PENDAHULUAN
Indonesia, selain terkenal karena kekayaan dan keindahan alamnya, juga merupakan
negara yang rawan terhadap bencana. Hal ini disebabkan posisi geografis dan geodinamiknya,
sehingga Indonesia memiliki aktivitas vulkanik dan kegempaan yang cukup tinggi. Posisi ini juga
menyebabkan bentuk relief Indonesia yang sangat bervariasi, mulai dari pegunungan dengan
lereng yang curam sampai daerah landai di sepanjang garis pantai yang sangat panjang, yang
kesemuanya memiliki kerentanan terhadap ancaman bahaya tanah longsor, banjir, abrasi dan
tsunami. Kondisi hidrometeorologis yang beragam juga kadang-kadang menimbulkan ancaman
bahaya banjir dan longsor, angin ribut atau angin puting beliung, bahaya kekeringan yang
berkaitan dengan kebakaran hutan dan lain-lain. Ancaman lainnya adalah bencana yang
disebabkan oleh berbagai kegagalan teknologi.
Umumnya bencana yang terjadi mengakibatkan penderitaan bagi masyarakat baik berupa
korban jiwa manusia, kerugian harta benda maupun kerusakan lingkungan serta musnahnya
hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai antara lain kerusakan sarana dan prasarana serta
fasilitas umum, penderitaan masyarakat dan sebagainya.
Terjadinya bencana besar tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2004 dan
gempa bumi di Yogyakarta dan Jawa Tengah (Kabupaten Klaten) pada tahun 2006 dan beberapa
bencana lain sebelum dan sesudahnya telah mendorong bangsa Indonesia untuk menerima
kenyataan hidup berdampingan dengan bencana. Sebagai konsekuensi atas penerimaan
tersebut, bangsa Indonesia telah melahirkan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana. Untuk merealisasikan Undang-Undang tersebut, pada tahun 2008
telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan
Bencana, Peraturan Pemerintah Nomor 22 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bencana,
Peraturan Pemerintah Nomor 23 tentang Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing
Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana.
Dari latar belakang diatas, pentingnya pemahaman mengenai manajemen bencana akan
menjadi landasan atau dasar dalam mengembangkan intervensi pengurangan risiko bencana
dalam penanggulangan bencana yang tepat dan akurat.
BAB II
PEMBAHASAN
Manajemen PB adalah serangkaian kegiatan, yang dilaksanakan sejak sebelum terjadinya suatu
peristiwa bencana, selama kejadian bencana, dan sesudah terjadinya bencana, dalam rangka
mencegah, mengurangi dan mengatasi dampak bencana, yang ditimbulkannya;
Mencapai upaya pemulihan yang cepat dan berkelanjutan; Tujuan utama manajemen pasca
bencana
Kondisi pasca bencana adalah keadaan suatu wilayah dalam proses pemulihan setelah
terjadinya bencana. Pada kondisi ini dipelajari langkah apa yang dilakukan oleh berbagai pihak
terkait dalam hal upaya untuk mengembalikan tatanan masyarakat seperti semula sebelum
terjadinya bencana. Beberapa hal yang dipelajari dalam kondisi pasca bencana ini adalah
kecepatan dan ketepatan terutama dalam hal:
2. Livelyhood recovery
3. Pembangunan infrastruktur
4. Konseling trauma
6. Organisasi kelembagaan
7. Stakeholders yg terlibat
Dalam hal ini, dipelajari kebijakan pembangunan apa yang telah dilakukan sehingga secara
positif turut mencegah/menghambat terjadinya bencana, serta kebijakan pembangunan apa
yang telah dilakukan sehingga secara negatif turut memacu/menyebabkan timbulnya bencana.
Ruang lingkup studi ini meliputi kajian berbagai aspek penanggulangan bencana alam yang terjadi
di Indonesia, Fase pasca bencana: meliputi penanggulangan korban (misalnya pengungsi),
pendanaan, rehabilitasi bangunan, rekonstruksi fisik dan non fisik, organisasi dan kelembagaan,
dan social capital (Sunarti, 2009).
a. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masyarakat pada wilayah pasca bencana.
2.5. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama
untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pasca bencana.
Dalam penentuan kebijakan rehabilitasi prinsip dasar yang digunakan adalah sebagai
berikut :
Menempatkan masyarakat tidak saja sebagai korban bencana, namun juga sebagai
pelaku aktif dalam kegiatan rehabilitasi.
Kegiatan rehabilitasi merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dan terintegrasi dengan
kegiatan prabencana, tanggap darurat dan pemulihan dini serta kegiatan rekonstruksi.
“Early recovery” dilakukan oleh “Rapid Assessment Team” segera setelah terjadi
bencana.
Program rehabilitasi dimulai segera setelah masa tanggap darurat (sesuai dengan
Perpres tentang Penetapan Status dan Tingkatan Bencana) dan diakhiri setelah tujuan
utama rehabilitasi tercapai.
b. Transparan dan Akuntabel, artinya dalam setiap langkah dan kegiatan harus dilakukan
secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat luas.
c. Sederhana, artinya pelaksanaan seluruh proses kegiatan diupayakan sederhana dan bisa
dilakukan masyarakat dengan tahap mengacu pada tujuan dan ketentuan dasar pelaksanaan
program rehabilitasi ini.
d. Akuntabilitas, artinya seluruh proses pelaksanaan dan pendanaan dilakukan dengan penuh
tanggung jawab.
Perlakuan pola khusus bentuk kegiatan rehabilitasi pasca bencana yang akan diberlakukan,
didasarkan atas hasil kajian masyarakat melalui Musyawarah Desa (MD) dan Musyawarah Antar
Desa – (MAD). Perlakuan pola khusus ini meliputi 2 tahapan pokok :
1. Persiapan Pemulihan
Terdiri dari serangkaian kegiatan yang merupakan bentuk respon cepat sebagai
bagian dari upaya pemulihan (recovery) sebelum dilakukan rehabilitasi dan rekontruksi pasca
bencana yang lebih terencana. Tahapan ini dilakukan melalui proses reviewsecara partisipatif
dampak bencana dan kegiatan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan yang sudah direncanakan dan atau sedang dilaksanakan.
Kegiatan tindak cepat adalah kegiatan-kegiatan yang dapat secara cepat diidentifikasi
dan dikuantifikasi bersama masyarakat tanpa harus menunggu selesainya semua pendataan
kerusakan sarana prasarana social ekonomi pedesaan. Dari hasil reviewtersebut, masyarakat
bisa memilih dan memutuskan pendanaan kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan
pendapatan kepada warga/keluarga yang terkena dampak bencana, terutama misalnya
kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara padat karya.
Kegiatan-kegiatan padat karya yang dilakukan misalnya : kegiatan untuk pembersihan
puing, penataan lokasi atau padat karya untuk pemulihan cepat sarana-prasarana umum
perdesaan yang rusak akibat bencana (jalan tertimbun longsoran, pembersihan kawasan
pemukiman yang dapat dipergunakan kembali). Secara parallel, sambil melakukan kegiatan
tindak cepat juga terus dilakukan pendataan atau pemetaan terhadap sarana – prasana
umum social atau ekonomi yang mengalami kerusakan secara lebih teliti, sebagai bahan
perencanaan untuk tahap rehabilitasi selanjutnya.
2. Rehabilitasi
Perbaikan lingkungan fisik meliputi kegiatan : perbaikan lingkungan fisik untuk kawasan
pemukiman, kawasan industri, kawasan usaha dan kawasan gedung.
Indikator yang harus dicapai pada perbaikan lingkungan adalah kondisi lingkungan yang
memenuhi persyaratan teknis, sosial, ekonomi, dan budaya serta ekosistem
Prasarana dan sarana umum adalah jaringan infrastruktur dan fasilitas fisik yang menunjang
kegiatan kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Prasarana umum atau jaringan
infrastruktur fisik disini mencakup : jaringan jalan/ perhubungan, jaringan air bersih, jaringan
listrik, jaringan komunikasi, jaringan sanitasi dan limbah, dan jaringan irigasi/ pertanian.
Sarana umum atau fasilitas sosial dan umum mencakup : fasilitas kesehatan, fasilitas
perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas perkantoran pemerintah, dan fasilitas
peribadatan.
Yang menjadi target pemberian bantuan adalah masyarakat korban bencana yang rumah/
lingkungannya mengalami kerusakan struktural hingga tingkat sedang akibat bencana, dan
masyarakat korban berkehendak untuk tetap tinggal di tempat semula. Kerusakan tingkat
sedang adalah kerusakan fisik bangunan sebagaimana Pedoman Teknis (DepPU, 2006) dan/
atau kerusakan pada halaman dan/ atau kerusakan pada utilitas, sehingga mengganggu
penyelenggaraan fungsi huniannya. Untuk bangunan rumah rusak berat atau roboh
diarahkan untuk rekonstruksi.
Tidak termasuk sasaran pemberian bantuan rehabilitasi adalah rumah/ lingkungan dalam
kategori:
Pemulihan sosial psikologis adalah pemberian bantuan kepada masyarakat yang terkena
dampak bencana agar dapat berfungsi kembali secara normal. Sedangkan kegiatan
psikososial adalah kegiatan mengaktifkan elemen-elemen masyarakat agar dapat kembali
menjalankan fungsi sosial secara normal. Kegiatan ini dapat dilakukan oleh siapa saja yang
sudah terlatih.
Pemulihan sosial psikologis bertujuan agar masyarakat mampu melakukan tugas sosial
seperti sebelum terjadi bencana, serta tercegah dari mengalami dampak psikologis lebih
lanjut yang mengarah pada gangguan kesehatan mental.
5. Pelayanan Kesehatan
Pemulihan sistem pelayanan kesehatan adalah semua usaha yang dilakukan untuk
memulihkan kembali fungsi sistem pelayanan kesehatan yang meliputi : SDM Kesehatan,
sarana/prasarana kesehatan, kepercayaan masyarakat.
Pemulihan sosial ekonomi budaya adalah upaya untuk memfungsikan kembali kegiatan dan/
atau lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah bencana.
Kegiatan pemulihan sosial, ekonomi, dan budaya ditujukan untuk menghidupkan kembali
kegiatan dan lembaga sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di daerah bencana seperti
sebelum terjadi bencana.
2.6. Rekontruksi
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang
terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen
semua prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun
masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan
budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana.
Rencana Rekonstruksi adalah dokumen yang akan digunakan sebagai acuan bagi
penyelenggaraan program rekonstruksi pasca-bencana, yang memuat informasi gambaran
umum daerah pasca bencana meliputi antara lain informasi kependudukan, sosial, budaya,
ekonomi, sarana dan prasarana sebelum terjadi bencana, gambaran kejadian dan dampak
bencana beserta semua informasi tentang kerusakan yang diakibatkannya, informasi mengenai
sumber daya, kebijakan dan strategi rekonstruksi, program dan kegiatan, jadwal implementasi,
rencana anggaran, mekanisme/prosedur kelembagaan pelaksanaan.
Pelaksana Rekonstruksi adalah semua unit kerja yang terlibat dalam kegiatan rekonstruksi,
di bawah koordinasi pengelola dan penanggungjawab kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi
pasca bencana pada lembaga yang berwenang menyelenggarakan penanggulangan bencana di
tingkat nasional dan daerah.
Rekonstruksi fisik adalah tindakan untuk memulihkan kondisi fisik melalui pembangunan kembali
secara permanen prasarana dan sarana permukiman, pemerintahan dan pelayanan masyarakat
(kesehatan, pendidikan dan lain-lain), prasarana dan sarana ekonomi (jaringan perhubungan, air
bersih, sanitasi dan drainase, irigasi, listrik dan telekomunikasi dan lain-lain), prasarana dan
sarana sosial (ibadah, budaya dan lain-lain.) yang rusak akibat bencana, agar kembali ke kondisi
semula atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelum bencana.
Cakupan kegiatan rekonstruksi fisik mencakup, tapi tidak terbatas pada, kegiatan membangun
kembali sarana dan prasarana fisik dengan lebih baik dari hal-hal berikut:
o Penerapan rancang bangun dan penggunaan peralatan yang lebih baik dan tahan bencana.
Rekonstruksi non fisik adalah tindakan untuk memperbaiki atau memulihkan kegiatan pelayanan
publik dan kegiatan sosial, ekonomi serta kehidupan masyarakat, antara lain sektor kesehatan,
pendidikan, perekonomian, pelayanan kantor pemerintahan, peribadatan dan kondisi
mental/sosial masyarakat yang terganggu oleh bencana, kembali ke kondisi pelayanan dan
kegiatan semula atau bahkan lebih baik dari kondisi sebelumnya.
Kegiatan pemulihan layanan yang berhubungan dengan kehidupan sosial dan budaya
masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 Tahun 2010
Tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana, maka
prinsip dasar penyelenggaraan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana adalah
Mengacu pada arahan Presiden Republik Indonesia pada Sidang Kabinet Paripurna 25 November
2010, maka pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi agar dilaksanakan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip dasar, sebagai berikut:
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau masyarakat
sampai tingkat yang memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama untuk normalisasi
atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta langkah-langkah nyata yang
terencana baik, konsisten dan berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua
prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat,
dengan sasaran utama tumbuh berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya
hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat di wilayah pasca bencana.
Lingkup pelaksanaan rekonstruksi terdiri atas program rekonstruksi fisik dan program
rekonstruksi non fisik.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan bagi
pembaca khususnya tentang pemulihan pasca bencana.
Unknown di 03.36
Berbagi
3 komentar:
1.
Reisja Tidajoh17 Juni 2017 19.38
Mantap.luar biasa
Balas
2.
Mustiko Wiyono Widodo30 Maret 2018 21.58
maaf kak mau tanya, sman pakai buku atau rujukan apa kak?
Balas
3.
Mustiko Wiyono Widodo30 Maret 2018 21.59
‹
›
Beranda