Anda di halaman 1dari 15

a.

Keanekaragaman Habitus Tumbuhan Yang Dimanfaatkan

Tumbuhan yang dimanfaatkan berasal dari beberapa habitus. Habitus

merupakan penampakan luar dan sifat tumbuh suatu tumbuhan

(Tjitrosoepomo,1988) yang terdiri dari pohon, perdu, semak, herba, rumput,

liana dan epifit. Adapun habitus berbagai jenis tumbuhan menurut

Tjitrosoepomo (1988) adalah sebagai berikut:

1) Pohon merupakan tumbuhan berkayu yang tinggi besar, memiliki satu

batang yang jelas dan bercabang jauh dari permukaan tanah,

2) Perdu merupakan tumbuhan berkayu yang tidak terlalu besar dan

bercabang dekat dengan permukaan tanah atau di dalam tanah,

3) Semak merupakan tumbuhan berkayu yang mengelompok dengan

anggota yang sangat banyak membentuk rumpun, tumbuh pada

permukaan tanah dan tingginya dapat mencapai 1 m,


4) Herba merupakan tumbuhan tidak berkayu dengan batang lunak dan

berair,

5) Liana merupakan tumbuhan berkayu, yang batangnya menjalar atau

memanjat pada tumbuhan lain,

6) Epifit merupakan tumbuhan yang menumpang pada tumbuhan lain

sebagai tempat hidupnya.

b. Tumbuhan Obat

Menurut Departemen Kesehatan RI dalam surat Keputusan Menteri

Kesehatan No.149/SK/Menseknes/IV/1978 diacu dalam Kartikawati (2004)

definisi tumbuhan obat adalah tumbuhan atau bagian tumbuhan yang

digunakan sebagai bahan baku obat (prokursor), atau tumbuhan yang

diekstraksi dan ekstrak tumbuhan tersebut digunakan sebagai obat.

Menurut Zuhud (1994), tumbuhan obat adalah seluruh spesies


tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya memiliki khasiat obat.

Tumbuhan obat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu:

1) Tumbuhan obat tradisional yaitu spesies tumbuhan yang diketahui atau

dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan sebagai

bahan baku obat tradisional,

2) Tumbuhan obat modern yaitu spesies tumbuhan yang mengandung

senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan telah dibuktikan secara

ilmiah serta penggunaanya dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

3) Tumbuhan obat potensial yaitu spesies tumbuhan yang diduga

mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum

dibuktikan secara ilmiah dan medis atau dengan kata lain

penggunaannya sebagai bahan obat tradisional sulit ditelusuri.

Zein (2005) mengatakan bahwa tumbuhan obat memiliki kelemahan


sebagai obat, yaitu antara lain:

1) Sulitnya mengenali spesies tumbuhan dan berbedanya nama tumbuhan

berdasarkan daerah tempat tumbuh;

2) Kurangnya sosialisasi tentang manfaat tumbuhan obat, terutama di

kalangan profesi dokter;

3) Penampilan tumbuhan obat yang berkhasiat berupa fitofarmaka yang

kurang menarik dan kurang meyakinkan dibandingkan dengan

penampilan obat paten;

4) Kurangnya penelitian yang komprehensif dan terintegrasi dari tumbuhan

obat ini di kalangan profesi dokter;

5) Belum adanya upaya pengenalan terhadap tumbuhan yang berkhasiat

obat di institusi pendidikan yang sebaiknya dimulai dari pendidikan dasar.

c. Pemanfaatan Tumbuhan Obat


Tumbuhan obat merupakan salah satu komponen penting dalam obat

tradisional, sehingga perkembangan pemanfaatan tumbuhan obat dapat

dilihat dari perkembangan pemanfaatan obat tradisional. Suku-suku bangsa

di Indonesia telah banyak memanfaatkan tumbuhan obat untuk kepentingan

pengobatan tradisional. Setiap suku bangsa memiliki kearifan tersendiri

dalam pengobatan tradisional, termasuk pengetahuan mengenai tumbuhan

yang berkhasiat obat. Hal ini dapat dilihat dari berbedanya ramuan obat

tradisional yang digunakan untuk mengobati penyakit yang sama. Menurut

Aliadi dan Roemantyo (1994), berdasarkan intensitas pemanfaatannya,

masyarakat pemanfaat tumbuhan obat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu :

1) Kelompok masyarakat asli yang hanya menggunakan pengobatan

tradisional. Masyarakat ini umumnya tinggal di pedesaan atau daerah


terpencil yang tidak memiliki sarana dan prasarana kesehatan. Cara

pengobatan sangat dipengaruhi oleh adat dan tradisi setempat,

2) Kelompok masyarakat yang menggunakan pengobatan tradisional dalam

skala keluarga. Masyarakat ini umumnya tinggal di daerah pedesaan

dengan sarana dan prasarana kesehatan yang terbatas, dan

3) Kelompok industriawan obat tradisional.

d. Senyawa kimia yang berkhasiat sebagai obat pada tumbuhan

Proses biokimia dalam tumbuhan menghasilkan metabolit primer dan

metabolit sekunder. Metabolit primer seperti karbohidrat, lemak dan asam

amino digunakan untuk perturribuhan dan perkembangan tumbuhan.

Sedangkan metabolit sekunder dihasilkan tumbuhan berkaitan dengan

eksistensi dan kelangsungan hidup tumbuhan dalam lingkungan tumbuhnya.

Senyawa ini merupakan senyawa aktif yang berkhasiat sebagai obat. Fungsi
metabolit sekunder bagi tumbuhan adalah sebagai atrakan (alat pemikat bagi

serangga, burung atau mikroba), sebagai repelan (penolak terhadap

serangga herbifora, mikroba dan tanaman pesaing) dan sebagai protektan

(alat pelindung dari kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan)

(Sumaryono, 2004). Senyawa metabolit sel'Ullder dihasilkan melalui tiga jalur

yaitu (1) Jalur 6 asetat malonat, (2) jalur asam shikimat dan (3) jalur asetat

mevalonat. Melalui jalur asetat malonat dihasilkan senyawa golongan

poliketida dan senyawa aromatik seperti kuinon dan aflatoksin; melalui jalur

asam shikimat dihasilkan senyawa alkaloid fenol dan senyawa aromatik

tanaman; melalui jalur asetat mevalonat dihasilkan senyawa golongan terpen,

seperti diterpen dan steroid; (Vickeri dan Vickeri, 1981). Selain ketiga jalur ini,

metabolit sekunder juga dihasilkan melalui gabungan beberapa jalur seperti

senyawa golongan flavonoida. Khasiat senyawa-senyawa mt adalah antara


lain sebagai (a) Antimikrobabakteriostatik ( alkaloid,glikosida,rninyak asiri dan

asam organik; (b) Antidiabetik (flavonoid, antosianin, sulfur organik, alkaloid);

e. Sumber Tumbuhan Obat

Sejak ribuan tahun yang lalu, obat dan pengobatan tradisonal sudah

ada di Indonesia, jauh sebelum pelayanan kesehatan formal dengan obat-

obatab modernnya dikenal masyarakat. Pengobatan tradisional dengan

memanfaatkan tumbuhan berkhasiat obat merupakan pengobatan yang

dimanfaatkan dan diakui masyarakat dunia, yang menandai kesadaran untuk

kembali ke alam (back to nature) adalah untuk mencapai kesehatan yang

optimal dan untuk mengatasi berbagai penyakit secara alami (Wijayakusuma,

2000).

Indonesia memiliki lahan hutan tropis cukup luas dengan

keanekaragaman hayati, baik flora maupun fauna. Kita boleh berbangga


dengan kekayaan tumbuhan berkhasiat obat yang tidak dimiliki Negara lain.

Lebih kurang 30.000 sampai 40.000 jenis tumbuhan tersebar dari Aceh

sampai Papua, dari dataran rendah hingga dataran tinggi, dari daerah tropic

hingga daerah sejuk, bahkan hingga tumbuhan dan kekayaan lau dapat

dimanfaatkan sebagai bahan obat. Dalam rangka memanfaatkan berkhasiat

obat tersebut, haruslah dipikirkan juga bagaimana agar tumbuhan tersebut

tidak punah (Wijayakusuma, 2000).

Indonesia kaya akan sumber bahan obat alam dan obat tradisional

yang telah digunakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia secara

turun menurun. Keuntungan obat tradisional yang dirasakan langsung oleh

masyarakat adalah kemudahan untuk memperolehnya dan bahan bakunya

dapat ditanam di pekarangan sendiri, murah dan dapat diramu sendiri

dirumah (Departemen Kesehatan RI, DitJen POM 1983, Pemanfaatan


Tanaman Obat, Jakarta).

Masyarakat yang berada di daerah pedesaan dan ingin

memanfaaatkan tumbuhan berkhasiat obat, biasanya memperolehnya

dengan cara memetik langsung, sedangakan masayarakat yang berada di

daerah perkotaan memeperolehnya dengan ara membeli di tempat-tempat

secara khusus menjual tumbuhan berkhasiat obat ini, misalnya di proyek

Inpres Blok 6, Pasar Senen, jalan-jalan, pekarangan rumah, lapangan dan

sebagainya, sesuai dengan informasi di masing-masing daerah

(Wijayakusuma, 2000).

f. Pengembangan Tumbuhan Obat

Menurut Hamzari (2008), tumbuhan obat yang beranekaragam

spesies, habitus dan khasiatnya mempunyai peluang besar serta memberi


kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan hutan. Karakteristik

berbagai tumbuhan obat yang menghasilkan produk berguna bagi

masyarakat memberi peluang untuk dibangun dan dikembangkan bersama

dalam hutan di daerah tertentu. Berbagai keuntungan yang dihasilkan dengan

berperannya tumbuhan obat dalam hutan. adalah pendapatan,

kesejahteraan, konservasi berbagai sumberdaya, pendidikan nonformal,

keberlanjutan usaha dan penyerapan tenaga kerja serta keamanan nasional.

Di Indonesia, pemanfaatan dan pemasaran bahan tumbuhan obat dapat

digolongkan menjadi bentuk jamu gendong, jamu kemasan modern dan

fitofarmaka (Sangat 2000). Industri jamu berkembang seiring dengan

meningkatnya pemanfaatan tanaman obat.

Adanya industri tersebut, menuntut keberadaan bahan baku secara

kontinyu. Begitu pula dalam proses pembuatannya yang memerlukan tenaga


ahli dan tenaga kerja. Peningkatan kualitas sumberdaya produsen, yaitu

petani produsen tanaman obat harus mengikuti perkembangan IPTEK,

seperti penggunaan bibit yang unggul. Cara pembudidayaan yang sesuai

untuk tanaman obat adalah cara pembudidayaan secara organik tanpa

menggunakan pestisida, mengingat banyaknya tanaman obat yang langsung

dikonsumsi tanpa diolah terlebih dahulu (Hoesen 2000).

Sedangkan dalam peningkatan perusahaan dan pabrik, peningkatan

kualitas jamu secara tidak langsung ditunjukan dengan adanya ijin resmi dari

pemerintah terhadap produk jamu yang dibuat. Contoh perusahaan jamu

skala besar yang produknya telah dikenal di dalam maupun di luar negeri

adalah Sido Muncul, Mustika Ratu, Sari Ayu, Air Mancur dan Nyonya Meneer

(Sangat 2000).

Fitofarmaka mengandung komponen aktif tertentu yang berasal dari


tumbuhan obat, mempunyai khasiat penyembuhan penyakit lebih khusus dan

dikemas seperti obat modern. Jika berhasil dikembangkan, peluang

penggunaannya selain dapat dijual secara bebas juga dapat diperoleh

melalui resep dokter. Hal tersebut menyebabkan fitofarmaka dapat bersaing

dengan obat-obatan modern. Hingga saat ini, fitofarmaka belum banyak

diproduksi. Industri farmasi yang sudah memproduksi fitofarmaka, yaitu Kimia

Farma dan Endo Farma (Sangat 2000).

Tukiman (2004) mengatakan bahwa upaya pengobatan tradisional

dengan tumbuhan obat merupakan salah satu bentuk peran serta masyarakat

dan penerapan teknologi tepat guna yang potensial untuk menunjang

pembangunan kesehatan. Dalam lingkup pembangunan kesehatan keluarga,

upaya pengobatan tradisonal dengan pemanfaatan tumbuhan obat dapat

diwujudkan melalui apotik hidup atau TOGA. TOGA adalah singkatan dari
tanaman obat keluarga yaitu berbagai spesies tumbuhan yang dibudidayakan

dengan memanfaatkan lahan di halaman atau sekitar tempat tinggal dan

merupakan persediaan obat bagi keluarga atau tetangga sebelum mendapat

pengobatan dokter atau puskesmas. Pengembangan TOGA atau apotek

hidup ditujukan sebagai alternatif penggunaan maupun pendamping obat

kimia sintetik (Hoesen 2000). Spesies tumbuhan obat yang ditanam di TOGA

atau apotek biasanya merupakan tumbuhan yang relatif mudah tumbuh tanpa

perawatan intensif dan biasanya digunakan untuk mengobati penyakit

penyakit ringan yang sering diderita anggota keluarga. Hoesen (2000)

mengatakan bahwa Zingiberaceae merupakan famili tumbuhan yang

biasanya paling umum dan banyak ditanam pada TOGA. Selain itu, sering

juga dijumpai tumbuhan dari famili Euphorbiaceae, Acanthaceae,

Apocynaceae dan Lamiaceae. Tumbuhan-tumbuhan tersebut biasanya


dimanfaatkan untuk mengobati penyakit-penyakit, seperti batuk, sariawan,

sakit gigi, mencret, demam, pegal linu, sakit perut, cacingan, penyakit kulit

dan mimisan. Namun, tumbuhan TOGA pun dapat dimanfaatkan untuk

mengobati penyakit kronis, seperti ginjal, diabetes, asma, TBC, penyakit hati,

tekanan darah tinggi dan tekanan darah rendah.

Selain untuk pengobatan, tumbuhan TOGA ada yang berfungsi ganda

sebagai sayuran, bumbu, tanaman hias/pelindung rumah dan ada juga yang

digunakan untuk menambah penghasilan keluarga.

Anda mungkin juga menyukai