PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Salah satu tindak pidana yang fenomenal yang marak terjadi yaitu kasus tindak pidana
korupsi. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah semakin meluas dikalangan masyarakat
Indonesia. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun dan telah menjadi gaya
hidup orang banyak saat ini, terbukti dengan semakin merambahnya budaya korupsi mulai
dari pusat sampai ke tingkat daerah.
Berdasarkan survei yang dilakukan oleh transparency.org tahun 2012, sebuah lembaga
independen dari 146 (seratus empat puluh enam) negara mencatat bahwa ada sepuluh
negara terkorup di dunia, yaitu: Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia,
Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, Rusia. Data tersebut menunjukkan bahwa negara Indonesia
adalah negara terkorup kelima di dunia, dan menduduki peringkat pertama negara terkorup
di tingkat Asia-Pasifik. Selanjutnya 5 (lima) negara terkorup se-Asia Pasifik menurut
survei transparency.org : Indonesia, Kamboja, Vietnam, Filipina, India. Suatu survei yang
menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sangat membahayakan kehidupan
perekonomian nasional sehingga dianggap sebagai suatu kejahatan yang luar biasa.
Praktek korupsi yang semakin meningkat dengan pola yang lebih sistematis dan
canggih merupakan suatu masalah serius bagi upaya penegakan hukum di Indonesia
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional
serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak
pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi
secara sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas
dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya aparat penegak
hukum. Meningkatnya kasus tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa
bencana tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Di Indonesia, masalah korupsi tidak pernah berakhir melanda kehidupan masyarakat
Indonesia. Dari awal Negara Republik Indonesia berdiri hingga saat ini, pemerintah dan
masyarakat senantiasa disibukkan dalam urusan pemberantasan kejahatan korupsi.
Perhatikan saja, cukup banyak peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi
yang dibuat dan diganti dalam kurun waktu keberadaan negara ini. Berturut-turut
peraturan perundang-undangan silih berganti, mulai dari KUHP, Peraturan Penguasa
1
Militer Nomor : Prt/PM/06/1957 tertanggal 9 April 1957, Peraturan Penguasa Perang
Pusat Nomor : PRTIPEPERPU/013/1958 tanggal 16 April 1958, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor : 24 Tahun 1960 (yang disahkan menjadi
undang-undang berdasarkan UndangUndang Nomor I Tahun 1961), Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor
20 Tahun 200 I sampai dengan terakhir Undang-Undang Nomor 30 Tahun2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain peraturan perundang undangan pemberantasan korupsi pemerintah juga
membangun lembaga lembaga pemberantasan korupsi salah satu lembaga yang berperan
dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi yaitu kepolisian, kepolisian adalah
suatu pranata umum sipil yang menjaga ketertiban, keamanan dan penegakan hukum
diseluruh wilayah negara. Polisi dalam lingkungan pengadilan bertugas sebagai penyidik.
Dalam tugasnya dia mencari barang bukti, keterangan-keterangan dari berbagai sumber,
baik keterangan saksi-saksi maupun keterangan saksi ahli.
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian kepolisian?
2. Apa saja tugas dan wewenang kepolisian secara umum?
3. Bagaimanakah peran Kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi?
4. Bagaimanakah kewenangan Kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana
korupsi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kepolisian
2. Untuk mengetahui tugas dan wewenang kepolisian secara umum.
3. Untuk mengetahui peran kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi
4. Untuk mengetahui kewenangan kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana
Korupsi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Polisi
Kepolisian Negara Republik Indonesia ( Polri ) dikatakan alat negara yang berperan
dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka
terpeliharanya keamanan dalam negeri. ( Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Pasal 5
ayat (1) ). Polri yang dikenal dewasa ini adalah Kepolisian yang telah dibentuk sejak tanggal
19 Agustus 1945, Polri mencoba memakai sistem kepolisian federal membawah di
Departemen Dalam Negeri dengan kekuasaan terkotak-kotak antar provinsi bahkan antar
karasidenan. Maka mulai tanggal 1 Juli 1946 Polri menganut sistem Kepolisian Nasional
(The Indonesian National Police). Sistem kepolisian ini dirasa sangat pas dengan Indonesia
sebagai negara kesatuan, karenanya dalam waktu singkat Polri dapat membentuk
komando-komandonya sampai ke tingkat sektor (kecamatan). Dan sistem inilah yang
dipakai Polri sampai sekarang.
3
terutama dibidang pembinaan keamanan da ketertiban masyarakat, sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961 dan Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1969”.
Polisi sebagai pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada
masyarakat bagi tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari
suatu aturan yang mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya
yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961, bahwa kewajiban dan
wewenang kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana
saja dalam Wilayah Negara Republik Indonesia.
4
C. Peran Kepolisian dalam penegakan hukum tindak pidana Korupsi
Dalam Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik
Indonesia pada pasal 14 huruf g menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dan sesuai dengan
bunyi pasal 25 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian
secepatnya”, Hal ini selaras dengan semangat reformasi Polri yang membuat grand strategi
Polri dengan Kebijakan Strategis Pimpinan Polri di dalamnya, Bahwa pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan prioritas bagi Polri.
Peran Polri disini menjadi sangat penting, karena Polri menjadi ujung tombak dalam
penegakan hukum, meskipun dalam perkembangannya selain Polisi dan Jaksa, Negara
membentuk lembaga lain yang khusus menangani tindak pidana Korupsi yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), hal ini disebabkan karena Tindak Pidana Korupsi adalah
Kejahatan yang merupakan ekstra ordinary crime dan mempunyai implikasi sangat besar
bagi terhambatnya kemajuan Negara, juga sebagian besar pelaku korupsi berada pada jalur
birokrasi yang memegang kekuasaan sehingga di butuhkan lembaga superbodi agar bisa
melewati regulasi yang ada.
Sebagai contoh peran Polri dalam melakukan penyidikan Korupsi terhadap kasus BNI,
kasus korupsi yang dilakukan oleh Gubernur ataupun Bupati, dalam prosesnya Polri
menghadapi banyak kendala, untuk melakukan pemblokiran terhadap suatu rekening Bank
yang diduga sebagai hasil pidana korupsi, Polri harus memiliki bukti awal yang cukup dan
didasari dengan Laporan Polisi yang resmi, dikirimkan melalui Bank Indonesia dan harus
mendapat persetujuan dari Gubernur Bank Indonesia, yang tentu saja prosesnya memakan
waktu yang cukup lama. Demikian halnya dalam melakukan pemeriksaan baik sebagai
saksi maupun Tersangka terhadap para Kepala Daerah seperti Gubernur maupun Bupati,
Polri harus mendapatkan persetujuan oleh Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri
yang sudah barang tentu juga memerlukan waktu yang tidak sedikit. Namun dengan segala
keterbatasannya itu Polri selalu berusaha ekstra keras untuk bersama-sama lembaga terkait
dalam memberantas Korupsi. Karena korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi
tidak hanya dari luar akan tetapi juga dari dalam lembaga Kepolisian itu sendiri, ada
anekdot yang mengatakan bahwa mustahil membersihkan lantai yang kotor dengan sapu
yang kotor, artinya mustahil Polri mampu memberantas Korupsi bila dari dalam internal
5
kepolisian sendiri masih melakukan perbuatan-perbuatan yang koruptif; seperti pungutan
liar, makelar kasus, jual beli jabatan, dsb
6
memiliki dasar hukum dalam melakukan penyidikan dimana POLRI beralasan memiliki
wewenang berdasarkan ketentuan dalam KUHAP dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, sedangkan KPK melakukan
penyidikan berdasarkan ketentuan Pasal 6 huruf c Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasn Korupsi.
Kedua lembaga tersebut telah melakukan penyidikan dan masing-masing menetapkan
tersangka antara lain: POLRI menetapkan lima tersangka yakni bekas Wakil Kepala Korps
Lantas Brigadir Jenderal Didik Purnomo, Ketua Panitia Pengadaan Ajun Komisaris Besar
Polisi Teddy Rusmawan, Bendahara Korps Lantas Komisaris Legimo, Direktur Utama PT
Inovasi Teknologi Indonesia Sukotjo Bambang, dan Direktur Citra Mandiri Metalindo
Abadi Budi Santoso. KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Keempatnya adalah
Didik, Sukotjo, Budi, dan Gubernur Akademi Kepolisian yg juga bekas Kepala Korps
Lantas POLRI Inspektur Jenderal Djoko Susilo.Penyidik POLRI dalam melakukan
serangkaian tindakan dalam penyidikan, mempunyai wewenang sebagaimana diatur dalam
pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia:
1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk
kepentingan penyidikan
3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan
4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
7. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya denganpemeriksaan
perkara
8. Mengadakan penghentian penyidikan
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum
10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang
di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk
mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana
11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta
menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada
penuntut umum
7
12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Jika mengacu ketentuan KUHAP terlihat bahwa penyidikan terhadap suatu tindak
pidana dapat dilakukan oleh penyidik POLRI dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu,
pada prinsipnya POLRI mempunyai wewenang yang diamanatkan oleh undang-undang
untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana baik tindak pidana yang diatur
didalam KUHP maupun tindak pidana khusus diluar KUHP termasuk didalamnya
penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi sebagai suatu Tindak Pidana Khusus. Dalam
BAB IV pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan: “Penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan di sindang pengadilan terhadap Tindak Pidana Korupsi,
dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam
undangundang ini”.
Salah satu pengecualian ketentuan dalam KUHAP terdapat dalam pasal 30
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Pasal 30 Penyidik berhak membuka,
memeriksa dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya
yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Korupsi yang sedang
diperiksa. Penjelasan pasal 30: ketentuan ini untuk memberikan kewenangan pada
penyidik yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk
membuka, memeriksa, atau menyita surat harus memeperoleh izin terlebih dahulu dari
ketua Pengadilan Negeri.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepolisian adalah suatu pranata umum sipil yang menjaga ketertiban, keamanan dan
penegakan hukum diseluruh wilayah negara. Polisi dalam lingkungan pengadilan bertugas
sebagai penyidik. Dalam tugasnya dia mencari barang bukti, keterangan-keterangan dari
berbagai sumber, baik keterangan saksi-saksi maupun keterangan saksi ahli. Polisi sebagai
pengayom masyarakat yang memberi perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat bagi
tegaknya ketentuan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari suatu aturan yang
mengikat untuk melakukan suatu tindakan dalam pelaksanaan tugasnya yang telah
digariskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1961, bahwa kewajiban dan wewenang
kepolisian dalam menjalankan tugasnya harus bersedia ditempatkan di mana saja dalam
Wilayah Negara Republik Indonesia.
Dalam Undang-undang No 2 tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik
Indonesia pada pasal 14 huruf g menyebutkan “Kepolisian Negara Republik Indonesia
melakukan Penyelidikan dan Penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
Hukum Acara Pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”. Dan sesuai dengan
bunyi pasal 25 UU no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
bahwa “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara
tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian
secepatnya”, Hal ini selaras dengan semangat reformasi Polri yang membuat grand strategi
Polri dengan Kebijakan Strategis Pimpinan Polri di dalamnya, Bahwa pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi adalah merupakan prioritas bagi Polri.
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) didalam pasal 1 angka 4 menyatakan
bahwa penyelidik itu adalah: “Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi
wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.” Jadi yang dapat
menjadi penyelidik adalah Pejabat Polisi Negara Negara Republik Indonesia, selain
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia tidak bisa menjadi penyelidik. Tugas penyelidik
ialah melakukan penyelidikan yang merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna
menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
KUHAP (pasal 1 angka 5 KUHAP).