Anda di halaman 1dari 14

POTENSI PENGEMBANGAN BUDIDAYA IKAN KUWE, Caranx spp.

,
DENGAN SISTEM KERAMBA JARING APUNG

Bambang Irianto, Thohir Zubaidi, Noor Hasan,


Sri Harwanti dan Rosniyati Suwarda

ABSTRAK

Dibandingkan dengan jenis-jenis ikan lainnya, ikan kuwe (Caranx sp.) merupakan
salah satu jenis ikan karang yang sangat potensial untuk dikembangkan karena
mempunyai beberapa keunggulan komparatif antara lain mampu hidup dalam kondisi
kepadatan yang tinggi (150 ekor/m2), mempunyai laju pertumbuhan tinggi, sangat
tanggap terhadap penambahan pakan dari ikan rucah, konversi pakan cukup efisien dan
digemari konsumen. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi
pembesaran ikan kuwe (Caranx sp.) dengan sistem KJA di laut yang sesuai dengan
ketersediaan dan daya dukung yang dimiliki wilayah setempat sehingga bisa disebarkan
ke masyarakat pedesaan untuk dikembangkan secara komersial untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Penelitian yang dilaksanakan di Pantai Gelung
Kecamatan Panarukan Kabupaten Situbondo ini mengalami keterlambatan yang
diakibatkan oleh masalah pengadaan benih. Setelah dilakukan penampungan dari hasil
tangkapan nelayan pancing selama kurang lebih 2 bulan, ikan kuwe yang digunakan
dalam penelitian ini berjumlah 450 ekor dengan ukuran yang bervariasi antara 50 sampai
300 gram per ekor. Padat penebaran yang digunakan yaitu 10 (A), 15 (B) dan 20 (C) ekor
per m³ keramba (kurung-kurung). Pengamatan pertumbuhan ikan selama 3 bulan
pemeliharaan di KJA memperlihatkan bahwa semua padat penebaran mempunyai pola
pertumbuhan yang sama dengan laju pertumbuhan rata-rata harian 1,20% per hari (A),
1,32% per hari (B) dan 1,37% per hari (C). Sintasan yang diperoleh adalah : 52% (C),
57% (B) dan 64% (A), sedangkan rasio konversi pakan (RKP) ketiga padat penebaran
adalah : 5,91 (B), 5,95 (A) dan 6,2 (C). Hasil analisis finansial usaha budidaya yang
dilakukan dalam pengkajian ini belum menguntungkan karena adanya beberapa kendala,
terutama ketersediaan benih ikan baik dalam kuantitas maupun kualitas. Kondisi BEP
tercapai apabila harga benih kurang dari Rp.3.500,- per ekor. Apabila KJA difungsikan
secara penuh (potensial) ternyata bisa menguntungkan. Pengamatan parameter
lingkungan perairan memperlihatkan bahwa kondisi perairan yang digunakan sebagai
lokasi KJA masih dalam kategori sesuai untuk usaha budidaya tersebut. Masih perlu
dilakukan penelitian untuk mengatasi permasalahan penyediaan benih ikan kuwe secara
menyeluruh melalui teknologi penangkapan yang tepat agar bisa diperoleh benih ikan
yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas, dengan harga yang terjangkau.

Kata Kunci : Keramba Jaring Apung, desa pantai, ikan kuwe (Caranx spp.), budidaya
ikan laut, agribisnis, Situbondo.

ABSTRACT

Compared to other cultured marine fish, trevally (Caranx spp.) is more potential
to be developed as it has some comparative advantage such as ability to survive in
relatively high density (150 ekor/m2), high growth rate, highly responsive to trash fish
feeding, efficient food conversion ratio and more popular among consumers. The
purpose of this research was to obtain proper technology for growing trevally (Caranx
spp.) in the floating net cage system which is suitable to local condition so that it will be
able to be developed commercially for the benefit of local people. The observation and
literature study showed that Situbondo Regency, especially Panarukan District coastal
villages is highly suitable for the development of fisheries activities. After collecting the
fish used (trevallies) as the initial stock from local fishermen (hand-liners) for about two
months (starting November 2002), the number of fish used in this assessment were 450
fish of size ranged from 50 to 300 gram per fish. The initial density levels of the fish
stock for the cages were 10 (A), 15 (B) and 20 (C) fish/m³. All density level showed
similar growing pattern of the fish at daily growth rate of 1.2% (A), 1.32% (B) and 1.37%
(C). The survival rate of each density level were 52% (C), 57% (B) and 64% (A), while
the FCR were 5.91 (B), 5.95 (A) and 6.2 (C). Financial analysis showed that the
assessment FNC was not profited mainly due to difficulties in obtaining the initial fish
stock, but it would be potentially feasible if the FNC was fully operated. Observation
made on the parameters of waters environment showed that the quality of waters where
the FNC is located was suitable for the purpose. Further research is still necessary to deal
with the availability of initial fish stock through proper fishing technology to obtain
sufficient quantity and quality of initial fish stock at affordable price.

Keywords : Floating Net Cage, coastal village, trevally (Caranx sp.), marine fish
culture, agribusiness, Situbondo.

PENDAHULUAN

Budidaya ikan laut di Indonesia sebenarnya sudah mulai berkembang tetapi masih
belum cukup memasyarakat dengan baik. Beberapa Balai Penelitian (Perikanan) telah
banyak melakukan penelitian mengenai budidaya ikan laut walaupun sebagian besar
masih dalam skala percobaan untuk melihat pengaruh beberapa aspek tertentu. Penelitian
skala komersial juga sudah dicoba untuk beberapa jenis komoditas ekonomis penting
seperti kerapu (Epinephelus spp., Chromileptes spp., Plectropoma spp.) beronang
(Siganus sp), kuwe (Caranx spp.), kakap (Lutjanus spp.), bandeng (Chanos chanos), ikan
napoleon (Cheilinus sp.), nila merah (Oreochromis niloticus) dan sebagainya (Ahmad et
al., 1992; Purba dan Ahmad, 1989; Ahmad et al., 1995; Supito et al., 1998; Sugama et
al., 1986; Rachmansyah et al., 1993 dan Tonnek dan Rachmansyah, 1993).
Pada umumnya, ikan-ikan karang ekonomis penting seperti tersebut di atas
diperoleh dari penangkapan di alam. Dengan semakin tingginya permintaan pasar
terhadap jenis-jenis ikan tersebut baik untuk pasar lokal maupun pasar internasional,
semakin tinggi pula tingkat tekanan penangkapan (fishing pressure) yang dikhawatirkan
mengganggu kelestariannya. Salah satu teknologi budidaya yang ditawarkan untuk
mengatasi kekurangan pasokan ikan-ikan tersebut yang bisa juga digunakan sebagai cara
mengurangi tekanan penangkapan di alam adalah teknologi pembesaran dengan sistem
Keramba Jaring Apung (KJA) di laut. Definisi KJA menurut Ahmad et al. (1995) adalah

2
tempat atau wadah pemeliharaan ikan atau organisme laut lainnya yang terbuat dari jaring
yang bisa berbentuk segiempat atau silindris dan diapungkan dalam air permukaan
dengan menggunakan pelampung dan kerangka kayu, bambu atau besi yang disertai
dengan sistem penjangkaran.
Tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan khususnya pada perairan pantai
dewasa ini telah mencapai tingkat yang berlebihan bahkan ada kecenderungan telah
terjadi kerusakan lingkungan khususnya pada daerah-daerah “nursery ground”
(Nurhakim, et al, 1998). Oleh karena itu maka seluruh rangkaian kegiatan perikanan
harus dilandasi dengan kelestarian dan keberlanjutan (wawasan lingkungan). Budidaya
ikan, selain merupakan sistem produksi juga merupakan salah satu komponen yang
diperlukan untuk mendukung suatu sistem usaha perikanan yang menyeluruh mulai dari
penangkapan sampai pasca panen. Hasil penangkapan ikan di alam biasanya sangat
bervariasi baik dalam hal jenis dan ukuran ikan, sehingga adakalanya ukuran ikan
tertentu (kecil) tidak laku di pasaran dan harus dibesarkan sampai ukuran pasar. Hal ini
bisa dilakukan dengan teknologi budidaya sistem KJA, sedangkan ukuran yang besarnya
melebihi ukuran pasar bisa digunakan sebagai indukan untuk pembenihan.
Secara teoretis, pemanfaatan teknologi Keramba Jaring Apung (KJA) di laut
untuk pembesaran ikan-ikan ekonomis penting yang bernilai pasar tinggi seperti ikan
kuwe mempunyai prospek yang cerah antara lain karena mampu memproduksi ikan
dalam jumlah dan kualitas yang relatif bisa dikendalikan untuk memenuhi kebutuhan
pasar baik lokal maupun internasional. Sistem KJA di laut juga mengurangi
ketergantungan penggunaan lahan darat yang semakin sulit didapat. Keramba Jaring
Apung tidak membutuhkan areal yang luas dan dapat ditempatkan pada perairan yang
berbentuk teluk, laguna, selat dan perairan sejenisnya (Tonnek dan Rachmansyah, 1993).
Selain itu, pengembangan budidaya dengan sistem KJA ini juga bisa menciptakan
simpul-simpul agribismis baru misalnya pembenihan ikan untuk menghasilkan bibit yang
akan dibesarkan di KJA, pembuatan pakan dan usaha pengolahan ikan serta usaha-usaha
lainnya.
Ikan kuwe (Caranx spp.) merupakan salah satu jenis ikan karang yang sangat
potensial untuk dikembangkan karena mempunyai beberapa keunggulan komparatif
antara lain sebagai berikut (Anonimus, 2000) : mampu hidup dalam kondisi kepadatan
yang tinggi (150 ekor/m2), mempunyai laju pertumbuhan tinggi, sangat tanggap terhadap
penambahan pakan dari ikan rucah, konversi pakan cukup efisien dan digemari

3
konsumen. Oleh karena itu, dalam pengkajian ini akan digunakan ikan kuwe yang
harganya cukup ekonomis untuk usaha skala rakyat dan penyebarannya cukup merata.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi pembesaran ikan kuwe
(Caranx spp.) dengan sistem KJA (Keramba Jaring Apung) di laut yang sesuai dengan
ketersediaan dan daya dukung yang dimiliki wilayah setempat sehingga bisa disebarkan
ke masyarakat pedesaan untuk dikembangkan secara komersial untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

METODOLOGI PENGKAJIAN

Percobaan pembesaran ikan kuwe (Caranx spp.) dalam KJA merupakan


penelitian adaptif yang dimaksudkan untuk menguji teknologi yang sudah
direkomendasikan berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Puslitbang Perikanan serta
untuk mengetahui tingkat adaptibilitasnya di lokasi yang lain. Paket teknologi KJA yang
akan diuji adalah sebagai berikut :

a. Konstruksi KJA.

Keramba Jaring Apung (KJA) yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai
spesifikasi sebagai berikut (Gambar 1) :
Ukuran rakit : 10 m × 8 m
Bahan rakit : kayu dan bambu
Jumlah keramba : 6 buah
Ukuran keramba : 3 m × 3 m × 2 m (panjang×lebar×tinggi)
Perkiraan volume keramba : 10 m³
Rumah jaga : 1 unit (2 m × 1½ m)
Jumlah pelampung : 17 buah

b. Prosedur pengkajian :
- Benih ikan kuwe yang digunakan berukuran 100-300 gram per ekor yang
jumlahnya disesuaikan dengan perlakuan, diadaptasikan pada lingkungan
setempat sebelum ditebar dan penebaran dilakukan pada pagi atau sore hari.
- Penggantian keramba dilakukan setiap 1 bulan sekali.
- Pada setiap keramba dipasangkan pelindung cahaya matahari (shelter) dari ban
bekas masing-masing sebanyak 2 buah.
- Padat penebaran : 10, 15 dan 20 ekor/m3.
- Pakan yang diberikan berupa cincangan ikan rucah sebanyak 3-5% dari berat
biomassa ikan, sekali sehari.

c. Pengamatan / analisis :

4
- Pertumbuhan ikan, sintasan, berat, produksi akhir, FCR (Feed Conversion Ratio),
kondisi perairan (salinitas, suhu, pH dan Oksigen terlarut) serta analisis
finansial/ekonomis.
- Pengamatan dilakukan 1 bulan sekali selama masa pemeliharaan 3 bulan.

Rumah jaga (2x1½ m)

12 m

Pelampung
(drum plastik 200 l)

Kurung-kurung
3m Jaring PE D/9
(2½ in)

8m

Gambar 1. Skema konstruksi Keramba Jaring Apung yang digunakan dalam


pengkajian di Pantai Desa Gelung, Kecamatan Panarukan, Kab.
Situbondo.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian in mengalami keterlambatan dalam mendapatkan benih ikan kuwe ini


antara lain disebabkan karena nelayan di daerah pengkajian belum terbiasa untuk
menangkap ikan kuwe dalam keadaan hidup. Di daerah ini, nelayan biasanya menangkap

5
ikan kuwe (dan ikan-ikan lain yang sejenis) dengan beberapa alat tangkap seperti
pancing, jaring payang dan bagan dalam keadaan sudah mati. Sebenarnya ikan ini juga
bisa ditangkap dengan bagan dan pukat pantai, tapi alat tangkap jenis ini kurang populer
di kalangan nelayan setempat. Untuk mendapatkan ikan kuwe dalam keadaan hidup
memang diperlukan peralatan tambahan yaitu wadah penampungan setelah ditangkap
yang bisa dalam bentuk kurung-kurung dari jaring yang diberi pengapung dan
ditempatkan diluar perahu. Oleh karena itu, untuk mendapatkan benih ikan kuwe yang
akan digunakan dalam penelitian ini telah dibuat beberapa wadah penampung yang
diserahkan kepada nelayan-nelayan pancing agar bisa diperoleh benih ikan kuwe dalam
keadaan hidup.
Selain itu, permasalahan lainnya yang dihadapi dilapangan yaitu bahwa ikan
kuwe mempunyai fishing ground tersendiri sehingga untuk nelayan pancing harus diberi
insentif khusus agar bersedia menangkap ikan ini karena nelayan tersebut tidak bisa
menangkap ikan-ikan jenis lainnya, sedangkan tingkat produktivitas pemancingan ikan
kuwe di lokasi pengkajian berdasarkan catatan selama pengumpulan benih adalah kurang
lebih 10 ekor per orang per hari.
Faktor kesulitan lainnya dalam memperoleh ikan kuwe dalam keadaan hidup
adalah kegesitannya di dalam air, sehingga para penyelam ikan hiaspun cukup kesulitan
dalam menangkap ikan ini. Seperti diketahui bahwa beberapa jenis (spesies) dari ikan
kuwe termasuk dalam kategori ikan hias yaitu Gnathodon speciosus (“golden trevally”),
sedangkan yang termasuk kategori ikan konsumsi antara lain adalah Caranx sexfasciatus
(nama daerah : tangkolok), Caranx melampygus (nama daerah : tangkolok) dan Caranx
ignobilis (nama daerah : putihan) yang digunakan dalam penelitian ini.

Pertumbuhan ikan

Sampai dengan saat dimulainya pengamatan pertumbuhan ikan, sudah tertampung


ikan-ikan kuwe (Caranx spp.) sejumlah 450 ekor dengan ukuran yang sangat bervariasi
antara 50 gram/ekor sampai 300 gram/ekor. Penampungan dan adaptasi selama beberapa
waktu (± 2 bulan) dilakukan sebelum ikan-ikan tersebut dipisah-pisahkan sesuai
rancangan percobaan yang telah ditentukan. Adaptasi tersebut diperlukan karena banyak
ikan hasil tangkapan pancing nelayan tersebut yang mengalami luka-luka sehingga harus
sehat dan siap terlebih dulu sebelum digunakan dalam penelitian ini. Kesulitan dalam
memperoleh benih ikan ini mengakibatkan ukuran awal dari setiap perlakuan padat tebar
tidak sama.

6
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan berat ikan selama 90 hari
memperlihatkan bahwa untuk semua padat penebaran masih memperlihatkan pola
pertumbuhan yang cenderung meningkat seperti terlihat pada Gambar 3, sedangkan
pertambahan berat ikan rata-rata selama pemeliharaan, berikut peubah lainnya tersaji
pada Tabel 1.

850
Berat rata-rata (gram/ekor)

750
650 10 ekor/m3
550 15 ekor/m3
450 20 ekor/m3
350
250
150
50
0 30 60 90
Lama Pemeliharaan (hari)

Gambar 3. Pola pertumbuhan ikan kuwe (Caranx spp.) yang dipelihara di KJA selama 90
hari dengan padat penebaran yang berbeda.

Pertumbuhan berat ikan selama pemeliharaan dari semua padat penebaran


memperlihatkan pola yang sama walaupun berat awal masing-masing padat penebaran
tersebut tidak sama dimana laju pertumbuhan harian yang tertinggi terjadi pada padat
penebaran 20/m³, disusul oleh padat penebaran 15/m³ dan 10/m³.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa variasi padat penebaran yang diaplikasikan
belum memperlihatkan adanya penurunan bobot biomassa sampai dengan 90 hari
pemeliharaan yang menunjukkan bahwa kepadatan optimal belum tercapai. Menurut
Huet (1972), daya dukung optimal atau produksi sesaat maksimal telah tercapai apabila
padat penebaran yang diaplikasikan telah menghasilkan penurunan pertumbuhan berat
biomassa. Dibandingkan beberapa jenis ikan kerapu, laju pertumbuhan ikan kuwe jauh
lebih tinggi. Menurut Sugama et al. (1986) dan Imanto (1986), laju pertumbuhan
beberapa jenis ikan kerapu berkisar antara 0,15 sampai 1,21 %/hari. Dengan demikian,
penambahan kepadatan ikan masih bisa dilakukan, terutama untuk memperoleh tingkat
produksi yang lebih tinggi.

Tabel 2. Keragaan budidaya budidaya ikan kuwe (Caranx spp.) dalam KJA di laut yang
telah dilakukan di Pantai Gelung Kecamatan Penarukan, Kabupaten Situbondo.

7
Padat Tebar (ekor/m³)
Parameter
10 15 20
Waktu pemeliharaan (hari) 90 90 90
Bobot awal (gr./ekor) 238,00 80,00 71,00
Bobot akhir (gr./ ekor) 795,64 312,37 301,42
Penambahan bobot per ekor (gr./ ekor) 557,64 232,37 230,42
Pertumbuhan harian (%/hari) 1,20 1,32 1.37
Kelangsungan hidup (%) 64,00 57,00 52,00
Penambahan bobot total (kg/keramba) 13,56 7,35 8,57
Total pemberian pakan (kg/keramba) 80,68 43,43 53,13
Rasio Konversi Pakan (RKP) 5,95 5,91 6,20

Rasio konversi pakan (RKP) dari ketiga tingkat penebaran ternyata tidak terlalu
berbeda dimana RKP terendah terjadi pada padat tebar 15 ekor/m³ (5,91) disusul oleh
padat tebar 10 ekor/m³ (5,95) dan 20 ekor/m³ (6,20). Secara prinsip, semakin rendah
RKP suatu jenis pakan, semakin efisien sistem budidaya tersebut, karena RKP pada
dasarnya adalah perbandingan antara banyaknya pakan yang dikonsumsi ikan dengan
penambahan bobot ikan selama pemeliharaan. Dibandingkan dengan budidaya ikan-ikan
jenis lainnya seperti kerapu dan kakap, RKP yang diperoleh dari pemeliharaan ikan kuwe
ini relatif lebih rendah. Menurut Sugama et al. (1986) dan Imanto (1986), RKP beberapa
jenis ikan kerapu bisa mencapai 15,8.
Tingkat kelangsungan hidup yang diperoleh berkisar antara 52% – 64% dimana
yang tertinggi dicapai oleh padat penebaran 10 ekor/m³ (64%), disusul oleh 15 ekor/m³
(57%) dan 20 ekor/m³ (52%). Dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian terdahulu di
perairan Sulawesi dan Maluku (Pongsapan et al., 1994 dan Racmansyah dan Usman
(1993) yang berkisar antara 72,2% – 93,0%, tingkat kelangsungan hidup ikan kuwe
dalam pengkajian ini lebih rendah. Salah satu penyebabnya adalah karena rendahnya
kualitas benih ikan kuwe yang digunakan. Seperti telah dijelaskan dibagian terdahulu
bahwa penyediaan benih ikan kuwe di lokasi penelitian mengalami hambatan dimana
benih ikan yang diperoleh merupakan hasil tangkapan nelayan dengan alat tangkap
pancing yang menyebabkan luka-luka pada tubuh ikan. Sebenarnya hal ini telah
diantisipasi melalui proses adaptasi (sampai dengan 2 bulan), tetapi ternyata hasilnya
masih belum optimal. Menurut beberapa nelayan yang telah berkecimpung dengan usaha
pemeliharaan ikan laut (kerapu) dengan sistem KJA, biasanya ikan mulai bisa beradaptasi
dengan baik setelah 3 bulan. Setelah waktu tersebut, ikan dapat dikatakan berada pada
kondisi yang aman untuk dipelihara.

8
Kondisi lingkungan perairan

Beberapa pengamatan kualitas fisik dan kimia dilakukan untuk mengetahui


kondisi lingkungan perairan yang digunakan sebagai tempat pemeliharaan ikan dalam
pengkajian ini. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa secara umum kondisi
lingkungan perairan tersebut berada dalam kisaran normal kondisi perairan yang
dipersyaratkan untuk pemeliharaan (termasuk ikan kuwe) dengan sistem KJA di laut
seperti terlihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Keragaan parameter lingkungan perairan Pantai Gelung Kecamatan Penarukan,


Kabupaten Situbondo yang digunakan sebagai tempat budidaya ikan kuwe
(Caranx spp.) dalam KJA di laut.

Parameter Yang Dianjurkan Di Lokasi Penelitian


(Kisaran) (Rata-rata)
Salinitas (ppt) 15,0 – 33,0 33,5
pH 6,5 – 9,0 7,9
Transparansi (m) >3
Hujan - 5,5
Kemarau - 10,0
Suhu (ºC) 27,0 – 32,0 29,5
Kecepatan arus (cm/detik) 5,0 – 15,0 6,1
Oksigen terlarut (ppm) 5,0 – 8,0 *
Amplitudo pasang surut (m) 1,0 – 3,0 2,5
Keterangan : * = tidak dilakukan pengamatan

Analisis finansial usaha budidaya

Di dalam analisis finansial usaha pemeliharaan ikan kuwe dengan sistem KJA ini
harga jual ikan masih berupa asumsi karena sampai akhir penelitian ini masih belum
dipanen/dijual hasilnya. Namun, tabel-tabel berikut ini memperlihatkan hasil analisis
sementara berdasarkan kondisi pelaksanaan pengkajian (Tabel 3) dan potensinya apabila
KJA difungsikan secara penuh (Tabel 4).

Tabel 3. Analisis usaha budidaya ikan kuwe (Caranx spp.) dengan sistem KJA di Pantai
Gelung Kec. Penarukan, Kab.Situbondo tahun 2002 (sesuai kondisi pengkajian,
1 kali MT).

Uraian Jumlah Harga/Unit Nilai


(unit) (Rp.) (Rp.)
INVESTASI :
- Jaring PE D/9 2½ inci ukuran (3×3×2) 6 450.000 2.700.000
meter (unit), umur teknis 3 tahun
- Rakit dengan bahan kayu dan bambu, 1 5.000.000 5.000.000
ukuran (10×8) meter (unit) dan
pelampung (drum plastik), umur

9
Uraian Jumlah Harga/Unit Nilai
(unit) (Rp.) (Rp.)
teknis 3 tahun
- Tali dan perlengkapan lainnya (set), 1 1.500.000 1.500.000
umur teknis 1 tahun
- Jangkar, pemberat dan 1 1.500.000 1.500.000
perlengkapannya (set), umur teknis 10
tahun
- Modal kerja 3.354.480
Total Investasi 14.054.480
PENYUSUTAN :
- Jaring 300.000
- Rakit + pelampung 555.556
- Tali-temali 500.000
- Jangkar + pemberat 50.000
- Biaya bunga (20%/tahun) 936.965
Biaya Tetap 2.342.521
BIAYA OPERASIONAL :
- Benih ikan kuwe (ekor) 450 5.000 2.250.000
- Pakan (kg) 177.24 2.000 354.480
- Tenaga kerja (OB) 3 250.000 750.000
Biaya Tidak Tetap 3.354.480
BIAYA TOTAL 5.697.001
PRODUKSI (kg) : 128.25 40.000 5.130.000
Keuntungan - 567.001
R/C Ratio 0.90

Analisis finansial KJA dengan kondisi yang sesuai dengan pengkajian


memperlihatkan bahwa secara komersial masih belum menguntungkan, karena memang
kapasitas penggunaannya hanya setengah dari kemampuan normal. Penyebab utamanya
karena penyediaan benih yang sulit diperoleh, sehingga perlu biaya ekstra untuk
mendapatkannya. Oleh karena itu, pada skenario ini sebenarnya tidak akan merugi
apabila harga benih ikan bisa diturunkan, paling tidak, sampai Rp.3.500,- per ekor. Pada
tingkat harga ini, usaha KJA pengkajian hanya bisa mendapatkan keuntungan sebesar
Rp.153.000,- dengan R/C ratio 1,03 atau mendekati titik impas (BEP).

Tabel 4. Analisis usaha budidaya ikan kuwe (Caranx spp.) dengan sistem KJA di Pantai
Gelung Kec. Penarukan, Kab.Situbondo tahun 2002 (kondisi potensial, bila KJA
difungsikan secara penuh, 3 kali MT).

Uraian Jumlah Harga/Unit Nilai


(unit) (Rp.) (Rp.)
INVESTASI :
- Jaring PE D/9 2½ inci ukuran (3×3×2) 6 450.000 2.700.000
meter (unit), umur teknis 3 tahun
- Rakit dengan bahan kayu dan bambu, 1 5.000.000 5.000.000
ukuran (10×8) meter (unit) dan
pelampung (drum plastik), umur
teknis 3 tahun
- Tali dan perlengkapan lainnya (set), 1 1.500.000 1.500.000

10
Uraian Jumlah Harga/Unit Nilai
(unit) (Rp.) (Rp.)
umur teknis 1 tahun
- Jangkar, pemberat dan 1 1.500.000 1.500.000
perlengkapannya (set), umur teknis 10
tahun
- Modal kerja 22.170.000
Total Investasi 32.870.000
PENYUSUTAN :
- Jaring 900.000
- Rakit + pelampung 1.666.667
- Tali-temali 1.500.000
- Jangkar + pemberat 150.000
- Biaya bunga (20%/tahun) 6.574.000
Biaya Tetap 10.790.667
BIAYA OPERASIONAL :
- Benih ikan kuwe (ekor) 2.700 5.000 13.500.000
- Pakan (kg) 2.835 2.000 5.670.000
- Tenaga kerja (OB) 12 250.000 3.000.000
Biaya Tidak Tetap 22.170.000
BIAYA TOTAL 32.960.667
PRODUKSI (kg) : 1.215 40.000 48.600.000
Keuntungan 15.639.333
Cash flow (aliran tunai) 19.856.000
R/C Ratio 1,47
Rentabilitas ekonomi (%) 47,58
Payback period (tahun) 1,66

Apabila permasalahan benih ikan bisa diatasi, baik dalam hal harga dan
ketersediannya (dalam kuantitas dan kualitas yang memadai), maka KJA bisa digunakan
secara penuh. Dalam satu tahun, KJA bisa digunakan untuk memelihara ikan sebanyak 3
kali musim tanam (MT). Dengan benih awal ukuran 150 sampai 200 gram per ekor,
dalam 3 bulan pemeliharaan bisa mencapai ukuran konsumsi, yaitu antara 400 sampai
600 gram per ekor.
Sebenarnya, keuntungan finansial dari pemeliharaan ikan kuwe dengan sistem
KJA ini masih bisa ditingkatkan antara lain dengan menurunkan harga benih,
peningkatan kepadatan dan meningkatkan harga jual setelah masa pemeliharaan.
Penurunan harga benih mungkin bisa dilakukan melalui cara penangkapan benih alam
dengan alat tangkap yang lebih sesuai, misalnya dengan alat tangkap bagan (bagan
apung) atau dengan jaring/pukat pantai. Dengan alat-alat tangkap tersebut, benih ikan
yang diperoleh bisa lebih terjamin kualitasnya dibandingkan dengan alat tangkap
pancing. Oleh karena itu, perlu dikembangkan penggunaan alat-alat tangkap alternatif
tersebut di sekitar lokasi KJA. Peningkatan kepadatan masih memungkinkan karena
berdasarkan pengamatan pola pertumbuhannya masih cenderung meningkat.
Peningkatan harga jual hasil budidaya mungkin bisa dilakukan melalui promosi antara

11
lain dengan mengkaitkan usaha pemeliharaan ikan sistem KJA ini dengan sektor
pariwisata, misalnya dengan membangun rumah-makan (restoran) terapung.
KESIMPULAN DAN SARAN

• Kendala utama yang dihadapi dalam pengkajian adalah ketersediaan benih ikan kuwe
(Caranx sp.) belum populer di kalangan pembudidaya ikan di wilayah yang selama
ini lebih mengkonsentrasikan diri pada ikan kerapu. Namun hal ini diharapkan bisa
diatasi dengan pengenalan/introduksi yang lebih intensif sehingga diharapkan bisa
dikembangkan di kalangan masyarakat nelayan yang bermodal rendah, karena untuk
usaha KJA ikan kerapu sangat padat modal.
• Penyediaan benih ikan kuwe (Caranx sp) di lokasi pengkajian bisa diatasi dengan
penggunaan alat bantu tambahan untuk penangkapan dengan pancing dan pemberian
insentif khusus (ekonomis) bagi nelayan pemancing. Namun cara ini ternyata belum
menjamin kualitas benih ikan.
• Adaptasi benih hasil tangkapan nelayan pancing selama beberapa waktu perlu
dilakukan untuk memperoleh benih yang siap tebar (hidup dan sehat) karena hasil
tangkapan ikan kuwe tersebut banyak yang mengalami luka-luka. Selain itu, adaptasi
juga diperlukan agar ikan mau mengkonsumsi pakan tambahan yang diberikan
(cincangan ikan rucah).
• Pola pertumbuhan ikan selama pemeliharaan cenderung terus meningkat yang
mengindikasikan bahwa pertumbuhan maksimal belum tercapai. Walaupun
demikian, ukuran konsumsi (pasar) membatasi pemeliharaan lebih lanjut.
• Pengamatan kualitas air/laut secara fisik maupun kimia memperlihatkan bahwa
kondisi lingkungan perairan yang digunakan untuk pemeliharaan ikan kuwe dalam
KJA ini masih dalam batas-batas (kisaran) normal yang dipersyaratkan.
• Walaupun hasil pengkajian belum memperlihatkan keuntungan usaha yang
diharapkan, namun analisis finansial menunjukkan bahwa pemanfaatan KJA secara
penuh bisa memberikan keuntungan yang memadai dan layak secara ekonomis untuk
dikembangkan.
• Perlu dilakukan penelitian untuk mengatasi permasalahan penyediaan benih ikan
kuwe secara menyeluruh melalui teknologi penangkapan yang tepat agar bisa
diperoleh benih ikan yang cukup, baik secara kuantitas maupun kualitas, dengan
harga yang terjangkau.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, T., M. Ardiansyah dan D. Usmunandar (1992). Pengaruh Pemberian Pakan


Berkadar Protein Berbeda Terhadap Pertumbuhan Kerapu Lumpur (Epinephelus
tauvina). Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Vol.8 No.2, 1992. Balai Penelitian
Perikanan Budidaya Pantai Maros.
Ahmad, T., Wardoyo dan Aslianti, T. (1995). Pemeliharaan Kerapu Bebek (Cromileptes
altivelis) Pada Kondisi Salinitas Berbeda. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia, Vol.I No.2 Tahun 1995. Puslitbang Perikanan Jakarta.
Anonimus, 2000. Laporan Tahunan 1998/1999. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perikanan, Badan Litbagn Pertanian. Jakarta.
Huet, M., 1972. Text book of fish culture : Breeding and cultivation of fish. Fishing
News (Books) Ltd., England.
Nurhakim, S., JCB. Uktolseya, Badrudin dan IGS. Merta, 1998. Potensi, tingkat
pengusahaan dan penyebaran sumberdaya ikan laut di Indonesia dalam Inovasi
Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Buku 2. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Pongsapan, Daud S., Rachmansyah dan Usman, 1994. Budidaya Ikan Kuwe, Caranx sp.
Dengan Padat Penebaran Yang Berbeda Dalam keramba Jaring Apung Di
Perairan Teluk Ambon Bagian Dalam. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai
Vol.10, No.2, 1994. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros.
Purba, R. dan T. Ahmad (1989). Studi Pendahuluan Tanggapan Ikan Kerapu Lumpur
(Epinephelus sillus) Terhadap Pakan Buatan. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai,
Vol.5 No.2, 1989. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai Maros.
Rachmansyah, D. S. Pongsapan dan E. Danakusumah (1993). Budidaya Ikan Kerapu
Kowak, Epinephelus merra Dalam Keramba Jaring Apung Pada Padat
Penebaran Berbeda di Perairan Tual, Maluku Tenggara. Jurnal Penelitian
Budidaya Pantai Vol.9 No.3, 1993. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai
Maros.
Rachmansyah dan Usman, 1993. Studi Pendahuluan Pengaruh Frekuensi Pemberian
Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Kuwe, Caranx sp., Dalam KeramBa Jaring
Apung. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Vol.9 No.4, 1993. Balai Penelitian
Perikanan Budidaya Pantai Maros.
Sugama, K., H. Eda, and E. Danakusumah (1986). Effect of Stocking Density on The
Growth of Grouper, Epinephelus tauvina, Cultured in Floating Net Cages dalam
Scientific Report of Mariculture Research and Development Project (ATA-192)
in Indonesia. Japan International Cooperation Agency. Sub Balai Penelitian
Budidaya Pantai Bojonegara, Serang.
Supito, Kuntiyo dan I.S. Djunaidah (1998). Kaji Pendahuluan Pembesaran Kerapu
Macan (Epinephelus fuscoguttatus) Di Tambak dalam Prosiding Seminar
Teknologi Perikanan Pantai. Bali, 6-7 Agustus 1998. Perkembangan Terakhir
Teknologi Budidaya Pantai Untuk Mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional.
Lolitkanta Gondol bekerjasama dengan JICA ATA-379.

13
Tonnek, S dan Rachmansyah (1993). Pengembangan Budidaya Ikan Laut Dalam
Keramba Jaring Apung di Kawasan Timur Indonesia dalam Rapat Teknis
Ilmiah Penelitian Perikanan Budidaya Pantai, Tanjung Pinang, 29 April – 1 Mei
1993. Prosiding No.10, 1993. Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai
Maros.

14

Anda mungkin juga menyukai