Anda di halaman 1dari 4

Hari Air Internasional

Belum Ada Judul Boss…


Coping with water scarcity. Demikian tema hari air internasional tahun 2007 yang
diperingati setiap tanggal 22 Maret. Tema ini dipilih mengingat dewasa ini telah terjadi
peningkatan yang signifikan dalam pemanfaatan air bersih diseluruh dunia. Namun
sayangnya, peningkatan tersebut ternyata tidak selamanya didukung oleh berbagai usaha
untuk menjaga sumber-sumber air bersih. Sehingga yang terjadi akhirnya justru defisit air
bersih diberbagai belahan dunia.
Hal yang sama juga berlaku untuk Indonesia. Wilayah Indonesia, menurut Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), memiliki 6% dari persediaan air dunia atau sekitar 21%
persediaan air Asia Pasifik. Namun demikian, kelangkaan dan kesulitan mendapatkan air
bersih dan layak pakai menjadi permasalahan yang mulai muncul di banyak tempat dan
semakin mendesak dari tahun ke tahun.
Kecenderungan konsumsi air bersih naik secara eksponensial, diperkirakan sebesar 15-
35% perkapita per tahun. Sedangkan ketersediaan air bersih cenderung melambat akibat
kerusakan alam dan pencemaran. Pengerusakan hutan dan pembuangan limbah baik
rumah tangga dan industri tanpa proses pengolahan sangat berperan dalam menurunkan
kualitas air.
Soal pengerusakan hutan misalnya. Selama periode 1990-2000, dari 48 negara yang
melaporkan kondisi hutannya, hanya 13 negara yang mampu meningkatkan jumlah
luasan hutannya. Sementara 17 negara tidak terjadi perubahan luas hutan, dan 18 negara
sisanya justru berkurang luas hutannya. Yang menyedihkan, Indonesia justru ternmasuk
dalam negara yang membabat hutan paling cepat bersama Mikronesia, Myanmar, dan
Malaysia.
Selain itu Walhi sendiri pernah menyatakan bahwa kerusakan hutan di Indonesia akibat
destructive logging, setiap menitnya penebangan hutan ini mencapai 7,2 hektar. Bahkan
menurut Menteri Kehutanan MS Kaban, kerusakan hutan di Indonesia saat ini telah
mencapai 59,2 juta hektar. Ini berarti hampir 50% dari total hutan Indonesia. Jika hal ini
terus dibiarkan, 10 tahun ke depan hutan Indonesia akan habis dan akan menimbulkan
kerugian material yang jauh lebih serius. Krisis air dan ancaman banjir bandang!
Selain itu, ancaman krisi air bersih juga dihadapi Jakarta. Menipisnya ketersediaan air
tanah di wilayah ini harus menjadi perhatian tersendiri pemerintah terkait baik pusat
maupun daerah. Hal ini terkait kedudukan Jakarta yang nota bene merupakan Ibukota
Negara.
BPLHD DKI Jakarta pernah menyatakan, penyedotan beramai-ramai air bawah tanah
-baik legal maupun ilegal- telah sampai pada tahap "defisit". Untuk tahun 2005 saja
penyedotan air bawah tanah di Jakarta diperkirakan mencapai 251,8 juta meter kubik.
Perkiraan ini belum termasuk air bawah tanah yang disedot untuk proyek pembangunan
dan industri.
Padahal sesuai ketentuan, idealnya batas aman penyedotan air bawah tanah maksimal
adalah 30% dari potensi keseluruhannya. Jika potensi air bawah tanah secara keseluruhan
diperkirakan mencapai 532 juta meter kubik, maka berarti hitungan batas aman
penyedotan air bawah tanah di Jakarta seharusnya maksimal 186,2 juta meter kubik.
Namun kenyataannya -jika data BPLHD tersebut benar adanya- maka pada tahun yang
sama sesungguhnya telah terjadi defisit air bawah tanah sebesar 66,6 juta meter kubik
Di sisi lain krisis air tanah juga terjadi karena kemampuan akuifer -lapisan tanah atau
bebatuan yang dapat menyimpan dan mengalirkan air- dalam mengisi ketersediaan air
tanah secara alami tidak maksimal seiring degradasi lahan tangkapan air.
Data yang dikumpulkan Litbang Media Group menunjukkan, bahwa Ruang Terbuka
Hijau (RTH) di Jakarta mengalami penurunan yang cukup siginifikan semenjak tahun
2000. Di tahun tersebut luas RTH Jakarta mencapai 18.180 ha atau sekitar 28% dari luas
total Jakarta yang 66.152 ha. Jumlah tersebut terus menurun di tahun 2003 dengan luas
RTH 5.954 ha. Selanjutnya secara bertahap RTH Jakarta meningkat menjadi 9.242 ha di
tahun 2005, dengan target akhir realisasi di tahun 2010 sebesar 13,94% atau setara
dengan 9.544 ha.
Kondisi demikian secara tidak langsung pada akhirnya akan menyebabkan berkurangnya
kemampuan lahan menyerap dan menyimpan air. Terhadap hal ini BPHLD pun
memperkirakan lebih dari 70 persen air hujan yang mengguyur Kota Jakarta langsung
mengalir ke laut. Hanya sekitar 26 persen sisanya yang terserap ke tanah menjadi air
bawah tanah. Jadi tidak salah pula jika ada pameo yang mengatakan kebanjiran di musim
hujan, kekeringan di musim kemarau.
Seakan semakin menambah persoalan diatas, kualitas air tanah di ibukota negara inipun
ternyata tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Hasil klasifikasi Indeks Pencemaran (IP)
BPLHD DKI Jakarta terhadap beberapa sumur yang tersebar di lima wilayah
menunjukkan kualitas air tanah yang dikonsumsi warga relatif buruk. Dari 48 sumur yang
diteliti, sebanyak 56,3% atau 27 sumur tercatat dalam kondisi cemar berat dan cemar
sedang, sementara sisanya terindikasi cemar ringan dan dalam kondisi baik.
Adapun, wilayah Ibukota Jakarta yang kualitas airnya paling jelek adalah Jakarta Utara,
diikuti Jakarta Pusat dan Jakarta Barat. Hal ini bisa jadi dikarenakan intrusi air laut yang
sudah sedemikian jauh mengkontaminasi air tanah di Jakarta. Sementara Jakarta Selatan
dan Jakarta Barat kondisi air bawah tanahnya masih relatif lebih baik, dikarenakan posisi
geografisnya yang lebih tinggi dan cenderung lebih dekat ke daerah hilir.
Privatisasi air.
Mencermati persoalan pemenuhan kebutuhan air ini, maka ada dua aspek yang patut
menjadi perhatian. Pertama adalah bagaimana pemerintah baik di tingkat pusat dan lebih
utamanya di tingkat daerah mampu meningkatkan pelayanan air bersih kepada
masyarakat. Hal ini sangat terkait dengan bagaimana sebenarnya pemerintah mampu
memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat. Dimana salah satunya adalah akses terhadap
air bersih. Dari berbagai hal yang disampaikan di atas pada dasarnya dapat disimpulkan
bahwa pemerintah masih gagal memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat.
Data yang dirilis oleh BPS menunjukan bahwa sampai tahun 2004 dilihat berdasarkan
sumbernya, maka persentase terbesar yaitu sebesar 36,4% atau 18,8 juta keluarga di
Indonesia sumber air minumnya justru berasal dari sumur terlindung. Lainnya, sekitar
13,15% atau 6,8 juta rumah tangga memakai pompa air sebagai sumber air minumnya.
Sementara yang menggunakan air ledeng atau pipa sebagai sumber air minumnya hanya
sebesar 17%. Selain itu masih ada sekitar masing-masing sekitar 3% rumah tangga di
Indonesia atau 1,5 juta menggunakan air sungai dan hampir 1,4 juta lainnya yang
memakai air hujan untuk memenuhi kebutuhan air minum mereka sehari-hari(grafik).
Data dari Laporan Pembangunan Manusia 2006 yang dirilis UNDP menunjukan bahwa
persentase populasi yang memiliki akses air bersih di tahun 2004 untuk Indonesia
mencapai 77%. Persentase ini sendiri sbenarnya masih berada di bawah rata-rata negara
berkembang yang telah mencapai 79%. Bahkan jika dibandingkan dengan rata-rata
kelompok negara berpendapatan menengah, persentasenya telah mencapai 83%.
Dalam konteks inilah sebenarnya adalah menjadi penting untuk memberikan akses yang
lebih luas kepada semua kalangan untuk turut serta dalam penyediaan air bersih apalagi
yang siap diminum. Pada kenyataannya hingga saat ini pihak PDAM sendiri belum juga
berhasil menyediakan air minum, tetapi baru hanya terbatas pada penyediaan air bersih.
Definisi mengenai air minum sendiri oleh pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor. 907 tahun 2002 secara jelas menyebutkan bahwa, yang dimaksudkan
dengan air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa melalui proses
pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum. Sementara air
bersih didefinisikan sebagai air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari yang
kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila telah dimasak.
Kegagalan PDAM dalam memenuhi kebutuhan tersebut sebenarnya lebih dikarenakan
masih buruknya kondisi jaringan pipa yang dimiliki. Jaringan pipa penyaluran yang
dimaksudkan disini termasuk pula didalamnya ialah pengumpulan (intake), jaringan
transmisi, instalasi pengolahan air, penampungan (reservoir), jaringan distribusi, sampai
dengan sambungan ke tiap-tiap rumah. Hal tersebut mengakibatkan kualitas air yang
sampai kepada pelanggan atau masyarakat menjadi menurun. Selain itu, PDAM juga
dihadapkan pada masalah manajemen yang buruk. Termasuk di dalamnya adalah masalah
kebocoran air (unaccounted for water) yang hingga tahun 2000 rata-rata untuk seluruh
perkotaan Indonesia saja mencapai 36 persen atau 119.329 liter per detik. Sehingga
mengakibatkan sebagian besar PDAM yang ada di Indonesia mengalami kerugian dan
memiliki hutang hingga mencapai Rp 5,7 triliun.
Melalui pembukaan akses yang lebih luas kepada setiap kalangan diharapkan akan
mendorong adanya kompetisi yang lebih terbuka dalam penyediaan air minum. Kalau
melihat apa yang terjadi sekarang di Jakarta misalnya, keterlibatan pihak swasta asing
dengan cara bekerjasama dengan PDAM pada dasarnya merupakan “pepesan kosong”.
Dengan sistem seperti sekarang berlaku, pada dasanya tidak akan banyak memicu pihak
PDAM untuk bisa bekerja secara lebih efisien dan efektif untuk mampu meningkatkan
pelayanan penyediaan air minum. Akibatnya, muncul persepsi yang salah bahwa
privatisasi di sektor air minum tidak akan memberikan dampak yang signifikan pada
peningkatan penyediaan air minum. Padahal sebenarnya proses privatisasi air minum di
Indonesia dan khususnya di Jakarta belum berjalan sepenuhnya. Sebaliknya, “privatisasi
setengah hati” seperti ini justru semakin merugikan masyarakat konsumen PDAM.
Aspek kedua yang sebenarnya juga harus semakin disadari adalah bagaimana mendorong
keterlibatan aktif dari masyarakat sebagai sebuah komunitas untuk bisa memenuhi
kebutuhan air bersihnya secara swadaya. Peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan pada dasarnya merupakan upaya mengurangi ketergantungan masyarakat
pada pemerintah. Dalam konteks peyediaan air bersih/minum ini, adalah penting untuk
bisa mendorong masyarakat secara lebih kreatif mengelola sumber daya alam (air) di
sekitarnya. Hal ini penting karena merekalah yang paling mengetahui dan menguasai
kondisi geografis serta lingkungan disekitar tempat tinggalnya. Di sinilah sebenarnya
pentingnya pemerintah daerah setempat untuk bisa memberikan insentif bagi kelompok-
kelompok masyarakat yang berhasil melakukan berbagai hal tersebut. Termasuk pula
bagaimana mereka mampu menjaga kelestarian alam sebagai salah satu prasyarat
terjaganya kesinambungan ketersediaan air di daerahnya.
Jika kedua aspek ini bisa dilakukan dan dikembangkan, maka bukan tidak mungkin
apabila secara bertahap, kita akan keluar dari persoalan ketersediaan air minum yang
layak bagi semua orang. Lebih jauh lagi terkait dengan hari air sedunia, maka persoalan
ketersediaan air di masa depan akan dapat teratasi. Namun tentunya untuk itu semua
diperlukan perbaikan koordinasi dan kerja sama yang lebih baik. Sebab inilah persoalan
utama bagi Indonesia yang belum juga selesai sampai saat ini.(Nugroho Pratomo &
Fabianus Wirawan/ Litbang Media Group)

Anda mungkin juga menyukai