Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hospitalisasi adalah keadaan krisis pada anak yang sedang sakit
dan dirawat di rumah sakit sehingga harus beradaptasi dengan lingkungan
rumah sakit (Wright, 2008). Hasil penelitian Pulungan, Purnomo &
Purwanti (2017), menunjukkan bahwa hospitalisasi mempengaruhi tingkat
kecemasan pada anak. Anak yang sakit dan harus dirawat di rumah sakit
akan mempengaruhi terhadap psikologis dan kondisi fisik anak. Maka,
yang akan terjadi pada anak yang mengalami hospitalisasi secara garis
besar adalah gelisah, sedih, takut dan rasa bersalah karena menghadapi
sesuatu yang belum pernah dialami oleh anak sebelumnya, rasa tidak aman
dan tidak nyaman. Reaksi hospitalisasi berbeda pada setiap tahapan
tumbuh kembang anak. Berdasarkan survei dari WHO pada tahun 2008,
hampir 80% anak yang dirawat di rumah sakit mengalami hospitalisasi
selama perawatan. The National Centre for Health Statistic
memperkirakan bahwa 3-5 juta anak di bawah usia 15 tahun menjalani
hospitalisasi setiap tahun. Angka kesakitan di Indonesia bahkan
menunjukkan setiap tahunnya terdapat lebih dari 5 juta anak yang
mengalami masa perawatan yang lama di rumah sakit (Cherty dan Kozak,
2001 dalam Dian 2011). Berdasarkan survei kesehatan ibu dan anak tahun
2010 didapatkan hasil bahwa dari 1.425 anak mengalami dampak
hospitalisasi: 33,2% diantaranya mengalami dampak hospitalisasi berat;
41,6% mengalami dampak hospitalisasi sedang; dan 25,2% mengalami
dampak hospitalisasi ringan. Begitu pula data yang terdapat di Jawa Barat
ada 188 ribu anak dalam 1 tahun yang mengalami hospitalisasi. Di
Tasikmalaya tepatnya RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya jumlah
pasien anak pada bulan November, Desember 2016 dan Januari 2016
terdapat 232 dan 25% per bulannya dari jumlah keseluruhan yang dirawat
mengalami tingkat kecemasan sedang.

1
2

Dampak hospitalisasi pada setiap anak akan berbeda-beda


tergantung pada usia dan pengalaman sakit atau dirawat di rumah sakit,
support system, serta keterampilan koping dalam menangani stres. Kanak-
kanak (toddler) belum mampu berkomunikasi dengan menggunakan
bahasa yang memadai dan pengertian terhadap realita juga terbatas.
Kecemasan akibat hospitalisasi yang terjadi merupakan kondisi yang
berisiko mengganggu tumbuh kembang dan berpengaruh pada proses
penyembuhan. Menurut Wong (2009), jika kecemasan terus berlangsung
dalam waktu yang lama dan tidak teratasi maka akan menimbulkan sikap
berdiam diri atau apatis, menarik diri, menolak bertemu dengan orang lain
dan akan menimbulkan trauma setelah keluar dari rumah sakit. Maka
perlunya perhatian terhadap anak yang sedang dirawat di rumah sakit
bukan hanya tentang pengobatan dan hasil yang di harapkan anak dapat
pulang dalam keadaan sembuh atau tidak sakit lagi. Tetapi tentang
pandangan anak agar tidak membayangkan bahwa dirawat di rumah sakit
itu adalah sesuatu yang mengerikan bahkan besar kemungkinan dapat
membuat anak enggan untuk berkunjung ke rumah sakit lagi ketika anak
besar nanti. Dalam upaya mengatasi dampak Hospitalisasi yaitu dengan
cara bermain.
Bermain merupakan suatu aktivitas di mana anak dapat melakukan
atau memberikan pemikiran berupa ekspresi atau perilaku yang kreatif
dalam berperan mengenal dunia. Sebagai suatu aktivitas yang memberikan
kemampuan keterampilan maka sepatutnya diperlukan suatu bimbingan,
mengingat bermain merupakan suatu kebutuhan seperti kebutuhan lainnya
seperti makan, kebutuhan rasa aman, kebutuhan kasih sayang, dan lain-
lain (Alimul, 2009). Hasil penelitian Saputro dan Fazrin (2007), tentang
penerapan terapi bermain pada penurunan tingkat kecemasan
menunjukkan adanya perubahan yang bermakna antara rata-rata skor
kecemasan sebelum dan sesudah terapi bermain. Adapun tujuan dari terapi
bermain bagi anak yang dirawat di rumah sakit adalah untuk mengurangi
perasan takut, cemas, sedih, tegang dan nyeri. Pada dasarnya, anak belajar
melalui permainan karena tidak ada cara lain bagi mereka untuk mencapai
segala hal yang secara normal harus dicapai oleh anak yang dikenal
3

dengan sebutan terapi bermain (Wulandari, 2012). Salah satu terapi


bermain yang menarik yaitu bermain menyusun balok karena sangat cocok
digunakan digunakan pada anak usia 1-3 tahun. Cara memainkan dan
menggunakan alat permainan balok adalah dengan menyusun balok-balok
tersebut. Alat perminan balok istana mempunyai banyak manfaat bagi
perkembangan anak, diantarannya untuk menstimulasi motorik halus anak,
imajinasi, kreativitas, daya konsentrasi dan mengenal warna. Adapun nilai-
nilai karakter yang dapat ditanamkan melalui permainan balok antara lain
religiusitas, kreativitas, rasa ingin tahu, kerja keras, disiplin, mandiri, dan
bertanggung jawab.
Berdasarkan pendapat peneliti di atas maka hospitalisasi
mempengaruhi tingkat kecemasan pada anak yang dirawat di rumah sakit.
Maka perlunya perhatian khusus kepada anak yang mengalami
hospitalisasi salah satunya dengan terapi bermain karena pada saat berada
di rumah sakit anak memiliki suatu keterbatasan untuk bermain dan dapat
mempengaruhi terhadap tingkat perkembangan anak itu sendiri. Padahal
bila perhatian petugas kesehatan lebih mengerti tentang kebutuhan akan
bermain, petugas dapat melibatkan orang tua atau wali dan keluarga anak
untuk mengurangi kecemasan akibat hospitalisasi tersebut. Walaupun di
rumah sakit belum mempunyai fasilitas khusus untuk bermain, proses
bermain tidak akan terhambat karena anak memiliki ruang atau tempat
tidurnya sendiri. Sehingga rasa percaya terhadap keluarga maupun
petugas kesehatan dapat meningkat. Maka, penulis tertarik untuk
memberikan Asuhan Keperawatan dengan terapi bermain (menyusun
balok) pada anak usia 1-3 tahun (toddler) dapat mengurangi stres
Hospitalisasi di Ruang Melati 5 RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikemukakan perumusan
masalah Asuhan Keperawatan sebagai berikut : Bagaimanakah gambaran
Asuhan Keperawatan dengan terapi bermain (menyusun balok) pada anak
usia 1-3 tahun (toddler) dapat mengurangi stres Hospitalisasi di Ruang
Melati 5 RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.
4

C. Tujuan Studi Kasus


Menggambarkan Asuhan Keperawatan dengan terapi bermain
(menyusun balok) pada anak usia1-3 tahun (toddler) dapat mengurangi
stres Hospitalisasi di Ruang Melati 5 RSUD Dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya.

D. Manfaat Studi Kasus


1. Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat yang mempunyai anak yang dirawat di rumah sakit
diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan serta
mengaplikasikan terapi bermain (menyusun balok) pada anak usia 1-3
tahun (toddler) dalam menghadapi atau mengurangi stres hospitalisasi.
2. Bagi instansi (Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi
khususnya bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan untuk mengatasi
masalah kecemasan yang terjadi di rumah sakit dengan cara terapi
bermain menyusun balok.
3. Bagi Peneliti
Memperoleh pengalaman dalam mengimplementasikan hasil riset
keperawatan, khususnya studi kasus tentang terapi bermain (menyusun
balok) pada anak 1-3 tahun (toddler) dalam menngurangi stres
hospitalisasi.
4. Bagi Rumah Sakit
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi
perawat yang bertugas di ruangan anak dalam memberikan terapi
bermain pada anak yang dirawat di rumah sakit guna mengoptimalkan
proses penyembuhan dan tidak melupakan kebutuhan anak ketika
sakit.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II. 1 Asuhan Keperawatan dengan Anak Cemas


II. 1. 1 Pengkajian
Sebelum anak dirawat di rumah sakit, sebaiknya perlu dilakukan
pengkajian kebutuhan spesifik pada anak bisa dikenal lebih awal. Dalam
melakukan pengkajian, diharapkan dapat mengikut sertakan orang tua atau
pendamping dalam memberikan tindakan pada anak (Joint Commision on
Accreditation of Health Organization, 1992).
Pengkajian keperawatan untuk mengidentifikasi kecemasan pada anak
memiliki beberapa alat ukur, yaitu.
1) Faces Anxiety Scale (FAS)

Gambar 2.1 Faces Anxiety Scale


Faces Anxiety Scale yang dikembangkan oleh McMurtry (2010),
berfungsi untuk mengukur kecemasan pada pasien anak yang sedang
dirawat di rumah sakit. Skala penilaian nilai terendah 0 dan nilai
tertinggi 4. Skor 0 memberikan gambaran tidak ada kecemasan sama
sekali, skor 1 menunjukkan lebih sedikit kecemasan, skor 2
menggambarkan sedikit kecemasan, skor 3 menggambarkan adanya
kecemasan, skor 4 menggambarkan kecemasan yang ekstrim pada anak.
2) Visual facial anxiety scale (VFAS)

Gambar 2.2 Visual facial anxiety scale


VFAS terdiri dari satu lembar kertas yang di dalamnya terdapat kategori
tingkat kecemasan yaitu tidak ada, ringan, ringan sedang, berat ringan,
sedang tinggi dan tinggi yang di susun dalam lembar terpisah.
6

a) Cocokan wajah yang terpisah dengan angka, 0 (tidak cemas) sampai 10


(kecemasan tinggi)
b) Tandai satu wajah pada setiap kategori tingkat kecemasan. Wajah pada
gambar disusun acak, agar data atau hasil tidak bias ketika menentukan
wajah untuk nomor dan kategori. (Caos, et al, 2017)

II. 1. 2 Diagnosa
Diagnosa keperawatan bergantung pada kasus yang dijumpai, meliputi
anak dan orang tua (Nursalam, 2013).
Pada anak :
1) Cemas / takut berhubungan dengan:
a) Perpisahan dengan orang tua,
b) Lingkungan yang asing,
c) Prosedur-prosedur tindakan.
2) Kehilangan kontrol berhubungan dengan perawatan.

Pada orang tua :

1) Cemas/ takut berhubungan dengan:


a) Kondisi anak yang kritis,
b) Perubahan fungsi peran,
c) Perubahan lingkungan.
2) Penurunan dalam proses keluarga sehubungan dengan:
a) Anak yang dirawat
b) Situasi anak yang kritis

II. 1. 3 Perencanaan
Rencana keperawatan yang efektif pada anak yang dirawat haruslah
berdasarkan pada identifikasi kebutuhan anak—keluarga. Anggota
keluarga dan anak harus berperan aktif dalam mengembangkan suatu
rencana keperawatan (Nursalam, 2013). Tujuan dari asuhan keperawatan
adalah sebagai berikut:
1) Menyiapkan anak untuk hospitalisasi
2) Mencegah/ meminimalkan dampak dari perpisahan
3) Meminimalkan perasaan kehilangan kehendak
4) Mencegah/ meminimalkan perlukaan tubuh
5) Penanganan nyeri
6) Memenuhi kebutuhan bermain
7) Memaksimalkan manfaat dari hospitalisasi

II. 1. 4 Pelaksanaan
Menyiapkan anak untuk hospitalisasi. Ketakutan yang timbul biasanya
disebabkan karena tidak mempunyai pengalaman dirawat sebelumnya atau
7

ketidaktahuan tentang prosedur tindakan. Apabila anak tidak mempunyai


koping yang baik, maka hal tersebut akan menimbulkan stres, hal ini dapat
dicegah dengan cara memberikan penjelasan kepada anak, seperti
membawa anak berkeliling ruangan atau rumah sakit (Nursalam, 2013).
1) Mencegah atau meminimalkan dampak dari perpisahan
a) Rooming in
Rooming in yaitu ketika orang tua dan anak tinggal bersama. Jika
tidak memungkinkan, sebaiknya orang tua dapat menjenguk anak
setiap saat agar dapat mempertahankan komunikasi antara orang tua
—anak karena mengantisipasi terhadap tahapan protes yang akan
terjadi pada anak tersebut.
b) Partisipasi orang tua
Orangtua diharapkan dapat berpartipasi dalam merawat anak yang
sakit, terutama dalam perawatan yang bisa dilakukan. Perawat dapat
memberikan kesempatan pada orang tua untuk menyiapkan apa yang
dibutuhkan oleh anak seperti makanan atau memandikannya.
c) Membuat ruangan perawatan seperti suasana di rumah dengan cara
mendekorasi dinding memakai cat yang berwarna ceria atau poster
juga gambar kartun bergambar sehingga anak merasa aman jika
berada di ruangan tersebut.
2) Meminimalkan perasaan kehilangan kendali
Perasaan kehilangan kendali berasal dari perpisahan, perubahan
aktivitas yang bersifat rutin, dan ketergantungan. Oleh karena itu,
rencana asuhan keperawatan yang dibuat hendaknya dapat
meminimalkan rasa kehilangan kendali tersebut.
a) Mengusahakan kebebasan bergerak
Pembatasan fisik/immobilisasi pada anak untuk mempertahankan
aliran infus dapat dicegah jika anak kooperatif. Pada
tindakan/prosedur yang menimbulkan rasa nyeri, orang tua
dipersiapkan untuk membantu anak merasa aman, mengamati, atau
menunggu di luar ruangan.
b) Mempertahankan kegiatan rutin anak
Kehilangan kegiatan rutinitas merupakan contoh stressor bagi anak.
Teknik untuk meminimalkan gangguan dalam melakukan kegiatan
sehari-hari adalah dengan “jadwal kegiatan yang terstuktur (time
structuring)” yang meliputi semua kegiatan yang penting bagi anak,
8

seperti prosedur tindakan, waktu bermain atau jalan-jalan di sekitar


lingkungan rumah sakit.
c) Dorongan anak untuk independen
Anak pada periode ini mulai belajar menjadi independen dan sangat
menyenangi peran barunya tersebut. Hospitalisasi membuat anak
menjadi tergantung pada orang lain dan ini menimbulkan perasaan
kehilangan kendali.
3) Mencegah dan meminimalkan perlukaan tubuh dan rasa sakit
Persiapan anak terhadap prosedur yang menimbulkan rasa nyeri adalah
penting untuk mengurangi ketakutan. Memanipulasi prosedur juga
dapat mengurangi ketakutan akibat perlukaan tubuh. Untuk mengatasi
rasa nyeri dapat dilakukan dengan tanpa obat, misalnya dengan
distraksi.

4) Memaksimalkan manfaat dari hospitalisasi


Walaupun hospitalisasi sangat membuat stres bagi anak dan keluarga,
tetapi hal tersebut juga dapat membantu memfasilitasi perubahan ke
arah yang positif antara anak dan anggota keluarganya.
a) Membantu perkembangan hubungan anak—orang tua
Memberikan kesempatan pada orang tua untuk belajar mengenal
pertumbuhan dan perkembangan anak. Jika orang tua mengetahui
reaksi anak dalam menghadapi stres maka hal tersebut juga
memperluas pandangan orang tua dalam merawat anak yang sakit.
b) Memberikan kesempatan untuk pendidikan
Hospitalisasi memberikan kesempatan pada anak tentang pentingnya
menjaga kesehatan dan kebersihan serta belajar mengenai anggota
bagian tubuhnya.
c) Meningkatkan pengendalian diri (self mastery)
Pengalaman dalam menghadapi penyakit atau hospitalisasi dapat
memberi kesempatan bagi anak toddler untuk menguji fantasinya
melawan realita yang menakutkan. Mereka dapat menyadari bahwa
hidup itu tidak sendirian dan tidak semua rasa sakit itu adalah
hukuman. Pada kenyataannya mereka dicintai dan dirawat.
d) Memberikan kesempatan untuk sosialisasi
Jika anak yang dirawat dalam satu ruangan usianya sebaya, maka hal
itu akan membantu anak untuk lebih mengenal diri mereka melalui
9

orang lain. Selain itu, orang tua juga memperoleh kelompok sosial
baru dengan orang tua anak yang mempunyai masalah yang sama.
5) Bermain untuk mengurangi stres akibat hospitalisasi

Dalam pelaksanaan aktivitas bermain di rumah sakit, lebih efektif bila


memperhatikan prinsip-prinsip bermain dan permainan yang sesuai
dengan tingkatan usianya (Nursalam, 2013).

a) Prinsip bermain

(1) Anak tidak banyak mengeluarkan energi, waktu bermain lebih


singkat agar terhindar dari kelelahan, dan alat permainan yang
sederhana.
(2) Mainan relatif aman dan terhindar dari infeksi silang atau dalam
kondisi bersih. Tentu harus dapat memperhatikan setiap mainan
yang dipakai dapat dicuci.
(3) Permainan tidak mengganggu proses pengobatan
(4) Sesuai dengan kelompok usia anak, karena kebutuhan bermain
antara anak dengan usia yang lain tentu berbeda.
(5) Memerlukan partisipasi dari orang tua dan keluarga. Keterlibatan
orang tua dalam proses bermain anak di rumah sakit diharapkan
dapat mengurangi dampak hospitalisasi.
b) Tujuan Bermain
(1) Dapat mengekspresikan pikiran dan fantasi anak
(2) Dapat mengembangkan kreativitas melalui pengalaman permainan
yang tepat
(3) Agar anak dapat beradaptasi secara lebih efektif terhadap stres
karena penyakit atau karena dirawat di rumah sakit, dan anak
mendapatkan ketenangan dalam bermain
(4) Dapat melanjutkan tumbuh kembang yang normal selama
perawatan, sehingga tumbuh kembang tetap berlangsung pikiran
dan fantasi anak
6) Memberi Dukungan pada Anggota Keluarga
10

Mengidentifikasi alasan spesifik dari perasaan dan responsnya terhadap


stres dan memberi kesempatan kepada orang tua untuk mengurangi
beban emosinya.
a) Memberikan informasi
Salah satu intervensi keperawatan yang penting adalah memberikan
informasi sehubungan dengan penyakit, prosedur pengobatan dan
prognosis, reaksi emosional anak terhadap sakit dan dirawat, serta
reaksi anggota keluarga terhadap anak yang sakit dan dirawat.
b) Melibatkan saudara
Keterlibatkan saudara sangat penting untuk mengurangi stres pada
anak. Misalnya, keterlibatan dalam program bermain, mengunjungi
saudara yang sakit secara teratur.

II. 1. 5 Evaluasi
Komponen dari Evaluasi yaitu SOAP / SOAPIER
S: Data Subjektif
Data Subjektif adalah data berdasarkan pengungkapan yang pertama
dikatakan oleh klien atau keluhan utama pasien yang masih dirasakan
setelah dilakukan tindakan keperawatan.
O: Data Objektif
Data Objektif adalah data berdasarkan hasil pengukuran atau observasi
perawat secara langsung kepada klien seperti apa yang terlihat dari
kondisi klien dan yang dirasakan klien setelah dilakukan tindakan
keperawatan.
A: Analisis
Analisis yaitu bentuk interpretasi dari data subjektif dan objektif.
Analisis merupakan suatu masalah atau diagnosa baru yang terjadi
akibat perubahan status kesehatan klien yang telah teridentifikasi
datanya dalam data subjektif dan objektif.
P: Planing
Planing adalah perencanaan keperawatan yang akan dilanjutkan,
dihentikan, dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan
keperawatan yang telah ditentukan sebelumnya.
I: Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang dilakukan sesuai
dengan instruksi yang telah teridentifikasi dalam komponen P
(Perencanaan). Jangan lupa menuliskan tanggal dan jam pelaksanaan.
E: Evaluasi
Evaluasi adalah respon klien setelah dilakukan tindakan keperawatan.
11

R: Reassesment
Reassesment adalah pengkajian ulang yang dilakukan terhadap
perencanaan setelah diketahui hasil evaluasi, apakah dari rencana
tindakan perlu dilanjutkan, dimodifikasi, atau dihentikan?

II. 2 Hospitalisasi Sebagai Masalah Bagi Anak


II. 2. 1 Hospitalisasi Dan Dampaknya
Hospitalisasi atau kejadian sakit dan dirawat di rumah sakit bagi
anak merupakan pengalaman penuh ketegangan dan stres. Keadaan
hospitalisasi terjadi karena anak yang berusaha untuk beradaptasi dengan
lingkungan asing atau baru yaitu lingkungan rumah sakit, sehingga kondisi
tersebut menjadi stressor terhadap anak maupun orang tua dan keluarga.
Kondisi ini merupakan masalah besar yang menimbulkan ketakutan,
kecemasan bagi anak yang dapat menyebabkan perubahan fisiologis dan
psikologis pada anak jika anak tidak mampu beradaptasi terhadap
perubahan. Hal tersebut dapat mengganggu proses perawatan dan
pengobatan anak.
Hospitalisasi juga berdampak pada perkembangan anak. Setiap
anak memiliki reaksi terhadap hospitalisasi yang berbeda dan dapat
dipengaruhi oleh (1) perkembangan usia anak, (2) pengalaman terhadap
sakit dan perpisahan, (3) diagnosa penyakit, (4) sistem pendukung atau
support system yang tersedia, dan (5) memiliki keterbatasan dalam
mekanisme koping untuk mengatasi masalah maupun kejadian yang
bersifat menekan. (Wright, 2008). Perawatan anak membutuhkan asuhan
yang kompeten dan sensitif untuk meminimalkan efek negatif dari
hospitalisasi dan mengembangkan efek yang positif. Untuk mengatasi stres
akibat hospitalisasi, maka perawat sebaiknya melakukan asuhan
keperawatan secara komprehensif melalui pendekatan proses keperawatan,
mulai dari pengkajian, diagnosis masalah, rencana tindakan, tindakan
sampai evaluasi.

II. 2. 2 Manfaat Hospitalisasi


12

Meskipun hospitalisasi menyebabkan stress pada anak tetapi dapat


memberikan manfaat yang baik, memberikan kesempatan kepada anak
untuk mengatasi stres tersebut dan merasa kompeten dalam kemampuan
koping serta dapat memberikan pengalaman. Manfaat psikologis selain
diperoleh anak juga diperoleh keluarga. Manfaat psikologis perlu
ditingkatkan dengan melakukan berbagai cara, diantaranya :
1) Membantu mengembangkan hubungan orang tua dengan anak
Kejadian yang dialami ketika anak harus dirawat di rumah sakit dapat
menyadarkan orang tua dan memberikan kesempatan untuk
memahami anak yang bereaksi terhadap stres, sehingga orang tua
dapat memberikan dukungan kepada anak untuk siap menghadapi
pengalaman di rumah sakit serta memberikan pendampingan kepda
anak setelah pulang.
2) Menyediakan kesempatan belajar
Anak dapat belajar tentang penyakit dan memberikan pengalaman
tentang kebutuhan anak untuk kemandirian, batasan normal, dan
keterbatasan. Bagi anak dan orang tua dapat menemukan system
support yang baru.
3) Meningkatkan pengusaan diri
Pengalaman yang dialami dapat memberikan kesempatan untuk
meningkatkan pengusaan diri anak. Anak akan menyadari bahwa
mereka tidak disakiti atau ditinggalkan tetapi mereka akan sadar
bahwa mereka dicintai, dirawat dan diobati dengan penuh perhatian.
Pada anak yang lebih tua, hospitalisasi akan memberikan suatu
kebanggan bahwa mereka memiliki pengalaman hidup yang baik.
4) Menyediakan lingkungan sosialisasi
Hospitalisasi dapat memberikan kesempatan bahwa krisis yang
dialami tidak hanya oleh mereka sendiri tetapi ada orang lain yang
juga merasakannya. Anak dan orang tua akan menemukan kelompok
sosial baru yang memiliki masalah yang sama, sehingga
memungkinkan mereka akan saling berinteraksi, bersosialisasi dan
berdiskusi tentang keprihatinan dan perasaan mereka, serta
mendorong orang tua untuk membantu dan mendukung kesembuhan
anaknya.
13

II. 2. 3 Kecemasan Dan Respon Terhadap Kecemasan


Kecemasan atau ansietas adalah suatu perasaan yang samar-samar karena
ketidaknyamanan atau rasa takut yang disertai suatu respons. Ansietas
merupakan sinyal yang menyadarkan atau memperingatkan akan adanya
bahaya yang akan datang dan membantu individu untuk bersiap
mengambil tindakan untuk menghadapi ancaman. Kondisi dialami secara
subjektif dan dikomunikasikan dalam hubungan interpersonal.
Kecemasan merupakan suatu perasaan yang berlebihan terhadap kondisi
ketakutan, kegelisahan, kekhawatiran atau ketakutan terhadap ancaman
nyata atau yang dirasakan. Kecemasan dapat mempengaruhi kondisi
tubuh seseorang, respon kecemasan antara lain :
1) Respon Fisiologis
Secara fisiologis respon tubuh terhadap kecemasan adalah dengan
mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun parasimpatis).
Serabut saraf simpatis mengaktifkan tanda-tanda vital pada setiap
tanda bahaya untuk mempersiapkan pertahanan tubuh.
2) Respon Psikologis
Respon perilaku akibat kecemasan adalah tampak gelisah, terdapat
ketegangan fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang
koordinasi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri
dari masalah, menghindar dan sangat waspada.
3) Respon Kognitif
Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan berpikir baik proses
pikir maupun isi pikir, diantarannya adalah tidak mampu
memperhatikan, konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunnya
lapang persepsi, bingung, sangat waspada, kehilangan onjektivitas,
takut kehilangan kendali, takut pada gambaran visual, takut cedera
atau kematian dan mimpi buruk.

4) Respon Afektif
Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam bentuk
kebingungan, gelisah, tegang, gugup, ketakutan, waspada, khawatir,
mati rasa, rasa bersalah atau malu, dan curiga berlebihan sebagai
reaksi emosi terhadap kecemasan.

II. 3 Terapi Bermain Pada Anak Sakit


14

II. 3. 1 Konsep Bermain


Ketika masa anak sudah memasuki masa bermain, maka anak
selalu membutuhkan kesenangan pada dirinya disitulah anak
membutuhkan suatu permainan. Tetapi masih banyak ditemukan anak
pada masa tumbuh kembang mengalami perlambatan yang disebabkan
oleh kurangnya pemenuhan kebutuhan pada diri anak termasuk
kebutuhan bermain. Ketika masa tersebut tidak digunakan sebaik
mungkin maka akhirnya dapat mengganggu tumbuh kembang anak. Akan
tetapi banyak orang tua menganggap masa bermain anak tidaklah penting
sehingga membiarkan anak tanpa pendidikan bermain. Untuk itu sebelum
memahami alat permainan pada anak secara khusus maka lebih dahulu
harus mengenal pengertian bermain pada anak yang ditinjau dari aspek
keperawatan (Adriana, 2011).
Menurut Wong (2009), bermain adalah kegiatan anak yang
dilakukan berdasarkan keinginannya sendiri untuk mengatasi kesulitan,
stress, dan tantangan yang ditemui serta berkomunikasi untuk mencapai
kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain. Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia disebut bahwa istilah bermain berasal dari kata dasar
main yang berarti melakukan aktivitas atau kegiatan untuk
menyenangkan hati. Dalam konteks ini bermain yaitu suatu kegiatan
yang memiliki unsur kebahagiaan atau kesenangan bagi anak. Maka
sepatutnya diperlukan suatu bimbingan, mengingat bermain bagi anak
merupakan suatu kebutuhan lainnya seperti makan, kebutuhan rasa aman,
kebutuhan kasih sayang, dan lain-lain. Dengan bermain anak akan selalu
mengenal dunia, mampu mengembangkan kematangan dari fisik,
emosional dan mental sehingga akan membuat anak tumbuh menjadi
anak yang kreatif, cerdas dan penuh inovatif.
Terapi bermain merupakan kegiatan untuk mengatasi masalah
emosi dan perilaku anak karena responsif terhadap kebutuhan unik dan
beragam dalam masa perkembangan. Anak tidak seperti orang dewasa
yang dapat berkomunikasi dengan kata-kata, mereka lebih alami
mengekspresikan diri melalui bermain dan beraktivitas. Menurut Vanfleat
(2010), terapi bermain merupakan suatu bentuk permainan anak-anak, di
15

mana mereka dapat berhubungan dengan orang lain, saling mengenal,


sehingga dapat mengungkapkan perasannya sesuai dengan kebutuhan
mereka. Terapi bermain merupakan terapi yang diberikan dan digunakan
anak untuk menghadapi ketakutan, kecemasan dan mengenal lingkungan,
belajar mengenai perawatan dan prosedur yang dilakukan serta staf
rumah sakit yang ada.

II. 3. 2 Fungsi Bermain di Rumah Sakit


Fungsi bermain di Rumah Sakit :
1) Memberikan fasilitas pada anak untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang asing.
2) Memberi kesempatan untuk membuat keputusan dan kontrol
terhadap dampak hospitalisasi.
3) Membantu mengurangi stres terhadap perpisahan.
4) Memberi kesempatan untuk mempelajari tentang bagian-bagian
tubuh, fungsi, dan penyakitnya.
5) Memberikan peralihan (distraksi) dan relaksasi kepada anak—
keluarga.
6) Memberikan cara untuk mengurangi tekanan dan membantu anak
mengeksplorasi perasaannya.
7) Meningkatkan sosialisasi anak agar dapat berinteraksi dan
mengembangkan sikap-sikap yang positif terhadap orang lain.
8) Meningkatkan kreativitas atau menciptakan sesuatu dari permainan
yang ada.
9) Mempunyai nilai yang terapeutik karena bermain dapat
menjadikan anak lebih aman dan nyaman sehingga stres maupun
ketegangan dapat terhindar.
10) Mempunyai nilai moral pada anak, bermain juga dapat
memberikan nilai moral karena anak mampu belajar benar atau
salah dan ada beberapa permainan yang memiliki aturan-aturan
yang harus dilakukan tidak boleh dilanggar.

II. 3. 3 Kategori Bermain


1) Bermain Aktif
Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari apa yang dilakukan anak.
Bermain aktif dapat dilakukan dengan bermain peran misalnya bermain
dokter-dokteran dan bermain dengan menebak kata.
2) Bermain Pasif
16

Dalam bermain pasif, hiburan atau kesenangan diperoleh dari kegiatan


orang lain. Pemain menghabiskan sedikit energi, tetapi kesenangannya
hampir sama dengan bermain aktif.

II. 3. 4 Klasifikasi Permainan


1) Berdasarkan isinya
a) Bermain afektif sosial (social affective play)
Permainan ini adalah hubungan interpersonal yang menyenangkan
antara anak dan orang lain. Permainan yang biasa dilakukan yaitu
‘’cilukba’’, berbicara sambil tersenyum atau tertawa pada bayi untuk
menggenggamnya.
b) Bermain untuk bersenang-senang (sense of pleasure play)
Permainan ini menggunakan anak yang menimbulkan rasa senang
pada anak. Misalnya menggunakan pasir atau air akan melakukan
bermacam-macam permainan seperti memindahkan pasir atau air ke
botol, bak atau tempat lain
c) Permainan Keterampilan (skill play)
Permainan ini akan menimbulkan keterampilan anak, khususnya
motorik kasar dan halus. Misalnya, memegang benda kecil,
memindahkan benda dari tempat satu ke tempat lain dan anak
terampil naik sepeda. Jadi keterampilan tersebut diperoleh melalui
pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan.
d) Permainan simbolik atau pura-pura (dramatic play role)
Permainan anak ini yang memainkan peran orang lain. Anak
berceloteh sambil berpakaian meniru orang dewasa. Apabila anak
bermain dengan temannya, akan terjadi percakapan di antara mereka
tentang peran orang yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk
memproses atau mengindentifikasi anak terhadap peran tersebut.
2) Berdasarkan jenis permainan
a) Permainan (Games)
Permainan adalah jenis dengan menggunakan alat tertentu yang
menggunakan perhitungan atau skor. Permainan ini bisa dilakukan
sendiri atau bersama teman.
b) Permainan yang hanya memperhatikan saja (unoccupied behavior)
Anak memusatkan perhatian pada segala yang menarik perhatiannya.
Pada saat tertentu anak sering terlihat mondar-mandir, tersenyum,
17

tertawa, jinjit-jinjit, bungkuk-bungkuk, memainkan kursi, meja atau


apa saja yang ada di sekelilingnya.
3) Berdasarkan karakteristik sosial
a) Solidarity play. Dimulai dari bayi (toddler) dan merupakan jenis
permainan independen atau sendiri walaupun ada orang lain
disekitarnya. Hal ini karena keterbatasan sosial, keterampilan fisik
dan kognitif.
b) Paralel play. Dilakukan oleh suatu kelompok yang masing-masing
mempunyai permainan yang sama tetapi satu sama lainnya tidak ada
interaksi dan tidak saling ketergantungan. Dan karakteristik khusus
pada usia toddler.
c) Assosiactiv play. Permainan kelompok dengan tanpa tujuan
kelompok. Yang mulai dari usia toddler merupakan permainan
dimana anak dalam kelompok dengan aktivitas yang sama tetapi
belum terorganisir secara formal.
d) Cooperative play. Suatu permainan yang terorganisir dalam
kelompok, ada tujuan kelompok dan ada yang memimpin.
Permainan ini dilakukan pada usia sekolah dan remaja.
e) Onlooker play. Anak melihat atau mengobservasi permainan orang
lain tetapi tidak ikut bermain, walaupun anak dapat menanyakan
permainan itu dan biasanya dimulai pada usia toddler.
f) Therapeutic play. Merupakan pedoman bagi tenaga kesehatan ,
khususnya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis anak
selama hospitalisasi. Pengajaran dengan melalui permainan dan
harus diawasi.

II. 3. 5 Alat Permainan Edukatif (APE)


Alat permainan edukatif (APE) adalah alat permainan yang dapat
memberikan fungsi optimal pada anak sesuai dengan tingkatan usia.
Maka dari itu, alat permainan edukatif harus aman atau tidak
mencederai, ukurannya sesuai dengan usia anak, modelnya jelas,
menarik, sederhana dan tidak mudah rusak. Diperlukan alat permainan
yang bervariasi agar anak tidak merasa jenuh atau bosan karena
permainan yang monoton.
Dalam penggunaan alat permainan edukatif masih banyak
masyarakat kurang memahami jenis permainan karena orang tua
18

kurang mampu memahami permainan tanpa memperdulikan kegunaan


yang mampu mengembangkan aspek pada anaknya, sehingga
terkadang harganya mahal, tidak sesuai dengan umur anak, kurang
dipakai secara optimal oleh anak dan tipe permainannya sama.
Selain menggunakan alat permainan secara edukatif, harus ada
peran orang tua atau pembimbing dalam bermain yang memiliki
pengetahuan tentang jenis alat permainan dan kegunaannya, sabar
dalam bermain, tidak memaksakan, mampu mengkaji kebutuhan
bermain seperti kapan harus berhenti dan kapan harus dimulai,
memberikan kesempatan untuk mandiri (Nursalam, 2013).

II. 3. 6 Permainan Balok


Permainan balok merupakan bentuk alat permainan edukatif yang
terdiri dari potongan-potongan balok dengan berbagai warna dan
ukuran. Balok adalah potongan-potongan kayu yang keras, sama
tebalnya dan panjangnya. Sedangkan balok unit menurut Asmawati
dalam (Anita, 2016) adalah balok satuan (unit blocks) terdiri dari
bentuk dan ukuran yang berbeda. Menurut Moelichatoen dalam
(Setianingrum, 2016) motorik halus adalah kegiatan yang
menggunakan otot halus pada jari dan tangan yang melibatkan
keterampilan bergerak. Sedangkan menurut Hurlock (Setianingrum,
2016) menyatakan bahwa motorik halus sebagai pengendalian
koordinasi yang lebih baik yang melibatkan otot untuk menggenggam,
melempar dan menangkap. Keterampilan motorik halus dapat
dilakukan oleh anak dengan berbagai cara.
Cara memainkan dan menggunakan alat permainan balok yaitu
dengan menyusun balok-balok tersebut. Adapun nilai-nilai karakter
yang dapat ditanamkan melalui permainan balok antara lain:
religiusitas, kreativitas, rasa ingin tahu, kerja keras, disiplin, mandiri,
dan bertanggung jawab. Religius diperoleh pada saat memulai dan
mengakhiri bermain balok yaitu dengan membaca doa. Kreativitas
diperoleh pada saat bermain menyusun balok. Ketika penyusunan
balok ini anak-anak secara tidak langsung mempunyai rasa ingin tahu,
19

kerja keras, disiplin, mandiri dan melakukannya dengan penuh


tanggung jawab.

II. 3. 7 Tempat Bermain


Tempat bermain untuk pasien di rumah sakit bisa di dalam kamar
pasien, ruangan khusus atau di halaman, tergantung dari situasi dan
kondisi anak. Perlu pengawasan petugas dan keterlibatan keluarga
pada saat aktivitas bermain sehingga anak akan merasa aman dan
gembira. Untuk keamanan tempat bermain, sebaiknya ikuti pedoman
di bawah ini (Alimul, 2009).
1) Pastikan bahwa alat-alat bermain tidak mempunyai tepi, sudut, atau
proyeksi yang tajam.
2) Pastikan bahwa ukuran alat sesuai dengan anak.
3) Pastikan bahwa tidak terdapat lubang atau tempat lain di mana jari,
lengan, kaki, dan leher dapat terjerat.
4) Ketinggian seluncur tidak boleh lebih dari 30 derajat dan harus
mempunyai lingkar untuk memanjat dan ‘’terowongan’’ pelindung.
G. S-hook pada sayap harus tertutup.
5) Periksa adanya sampah, kaca pecah, kawat terkelupas, stop kontak
listrik, atau kotoran binatang.

II. 3. 8 Perkembangan anak usia 1-3 tahun (toddler)

Tabel 2. 1
Tahap Perkembangan anak usia 1-3 tahun
Usia Motorik/ Bermain Bahasa Sosial/ Kognisi
1 tahun Motorik kasar 1. Mengatakan empat 1. Menoleransi
1. Berjalan tanpa bantuan sampai enam kata perpisahan dengan
2. Memanjat tangga 2. Meminta objek orang tua
3. Berlutut tanpa dengan 2. Dapat meniru orang
sokongan menunjukkannya tua membersihkan
Motorik halus 3. Memahami rumah (menyapu,
1. Senang menjatuhkan perintah sederhana mengelap, melipat
benda ke lantai 4. Menggunakan kata pakaian)
2. Dapat membangun ‘’tidak’’ meskipun 3. Makan sendiri dan
menara dari dua kotak menyetujui sedikit tumpah
balok permintaan 4. Mencium dan
3. Melepaskan butir-butir memeluk orang tua,
ke dalam leher botol gambar dalam buku
yang sempit 5. Ekspresi emosi,
4. Mencorat-coret dengan tempertantrum
spontan
5. Menggunakan cangkir
dengan baik
20

2 tahun Motorik kasar 1. Mengatakan 10 1. Peniru yang baik


1. Berlari kikuk dan kata lebih 2. Mengatur sendok
sering jatuh 2. Menunjuk objek dengan baik
2. Berjalan naik tangga umum seperti 3. Melepaskan sarung
dengan satu tangan sepatu atau bola tangan, kaus kaki,
berpegangan dan dua atau tiga dan resleting
3. Menarik dan bagian tubuh 4. Mulai sadar
mendorong mainan kepemilikan
4. Melompat dengan ‘’mainanku’’
kedua kaki 5. Mengembangkan
5. Duduk sendiri di kursi ketergantungan pada
6. Melempar bola dari objek transisi seperti
satu tangan ke tangan ‘’selimut keamanan
yang lain tanpa jatuh
Motorik halus
1. Membangun menara
tiga sampai empat
kotak balok
2. Membalik halaman
buku dua atau tiga
lembar sekaligus
3. Dalam
menggambarkan
membuat tekanan
sesuai tiruan
3 tahun Motorik kasar 1. Menyebutkan nama 1. Dapat dipisahkan
1. Melompat dengan pertama dan nama dari ibu dengan lebih
kedua kaki akhir mudah
2. Melompat atau 2. Menunjukkan pada 2. Dalam bermain,
melangkah dari kursi diri sendiri dengan membantu
3. Berdiri sebentar pada kata ganti yang menyingkirkan
satu kaki tepat sesuatu, dapat
4. Mengambil dua 3. Menggunakan kata membawa barang
langkah pada ujung ibu jamak pecah belah,
jari kaki 4. Menyebutkan satu mendorong dengan
Motorik halus warna kendali yang baik
1. Membangun menara 3. Mulai mengakui
delapan kotak balok perbedaan jenis
2. Koordinasi jari baik, kelamin sendiri
memegang krayon 4. Dapat ke toilet
dengan jari bukan sendiri kecuali
menggenggam bercebok
3. Menggerakkan jari
secara mandiri
4. Menggambar, meniru
gerakan vertikal dan
horizontal, serta
menyilang
(Adriana, 2011)
21

BAB III
METODE STUDI KASUS

III. 1 Rancangan Studi Kasus


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif studi kasus. Studi kasus merupakan survey yang dilakukan
terhadap sekumpulan objek yang biasanya bertujuan untuk melihat
gambaran fenomena yang terjadi di dalam suatu populasi tertentu
(Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
pemberian terapi bermain (menyusun balok) pada anak usia 1-3 tahun
(toddler) untuk mengurangi stres hospitalisasi di Ruang Melati 5 RSUD
Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Demi mewujudkan suatu hasil
pengobatan yang komprehensif dalam berkomunikasi dalam memahami
cara mengatasi kecemasan ketika berada di Rumah Sakit.

III. 2 Subyek Studi Kasus


Subyek penelitian adalah subyek yang dituju untuk diteliti oleh
peneliti atau subyek yang menjadi pusat perhatian atau sasaran peneliti
(Arikunto, 2014). Anak dengan usia 1-3 tahun (toddler) yang dirawat di
rumah sakit dan mengalami stres hospitalisasi di Ruang Melati 5 RSUD
Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

III. 3 Fokus Studi Kasus


Fokus studi identik dengan variabel penelitian yaitu perilaku
atau karakteristik yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu
(Nursalam, 2014). Fokus studi dalam penelitian kasus ini adalah
pemberian terapi bermain (menyusun balok) pada anak usia 1-3 tahun
(toddler) untuk mengurangi stres hospitalisasi di ruang Melati 5 RSUD
Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya di RSUD Dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya.

III. 4 Definisi Operasional Fokus Studi Kasus


22

Definisi Operasional dilakukan untuk membatasi ruang


lingkup variabel yang diteliti dan juga dapat mengarahkan kepada
pengukuran atau pengamatan terhadap variabel yang bersangkutan
(Notoadmodjo, 2012).
Studi Kasus Asuhan Keperawatan :
1) Stres hospitalisasi adalah kondisi di mana anak mengalami
ketidaknyamanan atau kondisi yang dapat membuat anak
merasakan kecemasan ketika berada pada lingkungan rumah sakit
sehingga kecemasan tersebut dapat dikaji dengan Visual Facial
Anxiety Scale (VFAS) sebelum dan sesudah terapi bermain balok
dilakukan.
2) Terapi bermain balok adalah suatu aktivitas berunsur kebahagiaan
bagi anak dan menggunakan media balok kayu berjumlah 2-8 balok
(disesuaikan dengan usia anak) dengan berbagai warna sehingga
anak dapat mengetahui merasakan kebahagiaan dalam proses
bermain yang dapat mengurangi stres akibat hospitalisasi.

III. 5 Tempat dan Waktu Studi Kasus


1) Tempat
Tempat pengambilan kasus akan di laksanakan di Ruang Melati 5
RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.
2) Waktu
Waktu pelaksanaan pengambilan kasus pada tanggal 29 April- 4
Mei 2019. Sampel yang akan diambil adalah anak usia 1-3 tahun
(toddler).

III. 6 Metode Pengumpulan Data


Penyusunan bagian awal instrumen dituliskan karakteristik
responden seperti inisial klien, umur, jenis kelamin. Menurut Sugiyono
(2011), jenis instrumen yang sering digunakan pada ilmu keperawatan,
yaitu:
1) Metode Biofisiologis
Dalam pengkajian penelitian karya tulis ini, metode biofisiologis
ini dapat melakukan pengkajian dari kebutuhan biologis, keadaan
psikologis dan keadaan social anak.
2) Metode Observasi
23

Didalam pengertian psikologik, observasi atau yang disebut pula


dengan pengamatan, meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap
sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera (Arikunto,
2010). Metode observasi ini dilakukan pengamatan meliputi respon
fisiologis (tanda-tanda vital, sakit perut, sakit kepala, mual, muntah,
demam ringan, gelisah, kelelahan, sulit berkonsentrasi, dan mudah
marah), respon psikologis (nampak gelisah, terdapat ketegangan
fisik, tremor, reaksi terkejut, bicara cepat, kurang koordinasi,
menarik diri, melarikan diri dari masalah, menghindar dan sangat
waspada), respon kognitif (tidak mampu memperhatikan, konsentrasi
menurun, mudah lupa, menurunnya lapang persepsi, bingung, sangat
waspada, kehilangan objektivitas, takut kehilangan kendali, takut
pada gambar visual, takut pada cedera atau kematian dan mimpi
buruk), dan respon afektif (kebingungan, gugup, khawatir, mati rasa,
rasa bersalah atau malu, dan curiga berlebihan).
3) Skala Penilaian
Skala penilaian yang digunakan dalam karya tulis ini adalah
skala pengukuran wajah Visual Facial Anxiety Scale (VFAS). Skala
tersebut menunjukkan ekspresi yang berbeda dan angka 0-10 untuk
membedakan tingkat kecemasan yang dialami oleh setiap anak.

III. 7 Penyajian Data


Penyajian data dilakukan secara deskriptif menggunakan
prinsip-prinsip manajemen asuhan keperawatan. Dapat berupa narasi
yang diungkapkan (verbal) pada saat dilakukan pengkajian dan dapat
disertai dengan data pendukung berupa tabel atau skala oleh klien atau
keluarga klien dalam pelaksanaan terapi bermain (menyusun balok)
pada usia 1-3 tahun (toddler) untuk mengurangi stres hospitalisasi di
Ruang Melati 5 di RSUD Dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya.

III. 8 Etika Studi Kasus


Prinsip the Five Right of Human Subjects meliputi 5 (lima) hak :
1) Hak self determination, klien memiliki hak otonomi dan hak untuk
membuat keputusan secara sadar mengenai bebas dari paksaan.
24

2) Hak privacy dan dignity, klien memiliki hak untuk dihargai


mengenai apa yang mereka lakukan dan apa yang dilakukan
terhadap mereka yaitu kebebasan keputusan masa pengobatan.
3) Hak anonymity dan confidentiality, bahwa semua informasi yang
didapatkan dari klien harus dijaga kerahasiannya, peneliti mampu
menguraikan data tanpa mengungkap identitas klien.
4) Hak mendapatkan penanganan yang adil, dengan memberikan
individu hak yang sama untuk dipilih dan terlibat dalam penelitian
tanpa diskriminasi.
5) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari ketidaknyamanan
mengharuskan klien untuk meminimalkan bahaya atau kerugian
dari suatu tindakan penelitian, serta memaksimalkan manfaat dari
penelitian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai