Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Tuberkulosis pada bayi dan anak disebut juga

tuberkulosis primer dan merupakan penyakit sistemik.

Tuberkulosis primer biasanya mulai secara perlahan-lahan

sehingga sukar ditentukan saat timbulnya gejala pertama

(Ngastiyah, 2005).

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular kronis

yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.

Sampai saat ini TB merupakan masalah kesehatan masyarakat

yang penting. Estimasi incidence rate pada tahun 2003, TB

di Indonesia berdasarkan pemeriksaan sputum BTA (+)

adalah 128 per 100.000 penduduk. Sedangkan untuk tahun

yang sama, estimasi TB semua kasus (prevalence rate)

adalah 675 per 100.000 penduduk.

Di Indonesia setiap tahun ada 1, 3 juta anak berumur

kurang dari 15 tahun terinfeksi kuman TB dan setiap tahun

ada 450.000 kematian anak akibat penyakit ini . Menurut

Samallo dalam FKUI, usia anak merupakan usia yang sangat

rawan terhadap penularan penyakit TB terutama

tuberkulosis (TB) paru. Sebesar 74, 23% dari seluruh

kasus tuberkulosis terdapat pada golongan anak, dimana

angka penularan dan bahaya penularan yang tinggi terdapat

1
2

pada golongan umur 0-6 tahun dan golongan umur 7-14

tahun.

Penyakit TB paru merupakan penyakit infeksi menular

yang banyak didapatkan di negara yang sedang berkembang

seperti Indonesia dan biasanya terjadi pada anak maupun

orang dewasa. Penyakit TB paru diperkirakan telah

menginfeksi sepertiga dari penduduk dunia dengan kejadian

sekitar 95 % terjadi pada Negara-negara berkembang

(Aditama, dkk, 2007). Indonesia diperkirakan terdapat

500.000 kasus baru TB paru dan sekitar 175.000

diantaranya meninggal dunia (Permatasari, 2005).

Penyakit TB paru sampai saat ini masih menjadi

masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan

hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995,

penyakit TB paru merupakan penyebab kematian nomor tiga

setelah penyakit kardiovaskuler, dan penyakit saluran

pernafasan pada semua kelompok usia dan nomor satu dari

golongan penyakit infeksi (Aditama, dkk, 2007). Program

pengobatan TB paru dengan metode Directly Observe

Treatment Shortcourse (DOTS) sudah dilakukan sejak tahun

1955 untuk menanggulangi masalah TB paru, namun sampai

sekarang belum mendapatkan hasil yang memuaskan

(Permatasari, 2005). Ketidakberhasilan ini didukung oleh

adanya penularan TB Paru dari pasien TB Paru BTA Positif

(Depkes RI, 2002).


3

Indonesia merupakan negara ketiga di dunia dalam

urutan jumlah penderita TB paru setelah India dan Cina

dengan persentase 10% dari total penderita TB paru di

dunia. Laporan WHO tahun 2006 dinyatakan bahwa kejadian

kasus TB paru BTA Positif di Indonesia diperkirakan 105

kasus baru per 100.000 penduduk (240.000 kasus baru

setiap tahun) dengan prevalensi 578.000 kasus (untuk

semua kasus). TB paru merupakan pembunuh nomor satu

diantara penyakit menular dan merupakan peringkat tiga

dalam daftar sepuluh penyakit pembunuh tertinggi di

Indonesia yang menyebabkan sebesar 88.000 kematian setiap

tahunnya (Kemas, 2009). Dinegara-negara berkembang

kematian penderita penyakit TB paru merupakan 25% dari

seluruh kematian, yang sebenarnya dapat dicegah. Laporan

WHO pada tahun 2010, mencatat peringkat Indonesia menurun

ke posisi lima dengan jumlah penderita TB paru sebesar

429 ribu orang. Lima negara dengan jumlah terbesar pada

tahun 2010 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria

dan Indonesia (Kompas, 2011).

Sehubungan dengan hal itu maka komponen program

pemberantasan Tuberkulosis Paru Nasional terdiri dari :

Pemberian vaksinasi BCG pada anak 0 – 4 tahun, penemuan

kasus secara pasif dan aktif, pengobatan dan pengawasan

penderita, penyuluhan kesehatan, rujukan, meningkatkan

peran serta masyarakat dan pemantauan serta evaluasi

program dan penelitian (Depkes RI, 2002).


4

Faktor risiko yang dapat menimbulkan penyakit

tuberkulosis terutama pada anak-anak adalah factor

genetik, malnutrisi, kemiskinan dan imunisasi yang

tidak lengkap. Faktor risiko utama yang dapat

menimbulkan penyakit TB paru pada anak adalah kontak

dengan penderita TB dewasa. Anak-anak yang sakit TB tidak

dapat menularkan kuman TB ke anak lain atau ke orang

dewasa. Sebab, pada anak biasanya TB bersifat tertutup .

Kasus TB paru anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru

pada tahun 2009.

Pemberian vaksin BCG pada anak usia 0-4 tahun

bertujuan untuk memberikan kekebalan pada anak terhadap

penyakit Tuberkulosis Paru. Namun, Efek atau daya tahan

yang ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG bersifat tidak

absolut, ini bisa dilihat dari laporan peneliti-peneliti

yang menyatakan bahwa daya tahan yang ditimbulkan oleh

pemberian BCG berkisar 0-80%, begitu juga dengan lamanya

efek vaksin BCG dapat melindungi anak sampai saat ini

belum bisa dipastikan berapa tahun (Depkes RI, 2005)

Dari hasil survey penelitian, didapatkan bahwa jumlah

anak usia 0 – 4 tahun di wilayah Kerja Puskesmas Lingsar

Kabupaten Lombok Barat yaitu sebanyak 117 orang, dari

keterangan yang didapat melalui wawancara terhadap salah

satu petugas puskesmas, dikatakan bahwa ada 15 orang anak

teridentifikasi mengalami gejala Tuberkulosis Paru, rata


5

– rata dari 15 orang anak tersebut belum mendapatkan

imunisasi BCG.

Berdasarkan data dan uraian di atas, maka peneliti

tertarik untuk meneliti hubungan riwayat imunisasi BCG

dengan terjadinya Tuberkulosis Paru pada anak di wilayah

Kerja Puskesmas Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut: ”Bagaimanakah

hubungan riwayat imunisasi BCG dengan kejadian

Tuberkulosis Paru pada anak usia 0 – 4 tahun di wilayah

Kerja Puskesmas Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui hubungan riwayat imunisasi BCG

dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada anak usia 0 –

4 tahun.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini sebagai

berikut :

a. Mengidentifikasi pasien yang menderita

Tuberkulosis Paru positif dan Tuberkulosis Paru

negatif pada anak usia 0 - 4 tahun

b. Mengidentifikasi kejadian Tuberkulosis Paru


6

pada anak yang sudah diberikan imunisasi BCG

maupun yang tidak pernah diberikan imunisasi BCG

c. Menganalisis hubungan riwayat imunisasi BCG

dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada anak di

wilayah Kerja Puskesmas Lingsar Kabupaten Lombok

Barat

D. Manfaat Penelitian

1. Teoritis (STIKES Mataram)

Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat

diketahui adanya hubungan antara pemberian imunisasi

BCG dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada anak dan

sebagai wacana bagi penelitian selanjutnya untuk

meneliti sejauh mana efektivitas dari pemberian

imunisasi BCG itu sendiri sehingga dapat dijadikan

salah satu literatur mahasiswa dalam menambah ilmu

dan wawasan

2. Bagi Puskesmas yang ada di wilayah penelitian

Sebagai masukan bagi instansi tempat penelitian

untuk lebih meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

dalam hal penanggulangan dan pencegahan penularan

penyakit Tuberkulosis Paru khususnya pada anak-anak.

3. Bagi Masyarakat

Memberi informasi baru pada individu, keluarga

dan masyarakat serta pihak-pihak yang terkait lainnya

tentang penularan penyakit Tuberkulosis Paru pada


7

anak dan hal-hal yang harus dilakukan sebagai langkah

pencegahan terhadap penyakit Tuberkulosis Paru

khususnya pada anak-anak.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Rachmawati

pada tahun 2008 dengan judul hubungan riwayat imunisasi,

riwayat kontak dan status gizi dengan kejadian

Tuberkulosis Paru pada anak di wilayah kerja Puskesmas

Ciawi Tasikmalaya. Hasil penelitian menerangkan bahwa

terdapat hubungan antara riwayat imunisasi, riwayat

kontak dan status gizi dengan kejadian Tuberkulosis Paru

pada anak. Peneliti mencoba untuk melakukan penelitian

dengan mengambil hanya satu variable yaitu imunisasi BCG

yaitu dengan judul “Hubungan riwayat imunisasi BCG

dengan kejadian Tuberkulosis Paru pada anak di wilayah

Kerja Puskesmas Lingsar Kabupaten Lombok Barat”.

Perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan

penelitian sekarang adalah pada subjek penelitian yang

digunakan yaitu anak umur 3 bulan sampai 5 tahun

sedangkan pada penelitian ini mengambil subjek

penelitian anak umur 0 - 4 tahun. Hanya desain

penelitian yang sama yaitu untuk analisis univariat

dengan menggunakan analisis prosentase dan analisis

bivariat dengan uji Chi Square (α = 0, 05).


8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Imunisasi

1. Pengertian

Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi

dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar

tubuh bayi membuat zat anti untuk mencegah terhadap

penyakit tertentu (Aziz, 2008). Imunisasi adalah

memberi vaksin ke dalam tubuh berupa bibit penyakit

yang dilemahkan yang menyebabkan tubuh memproduksi

antibodi tetapi tidak menimbulkan penyakit bahkan anak

menjadi kebal (Profil Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah,2003). Menurut Suririnah (2007) yang dikutip

Hanum (2010), imunisasi adalah suatu prosedur rutin

yang akan menjaga kesehatan anak. Kebanyakan dari

imunisasi ini adalah untuk memberi perlindungan

menyeluruh terhadap penyakit- penyakit yang berbahaya

dan sering terjadi pada tahun-tahun awal kehidupan

seorang anak.

2. Tujuan
a. Tujuan Umum
9

Menurut Kepmenkes (2005) yang dikutip Atikah

(2010), menurunkan angka kesakitan dan angka

kematian bayi akibat PD3I. Penyakit yang

dimaksud anatra lain Difteri, Tetanus, Pertusis,


8
Campak, Polio dan TBC.

b. Tujuan Khusus
a) Tercapainya target Universal Child

Immunization (UCI) yaitu cakupan imunisasi

lengkap minumal 80% secara merata di 100% desa

kelurahan pada tahun 2010


b) Polio liar di Indonesia yang dibuktikan

tidak ditemukannya virus polio liar pada tahun

2008
c) Tercapainya Eliminasi Tetanus Neonatorum

(ETN) artinya menurunkan kasus tetanus neonatorum

sampai yingkat 1 per 1000 kelahiran hidup dalam

tsatu tahun pada tahun 2008


d) Tercapainya Reduksi Campak (RECAM) artinya

angka kesakitan campak pada tahun 2010.


3. Manfaat Menurut Atikah (2010) :
a. Bagi Anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit

dan kemungkinan cacat atau kematian.


b. Bagi Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan

bila anak sakit. Mendorong pembentukkan keluarga

apabila orang tua yakin bahwa anaknya akan

menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.

c. Bagi Negara
10

Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa

yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan

negara.
4. Jenis Kekebalan
a. Kekebalan Aktif
Adalah pemberian kuman atau racun yang sudah

dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk

merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri

(Hanum, 2010). Contohnya adalah imunisasi polio dan

campak. Imunisasi aktif biasanya dapat bertahan

untuk beberapa tahun dan sering sampai seumur

hidup. Kekebalan aktif dibagi dua yaitu :


a) Kekebalan aktif alami ( naturally acquired

immunity), dimana tubuh anak membuat kekebalan

sendiri setelah sembuh dari suatu penyakit.

Misalnya anak yang telah menderita campak setelah

sembuh tidak akan terserang lagi karena tubuhnya

telah membuat zat penolak terhadap penyakit

tersebut.
b) Kekebalan aktif buatan (artificially

induced active immunity) yaitu kekebalan yang

diperoleh setelah orang mendapatkan vaksinasi

(Hanum, 2010). Misalnya anak diberi vaksin BCG,

DPT, Campak dan lainnya

b. Kekebalan Pasif
Adalah suatu proses peningkatan kekebalan tubuh

dengan cara pemberian zat imunoglobin, yaitu zat

yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang

dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang


11

di dapat bayi dari ibu melalui plasenta) atau

binatang (bisa ular) yang digunakan untuk mengatasi

mikroba yang sudah masuk dalam tubuh yang

terinfeksi (Atikah, 2010). Imunisasi pasif dibagi

menjadi dua :
a) Kekebalan pasif alami atau kekebalan pasif

bawaan yaitu kekebalan yang diperoleh bayi sejak

lahir dari ibunya. Kekebalan ini tidak

berlangsung lama (± hanya sekitar 5 bulan setelah

bayi lahir).
b) Kekebalan pasif buatan yaitu kekebalan yang

diperolah setelah mendapat suntikan zat penolak

misalnya pemberian suntikan ATS.


5. Syarat Pemberian Imunisasi
Paling utama adalah anak yang akan mendapat imunisasi

harus dalam kondisi sehat. Sebab pada prinsipnya

imunisasi itu merupakan pemberian virus dengan

memasukkan virus, bakteri, atau bagian dari bakteri ke

dalam tubuh dan kemudian menimbulkan antibodi (Hanum,

2010) Imunisasi tidak boleh diberikan hanya pada

kondisi tertentu misalnya anak mengalami kelainan atau

penurunan daya tahan tubuh misalkan gizi buruk atau

penyakit HIV/AIDS.
6. Macam-macam Imunisasi Dasar Wajib
Ada 5 jenis imunisasi dasar menurut Hasuki Irfan

(2007) dikutip Atikah (2010), yang diwajibkan oleh

pemerintah. Imunisasi dasar atau PPI (Program

Pengembangan Imunisasi) antara lain :


a. Imunisasi BCG (Bacille Calmette Guerin)
a) Tujuan
12

Imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis

(TBC) pada anak (Atikah, 2010).


b) Kriteria Penyakit
Tuberculosis adalah penyakit yang disebabkan oleh

myobacterium tuberculosis. Penyebarannya melalui

pernafasan lewat bersin atau batuk. Gejala awal

penyakit ini adalah lemah badan, penurunan berat

badan, demam dan keluar keringat pada malam hari.

Gejala selanjutnya adalah batuk terus menerus,

nyeri pada dada dan mungkin batuk darah. Gejala

lain tergantung organ yang diserang. Tuberculosis

dapat menyebabkan kelemahan dan kematian.

Seseorang yang terinfeksi myobacterium

tuberculosis tidak selalu menjadi sakit

tubercolusis aktif. Beberapa minggu (2-12 minggu)

setelah terinfeksi terjadi respon imunitas

selular yang dapat ditunjukkan dengan uji

tuberkulin (Ranuh, 2008).


c) Vaksin
Vaksin TBC mengandung kuman bacillus calmette

guerin yang dibuat dari bibit penyakit atau virus

hidup yang sudah dilemahkan.


d) Waktu pemberian
BCG diberikan pada umur < 3 bulan.
e) Cara Dan Dosis Pemberian
Pemberian imunisasi ini dilakukan secara Intra

Cutan(IC) di lengan kanan atau paha kanan atas

dengan dosi 0,1 ml untuk anak diatas 1 tahun,

pada bayi baru lahir 0,05 ml.


13

f) Kontraindikasi
1) Reaksi uji tuberkulin > 5mm
2) Menderita infeksi HIV
3) Menderita gizi buruk
4) Menderita demam tinggi
5) Menderita infeksi kulit yang luas
6) Pernah sakit tubercolusis
7) Leukimia
g) Efek Samping
1) Reaksi local
Dalam 1-2 minggu setelah penyuntikan, pada

tempat penyuntikkan timbul kemerahan dan

benjolan kecil yang teraba keras. Kemudian

benjolan ini berubah menjadi pustule

(gelembung berisi nanah), lalu pecah dan

menbentuk luka terbuka (ulkus). Luka ini

akhirnya sembuh secara spontan dalam waktu 8-

12 minggu dengan meningkatkan jaringan parut.


2) Reaksi regional
Pembesaran kelenjar getah bening ketiak atau

leher tanpa disertai nyeri tekan maupun demam

yang akan menghilang dalam waktu 3-6 bulan.


h) Komplikasi yang mungkin timbul adalah

Pembentukkan abses (penimbunan nanah) di tempat

penyuntikan karena penyuntikan yang terlalu

dalam. Abses ini akan menghilang secara spontan

untuk mempercepat penyembuahan, bila abses telah

matang, sebaiknya dilakukan aspirasi (pengisapan

abses dengan jarum) dan bukan disayat.

B. Penyakit Tuberkulosis Paru pada Anak

1. Pengertian Tuberkulosis Paru Anak


14

Tuberkulosis paru merupakan penyakit infeksi pada

paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

yaitu suatu bakteri tahan asam (Suriadi dkk, 2001).

Penyakit tuberkulosis pada bayi dan anak disebut

penyakit tuberkulosis primer dan merupakan suatu

penyakit sistemik. Tuberkulosis primer biasanya mulai

secara perlahan-lahan sehingga sukar ditentukan saat

timbulnya gejala pertama (Ngastiyah, 2005).

2. Agen Penyebab

Kuman penyebab dari Tuberkulosis Paru adalah

Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut panjangnya

1 – 4 µ lebarnya antara 0, 3 – 0, 6 µ. Kuman akan

tumbuh optimal pada suhu sekitar 37°C dengan tingkat

pH optimal pada 4, 6 – 7, 0. Untuk membelah diri satu

menjadi dua (generation time) kuman ini membutuhkan

waktu 14 – 20 jam (Aditama, 1999).

Kuman ini berbentuk batang mempunyai sifat khusus

yaitu tahan asam dan pewarnaan. Oleh karena itu kuman

ini disebut Basil Tahan Asam (BTA). Kuman Tuberkulosis

cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi

dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan

lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant


7
(tidur lama) selama beberapa tahun (Depkes RI, 2002).

3. Patogenesis dan Patologi

Masuknya basil tuberkulosis dalam tubuh tidak

selalu menimbulkan penyakit. Terjadinya infeksi


15

dipengaruhi oleh virulensi dan banyaknya basil

tuberkulosis serta daya tahan tubuh manusia

(Ngastiyah, 2005).

Basil tuberkulosis masuk ke dalam paru melalui

udara dan dengan masuknya basil tuberkulosis maka

terjadi eksudasi dan konsolidasi yang terbatas dan

disebut fokus primer. Basil tuberkulosis akan menyebar

dengan cepat melalui saluran getah bening menuju

kelenjar regional yang kemudian akan mengadakan reaksi

eksudasi. Fokus primer, limfangitis dan kelenjar getah

bening regional yang membesar, membentuk kompleks

primer. Komplek primer terjadi 2 – 10 minggu setelah

infeksi. Bersamaan dengan terbentuknya kompleks primer

terjadi hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein

yang dapat diketahui dari uji tuberkulin. Waktu antara

terjadinya infeksi sampai terbentuknya kompleks primer

disebut masa inkubasi (Ngastiyah, 2002).

4. Penularan Tuberkulosis Paru

Sumber penularan adalah penderita Tuberkulosis

Paru BTA positif. Pada waktu bersin atau batuk,

penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk

droplet (percikan dahak), droplet tersebut terhirup ke

dalam saluran pernafasan.

Kuman Tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari

paru-paru ke bagian tubuh lainnya melalui sistem

peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas


16

atau penyebaran langsung ke bagian tubuh lainnya.

Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,

maka makin menular penderita tersebut, dan bila hasil

pemeriksaan negatif maka penderita tersebut dianggap

tidak menular (Depkes RI, 2002).

Kerentanan akan Tuberkulosis Paru pada anak

disebabkan karena daya tahan tubuh yang rendah oleh

karena gizi buruk, terlalu lelah, kedinginan dan cara

hidup yang tidak teratur. Karena itulah penyakit

Tuberkulosis Paru lebih banyak terdapat pada golongan

masyarakat dimana keadaan sosial ekonominya rendah,

kurangnya pengetahuan tentang cara-cara hidup sehat

(Entjang, 1991).

Penyebaran Tuberkulosis Paru melalui kontak

keluarga BTA positif memberi peluang lebih besar

terhadap peningkatan insiden Tuberkulosis Paru. Dalam

pedoman penanggulangan nasional tuberkulosis

diterangkan bahwa penyebaran Tuberkulosis Paru menjadi

1 : 10 orang, artinya satu orang penderita

Tuberkulosis Paru dapat menularkan minimal ke sepuluh

orang (Depkes RI, 2002).

Seorang penderita dengan BTA positif seringkali

akan menularkan ke anggota keluarganya sendiri,

khususnya anak-anak. Maka sangatlah penting untuk

memeriksakan semua orang dewasa di dalam rumah

keluarga untuk mengetahui sumber penularan (Crofton,


17

2002).

5. Gambaran Klinik

Sekarang digunakan klasifikasi yang membagi

tuberkulosis mejadi 2 stadium :

a. Tuberkulosis primer, yang merupakan kompleks

primer dan komplikasinya

b. Tuberkulosis pasca primer

Gejala tuberkulosis primer dapat berupa demam

yang naik turun selama 1 – 2 minggu dengan atau

tanpa batuk pilek. Gambaran klinik tuberkulosis

primer ialah demam, batuk, anoreksia dan berat

badan menurun atau sulit naik. Kadang dijumpai

demam yang menyerupai tifus abdominalis atau

malaria yang disertai atau tanpa

hepatosplenomegali. Karena itu bila menjumpai

keadaan demikian harus ada pemikiran ke arah

tuberkulosis sebagai penyebab demam tersebut.

Walaupun menurut gambaran klinik penyakit

tuberkulosis pada anak dapat dijumpai berbagai

kelainan sesuai organ tubuh yang terkena, tetapi

pada anak umumnya jika menjumpai anak dengan demam

naik turun dan lama, dengan atau tanpa batuk pilek,

anoreksia, berat badan sukar naik atau bahkan

menurun maka perlu dipikirkan kemungkinan anak

menderita tuberkulosis. Pasien memerlukan

pemeriksaan lebih lanjut (Ngastiyah, 2005).


18

6. Diagnosis Tuberkulosis Paru

Cara diagnosis paling tepat untuk menentukan

Tuberkulosis Paru pada anak adalah dengan ditemukannya

Basil Tuberkulosis pada bahan yang diambil dari

penderita misalnya dahak, bilasan lambung, biopsi dan

lain-lain. Tetapi pada anak hal tersebut sulit dan

jarang didapat, sehingga sebagian besar diagnosis

Tuberkulosis Paru pada anak didasarkan atas gambaran

klinis, gambaran foto rontgen dada dan uji tuberkulin

(Depkes RI, 2002).

a. Uji Tuberculin (Mantoux)

Pemeriksaan ini merupakan alat diagnosis yang

penting dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji

tuberkulin penting artinya pada anak kecil jika

diketahui adanya konversi dari negatif. Pada anak

usia 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses

tuberkulosis biasanya masih aktif meskipun tidak

menunjukkan kelainan klinis dan radiologi, juga bila

terdapat konversi uji tuberkulin. Uji tuberkulin

dilakukan berdasarkan timbulnya hipersensitivitas

terhadap tuberkuloprotein karena adanya infeksi.

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara mantoux

(penyuntikan intracutan) dengan semprit tuberculin 1

cc jarum no. 26. Tuberkulin yang dipakai adalah

tuberkulin PPD (Purifield Protein Derivate) kekuatan

2 TU (Tuberkulin Unit). Pembacaan dilakukan 48–72


19

jam setelah penyuntikan. Diukur diameter transversal

dari indurasi yang terjadi. Ukuran dinyatakan dalam

milimeter. Uji tuberkulin positif bila indurasi > 10

mm pada gizi baik, atau > 5 mm pada gizi buruk. Bila

uji tuberkulin positif, menunjukkan adanya infeksi

Tuberkulosis Paru pada anak. Jika uji tuberkulin

meragukan dilakukan uji ulang.

b. Reaksi cepat BCG

Bila dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat

(3 – 7 hari) berupa kemerahan dan indurasi > 5 mm,

maka anak tersebut dicurigai telah terinfeksi

Mycobacterium tuberculosis.

c. Foto Rontgen Dada

Gambaran rontgen Tuberkulosis Paru pada anak

tidak khas dan interpretasi foto biasanya sulit,

harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau

underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan

infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau

kelenjar pratrakeal. Foto rontgen dada sebaiknya

dilakukan posterior – anterior dan lateral, tetapi

kalau tidak mungkin Posteri-Anterior saja.

d. Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada

anak biasanya dilakukan dari bilasan lambung karena

dahak sulit didapatkan pada anak. Pemeriksaan BTA

secara biakan (kultur) memerlukan waktu yang lama.


20

e. Respon terhadap pengobatan dengan OAT (Obat Anti

Tuberkulosis)

Jika dalam dua bulan menggunakan OAT terdapat

perbaikan klinis, akan menunjang atau memperkuat

diagnosis TB Paru.

7. Klasifikasi dan Tipe Penderita Tuberkulosis Paru

a. Klasifikasi Tuberkulosis

1) Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang

menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura

(selaput paru)

2) Tuberkulosis Paru BTA Positif

Tuberkulosis Paru BTA positif dengan ciri-ciri :

 Dari hasil pemeriksaan 2 dari 3 spesimen

dahak SPS (Sewaktu Pagi Sewaktu) hasilnya BTA

positif

 1 (satu) spesimen dahak SPS (Sewaktu Pagi

Sewaktu) hasilnya BTA positif dan foto

rontgen dada menunjukkan gambaran

tuberkulosis aktif

3) Tuberkulosis Paru BTA Negatif

Dikategorikan tuberkulosis paru negatif jika

dari hasil pemeriksaan 3 (tiga) spesimen dahak

SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada


21

menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.

4) Tuberkulosis Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis

yang menyerang organ tubuh selain paru, misalnya

pleura, selaput otak, selaput jantung

(pericardium), alat kelamin, dan lain-lain.

8. Tipe Penderita Tuberkulosis

Tipe penderita tuberkulosis paru ditentukan

berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada

beberapa tipe penderita tuberkulosis yaitu :

a. Kasus Baru

Adalah penderita yang belum pernah diobati oleh OAT

atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu

bulan (30 dosis harian).

b. Kambuh (Relaps)

Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya

pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah

dinyatakan sembuh, kemudian kembali berobat dengan

hasil pemeriksaan BTA positif

c. Pindahan (Transfer in)

Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di

suatu kabupaten dan berpindah berobat di kabupaten

lain.

d. Setelah lalai (pengobatan setelah default/drop

out)
22

Adalah penderita yang telah berobat paling kurang

satu bulan dan berhenti 2 bulan atau lebih.

9. Pengobatan dan Pencegahan Tuberkulosis Paru pada

Anak

Prinsip dasar pengobatan Tuberkulosis Paru pada

anak tidak berbeda dengan pengobatan pada orang

dewasa, tetapi ada beberapa hal yang memerlukan

perhatian yaitu pemberian obat baik pada tahap

intensif maupun tahap lanjutan diberikan setiap hari,

dosis obat disesuaikan dengan berat badan anak (Depkes

RI, 2002).

Semua anak yang tinggal serumah atau kontak erat

dengan penderita Tuberkulosis Paru BTA positif

berisiko lebih besar untuk terinfeksi. Pada semua

anak, terutama Balita yang tinggal serumah dengan

penderita Tuberkulosis Paru BTA positif perlu

dilakukan pemeriksaan :

a. Bila anak mempunyai gejala-gejala Tuberkulosis

Paru, harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

sesuai dengan alur deteksi dini Tuberkulosis anak

b. Bila anak Balita tidak mempunyai gejala-gejala

Tuberkulosis Paru, harus diberikan pengobatan

pencegahan dengan Isoniasid (INH) dengan dosis 5 mg

per kg berat badan per hari selama 6 bulan. Bila

anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG,

perlu diberikan imunisasi BCG setelah pengobatan


23

pencegahan dengan INH selesai.

10. Penanggulangan Tuberkulosis Paru

Sejak tahun 1993, telah diperkirakan dan

dikembangkan strategi global pemberantasan

Tuberkulosis. Strategi ini telah terbukti cukup

efektif dalam menyembuhkan penderita Tuberkulosis di

beberapa negara berkembang lainnya, termasuk

Indonesia. Dua eleven pokok dari strategi baru yang

menjamin kesembuhan hádala panduan obat efektif dan

konsep DOTS, yang mulai digunakan di Indonesia sejak

tahun 1995 (Depkes RI, 2002).

Paduan hasil penelitian di berbagai Rumah sakit

dan Puskesmas di DKI Jakarta memperlihatkan bahwa

strategi baru dapat mencapai angka kesembuhan di atas

90%. DOTS sendiri di implementasikan dengan adanya

komitmen politik dari penentu kebijakan, dilakukannya

diagnosis dengan mikroskopik, digunakannya obat paduan

jangka pendek yang ampuh dan diberikan dengan

pengawasan PMO (Pengawas Minum Obat), jaminan

ketersediaan obat serta pencatatan dan pelaporan yang

baik. Sejak tahun 1999 mulailah dicanangkan Gerakan

Terpadu Nasional (GERDUNAS) Tuberkulosis, suatu

gerakan yang melibatkan multi sektor dan multi

componen dalam masyarakat yang terkait dalam

penanggulangan Tuberkulosis Paru (GERDUNAS TB, 2000).

11. Cara-cara Penanggulangan Faktor Risiko


24

Tuberkulosis Paru

Adapun cara-cara penanggulangan faktor risiko

Tuberkulosis Paru dapat dilakukan dengan berbagai

cara, tetapi dibatasi pada dua cara saja yaitu :

a. Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short

Course)

b. Strategi pemberian obat anti tuberculosis

12. Tujuan Pemberantasan Tuberkulosis Paru

a. Tujuan jangka panjang adalah menurunkan angka

kesakitan dan kematian oleh penyakit Tuberkulosis

Paru dengan cara memutuskan rantai penularan,

sehingga penyakit Tuberkulosis tidak lagi merupakan

masalah kesehatan masyarakat Indonesia.

b. Tujuan jangka pendek adalah :

1) Tercapainya angka kesembuhan minimal 85%

dari semua penderita baru yang ditemukan

2) Tercapainya cakupan penemuan penderita

secara bertahap sehingga pada tahun 2005 dapat

mencapai 70% dari perkiraan semua penderita

baru.

Alur Deteksi Dini dan Rujukan Tuberkulosis Paru pada

Anak :

Hal-hal yang mencurigakan tuberkulosis paru :


1. Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan
25

penderita tuberkulosis yang BTA positif


2. Tes tuberkulin yang positif (> 10 mm)
3. Gambaran foto rontgen sugestif tuberkulosis
4. Terdapat reaksi kemerahan lebih cepat (dalam 3-7 hari)
setelah imunisasi dengan BCG
5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
6. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang
jelas
7. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau tidak
naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan
gizi yang baik
8. Gejala-gejala klinis spesifik (pada kelenjar limfe,
otak, tulang dan lain-lain)

Bila ≥ 3 positif

Dianggap tuberkulosis

Beri OAT

Observasi 2 Bulan

Membaik Memburuk/tetap

Tuberkulosis Bukan tuberkulosis Tuberkulosis


kebal obat OAT

Diteruskan Rujuk ke Rumah Sakit

Gambar 2.1 Skema Alur Deteksi Dini dan Rujukan Tuberkulosis


Paru pada Anak

Menurut Dahlan (1997), diagnosis pasti

tuberkulosis dapat ditegakkan dengan penemuan

Mycobacterium tuberkulosis terutama dari biakan bahan

sputum dan jaringan, sedangkan gambaran klinik dan


26

radiologik tidak dapat dijadikan pegangan, tetapi

mengingat kesulitan sarana laboratorium di Indonesia

untuk pemeriksaan sediaan apus/mikroskopis dan biakan

BTA, serta kenyataan bahwa hanya 30% -70% saja dari

seluruh kasus tuberkulosis paru yang dapat didiagnosis

secara bakteriologik maka keharusan ditemukannya

sputum BTA positif untuk membuat diagnosis akan

menyebabkan banyaknya penyakit tuberkulosis paru yang

tidak terdiagnosis.

13. Panduan OAT di Indonesia (Depkes, 2002)

WHO dan IUATLD (International Union Againts

Tuberculosis and Lung Disease) merekomendasikan

panduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) stándar yaitu :

a. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H),

Rifampicin, Pirazinamid (Z) dan Etambutol (E).

Obat-obat tersebut diberikan setiap hari selama dua

bulan (HRZE). Kemudian diteruskan dengan tahap

lanjutan yang terdiri dari Isoniazid (H) dan

Rifampicin, diberikan tiga kali dalam seminggu

selama empat bulan (4H3R3). Obat ini diberikan

untuk :

1) Penderita tuberkulosis paru BTA positif

2) Penderita tuberkulosis paru BTA negatif

rontgen positif yang sakit berat


27

3) Penderita tuberkulosis ekstra paru berat

b. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Tahap intensif diberikan selama tiga bulan,

yang terdiri dari dua bulan dengan Isoniazid (H),

Rifampicin, Pirazinamid (Z), Etambutol (E) dan

suntikan streptomisin setiap hari di UPK (Unit

Pelayanan Kesehatan). Dilanjutkan dengan satu bulan

Isoniazid (H), Rifampicin, Pirazinamid (Z), dan

Etambutol (E) setiap hari, setelah itu dilanjutkan

dengan tahap lanjutan selama lima bulan dengan HRE

yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Perlu

diperhatikan bahwa suntikan streptomisin diberikan

setelah penderita selesai menelan obat. Obat ini

diberikan untuk :

1) Penderita kambuh

2) Penderita gagal

3) Penderita dengan pengobatan setelah lalai

c. Kategori-3 (2HRZ/4H3R3)

Tahap intensif terdiri dari Isoniazid,

Rifampicin, Pirazinamid diberikan setiap hari

selama dua bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap

lanjutan terdiri dari Isoniazide, Rifampicin,

selama empat bulan diberikan dalam tiga kali

seminggu (4H3R3). Obat ini diberikan untuk :

1) Penderita baru sputum BTA negatif dan

rontgen positif sakit ringan


28

2) Penderita ekstra paru ringan, yaitu

tuberkulosis kelenjar limfe (limfadenitis),

pleuritis eksudativa unilateral, tuberkulosis

kulit, tuberkulosis tulang (kecuali tuberkulosis

tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

d. OAT sisipan (HRZE)

Bila pada akir tahap intensif dan pengobatan

dengan kategori 1 atau kategori 2, hasil

pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat

sisipan yaitu Isoniazide, Rifampicin, Etambutol

(HRZE) setiap hari selama satu bulan.

C. Tinjauan Teoritis tentang Imunisasi BCG

1. Pengertian Imunisasi BCG

Suatu usaha memberikan kekebalan (imun) kepada

bayi/anak dengan cara penyuntikan BCG (Bacillus

Colmette Guerine) sehingga dapat mencegah bayi/anak

terinfeksi TBC. Vaksin adalah suatu produk biologis

yang terbuat dari kuman, komponen kuman (bakteri,

virus, atau riketsia), atau racun kuman yang telah

dilemahkan atau dimatikan (toxoid) dan akan

menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap

penyakit.

Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif

terhadap penyakit Tuberkulosis. Vaksin Tuberkulosis

yang dikenal dengan nama BCG ini terbuat dari kuman


29

Mycobacterium Tuberculosis strain Bacillus Calmette-

Guerin. Vaksin ini dikembangkan pada tahun 1950 dari

bakteri Mycobacterium Tuberculosis yang hidup (live

vaccine), karenanya bisa berkembangbiak di dalam tubuh

dan diharapkan mengindus antibodi seumur hidup. Karena

itu, vaksinasi BCG hanya diperlukan sekali seumur

hidup (Puslit Biotekhnologi-LIPI, 2009).

Menurut Peneliti Puslit Bioteknologi-LIPI (2009)

karena Indonesia adalah negara yang besar dengan

jumlah penduduk yang banyak, vaksinasi BCG dan terapi

perlu dilaksanakan karena dengan melakukan vaksinasi

ini jumlah kasus dugaan akan berkurang sehingga

memudahkan untuk mendeteksi pasien Tuberkulosis.

Imunisasi BCG kecil dampaknya untuk mengurangi

jumlah orang dewasa yang infeksius di dalam

masyarakat. BCG memberikan 80% perlindungan terhadap

Tuberkulosis Paru tetapi lamanya efek vaksin BCG dapat

melindungi anak sampai saat ini belum bisa dipastikan

berapa tahun (Depkes RI, 2005).

a. Tekhnik Pemberian dan Dosis

Vaksin BCG yang digunakan sekarang ini

menggunakan kemasan ampul, beku kering dengan dosis

per ampul adalah 20 dosis. Sebelum disuntikkan pada

bayi vaksin harus dilarutkan terlebih dahulu dengan

pelarut khusus vaksin BCG sebanyak 4 ml.

Penyuntikan dilakukan secara intrakutan di daerah


30

lengan kanan atas (insertio musculuc deltoideus)

sebanyak 0, 05 ml sebanyak satu kali pada bayi 0 –

11 bulan, pemberian dilakukan dengan menggunakan

ADS 0, 05 ml dan akan menimbulkan jaringan parut

atau sikatrik pada lokasi suntikan yang akan

digunakan sebagai tanda bahwa suntikan vaksin BCG

berhasil dan proses kekebalan tubuh telah muncul.

Efek atau daya tahan yang ditimbulkan oleh

pemberian vaksin BCG bersifat relatif tidak

absolut, ini bisa dilihat dari laporan peneliti-

peneliti yang menyatakan bahwa daya tahan yang

ditimbulkan oleh pemberian vaksin BCG berkisar dari

0% - 80%. Begitu juga dengan lamanya efek vaksin

BCG dapat melindungi anak sampai saat ini belum

bisa dipastikan berapa tahun (FK Unilam, 2001).

b. Kontraindikasi Imunisasi BCG

Adanya penyakit kulit yang berat/menahun

seperti eksim, turungkolosis dan sebagainya serta

mereka yang sedang menderita Tuberkulosis aktif

adalah merupakan kontraindikasi pemberian imunisasi

BCG.

c. Efek samping

Imunisasi BCG tidak memberikan reaksi yang

bersifat umum seperti demam 1 – 2 minggu kemudian

akan timbul indurasi dan kemerahan di tempat

suntikan yang berubah menjadi pustula, kemudian


31

pecah menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan,

akan sembuh secara spontan dan meninggalkan tanda

parut. Kadang-kadang terjadi pembesaran kelenjar

regional di ketiak atau leher, terasa padat, tidak

sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini

normal, tidak memerlukan pengobatan dan akan

menghilang dengan sendirinya.

d. Imunisasi BCG sebagai alat Diagnostik

BCG dapat dipakai sebagai alat pembantu

diagnostik. Bila terjadi reaksi lokal yang cepat

dengan diameter 8 mm atau lebih dalam 2 minggu

pertama, apabila terjadi dalam 48 jam, atau 5 mm

pada anak malnutrisi harus dicurigai adanya infeksi

dengan tuberculosis. Vaksinasi BCG pada anak yang

sakit tuberculosis menimbulkan reaksi yang lebih

cepat dan lebih hebat, papel timbul dalam 14 – 48

jam, pustula dalam 5 – 7 hari dan krusta pada hari

10 – 12. Reaksi yang cepat ini juga terdapat pada

penderita-penderita dengan malnutrisi. Maka BCG

dapat dipakai sebagai test (BCG test) yang dapat

disamakan dengan test mantoux. Kerugian BCG test

adalah tidak dapat dilakukan pada mereka yang sudah

dapat BCG dan tidak dapat diulangi bila penderita

tidak datang kontrol dan lalu test mantoux tidak

dapat dipakai lagi pada penderita ini. BCG test 3

kali lebih sensitiv dari pada mantoux untuk anak


32

yang menderita tuberculosis primer dan pada anak

dengan tuberculosis yang disertai kurang gizi (FK

Unilam, 2001).

D. Konsep Anak

a. Pengertian Anak

Anak merupakan individu yang berada dalam satu

rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi

hingga remaja. Masa anak merupakan masa pertumbuhan dan

perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia

bermain/oddler (1-2,5 tahun), pra sekolah (2,5-5), usia

sekolah (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun).

Rentang ini berada antara anak satu dengan yang

lain mengingat latar belakang anak berbeda. Pada anak

terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan

yaitu rentang cepat dan lambat. Dalam proses

perkembangan anak memiliki ciri fisik, kognitif, konsep

diri, pola koping dan perilaku sosial. Ciri fisik

adalah semua anak tidak mungkin pertumbuhan fisik yang

sama akan tetapi mempunyai perbedaan dan

pertumbuhannya.

Demikian juga halnya perkembangan kognitif juga

mengalami perkembangan yang tidak sama. Adakalanya anak

dengan perkembangan kognitif yang cepat dan juga

adakalanya perkembangan kognitif yang lambat. Hal

tersebut juga dapat dipengaruhi oleh latar belakang


33

anak. Perkembangan konsep diri ini sudah ada sejak

bayi, akan tetapi belum terbentuk secara sempurna dan

akan mengalami perkembangan seiring dengan pertambahan

usia pada anak.

Demikian juga pola koping yang dimiliki anak hamper

sama dengan konsep diri yang dimiliki anak. Bahwa pola

koping pada anak juga sudah terbentuk mulai bayi, hal

ini dapat kita lihat pada saat bayi anak menangis.Salah

satu pola koping yang dimiliki anak adalah menangis

seperti bagaimana anak lapar, tidak sesuai dengan

keinginannya, dan lain sebagainya. Kemudian perilaku

sosial pada anak juga mengalami perkembangan yang

terbentuk mulai bayi.

Pada masa bayi perilaku social pada anak sudah

dapat dilihat seperti bagaimana anak mau diajak orang

lain, dengan orang banyak dengan menunjukkan keceriaan.

Hal tersebut sudah mulai menunjukkan terbentuknya

perilaku social yang seiring dengan perkembangan usia.

Perubahan perilaku social juga dapat berubah sesuai

dengan lingkungan yang ada, seperti bagaimana anak

sudah mau bermain dengan kelompoknya yaitu anak-anak

(Azis, 2005).

Anak adalah individu yang rentan karena

perkembangan kompleks yang terjadi di setiap tahap masa

kanak- kanak dan masa remaja. Lebih jauh, anak juga

secara fisiologis lebih rentan dibandingkan orang


34

dewasa, dan memiliki pengalaman yang terbatas, yang

memengaruhi pemahaman dan persepsi mereka mengenai

dunia. Awitan penyakit bagi mereka seringkali mendadak,

dan penurunan dapat berlangsung dengan cepat.

Faktor kontribusinya adalah sistem pernapasan dan

kardiovaskular yang belum matang, yang memiliki

cadangan lebih sedikit dibandingkan orang dewasa, serta

memiliki tingkat metabolisme yang lebih cepat, yang

memerlukan curah jantung lebih tinggi, pertukaran gas

yang lebih besar dan asupan cairan serta asupan kalori

yang lebih tinggi per kilogram berat badan dibandingkan

orang dewasa.

Kerentanan terhadap ketidakseimbangan cairan pada

anak adalah akibat jumlah dan distribusi cairan tubuh.

Tubuh anak terdiri dari 70-75% cairan, dibandingkan

dengan 57-60% cairan pada orang dewasa. Pada anak-anak,

sebagian besar cairan ini berada di kompartemen cairan

ekstrasel dan oleh karena itu cairan ini lebih dapat

diakses. Oleh karena itu kehilangan cairan yang relatif

sedang dapat mengurangi volume darah, menyebabkan syok,

asidosis dan kematian (Slepin, 2006).

b. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

Aspek tumbuh kembang pada anak dewasa ini adalah

salah satu aspek yang diperhatikan secara serius oleh

para pakar, karena hal tersebut merupakan aspek yang


35

menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik

secara fisik maupun psikososial.

Namun, sebagian orang tua belum memahami hal ini,

terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan

dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka

menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak

tidak mengalami masalah kesehatan termasuk pertumbuhan

dan perkembangannya. Sering kali para orang tua

mempunyai pemahaman bahwa pertumbuhan dan perkembangan

mempunyai pengertian yang sama ( Nursalam, 2005).

c. Pertumbuhan

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan

struktur tubuh dalam arti sebagian atau seluruhnya

karena adanya multiflikasi sel-sel tubuh dan juga

karena bertambah besarnya sel. Adanya multiflikasi dan

pertambahan ukuran sel berarti ada pertambahan secara

kuantitatif dan hal tersebut terjadi sejak terjadinya

konsepsi, yaitu bertemunya sel telur dan sperma hingga

dewasa (IDAI, 2000).

Jadi, pertumbuhan lebih ditekankan pada

bertambahnya ukuran fisik seseorang, yaitu menjadi

lebih besar atau lebih matang bentuknya, seperti

bertambahnya ukuran berat badan, tinggi badan dan

lingkar kepala. Pertumbuhan pada masa anak-anak

mengalami perbedaan yang bervariasisesuai dengan


36

bertambahnya usia anak. Secara umum, pertumbuhan fisik

dimulai dari arah kepala ke kaki.

Kematangan pertumbuhan tubuh pada bagian kepala

berlangsung lebih dahulu, kemudian secara berangsur-

angsur diikuti oleh tubuh bagian bawah. Pada masa fetal

pertumbuhan kepala lebih cepat dibandingkan dengan masa

setelah lahir, yaitu merupakan 50 % dari total panjang

badan. Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan

bertambah secara teratur. Pada usia dua tahun, besar

kepala kurang dari seperempat panjang badan

keseluruhan, sedangkan ukuran ekstremitas bawah lebih

dari seperempatnya.

d. Perkembangan

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan

struktur fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola

yang teratur, dapat diperkirakan, dan diramalkan

sebagai hasil dari proses diferensiasi sel, jaringan

tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang terorganisasi

(IDAI, 2000).

Dengan demikian, aspek perkembangan ini bersifat

kualitatif, yaitu pertambahan kematangan fungsi dari

masing-masing bagian tubuh. Hal ini diawali dengan

berfungsinya jantung untuk memompakan darah, kemampuan

untuk bernafas, sampai kemampuan anak untuk tengkurap,


37

duduk, berjalan, memungut benda-benda di sekelilingnya

serta kematangan emosi dan sosial anak.

e. Prinsip-prinsip Keperawatan Anak

Terdapat prinsip atau dasar dalam keperawatan anak

yang dijadikan sebagai pedoman dalam memahami filosofi

keperawatan anak. Perawat harus memahaminya, mengingat

ada beberapa prinsip yang berbeda dalam penerapan

asuhan. Di antara prinsip dalam asuhan keperawatan anak

tersebut adalah:

a) Pertama, anak bukan miniature orang dewasa tetapi

sebagai individu yang unik. Prinsip dan pandangan

ini mengandung arti bahwa tidak boleh memandang anak

dari ukuran fisik saja sebagaimana orang dewasa

melainkan anak sebagai individu yang unik yang

mempunyai pola pertumbuhan dan perkembangan menuju

proses kematangan. Pola-pola inilah yang harus

dijadikan ukuran, bukan hanya bentuk fisiknya saja

tetapi kemampuan dan kematangannya.

b) Kedua, anak adalah sebagai individu yang unik dan

mempunyai kebutuhan sesuai dengan tahap

perkembangan. Sebagai individu yang unik anak

memiliki berbagai kebutuhan yang berbeda satu dengan

yang lain sesuai dengan usia tumbuh kembang.

Kebutuhan tersebut dapat meliputi kebutuhan

fisiologis seperti kebutuhan nutrisi dan cairan,

aktivitas, eliminasi, istirahat, tidur, dan lain-


38

lain. Selain kebutuhan fisiologis tersebut, anak

juga sebagai individu yang juga membutuhkan

kebutuhan psikologis, sosial, dan spiritual. Hal

tersebut dapat terlihat pada tahap usia tumbuh

kembang anak. Pada saat yang bersamaan perlu

memandang tingkat kebutuhan khusus yang dialami oleh

anak.

c) Ketiga, pelayanan keperawatan anak berorientasi

pada upaya pencegahan penyakit dan peningkatan

derajat kesehatan, bukan hanya mengobati anak yang

sakit. Upaya pencegahan penyakit dan peningkatan

derajat kesehatan bertujuan untuk menurunkan angka

kesakitan dan kematian pada anak, mengingat anak

adalah generasi penerus bangsa.

d) Keempat, keperawatan anak merupakan disiplin ilmu

kesehatan yang berfokus pada kesejahteraan anak

sehingga perawat bertanggung jawab secara

komprehensif dalam memberikan asuhan keperawatan

anak.

e) Kelima, praktik keperawatan anak mencakup kontrak

dengan anak dan keluarga untuk mencegah, mengkaji,

mengintervensi, dan meningkatkan kesejahteraan

hidup, dengan menggunakan proses keperawatan yang

sesuai dengan aspek moral (etik) dan aspek hukum

(legal).
39

f) Keenam, tujuan keperawatan anak dan remaja adalah

untuk meningkatkan maturasi atau kematangan yang

sehat bagi anak dan remaja sebagai mahluk

biopsikososial dan spiritual dalam konteks keluarga

dan masyarakat. Ketujuh, pada masa yang akan datang

kecenderungan keperawatan anak berfokus pada ilmu

tumbuh kembang sebab ilmu tumbuh kembang ini yang

akan mempelajari aspek kehidupan anak (Azis, 2005).

E. KERANGKA KONSEP

Variabel Pengaruh

 Jumlah kuman
 Virulensi
 Pencahayaan
 Ventilasi
 Kepadatan
Lingkungan
 Tingkat sosial
ekonomi
Input Proses
Kuman Mycobacterium
Pemberian Imunisasi BCG Tuberculosis
pada anak menginfeksi tubuh
anak
 Rokok
Variabel Pengaruh
dan alkohol
 Pekerjaan
Output
 Ras
 HIV/AIDS Kejadian TB Paru pada anak
 Pengolahan limbah
laboratorium
 Perjalanan alamiah
TB Paru yang tidak
diobati
40

TB Paru
positif
Keterangan :
: diteliti
: tidak diteliti
Gmbar 3.1 Kerangka Konseptual Hubungan Riwayat Imunisasi
BCG dengan Kejadian TB Paru pada Anak

F. Hipotesa Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap

rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah

penelitian telah menyatakan dalam bentuk kalimat

pertanyaan (Sugiono,2010). Hipotesis dalam penelitian ini

adalah:

Ho :Tidak ada hubungan riwayat imunisasi BCG dengan

kejadian Tuberkulosis Paru pada anak usia 0 – 4

tahun di wilayah kerja Puskesmas Lingsar

Ha :Ada hubungan riwayat imunisasi BCG dengan kejadian

Tuberkulosis Paru pada anak usia 0 – 4 tahun di

wilayah kerja Puskesmas Lingsar


41

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah anak-anak yang datang

berkunjung ke Puskesmas Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

B. Populasi dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas obyek/subyek yang mempunyai kuantitas

dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya (Sugyono, 2001).


42

Populasi kasus dalam penelitian ini adalah

seluruh anak yang datang berkunjung ke Puskesmas

Lingsar Kabupaten Lombok Barat.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut

(Sugyono, 2001).

Sampel pada penelitian ini adalah anak yang

datang berkunjung ke Puskesmas Lingsar Kabupaten

Lombok Barat yang sesuai dengan kriteria sampel.

3. Besar Sampel

Pada penelitian ini besar sampel yang digunakan

adalah sampel minimal yang diperoleh oleh peneliti

pada saat melakukan penelitian.


42

4. Tekhnik Sampling

Teknik sampling adalah teknik yang dipergunakan

menggambil sampel dari populasi (Arikunto, 2002)

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan metode Non Probability Sampling dengan

teknik Accidental Sampling yaitu pengambilan sampel

atau responden yang kebetulan ada atau tersedia

(Notoatmodjo, 2005).

Adapun kriteria dalam pengambilan sampel ini

adalah :

a. Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik subyek


43

penelitian dari suatu populasi target terjangkau

yang akan diteliti (Nursalam & Pariani, 2001).

Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini

sebagai berikut :

1) Bersedia menandatangi surat persetujuan

menjadi responden yang diwakilkan oleh orang

tua/wali

2) Anak usia 0 - 4 tahun yang datang

berkunjung ke Puskesmas Lingsar Kabupaten

Lombok Barat

b. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau

mengeluarkan subyek yang memenuhi kriteria

eksklusi dari studi karena berbagai sebab

(Nursalam, 2003). Adapun kriteria eksklusi dalam

penelitian ini adalah :

1) Tidak bersedia diteliti

2) Keadaan umum anak buruk

3) Umur lebih dari 15 tahun

4) Anak yang berada di luar wilayah penelitian

C. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini akan menggunakan rancangan

Retrospektif dengan analitik case control yaitu peneliti

akan melihat kasus-kasus penyakit atau status kesehatan

yang dilihat pada masa sekarang penelitian yang mencoba


44

menggali bagaimana fenomena kesehatan itu terjadi, akan

tetapi faktor resikonya diidentifikasi terjadinya atau

dilihat ke arah masa lalu (Pratiknya, 2001; Notoatmodjo,

2002; Budiarto, 2004).

D. Tekhnik Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Sebelum pengambilan data, responden yang sudah

memenuhi syarat inklusi akan diberikan informed

concent yang diwakili oleh orang tua/wali anak

terlebih dahulu, apakah bersedia atau tidak menjadi

subyek penelitian. Responden memberi tanda tangan

persetujuan sebagai sampel dalam penelitian.

Responden yang telah ditentukan di observasi dan

wawancara dengan keluarga untuk mengetahui riwayat

imunisasi BCG. Setalah data terkumpul kemudian

dilakukan tabulasi data.

2. Instrumen Penelitian

Pengumpulan data pada penelitian ini melalui

observasi dan wawancara. Instrumen yang digunakan

adalah kuesioner dengan pertanyaan tertutup.

Untuk riwayat imunisasi BCG dibagi dalam 2

kategori yaitu ada riwayat imunisasi BCG dengan skor 2

dan tidak ada riwayat imunisasi BCG dengan skor 1.

Sedangkan pada kejadian TB Paru pada anak terdiri dari


45

TB Paru pada anak dengan skor 1, bukan penderita TB

Paru dengan skor 2.

E. Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi

Operasional

1. Identifikasi Variabel

Variabel bebas (variabel independen) dalam

penelitian ini adalah riwayat imunisasi BCG,

sedangkan variabel terikat (variabel dependen) adalah

kejadian Tuberkulosis Paru pada anak.

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Parameter Skala Skor


Operasional Data
1. Variabel Pernah atau Diukur dari Nomina Penilaian
Independen tidak pernah pernah atau l 1. Pernah
46

Riwayat mendapatkan tidaknya anak imunisasi


Imunisasi imunisasi BCG mendapatkan BCG skor 2
BCG imunisasi BCG 2. Tidak
yang diketahui pernah
dari hasil imunisasi
wawancara dan BCG skor 1
pengamatan
langsung pada
anak dengan
melihat
sikatrik pada
lengan kanan
2. Dependen Anak usia 0 - Anak yang Nomina 1. TB Paru
variabel 4 tahun yang terdiagnosis l positif skor
Kejadian menderita Tuberkulosis 1
Tuberkulosis Tuberkulosis Paru 2. TB Paru
Paru pada Paru negatif skor
anak 2
F. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Puskesmas Lingsar Kabupaten

Lombok Barat.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Agustus

2013.

G. Analisa Data

Dalam rangka menguji hipotesa digunakan analisa

statistik korelasi untuk mengetahui bermakna/tidaknya

hubungan antara variabel bebas yaitu riwayat imunisasi

BCG dengan variabel terikat yaitu kejadian Tuberkulosis


47

Paru pada anak.

Untuk mengetahui signifikan atau hubungan antara

variabel terikat yaitu kejadian Tuberkulosis Paru pada

anak dengan variabel bebas yaitu riwayat imunisasi BCG,

dilakukan uji statistik dengan menggunakan uji Chi square

dengan SPSS dengan tingkat kepercayaan 5% (0, 05).

H. Kerangka Kerja

Kerangka kerja adalah langkah-langkah kerja yang

peneliti akan lakukan selama penelitian secara umum.

Kerangka kerja dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :
Pasien yang telah terdiagnosis Tuberkulosis Paru

Accidental Sampling

Sampel sesuai dengan kriteria inklusi

Informed concent

Pengumpulan Data
Uji Korelasi Chi Square dengan SPSS
Pengolahan Data

Hasil Laporan
48

Gambar 4.1 Skema kerangka kerja penelitian hubungan riwayat


imunisasi BCG kejadian Tuberkulosis Paru pada anak

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto (2002) Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan


Praktek. Rineka Cipta : Jakarta

Aditama, Tjandra Yoga (1999) Tuberkulosis, Terapi dan


Masalahnya. Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia
: Jakarta

Crofton, John, dkk (2002) Tuberkulosis Klinis. Edisi ke dua.


Widya Medika : Jakarta

Depkes, RI (2002) Pedoman Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia : Jakarta
49

Depkes, RI (2005) Pedoman Tekhnis Imunisasi Tingkat


Puskesmas. Ditjen PP & PL : Jakarta

Entjang, I (1991) Ilmu Kesehatan Masyarakat. Citra Aditya


Bhakti : Bandung

Entjang, I (1999) Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cita Aditya


Bhakti : Bandung

Gerdunas TB Paru 2000

Hood, Alsagaff, dkk (2006) Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.


Cetakan 4.Airlangga University Press : Surabaya

Ngastiyah (2002) Perawatan Anak Sakit. EGC : Jakarta

Ngastiyah (2005) Perawatan Anak Sakit. EGC : Jakarta

Notoatmodjo, Soekidjo (2005) Metodologi Penelitian


kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta

Nursalam (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian


Ilmu Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta

Pusat Studi Tuberculosis FK Universitas Lampung (2001).


Tuberkulosis Tinjauan Multidisiplin. Edisi ke-1

Soedjiningsih (1995) Tumbuh Kembang Anak. EGC : Jakarta


Sugyono (2001) Metode Penelitian Administrasi. Alfabeta :
Bandung

Suriadi, dkk (2001) Asuhan Keperawatan Pada Anak. Edisi I.


CV Sagung Seto : Jakarta
50

Anda mungkin juga menyukai