Anda di halaman 1dari 3

Di sebuah akun Facebook, ditayangkan melalui MQTV, seseorang menjelaskan

bahwa seharusnya sebagian besar masyarakat Indonesia selayaknya beralih dari


mata uang kertas ke penggunaan mata uang dirham dan dinar (bahan dari logam
emas). Di kolom komentar saya tanggapi : “Ujung-ujungnya ini pasti penipuan yang
bakal melibatkan bertrilyun-trilyun rupiah dengan menggunakan kedok aturan
agama”. Lalu saya cari artikel sehubungan dengan mata uang Dinar dan Dirham.
Dibawah ini artikel tersebut :

*Apakah Dinar dan Dirham itu Mata Uang Islam?*

Apakah kita sebagai muslim tahu fakta tentang dinar dan dirham?

Oleh : Kang Hasan, 17 Juni 2019

Apakah Dinar dan Dirham itu mata uang Islam? Itu sama seperti pertanyaan,
apakah kuda dan unta itu kendaraan Islam? Lha, Nabi dan para sahabat
memakainya. Apakah pedang itu senjata Islam? Nabi dan para sahabat
memakainya. Seperti itulah status dinar dan dirham. Karena Nabi
memakainya, keduanya dianggap mata uang Islam, dan karenanya harus
dilestarikan sampai sekarang.
Padahal soalnya sederhana. Nabi pakai dinar (selanjutnya disebut dinar saja,
agar ringkas) karena itulah yang tersedia di zaman itu. Sama halnya dengan
kuda, unta, dan pedang tadi. Sebelum Islam semua itu sudah dipakai, dan
tidak berubah setelah Islam ada. Bangsa lain, umat agama lain, juga
memakainya.

Apakah Tuhan secara khusus memerintahkan manusia untuk memakai mata


uang tertentu, atau alat tertentu? Tidak. Tuhan tidak mengatur pilihan-pilihan
manusia tentang alat yang dipakai dalam hidupnya. Yang diatur adalah *tata
krama hidup*. Dalam hal mata uang, diatur tata cara agar transaksi tidak
merugikan satu pihak, menzalimi, atau merampas hak orang. Prinsipnya
begitu. Teknis soal tata krama itu sendiri bisa berubah, karena teknis itu juga
tergantung pada situasi.

Tapi memang ada orang-orang yang menganggap dalil-dalil agama itu harus
diterapkan secara apa adanya sesuai yang tertulis. *Orang-orang inilah
yang kini mempromosikan dinar ini*.

Dinar dianggap sebagai alat untuk melawan kapitalisme dan hegemoni Barat.
Keduanya dianggap musuh Islam, sehingga harus dilawan. Ini bukan gagasan
baru. Belasan tahun yang lalu saya pernah menonton tayangan TV, almarhum
Adi Sasono yang mempromosikan dinar. Adi Sasono ini adalah pemikir
sosialis yang kemudian tercerahkan oleh Islam. Ia memang secara intrinsik
anti kapitalisme, kemudian mencari solusi dari teks-teks Islam.

Adi Sasono menggambarkan kerugian pemakaian mata uang nominal (fiat


money). Ilustrasinya, seseorang yang bepergian melintasi berbagai negara,
harus menukarkan uangnya. Setiap kali ditukar, uangnya berkurang nilainya
karena selisih kurs jual dan kurs beli. Setelah sekian kali melewati batas
negara, uang itu akan habis tanpa dibelanjakan. Kalau memakai dinar yang
emas, penukaran itu tidak diperlukan. Emas berlaku di mana saja, kata Adi
Sasono.

Sekilas terdengar indah. Tapi fakta sejarah menunjukkan bahwa mata uang
intrinsik emas dan perak itu ditinggalkan. Itu bukan tanpa sebab. Sebab ia
ditinggalkan sama seperti sebab manusia meninggalkan kuda sebagai alat
transportasi, dan pedang sebagai senjata. Alasannya, karena ada yang lebih
baik.

Mata uang intrinsik ditinggalkan karena sudah tidak lagi patut dipakai di
zaman modern. Bahan bakunya semakin sulit didapat. Memecahnya menjadi
unit yang lebih kecil juga repot. Membawa dan mengangkutnya juga repot,
karena berat. Ketersediaan bahannya juga sudah tidak cukup untuk
menampung nilai transaksi yang makin besar.

Kini kita bahkan sedang bergerak meninggalkan mata uang intrinsik, menuju
mata uang digital. Coba perhatikan betapa makin jarangnya kita pegang uang.
Saya hitung secara kasar, hanya 1/4 dari penghasilan saya terpakai dalam
bentuk uang kertas. Sisanya dipakai dalam transaksi digital: transfer dan e-
money. Suatu saat nanti uang kertas hanya akan tersimpan di museum.

Lha, ini kok malah bergerak kembali ke mata uang intrinsik. Ibaratnya, orang
berlomba mengembangkan tank dan pesawat tempur, situ ngotot mau pakai
pedang. Bolehkah? Ya, silakan saja.

Agama adalah sesuatu yang hadir belasan abad yang lalu. Pandangan orang
terhadapnya terbelah dua. Ada yang menganggap setiap detil ajaran harus
dipertahankan. Ada yang menganggap hanya prinsip-prinsip dan ritual saja
yang harus dipertahankan, yang lain boleh diubah. Pandangan jenis kedua
memang rawan inkonsistensi. Misalnya, bunga bank diharamkan, sedangkan
fiat money boleh. Padahal kalau memakai prinsip bunga itu haram, maka fiat
money juga seharusnya haram. (Penjelasan detilnya sudah pernah saya tulis.)

Beragama artinya memakai ajaran belasan abad yang lalu untuk hidup di
zaman sekarang. Kenyataannya, banyak hal yang memang sudah tidak cocok,
alias incompatible. Tapi karena keyakinan bahwa ajaran itu berlaku sepanjang
zaman, maka dibuatlah pencocokan. *Namanya ijtihad*.

Semakin lama jurangnya akan makin lebar. Produk-produk pencocokan akan


makin jauh dari narasi aslinya. Maka muncullah usaha-usaha untuk kembali,
sesuai narasi asli. Itu akan jadi sesuatu yang muskil. Persis seperti muskilnya
orang naik kuda di jalan tol.
Sekali lagi, Anda bebas memilih cara hidup, selama tidak mengganggu dan
membahayakan orang lain. Naik kuda di jalan tol jelas berbahaya dan
membahayakan. Saya memilih untuk naik mobil dan membayar dengan e-
money.

Catatan :

 Uang fiat adalah uang yang nilainya berasal dari regulasi atau hukum pemerintah. Uang ini
berbeda dengan uang komoditas yang didasarkan pada barang, yang biasanya
merupakan logam mulia seperti emas atau perak. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa
Latin fiat ("biarlah terjadi", "akan menjadi").
Penggunaan uang fiat pertama kali tercatat di Tiongkok sekitar tahun 1000 M. [1] Semenjak
itu, uang fiat telah digunakan oleh berbagai negara, kadang-kadang secara bersamaan dengan
uang komoditas.(Wikipedia bahasa Indonesia)
 Secara terminologis jihad dapat diartikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk
menghindari dari kesulitan-kesulitan yang ada sehingga dapat merasakan ketentraman yang
hakiki dalam kehidupan ini.

Jihad tidak hanya dipahami dalam arti perjuangan pisik atau perlawanan bersenjata, tetapi
lebih jauh dari pada itu merupakan perjuangan melawan dan memerangi hawa nafsu dan
kebodohan. Jihad juga berarti ujian yaitu ujian bagi kualitas seseorang.

 Menurut bahasa, ijtihad artinya sungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Sedangkan


menurut istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara bersungguh-
sungguh untuk menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.

Anda mungkin juga menyukai