Anda di halaman 1dari 7

‘Penjajahan VOC’

Lintasan Sejarah: Indonesia Dibawah Penjajahan VOC (1602-1800)

Logo Kamar Dagang VOC di Amsterdam

Hindia-Belanda (sekarang: Indonesia) pada abad ke-17 dan 18 tidak dikuasai secara
langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh perusahaan dagang bernama VOC yang bermarkas di
Batavia, yang kini bernama Jakarta.
Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur atau Perusahaan
Hindia Timur Belanda) atau VOC yang didirikan pada tanggal 20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda
yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Disebut Hindia Timur karena ada
pula VWC (Vereenigde Westindische Compagnie) yang merupakan perserikatan dagang Hindia Barat.
Perusahaan ini dianggap sebagai perusahaan pertama yang mengeluarkan pembagian saham.
Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah Badan Dagang saja, tetapi badan dagang ini
istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas-fasilitas sendiri yang istimewa. Misalkan VOC
boleh memiliki tentara dan boleh bernegosiasi dengan negara-negara lain. Bisa dikatakan VOC adalah
negara dalam negara.
VOC terdiri 6 Bagian (Kamers) di Amsterdam, Middelburg (untuk Zeeland), Enkhuizen, Delft,
Hoorn dan Rotterdam. Delegasi dari ruang ini berkumpul sebagai Heeren XVII (XVII Tuan-
Tuan). Kamers menyumbangkan delegasi ke dalam tujuh belas sesuai dengan proporsi modal yang
mereka bayarkan; delegasi Amsterdam berjumlah delapan.
Di Indonesia VOC memiliki sebutan populer Kompeni atau Kumpeni. Istilah ini diambil dari kata
compagnie dalam nama lengkap perusahaan tersebut dalam bahasa Belanda. Tetapi rakyat Nusantara
lebih mengenal Kompeni adalah tentara Belanda karena penindasannya dan pemerasan kepada rakyat
Nusantara yang sama seperti tentara Belanda.
Latar belakang
Datangnya orang Eropa melalui jalur laut diawali oleh Vasco da Gama, yang pada tahun 1497-
1498 berhasil berlayar dari Eropa ke India melalui Tanjung Pengharapan (Cape of Good Hope) di ujung
selatan Afrika, sehingga mereka tidak perlu lagi bersaing dengan pedagang-pedagang Timur Tengah
untuk memperoleh akses ke Asia Timur, yang selama ini ditempuh melalui jalur darat yang sangat
berbahaya. Pada awalnya, tujuan utama bangsa-bangsa Eropa ke Asia Timur dan Tenggara termasuk ke
Nusantara adalah untuk perdagangan, demikian juga dengan bangsa Belanda. Misi dagang yang kemudian
dilanjutkan dengan politik pemukiman -kolonisasi- dilakukan oleh Belanda dengan kerajaan-kerajaan di
Jawa, Sumatera dan Maluku, sedangkan di Suriname dan Curaçao, tujuan Belanda sejak awal adalah
murni kolonisasi (pemukiman). Dengan latar belakang perdagangan inilah awal kolonialisasi bangsa
Indonesia (Hindia Belanda) berawal.
Selama abad ke 16 perdagangan rempah-rempah didominasi oleh Portugis dengan menggunakan
Lisbon sebagai pelabuhan utama. Sebelum revolusi di negeri Belanda kota Antwerp memegang peranan
penting sebagai distributor di Eropa Utara, akan tetapi setelah tahun 1591 Portugis melakukan kerjasama
dengan firma-firma dari Jerman, Spanyol dan Italia menggunakan Hamburg sebagai pelabuhan utama
sebagai tempat untuk mendistribusikan barang-barang dari Asia, memindah jalur perdagangan tidak
melewati Belanda. Namun ternyata perdagangan yang dilakukan Portugis tidak efisien dan tidak mampu
menyuplai permintaan yang terus meninggi, terutama lada. Suplai yang tidak lancar menyebabkan harga
lada meroket pada saat itu. Selain itu Unifikasi Portugal dan Kerajaan Spanyol (yang sedang dalam
keadaan perang dengan Belanda pada saat itu) pada tahun 1580, menimbulkan kekhawatiran tersendiri
bagi Belanda. ketiga faktor tersebutlah yang mendorong Belanda memasuki perdagangan rempah-rempah
Interkontinental. Akhirnya Jan Huyghen van Linschoten dan Cornelis de Houtman menemukan “jalur
rahasia” pelayaran Portugis, yang membawa pelayaran pertama Cornelis de Houtman ke Banten,
pelabuhan utama di Jawa pada tahun 1595-1597.
Pada tahun 1596 empat kapal ekspedisi dipimpin oleh Cornelis de Houtman berlayar menuju
Indonesia, dan merupakan kontak pertama Indonesia dengan Belanda. Ekspedisi ini mencapai Banten,
pelabuhan lada utama di Jawa Barat, disini mereka terlibat dalam perseteruan dengan orang Portugis dan
penduduk lokal. Houtman berlayar lagi ke arah timur melalui pantai utara Jawa, sempat diserang oleh
penduduk lokal di Sedayu berakibat pada kehilangan 12 orang awak, dan terlibat perseteruan dengan
penduduk lokal di Madura menyebabkan terbunuhnya seorang pimpinan lokal. Setelah kehilangan
separuh awak maka pada tahun berikutnya mereka memutuskan untuk kembali ke Belanda namun
rempah-rempah yang dibawa cukup untuk menghasilkan keuntungan.

Kamar Dagang VOC di Amsterdam


Adalah para pedagang Inggris yang memulai mendirikan perusahaan dagang di Asia pada 31 Desember
1600 yang dinamakan The British East India Company dan berpusat di Kalkuta. Kemudian Belanda
menyusul tahun 1602 dan Perancis pun tak mau ketinggalan dan mendirikan French East India Company
tahun 1604.
Pada 20 Maret 1602, para pedagang Belanda mendirikan Verenigde Oost-Indische Compagnie –
VOC (Perkumpulan Dagang India Timur). Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara
Eropa, yaitu Portugis, Spanyol kemudian juga Inggris, Perancis dan Belanda, untuk memperebutkan
hegemoni perdagangan di Asia Timur. Untuk menghadapai masalah ini, oleh Staaten Generaal di
Belanda, VOC diberi wewenang memiliki tentara yang harus mereka biayai sendiri. Selain itu, VOC juga
mempunyai hak, atas nama Pemerintah Belanda -yang waktu itu masih berbentuk Republik- untuk
membuat perjanjian kenegaraan dan menyatakan perang terhadap suatu negara. Wewenang ini yang
mengakibatkan, bahwa suatu perkumpulan dagang seperti VOC, dapat bertindak seperti layaknya satu
negara.
Perusahaan ini mendirikan markasnya di Batavia (sekarang Jakarta) di pulau Jawa. Pos kolonial
lainnya juga didirikan di tempat lainnya di Hindia Timur yang kemudian menjadi Indonesia, seperti di
kepulauan rempah-rempah (Maluku), yang termasuk Kepulauan Banda di mana VOC manjalankan
monopoli atas pala dan fuli. Metode yang digunakan untuk mempertahankan monompoli termasuk
kekerasan terhadap populasi lokal, dan juga pemerasan dan pembunuhan massal.
Pos perdagangan yang lebih tentram di Deshima, pulau buatan di lepas pantai Nagasaki, adalah
tempat satu-satunya di mana orang Eropa dapat berdagang dengan Jepang.
Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan, dan pada
1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614), namun ia memilih
Jayakarta sebagai basis administrasi VOC. Sementara itu, Frederik de Houtman menjadi Gubernur VOC
di Ambon (1605 – 1611) dan setelah itu menjadi Gubernur untuk Maluku (1621 – 1623).
Logo VOC-Zionist
Tujuan VOC
Tujuan utama dibentuknya VOC seperti tercermin dalam perundingan 15 Januari 1602 adalah
untuk “menimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan tanah air”. Yang dimaksud musuh saat itu
adalah Portugis dan Spanyol yang pada kurun Juni 1580 – Desember 1640 bergabung menjadi satu
kekuasaan yang hendak merebut dominasi perdagangan di Asia. Untuk sementara waktu, melalui VOC
bangsa Belanda masih menjalin hubungan baik bersama masyarakat Nusantara.
Hak istimewa
Hak-hak istimewa yang tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi:
1. Hak monopoli untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah
barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri;
2. Hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara untuk:
2.1 memelihara angkatan perang,
2.2 memaklumkan perang dan mengadakan perdamaian,
2.3 merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda,
2.4 memerintah daerah-daerah tersebut,
2.5 menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri, dan
2.6 memungut pajak.

Bendera VOC-Belanda
Garis waktu:
Pada 1652, Jan van Riebeeck mendirikan pos di Tanjung Harapan (ujung selatan Afrika, sekarang
ini Afrika Selatan) untuk menyediakan kapal VOC untuk perjalanan mereka ke Asia Timur. Pos ini
kemudian menjadi koloni sungguhan ketika lebih banyak lagi orang Belanda dan Eropa lainnya mulai
tinggal di sini. Pos VOC juga didirikan di Persia (sekarang Iran), Benggala (sekarang Bangladesh) dan
sebagian India), Ceylon (sekarang Sri Lanka), Malaka (sekarang Malaysia), Siam (sekarang Thailand),
Cina daratan (Kanton), Formosa (sekarang Taiwan) dan selatan India. Pada 1662, Koxinga mengusir
Belanda dari Taiwan.
Pada 1669, VOC merupakan perusahaan pribadi terkaya dalam sepanjang sejarah, dengan
lebih dari 150 perahu dagang, 40 kapal perang, 50.000 pekerja, angkatan bersenjata pribadi dengan
10.000 tentara, dan pembayaran dividen 40%.
Perusahaan ini hampir selalu terjadi konflik dengan Inggris; hubungan keduanya memburuk
ketika terjadi Pembantaian Ambon pada tahun 1623. Pada abad ke-18, kepemilikannya memusatkan di
Hindia Timur. Setelah peperangan keempat antara Provinsi Bersatu dan Inggris (1780-1784), VOC
mendapatkan kesulitan finansial, dan pada 17 Maret 1798, perusahaan ini dibubarkan, setelah Belanda
diinvasi oleh tentara Napoleon Bonaparte dari Perancis. Hindia Timur diserahkan kepada Kerajaan
Belanda oleh Kongres Wina di 1815.
Alur waktu:
Maret 1602 – Belanda berusaha memonopoli perdagangan rempah-rempah dengan membentuk suatu
kongsi dagang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie).
1603 – VOC telah membangun pusat perdagangan pertama yang tetap di Banten namun tidak
menguntungkan kerena persaingan dengan para pedagang Tionghoa dan Inggris.
Februari 1605 – Armada VOC bersekutu dengan Hitu menyerang kubu pertahanan Portugis di Ambon
dengan imbalan VOC berhak sebagai pembeli tunggal rempah-rempah di Hitu.
1602 – Sir James Lancaster kembali ditunjuk memimpin pelayaran yang armada berisi orang-orang The
East India Company dan tiba di Aceh untuk selanjutnya menuju Banten.
1604 – Pelayaran yang ke-2 maskapai Inggris yang dipimpin oleh Sir Henry Middleton, maskapai ini
berhasil mencapai Ternate, Tidore, Ambon dan Banda. Akan tetapi di wilayah yang mereka kunjungi ini
mendapat perlawanan yang keras dari VOC.
1609 – VOC membuka kantor dagang di Sulawesi Selatan namun niat tersebut dihalangi oleh raja Gowa.
Raja Gowa tersebut melakukan kerjasama dengan pedagang-pedagang Inggris, Prancis, Denmark,
Spanyol dan Portugis.
1610 – Ambon dijadikan pusat VOC, dipimpin seorang-gubernur jendral. Tetapi selama 3 orang
gubernur-jendral, Ambon tidak begitu memuaskan untuk dijadikan markas besar karena jauh dari jalur-
jalur utama perdagangan Asia.
1611 – Inggris berhasil mendirikan kantor dagangnya di bagian Indonesia lainnya, di Sukadana
(Kalimantan barat daya), Makassar, Jayakerta, Jepara, Aceh, Priaman, Jambi.
1618 – Des Banten mengambil keputusan untuk menghadapi Jayakarta dan VOC dengan memaksa
Inggris untuk membantu, dipimpin laksamana Thomas Dale.
1619 – Ketika VOC akan menyerah pada Inggris, secara tiba-tiba muncul tentara Banten menghalangi
maksud Inggris. Karena Banten tidak mau pos VOC di Batavia diisi oleh Inggris. Akibatnya Thomas Dale
melarikan diri dengan kapalnya; Banten menduduki kota Batavia.
12 Mei 1619 – Pihak Belanda mengambil keputusan untuk memberi nama baru Jayakarta sebagai
Batavia.
Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen, seorang Belanda, melakukan pelayaran ke Banten dengan 17 kapal.
30 Mei 1619 – Jan Pieterszoon Coen melakukan penyerangan terhadap Banten, memukul mundur tentara
Banten. Membangun Batavia sebagai pusat militer dan administrasi yang relatif aman bagi pergudangan
dan pertukaran barang-barang, karena dari Batavia mudah mencapai jalur-jalur perdagangan ke Indonesia
bagian timur, timur jauh, dari Eropa.
1619 – Jan Pieterszoon Coen ditunjuk menjadi gubernur-jendral VOC. Dia menggunakan kekerasan,
untuk memperkokoh kekuasaannya dia menghancurkan semua yang merintangi. Dan menjadikan Batavia
sebagai tempat bertemunya kapal-kapal dagang VOC.
1619 – Terjadi migrasi orang Tionghoa ke Batavia. VOC menarik sebanyak mungkin pedagang Tionghoa
yang ada di berbagai pelabuhan seperti Banten, Jambi, Palembang dan Malaka ke Batavia. Bahkan ada
juga yang langsung datang dari Tiongkok. Di sini orang-orang Tionghoa sudah menjadi suatu bagian
penting dari perekonomian di Batavia. Mereka aktif sebagai pedagang, penggiling tebu, pengusaha toko,
dan tukang yang terampil.
1620 – Atas dasar pertimbangan diplomatik di Eropa VOC terpaksa bekerjasama dengan pihak Inggris
dengan memperbolehkan Inggris mendirikan kantor dagang di Ambon.
1620 – Dalam rangka mengatasi masalah penyeludupan di Maluku, VOC melakukan pembuangan,
pengusiran bahkan pembantaian seluruh penduduk Pulau Banda dan berusaha menggantikannya dengan
orang-orang Belanda pendatang dan mempekerjakan tenaga kerja kaum budak.
1623 – VOC melanggar kerjasama dengan Inggris, Belanda membunuh 12 agen perdagangan Inggris, 10
orang Inggris, 10 orang Jepang; 1 orang Portugis dipotong kepalanya.
1630 – Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk
mendapatkan hegemoni perniagaan laut di Indonesia.
1637 – VOC yang telah beberapa lama di Maluku tidak mampu memaksakan monopoli atas produksi
pala, bunga pala, dan yang terpenting, cengkeh. Penyeludupan cengkeh semakin berkembang, muncul
banyak komplotan-komplotan yang anti dengan VOC. Gubernur-Jendral Antonio van Diemen
melancarkan serangan terhadap para penyeludup dan pasukan-pasukan Ternate di Hoamoal.
1638 – Van Diemen kembali ke Maluku dan berusaha membuat persetujuan dengan raja Ternate dimana
VOC bersedia mengakui kedaulatan raja Ternate atas Seram, Hitu serta menggaji raja sebesar 4.000
real/tahun dengan imbalan bahwa penyeludupan cengkeh akan dihentikan dan VOC diberi kekuasaan de
facto atas Maluku. Akan tetapi persetujuan ini gagal.
1643 – Arnold de Vlaming mengambil kesempatan kekalahan Ternate dengan memaksa raja Ternate
Mandarsyah ke Batavia dan menandatangani perjanjian yang melarang penanaman pohon cengkeh di
semua wilayah kecuali Ambon atau daerah lain yang dikuasai VOC. Hal ini disebabkan pada masa itu
Ambon mampu menghasilkan cengkeh melebihi kebutuhan untuk konsumsi dunia.
1656 – Seluruh penduduk Ambon yang tersisa dibuang. Semua tanaman rempah-rempah di Hoamoal
dimusnahkan dan akibatnya daerah tersebut tidak didiami manusia kecuali jika ekspedisi Hongi (armada
tempur) melintasi wilayah itu untuk mencari pohon-pohon cengkeh liar yang harus dimusnahkan.
1660 – Armada VOC yang terdiri dari 30 kapal menyerang Gowa, menghancurkan kapal-kapal Portugis.
Agustus-Desember 1660 – Sultan Hasanuddin, raja Gowa dipaksa menerima persetujuan perdamaian
dengan VOC, namun persetujuan ini tidak berhasil mengakhiri permusuhan.
18 November 1667 – Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani perjanjian Bongaya, akan tetapi
Hasanuddin kembali mengobarkan pertempuran.
April 1668 dan Juni 1669 – VOC melakukan serangan besar-besaran terhadap Goa dan setelah
pertempuran ini perjanjian Bongaya benar-benar dilakukan.
1669 – Kondisi keadaan Nusantara bagian timur bertambah kacau, kehidupan ekonomi dan administrasi
tidak terkendalikan lagi.
1670 – VOC telah berhasil melakukan konsolidasi kedudukannya di Indonesia Timur. Pihak Belanda
masih tetap menghadapi pemberontakan-pemberontakan tetapi kekuatannya tidak begitu besar.
1670 – VOC menebangi tanaman rempah-rempah yang tidak dapat diawasi, Hoamoal tidak dihuni lagi,
orang Bugis dan Makassar meninggalkan kampung halamannya. Banyak orang-orang Eropa dan sekutu-
sekutu yang tewas, semata-mata guna mencapai tujuan VOC untuk memonopoli rempah-rempah.
1674 – Pulau Jawa dalam keadaan yang memprihatinkan, kelaparan merajalela, berjangkit wabah
penyakit, gunung merapi meletus, gempa bumi, gerhana bulan, dan hujan yang tidak turun pada
musimnya.
1680 – Di Jawa Barat, kerajaan Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa mengalami masa kejayaannya,
Banten memiliki suatu armada yang dibangun menurut model Eropa. Kapal-kapalnya berlayar memakai
surat jalan menyelenggarakan perdagangan yang aktif di Nusantara. Atas bantuan pihak Inggris,
Denmark, Tiongkok orang-orang Banten dapat berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam,
Tiongkok, Filipina dan Jepang. Banten merupakan penghasil lada yang sangat kaya.
1680 – VOC pada dasarnya hanya terbatas menguasai dataran-dataran rendah tertentu saja di Jawa.
daerah pegunungan seringkali tidak berhasil dikuasai dan daerah ini dijadikan tempat persembunyian
pemberontak. Tidak dapat dihindarkan lagi pemberontakan-pemberontakan mengakibatkan kesulitan dan
menguras dana VOC.
1682 – Pasukan VOC dipimpin François Tack dan Isaac de Saint-Martin berlayar menuju Banten guna
menguasai perdagangan di Banten. VOC merebut dan memonopoli perdagangan lada di Banten. Orang-
orang Eropa yang merupakan saingan VOC diusir. Orang-orang Inggris mengundurkan diri ke Bengkulu
dan Sumatera Selatan satu-satunya pos mereka yang masih ada di Indonesia.
1683-1710 – VOC mengalami masalah keuangan yang sangat berat di wilayah Asia selama kurun waktu
tersebut. Di antara 23 kantornya hanya tiga (Jepang, Surat dan Persia) yang mampu memberikan
keuntungan; sembilan menunjukkan kerugian setiap tahun termasuk Ambon, Banda, Ternate, Makassar,
Banten, Cirebon dan wilayah pesisir Jawa. VOC banyak mengeluarkan biaya-biaya yang sangat tinggi
akibat pemberontakan di samping pengeluaran pribadi VOC yang tidak efesien, kebejatan moral, korupsi
yang merajalela. VOC juga menuntut semakin banyak kepada rakyat Jawa, yang mengakibatkan
pemberontakan yang terus berlanjut dan pengeluaran VOC bertambah tinggi.
1684 – Gubernur-Jendral Speelman meninggal. Terbongkarlah korupsi dan penyalah gunaan kekuasaan.
Konon Speelman memerintah tanpa menghiraukan nasihat Dewan Hindia dan banyak melakukan
pembayaran dengan uang VOC yang pada dasarnya tidak pernah ada untuk pekerjaan yang tidak pernah
dilakukan. Selama masa kekuasaan Speelmen jumlah penjualan tekstil menurun 90%, monopoli candu
tidak efektif. Speelman juga banyak melakukan penggelapan uang negara dan pada 1685 semua
penunggalan Speelman disita negara.
8 Februari 1686 – Dengan tipu muslihat Surapati berhasil membunuh François Tack dalam suatu
pertempuran. Tack tewas dengan dua puluh luka di tubuhnya.
1690 – Belanda berusaha membalas kekalahan yang dialami Tack tetapi gagal karena Surapati menguasai
teknik-teknik militer Eropa dengan baik.
1702 – Jumlah kekuatan serdadu militer Belanda yang berkebangsaan Eropa hanya tinggal sedikit.
Administrasi VOC kacau balau.
1706 – Surapati terbunuh di Bangil.
1721 – VOC mengumumkan apa yang dinamakan komplotan orang-orang Islam yang bermaksud
melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa di Batavia dan juga orang-orang Tionghoa.
1722 – Perlakuan terhadap orang-orang Tionghoa bertambah kejam dan korup. Walaupun demikian
jumlah orang Tionghoa bertambah dengan pesat. VOC melakukan sistem kuota untuk membatasi
imigrasi, tetapi kapten-kapten kapal Tionghoa mampu menghindarinya dengan bantuan dari pejabat VOC
yang korupsi. Kebanyakan orang-orang Tionghoa pendatang yang tidak memperoleh pekerjaan sebagian
besar mereka bergabung menjadi gerombolan-gerombolan penjahat di sekitar Batavia.
1727 – Posisi ekonomi orang Tionghoa makin penting di satu pihak dan sering terjadinya kejahatan oleh
orang Tionghoa, menimbulkan perasaan tidak senang terhadap orang Tionghoa. Rasa tidak senang
menjadi semakin tebal di kalangan warga bebas, kolonis-kolonis Belanda yang tidak dapat menandingi
orang Tionghoa. Timbullah kemudian rasa permusuhan dan sikap rasialis terhadap orang Tionghoa.
1727 – Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang telah
tinggal 10 sampai 12 tahun di Batavia dan belum memiliki surat izin akan dikembalikan ke Tiongkok.
1729 – Pemerintah kolonial memberikan kesempatan selama 6 bulan kepada orang Tionghoa untuk
mengajukan permohonan izin tinggal di Batavia dengan membayar 2 ringgit.
1730 – Dikeluarkan larangan bagi orang Tionghoa untuk membuka tempat penginapan, tempat
pemadatan candu dan warung baik di dalam maupun di luar kota.
1736 – Pemerintah kolonial mengadakan pendaftaran bagi semua orang Tionghoa yang tidak memiliki
surat izin tinggal.
1740 – Terdapat 2.500 rumah orang Tionghoa di dalam tembok Batavia sedangkan jumlah orang
Tionghoa di kota dan daerah sekitarnya diperkirakan 15.000 jiwa. Jumlah ini setidak-tidaknya merupakan
17% dari keseluruhan penduduk di daerah terebut. Ada kemungkinan bahwa orang-orang Tionghoa
sebenarnya merupakan unsur penduduk yang lebih besar jumlahnya. Ada pula orang-orang Tionghoa di
kota-kota pelabuhan Jawa dan Kartasura walaupun jumlahnya hanya sedikit.
1740 – Terjadi penangkapan terhadap orang Tionghoa, tidak kurang 1.000 orang Tionghoa dipenjarakan.
Orang Tionghoa menjadi gelisah lebih-lebih setelah sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan
perampasan hak milik Tionghoa.
4 Februari 1740 – Segerombolan orang Tionghoa melakukan pemberontakan dan penyerbuan pos
penjagaan untuk membebaskan bangsanya yang ditahan.
Juni 1740 – Kompeni Belanda mengeluarkan lagi peraturan bahwa semua orang Tionghoa yang tidak
memiliki izin tinggal akan ditangkapdan diangkut ke Sailan. Peraturan ini dilaksanakan dengan
sewenang-wenang.
September 1740 – Tersiar berita bahwa segerombolan orang Tionghoa di daerah pedesaan sekitar Batavia
bergerak mendekati pintu gerbang Batavia. Mr. Cornelis di Tangerang dan de Qual di Bekasi,
memerintahkan memperkuat pos-pos penjagaan.
7 Oktober 1740 – Pasukan bantuan yang dikirim ke Tangerang oleh pemerintah kolonial diserang oleh
gerombolan Tionghoa, sebagian besar dari pasukan tersebut tewas.
Oktober 1740 – Berdasarkan bukti yang didapatkan VOC menarik kesimpulan bahwa orang-orang
Tionghoa sedang merencanakan sebuah pemberontakan.
8 Oktober 1740 – Kompeni Belanda mengeluarkan maklumat, antara lain perintah menyerahkan senjata
kepada kompeni. Jam malam diadakan.
9 Oktober 1740 – Dimulainya pembunuhan terhadap orang Tionghoa secara besar-besaran. Yang banyak
melakukan pembunuhan ini adalah orang-orang Eropa dan para budak. Dan pada akhirnya ada sekitar
10.000 orang Tionghoa yang tewas. Perkampungan orang Tionghoa dibakar selama beberapa hari.
Kekerasan ini berhenti setelah orang Tionghoa memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC
guna melakukan tugasnya yang rutin.
10 Oktober 1740 – Pertahanan kompeni Belanda di Tangerang diserang oleh sekitar 3.000 orang
pemberontak Tionghoa.
Mei 1741 – Orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke arah
timur menyusur sepanjang daerah pesisir. Mereka melakukan perebutan pos di Juwana. Markas besar
VOC dikepung dan pos-pos lainnya terancam.
Juli 1741 – Pos VOC di Rembang dihancurkan oleh orang-orang Tionghoa yang membantai seluruh
personel VOC.
Juli 1741 – Prajurit raja yang berada di Kartasura menyerang pos garnisun VOC. Komandan VOC Kapten
Johannes van Velsen dan beberapa serdadu lainnya tewas. Serdadu yang selamat ditawari pilihan beralih
ke agama Islam atau mati dan banyak yang memilih pindah agama.
November 1741 – Pakubuwana II mengirim pasukan artileri ke Semarang. Pasukan prajurit-prajurit
tersebut bersatu dengan orang Tionghoa melakukan pengepungan terhadap pos VOC. Pos VOC di
Semarang ini dikepung oleh kira-kira 20.000 orang Jawa dan 3.500 orang Tionghoa dengan 30 pucuk
meriam. Orang Jawa dan Tionghoa bersatu melawan kompeni Belanda.
Desember 1741-awal 1742 – VOC merebut kembali daerah-daerah lain yang terancam serangan.
13 Februari 1755 – VOC menandatangani Perjanjian Giyanti. Isinya VOC mengakui Mangkubumi
sebagai Sultan Hamengkubuwana I, penguasa separuh wilayah Jawa Tengah.
September 1789 – Belanda mendengar desas-desus bahwa raja Jawa akan melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang Eropa, sehingga mengutus seorang residen yang bernama Andries Hartsick dengan
memakai pakaian Jawa menghadiri pertemuan rahasia di Istana Jawa.
1 Januari 1800 – VOC secara resmi dibubarkan, didirikan Dewan untuk urusan jajahan Asia. Belanda
kalah perang dan dikuasai Perancis. Wilayah-wilayah yang dimiliki Belanda menjadi milik Perancis.
Pembubaran VOC
Pada pertengahan abad ke-18 VOC mengalami kemunduran karena beberapa sebab sehingga
dibubarkan (pailit) . Alasannya adalah sebagai berikut:
1. Banyak pegawai VOC yang curang dan korupsi
2. Banyak pengeluaran untuk biaya peperangan contoh perang melawan Hasanuddin dari Gowa
3. Banyaknya gaji yang harus dibayar karena kekuasaan yang luas membutuhkan pegawai yang banyak
4. Pembayaran Devident (keuntungan) bagi pemegang saham turut memberatkan setelah pemasukan VOC
kekurangan
5. Bertambahnya saingan dagang di Asia terutama Inggris dan Perancis
6. Perubahan politik di Belanda dengan berdirinya Republik Bataaf 1795 yang demokratis dan liberal
menganjurkan perdagangan bebas.
Berdasarkan alasan di atas VOC dibubarkan pada tanggal 31 Desember 1799 dengan hutang 136,7
juta gulden dan kekayaan yang ditinggalkan berupa kantor dagang, gudang, benteng, kapal serta
daerah kekuasaan di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai