OLEH :
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karuina-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Pemikiran Ekonomi Islam Periode Ketiga
dan Keempat”. Makalah ini merupakan salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata
kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (SPEI).
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna, dan banyak
kekurangan baik dalam metode penulisan maupun dalam pembahasan materi.
Sehingga, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dan di
kemudian hari dapat memperbaiki segala kekuranganya.
Terselesaikannya masalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak, sehingga pada
kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh rasa hormat penulis
mengucapkan terima kasih bagi semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam
penyusunan makalah ini hingga selesai.
Akhir kata penulis berharap makalah ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan
menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan . 18
B. Saran .........................................................................................................18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Dzabihah (penyembelihan)?
2. Apa saja syarat penyembelih dan sembelihan ahli kitab?
3. Apa saja alat dan teknik penyembelihan?
4. Apa saja adab dalam penyembelihan?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Dzabihah (penyembelihan).
2. Menjelaskan syarat penyembelihan serta sembelihan ahli kitab.
3. Mengetahui alat dan teknik penyembelihan.
4. Mengetahui niat dan tujuan penyembelihan.
5. Mengetahu adab dalam penyembelihan.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara syara‘,berarti menyembelih dengan cara atau nahr pada hewan yang boleh
dimakan dagingnya dengan kemauan sendiri, atau membunuh hewan yang sulit disembelih
lehernya dengan cara yang disahkan oleh syara‘.3
Di samping itu disyaratkan juga, bahwa penyembelihan itu harus dilakukan di leher
binatang yang bisa dipotong lehernya, sedangkan untuk binatang yang tidak bisa disembelih
lehernya maka dilakukan pada tempat yang lebih dekat untuk memisahkan hidup binatang
dengan mudah.
1
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Cet.7, 2006), hal.1969
2
Sayyid Sabit, Fiqih Sunnah 13, diterjermahkan oleh Kamalaudin A. Marzuki dari
Fiqhussunnah, (Bandung: PT. Alma’arif, 1987), hal.132
3
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Islam,
Diterjemahkan oleh Sofyan Suparman dari al-Ath’imah wadz Dzabaa-ih fil Fiqhil Islam, (Bandung:
Trigenda Karya, 1997),hal.194
2
B. Syarat Penyembelih dan Sembelihan Ahli Kitab
1. Syarat Penyembelih
Adapaun syarat yang harus dipenuhi bagi penyembelih (orang yang akan melakukan
penyembelihan) sebagai berikut.
a. Berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan
sudah tamyiz. Sehingga dari sini, tidak sah penyembelihan yang dilakukan oleh
orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Begitu pula orang yang mabuk,
sembelihannya juga tidak sah.4
b. Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani).
Oleh karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan
orang Majusi sebagaimana hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena selain
muslim dan ahli kitab tidak murni mengucapkan nama Allah ketika menyembelih.5
c. Menyebut nama Allah ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama
Allah padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan, maka hasil sembelihannya
tidak boleh dimakan menurut pendapat mayoritas ulama. Selain itu, menyebut nama
selain Allah baik dengan mengeraskan suara atau tidak, maka hukumnya adalah
haram. Hal ini tertuang dalam firman Allah surah Al-Maidah ayat 3 :
... علَ ْي ُك ُم ٱ ْل َم ْيت َةُ َوٱل َّد ُم َولَحْ ُم ٱ ْلخِّ ِّنز ِّير َو َما ٓ أ ُ ِّه َّل ِّلغَي ِّْر ٱ ََّّللِّ ِّبه
َ ُْح ِّر َمت
4
Abdul Fatah Idris, Terjemahan Ringkas Fiqih Islam Lengkap, (Jakarta: Rineka Cipta, 1987),
hal. 305
5
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah 13, hal. 132
3
َ َ ُوا ٱ ْل ِّك َٰت
َ ب حِّ ٌّل لَّ ُك ْم َو
......ط َعا ُم ُك ْم حِّ ٌّل لَّ ُه ْم ۟ ط َعا ُم ٱلَّ ِّذينَ أُوت
َ َو
Artinya : “...Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka...” (QS. Al-Maidah:5)
Namun, timbul perselisihan pendapat dikalangan ulama tentang siapa yang dimaksud
ahli kitab, dan apakah Yahudi dan Nasrani masa kini masih dapat dan wajar disebut ahli
kitab, dan apakah selain dari mereka, seperti penganut agama Budha dan Hindu dapat
dimasukan ke dalam ahli kitab atau tidak.
Imam Syafi‘i menyatakan bahwa sembelihan ahli kitab halal, baik menyebut nama
Allah atau tidak, dengan syarat tidak menyebut nama selain Allah ketika menyembelih
dan tidak diperuntukan untuk tempat peribadatannya.6 Demikian pula imam Hanafi dan
Hambali sependapat dengan imam Syafi‘i. Dalam hal ini yang dimaksud ahli kitab oleh
imam Syafi‘i, Hambali dan Hanafi adalah ahli kitab pada masa Rasulullah Muhammad
SAW. Sedangkan imam Malik memandang makruh sembelihan ahli kitab demi menjaga
diri dari sesuatu yang diragukan.7
1. Alat Penyembelihan
Wahbah al-Zuhaily menjelaskan, bahwa pendapat ini hampir sama dengan pendapat
Imam Hambali yang menyatakan bahwa penyembelihan dengan menggunakan benda
6
Abdul Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 6. Hal.1970
7
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Islam,… hal. 258
8
Ibid. Hal.201
4
tumpul dihukumi haram, apabila kematiannya setelah disembelih berjalan lambat, karena
merupakan penyiksaan panjang bagi hewan.9
2. Teknik Penyembelihan
Pada dasarnya, penyembelihan merupakan perkara yang ta‘abbudi yang tata cara
pelaksanaannya telah ditentukan oleh syara‘. Karena itu, tidak diperbolehkan
menyembelih dengan kehendak hati sendiri.
Secara umum, gambaran tentang penyembelihan dapat dibedakan kedalam dua bentuk
berdasarkan keadaan hewan yang akan disembelih, yaitu penyembelihan atas hewan yang
dapat disembelih lehernya (maqdur ‘alaih), dan penyembelihan atas hewan yang tidak
dapat disembelih lehernya karena liar (ghair maqdur ‘alaih).
a. Maqdur ‘Alaih
Dalam keadaan maqdur ‘alaih, hewan dapat disembelih dengan cara nahr, yaitu
penyembelihan yang ditujukan pada bagian pangkal leher di atas dada dan dengan
cara zabh. Zabh berarti memotong suatu bagian pada leher hewan yang dapat
menyebabkan kematiannya.
Adapun tata cara penyembelihannya sebagai berikut.
1) Menyebut nama Allah.
2) Penyembelihan hendaknya dilaksanakan dengan menghadapkan kearah kiblat
yang merupakan arah yang diagungkan.
3) Mengasah pisau penyembelihan jauh dari hewan sembelihan.
4) Menjauhkan hewan yang disembalih jauh dari hewan lainnya.
5) Membawa dan membaringkannya dengan lembu dan
menyenangkannya.
6) Hendaknya digulingkan kesebelah rusuk kirinya, agar memudahkan bagi orang
yang menyembelihnya.
9
Wahbah az-Zuhaili, Konsep Darurat dalam Hukum Islam Jilid 3, Diterjemahkan dari Nazhariyah Al-
Dlururoh Al-Syar’iyah oleh Said Agil Husain Al-Munawar, (Jakarta: Gaya media Pratama, 1997),
hal.375
5
7) Kerongkongan dan tenggorokan harus terpotong.10
b. Ghair Maqdur’alaih
Berkenaan dengan hewan ghair maqdur‘alaih yang terbagi atas hewan buruan dan
hewan ternak yang karena suatu hal menjadi liar dihukumi sama dengan hewan
buruan. Hewan dalam keadaan ini bisa dibunuh dibagian manapun dari tubuhnya
dengan menggunakan benda tajam atau alat apapun yang dapat mengalirkan darah
dan mempercepat kematiannya.
Ulama fiqh menyepakati bahwa selama masih ada hayyat mustaqirrahnya, maka
hewan tersebut boleh disembelih. Tanda-tanda hayyat mustaqirrah adalah gerakan
yang keras pada hewan setelah diputuskan bagian-bagian tubuhnya disertai dengan
memancar dan mengalirnya darah dengan deras. Jadi, jika penyembelihan dilakukan
secara perlahan dan usaha pemotongan terlalu lamban sehingga ketika penyembelihan
selesai ternyata hewan itu tidak bergerak-gerak lagi berarti nyawanya yang menetap
telah tiada sebelum sempurnanya penyembelihan maka jelaslah hewan itu belum
sempat disembelih sudah mati dan halal dimakan.
Jika nyawanya sudah tidak menetap lagi sebelum disembelih, maka tidak halal
dimakan kecuali sebelumnya telah disembelih secara darurat. Dalam hal ini,
mengalirnya darah dari urat leher setelah pemotongan bukan merupakan petunjuk atas
adanya nyawa yang menetap.
1. Niat Penyembelihan
Doa ini dibaca dengan harapan Allah menerima ibadah qurban.
1. Baca “basmallah”
Bismillahirrohmaanirrohiim.
Artinya :”Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”
2. Baca sholawat untuk Rasulullah SAW
10
Abdul Aziz Dahlan et.al, Ensiklopedi Hukum Islam Jilid 6, … hal. 1971
6
Allaahumma shalli alaa sayyidinaa muhammad, wa alaa alii sayyidina
muhammad.
Artinya :”Tuhanku, limpahkan Rahmat untuk Nabi Muhammad SAW dan
keluarganya.”
Adapun tujuan penyembelihan adalah untuk membedakan apakah binatang yang telah
mati itu halal atau haram dimakan. Binatang yang disembelih sesuai dengan ketentuan-
ketentuan syara’ halal dimakan, sedang binatang yang mati tanpa disembelih atau
disembelih tetapi tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan syara’, seperti bangkai,
binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah dan sebagainya, haram
dimakan.
E. Adab Penyembelihan
1. Berbuat ihsan (berbuat baik terhadap hewan)
7
“Sesungguhnya Allah memerintahkan agar berbuat baik terhadap segala sesuatu. Jika
kalian hendak membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik. Jika kalian hendak
menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan
pisaunya dan senangkanlah hewan yang akan disembelih”
Di antara bentuk berbuat ihsan adalah tidak menampakkan pisau atau menajamkan
pisau di hadapan hewan yang akan disembelih. Dari Ibnu ’Abbas radhiyallaahu ’anhuma,
ia berkata,
ْ َ ش ْف َرت َكَ قَ ْب َل أ َ ْن ت
ض َجعَهَا َ َأَت ُِّر ْي ُد أ َ ْن تَمِّ ْيتَهَا َم ْوت َات َهالَ َح َددْت
Membaringkan hewan termasuk perlakuan terbaik pada hewan dan disepakati oleh para
ulama. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah,
8
Anas berkata,“Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam berqurban dengan dua ekor
kambing kibasy putih. Aku melihat beliau menginjak kakinya di pangkal leher dua
kambing itu. Lalu beliau membaca basmalah dan takbir, kemudian beliau menyembelih
keduanya.”
Ibnu Hajar memberi keterangan, “Dianjurkan meletakkan kaki di sisi kanan hewan
qurban. Para ulama telah sepakat bahwa membaringkan hewan tadi adalah pada sisi
kirinya. Lalu kaki si penyembelih diletakkan di sisi kanan agar mudah
untuk menyembelih dan mudah mengambil pisau dengan tangan kanan. Begitu pula
seperti ini akan semakin mudah memegang kepala hewan tadi dengan tangan kiri.”
Dari Nafi’,“Sesungguhnya Ibnu Umar tidak suka memakan daging hewan yang
disembelih dengan tidak menghadap kiblat.”
Syaikh Abu Malik menjelaskan bahwa menghadapkan hewan ke arah kiblat bukanlah
syarat dalam penyembelihan. Jika memang hal ini adalah syarat, tentu Allah akan
menjelaskannya. Namun hal ini hanyalah mustahab (dianjurkan).
9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dzabihah berarti penyembelihan hewan secara syar‘i demi kehalalan
mengkonsumsinya. Secara kebahasaan berarti penyembelihan hewan atau memotongnya
dengan jalan memotong tanggorokannya atau organ untuk perjalanan makanan dan
minumannya. Secara syara‘,berarti menyembelih dengan cara atau nahr pada hewan
yang boleh dimakan dagingnya dengan kemauan sendiri, atau membunuh hewan yang
sulit disembelih lehernya dengan cara yang disahkan oleh syara’.
syarat yang harus dipenuhi bagi penyembelih (orang yang akan melakukan
penyembelihan) sebagai berikut.
a. Berakal, baik laki-laki maupun perempuan, sudah baligh atau belum baligh asalkan
sudah tamyiz.
b. Yang menyembelih adalah seorang muslim atau ahli kitab (Yahudi atau Nasrani). Oleh
karena itu, tidak halal hasil sembelihan dari seorang penyembah berhala dan orang
Majusi.
c. Menyebut nama Allah ketika menyembelih. Jika sengaja tidak menyebut nama Allah
padahal ia tidak bisu dan mampu mengucapkan, maka hasil sembelihannya tidak boleh
dimakan menurut pendapat mayoritas ulama.
Imam Syafi‘i menyatakan bahwa sembelihan ahli kitab halal, baik menyebut
nama Allah atau tidak, dengan syarat tidak menyebut nama selain Allah ketika
menyembelih dan tidak diperuntukan untuk tempat peribadatannya. Demikian pula
imam Hanafi dan Hambali sependapat dengan imam Syafi‘i.
10
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan. 2006. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta. PT. Ichtiar
Baru Van Hoeve
Sayyid Sabit. 1987. Fiqih Sunnah 13. Bandung. PT. Alma’arif
Abu Sari Muhammad Abdul Hadi. 1997. Hukum Makanan dan Sembelihan
dalam Islam. Bandung. Trigenda Karya
Abdul Fatah Idris. 1987. Terjemahan Ringkas Fiqih Islam Lengkap. Jakarta.
Rineka Cipta
11