Lapkas Infark Cerebri1
Lapkas Infark Cerebri1
PENDAHULUAN
1
otak juga dapat berperan. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko terpenting dalam
kejadian stroke, terjadinya gangguan pada cerebrovaskular.13 Hipertensi berperan
sekitar 52% dari seluruh kejadian stroke .22
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan intrakranial pada gilirannya akan
menimbulkan herniasi jaringan otak dan menekan batang otak.
2.2 Klasifikasi
Berdasarkan patologi anatomi dan penyebabnya, stroke diklasifikasikan menjadi:
1. Stroke Hemoragik
a. Perdarahan intraserebral (PIS)
b. Perdarahan Subarakhnoid (PSA)
2. Stroke Iskemik
4
Berikut ini adalah beberapa tanda dan gejala yang timbul sesuai dengan pembuluh
darah yang terlibat :
a. Arteri serebri media
1. Hemiparesis atau monoparesis kontralateral.
2. Afasia global
3. Disleksia, disgrafia, diskalkulia
b. Arteri serebri anterior
1. Kelemahan kontra lateral, terutama pada daerah tungkai
2. Ganguan sensorik kontralateral
c. Arteri serebri posterior
1. Kelumpuhan saraf otak ke-3 hemianopsia
2. Hemiparesis kontralateral
d. Arteri vertebrobasiler
1. Penglihatan ganda ( nervus III,IV dan VI)
2. Rasa baal di wajah (nervus V)
3. Kelemahan pada bagian wajah ( nervus VII)
4. Vertigo ( nervus VIII)
5. Disfagia ( nervus IX dan X)
6. Disartria
7. Ataxia
8. Kelemahan pada ekstremitas
5
Gejala neurologik yang semakin lama semakin memberat dalam hitungan menit,
jam, bahkan hari
d. Complete stroke
Gejala klinis telah menetap.
Tabel 1. Perbedaan Stroke Hemoragik (SH) dan Stroke Non Hemoragik (SNH)
SH
Gejala Klinik NH
PIS PSA
Defisit lokal Berat Ringan Berat-ringan
Onset Menit/jam 1-2 menit Pelan (jam/hari)
Nyeri kepala Hebat Sangat hebat Ringan
Tidak ada,
Muntah pada
Sering Sering kecuali jika lesi
awalnya
di batang otak
Hipertensi Hampir selalu Biasanya tidak ada Sering kali
Penurunan
Ada Ada Tidak ada
Kesadaran
Kaku kuduk Jarang Ada Tidak ada
Permulaan tidak
Hemiparesis Sering di awal Sering dari awal
ada
Gangguan bicara Bisa ada Jarang Sering
6
Likuor Berdarah Berdarah Jernih
Paresis/
gangguan N.III Tidak ada Bisa ada Tidak ada
Waktu serangan Aktivitas Aktivitas Bangun pagi
Kejang Umum Sering fokus Tidak ada
Tanda rangsang
+ + -
meningeal
Papil edema + + -
Perdarahan retina + + -
7
menempel di katup jantung terlepas dan beredar hingga ke otak, maka akan
menyebabkan oklusi arteri otak. Gejala klinisnya dapat berupa gangguan motorik sesuai
lesi hemiparese atau nervus kranialis, gangguan fungsi luhur, dan lain-lain seperti gejala-
gejala pada trombosis serebri. Bila embolus besar dan mengenai arteri besar, maka dapat
muncul manifestasi berupa delirium, pingsan, gelisah, kesadaran menurun hingga stupor.
Penyebab emboli otak pada umumnya berhubungan dengan kelainan
kardiovaskuler antara lain :
1. Fibrilasi atrial
2. Penyakit katub jantung
3. Infark miokard
4. Penyakit jantung rematik
5. Lepasnya plak aterosklerosis pembuluh darah besar intra / ekstra cranial
3. Pengurangan perfusi sistemik umum
Pengurangan perfusi sistemik bisa mengakibatkan iskemik. Pengurangan
perfusi ini dapat disebabkan karena :
a. Kegagalan pompa jantung
b. Proses perdarahan yang masif
c. Hipovolemik
2.3.3 PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya terjadinya infark cerebri meliputi dua proses yang saling terkait, yaitu:
1. Perubahan vaskuler, hematologik atau kardiologik yang menyebabkan terjadinya
kekurangan aliran darah ke bagian otak yang terserang.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak
a. Keadaan pembuluh darah, menyempit akibat stenosis atau ateroma maupun
tersumbat oleh trombus/embolus
b. Keadaan darah, viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisitemia) menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat, anemia yang berat
menyebabkan oksigenasi ke otak menurun
8
c. Kelainan jantung, menyebabkan menurunnya curah jantung, dan lepasnya
embolus dari jantung yang dapat menimbulkan iskemia otak
d. Tekanan perfusi yang sangat menurun akibat sumbatan di proksimal pembuluh
arteri cerebri, seperti sumbatan pada arteri karotis, atau vertebrobasiler.
Dalam keadaan iskemik, kadar kalium akan meningkat disertai penurunan ATP
dan kreatin fosfat. Akan tetapi, perubahan masih bersifat reversibel apabila sirkulasi
dapat kembali normal. Ion kalium yang meninggi di ruang ekstraseluler akan
menyebabkan pembengkakan sel astroglia, sehingga mengganggu transport oksigen dan
bahan makanan ke otak. Sel yang mengalami iskemia akan melepaskan glutamat dan
aspartat yang menyebabkan influx natrium dan kalsium ke dalam sel.
Kalsium yang tinggi di intraseluler akan menghancurkan membran fosfolipid
sehingga terjadi asam lemak bebas, antara lain asam arakhidonat. Asam arakhidonat
merupakan prekursor dari prostasiklin dan tromboksan A2. Prostasiklin merupakan
vasodilator yang kuat dan mencegah agregasi trombosit, sedangkan tromboksan A2
merangsang terjadinya agregasi trombosit. Pada keadaan normal, prostasiklin dan
tromboksan A2 berada dalam keseimbangan sehingga agregasi trombosit tidak terjadi.
Bila keseimbangan ini terganggu, akan terjadi agregasi trombosit. Prostaglandin,
9
leukotrien, dan radikal bebas terakumulasi. Protein dan enzim intraseluler terdenaturasi,
setelah itu sel membengkak (edema seluler).
Akumulasi asam laktat pada jaringan otak berperan dalam perluasan kerusakan sel.
Akumulasi asam laktat yang dapat menimbulkan neurotoksik terjadi apabila kadar
glukosa darah otak tinggi sehingga terjadi peningkatan glikolisis dalam keadaan
iskemia.6
2.3.4 KLASIFIKASI
The Oxford Community Stroke Project classification (OCSP) juga dikenal
sebagai Banford atau Oxford klasifikasi mengelompokkan infark cerebri ke dalam 4
kelompok yaitu7:
1. Infark Sirkulasi Anterior Total (TACI)
Mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi
anterior total, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya
CT Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis.
2. Infark Sirkulasi Anterior Parsial (PACI)
Mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi
anterior parsial, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya
CT Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis
3. Infark Lacunar (LACI)
Infark lacunar adalah jenis infark yang dihasilkan dari oklusi salah satu arteri
penetrasi yang menyediakan darah ke struktur-struktur otak bagian dalam. Lacunes
(bahasa latin untung ruang kosong) disebabkan oleh oklusi satu arteri penetrasi
mendalam yang muncul langsung dari konstituen Lingkaran Willis, arteri
cerebellar, dan arteri basilar. Lesi yang sesuai terjadi pada inti yang mendalam dari
otak (37% putamen, 14% thalamus, dan 10% caudatus) serta pons (16%) atau
posterior limb dari kapsul internal yang (10%), jarang terjadi pada substansia
putih, anterior limb kapsul internal dan cerebellum.
10
4. Infark Sirkulasi Posterior (POCI).
mengacu pada gejala pasien yang secara klinis tampak menderita infark sirkulasi
posterior, tetapi belum mendapatkan pencitraan diagnostik apapun (misalnya CT
Scan) untuk mengkonfirmasi diagnosis
11
Gejala: gejala utama adalah disartria dan kelemahan tangan, yang terlihat jelas
saat pasien menulis
d. Pure sensory stroke
Lokasi: contralateral thalamus, capsula interna, corona radiata, midbrain
Gejala: mati rasa, kesemutan dan sensasi tidak nyaman pada salah satu sisi tubuh
e. Mixed sensorimotor stroke
Lokasi: thalamus and adjacent posterior internal capsule, lateral pons
Gejala: kombinasi hemiparesis/hemiplegia dengan gangguan sensoris ipsilateral
4. POCI (Infark Sirkulasi Posterior)
a. Disfungsi saraf otak, satu atau lebih sisi ipsilateral, dan gangguan motorik,
sensorik kontralateral
b. Gangguan motorik / sensorik bilateral
c. Gangguan gerakan konjungat mata ( horisontal et vertical)
d. Disfungsi serebral
e. Isolated hemianopia atau buta kortikal
2.3.6 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan mengetahui riwayat perjalanan penyakit,
misalnya waktu kejadian, penyakit lain yang diderita, faktor –faktor risiko yang
menyertai stroke. Defisit neurologis yang terjadi secara tiba-tiba, saat aktivitas
atau istirahat, kesadaran baik atau terganggu, nyeri kepala atau tidak, muntah
atau tidak, riwayat hipertensi (faktor risiko stroke lainnya) lamanya (onset),
serangan pertama atau ulang.
2. Pemeriksaan Fisik (umum dan neurologis)
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke
ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan
menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Tujuan pemeriksaan neurologi
adalah untuk mengidentifikasi gejala stroke, memisahkan stroke dengan kelainan
12
lain yang memiliki gejala seperti stroke. Komponen penting dalam pemeriksaan
neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan
nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon
profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin
Pemeriksaan kimia darah lengkap:
o Gula darah sewaktu
Pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia reaktif. Gula darah dapat
mencapai 250mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur kembali
turun.
o Kolesterol, ureum, kreatinin, asam urat, fungsi hati, enzim SGOT, SGPT,
CPK, dan profil lipid (trigliserida, LDH, HDL serta total lipid)
b. CT dan MRI
Pemeriksaan paling penting untuk mendiagnosis subtipe dari stroke adalah
Computerised Topography (CT) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada
kepala. CT sangat handal mendeteksi perdarahan intrakranium, tetapi kurang peka
untuk mendeteksi stroke iskemik ringan, terutama pada tahap paling awal. CT
dapat memberi hasil negatif-semu (yaitu, tidak memperlihatkan adanya kerusakan)
hingga separuh dari semua kasus stroke iskemik.
CT scan kepala non kontras baik digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non
hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari infark dan
mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan
stroke (hematoma, neoplasma, abses).8
13
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami.
Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang
menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah
hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu
terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya
insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan
hilangnya perberdaan gray-white matter.9
Perubahan gambaran CT scan kepala pada stroke iskemik :
1. Infark Hiperakut
Pada kasus stroke iskemik hiperakut (0-6 jam setelah onset), CT scan biasanya
tidak sensitif mengidentifikasi infark serebri karena terlihat normal pada >50% pasien;
tetapi cukup sensitif untuk mengidentifikasi perdarahan intrakranial akut dan/atau lesi
lain yang merupakan kriteria eksklusi terapi trombolitik.
Gambaran CT scan yang khas untuk iskemia serebri hiperakut adalah sebagai berikut:
a. Gambaran pendangkalan sulcus serebri (sulcal effacement)
Gambaran ini tampak akibat adanya edema difus di hemisfer serebri. Infark
serebral akut menyebabkan hipoperfusi dan edema sitotoksik. Berkurangnya
kadar oksigen dan glukosa seluler dengan cepat menyebabkan kegagalan pompa
natrium-kalium, yang menyebabkan berpindahnya cairan dari ekstraseluler ke
intraseluler dan edema sitotoksik yang lebih lanjut. Edema serebri dapat
dideteksi dalam 1-2 jam setelah onset gejala. Pada CT scan terdeteksi sebagai
pembengkakan girus & pendangkalan sulcus serebri.
14
Menghilangnya batas substansia alba dan substansia grisea serebri Substansia
grisea merupakan area yang lebih mudah mengalami iskemia dibandingkan substansia
alba, karena metabolismenya lebih aktif. Karena itu, menghilangnya diferensiasi
substansia alba dan substansia grisea merupakan gambaran CT scan yang paling awal
didapatkan. Gambaran ini disebabkan oleh influks edema pada substansia grisea.
Gambaran ini bisa didapatkan dalam 6 jam setelah gejala muncul pada 82% pasien
dengan iskemia area arteri serebri media.
15
c. Hipodensitas nukleus lentiformis
Hipodensitas nukleus lentiformis akibat edema sitotoksik dapat terlihat dalam 2 jam
setelah onset. Nukleus lentiformis cenderung mudah mengalami kerusakan ireversibel
yang cepat pada oklusi proksimal arteri serebri media karena cabang lentikulostriata
arteri serebri media yang memvaskularisasi nukleus lentiformis merupakan end vessel.
16
pada cabang proksimal (segmen M1) arteri serebri media, walaupun sebenarnya bisa
didapatkan pada semua arteri. Peningkatan densitas ini diduga akibat melambatnya
aliran pembuluh darah lokal karena adanya trombus intravaskular atau menggambarkan
secara langsung trombus yang menyumbat itu sendiri. Gambaran ini disebut sebagai
tanda hiperdensitas arteri serebri media (Gambar 4).
e. Tanda Sylvian dot menggambarkan adanya oklusi distal arteri serebri media
(cabang M2 atau M3) yang tampak sebagai titik hiperdens pada fisura Sylvii
(Gambar 5).
17
2. Infark Akut
Pada periode akut (6-24 jam), Hilangnya batas substansia alba dan substansia
grisea serebri, pendangkalan sulkus, hipodensitas ganglia basalis, dan hipodensitas
insula serebri makin jelas. Distribusi pembuluh darah yang tersumbat makin jelas pada
fase ini.
3. Infark Subakut dan Kronis
Selama subakut (1-7 hari), edema meluas & didapatkan efek massa yang
menyebabkan pergeseran jaringan infark ke lateral dan vertikal. Hal ini terjadi pada
infark yang melibatkan pembuluh darah besar. Infark kronis ditandai dengan
hipodensitas dan berkurangnya efek massa. Densitas infark = cairan serebrospinal
(Gambar 6).
18
c. Ultrasonografi Doppler karotis
Diperlukan untuk menyingkirkan stenosis karotis yang simtomatis serta lebih
dari 70 % merupakan indikasi untuk enerterektomi karotis.
d. Angiografi otak
Angiografi otak adalah penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam citra
sinar-X kedalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X kemudian dapat
memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di kepala dan leher. Angiografi otak
menghasilkan gambar paling akurat mengenai arteri dan vena dan digunakan
untuk mencari penyempitan atau perubahan patologis lain, misalnya aneurisma.
e. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal kadang dilakukan jika diagnosa stroke belum jelas. Sebagai
contoh, tindakan ini dapat dilakukan untuk menyingkirkan infeksi susunan saraf
pusat serta cara ini juga dilakukan untuk mendiagnosa perdarahan subaraknoid.
f. EKG
EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau
penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke.
Diagnosis stroke seperti juga diagnosis lain di bidang ilmu penyakit syaraf mencakup
diagnosis klinis, topis, dan etiologis.
a. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis stroke dapat ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
neurologis dimana didapatkan gejal-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan
penyakitnya dan gejala serta tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pembuluh
darah otak tertentu. Pendarahan otak dilayani oleh 2 sistem, yaitu sistem karotis dan
sistem vertebrobasiler, sehingga lesi pada daerah tersebut akan menimbulkan
diagnosis klinis yang berbeda-beda sesuai lesi.
b. Diagnosis topis
Diagnosa topis dapat ditetapkan dari gejala-gejala yang timbul, dimana gejala
klinik tersebut dapat dibedakan berdasarkan letak lesinya, yaitu kortikal, subkortikal
(kapsula interna, ganglia basalis, talamus), dan batang otak. Bila topis di kortikal,
19
akan terjadi gejala klinik : afasia, gangguan sensoris kortikal (position, point
localization, graphesthesia, stereognosis), muka dan lengan lebih lumpuh (a.serebri
media) atau tungkai lebih lumpuh (a.serebri anterior), eye deviation (melihat topis di
kortikal) dan hemiparesis yang disertai kejang.
Topis di subkortikal akan menimbulkan tanda : muka, lengan, dan tungkai sama
berat lumpuhnya (khas untuk lesi di kapsula interna), dystonic posture (tampak pada
lesi di ganglia basalis), gangguan sensoris nyeri dan raba pada muka, lengan dan
tungkai (tampak pada lesi di talamus).
Bila topis di batang otak didapatkan gambaran klinis berupa hemiplegi
alternans, tanda-tanda serebelar, nistagmus, gangguan pendengaran, gangguan
sensoris, gangguan nyeri, suhu, dan kornea wajah ipsilateral dan gangguan nyeri,
suhu pada kontralatera, disartria, gerakan mata abnormal dan deviasi lidah.
Bila topis di medula spinalis akan timbul : muka biasanya tidak tampak
kelainan, brown sequd syndrome, gangguan sensoris dan keringat sesuai tinggi lesi,
gangguan miksi dan defekasi.
c. Diagnosis etiologis
Diagnosis etiologis stroke dibedakan menjadi stroke perdarah dan stroke infark.
Kedua hal ini secara garis besar dibedakan pada gejalanya seprti terlihat pada tabel
di bawah ini:
20
koma
Ateroma 0 x3
1
Tekanan 90 x 0,1
diastolik
Konstanta -12
Jumlah
SSS = (2,5 x kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (3 x ateroma)
+ (0,1 x tekanan darah diastolik) – 12
Keterangan :
Jika nilai >1 : Perdarahan otak
<-1 : Infark otak
-1 (SSS) : Diagnosis meragukan ( gunakan kurva/CT scan)
21
Sistem skore Algoritma stroke Gajah mada
2.3.7 PENATALAKSANAAN
Target managemen pada infark akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan
pemeriksaan laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba.10
22
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten
memerlukan intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
maka pemberian induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi.
b. Circulation
Pasien dengan infark akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan jantung.
Pasien ini berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan biomarker
jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis
yang kurang baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan
normoglokemik tidak boleh diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam
jumlah besar karena dapat menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral
eksaserbasi. Pengontrolan gula darah harus dilakukan secara ketat dengan pemberian
insulin. Target gula darah yang harus dicapai adalah 90-140 mg/dl.
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika
pasien dalam pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus
stroke. Oleh karena itu, pasien stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan
sekitar 30-45 derajat.
e. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan
TIK, pembuluh darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya
bergantung pada maen arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk
mempertahankan aliran darah otak.
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non
hemoragik adalah sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan
23
terapi trombolitik, tekanan darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah
diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa adanya gangguan organ end-diastolic maka
tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya intervensi) dan gejala stroke serta
komplikasinya harus ditangani.11
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140
mmHg maka pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika
tidak ada kontraindikasi. Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga
mencapai dosis maksiamal 300 mg. Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5
mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan dengan
menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga mencapai dosis maksimal 15 mg/jam.
Pilihan terakhir dapat diberikan nitroprusside 0,5 mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump.
Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah berkurang 10-15 persen.
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185
mmHg, dan diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan
dan pengontrolan tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak
terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah
labetolol (10-20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat
yang dapat digunakan adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis
maksimal 15 mg/jam.
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus
diperiksa setiap 15 menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam
berikutnya, dan setiap jam selama 16 jam terakhir.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena
hipertermia (utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma
neuronal iskemik. Sebuah penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak
ringan dapat berfungsi sebagai neuroprotektor.13
24
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan
mencapai puncak keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan
pemberian manitol rutin digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan
cepat.14
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset.
Meskipun profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang
dengan menggunakan preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena
akan mengubah plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu
menghidrolisa fibrin, fibrinogen dan protein pembekuan lainnya. Pada penelitian NINDS
(National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di Amerika Serikat, rt-PA
diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9 mg/kg
(maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya
diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak
mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan
intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.15
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study
(ECASS) pada 620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan
secara IV dalam waktu tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya
perbaikan fungsi neurologik tapi secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan
kurang menguntungkan. Tetapi pada penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien
menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah
onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal atau cacat dengan pemberian rt-PA
25
dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA belum mendapat ijin
untuk digunakan di Eropa.15
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk
mengatakan bahwa terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab
resikonya sangat besar sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk
terapi tersebut masih kurang jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman
dari streptokinase. Sedang penelitian dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe
Study Group (MAST-E) dengan menggunakan streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu
satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata meningkatkan mortalitas. Sehingga
penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut tidak dianjurkan.
b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam.
Suatu fakta yang jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah
terjadi, baik apakah stroke itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan
hemiplegia. Keadaan yang memerlukan penggunaan heparin adalah trombosis arteri
basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral akibat kardioemboli. Pada keadaan
yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan intraserebral karena pemberian
heparin tersebut.15
1. Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro
plasma: 44 jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose),
diikuti setelah 48 jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan:
hemoragi, terutama ren dan gastrointestinal.
2. Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada
mast cells. Cepat bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan
darah. Heparin mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase.
Dimetabolisir di hati, ekskresi lewat urin. Waktu paruh plasma: 50-150 menit. Diberikan
26
tiap 4-6 jam atau infus kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial
50 mg diikuti infus 250 mg dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis
disesuaikan dengan Whole Blood Clotting Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level
terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi yang merugikan: hemoragi,
alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan antikoagulan oral.
Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal. Akan tetapi
kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk
menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg
heparin (100 unit).
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit,
berkurangnya fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit peningkatan kadar fibrinogen dan
agregasi abnormal eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah.
Pentoxyfilline merupakan obat yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki
mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit,
menghambat aggregasi trombosit dan menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan
demikian eritrosit akan mengurangi viskositas darah. Pentoxyfilline diberikan dalam
dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela waktu 12 jam sesudah onset.
27
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum
terus, kecuali bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam
sesudah diminum. Cepat diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam
salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif. Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro
(half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara konjugasi (dengan glucuronic acid dan
glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85 persen dari obat yang diberikan
dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang merugikan: nyeri epigastrik,
muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom Reye.
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah
kemungkinan terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini memungkinkan
platelet untuk menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi
asam arakhidonat intraplatelet (lipid – oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak
dipengaruhi oleh dosis rendah aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2
terjadi dengan dosis rendah aspirin.
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada
yang memakai 150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi
platelet. Sayang ada yang mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.
28
e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik
dan sel-sel glia di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu
akibat oklusi dan reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang
potensial untuk reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah
dievaluasi pada binatang percobaan maupun pada manusia.
f. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien
semakin buruk akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka
pemindahan dari jaringan yang mengalami infark harus dilakukan.
1. Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang
mengalami stenosis.
2. Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta
pemasangan sten metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri
masih dalam penelitian.
29
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny.H
Umur : 53 Tahun
Alamat : jl. Prof M. Yamin, Bangkinang
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Tanggal di rawat : 16 Agustus 2017
B. ANAMNESIS :autoanamnesis
I. Keluhan Utama:
Lemah Anggota gerak sebelah kiri
II. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang melalui IGD dengan keluhan lemah anggota gerak sebelah kiri
sejak pagi dini hari setelah sholat subuh. Lemah dirasakan pada kaki dan tangan
kiri namun masih bisa digerarakkan, tangan kiri masih bisa diangkat namun tidak
bisa menggenggam. Nyeri kepala (+) nyeri tengkuk (+), mual dan muntah di
sangkal, batuk (+).
III. Riwayat Penyakit Dahulu:
- Pasien belum pernah mengalami hal ini sebelumnya
- Pasien mempunyai riwayat hiperkolestrolemia sejak lebih kurang 5 tahun
yang lalu
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat diabetes militus disangkal
30
IV. Riwayat Penyakit Keluarga:
- Di keluarga pasien tidak ada yang mengeluhkan hal serupa
C. PEMERIKSAAN FISIK
I. Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Komposmentis
GCS : E4M5V6
Tinggi badan : 155 cm
Berat badan : 53 kg
Tanda Vital
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi nadi : 86 x/menit, reguler.
- Frekuensi Pernafasan : 14 x/menit
- Suhu : 37 oC
Rambut : sedikit putih, tidak mudah dicabut
Kelenjar Getah Bening
- Leher : Tidak ada pembesaran
- Aksila : Tidak ada pembesaran
- Inguinal : Tidak ada pembesaran
Kepala
Mata : Sklera ikterik -/-, konjungtiva anemis -/-, refleks pupil+/+
Hidung : Sekret (-), deviasi septum (-).
Mulut : Bibir kering (-).
Telinga : kelainan kongenital (-), keluar cairan dari telinga (-)
31
Leher : spasme otot-otot leher (-), spasme otot bahu (-), nyeri (-)
Thoraks
a. Paru-paru
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, bentuk dada normal.
Palpasi : Gerak dinding dada simetris, vocal fremitus (+/+)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi :Ictus cordis teraba di linea midclavicularissinistra.
Perkusi :
- Batas jantung kanan: SIC IV linea parasternalis dekstra.
- Batas jantung kiri : SIC V 1 jari lateral linea midclavicula sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I & II reguler, gallop (-), Murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Bentuk perut datar, distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Supel, nyeri tekan (+), tidak ada pembesaran hepar dan lien
Perkusi : Timpani.
Korpus Vertebra
inspeksi : tidak tampak kelainan
palpasi : tidak teraba kelainan
32
II. Status Neurologis
A. Tanda Rangsang Selaput Otak:
Kaku Kuduk : Negatif
Brudzinski I : Negatif
Brudzinski II : Negatif
Kernig Sign : Negatif
Lasegue sign : Negatif
33
Gerakan bulbus Normal Normal
Strabismus Tidak ada Tidak ada
Nistagmus Tidak ada Tidak ada
Ekso/Endophtalmus Tidak ada Tidak ada
Pupil :
Bentuk Normal Normal
Refleks cahaya Positif Positif
Rrefleks akomodasi Normal Normal
N. IV (N. Trochlearis)
Kanan Kiri
Gerakan mata ke bawah Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak ada Tidak ada
N. V (N. Trigeminus)
Kanan Kiri
Motorik :
Membuka mulut Normal Sedikit terbatas
Menggerakkan rahang Normal Sedikit terbatas
Menggigit Normal Normal
Sensorik :
Divisi Optalmika
Refleks kornea Normal Normal
34
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Divisi Maksila
Refleks masseter Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Divisi Mandibula
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
35
N. VI (N. Abduscen)
Kanan Kiri
Gerakan mata lateral Normal Normal
Sikap bulbus Normal Normal
Diplopia Tidak dinilai Tidak dinilai
36
Pendular Tidak ada Tidak ada
Vertikal Tidak ada Tidak ada
Siklikal Tidak ada Tidak ada
Hiperakusis Tidak ada tidak ada
N. IX (N. Glossopharingeus)
Kanan Kiri
Sensasi lidah 1/3 belakang Normal Normal
Refleks muntah/Gag reflek Normal Normal
N. X (N. Vagus)
Kanan Kiri
Arkus faring Normal Normal
Uvula Normal Normal
Menelan Normal Normal
Artikulasi Sulit dinilai Sulit dinilai
Suara Sulit dinilai Sulit dinilai
Nadi 86 x/menit 86 x/menit
N. XI (N. Assesorius)
Kanan Kiri
Menoleh ke kanan Normal Normal
Menoleh ke kiri Normal Normal
Mengangkat bahu ke kanan Normal Normal
Mengangkat bahu ke kiri Normal Normal
37
N. XII (N. Hipoglossus)
Kanan Kiri
Kedudukan lidah di dalam Normal Normal
Kedudukan lidah dijulurkan Normal Normal
Tremor Tidak ada Tidak ada
Fasikulasi Tidak ada Tidak ada
Atrofi Tidak ada Tidak ada
38
Trofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi Normotrofi
Tonus Normotonus Hipotonus Normotonus Hipotonus
E. Pemeriksaan Sensibilitas
Sensibilitas taktil Sulit dinilai
Sensibilitas nyeri Sulit di nilai
Sensibilitas termis Tidak dinilai
Sensibilitas kortikal Tidak dinilai
Stereognosis Tidak dinilai
Pengenalan 2 titik Tidak dilakukan
Pengenalan rabaan Tidak dilakukan
F. Sistem Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Kornea Normal Normal
Berbangkis Tidak dinilai Tidak dinilai
Laring Normal Normal
Masseter Normal Normal
Dinding perut
Atas Normal Normal
Bawah Normal Normal
Tengah Normal Normal
Biseps Sulit dinilai Sulit dinilai
Triseps Sulit dinilai Sulit dinilai
APR Sulit dinilai Sulit dinilai
KPR Sulit dinilai Sulit dinilai
Bulbokavernosus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Kremaster Tidak dilakukan
Sfingter Tidak dilakukan
39
Schaeffer Negatif Negatif
Klonus kaki Negatif Negatif
3. Fungsi Otonom
- Miksi : Normal
- Defekasi : Normal
- Sekresi keringat : Normal
4. Fungsi Luhur
Kesadaran Tanda Demensia
Reaksi bicara Sulit dinilai Reflek glabella Tidak ada
Fungsi intelek Sulit dinilai Reflek snout Tidak ada
Reaksi emosi Sulit dinilai Reflek menghisap Tidak ada
Reflek memegang Tidak ada
Refleks palmomental Tidak ada
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Rencana pemeriksaan tambahan :
Laboratorium
- Hb : 11,5 gr%
- Leukosit : 5000/mm3
- Trombosit : 219.000 103/mm3
- Hematokrit: 36%
- Ureum : 17 mg/dl
- Kreatinin : 1,0 mg/dl
- SGOT : 18 U/L
- SGPT : 15U/L
- GDS :101 Mg/dl
- Kolestrol total : 248 mg/dl
E. MASALAH
Diagnosis
Diagnosis Klinis : hemiparesis sinistra
40
Diagnosis Topik : cortex
Diagnosis Etiologi : infark serebri
Diagnosis Banding : Strok Hemoragik
F. PEMECAHAN MASALAH
Terapi
- Inj citicolin 2x500 mg
- Clopidogrel 1x 75 mg
Non-medikamentosa
Tidak ada
Edukasi
Diet rendah lemak
PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo Ad Sanationam : Dubia ad bonam
Follow up
Hari/tanggal S O A P
Kamis/17/8/2017 nyeri tengkuk, nyeri TD : 140/100 Infark clopridogrel 1x1
kepala, tangan kiri mmhg serebri lansoprazole 1x1
lemah dan susah simvastatin 1x1
menggenggam sucralvat syr 3x1
41
citicoline 2x1
omeprazole 1x1
ketorolac 2x1
Jumat/18/8/2017 nyeri tengkuk, nyeri TD : 130/80 infark clopridogrel 1x1
kepala mulai mmhg cerebri lansoprazole 1x1
berkurang, tangan kiri simvastatin 1x1
lemah dan susah sucralvat syr 3x1
menggenggam, batuk citicoline 2x1
omeprazole 1x1
ketorolac 2x1
Sabtu/ 19/8/2017 nyeri tengkuk dan TD : 130/70 infark clopridogrel 1x1
nyeri kepala sudah mmhg cerebri lansoprazole 1x1
berkurang , tangan kiri simvastatin 1x1
masih lemah dan sucralvat syr 3x1
susah menggenggam, citicoline 2x1
batuk omeprazole 1x1
ketorolac 2x1
BAB III
PEMBAHASAN KASUS
42
A. ANAMNESIS
1. Gejala klinis
Pada pasien terdapat keluhan pusing, disertai kepala terasa kaku sampai
leher. Pusing merupakan salah satu gejala dari stroke. Selain itu, didapatkan
pasien mengalami kelemahan pada tangan dan kaki sebelah kiri. Hal ini
menunjukkan adanya defisit neurologis berupa kelemahan pada ekstremitas
superior dan inferior sinistra (hemiparesis sinistra). Defisit neurologis yang
terjadi pada stroke disebabkan oleh adanya gangguan pembuluh darah otak
yang terganggu, kerusakan pada area otak sisi dextra akan memberikan
deficit motoric pada sisi kontralateral (sinistra).
2. Faktor resiko
Hiperkolestrolemia merupakan salah satu factor resiko terjadinya strok
iskemik akibat kadar HDL yang rendah dan LDL yang tinggi dapat
menyebabkan terjadinya plak aterom yang dapat menyebabkan infark.
B. PEMERIKSAAN FISIK
- Keadaan umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran compos
mentis, hal ini dibuktikan dengan GCS E4V5M6, dimana mata pasien
dapat membuka spontan, verbal baik pasien dapat menjawab dengan
kalimat dan tidak didapatkan adanya orientasi, dan motorik baik karena
pasien dapat mengikuti perintah saat dilakukan pemeriksaan.
- Pemeriksaan neurologis:
Pemeriksaan rangsang meningeal dan kaku kuduk yang negatif dapat membantu
menyingkirkan kemungkinan ICH terutama bila ICH sampai mengisi ventrikel. Dari
pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan otot ekstermitas inferior dan superior sinistra
lebih lemah, kemungkinan terdapat lesi pada hemisfer otak dextra.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum dilakukannya CT-scan dapat
dilakukan penegakkan diagnosis berdasarkan sistem skoring:
Siriraj skor
Skor Stroke Siriraj
43
Rumus :
(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x nyeri kepala) + (2 x muntah) + (0,1 x
tekanan diastolik) – (3 x penanda ateroma) – 12
Keterangan :
Derajat 0 = kompos mentis; 1 = somnolen;
kesadaran 2 = sopor/koma
44
diharapkan mencegah kerusakan sel saraf lebih lanjut sekaligus mengembalikan fungsi
sel saraf yang mengalami iskemik. Pemberian lansoprazole sebagai antagonis H2
bertujuan untuk mencegah terjadinya stress ulcer.
Prognosis ad vitam pada kasus ini ad bonam, hal ini dipengaruhi oleh keadaan
pasien pada saat datang yang masih dalam keadaan umum yang baik. Untuk prognosis
ad fungsionam dubia ad bonam dikarenakan sangat tergantung dari ketelatenan pasien
dalam menjalani fisioterapi. Kecenderungan bonam dipengaruhi oleh luas lesi yang tidak
terlalu besar sehingga pengembalian fungsi diharapkan dapat kembali mendekati
semula. Prognosis sanationam dubia ad malam dikarenakan pada pasien sudah memiliki
riwayat stroke sebelumnya dan adanya faktor resiko beberapa penyakit sistemik seperti
hipertensi, jantung dan diabetes mellitus.
BAB V
KESIMPULAN
Stroke adalah sindroma klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi otak secara
fokal maupun global yang dapat menimbulkan kematian atau kecacatan yang menetap
45
lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali gangguan vaskular (WHO 1983). Stroke
pada prinsipnya terjadi secara tiba-tiba karena gangguan pembuluh darah otak
(perdarahan atau iskemik), bila karena trauma maka tak dimasukkan dalam kategori
stroke, tapi bila gangguan pembuluh darah otak disebabkan karena hipertensi, maka
dapat disebut stroke.
Diagnosis stroke didapatkan berdasarkan anamnesis dan dari gejala stroke yang
muncul, pemeriksaan fisik yang didapatkan adanya deficit neurologis dan pemeriksaan
penunjang. CT scan kepala merupakan gold standar yang dilakukan untuk membedakan
stroke terjadi karena iskemik atau perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Alfa, A.Y. 2011. Buku Ajar Neurologi Klinis. Harsono (editor). Perhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Yogyakarta: Indonesia
2. D. Adams. Victor’s. Cerebrovasculer diseases in Principles of Neurology 8th Edition.
McGraw-Hill Proffesional. 2005. Hal: 660-67
46
3. Ganong, W. F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22. Brahm U(Alih
Bahasa). EGC. Jakarta
11. Hassmann KA. Stroke, Ischemic. [Online]. Cited 2010 May 1st available from:
http://emedicine.medscape.com/article/793904-overview
12. Kumar, V., Abbas, A.K., dan Fauston, N. 2010. Robbins & Cotran Dasar Patologis
Penyakit. Edisi 7. Brahm U (Alih Bahasa). Kumar Vinay, Abdul K, Abbas, Fausto
Nelson (Editor). EGC. Jakarta
13. Lumbantobing S.M. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit UI. 2008.
14. Mardjono, Mahar. Mekanisme gangguan vaskuler susunan saraf dalam Neurologi
klinis dasar edisi Kesebelas. Dian Rakyat. 2006. Hal: 270-93.
15. Nafrialdi. 2012. Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia : Antihipertensi.
Edisi 5. Badan Penerbit FKUI. Jakarta
16. Ngoerah, I Gst. Ng. Gd. Penyakit peredaran darah otak dalam Dasar-dasar ilmu
penyakit saraf. Penerbit Airlangga University Press. Hal: 245-58.
17. Suhardjono. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia : Hipertensi Pada
Usia Lanjut. Edisi 5. Jilid 1. Interna Publishing. Diponegoro: Indonesia
18. World Health Organization.. 2014. The Global Of Cerebrovascular Disease
19. Yuniadi, Y. 2010. Intervensi Pada Stroke Non-Hemoragik, Jurnal Kardiologi
Indonesia. Vol; 31, 153-5
47