV Dewasa: 30mg/kgBB dibagi dalam 2-3 dosis per
hari
Neonatus (<7 hari): diberikan dosis dimulai
dari15mg/kg kemudian diteruskan 10mg/kg
setiap 12 jam
Bayi (8 hari-30 hari): diberikan dosis dimulai
dari15mg/kg kemudian diteruskan 10mg/kg
setiap 8 jam
Anak: diberikan dosis dimulai dari15mg/kg
kemudian diteruskan 10mg/kg setiap 6 jam
29
ANTIBIOTIK TOPIKAL
ANTIBIOTIK TOPIKAL
Nama Obat Sediaan Mekanisme Kerja Pengaruh
Terhadap Jenis
Bakteri
Bacitracin Ointment Inhibisi dinding sel Gram Positif
Polymyxin B Ointment Detergent Gram Negatif
Gramicidin Ointment Ion Channel Grm Positif
Nama Obat Sediaan Mekanisme Kerja Pengaruh
30
Terhadap Jenis
Bakteri
Muporicin Ointment, Krim Inhibisi Transfer Gram Positif
RNA
Neomycin Ointment Inhibisi ribosom 30S Gram Negatif
Erythromycin Solusio, Gel, Inhibisi ribosom 50S Gram positif dan
Pladget, Ointment Gram negative
Clindamycin Solusio, Gel, Inhibisi ribosom 50S
Lotion
Fusidic acid Tidak tersedia di Interferes with EF-G
Amerika Serikat
Silver sulfadiazine Krim
Mafenide Acetate Ointment Inhibisi Enzim Gram positif dan
Gram negative
Nitrofurazone Krim, Solusio Inhibisi Enzim Gram positif dan
Gram negative
Metronidazole Gel, Krim, Lotion Elektrokimia Anaerob
Clioquinol Krim, Ointment Tidak diketahui Spektrum luas
Azelaic acid Krim, Gel Inhibisi sintesis Gram Positif
protein
ERITROMISIN1
Eritromisin merupakan kelompok antibiotik macrolide dan aktif
melawan bakteri kokus Gram-positif dan bateri basil Gram-negatif. Hal ini
digunakan terutama sebagai agen topikal dalam pengobatan jerawat.
Mekanisme eritromisin ialah mengikat ribosom 50S dari bakteri dan
memblok translokasi molekul peptidil-RNA transfer (tRNA) molekul,
mengganggu pembentukan rantai polipeptida dan menghambat sintesis
protein. Selain sifat antibakteri, eritromisin memiliki aktivitas antiinflamasi.
Sediaan eritromisin, 1,5% - 2,0% dalam solusio, gel, pledgets, dan salep
sebagai bahan/obat tunggal. Eritromisin juga tersedia dalam kombinasi
dengan benzoil peroksida.
31
KLINDAMISIN1
Klindamisin adalah antibiotic semisintetik semisintetis lincosamide
yang berasal dari linkomisin. Mekanisme kerja sangat mirip dengan
eritromisin, dengan mengikat 50S ribosom dan menekan sintesis protein
bakteri. Klindamisin digunakan secara topikal dengan kadar 1% sebagai gel,
solusio, suspensi (lotion), dan foam terutama untuk pengobatan jerawat. Hal
ini juga tersedia sebagai kombinasi dengan benzoil peroksida, yang dapat
memperlambat perkembangan resistensi antibiotik untuk klindamisin. Hal
ini juga tersedia dengan kombinasi benzoil peroksida, yang dapat
memperlambat perkembangan resistensi antibiotik untuk klindamisin.
Kolitis pseudomembran jarang dilaporkan terjadi dengan penggunaan
topikalklindamisin.
METRONIDAZOL1
Metronidazol atau nitroimidazole topikal, saat ini tersedia sebagai
0,75% dalam bentuk gel, krim, atau lotion dan 1% sebagai krim atau gel
untuk pengobatan topikal dari rosasea. Dalam efek yang lebih rendah, itu
digunakan dua kali sehari, dan dalam efek yang lebih tinggi, digunakan
sekali sehari. Secara oral, metronidazol memiliki aktivitas spektrum luas
terhadap banyak organisme protozoa dan anaerob.
ASAM AZELAIC1
Asam azelaic adalah asam dikarboksilat ditemukan dalam makanan
(sereal gandum dan produk hewani). Mekanisme kerja dianggap
berpengaruh padaproses keratinisasi (penurunan ketebalan stratum korneum,
penurunan jumlah dan ukuran granul keratohyaline, dan penurunan jumlah
filaggrin). Secara uji invitro asam azelaic dapat melawan Propionibacterium
acnes dan Staphylococcus epidermidis dengan kemungkinan mekanisme
dapat menghambat sintesis protein. Pada mikroorganisme aerobik, terdapat
mekanisme inhibisi oleh enzim oxidoreductive. Pada bakteri anaerob,
terdapat gangguan dari glikolisis. Asam azelaic digunakan terutama dalam
pengobatan akne vulgaris dan rosacea, meskipun ada beberapa bukti
32
pendukung penggunaannya dalam pengobatan hiperpigmentasi (seperti
melasma). Namun, US Food and Drug Administration belum menyetujui
obat untuk indikasi ini. Asam azelaic tersedia sebagai gel 15% atau 20%
krim.
SULFONAMID (SULFACETAMID) 1
Sulfacetamid adalah sulfonamid topikal yang digunakan dalam
pengobatan rosasea dan jerawat. Mekanisme antibakteri pada sebagian
besar sulfonamid adalah kompetitif dengan para-aminobenzoic acid
(PABA) selama sintesis asam folat. Mekanisme kerja untuk pengobatan
topikal dari rosasea tidak dipahami. Sulfacetamid tersedia sebagai 10%
lotion dan dalam kombinasi dengan 5% sulfur dalam gel, krim, suspensi,
cleanser, cloths, dan mask.
DAPSON1
Sediaan obat dapson topikal gel 5% disetujui oleh FDA untuk
pengobatan topikal jerawat. Mekanisme kerja obat dapson pada acne
vulgaris tidak diketahui pada saat ini; Namun, ada kemungkinan keterkaitan
dengan aktivitas neutrofil. Jika benzoil peroksida diberikan setelah
pemberian dapson topikal, maka dapat terjadi perubahan warna
oranye/kuning yang bersifat sementara pada kulit dan rambut wajah.
33
bacitracin dan petrolatum di lebih dari 1.200 prosedur bedah minor
menunjukkan bahwa bacitracin secara statistik tidak menurunkan tingkat
infeksi. Beberapa pasien, bagaimanapun, terbukti alergi terhadap
bacitracin.Petrolatum terbukti lebih murah, kemanjuran yang sama dan
memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan bacitracin.Ketika
luka bersih yang diakibatkan selama operasi kecil, tidak perlu menggunakan
salep antibakteri untuk membantu penyembuhan atau mencegah infeksi.
Selain itu luka bakar (burns) menghasilkan lahan subur untuk infeksi
sekunder untuk berkembang, sehingga terapi topikal sering digunakan untuk
profilaksis.
MUPIROCIN1
Mupirocin, yang sebelumnya dikenal sebagai pseudomonic acid A,
adalah agen antibiotik topikal berasal dari Pseudomonas fluorescens. Obat
ini mengikat isoleucyl-tRNA sintetase dan menghambat sintesis protein
bakteri. Efek mupirocin terbatas pada bakteri Gram-positif, terutama
staphylococci dan paling banyak pada streptokokus. Aktivitas obat ini
meningkat di lingkungan pH asam (5,5), yang merupakan pH normal kulit.
Mupirocin agak sensitive dengan suhu tinggi, oleh karena itu muporicin
akan kehilangan efikasi jika terkena suhu tinggi. Mupirocin salep 2%
diberikan tiga kali sehari dan terutama diindikasikan untuk pengobatan
impetigo lokal yang disebabkan oleh S. aureus dan Streptococcus pyogenes.
Satu studi di Tennessee Veterans’ Affairs Hospital menunjukkan bahwa
penggunaan jangka panjang salep mupirocin untuk mengontrol methicillin-
resistant S. aureus (MRSA) , terutama pada pasien terbaring di tempat tidur
dengan ulkus dekubitus, menyebabkan resistensi yang signifikan. Formulasi
baru yang melibatkan penggunaan garam kalsium dari mupirocin yang
tersedia untuk intranasal digunakan sebagai salep 2% dan krim topikal 2%
RETAPAMULIN1
Retapamulin disetujui untuk pengobatan topikal pada impetigo
dengan usia lebih dari usia 9 bulan. Ini adalah pleuromotilin antibiotik
34
semisintetik yang berasal dari fermentasi Clitopilus paseckerianus yang
memiliki aktivitas melawan terhadap staphylococcus.
Mekanisme antibakterinya adalah menghambat sintesis protein melalui
ribosom 50S bakteri di protein L3, dekat pusat peptidil tranferase.
Retapamulin menghambat peptidyltranferase dan inhibisi parsial pengikatan
initiator tRNA pada P-site ribosom. Dermatitis kontak alergi terhadap bahan
aktif telah dilaporkan.
BACITRACIN1
Bacitracin adalah antibiotik polipeptida topikal yang diisolasi dari
Tracy-I strain Bacillus subtilis. Bacitracin adalah polipeptida siklik dengan
beberapa komponen (A, B, dan C). Bacitracin A adalah komponen utama
dari produk komersial dan sering digunakan sebagai garam seng. Bacitracin
mengganggu sintesis dinding sel bakteri dengan mengikat dan menghambat
defosforilasi dari membran-terikat lipid pirofosfat. Bacitracin aktif terhadap
kokus Gram-positif seperti stafilokokus dan streptokokus. Kebanyakan
organisme Gram-negatif dan ragi resisten terhadap obat. Sediaan dalam
bacitracin salep dan seng bacitracin, dengan 400 sampai 500 unit per gram.
Bacitracin topikal efektif untuk pengobatan infeksi bakteri superfisial kulit
seperti impetigo, furunkulosis, dan pyodermas. Hal ini sering
dikombinasikan dengan polimiksin B dan neomycin sebagai salep tripel
antibiotik diaplikasikan beberapa kali sehari untuk pengobatan infeksi
sekunder dermatitis eczematous seperti dermatitis atopik, dermatitis
nummular, atau dermatitis stasis. Tetapi, aplikasi topikal dari bacitracin
disertai dengan risiko sensitisasi kontak alergi dan, kadang syok anafilaksis.
POLIMIKSIN B1
Polimiksin B adalah derivat antibiotik topikal dari spora B. polymyxa
aerob. Polimiksin B adalah campuran dari polimiksin B1 dan B2, yang
keduanya merupakan polipeptida siklik. Mereka berfungsi sebagai kationik
yang berinteraksi kuat dengan fosfolipid membran dinding sel bakteri,
sehingga mengganggu integritas membran sel.
35
Polimiksin B aktif terhadap berbagai organisme Gram negative, termasuk P.
aeruginosa, Enterobacter, dan Escherichia coli. Polimiksin B tersedia
dalam bentuk salep (5.000 hingga 10.000 unit per gram) dalam kombinasi
dengan bacitracin atau sebagai salep tripel antibiotik dengan bacitracin dan
neomycin. Harus diaplikasikan 1-3 kali sehari.
36
telinga, terutama pada pasien diabetes atau pasien immunocompromised
lainnya, untuk memberikan profilaksis terhadap malignan otitis externa
karena P. aeruginosa. Selain itu juga berguna dalam perawatan luka operasi
di daerah periorbital.
NITROFURAZONE1
Nitrofurazone (Furacin) merupakan turunan nitrofuran digunakan
untuk pengobatan pasien luka bakar. Mekanisme kerja melibatkan
penghambatan enzim bakteri yang terlibat dalam degradasi aerobik dan
anaerobik glukosa dan piruvat. Nitrofurazone tersedia dalam krim 0,2%,
solusio, atau larutan, dan spektrum aktivitasnya termasuk staphylococci,
streptokokus, E. coli, Clostridium perfringens, dan Proteus sp.
AGEN-AGEN LAIN1
GRAMICIDIN1
Gramicidin adalah antibiotik topikal yang berasal dari B. brevis.
gramicidins merupakan peptida linier yang membentuk saluran ion stasioner
pada bakteri yang rentan. Aktivitas antibiotik gramicidin terbatas untuk
bakteri Gram-positif.
37
CLIOQUINOL1
Clioquinol (juga dikenal sebagai iodochlorhydroxyquin) adalah
antibakteri spektrum luas /antijamur topikal yang saat ini diindikasikan
untuk pengobatan inflamasi kulit dan tinea pedis dan telah digunakan untuk
infeksi bakteri minor. Clioquinol ini merupakan sintetis hydroxyquinoline
yang mekanismenya tindakan tidak diketahui. Kerugian dari clioquinol yaitu
perubahan warna pakaian, kulit, rambut, dan kuku dan berpotensi
menyebabkan iritasi. Clioquinol dapat mengganggu fungsi tiroid bila
digunakan secara oral dan mungkin topikal jika digunakan secara ekstensif.
Gugus yodium mengganggu tes yang menggunakan penyerapan yodium
(efek ini dapat bertahan hingga 3 bulan setelah aplikasi). Namun, clioquinol
tidak mengganggu tes untuk T3 atau T4.
38
PENGOBATAN ORAL ANTIJAMUR
Itrakonazol
39
Itrakonazol bersifat fungistatik dan efektif sebagai antijamur spektrum
luas, termasuk dermatofit, yeast, dan infeksi jamur sistemik.1
Farmakologi
Indikasi
Efek Samping
Efek samping yang paling sering terjadi yaitu sakit kepala, gangguan
gastrointestinal, dan kelainan kulit. Efek samping lain seperti
hipertrigliserida, edema, urtikaria, anafilaktik, eritema multiforme,
neuropati, impotensi, hipertensi, leukopeni, sindroma nefrotik, dan
peningkatan moderat dari enzim hepar.1
Flukonazol
Farmakologi
Indikasi
43
Suatu studi menunjukkan efektivitas penggunaan flukonazol dalam
mencegah terjadinya infeksi jamur invasif pada preterm infant dengan berat
badan yang sangat rendah.1
Efek Samping
Efek samping yang paling sering dilaporkan antara lain sakit kepala,
sakit perut, gangguan pernafasan, diare, dan nausea. Efek samping yang
lain, seperti drug eruptions, trombositopenia, transient amenorrhea,
peningkatan tes fungsi hati, sedikit peningkatan kadar serum kreatinin
fosfokinase, dizziness, anoreksia, dan alopesia juga dapat terjadi walaupun
pada umumnya dapat teratasi dengan berlanjutnya terapi flukonazol. 1
Flukonazol tersedia dalam sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan
200 mg. Sangat penting untuk memperhatikan dosis pemberian mengingat
flukonazol diekskresi terutama melalui ginjal.1
44
Ketokonazol
Farmakologi
Setelah pemberian per oral, obat ini ditemukan dalam urin, kelenjar
lemak, air ludah, juga pada kulit yang mengalami infeksi, tendon dan cairan
sinovial. Kadar ketokonazol dalam cairan otak sangat kecil dan hanya
ditemukan pada infeksi selaput otak. Dalam plasma, 84% ketokonazol
berikatan dengan protein plasma terutama albumin. Lima belas persen
berikatan dengan sel darah dan 1% dalam bentuk bebas. Sebagian besar dari
obat ini mengalami metabolisme lintas pertama. Diduga ketokonazol
diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus dan hanya sebagian
kecil saja yang dikeluarkan bersama urine, semuanya dalam bentuk
45
metabolit yang tidak aktif. Gangguan ginjal dan faal hati yang ringan tidak
mempengaruhi kadarnya dalam plasma.1
Indikasi
Efek Samping
Obat ini sebaiknya dihindarkan pada wanita hamil, karena pada tikus,
dosis 80 mg/kgBB/hari menimbulkan cacat pada jari fetus hewan coba
tersebut. 1
Ketokonazol tersedia dalam sediaan 200 mg. Dosis pada orang dewasa
biasanya 400 mg sekali sehari dan pada anak 3,3-6,6 mg/kgBB/hari. Dosis
yang biasa digunakan, antara lain 200-400 mg per hari selama 5 hari untuk
tinea versikolor, tinea pedis dan tinea kapitis; 200 mg per hari selama 28
hari pada pityrosporum folikulitis dan dermatitis seboroik.1
Vorikonazol
47
Farmakologi
Indikasi
Efek Samping
48
Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet 50 mg dan 200 mg. Dosis
dewasa yang dianjurkan yaitu : (1) bila berat badan > 40 kg, dosis yang
diberikan 400 mg setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 200 mg
dua kali sehari; (2) bila berat badan < 40 kg, dosis yang diberikan 200 mg
setiap 12 jam dalam 24 jam pertama dilanjutkan 100 mg dua kali sehari.
Jika respon klinis tidak adekuat, maka dosis dapat ditingkatkan menjadi 300
mg dua kali sehari pada pasien dengan berat badan > 40 kg dan 150 mg dua
kali sehari pada pasien dengan berat badan < 40 kg. Dosis anak umur 2 - <
12 tahun adalah 6 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam dalam 24 jam
pertama dilanjutkan 4 mg per kilogram berat badan setiap 12 jam.1
Flusitosin
Farmakologi
Indikasi
Efek Samping
50
Flusitosin dapat menimbulkan anemia, leukopeni, dan trombositopeni,
terutama pada penderita dengan kelainan hematologik, yang sedang
mendapat pengobatan radiasi atau obat yang menekan fungsi tulang, dan
penderita dengan riwayat memakai obat tersebut. Efek samping lainnya
adalah mual, muntah, diare, dan enterokolitis yang hebat, kira-kira 5%
penderita mengalami peningkatan enzim SGOT dan SGPT, serta dapat juga
terjadi hepatomegali. Efek samping ini hanya terjadi sementara, dan
menghilang sendiri ketika pengobatan dihentikan. Kadang-kadang dapat
pula terjadi sakit kepala, kebingungan, pusing, mengantuk dan halusinasi.
Flusitosin tidak bersifat nefrotoksik. Keamanan obat ini pada kehamilan
belum terbukti, sebaiknya flusitosin tidak diberikan kepada ibu hamil. 1
Flusitosin tersedia dalam bentuk kapsul 250 dan 500 mg. Dosis yang
biasa digunakan adalah 50-150 mg/kgBB sehari yang dibagi dalam 4 dosis.
Dosis ini harus disesuaikan padai penderita dengan insufisensi ginjal. 1
Griseofulvin
Farmakologi
Obat ini mengalami metabolisme di hati. Waktu paruh obat ini kira-
kira 24 jam, 50% dari dosis oral yang diberikan dikeluarkan melalui urine
dalam bentuk metabolit (6-metilgriseofulvin) selama 5 hari. Kulit yang sakit
mempunyai afinitas yang lebih tinggi terhadap obat ini. Obat ini akan
dihimpun dalam sel pembentuk keratin, lalu muncul bersama sel yang baru
berdiferensiasi, terikat kuat dengan keratin, sehingga sel baru ini resisten
terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan terkelupas
dan diganti oleh sel yang normal. Obat ini dapat ditemukan dalam lapisan
tanduk pada kulit 4-8 jam setelah pemberian oral. Keringat dan hilangnya
cairan transepidermal memegang peranan penting dalam penyebaran obat
ini pada srtatum korneum. Sedikit sekali obat yang ditemukan dalam cairan
dan jaringan tubuh lainnya. 1
Indikasi
52
Griseofulvin efektif untuk infeksi jamur di kulit, jamur, dan kuku yang
disebabkan oleh jamur Trichophyton, Epidermophyton, dan Microsporum.
Gejala pada kulit akan berkurang setelah 48-96 jam setelah pengobatan
dengan griseofulvin, sedangkan penyembuhan total akan terjadi setelah
beberapa minggu. Biakan jamur menjadi negatif setelah 1-2 minggu,
sehingga pengobatan sebaiknya dilanjutkan sampai 3-4 minggu. Infeksi
pada telapak tangan dan kaki lebih lambat bereaksi, biakan baru menjadi
negatif setelah 2-4 minggu dan pengobatan membutuhkan waktu sekitar 4-8
minggu. Infeksi kuku kaki membutuhkan waktu 6-12 bulan. Trichophyton
rubrum dan Trichophyton mentagrophytes membutuhkan dosis yang lebih
tinggi dari dosis biasanya. Pada keadaan yang disertai hiperkeratosis perlu
penambahan zat keratolitik. Kandidiasis dan tinea versikolor tidak dapat
diobati dengan griseofulvin, tetapi cukup dengan pemberian sediaan topikal.
1
Efek Samping
53
Griseofulvin microsize dipasarkan di Indonesia dalam bentuk tablet
125 mg dan 500 mg.serta suspensi mengandung 125 mg/ml. Dosis pada
anak 10 mg/kgBB/hari, sedangkan untuk dewasa 500-1000 mg/hari dalam
dosis tunggal. Bila dosis tunggal tidak dapat ditoleransi maka dibagi
menjadi beberapa dosis. Dosis yang lebih besar (1,5-2 gr/hari) dapat
diberikan dalam waktu singkat, kemudian harus diturunkan kembali menjadi
0,5-1 gr/hari setelah lesi mengalami perbaikan. Hasil memuaskan akan
dicapai bila dosis yang dibutuhkan dibagi menjadi 4 dan diberikan tiap 6
jam. Lama pengobatan sangat tergantung dari tempat infeksi. Tablet yang
mengandung ultramikrosize tersedia dalam takaran 330 mg. 1
Terbinafin
Terbinafin pertama kali ditemukan pada tahun 1974. Obat ini pertama
kali digunakan di Inggris pada februari 1991, di Kanada pada mei 1993, dan
di Amerika Serikat pada Mei 1996.6
Farmakologi
54
melalui kelenjar sebasea, masuk ke keratin, dan berdifusi di sepanjang
dermis-epidermis. Terbinafin tidak ditemukan dalam kelenjar ekrin.
Terbinafin ditemukan di kulit dengan konsentrasi di atas mean inhibitory
concentration (MIC) kebanyakan dermatofit selama 2-3 minggu setelah
penghentian terapi oral. Setelah 6-12 minggu setelah terapi, terbinafin
ditemukan di lempeng kuku selama 30-36 minggu, yang konsentrasinya di
atas MIC kebanyakan dermatofit. 1
Indikasi
Efek Samping
55
Karena selektivitasnya yang tinggi, insiden efek samping jarang
ditemukan. Efek samping yang sering ditemukan adalah efek pada
gastrointestinal (sekitar 3,5-5%). Efek samping lain seperti sakit kepala,
exanthematous eruption, acute generalized exanthematous pustulosis
(AGEP), psoriasis pustular, subacute cutaneus lupus erythematosus, nyeri
dada, hipestesi, kelelahan, dan malaise. Pada beberapa kasus ditemukan
hepatoselllular injury, agranulositosis yang reversibel, dan reaksi kulit berat,
termasuk toxic epidermal necrolysis dan erythema multiforme.Terbinafin
tidak boleh diberikan pada ibu yang sedang mengandung atau sedang
menyusui.1
56
OBAT ANTIJAMUR TOPIKAL
Pengobatan topikal untuk infeksi dermatofit antara lain:
1. Golongan allylamine
Allylamuie serupa dengan derivat benzylamine yang titik
tangkapnya menekan biosintesis ergosterol pada metabolik
tingkat awal, berdiri sendiri pada enzim sitokrom P-450 kerjanya
menghambat aktifitas squnlene epoxidase menghasilkan
defisiensi ergosterol dengan akumulasi squalene dalam sel jamur
yang berperan dalam kematian sel. Allylamine adalah obat
dermatofit yang bersifat fungisida dan fungistatik. Allylamine
dapat ditoleransi dengan baik, efek sampingnya berupa gatal,
rasa terbakar, dan iritasi.1
Produk allylamine berespon lebih cepat dibandingkan
dengan azoles meskipun penggunaannya sama. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa allylamine lebih efektif dibandingkan
dengan azoles, tetapi harganya lebih mahal. 1
Obat-obat yang termasuk golongan allylamine adalah:
a. Naftifin
Naftifin kerjanya melalui sguatene epoxidase dan
menghambat sintesis ergosterol, lanosterol, dan kolesterol
pada membran sel. Titik tangkap obat ini yaitu menghambat
biosintesis kolesterol pada tahap perubahan squalene menjadi
lanosterol. Disamping mempunyai kerja antimikatik, senyawa
ini juga mempunyai antiflogisti. Obat ini dikatakan sangat
baik terhadap dermatofita. Tidak ada perbedaan yang
signifikan antara naftifin dengan terbinafin. 4
Naftifin tersedia dalam bentuk krim 1%. Pada
penggunaan obat ini, jika secara klinik tidak ada kemajuan
selelah 4 minggu maka pasien dievaluasi kembali. Pada
pasien dewasa, krim atau gel dioleskan pada daerah yang
terinfeksi selama 2 minggu. Pada anak, penggunaan obat ini
sana dengan dewasa. Pada kulit yang sensitif merupakan
57
kontraindikasi diberikannya obat ini. Penggunaannya
dihentikan jika terjadi iritasi.Obat ini hanya untuk
penggunaan luar dan tidak boleh mengenai mata.1
b. Terbinafin
Terbinafin merupakan famili allylamine dan fungisida
yang titik tangkapnya menghambat sintesis ergosterol melalui
squalen epoxidase, menghasilkan penurunan tingkat
ergosterol dan meningkatkan konsentrasi squalen, berperan
penting dalam kematian sel. Secara medik obat ini digunakan
sampai gejalanya berkurang. Penggunaan obat ini dioleskan
pada daerah yang terinfeksi selama 1- 4 minggu.1,2
2. Golongan benzylamine
Obat golongan benzylamine adalah butenafin yang tersedia
dalam krim 1%. Titik tangkapnya merusak membran sel jamur
sehingga menyebabkan menghambat pertumbuhan sel jamur .
Dosis untuk dewasa diberikan pada kulit yang terinfeksi selama
2-4 minggu.1
3. Golongan imidazol
Penemuan obat antijamur golongan imidazol merupakan
penemuan yang penting dalam bidang pengobatan penyakit
jamur, karena hampir semua persyaratan obat anti jamur yang
ideal dapat terpenuhi. Obat ini memiliki efektifitas yang tinggi,
spektrum yang luas, dan hampir tanpa efek samping. Mekanisme
kerjanya yaitu menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur yang
penting untuk intregitas membran sel. Dalam konsentrasi rendah
obat ini bersifat fungistatik dan dalam konsentrasi tinggi bersifat
fungisid. Obat yang termasuk dalam golongan imidazol antara
lain:
▪ Mikonazol
Mikonazol merupakan turunan imidazol sintetik yang relatif
stabil, mempunyai spektrum antijamur yang luas baik
terhadap jamur sistemik maupun jamur dermatofit. Obat ini
58
berbentuk kristal putih tidak berwarna dan berbau, sebagian
kecil larut dalam air tetapi lebih larut dalam pelarut organik.
Mikonazol menghambat aktifitas jamur Trichophyton,
Epidermophyton, Microsporum, Candida, dan
Malassezia.furfur. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui
sepenuhnya. Mikonazol titik tangkapnya menghambat
suitesis ergosterol yang menyebabkan permeabilitas membran
sel jamur meningkat. Dapat terjadi gangguan sintesis asam
nukleat atau penimbunan peroksida dalam sel jamur yang
akan menimbulkan kerusakan. Obat yang sudah menembus
ke dalam lapisan tanduk kulit akan menetap di sana selama 4
hari. Mikonazol topikal diindikasikan untuk dermatofitasis,
tinea versikolor, dan kandidiasis mukokutan.
Efek samping penggunaan mikonazol topikal berupa iritasi,
rasa terbakar, dan maserasi sehingga penggunaan mikonazol
harus dihentikan. Mikonazol dalam jumlah kecil diserap
melalui mukosa vagina, tetapi belum ada laporan tentang efek
samping pada bayi yang ibunya mendapat mikonazol
intravaginal pada waktu hamil. Obat ini tersedia dalam
bentuk krim 2% dan bedak tabur, penggunaannya 2 kali
sehari selama 2-4 minggu. Krim 2% untuk penggunaan
intravaginal diberikan 1 kali sehari pada malam hari untuk
mendapatkan retensi selama 7 hari. Penggunaan mikonazol
tidak boleh mengenai mata. 1
▪ Klotrimazol
Klotrimazol berbentuk bubuk tidak berwarna yang tidak larut
dalam air, larut dalam alkohol dan klorofonn, serta sedikit
iarut dalam eter. Obat ini mempunyai efek antijamur dan
antibakteri dengan mekanisme kerja seperti mikonazol. Obat
ini merupakan antijamur spektrum luas yang menghambat
pertumbuhan jamur dengan mengubah permeabilitas
membran sel sehingga menyebabkan kematian sel jamur Obat
59
ini digunakan secara topikal untuk pengobatan tinea pedis,
tinea kruris, dan tinea korporis yang disebabkan oleh T.
rubrum, T. mentagrophytes, E. floccosum, dan M. canis.
Senyawa ini merupakan senyawa trifenihnetilimidazol yang
tersulih klor, bekerja terhadap semua mikroba patogen untuk
manusia. Senyawa ini hanya dipakai lokal (dalam bentuk
sediaan dengan kadar 1%) karena efek sampingnya yang kuat
serta perbedaan absorbsi yang besar pada penggunaan
sistemik. Titik tangkapnya adalah sama seperti kelompok
mikonazol, bekerja pada biosintesis ergosterol yang
merupakan komponen esensial membran sel jamur Tipe
kerjanya secara in vitro adalah fungisida, secara in vivo
umumnya fungistatik.
Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1 %, solusioispray, dan
lotion. Obat ini dapat diperoleh tanpa resep. Obat ini
dioleskan pada daerah yang terinfeksi selama seminggu.
Krim vagina 1 % digunakan 1 kali sehari pada malam hari
selama 7 hari. Pada pemakaian topikal dapat terjadi rasa
terbakar, eritema, edema, gatal, dan urtikaria. Obat ini tidak
digunakan untuk pengobatan infeksi jamur sistemik, tidak
boleh mengenai mata, dan jika terjadi iritasi maka
penggunaannya hams dihentikan. 1,2
▪ Ketokonazol
Ketokonazol merupakan golongan imidazol yang mempunyai
kelebihan yaitu cukup dioleskan 1 kali sehari dengan
efektifitas yang sama dengan yang lain. Obat ini titik
tangkapnya menghambat enzim lanosterol, demetilase,
sitokrom P-450. Enzim ini menyebabkan membran sel jamur
tidak stabil sehingga sel tidak dapat berproduksi dan
terjadilah kematian sel jamur secara lambat.
Obat ini tersedia dalam bentuk krim 1-2%. Penggunaannya
pada daerah infeksi selama 2-4 minggu. Obat ini untuk
60
penggunaan luar, tidak boleh mengenai mata, dan jika terjadi
iritasi penggunaannya harus dihentikan. 1
Penggunaanya tidak boleh mengenai mata dan organ yang
mempunyai mukosa. Obat ini hanya dapat diperoleh dengan
menggunakan resep.1,2
4. Obat golongan lain: Tolnaftat
Tolnaftat adalah suatu tiokarbamat yang efektif untuk
pengobatan sebagian besar dermatofitosis yang disebabkan T.
rubrum, T. mentagrophytes, E. flaccosum: M. canis. M.
auduoini, dan P. orbiculare tetapi tidak efektif terhadap
kandida.
Angka keberhasilan penggunaan tolnaftat pada tinea pedis
80%. Obat ini tersedia dalam bentuk krim l %, solusio/spray,
bubuk, gel, cairan erosol, atau larutan topikal dengan kadar
1%. Tolnaftat diberikan 2-3 kali sehari. Rasa gatal akan hilang
dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang rentan
dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lest dengan
hiperkeratosis, tolnaftat sebaiknya diberikan bergantian dengan
asam salisilat 10%. Beberapa kasus membutuhkan waktu
pengobatan selama 4-6 minggu, tetapi jarang melebihi 10
minggu. Obat ini hanya untuk penggunaan luar.1,2
5. Golongan haloprogin
Haloprogin merupakan antijamur sintetik, berbentuk kristal
putih kekuningan, sukar larut dalam air, tetapi larut dalam alkohol.
Obat ini bersifat fungisidal terhadap Epidermophytora,
Trichophyton, Microsporum, Malassezia furfur, dan Candida.
Haloprogin sedikit sekali diserap melalui kulit, dalam tubuh akan
terurai menjadi triklorofenol.
Selama pemakaian obat ini dapat timbul iritasi lokal, rasa
terbakar, vesikulasi, meluasnya maserasi dan sensitisasi.
Sensitisasi mungkin merupakan pertanda cepatnya respon
pengobatan, sebab toksin yang dilepaskan kadang kadang
61
memperburuk lesi. Haloprogin tersedia dalam bentuk krim dan
larutan dengan kadar 1%. Obat ini hanya untuk penggunaan
luar.1,2
62
KORTIKOSTEROID SISTEMIK
MEKANISME KERJA1
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki sel melewati membran plasma secara difusi pasif.
Hanya di jaringan target hormon ini bereaksi dengan reseptor protein yang spesifik
63
dalam sitoplasma sel dan membentuk kompleks reseptor-steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan konformasi, lalu bergerak menuju nucleus dan berikatan
dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein
spesifik. Induksi sintesis protein ini yang akan menghasilkan efek fisiologik
steroid.
Pada beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang
transkripsi dan sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid
dan fibroblast hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya
menghambat atau toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek
katabolik.
FARMAKOKINETIK1
Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.
Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat
sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam
sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal,
disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol
terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan
dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada
sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan
konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti
dexamethason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit,
waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol)
diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau
penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urine sebagai
kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan
lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati.
Perubahan struktur kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula
kerja dan lama kerja juga mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan
protein. Prednisone adalah prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon
bentuk aktifnya dalam tubuh.
64
Glukokortikoid dapat diabsorpsi melalui kulit, sakus konjungtiva, dan
ruang sinovial. Penggunaan jangka panjang atau pada daerah kulit yang luas dapat
menyebabkan efek sistemik, antara lain supresi korteks adrenal.
FARMAKODINAMIK1
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak; dan mempengaruhi juga fungsi sistem kardiovaskular, ginjal, otot lurik,
sistem saraf, dan organ lain. Korteks adrenal berfungsi homeostatik, artinya
penting bagi organisme untuk dapat mempertahankan diri dalam menghadapi
perubahan lingkungan.
Efek kortikosteroid kebanyakan berhubungan dengan besarnya dosis,
makin besar dosis terapi makin besar efek yang didapat. Tetapi disamping itu juga
ada keterkaitan kerja kortikosteroid dengan hormon-hormon lain. Peran
kortikosteroid dalam kerjasama ini disebut permissive effects, yaitu kortikosteroid
diperlukan supaya terjadi suatu efek hormon lain, diduga mekanismenya melalui
pengaruh steroid terhadap pembentukan protein yang mengubah respon jaringan
terhadap hormon lain. Misalnya otot polos bronkus tidak akan berespon terhadap
katekolamin bila tidak ada kortikosteroid, dan pemberian kortikosteroid dosis
fisiologis akan mengembalikan respon tersebut.
Suatu dosis kortikosteroid dapat memberikan efek fisiologik atau
farmakologik, tergantung keadaan sekitar dan aktivitas individu. Misalnya, hewan
tanpa kelenjar adrenal yang berada dalam keadaan optimal hanya membutuhkan
kortikosteroid dosis kecil untuk dapat mempertahankan hidupnya. Meskipun
kortikosteroid mempunyai berbagai macam aktivitas biologik, umumnya potensi
sediaan alamiah maupun yang sintetik, ditentukan oleh besarnya efek retensi
natrium dan penyimpanan glikogen di hepar atau besarnya khasiat
antiinflamasinya.
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan atas dua golongan besar,
yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti-inflamasi, sedangkan pengaruhnya pada
keseimbangan air dan elektrolit kecil. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol.
Sebaliknya golongan mineralokortikoid efek utamanya adalah terhadap
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan
glikogen hepar sangat kecil. Prototip golongan ini adalah desoksikortikosteron.
65
Umumnya golongan mineralokortikoid tidak mempunyai khasiat anti-inflamasi
yang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol.
Sediaan kortikosteroid dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan
masa kerjanya, antara lain kerja singkat (<12 jam), kerja sedang (12-36 jam), dan
kerja lama (>36 jam).
Pengaruh kortikosteroid terhadap fungsi dan organ tubuh ialah sebagai berikut:
Metabolisme.
Metabolisme karbohidrat dan protein. Glukokortikoid meningkatkan
kadar glukosa darah sehingga merangsang pelepasan insulin dan menghambat
masuknya glukosa ke dalam sel otot. Glukokortikoid juga merangsang lipase yang
sensitive dan menyebabkan lipolisis. Peningkatan kadar insulin merangsang
lipogenesis dan sedikit menghambat lipolisis sehingga hasil akhirnya adalah
66
peningkatan deposit lemak, peningkatan pelepasan asam lemak, dan gliserol ke
dalam darah. Efek ini paling nyata pada kondisi puasa, dimana kadar glukosa otak
dipertahankan dengan cara glukoneogenesis, katabolisme protein otot melepas
asam amino, perangsangan lipolisis, dan hambatan ambilan glukosa di jaringan
perifer.
Hormone ini menyebabkan glukoneogenesis di perifer dan di hepar. Di
perifer steroid mempunyai efek katabolic. Efek katabolik inilah yang menyebabkan
terjadinya atrofi jaringan limfoid, pengurangan massa jaringan otot, terjadi
osteoporosis tulang, penipisan kulit, dan keseimbangan nitrogen menjadi negative.
Asam amino tersebut dibawa ke hepar dan digunakan sebagai substrat enzim yang
berperan dalam produksi glukosa dan glikogen.
Metabolisme lemak. Pada penggunaan glukokortikoid dosis besar jangka
panjang atau pada sindrom cushing, terjadi gangguan distribusi lemak tubuh yang
khas. Lemak akan terkumpul secara berlebihan pada depot lemak; leher bagian
belakang (buffalo hump), daerah supraklavikula dan juga di muka (moon face),
sebaliknya lemak di daerah ekstremitas akan menghilang.
Keseimbangan air dan elektrolit. Mineralokortikoid dapat meningkatkan
reabsorpsi Na+ serta ekskresi K+ dan H+ di tubuli distal. Dengan dasar mekanisme
inilah, pada hiperkortisisme terjadi: retensi Na yang disertai ekspansi volume
cairan ekstrasel, hipokalemia, dan alkalosis. Pada hipokortisisme terjadi keadaan
sebaliknya: hiponatremia, hiperkalemia, volume cairan ekstrasel berkurang dan
hidrasi sel.
System kardiovaskular. Kortikosteroid dapat mempengaruhi sistem
kardiovaskular secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh tidak langsung ialah
terhadap keseimbangan air and elektrolit; misalnya pada hipokortisisme, terjadi
pengurangan volume yang diikuti peningkatan viskositas darah. Bila keadaan ini
didiamkan akan timbul hipotensi dan akhirnya kolaps kardiovaskular. Pengaruh
langsung steroid terhadap sistem kardiovaskular antara lain pada kapiler, arteriol,
dan miokard.
Defisiensi kortikosteroid dapat menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
permeabilitas dinding kapiler meningkat, respons vasomotor pembuluh darah kecil
menurun, fungsi jantung dan curah jantung menurun, sehingga pasien harus
dimonitor untuk gejala dan tanda-tanda edema paru.
Pada aldosteronisme primer gejala yang mencolok ialah hipertensi dan
hipokalemia. Hipokalemia diduga disebabkan oleh efek langsung aldosteron pada
67
ginjal, sedangkan hipertensi diduga akibat retensi Na yang berlebihan dan
berlangsung lama yang dapat menimbulkan edema antara dinding arteriol,
akibatnya diameter lumen berkurang dan resistensi pembuluh perifer akan
bertambah.
Otot rangka. Untuk mempertahankan otot rangka agar dapat berfungsi
dengan baik, dibutuhkan kortiosteroid dalam jumlah cukup. Tetapi apabila hormon
ini berlebihan, timbul gangguan fungsi otot rangka tersebut. Disfungsi otot pada
insufisiensi adrenal diakibatkan oleh gangguan sirkulasi. Pada keadaan ini tidak
terjadi kerusakan otot maupun sambungan saraf otot. Pemberian transfuse atau
kortisol dapat mengembalikan kapasitas kerja otot. Kelemahan otot pada pasien
aldosterisme primer, terutama karena adanya hipokalemia. Pada pemberian
glukokortikoid dosis besar untuk waktu lama dapat timbul wasting otot rangka
yaitu pengurangan massa otot, diduga akibat efek katabolik dan antianaboliknya
pada protein otot yang disertai hilangnya massa otot, penghambatan aktivitas
fosforilase, dan adanya akumulasi kalsium otot yang menyebabkan penekanan
fungsi mitokondria.
Susunan saraf pusat. Pengaruh kortikosteroid terhadap SSP dapat secara
langsung dan tidak langsung. Pengaruhnya secara tidak langsung disebabkan
efeknya pada metabolisme karbohidrat, sistem sirkulasi, dan keseimbangan
elektrolit. Adanya efek steroid pada SSP ini dapat dilihat dari timbulnya perubahan
mood, tingkah laku, EEG, dan kepekaan otak, terutama untuk penggunaan waktu
lama atau pasien penyakit Addison.
Pengunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat menimbulkan
serangkaian reaksi yang berbeda-beda. Sebagian besar mengalami perbaikan mood
yang mungkin disebabkan hilangnya gejala penyakit yang sedang diobati; yang lain
memperlihatkan keadaan euphoria, insomnia, kegelisahan, dan peningkatan
aktivitas motorik. Kortisol juga dapat menimbulkan depresi. Pasien yang pernah
mengalami gangguan jiwa sering memperlihatkan reaksi psikotik.
Elemen pembentuk darah. Glukokortikoid dapat meningkatkan kadar
hemoglobin dan jumlah sel darah merah, hal ini terbukti dari seringnya timbul
polisitemia pada sindrom cushing. Sebaliknya pasien Addison dapat mengalami
anemia normokromik, normositik yang ringan.
Glukokortikoid juga dapat meningkatkan jumlah leukosit PMN, karena
mempercepat masuknya sel-sel tersebut ke dalam darah dari sumsum tulang dan
mengurangi kecepatan berpindahnya sel dari sirkulasi. Sedangkan jumlah sel
68
limfosit, eosinofil, monosit, dan basofil dapat menurun dalam darah setelah
pemberian glukokortikoid.
Efek anti-inflamasi dan imunosupresif. Kortisol dan analog sintetiknya
dapat mencegah atau menekan timbulnya gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi,
zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara mikroskopik obat ini menghambat
fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit fibrin, dilatasi kapiler, migrasi
leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis. Selain itu juga dapat
menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu proliferasi kapiler dan
fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan sikatriks. Hal ini karena
efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan fungsi leukosit perifer dan
juga disebabkan oleh efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne imflamasi
serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit
kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh
serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khusunya yang
berada pada sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Sesudah pemberian
dosis tunggal glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil
meningkat , sedangkan limfosit, monosit dan eosinofil dan basofil dalam sirkulasi
tersebut berkurang jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam
dan menghilang setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh
peningkatan aliran masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan
migrasi dari pembuluh darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada
tempat inflamasi.
Glukokortikoid juga menhambat fungsi makrofag jaringan dan sel
penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap
antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama
menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh
mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,
metalloproteinase dan activator plasminogen.
Selain efeknya terhadap fungsi leukosit, glukokortikoid mempengaruhi
reaksi inflamasi dengan cara menurunkan sintesis prostaglandin, leukotrien dan
platelet-aktivating factor.
Glukokortikoid dapat menyebabkan vasokonstriksi apabila digunakan
langsung pada kulit, yang diduga terjadi dengan menekan degranulasi sel mast.
69
Glukokortikoid juga menurunkan permeabilitas kapiler dengan menurunkan jumlah
histamine yang dirilis oleh basofil dan sel mast.
Penggunaan kortokosteroid dalam klinik sebagai antiinflamasi merupakan
terapi paliatif, yaitu hanya gejalanya yang dihambat sedangkan penyebabnya tetap
ada. Konsep terbaru memperkirakan bahwa efek imunosupresan dan antiinflamasi
yang selama ini dianggap sebagai efek farmakologi kortikosteroid sesungguhnya
secara fisiologis pun merupakan mekanisme protektif.
Jaringan limfoid dan sistem imunologi. Glukokortikoid tidak
menyebabkan lisis jaringan limfoid yang masif, golongan obat ini dapat
mengurangi jumlah sel pada leukemia limfoblastik akut dan beberapa keganasan
sel limfosit. Kortikosteroid bukan hanya mengurangi jumlah limfosit tetapi juga
respons imunnya. Kortikosteroid juga menghambat inflamasi dengan menghambat
migrasi leukosit ke daerah inflamasi.
Pertumbuhan. Penggunaan glukokortikoid dalam waktu lama dapat
menghambat pertumbuhan anak, karena efek antagonisnya terhadap kerja hormon
pertumbuhan di perifer. Terhadap tulang, glukokortikoid dapat menghambat
maturasi dan proses pertumbuhan memanjang.
Penghambatan pertumbuhan pada pemakaian kortikosteroid disebabkan
oleh kombinasi berbagai faktor: hambatan somatomedin oleh hormon
pertumbuhan, hambatan sekresi hormon pertumbuhan, berkurangnya proliferasi sel
di kartilago epifisis dan hambatan aktivitas osteoblas di tulang.
INDIKASI1
Dari pengalaman klinis dapat diajukan minimal 6 prinsip terapi yang perlu
diperhatikan sebelum obat ini digunakan:
Untuk tiap penyakit pada tiap pasien, dosis efektif harus ditetapkan dengan
trial and error, dan harus dievaluasi dari waktu ke waktu sesuai dengan perubahan
penyakit. Suatu dosis tunggal besar kortikosteroid umumnya tidak berbahaya.
Penggunaan kortikosteroid untuk beberapa hari tanpa adanya kontraindikasi
spesifik, tidak membahayakan kecuali dengan dosis sangat besar.
Bila pengobatan diperpanjang sampai 2 minggu atau lebih hingga dosis
melebihi dosis substitusi, insidens efek samping dan efek letal potensial akan
bertambah. Kecuali untuk insufisiensi adrenal, penggunaan kortikosteroid bukan
merupakan terapi kausal ataupun kuratif tetapi hanya bersifat paliatif karena efek
anti-inflamasinya.
70
Penghentian pengobatan tiba-tiba pada terapi jangka panjang dengan dosis
besar, mempunyai resiko insufisiensi adrenal yang hebat dan dapat mengancam
jiwa pasien. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa bila kortikosteroid akan
digunakan untuk jangka panjang, harus diberikan dalam dosis minimal yang masih
efektif. Kemudian dalam periode singkat dosis harus diturunkan bertahap sampai
tercapai dosis minimal dimana gejala semula timbul lagi. Bila terapi bertujuan
mengatasi keadaan yang mengancam pasien, maka dosis awal haruslah cukup
besar. Bila dalam beberapa hari belum terlihat efeknya, dosis dapat
dilipatgandakan.
Untuk keadaan yang tidak mengancam jiwa pasien, kortikosteroid dosis
besar dapat diberikan untuk waktu singkat selama tidak ada kontraindikasi spesifik.
Untuk mengurangi efek supresi hipofisis-adrenal ini, dapat dilakukan modifikasi
cara pemberian obat, misalnya dosis tunggal selang 1 atau 2 hari, tetapi cara ini
tidak dapat diterapkan untuk semua penyakit.
Terapi substitusi. Terapi ini bertujuan memperbaiki kekurangan akibat insufisiensi
sekresi korteks adrenal akibat gangguan fungsi atau struktur adrenal sendiri
(insufisiensi primer) atau hipofisis (insufisiensi sekunder).
Terapi kortikosteroid digunakan antara lain untuk:
• Insufisiensi adrenal akut. Bila insufisiensi primer, dosisnya 20-30 mg
hidrokortison harus diberikan setiap hari. Perlu juga diberi preparat
mineralokortikoid yang dapat menahan Na dan air.
• Insufisiensi adrenal kronik. Dosisnya 20-30 mg per hari dalam dosis
terbagi (20 mg pada pagi hari dan 10 mg pada sore hari). Banyak pasien
memerlukan juga mineralokortikoid fluorokortison asetat dengan dosis 0,1-
0,2 mg per hari; atau cukup dengan kortison dan diet tinggi garam.
• Hyperplasia adrenal congenital.
• Insufisiensi adrenal sekunder akibat insufisiensi adenohipofisis.
71
DOSIS DAN MEKANISME PEMBERIAN1
Berikut berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya.
Dosis inisial kortikosteroid sistemik sehari untuk orang dewasa pada berbagai
dermatosis
Nama penyakit Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari
Dermatitis Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Erupsi alergi obat ringan Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
SJS berat dan NET Deksametason 6x5 mg
Eritrodermia Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Reaksi lepra Prednison 3x10 mg
DLE Prednison 3x10 mg
Pemfigoid bulosa Prednison 40-80 mg
Pemfigus vulgaris Prednison 60-150 mg
Pemfigus foliaseus Prednison 3x20 mg
Pemfigus eritematosa Prednison 3x20 mg
Psoriasis pustulosa Prednison 4x10 mg
Reaksi Jarish-Herxheimer Prednison 20-40 mg
EFEK SAMPING1
Berikut efek samping kortikosteroid sistemik secara umum.
72
Tempat Macam efek samping
1. Saluran cerna Hipersekresi asam lambung, mengubah proteksi gaster, ulkus
peptikum/perforasi, pankreatitis, ileitis regional, kolitis ulseratif.
Hipotrofi, fibrosis, miopati panggul/bahu.
2. Otot Perubahan kepribadian (euforia, insomnia, gelisah, mudah
3. Susunan saraf tersinggung, psikosis, paranoid, hiperkinesis, kecendrungan bunuh
pusat diri), nafsu makan bertambah.
Osteoporosis,fraktur, kompresi vertebra, skoliosis, fraktur tulang
4. Tulang panjang.
Hirsutisme, hipotropi, strie atrofise, dermatosis akneiformis,
5. Kulit purpura, telangiektasis.
Glaukoma dan katarak subkapsular posterior
6. Mata Kenaikan Hb, eritrosit, leukosit dan limfosit
7. Darah Kenaikan tekanan darah
8. Pembuluh darah Atrofi, tidak bisa melawan stres
9. Kelenjar
adrenal bagian
kortek Kehilangan protein (efek katabolik), hiperlipidemia,gula meninggi,
10. Metabolisme obesitas, buffao hump, perlemakan hati.
protein, KH dan
lemak Retensi Na/air, kehilangan kalium (astenia, paralisis, tetani, aritmia
11. Elektrolit kor)
12. Sistem Menurun, rentan terhadap infeksi, reaktivasi Tb dan herpes
immunitas simplek, keganasan dapat timbul.
73
Efek Samping Penggunaan Steroid dalam Jangka Waktu yang Lama
• Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan
steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang
dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA)
penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan,
kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau
trauma dapat mengakibatkan sakit parah.
• Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua,
orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan
diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah
tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini
terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan
lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari
pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.
• Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar
ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).
• Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.
• Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi
pinggul).
• Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).
• Kenaikan lemak darah (trigliserida).
• Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.
• Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan
berat badan dan gagal jantung.
• Kegoyahan dan tremor.
• Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan
katarak subcapsular posterior.
• Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,
kegembiraan, delirium atau depresi.
• Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.
• Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi diresepkan
(misalnya tuberkulosis).
• Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan anti-
inflamasi.
74
• Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit
kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.
Pemantauan regular selama perawatan termasuk:
• Tekanan darah
• Berat badan
• Gula darah
75
KORTIKOSTEROID TOPIKAL
2. Golongan II : Potent
• Amcinonide ointment 0,1%
• Betamethasone diproprionate AF cream 0,05%
• Mometasone fuorate ointment 0,1%
• Diflorasone diacetate ointment 0,05%
• Halcinonide cream 0,1%
• Flucinonide gel, ointment, dan cream 0,05%
• Desoximetasone gel, ointment, dan cream 0,25%
4. Golongan IV : Mid-strength
• Fluocinolone acetonide ointment 0,025%
76
• Flurandrenolide ointment 0,05%
• Fluticasone proprionate cream 0,05%
• Hydrocortisone valerate cream 0,2%
• Mometasone fuorate cream 0,1%
• Triamcinolone acetonide cream 0,1%
77
Mekanisme Kerja Kortikosteroid Topikal1,2
Kortikosteroid berdifusi melalui barrier stratum korneum dan
melalui membran sel untuk mencapai sitoplasma keratinosit dan sel-sel lain
yang terdapat epidermis dan dermis. Pada waktu memasuki jaringan,
kortikosteroid berdifusi menembus sel membran dan terikat pada kompleks
reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak
menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini menstimulasi
transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein ini
merupakan perantara efek fisiologis steroid.2
Kortikosteroid memiliki efek spesifik dan nonspesifik yang
berhubungan dengan mekanisme kerja yang berbeda, antara lain adalah efek
anti-inflamsi, imunosupresif, antiproliferasi, dan vasokonstriksi. Efek
kortikosteroid pada sel kebanyakan dimediasi oleh ikatan kortikosteroid
pada reseptor di sitosol, diikuti dengan translokasi kompleks obat-reseptor
ke daerah nukleus DNA yang dikenal dengan corticosteroid responsive
element, dimana lalu bisa menstimulasi atau menghambat transkripsi gen
yang berdampingan, dengan demikian meregulasi proses inflamasi.2
• Efek anti-inflamasi
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan
kurang dimengerti. Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek
anti-inflamasinya dengan menghibisi pelepasan phospholipase A2, suatu
enzim yang bertanggung jawab dalam pembentukan prostaglandin,
leukotrin, dan derivat asaam arachidonat yang lain. Kortikosteroid juga
menginhibisi faktor-faktor transkripsi yang terlibat dalam aktivasi gen pro-
inflamasi. Gen-gen ini diregulasi oleh kortikosteroid dan memiliki peran
dalam resolusi inflamasi. Kortikosteroid juga mengurangi pelepasan
interleukin 1α (IL-1α), sitokin proinflamasi penting, dari keratinosit.
Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid
adalah menghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom
dalam memfagositosis sel.1,2
78
• Efek imunosupresif
Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya.
Kortikosteroid menekan produksi dan efek faktor-faktor humoral yang
terlibat dalam proses inflamasi, menginhibisi migrasi leukosit ke tempat
inflamasi, dan mengganggu fungsi sel endotel, granulosit, sel mast dan
fibroblas. Beberapa studi menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa
menyebabkan pengurangan sel mast pada kulit.1,2
• Efek antiproliferasi
Efek antiprolifrasi kortikosteroid topikal dimediasi oleh inhibisi
sintesis dan mitosis DNA, yang sebagian menjelaskan terapi obat-obat ini
pada dermatosis dengan scale. Aktivitas fibroblas dan pembentukan kolagen
juga diinhibisi oleh kortikosteroid topikal.2
• Vasokonstriksi
Mekanisme kortikosteroid menyebabkan vasokonstriksi masih
belum jelas, namun dianggap berhubungan dengan inhibisi vasodilator
alami seperti histamin, bradikinin, dan prostaglandin. Steroid topikal
menyebabkan kapiler-kapiler di lapisan superfisial dermis berkonstraksi,
sehingga mengurangi edema. 2
Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis
kortikosteroid dan penetrasi. Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan
kemampuan menyebabkan vasokontriksi pada kulit hewan percobaan dan
pada manusia. Jelas ada hubungan dengan struktur kimiawi. Kortison,
misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison di dalam tubuh
mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak
menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi
1%. Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan.
Pada umumnya molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan
kortikosteroid poten. Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai
adalah vehikulum yang bersifat tertutup. Di antara jenis kemasan yang
tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty ointment (paling baik
penetrasinya).2
79
Indikasi
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan
obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Harus selalu diingat bahwa
kortikosteroid bersifat paliatif dan supresif terhadap penyakit kulit dan
bukan merupakan pengobatan kausal.1,2
Kortikosteroid topikal direkomendasikan untuk aktivitas anti-
inflamasinya pada penyakit kulit inflamasi, tetapi dapat juga digunakan
untuk efek antimitotik dan kapasitasnya utnuk mengurangi sistesis molekul-
molekul connective tissue. Variebel tertentu harus dipertimbangkan saat
mengobati kelainan kulit dengan kortikosteroid topikal. Contohnya respon
penyakit terhadap kortikosteroid topical yang bervariasi. Dalam hal ini, bisa
dibedakan dalam tiga kategori, yaitu sangat responsif, responsif sedang, dan
kurang responsif.2
80
sistemik yang secara potensial lebih besar. Bayi juga kurang mampu
memetabolisme kortikosteroid poten dengan cepat. Bayi premature terutama
memiliki risiko karena kulitnya lebih tipis dan penetrasi obat topical yang
diberikan akan sangat meningkat. Penyerapan kortikosteroid topikal yang
berlebihan bisa menekan produksi kortisol endogen. Akibatnya, penghentian
terapi steroid topikal setelah terapi jangka panjang dapat, walaupun jarang,
menyebabkan addisonian crisis. Supresi produksi kortisol yang kronik juga
dapat menyebabkan pertumbuhan terhambat. Bila terdapat supresi kortisol,
maka anak harus secara perlahan dihentikan pemberian steroidnya untuk
mencegah komplikasi ini.4
Pasien usia tua juga memiliki kulit yang tipis, yang memungkinkan
peningkatan penetrasi kortikosteroid topical. Pasien usia tua juga lebih
mungkin memiliki pre-existing atrofi kulit sekunder karena penuaan.2
Dosis
Largo dan Maibach mengobservasi dalam beberapa literature terkini
bahwa untuk kortikosteroid super poten, pemberian satu kali per hari sama
manfaatnya dengan pemberian dua kali per hari. Sama halnya, tidak ada
perbedaan atau hanya sedikit perbedaan dengan pemberian sekali atau dua
kali per hari untuk kortikosteroid poten atau poten sedang. Karena itu,
pemberian kortikosteroid topical satu kali per hari lebih dipilih, dapat
mengurangi risiko efek samping, mengurangi biaya pengobatan, dan
meningkatkan kepatuhan pasien.2
Sebagai aturan kerja, pemberian kortikosteroid topikal sebaiknya
tidak lebih dari 45 g/minggu untuk kortikosteroid topikal poten atau 100
g/minggu untuk potensi sedang dan lemah jika absorpsi sistemik dihindari.4
Penyakit-penyakit yang sangat responsif biasanya akan memberikan
respon pada preparat steroid lemah, sedangkan penyakit yang kurang
responsif memerlukan steroid topical potensi menengah atau tinggi.
Kortikosteroid topikal potensi lemah digunakan pada daerah wajah dan
intertriginosa. Kortikosteroid sangat poten seringkali diperlukan pada
hiperkeratosis atau dermatosis likenifikasi dan untuk penyakit pada telapak
81
tangan dan kaki. Kortikosteroid topikal harus dihindari pada kulit dengan
ulserasi atau atrofi.1,2
Bentuk potensi tinggi digunakan untuk jangka pendek (2 atau 3
minggu) atau secara intermiten. Saat control terhadap penyakit sudah
dicapai sebagian, penggunaan gabungan potensi lemah harus dimulai.
Pengurangan frekuensi pemakaian (misalnya pemakaian hanya pada pagi
hari, 2 hari sekali, pada akhir pekan) dilakukan ketika control terhadap
penyakit sudah tercapai sebagian. Tetapi penghentian pengobatan tiba-tiba
harus dihindari setelah penggunaan jangka panjang untuk mencegah
rebound phenomena.4
Efek Samping
Efek samping dapat terjadi apabila:1,2
1. Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
2. Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat
atau penggunaan sangat oklusif.
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk
atrofi, striae atrofise, telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis,
hipertrikosis setempat, hipopigmentasi, dermatitis peroral.1,2
Beberapa penulis membagi efek samping kortikosteroid menjadi
beberapa tigkat, yaitu:1,2
• Efek Epidermal
Efek ini antara lain:
1. Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas
kinetik dermal, suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan
keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermo-epidermal.
Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal
secara konkomitan.
2. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah
ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid
atau injeksi steroid interakutan.
82
• Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi
dasar. Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal
yang lemah akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau
terpotong. Pendarahan intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat
untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan
membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti usia kulit prematur.
• Efek Vaskular
Efek ini termasuk:
1. Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada awalnya
menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di
superfisial.
2. Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan
pembuluh darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa
mengakibatkan edema, inflamasi lanjut, dan kadang-kadang
pustulasi.
83
DAFTAR PUSTAKA
84