PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Insiden batu empedu meningkat sesuai usia, karena risiko-risiko berhubungan dengan
kolelitiasis. Di As, >10% laki-laki dan 20% perempuan memiliki batu empedu dengan usia 65
tahun. Perempuan terhitung hampir 70% dirawat di rumah sakit dengan batu empedu,
meskipun angka kematian mungkin lebih tinggi pada laki-laki. Dua kali lebih banyak terjadi
pada orang Amerika kulit putih dibandingkan dengan orang Amerika kulit hitam, meskipun
batu empedu kurang umum pada kulit hitam, kolelitiasis menyebabkan perdarahan pada >1/3
orang dengan anemia sel sabit. (Joyce & Jane, 2014)
Prevalensi batu empedu banyak kesamaan antara Eropa dan Amerika banyak
pengetahuan baru bahwa batu empedu kolesterol datang dari penelitian Pima perempuan
Amerika pribumi di Arizona selatan-tengah, yang kejadiannya 75% dengan usia >25 tahun.
Batu pigmen dominan di Asia dan Amerika Afrika. (Joyce & Jane, 2014)
Gejala yang umum pada klien dengan batu empedu adalah nyeri atau kolik bilier,
yang disebabkan oleh spasme atau kram duktus bilier sebagai upaya mengeluarkan batu, mual
muntah, dan urin berwarna gelap.
Pengobatan pada klien dengan batu empedu dengan terapi nutrisi dan terapi
farmakologi. (Joyce & Jane, 2014)
B. Rumusan Masalah
C. TUJUAN
2. Agar dapat memahami bagaimana cara memberikan Asuhan Keperawatan kepada klien
Kolelithiasis
BAB II
PEMBAHASAN
1. Anatomi Fisiologi
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah alpukat yang terletak
tepat dibawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk
ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil-kecil tersebut bersatu
membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai
duktus hepatikus kanan dan kiri, yang akan bersatu membentuk duktus hepatikus komunis.
Duktus hepatikus komunis bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus.
Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula
Vateri sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampla
dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfingter Oddi.
Dua penyakit saluran empedu yang paling sering frekuensinya adalah pembentukan
batu (kolelitiasis) dan radang kronik penyertanya (kolesistitis). Dua keadaan ini biasa timbul
sendiri-sendiri, atau timbul bersamaan. (Sjamsuhidajat R, 2005)
2. Definisi
Kolelitiasis disebut juga batu empedu, gallstones, biliary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Batu Empedu adalah timbunan kristal di dalam kandung
empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung empedu
disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut koledokolitiasis
(Nucleus Precise Newsletter, edisi 72, 2011).
Kolelitiasis adalah material atau kristal tidak berbentuk yang terbentuk dalam
kandung empedu. Komposisi dari kolelitiasis adalah campuran dari kolesterol, pigmen
empedu, kalsium dan matriks inorganik. Lebih dari 70% batu saluran empedu adalah tipe batu
pigmen, 15-20% tipe batu kolesterol dan sisanya dengan komposisi yang tidak diketahui. Di
negara-negara Barat, komponen utama dari batu empedu adalah kolesterol, sehingga sebagian
batu empedu mengandung kolesterol lebih dari 80% (Majalah Kedokteran Indonesia, volum
57, 2007).
3. Etiologi
Empedu normal terdiri dari 70% garam empedu (terutama kolik dan asam
chenodeoxycholic), 22% fosfolipid (lesitin), 4% kolesterol, 3% protein dan 0,3% bilirubin.
Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna namun yang paling penting
adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis
empedu dan infeksi kandung empedu. Sementara itu, komponen utama dari batu empedu
adalah kolesterol yang biasanya tetap berbentuk cairan. Jika cairan empedu menjadi jenuh
karena kolesterol, maka kolesterol bisa menjadi tidak larut dan membentuk endapan di luar
empedu.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1) Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 2-3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
denganpria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresikolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen jugameningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan
pil kontrasepsi dan terapi hormon(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam
kandung empedu dan penurunan aktivitaspengosongan kandung empedu.
2) Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orangdegan usia yang lebih muda.
3) Kegemukan (obesitas).
4) Statis Bilier
Kondisi statis bilier menyebabkan peningkatan risiko batu empedu. Kondisi yang
bisameningkatkan kondisi statis, seperti cedera tulang belakan (medulla spinalis),
puasaberkepanjangan, atau pemberian diet nutrisi total parenteral (TPN), dan penurunan
beratbadan yang berhubungan dengan kalori dan pembatasan lemak (misalnya: diet rendah
lemak,operasi bypass lambung). Kondisi statis bilier akan menurunkan produksi garam
empedu,serta meningkatkan kehilangan garam empedu ke intestinal.
5) Diet
Diet rendah serat akan meningkatkan asam empedu sekunder (seperti asam desoksikolat)
dalam empedu dan membuat empedu lebih litogenik. Meningkatkan saturasi kolestrol
empedu. Diet tinggi kolestrol meningkatkan kolestrol empedu
6) Keturunan
Sekitar 25% dari batu empedu kolestrol, Faktor predisposisi dampaknya adalah turun-
temurun seperti yang di nilai dari penilitian terhadap kembar identik Fraternal.
7) Infeksi Bilier
Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat memgang peranan sebagian pada
pembentukan batu dengan meningkatkan deskuamasi seluler dan pembentukan
mucus. Mukus
meningkatkan viskositas dan unsur seluler sebagai pusat presipitasi.
8) Gangguan Intestinal
Pasien pasca reseksi usus dan penyakit crohn memiliki risiko penurunan atau kehilangan
garam empedu dari intestinal. Garam empedu merupakan agen pengikat
kolesterol, penurunan garam pempedu jelas akan meningkatkan konsentrasi
kolesterol dan meningkatkan resiko batu empedu.
9) Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini
mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.
4. Klasifikasi
Menurut Lesmana, 2000 dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I gambaran
makroskopis dan komposisi kimianya, batu empedu di golongkankan atas 3 (tiga) golongan:
1) Batu kolesterol
Berbentuk oval, multifokal atau mulberry dan mengandung lebih dari 70% kolesterol.
Lebih dari 90% batu empedu adalah kolesterol (batu yang mengandung > 50% kolesterol).
Untuk terbentuknya batu kolesterol diperlukan 3 faktor utama :
a) Supersaturasi kolesterol
2) Batu pigmen
Batu pigmen merupakan 10% dari total jenis baru empedu yang mengandung <20%
kolesterol. Jenisnya antara lain:
Berwarna coklat atau coklat tua, lunak, mudah dihancurkan dan mengandung kalsium-
bilirubinat sebagai komponen utama. Batu pigmen cokelat terbentuk akibat adanya
faktor stasis dan infeksi saluran empedu. Stasis dapat disebabkan oleh adanya
disfungsi sfingter Oddi, striktur, operasi bilier, dan infeksi parasit. Bila terjadi infeksi
saluran empedu, khususnya E. Coli, kadar enzim B-glukoronidase yang berasal dari
bakteri akan dihidrolisasi menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Kalsium
mengikat bilirubin menjadi kalsium bilirubinat yang tidak larut. Dari penelitian yang
dilakukan didapatkan adanya hubungan erat antara infeksi bakteri dan terbentuknya
batu pigmen cokelat. Umumnya batu pigmen cokelat ini terbentuk di saluran empedu
dalam empedu yang terinfeksi.
Berwarna hitam atau hitam kecoklatan, tidak berbentuk, seperti bubuk dan kaya akan
sisa zat hitam yang tak terekstraksi. Batu pigmen hitam adalah tipe batu yang banyak
ditemukan pada pasien dengan hemolisis kronik atau sirosis hati. Batu pigmen hitam
ini terutama terdiri dari derivat polymerized bilirubin. Potogenesis terbentuknya batu
ini belum jelas. Umumnya batu pigmen hitam terbentuk dalam kandung empedu
dengan empedu yang steril.
3) Batu campuran
Batu campuran antara kolesterol dan pigmen dimana mengandung 20-50% kolesterol.
5. Manifestasi Klinis
Gejala klinik kolelitiasis bervariasi dari tanpa gejala hingga munculnya gejala. Lebih
dari 80% batu kandung empedu memperlihatkan gejala asimptomatik. Gejala klinik yang
timbul pada orang dewasa biasanya dijumpai gejala dispepsia non spesifik, intoleransi
makanan yang mengandung lemak, nyeri epigastrium yang tidak jelas, tidak nyaman pada
perut kanan atas. Gejala ini tidak spesifik karena bisa terjadi pada orang dewasa dengan atau
tanpa kolelitiasis.
Pada anak-anak, gejala klinis yang sering ditemui adalah adanya nyeri bilier dan
obstructive jaundice. Nyeri bilier yang khas pada penderita ini adalah kolik bilier yang
ditandai oleh gejala nyeri yang berat dalam waktu lebih dari 15 menit sampai 5 jam. Lokasi
nyeri di epigastrium, perut kanan atas menyebar sampai ke punggung. Nyeri sering terjadi
pada malam hari, kekambuhannya dalam waktu yang tidak beraturan. Nyeri perut kanan atas
yang berulang merupakan gambaran penting adanya kolelitiasis. Umumnya nyeri terlokalisir
di perut kanan atas, namun nyeri mungkin jugaterlokalisir di epigastrium. Nyeri pada
kolelitiasis ini biasanya menyebar ke bahu atas. Mekanisme nyeri diduga berhubungan dengan
adanya obstruksi dari duktus. Tekananpada kandung empedu bertambah sebagai usaha untuk
melawan obstruksi, sehingga pada saat serangan, perut kanan atas atau epigastrium biasanya
dalam keadaan tegang.
Studi yang dilakukan oleh Kumar et al didapatkan gejala nyeri perut kanan atas yang
berulang dengan atau tanpa mual dan muntah mencapai 75% dari gejala klinik yang timbul,
sisanya meliputi nyeri perut kanan atas yang akut, jaundice, failure to thrive,keluhan perut
yang tidak nyaman. Hanya 10% dijumpai dengan gejala asimptomatik.Mual dan muntah juga
umum terjadi. Demam umum terjadi pada anak dengan umur kurang dari 15 tahun. Nyeri
episodik terjadi secara tidak teratur dan beratnya serangansangat bervariasi. Pada pemeriksaan
fisik mungkin tidak dijumpai kelainan. Pada sepertiga pasien terjadi inflamasi mendahului
nekrosis, kemudian diikuti perforasi atau empiema pada kandung empedu.
6. Patofisiologi
Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan empedu yang
supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3) berkembang karena
bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan masalah yang terpenting dalam
pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen. Supersaturasi empedu dengan kolesterol
terjadi bila perbandingan asam empedu dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol
turun di bawah harga tertentu. Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang
mengandung air. Empedu dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang
mempunyai inti sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu
dan lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah, atau
terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti pengendapan
kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol keluar dari larutan
membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan. Pada tingkat saturasi yang lebih
rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel sel yang lepas, atau partikel debris yang lain
diperlukan untuk dipakai sebagai benih pengkristalan. (Schwartz S 2000).
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini :
bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan
terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase
bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil
tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut.
Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam
lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa
menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.
Pathway
Faktor Predisposisi
Kolelitiasis
Batu Empedu
Pengendapan
memburuk
a. Radiologi
b. Radiografi: Kolesistografi
Kolesistografi digunakan bila USG tidak tersedia atau bila hasil USG meragukan.
Kolangiografi oral dapat dilakukan untuk mendeteksi batu empedu dan mengkaji
kemampuan kandung empedu untuk melakukan pengisian, memekatkan isinya,
berkontraksi serta mengosongkan isinya. Oral kolesistografi tidak digunakan bila pasien
jaundice karena liver tidak dapat menghantarkan media kontras ke kandung empedu yang
mengalami obstruksi. (Smeltzer dan Bare, 2002).
c. Sonogram
Sonogram dapat mendeteksi batu dan menentukan apakah dinding kandung empedu
telah menebal. (Williams 2003)
e. Pemeriksaan Laboratorium
Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan
bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis,
yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.
Penatalaksanaan Nonbedah
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah
harus ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan,
kecuali jika kondisi pasien memburuk (Smeltzer,SC dan Bare,BG 2002).
Manajemen terapi :
Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
2. Disolusi medis
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan
oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripadachenodeoxycholic
karena efek samping yang lebih banyak pada penggunaanchenodeoxycholic seperti
terjadinya diare, peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang
Pemberian obat-obatan ini dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan
kolelitiasis, terutama batu yang kecil. Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%,
terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi
kriteria terapi nonoperatif diantaranya batu kolesterol diameternya < 20 mm, batu kurang
dari 4 batu, fungsi kandung empedu baik dan duktus sistik paten. Pada anak-anak terapi
ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk menjalani operasi.
3. Disolusi kontak
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol dengan
memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus
melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah
methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung
empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol
yang radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi
ringan dan adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu
Prosedur non invasive ini menggunakan gelombang kejut berulang (Repeated Shock
Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam kandung empedu atau duktus koledokus
dengan maksud memecah batu tersebut menjadi beberapa sejumlah fragmen. (Smeltzer,SC
dan Bare,BG 2002).
ESWL sangat populer digunakan beberapa tahun yang lalu. Analisis biaya-manfaat pada
saat ini memperlihatkan bahwa prosedur ini hanya terbatas pada pasien yang telah benar-
benar dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini.
Pada ERCP, suatu endoskop dimasukkan melalui mulut, kerongkongan, lambung dan ke
dalam usus halus. Zat kontras radioopak masuk ke dalam saluran empedu melalui sebuah
selang di dalam sfingter oddi. Pada sfingterotomi, otot sfingter dibuka agak lebar sehingga
batu empedu yang menyumbat saluran akan berpindah ke usus halus. ERCP dan
sfingterotomi telah berhasil dilakukan pada 90% kasus. Kurang dari 4 dari setiap 1.000
penderita yang meninggal dan 3-7% mengalami komplikasi, sehingga prosedur ini lebih
aman dibandingkan pembedahan perut. ERCP saja biasanya efektif dilakukan pada
penderita batu saluran empedu yang lebih tua, yang kandung empedunya telah diangkat.
Penatalaksanaan Bedah
a. Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera duktus
biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk prosedur
ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik
biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
b. Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang ini
sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di Inggris
dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding operasi normal
(0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada jantung dan paru.
Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat sayatan kecil di dinding
perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis akut.
Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan prosedur
ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus koledokus. Secara
teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur konvensional adalah dapat
mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang dikeluarkan, pasien dapat cepat
kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan kosmetik. Masalah yang belum
terpecahkan adalah keamanan dari prosedur ini, berhubungan dengan insiden komplikasi
seperti cedera duktus biliaris yang mungkin dapat terjadi lebih sering selama
kolesistektomi laparoskopi.
c. Bedah Kolesistotomi
Dikerjakan bila kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi yang lebih
luas, atau bila reaksi inflamasi yang akut membuat system bilier tidak jelas. Kndung
empedu dibuka melalui pembedahan, batu serta getah empedu atau cairan drainase yang
purulen dikeluarkan, dan kateter untuk drainase diikat dengan jahitan kantung tembakau
(purse-string-suture). Kateter itu dihubungkan dengan sistem drainase untuk
mencegah kebocoran getah empedu disekitar kateter atau perembesan getah empedu ke
dalam rongga peritoneal. Setelah sembuh dari serangan akut, pasien dapat kembali lagi
untuk menjalani kolesistektomi. Maeskipu resikonya lebih rendah, bedah
kolesistotomi memiliki angka moertalitas yang tinggi (yang dilaporkan sampai setinggi
20-30%) yang disebabkan oleh proses penyakit pasien yang mendasarinya.
d. Kolesistotomi Perkutan
Kolesistotomi perkutan telah dilakukan dalam penanganan dan penegakan diagnosis
kolesistisis akut pada pasien-pasien yang beresiko jika harus menjalani tindakan
pembedahan atau anastesi umum. Pasie-pasien ini mencakup para penderita sepsis atau
gagal jantung yang berat dan pasien-pasien gagal ginjal, paru atau hati. Dibawah pengaruh
anastesi local sebilah jarum yang halus ditusukkan lewat dinding abdomen dan tepi hati ke
dalam kandung empedu dengan dipandu oleh USG atau pemindai CT. Getah empedu
diaspirasi untuk memastikan bahwa penempatan jarum telah adekuat, dan kemudian sebuah
kateter dimasukkan ke dalam kandung empedu tersebut untuk dekompresasi saluran
empedu. Dengan prosedur ini hamper selalu dilaporkan bahwa rasa nyeri dan gejala serta
tanda-tanda dari sepsis dan kolesistisi berkurang atau menghilang dengan segera.
e. Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu.
Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk
drainase getah empedu sampai edema mereda. Kateter ini dihubungkan dengan selang
drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga mngandung batu, dan
umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama kolesistektomi.
9. Komplikasi
1) Asimtomatik
3) Kolik bilier
4) Kolesistitis akut
5) Perikolesistitis
7) Perforasi
8) Kolesistitis kronis
12) Batu empedu sekunder (Pada 2-6% penderita, saluran menciut kembali dan batu empedu
muncul lagi)
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi
dari kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian
menetap asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di
duktus koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis,
dan pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pada bagian
tersempit saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruks.
10. Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG diperlukan
untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan.
Untuk batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko terbentuknya
karsinoma kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan
untuk mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan
batu pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan
untuk melakukan kolesistektomi.
BAB III
KASUS
Pada tanggal 17 November 2017 Ny.L datang ke UGD RS.Lavalette didampingi keluarganya
dengan keluhan mual muntah, nafsu makan menurun, nyeri pada perut post op di daerah kuadran
kanan atas , seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri 5, nyeri berkurang
apabila dibuat tidur terlentang dan semifowler dan nyeri bertambah jika melakukan aktivitas dan
makan, saat ditanya mengenai penyebab nyeri klien mengatakan bahwa 2 hari yang lalu klien
mengangkat beban berat. Berdasarkan pengamatan perawat didapatkan tanda-tanda vital 100/70
mmHg, suhu 38˚c, nadi 98×/menit, pernafasan 20×/menit, terdapat pus pada abdomen post op,
kulit kemerahan, dan teraba hangat berdasarkan pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit
(13.000/mm3), hematokrit (70%), hemogoblin 20gr/dl.
A. Pengkajian
I. Keluhan utama :
mual muntah, nafsu makan menurun, nyeri pada perut post op di daerah kuadran kanan atas
, seperti ditusuk-tusuk, nyeri hilang timbul dengan skala nyeri 5, nyeri berkurang apabila
dibuat tidur terlentang dan semifowler dan nyeri bertambah jika melakukan aktivitas dan
makan, saat ditanya klien tidak tahu penyebab kenapa nyeri yang dirasakannya.
Klien masih mual muntah, nafsu makan menurun berat badan menurun, klien tidak
menghabiskan makanannya, klien juga masih nyeri pada luka post op, badan terasa panas,
Klien tampak menahan sakit, dan memegangi daerah nyerinya.
III.Pola nutrisi
Sebelum sakit klien makan 3×/hari, makan selalu dihabiskan. Selama sakit hanya makan
1×/hari dan tidak dihabiskan
2. Tanda-tanda vital : tekanan darah 100 /70 mmHg, suhu 37˚c, nadi
98×/menit, pernafasan 20×/menit
BB sebelum sakit 45 kg
BB selama sakit 39 kg
4. Abdomen : asimetris pada luka bekas post op, luka kemerahan, dan
teraba hangat.
Analisa Data
Do :
Suhu 38˚c
Terdapat pus pada abdomen
post op, kulit kemerahan, dan
teraba hangat berdasarkan
pemeriksaan laboratorium
didapatkan leukosit
(13.000/mm3)
B. Diagnosa Keperawatan
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kurang asupan
makanan
C.Intervensi Keperawatan
PENUTUP
Kesimpulan
Kolelitiasis /koledokolitiasis merupakan adanya batu di kandung empedu, atau pada saluran
kandung empedu yang pada umumnya komposisi utamanya adalah kolesterol. Batu kandung
empedu merupakan gabungan beberapa unsure yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu. Penyebab terjadinya kolelitiasis/batu empedu belum
diketahui secara pasti. Penatalaksanaan dari kolelitiasis ini dapat dilakukan dengan pembedahan
maupun non pembedahan serta menjalani diet rendah lemak, tinggi protein, dan tinggi kalori
agar tidak terbentuk batu empedu di dalam kandung empedu. Oleh karena itu, asuhan
keperawatan yang baik diperlukan dalam penatalaksanaan kolelitiasis ini sehingga dapat
membantu klien untuk dapat memaksimalkan fungsi hidupnya kembali serta dapat memandirikan
klien untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Saran
Kami harapkan kepada pembaca yang telah membaca isi makalah ini untuk dipahami dengan
baik khususnya bagi mahasiswa keperawatan agar dapat menerapkan asuhan keperawatan
kepada klien dengan kolelithiasis dengan baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
http://keperawatankita.wordpress.com/2009/02/11/kolelitiasis-definisi-serta-askepnya/
http://hesa-andessa.blogspot.com/2011/01/asuhan-keperawatan-kolelitiasis.html
https://fdokumen.com/document/makalah-kmb-i-kolelitiasis.html