Anda di halaman 1dari 2

Konflik Suriah

(Oleh : Mabda Dzikara Alumni Mesir yang berjodoh dengan Santriwati Alumni Suriah)

Logika paling sederhana dalam melihat konflik Suriah adalah bahwa selama bertahun-tahun
negara itu dipimpin oleh seorang Basyar Assad, Suriah menjadi negara Arab paling kondusif
tanpa rangkaian konflik yang terjadi, apalagi yang berbau SARA. Suriah adalah satu-satunya
negara Arab yang tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebab
pemerintahannya konsisten dalam memperjuangkan terbentuknya negara Palestina.
Sebuah negara yang masyarakatnya sangat mencintai ilmu dan ulama.
Memiliki tutur kata yang lembut dan santun dengan nilai kearifan yang paling berbeda
dengan peradaban Arab lainnya. Dan keindahan itu kemudian berubah sejak fitnah SARA
yang melanda negara itu sejak 2012 silam yang sependek pemahaman saya dibuat oleh
Amerika dan sekutunya. Teori konspirasi yang sama saat Amerika beberapa tahun silam
menghancurkan Irak dan Libya dengan pantikan isu yang agak berbeda.

Saya memang tidak pernah berkunjung kesana, tapi istri saya adalah alumni salah satu
Universitas di Damaskus, yang walaupun harus menjadi bagian yang terevakuasi pada tahun
2012 akibat konflik, namun pernah merasakan kesyahduan menimba ilmu disana. Dia selalu
menggambarkan Suriah sebagai tempat yang mampu menghadirkan nuansa akademis dan
spiritual sekaligus. Ya, seperti Mesir, tradisi keilmuan Islam disana sangat dinamis, dengan
ratusan ulama kibar yang mendunia. Bedanya, masyarakat Suriah - disamping Yaman-
memang dari dulu dikenal paling santun dalam bermuamalah diantara negara-negara
tetangganya. Jadi, secara umum, tradisi belajar di Suriah memiliki banyak poin plus
dibandingkan Mesir, Sudan, Yaman, Tunisia, Maroko, Libanon, dll.
Bukan melebih-lebihkan, sebab saya sendiri pernah hidup di Mesir dan sangat mencintai
Mesir, walaupun cinta ini kemudian berlabuh pada santriwati tanah Syam.

Membaca konflik Suriah harus sangat hati-hati sekali dan tidak bisa sembarangan berteori.
Saya pribadi juga tidak yakin dapat objektif menilai situasi ini. Namun, secara sederhana peta
konflik itu kan bisa terbaca; Ada pemerintahan sah yang hampir 50 tahun berdaulat di Suriah
yang sedang dirongrong oleh segelintir kelompok didikan Amerika yang 5 tahun ini terus
menerus melawan. Itu saja. Kelompok pertama adalah kelompok berdaulat, yang kedua jelas
masuk kategori pemberontak yang dalam fikih islam boleh diperangi.

Di Indonesia, isu yang paling menonjol terkait konflik ini adalah konflik antara Sunni-Syiah.
Pemerintah Suriah selalu diidentikkan dengan kelompok Syiah yang sedang menganiaya
kelompok Sunni. Padahal teori itu menurut saya salah kaprah, sebab yang saya ketahui
mayoritas pro pemerintah adalah kaum Sunni. Katakanlah jika benar Presiden Suriah adalah
Syiah dan Pro Iran. So what? Selama bertahun-tahun manhaj keislaman di hampir semua
kampus Suriah adalah Ahlussunnah, bahkan Grand Mufti Damaskus dan Suriah adalah
Ahlussunnah. Literatur Sunni dijaga dengan sempurna, pengajian-pengajian kitab
Ahlussunnah begitu masifnya tanpa ada kekangan dari pemerintah.
Pun kelompok pemberontak yang menyatakan diri mereka Sunni. Jika dilihat, justru
mayoritas afiliasi ideologi mereka mengarah pada ikhwany-Salafy, yang bisa dikatakan
bukan bagian dari ideologi Sunni arus utama. Bahkan jika kita mengikuti hasil muktamar
Checnya tahun kemarin, kelompok ini sudah tidak dikategorikan bagian dari Sunni. Jadi
sangat tidak tepat bahwa perang ini disebut konflik Sunni-syiah. Pemerintah Suriah bukan
merepresentasikan Syiah, pun pemberontak bukan mewakili Sunni. Rakyat Suriah hanya
korban dari kepentingan-kepentingan asing di luar mereka.
Sekali lagi saya ingin katakan bahwa konflik ini bukan antara Kafir-Muslim, Syiah-Sunni
atau Fir'aun-Musa.
Terlalu banyak faksi-faksi kepentingan yang mesti diklasifikasi dengan data yang tepat. Yang
sangat disayangkan, kabar yang banyak berkembang di Indonesia, kelompok pemberontak
inilah yang di blow up mewakili Islam/Sunni satu-satunya. Dan pemerintah sah Suriah
dipersepsikan sebagai Kafir. Opini ini kemudian diledakkan oleh para simpatisan dan kader-
kader militan mereka di Indonesia yang berafiliasi ke dua kelompok tadi yang
seringkali 'Play Victim'; "Kaum muslim di Suriah terzolimi"; "Rezim Syiah sedang
membantai saudara Sunni kita"; dll.
Padahal bukankah kelompok yang sering mereka sebut Muajahidin tersebut yang memporak-
porandakan Suriah 5 tahun belakangan ini? Lalu, siapa yang mereka maksud
dengan "saudara muslim kita tersebut"? Apakah pro pemerintah Suriah bukan Muslim? Atau
apakah ulama-ulama yang Insof dan tidak memihak seperti Syekh Ramadhan al-Buthy
dianggap ulama yang tertipu? Padahal sudah masyhur adanya beliau adalah salah satu Wali
Abdal dan al-Ghazali dari tanah Syam yang titahnya tidak bisa dianggap remeh. Ratusan
lembaga fundriser yang berafiliasi ke dua kelompok ini kemudian bergerak
mengatasnamakan korban kekerasan pemerintah Suriah untuk mengumpulkan dana
kemanusiaan yang distribusinya pun banyak yang salah alamat sebab tidak melibatkan
instansi yang mempunyai otoritas disana seperti PPI Damaskus dan KBRI.

Dari hal ini, saya yakin orang-orang Indonesia yang masih menyatakan bahwa konflik Suriah
adalah Sunni melawan Syiah, atau kafir melawan muslim, mayoritas mereka adalah kader
dan atau simpatisan ikhwan, Salafy, atau NU garis lugu. Karena NU garis lucu insya allah
tidak begitu. Heuheu..

Terakhir, sempat ada yang bertanya sama saya, "lebih percaya keterangan siapa dalam
membaca peta konflik berkepanjangan jni, Ustadz sosmed atau mahasiswa Suriah dan KBRI
Damaskus?" Jelas saya memilih kesaksian para alumni Suriah dan KBRI Damaskus yang
menurut saya lebih kredibel dibandingkan yang lain. Di kubu sebelah sana, membedakan
bendera resmi Suriah yang Merah-Putih-Hitam saja masih terbalik dengan Hijau-Putih-
Hitam, apalagi yang lain. Lagian kalau saya membantah istri saya yang memang alumnus
Suriah, bisa tidur di luar saya tiap malam. Heuheu....

Tabik,
Mabda Dzikara

Anda mungkin juga menyukai