Anda di halaman 1dari 21

ANALISA KASUS PASIEN FARINGITIS DI POLI THT RSAL

Dr. RAMELAN SURABAYA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap tahunnya ±40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan karena faringitis.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat infeksi (virus dan
bakteri) maupun non infeksi (alergi, trauma, toksin dan lain-lain), faringitis dapat menular
melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis
yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang gizi,
konsumsi alkohol yang berlebihan.
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi local.
Infeksi bakteri grup A Streptokokus 𝛽 hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu
akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah,
orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui secret
hidung dan ludah (droplet infection).

1.2 Posisi Kasus


Seorang anak laki-laki dengan nama An.J berusia 7 tahun datang ke poli THT bersama
kedua orang tuanya dengan keluhan pilek selama 2 minggu, suara menjadi bindeng tanpa disertai
batuk. Ibu pasien mengatakan bahwa pasien mengeluh adanya nyeri tenggorokan terutama saat
menelan. Selain hal tersebut ibu korban juga mengeluhkan bahwa sang anak apabila saat di
panggil meresponnya lama, dan pasien mengeluh bahwa telinga sebelah kirinya kurang
mendengar.

1
1.3 Tujuan Penulisan. Tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengaanalisa kasus
yang didapatkan di poli THT guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik di departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan dan Bedah Kepala Leher RSAL Dr. Ramelan Surabaya.

1.4 Manfaat Penulisan. Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk:
a. Memberikan informasi pada dokter maupun tenaga kesehatan tentang Faringitis serta
berbagai hal lain yang berhubungan dengan penyakit ini.
b. Menambah pengetahuan penulis tentang penyakit Faringitis.
c. Sebagai sumber informasi bagi pihak lain yang ingin melakukan penelitian atau hal
lain yang ada kaitannya dengan penyakit ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fungsi Faring


Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong dengan bagian atas
yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring merupakan ruang utama traktusresporatorius
dan traktus digestivus. Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak danterus
menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6. Ke atas. Faring
berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Ke depan berhubungan dengan rongga mulut
melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring dibawah berhubungan dengan aditus laring
dan ke bawah berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang
dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang.
Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput lendir, fasia faringobasiler,
pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan
laringofaring (hipofaring).1 Untuk menunjukkan gambaran umum struktur dari faring, akan
ditunjukkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 1. Gambaran umum Anatomi faring


Faring secara anatomis terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring, dan
hipofaring. Guna memberikan pemahaman yang lebih detail tentang faring berikut ini akan
dibahas satu-persatu adalah sebagai berikut.

3
a. Nasofaring
Nasofaring terletak di atas langit-langit lunak (palatum mole), kedepan
berhubungan dengan rongga hidung melalui koane kanan dan kiri. Di dinding lateral
terletak ostium tuba Eustachii yang dikelilingi oleh torus tubarius, tonjolan tulang rawan
yang dilapisi mukosa (Diktat Kuliah THT FKUA, 1994). Batas nasofaring di bagian atas
adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga
hidung sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting seperti adenoid,
jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa
Rosenmuller, kantong ranthke, yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis
serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba
Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus, Nervus
Vags dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena jugularis interna, bagian
petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eustachius.1 Pada kasus
diatas tidak dilaksanakan pemeriksaan pada nasofaring.
b. Orofaring
Orofaring terletak diantara langit-langit lunak dan ujung atas epiglotis. Ismus
Fausium, menghubungkan orofaring dan rongga mulut, terdiri dari langit-langit lunak
diatas, dan dua buah lipatan di sebelah kanan dan kiri yang disebut pilar depan (arkus
anterior) dan pilar belakang (arkus posterior), dimana diantaranya terdapat tonsil. Pilar
depan dibentuk oleh otot palatoglosus, sedang pilar belakang dibentuk oleh
palatofaringeus (Diktat Kuliah THT FKUA, 1994). Orofaring disebut juga mesofaring,
dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis ke
depan adalah rongga mulut sedangkan ke belakang adalah vertebra servikalis.1 Struktur
yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fosa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil lingual dan foramen sekum.1
Dinding posterior faring secara klinik penting karena ikut terlibat pada radang akut atau
radang kronik faring, Abses retrofaring, serta gangguan otot-otot di bagian tersebut.
Gangguan otot posterior faring bersama-sama dengan otot palatum mole berhubungan
dengan gangguan n.vagus.1 Ditemukan adanya kelainan pada tonsil berupa perubahan
warna menjadi lebih merah.

4
c. Laringofaring
Laringofaring terletak dibawah ujung atas epiglotis sampai lubang masuk ke
laring dan esofagus. Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esophagus, sertas batas posterior adalah
vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan
laring tidak langsung atau dengan laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka
struktur pertama yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula.1 Pada kasus pasien
diatas tidak dilaksanaan pemeriksaannya menggunakan kaca tenggorok dikarenakan
pasien kurang kooperatif.
Untuk memberi gambaran pembagian faring, maka akan ditampilkan pada gambar di bawah ini.

Gambar 3. Nasofaring,Orofaring, dan Hpofaring.

Untuk membahas lebih lanjut struktur penyusun anatomi faring yang terdiri atas mukosa,
palut lendir, otot, sistem pembuluh darah, persarfan, dan aliran limfe, serta fungsi dari faring
maka selanjutnya akan dijabarkan lebih lanjut.
a. Mukosa
Mukosa faring terdiri dari epitel skuamous berlapis, kecuali diatap dan di dinding lateral
nasofaring dimana epitelnya merupakan lanjutan dari epitel mukosa rongga hidung yakni epitel
kolumnar bersilia. Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada nasofaring
karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya bersilia, sedang epitelnya torak
berlapis yang mengandung sel goblet. Di bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring,
karena fungsinya untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia.1 Di sepanjang
faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat

5
yang termasuk dalam system retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah
pertahanan tubuh terdepan.1 Kasus faringitis diatas disebabkan oleh virus, mukosa pasien terjadi
respon inflamasi, dikarenakan virus dapat menginvasi langsung mukosa mulut.
b. Palut Lendir (Mucous Blancet)
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui hidung. Di bagian
atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak diatas silia dan bergerak sesuai dengan
arah gerak silia ke belakang. Palut lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang
terbawa oleh udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang penting
untuk proteksi.1 Pada kasus An, J tidak dilakukan pemeriksaan perubahan palut lendir pasien.
c. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan memanjang
(longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari m.konstriktor faring superior, media, dan
inferior. Otot-otot ini terletak disebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian
bawahnya menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Disebelah depan, otot-otot ini
bertemu satu sama lain dan dibelakang bertemu pada jaringan bertemu pada jaringan ikat yang
disebut “rafe faring” (raphe pharyngis). Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring.
Otot-otot ini dipersarafi oleh n.vagus (n.X).1
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring. Letak otot-otot ini di
sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan
m.palatofaring mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan laring.
Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu penting pada waktu menelan.
M.Stilofaring dipersarafi oleh n.IX sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X.1
Pada palatum mole terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia
dari mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini, m.palatoglossus, m.palatofaring,
dan m.azigos uvula.1
1) M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan kerjanya untuk
menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba Eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X.1
2) M.tensor veli palatini membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk
mengencangkan bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius. Otot
ini dipersarafi oleh n.X.1

6
3) M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan kerjanya menyempitkan ismus
faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.1
4) M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
5) M.Azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek dan menaikkan
uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.1
Untuk mempermudah memahami penjelasan diatas, maka akan disajikan gambar dibawah ini.

Gambar 2. Otot-otot Penyusun Faring


Pada kasus An, J tidak dilakukan pemeriksaan perubahan atau kelainan otot pasien. Pada
kasus faringitis, dijumpai satu tanda dengan adanya nyeri telan yang kemunkinan besar
disebabkan oleh kelainan otot yang mengalaim disfungsi karena terjadinya proses inflamasi.
d. Pembuluh Darah
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang tidak beraturan. Yang
utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang faring asendens dan cabang fausial) serta
dari cabang a.maksila interna yakni cabang palatine superior.1 Ditunjukkan gambarannya pada
gambar dibawah ini.

7
Gambar 4. Persarafan Faring
Pada kasus An. J pembuluh darah terjadinya dilatasi disebabkan dari proses inflamasi,
sehingga pembuluh darah di sekitar faring menjadi dilatasi, dan menyebabkan adanya gambaran
kemerahan di sekitar faring.
e. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus faring yang ekstensif.
Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus, cabang dari n.glosofaring dan serabut
simpatis. Cabang faring dari n.vagus berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif
ini keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang dipersarafi langsung
oleh cabang n.glosofaring (n.IX).1 Pada pasien An.J kemungkinan terjadinya gangguan dari
n.glosus ditandai dengan adanya nyeri telan, namun tidak dilaksanakan pemeriksaan lebih lanjut.
f. Kelenjar Getah Bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni superior, media dan
inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar getah bening retrofiring dan kelenjar getah
bening servikal dalam atas. Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-
digastrik dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior mengalir ke kelenjar
getah bening servikal dalam bawah.1 Tidak dilaksanakan pemeriksaan lebih lanjut pada kelenjar
getah bening pasien An.J.
g. Fungsi Faring
Fungsi faring yang terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara
dan untuk artikulasi.1

8
1) Fungsi menelan
Terdapat 3 fase dalam proses menelan yaitu fase oral, fase faringal dan fase
esofagal. Fase oral, bolus makanan dari mulut menuju ke faring. Gerakan disini disengaja
(voluntary). Fase faringal yaitu pada waktu transport bolus makanan melalui faring.
Gerakan disini tidak sengaja (involuntary). Fase esofagal disini gerakannya tidak
disengaja, yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltic di esophagus
menuju lambung.1

Gambar 5. Proses Menelan


Pada pasien An.J ditemukan adanya kelainan dengan adanya sulit menelan saat
makan.
2) Fungsi faring dalam proses bicara.1
Pada saat berbicara dan menelan terjadi gerakan terpada dari otot-otot palatum
dan faring. Gerakan ini antara lain berupa pendekatan palatum mole kea rah dinding
belakang faring. Gerakan penutupan ini terjadi sangat cepat dan melibatkan mula-mula
m.salpingofaring dan m.palatofaring. kemudian m.levator veli palatini bersama-sama
m.konstriktor faring superior. Pada gerakan penutupan nasofaring m.levator vveli palatini
menarik palatum mole ke atas belakang hampir mengenai dinding posterior faring. Jarak
yang tersisa ini diisi oleh tonjolan (fold of) passavant pada dinding belakang faring yang

9
terjadi akibat 2 macam mekanisme, yaitu pengangkatan faring sebagai hasil gerakan
m.palatofaring (bersama m.salpingofaring) dan oleh kontraksi aktif m.konstriktor faring
superior. Mingkin kedua gerakan ini bekerja tidak pada waktu yang bersamaan.1 Ada
yang berpendapat bahwa tonjolan Passavant ini menetap pada pada periode fonasi, tetapi
ada pula pendapat yang mengatakan tonjolan ini timbul dan hilang secara cepat
bersamaan dengan gerakan palatum.1 Pada pasien An.J terjadi perubahan suara menjadi
serak, sehingga proses bicaranya terganggu.

2.2 Faringitis
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-
60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin, dan lain-lain.2 Faringitis adalah inflamasi atau
infeksi dari membran mukosa faring atau dapat juga tonsilopalatina. Faringitis akut biasanya
merupakan bagian dari infeksi akut orofaring yaitu tonsilofaringitis akut atau bagian dari
influenza (rinofaringitis) (Departemen Kesehatan, 2007).
Virus dan bakteri melakukan invasi ke faring dan menimbulkan reaksi inflamasi local.
Infeksi bakteri grup A Streptokokus 𝛽 hemolitikus dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang
hebat, karena bakteri ini melepaskan toksin ekstraselular yang dapat menimbulkan demam
reumatik, kerusakan katup jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu
akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi. Bakteri ini banyak menyerang anak usia sekolah,
orang dewasa dan jarang pada anak umur kurang dari 3 tahun. Penularan infeksi melalui secret
hidung dan ludah (droplet infection).2
a. Etiologi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang dapat disebabkan akibat
infeksi maupun non infeksi. Banyak microorganism yang dapat menyebabkan faringitis,
virus (40-60%) bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Respiratory viruses merupakan penyebab faringitis
yang paling banyak teridentifikasi dengan Rhinovirus (±20%) dan coronaviruses (±5%).
Selain itu juga ada Influenzavirus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus
type 1&2, Coxsackie virus A,cytomegalovirus dan Epstein-Barr virus (EBV). Selain itu
infeksi HIV juga dapat menyebabkan terjadinya faringitis. Faringitis yang disebabkan
oleh bakteri biasanya oleh grup S.pyogenes dengan 5-15% penyebab faringitis pada

10
orang dewasa. Group A streptococcus merupakan penyebab faringitis yang utama pada
anak-anak berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan pada anak berusia <3tahun.
Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%) antara lain Neisseria gonorrhoeae,
Corynebacterium diptheriae, Corynebacterium ulcerans, Yersinia eneterolitica dan
Treponema pallidum, Mycobacterium tuberculosis. Faringitis dapat menular melalui
droplet infection dari orang yang menderita faringitis.Faktor resiko penyebab faringitis
yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi makanan yang kurang
gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.3 Pada Faringitis kronik, faktor-faktor yang
berpengaruh7:
1) Infeksi persisten di sekitar faring. Pada rhinitis dan sinusitis kronik, mucus
purulent secara konstan jatuh ke faring dan menjadi sumber infeksi yang konstan.
Tonsillitis kronik dan sepsis dental juga bertanggung jawab dalam menyebabkan
faringitis kronik dan odinofagia yang rekuren.
2) Bernapas melalui mulut. Bernapas melalui mulut akan mengekspos faring
ke udara yang tidak difiltrasi, dilembabkan dan disesuaikan dengan suhu tubuh
sehingga menyebabkan lebih mudah terinfeksi. Bernapas melalui mulut biasa
disebabkan oleh :
a) Obstruksi hidung
b) Obstruksi nasofaring
c) Gigi yang menonjol
d) Kebiasaan
3) Iritan kronik. Merokok yang berlebihan, mengunyah tembakau, peminum
minuman keras, makanan yang sangat pedas semuanya dapat menyebabkan
faringitis kronik.
4) Polusi lingkungan. Asap atau lingkungan yang berdebu atau uap industry
juga menyebabkan faringitis kronik.
5) Faulty voice production. Penggunaan suara yang berlebihan atau faulty
voice production juga adalah salah satu penyebab faringitis kronik.
b. Epidemiologi
Di USA, faringitis terjadi lebih sering terjadi pada anak-anak daripada pada
dewasa. Sekitar 15 – 30 % faringitis terjadi pada anak usia sekolah, terutama usia 4 – 7

11
tahun, dan sekitar 10%nya diderita oleh dewasa. Faringitis ini jarang terjadi pada anak
usia <3 tahun. Penyebab tersering dari faringitis ini yaitu streptokokus grup A, karena itu
sering disebut faringitis GAS (Group A Streptococci). Bakteri penyebab tersering yaitu
Streptococcus pyogenes. Sedangkan, penyebab virus tersering yaitu rhinovirus dan
adenovirus. Masa infeksi GAS paling sering yaitu pada akhir musim gugur hingga awal
musim semi.4
c. Patofisiologi
Pada faringitis yang disebabkan infeksi, bakteri ataupun virus dapat secara
langsung menginvasi mukosa faring menyebabkan respon inflamasi lokal. Kuman
menginfiltrasi lapisan epitel, kemudian bila epitel terkikis maka jaringan limfoid
superfisial bereaksi, terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit
polimorfonuklear. Pada stadium awal terdapat hiperemi, kemudian edema dan sekresi
yang meningkat. Eksudat mula-mula serosa tapi menjadi menebal dan kemudian
cendrung menjadi kering dan dapat melekat pada dinding faring. Dengan hiperemi,
pembuluh darah dinding faring menjadi lebar. Bentuk sumbatan yang berwarna kuning,
putih atau abu-abu terdapat dalam folikel atau jaringan limfoid. Tampak bahwa folikel
limfoid dan bercak-bercak pada dinding faring posterior, atau terletak lebih ke lateral,
menjadi meradang dan membengkak. Virus-virus seperti Rhinovirus dan Coronavirus
dapat menyebabkan iritasi sekunder pada mukosa faring akibat sekresi nasal. Infeksi
streptococcal memiliki karakteristik khusus yaitu invasi lokal dan pelepasan extracellular
toxins dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang hebat karena
fragmen M protein dari Group A streptococcus memiliki struktur yang sama dengan
sarkolema pada myocard dan dihubungkan dengan demam rheumatic dan kerusakan
katub jantung. Selain itu juga dapat menyebabkan akut glomerulonefritis karena fungsi
glomerulus terganggu akibat terbentuknya kompleks antigen-antibodi.
d. Patogenesis
Bakteri S. Pyogenes memiliki sifat penularan yang tinggi dengan droplet udara
yang berasal dari pasien faringitis. Droplet ini dikeluarkan melalui batuk dan bersin. Jika
bakteri ini hinggap pada sel sehat, bakteri ini akan bermultiplikasi dan mensekresikan
toksin. Toksin ini menyebabkan kerusakan pada sel hidup dan inflamasi pada orofaring
dan tonsil. Kerusakan jaringan ini ditandai dengan adanya tampakan kemerahan pada

12
faring.5 Periode inkubasi faringitis hingga gejala muncul yaitu sekitar 24 – 72 jam.6
Beberapa strain dari S. Pyogenes menghasilkan eksotoksin eritrogenik yang
menyebabkan bercak kemerahan pada kulit pada leher, dada, dan lengan. Bercak tersebut
terjadi sebagai akibat dari kumpulan darah pada pembuluh darah yang rusak akibat
pengaruh toksin.5 Faktor risiko dari faringitis yaitu: 1) Cuaca dingin dan musim flu, 2)
Kontak dengan pasien penderita faringitis karena penyakit ini dapat menular melalui
udara, 3) Merokok, atau terpajan oleh asap rokok, dan 4) Infeksi sinus yang berulang,
serta 5) Alergi.
e. Komplikasi
Komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis,
mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu juga dapat
terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis, glomerulonefritis, demam rematik
akut. Hal ini terjadi secara perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.3
Secara garis besar faringitis diklasifikasikan menjadi 2 tipe, yaitu faringitis akut dan
faringitis kronis, dalam memberikan pemahaman yang berarti, dibawah ini akan dikupas masing-
masing klasifikasi faringitis adalah sebagai berikut.
a. Faringitis Akut
Faringitis akut adalah infeksi akut pada mukosa dan jaringan limfoid faring.
Penularannya melalui udara pernapasan atau melalui makanan, pada umumnya bersama-
sama dengan rhinitis akut.
1) Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari kemudian akan
menimbulkan faringitis.2 Gejala dan tanda faringitis viral adalah dapat diawali
dengan gejala pilek dahulu, tenggorok terasa kering dan panas, kemudian diikuti
dengan rasa nyeri waktu menelan (tetapi tidak hebat), sehingga penderita masih
dapat menelan makanan. Demam atau meriang, nyeri kepala, malaise, nafsu
makan menurun. Pada anak-anak dapat terjadi demam tinggi dan kejang. Pada
pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, coxsachievirus
dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxachievirus dapat
menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit berupa mauclopapular rash.2

13
Pada pemeriksaan didapatkan mukosa merah udim terutama pada lateral
band, granul (nodul limfoid) di dinding faring menebal/merah, serta sering
didapati pembesaran kelenjar leher yang nyeri tekan. Adenovirus selain
menimbulkan gejala faringitis, juga menimbulkan gejala konjungtivitis terutama
pada anak.2 Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai
produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di
seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.2 Faringitis yang
disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri tenggorok, nyeri menelan, mual,
dan demam. Pada pemeriksaan tampak faring hiperemis, terdapat eksudat,
limfadenopati akut di leher dan pasien tampak lemah.2 Terapinya adalah istirahat
dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat. Analgetika jika perlu dan
tablet isap.2 Antivirus metisoprinol (Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes
simpleks dengan dosis 60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari
pada orang dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam
4-6 kali pemberian/hari.2

Gambar 6. Gambaran faringitis karena virus


2) Faringitis bakterial
Infeksi grup A Streptokokus 𝛽 hemolitikus merupakan penyebab faringitis
akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).2 Gejala dan tandanya adalah
nyeri kepala yang hebat, muntah kadang-kadang disertai demam dengan suhu
yang tinggi, jarang disertai batuk.2 Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar,

14
faring dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa leher
anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada penekanan.2
Terapi:
a. Antibiotik. Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis akut ini grup A
Streptokokus 𝛽 hemolitikus. Penicillin G Banzatin 50.000 U/kgBB, IM dosis
tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari
dan pada dewasa 3 x 500 mg selama 6-10 hariatau eritromisin 4 x 500 mg/hari
b. Kortikosteroid: deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak 0.08-0.3
mg/kgBB, IM, 1 kali.
c. Analgetika
d. Kumur dengan air hangat atau antiseptic.

Gambar 7. Gambaran faringitis yang disebabkan oleh bakteri


Faringitis akibat infeksi bakteri streptococcus group A dapat diperkirakan
dengan menggunakan Centor criteria8, yaitu : a) Riwayat demam (+1), b) Anterior
Cervical lymphadenopathy (+1), c) Tonsillar exudates (+1), dan d) Tidak ada
batuk (+1). Pada modified Centor criteria ditambah kriteria umur: a) 3-14 tahun
(+1), b) 15-44 tahun (0), dan c) 45 tahun keatas (-1). Penilaian skornya:
a) 0: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 1%-2.5%. Tidak perlu
pemeriksaan lebih lanjut dan antibiotic.
b) 1: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 5%-10%. Tidak perlu
pemeriksaan lebih lanjut dan antibiotic.

15
c) 2: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 11%-17%. Kultur
bakteri faring dan antibiotic hanya bila hasil kultur positif
d) 3: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 28%-35%. Kultur
bakteri faring dan antibiotic hanya bila hasil kultur positif
e) 4-5: Kemungkinan faringitis karena streptococcus 51%-53%. Terapi
empiris dengan antibiotic dan atau kultur bakteri faring.
3) Faringitis Fungal
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring. Keluhan nyeri
tenggorok dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring
dan mukosa faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam agar
Saburoud dextrose. Terapi dengan Nystatin 100.000-400.000 2 kali/hari dan
analgetika.2

Gambar 8. Gambaran Faringitis karena Jamur.


4) Faringitis Gonorea
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital. Terapi
dengan sefalosporin generasi ke-3, ceftriaxone 250 mg, IM.2
b. Faringitis Kronik
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis kronik atrofi.
Factor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah rhinitis kronik, sinusitis, iritasi
kronik sekret dari rongga hidung yang menyebabkan “post nasal drip” (misal oleh
sinusitis maksilaris kronis, Etmoiditis) atau oleh iritasi dari luar misal dari rokok, minum

16
alcohol, inhalasi uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Factor lain penyebab
terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa bernapas melalui mulut karena
hidungnya tersumbat.2
1) Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa dinding
posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa faring dan lateral band
hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata,
bergranular.2 Gejalanya pasien sering mengeluh mula-mula tenggorok kering
gatal dan akhirnya batuk yang bereak.2 Terapi local dengan melakukan kaustik
faring dengan memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro
cauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap. Jika
diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran. Penyakit di
hidung dan sinus paranasal harus diobati.2
2) Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rhinitis atrofi.
Pada rhinitis atrofi, udara pernapasan tidak diatur suhu serta kelembabannya,
sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada faring.2 Gejalanya pasien
sering mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau. Pada pemeriksaan
tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak
mukosa kering2 Pengobatan ditujukan pada rhinitis atrofinya dan untuk faringitis
kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan mulut.2
c. Faringitis Spesifik
1) Faringitis luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi didaerah faring seperti
juga penyakit lues di organ lain. Gambaran kliniknya tergantung pada stadium
penyakit primer, sekunder atau tertier.
a) Stadium primer. Kelainan pada stadium primer terdapat pada
lidah, palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring berbentuk
bercak keputihan. Bila infeksi terus berlangsung maka timbul ulkus pada
daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
didapatkan pembesaran kelenjar mandibular yang tidak nyeri tekan.

17
b) Stadium sekunder. Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat
eritema pada dinding faring yang menjalar kearah laring.
c)
Stadium tertier. Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya
pada tonsil dan palatum. Jarang pada dinding posterior faring. Guma
pada dinding posterior faring dapat meluas ke vertebra servikal dan bila
pecah dapat menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di palatum
mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang dapat
menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen.2 Diagnosis
ditegakkan dengan pemeriksaan serologic. Terapi penisilin dalam dosis
tinggi merupakan obat pilihan utama.2
2) Faringitis Tuberculosis
Faringitis tuberculosis merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh
kuman TBC hasil dari proses sekunder pada tuberculosis paru. Pada infeksi
kuman tahan asam jenis bovinum dapat timbul tuberculosis faring primer. Cara
infeksi eksogen yaitu kontak dengan sputum yang mengandung kuman atau
inhalasi kuman melalui udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui
darah pada tuberculosis miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil
dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada dinding posterior
faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring, palatum mole, dan
palatum durum. Kelenjar regional leher membengkak. Saat ini juga penyebaran
secara limfogen.2
Penderita biasanya adalah penderita tuberkulosis. Gejalanya yaitu keadaan
umum pasien buruk karena tampak sakit berat, anoreksia, gizi jelek, odinofagia,
bahkan kadang-kadang dehidrasi. Pasien mengeluh nyeri menelan yang hebat di
tenggorok, nyeri di telinga atau otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.2
Pada pemeriksaan faring, didapatkan mukosa faring dipenuhi ulkus-ulkus kecil
yang dangkal, mukosa pucat, banyak didapati sekret yang purulen. Untuk
menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan sputum basil tahan asam, foto
toraks untuk melihat adanya tuberculosis paru dan biopsy jaringan yang terinfeksi
untuk menyingkirkan proses keganasan serta mencari kuman basil tahan asam di
jaringan.2

18
2.3 Analisa Kasus Pasien Faringitis An.J Di Poli Tht Rsal Dr. Ramelan Surabaya

19
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Faringitis adalah keadaan inflamasi pada struktur mukosa, submukosa tenggorokan.
Jaringan yang mungkin terlibat antara lain orofaring, nasofaring, hipofaring, tonsil dan adenoid.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari orang yang menderita faringitis. Faktor
resiko penyebab faringitis yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.

Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada mikroorganisme yang
menginfeksi. Secara garis besar faringitis menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti lemas,
anorexia, suhu tubuh naik, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang hiperemis,
tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe pada rahang bawah
teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan pemeriksaan darah mungkin dijumpai
peningkatan laju endap darah dan leukosit. Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai
dari anamnesa yang cermat dan dilakukan pemeriksaan temperature tubuh dan evaluasi
tenggorokan, sinus, telinga, hidung dan leher. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang
hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di
leher.

Terapi faringitis tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah bakteri maka
diberikan antibiotik dan bila penyebabnya adalah virus maka cukup diberikan analgetik dan
pasien cukup dianjurkan beristirahat dan mengurangi aktivitasnya. Dengan pengobatan yang
adekuat umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik dan umumnya pasien biasanya
sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono dan Hermani B. Odinofagia. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Cetakan ke-5. Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2010;
h.212-6

2. Rusmarjono dan Soepardi EA. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. Edisi Keenam. Cetakan ke-5. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta: 2010; h.217-9

3. Mansjoer, A (ed). 2005. Ilmu Penyakit Telinga, Hidung, dan Tenggorok :


Tenggorok dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. FK UI.Jakarta; h.118

4. Acerra JR. Pharyngitis in Emergency Medicine. 2010. Diambil dari


http://emedicine.medscape.com/article/764304-overview#a0199.

5. Pommerville JC. Alcamo’s Fundamentals of Microbiology. Ed ke-9. Sudbury: Jones & Bartlett
Publisher; 2011; h.304-5

6. Lipsky MS, King MS. Blueprints Family Medicine. Philadelphia: Lipincott; 2010; h.87-9

7. Dhingra PL. Diseases of Ear, Nose, Throat. India: Reed Elsevier; 2000; h 236-7

8. http://www.mdcalc.com/modified-centor-score-for-strep-pharyngitis/

21

Anda mungkin juga menyukai