TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Kanker serviks (karsinoma serviks) adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada
jaringan leher rahim(serviks), leher rahim(serviks) suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim yang terletak antara
rahim (uterus) dan liang senggama (vagina), dan merupakan kanker primer yang
berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). (Society, American Cancer,
2016)
3.3 Etiologi
Penyebab terjadinya kanker serviks belum diketahui, tetapi terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya kanker ini, sebagai berikut:
3.3.1 Usia
Kanker serviks terjadi mulai dari dekade kedua kehidupan. Setengah dari
perempuan didiagnosis dengan penyakit ini adalah antara 35 - 55 tahun dan jarang
mempengaruhi perempuan di bawah usia 20 tahun. Usia lebih dari 35 tahun
mempunyai risiko tinggi terhadap kanker serviks. Semakin tua usia seseorang, maka
semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker
serviks pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah
lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem
kekebalan tubuh akibat usia (Kampono, 2011).
3.3.2 Usia pertama menikah
Usia pertama kali menikah atau berhubungan seksual merupakan salah satu
faktor yang cukup penting, karena terjadinya kanker serviks dengan masa latennya
memerlukan waktu 30 tahun sejak melakukan hubungan seksual pertama, sehingga
hubungan seksual pertama dianggap awal dari mula proses munculnya kanker
serviks. Wanita yang menikah dibawah usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih besar
kemungkinan terjadinya kanker serviks daripada yang menikah setelah berusia 20
tahun ke atas. (Cunningham, 2007)
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang.
Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum.
Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit
bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita
berusia 20 tahun ke atas. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada
serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang dan terjadi
proses metaplasia skuamosa yang aktif yang terjadi di dalam zona transformasi.
Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan
dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma ataupun bahan karsinogenik
(Gibbs, 2008)
Metaplasia skuamosa merupakan suatu proses fisiologi, tetapi di bawah pengaruh
karsinogen, perubahan sel dapat terjadi sehingga mengakibatkan suatu zona
transformasi yang tidak patologik. Perubahan ini menginisiasi suatu proses neoplasia
intraepitel serviks (Cervic Intraepithel Neoplasma = CIN) yang merupakan fase
prainvasif dari kanker serviks (Pradipta, 2007)
3.3.3 Paritas
Kanker serviks dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus
semakin besar kemungkinan risiko mendapat kanker serviks. Pada beberapa
penelitian dengan metode case control didapatkan bahwa wanita yang 3 atau 4 kali
partus memiliki 2,6 kali risiko untuk terkena kanker serviks, sedangkan wanita yang
melahirkan lebih dari 7 memiliki risiko sebesar 3,8 kali (Cunningham, 2007).
Alasan fisiologi adanya hubungan antara paritas dan kanker serviks sampai saat
ini belum jelas, namun kemungkinan faktor hormonal pada saat kehamilan yang
membuat wanita lebih peka terhadap infeksi HPV (human papilloma virus) dan
trauma serviks pada saat melahirkan diduga sebagai alasanny (Gibbs, 2008).
3.3.4 Kontrasepsi yang pernah digunakan
Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4
tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral
mungkin dapat meningkatkan risiko kanker serviks karena jaringan serviks
merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan (Gibbs,
2008).
3.3.5 Berganti-ganti pasangan seksual
Kebiasaan berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya HPV. Risiko terjadinya kanker serviks meningkat lebih dari
10 kali bila mitra seks 6 atau lebih (Kampono, 2011).
3.3.6 Penyakit menular seksual (PMS)
Penyakit menular seksual merupakan penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus,
diantaranya adalah HPV (human papilloma virus), HSV (herpes simplek virus), HIV
(human immunodeficiency virus) dan Klamidia. Pada proses karsinogenesis asam
nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen DNA sel pejamu sehingga
menyebabkan terjadinya mutasi sel (Cunningham, 2007).
1. HPV (human papilloma virus)
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus
HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker serviks
sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker
serviks (Gibbs, 2008).
Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di
antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV merupakan
virus risiko rendah yang jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain
bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat
menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe
risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56,
58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker serviks disebabkan oleh tipe
16 dan 18. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker
serviks. Dari berbagai penelitian terdapat tiga golongan HPV yang berhubungan
dengan kanker serviks, yaitu: HPV risiko rendah (HPV tipe 6, 11 dan jarang tipe 46
pada kanker invasif), HPV risiko sedang (HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58)
dan HPV risiko tinggi (HPV tipe 16, 18, dan 31) (Gibbs, 2008).
Human Papilloma Virus merupakan faktor inisiator kanker serviks. Secara
seluler, mekanisme terjadinya kanker serviks berkaitan dengan siklus sel yang
diekspresikan oleh HPV. Genom virus ini terdiri dari the early region (E) yang
mengkode protein dan berperan pada replikasi genom, sedangkan the late region (L)
berisi gen-L yang mengkode protein kapsid (Kumar V, 2007)
Protein utama yang terkait dengan karsinogen adalah E6 dan E7. Protein E6
(oncoprotein) mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan
keberadaan tumor suppressor gene p53. Protein E7 (oncoprotein) mempunyai peran
dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor suppressor gene
pRb. Protein E7 akan mengikat gen Rb. Gen p53 adalah gen yang mengkode
phosphoprotein inti sel dan bertindak sebagai negatif regulator dalam siklus sel,
sehingga dikelompokkan dalam gen-gen penekan tumor. Gen Rb adalah gen yang
ditemukan bertanggung jawab pada tumor retina mata (retinoblastoma) dan
merupakan prototipe dari gen-gen penekan tumor (Cunningham, 2007).
Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linier dan terpotong
di antara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV dan DNA manusia
menyebabkan gen E2 tidak berfungsi, jika E2 tidak berfungsi akan merangsang E6
dan E7 berikatan dengan gen p53 dan pRb. Protein E6 dari HPV 16 and 18 akan
mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut
ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP), sehingga akan terjadi penurunan
kadar protein p53 (wild type). Protein E7 (oncoprotein) akan mengikat gen pRb,
sehingga akan berakibat sama seperti pada protein p53. Ikatan E7 dengan pRb
tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein-pRb,
sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc untuk terjadinya replikasi
DNA dan menstimuli proliferasi sel. Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan
proliferasi sel melebihi batas normal sehingga berubah menjadi sel karsinoma (Gibbs,
2008).
3.3.8 Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai
rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok, konsentrasi nikotin
pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung
bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga
dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. Risiko wanita perokok terkena 4-13 kali
lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok (Cunningham, 2007).
Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks,
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel
skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang
rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat
proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan
SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel
kolumnar. Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi (Wiebe K,
2012).
Proses terjadinya kanker serviks sangat erat hubungannya dengan proses
metaplasia. Masuknya bahan-bahan yang dapat mengubah sifat sel secara genetik
atau mutagen pada saat fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang
berpotensi ganas. Perubahan biasanya terjadi pada daerah SCJ atau daerah
transformasi. Sel-sel yang mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel
displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, kanker in
situ dan kemudian berkembang menjadi kanker invasif (Cunningham, 2007).
Pemeriksaan dalam:
a) Adanya fluor albus
b) Serviks teraba membesar
c) Serviks dapat teraba irregulerm berdugul
d) Adanya massa benjolan ataupun erosi ataupun ulkus pada portio
uteri.
3.6 Stadium Klinik Kanker Serviks
3.8.2 Pengobatan
Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan
program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat
dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila
didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan
sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih. Pada
skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan untuk
konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka
dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau
Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan
diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa
dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion),dilakukan LEEP dan observasi 1
tahun.
HSIL (high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi
6 bulan (Gibbs, 2008)
Kanker serviks dapat ditangani dengan pembedahan, terapi radiasi atau
kemoterapi. Penentuan terapi yang digunakan berdasarkan stadium, ukuran dan lokasi
kanker, usia dan kondisi kesehatan pasien. Terapi kanker serviks dilakukan bilamana
diagnosis telah dipastikan secara histologik. Pengobatan pada kanker serviks dapat
berupa:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif.
Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga
manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif
adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. Pembedahan dipilih
hanya untuk kanker serviks stadium I sampai IIA.
Ada beberapa macam bentuk terapi bedah, antara lain: a) radical trachelectomy,
merupakan suatu cara pembedahan dimana serviks, sebagian vagina dan limfonodi
pelvis diangkat. Pembedahan ini ditujukan untuk tumor yang kecil dan pada pasien
kanker serviks yang ingin memiliki keturunan lagi; b) total hysterectomy, dilakukan
pengangkatan uterus dan serviks; c) radical hysterectomy, dilakukan pengangkatan
serviks, beberapa jaringan disekitar serviks, uterus dan sebagian vagina. Pembedahan
secara radikal dan total histerektomi harus diikuti dengan pengangkatan jaringan tuba
dan ovarium yang dikenal sebagai salpingo-oophorectomy, dan pengangkatan
limfonodi yang berada didekat tumor (Cunningham, 2007).
2. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas
pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk
merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya.24 Terdapat dua macam
terapi penyinaran untuk kanker serviks, yaitu: a) terapi radiasi eksternal, dilakukan
sebanyak lima kali dalam seminggu (sekali dalam sehari) selama 6 minggu, b) terapi
radiasi internal (brachytherapy), terapi ini dilakukan dengan menempatkan kapsul
radioaktif di vagina atau dekat serviks. terapi ini dapat diulang dua kali atau lebih
selama beberapa minggu (Gibbs, 2008).
3. Kemoterapi
Apabila kanker telah menyebar ke luar panggul, maka dianjurkan menjalani
kemoterapi. Kemoterapi menggunakan obat obatan untuk membunuh sel-sel kanker.
Obat anti-kanker bisa diberikan melalui suntikan intravena atau melalui mulut
(Cunningham, 2007)
4. Terapi biologis
Terapi biologi berguna untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam
melawan penyakit. Terapi biologis tersebut dilakukan pada kanker yang telah
menyebar ke bagian tubuh lainnya (Kampono, 2011).
3.9 Prognosis
Prognosis kanker serviks tergantung dari tingkatan klinik dan jenis histologik
tumor. Biasanya penyakit ini ditemukan dalam stadium lanjut, maka angka harapan
hidupnya tidak seberapa baik. Harapan hidup selama 5 tahun pada pasien kanker
serviks yaitu 100% pada stadium prainvasif, 90% pada stadium I, 82% pada stadium
II, 35% pada stadium III dan 10% pada stadium IV (Kumar V C. R., 2007)
Pasien kanker serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respons
terhadap pengobatan, 95% akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul
gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki risiko tinggi terjadinya
rekurensi harus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan
radioterapi. Setelah histerektomi radikal, terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun
(Cunningham, 2007)