Anda di halaman 1dari 20

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Kanker serviks (karsinoma serviks) adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada
jaringan leher rahim(serviks), leher rahim(serviks) suatu daerah pada organ
reproduksi wanita yang merupakan pintu masuk kearah rahim yang terletak antara
rahim (uterus) dan liang senggama (vagina), dan merupakan kanker primer yang
berasal dari serviks (kanalis servikalis dan atau porsio). (Society, American Cancer,
2016)

Gambar 3.1 Genitalia Interna Wanita


3.2 Epidemiologi
Kanker leher rahim (serviks) atau karsinoma serviks uteri merupakan kanker
pembunuh wanita nomor dua di dunia setelah kanker payudara. Setiap
tahunnya, terdapat kurang lebih 500.000 kasus baru kanker leher rahim (cervical
cancer), sebanyak 80% terjadi pada wanita yang hidup di negara
berkembang. Sedikitnya 231.000 wanita di seluruh dunia meninggal akibat
kanker leher rahim. Dari jumlah itu, 50% kematian terjadi di negara-negara
berkembang (Kampono, 2011). Hal tersebut terjadi karena pasien datang dalam
stadium lanjut. Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker leher
rahim saat ini menempati urutan pertama daftar kanker yang diderita kaum
wanita. Saat ini di Indonesia ada sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau
200 ribu kasus setiap tahunnya (KEMENKES RI, 2016). Kanker serviks yang
sudah masuk ke stadium lanjut sering menyebabkan kematian dalam jangka
waktu relatif cepat. Selain itu, lebih dari 70% kasus yang datang ke rumah
sakit ditemukan dalam keadaan stadium lanjut. Selama kurun waktu 5 tahun, usia
penderita antara 30 – 60 tahun, terbanyak antara 45- 50 tahun. Periode laten
dari fase prainvasif untuk menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun.
Hanya 9% dari wanita berusia dibawah 35 tahun menunjukkan kanker serviks
yang invasif pada saat didiagnosis, sedangkan 53% dari KIS (karsinoma in-situ)
terdapat pada wanita diatas usia 35 tahun (KEMENKES RI, 2016).

3.3 Etiologi
Penyebab terjadinya kanker serviks belum diketahui, tetapi terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi terjadinya kanker ini, sebagai berikut:
3.3.1 Usia
Kanker serviks terjadi mulai dari dekade kedua kehidupan. Setengah dari
perempuan didiagnosis dengan penyakit ini adalah antara 35 - 55 tahun dan jarang
mempengaruhi perempuan di bawah usia 20 tahun. Usia lebih dari 35 tahun
mempunyai risiko tinggi terhadap kanker serviks. Semakin tua usia seseorang, maka
semakin meningkat risiko terjadinya kanker laher rahim. Meningkatnya risiko kanker
serviks pada usia lanjut merupakan gabungan dari meningkatnya dan bertambah
lamanya waktu pemaparan terhadap karsinogen serta makin melemahnya sistem
kekebalan tubuh akibat usia (Kampono, 2011).
3.3.2 Usia pertama menikah
Usia pertama kali menikah atau berhubungan seksual merupakan salah satu
faktor yang cukup penting, karena terjadinya kanker serviks dengan masa latennya
memerlukan waktu 30 tahun sejak melakukan hubungan seksual pertama, sehingga
hubungan seksual pertama dianggap awal dari mula proses munculnya kanker
serviks. Wanita yang menikah dibawah usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih besar
kemungkinan terjadinya kanker serviks daripada yang menikah setelah berusia 20
tahun ke atas. (Cunningham, 2007)
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang wanita benar-benar matang.
Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah menstruasi atau belum.
Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat di selaput kulit
bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita
berusia 20 tahun ke atas. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada
serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang dan terjadi
proses metaplasia skuamosa yang aktif yang terjadi di dalam zona transformasi.
Artinya, masih rentan terhadap rangsangan sehingga tidak siap menerima rangsangan
dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma ataupun bahan karsinogenik
(Gibbs, 2008)
Metaplasia skuamosa merupakan suatu proses fisiologi, tetapi di bawah pengaruh
karsinogen, perubahan sel dapat terjadi sehingga mengakibatkan suatu zona
transformasi yang tidak patologik. Perubahan ini menginisiasi suatu proses neoplasia
intraepitel serviks (Cervic Intraepithel Neoplasma = CIN) yang merupakan fase
prainvasif dari kanker serviks (Pradipta, 2007)
3.3.3 Paritas
Kanker serviks dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus
semakin besar kemungkinan risiko mendapat kanker serviks. Pada beberapa
penelitian dengan metode case control didapatkan bahwa wanita yang 3 atau 4 kali
partus memiliki 2,6 kali risiko untuk terkena kanker serviks, sedangkan wanita yang
melahirkan lebih dari 7 memiliki risiko sebesar 3,8 kali (Cunningham, 2007).
Alasan fisiologi adanya hubungan antara paritas dan kanker serviks sampai saat
ini belum jelas, namun kemungkinan faktor hormonal pada saat kehamilan yang
membuat wanita lebih peka terhadap infeksi HPV (human papilloma virus) dan
trauma serviks pada saat melahirkan diduga sebagai alasanny (Gibbs, 2008).
3.3.4 Kontrasepsi yang pernah digunakan
Penggunaan kontrasepsi oral yang dipakai dalam jangka lama yaitu lebih dari 4
tahun dapat meningkatkan risiko kanker serviks 1,5-2,5 kali. Kontrasepsi oral
mungkin dapat meningkatkan risiko kanker serviks karena jaringan serviks
merupakan salah satu sasaran yang disukai oleh hormon steroid perempuan (Gibbs,
2008).
3.3.5 Berganti-ganti pasangan seksual
Kebiasaan berganti-ganti pasangan akan memungkinkan tertularnya penyakit
kelamin, salah satunya HPV. Risiko terjadinya kanker serviks meningkat lebih dari
10 kali bila mitra seks 6 atau lebih (Kampono, 2011).
3.3.6 Penyakit menular seksual (PMS)
Penyakit menular seksual merupakan penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Penyakit ini dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus,
diantaranya adalah HPV (human papilloma virus), HSV (herpes simplek virus), HIV
(human immunodeficiency virus) dan Klamidia. Pada proses karsinogenesis asam
nukleat virus tersebut dapat bersatu ke dalam gen DNA sel pejamu sehingga
menyebabkan terjadinya mutasi sel (Cunningham, 2007).
1. HPV (human papilloma virus)
Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan seksual berisiko terkena virus
HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama terjadinya kanker serviks
sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit kelamin berisiko terkena kanker
serviks (Gibbs, 2008).
Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di
antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV merupakan
virus risiko rendah yang jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain
bersifat virus risiko tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat
menyebabkan pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe
risiko tinggi yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual adalah tipe 16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56,
58, 59, 68, 69, dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker serviks disebabkan oleh tipe
16 dan 18. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker
serviks. Dari berbagai penelitian terdapat tiga golongan HPV yang berhubungan
dengan kanker serviks, yaitu: HPV risiko rendah (HPV tipe 6, 11 dan jarang tipe 46
pada kanker invasif), HPV risiko sedang (HPV tipe 33, 35, 40, 43, 51, 56, dan 58)
dan HPV risiko tinggi (HPV tipe 16, 18, dan 31) (Gibbs, 2008).
Human Papilloma Virus merupakan faktor inisiator kanker serviks. Secara
seluler, mekanisme terjadinya kanker serviks berkaitan dengan siklus sel yang
diekspresikan oleh HPV. Genom virus ini terdiri dari the early region (E) yang
mengkode protein dan berperan pada replikasi genom, sedangkan the late region (L)
berisi gen-L yang mengkode protein kapsid (Kumar V, 2007)
Protein utama yang terkait dengan karsinogen adalah E6 dan E7. Protein E6
(oncoprotein) mempunyai peran dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan
keberadaan tumor suppressor gene p53. Protein E7 (oncoprotein) mempunyai peran
dalam proliferasi sel yang dihubungkan dengan keberadaan tumor suppressor gene
pRb. Protein E7 akan mengikat gen Rb. Gen p53 adalah gen yang mengkode
phosphoprotein inti sel dan bertindak sebagai negatif regulator dalam siklus sel,
sehingga dikelompokkan dalam gen-gen penekan tumor. Gen Rb adalah gen yang
ditemukan bertanggung jawab pada tumor retina mata (retinoblastoma) dan
merupakan prototipe dari gen-gen penekan tumor (Cunningham, 2007).
Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi linier dan terpotong
di antara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV dan DNA manusia
menyebabkan gen E2 tidak berfungsi, jika E2 tidak berfungsi akan merangsang E6
dan E7 berikatan dengan gen p53 dan pRb. Protein E6 dari HPV 16 and 18 akan
mengakibatkan inaktivasi gen p53 melalui mekanisme pengikatan yang disebut
ubiquitin-dependent proteolytic pathway (E6AP), sehingga akan terjadi penurunan
kadar protein p53 (wild type). Protein E7 (oncoprotein) akan mengikat gen pRb,
sehingga akan berakibat sama seperti pada protein p53. Ikatan E7 dengan pRb
tersebut menyebabkan tidak terikatnya gen E2F (faktor transkripsi) oleh protein-pRb,
sehingga gen E2F menjadi aktif dan akan membantu c-myc untuk terjadinya replikasi
DNA dan menstimuli proliferasi sel. Siklus sel yang tidak terkontrol menyebabkan
proliferasi sel melebihi batas normal sehingga berubah menjadi sel karsinoma (Gibbs,
2008).

Gambar 3.2 Perjalanan Infeksi HPV menjadi Kanker Serviks 13 (Schiffman M,


2005)
Prevalensi puncak infeksi HPV dimulai pada usia sekitar 20 tahun, yaitu
setelah wanita memulai aktivitas seksualnya. Kemudian menjadi kondisi pre-kanker
setelah 10 tahun kemudian dan mencapai fase invasif pada usia 40-50 tahun
(Schiffman M, 2005).
2. HIV (human immunodeficiency virus)
HIV merupakan virus penyebab AIDS (acquired immue odeficiency syndrome)
yang merusak system kekebalan tubuh dan pada wanita meningkatkan risiko
terjadinya infeksi HPV. Dengan kata lain, wanita yang terkena AIDS akan
meningkatkan risiko kanker serviks. Sistem imun berfungsi penting dalam
menghancurkan sel kanker dan memperlambat pertumbuhan dan penyebarannya.
Pada wanita dengan HIV, pre kanker serviks lebih cepat berkembang menjadi kanker
invasif dibanding wanita non HIV (Cunningham, 2007).
3. Klamidia
Klamidia merupakan bakteri yang dapat menginfeksi sistem reproduksi. Bakteri
ini dapat menyebar melalui kontak seksual. Infeksi Klamidia dapat menyebabkan
terjadinya infeksi pelvis yang mengakibatkan infertil. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa wanita yang pernah dan baru terinfeksi Klamidia berdasarkan
pemeriksaan tes darah memiliki risiko yang tinggi terhadap kanker serviks. Infeksi
Klamidia sering tidak menyebabkan gejala apapun, sehingga wanita tidak tahu jika
telah terinfeksi bakteri tersebut (Society, American Cancer, 2016)
3.3.7 Pasangan suami yang tidak sirkumsisi
Beberapa penelitian mengatakan bahwa pria yang sudah disirkumsisi akan
menurunkan risiko terjadinya infeksi HIV, HSV-2 dan HPV, selain itu juga
menurunkan risiko terjadinya trikomoniasis dan vaginosis bakterial pada pasangan
wanitanya (Gibbs, 2008).
Sirkumsisi merupakan tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau
seluruh kulit penutup depan dari penis (preputium). Pria yang belum disirkumsisi,
ketika melakukan hubungan seksual akan mengakibatkan terjadinya retraksi
preputium sehingga paparan mukosanya mengenai langsung vagina ataupun cairan
serviks. Padahal rongga pada preputium kondisinya lembab, sehingga menjadi tempat
yang baik bagi pertumbuhan HPV dan HSV-2, sehingga meningkatkan risiko
terjadinya infeksi (Pradipta B. &., 2007).

3.3.8 Merokok
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogenik baik yang dihisap sebagai
rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok, konsentrasi nikotin
pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung
bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga
dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. Risiko wanita perokok terkena 4-13 kali
lebih besar dibandingkan wanita bukan perokok (Cunningham, 2007).

3.4 Patologi Kanker Serviks


Epitel serviks terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar,
kedua epitel tersebut dibatasi oleh squamocolumnar junction (SCJ). Yang letaknya
tergantung pada umur, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan aktivitas
seksual tinggi, SCJ terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh
prostaglandin (Cunningham, 2007).
Selama perkembangannya, epitel silindris penghasil mucus di endoserviks
bertemu dengan epitel pipih yang melapisi eksoserviks, keseluruhan serviks yang
terpajan dilapisi oleh sel pipih. Epitel silindris tidak tampak dengan mata telanjang
atau secara kolposkopi. Seiring dengan waktu pada sebagian besar perempuan muda,
terjadi pertumbuhan ke bawah epitel silindris dibawah eksoserviks (ektropion),
sehingga SCJ terletak di bawah eksoserviks dan epitel silindris menjadi terpajan.
Remodelling terus berlanjut dengan regenerasi epitel pipih dan silindris pada zona
transformasi, sehingga SCJ kembali pada tempatnya dan epitel silindris tidak terpajan
lagi (Wiebe K, 2012).
Gambar 3.3 Skema Pembentukan Zona Transformasi Serviks (Wiebe K, 2012)

Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada epitel serviks,
epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari
cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel
skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang
rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat
proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SCJ, yaitu SCJ asli dan
SCJ baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel
kolumnar. Daerah di antara kedua SCJ ini disebut daerah transformasi (Wiebe K,
2012).
Proses terjadinya kanker serviks sangat erat hubungannya dengan proses
metaplasia. Masuknya bahan-bahan yang dapat mengubah sifat sel secara genetik
atau mutagen pada saat fase aktif metaplasia dapat menimbulkan sel-sel yang
berpotensi ganas. Perubahan biasanya terjadi pada daerah SCJ atau daerah
transformasi. Sel-sel yang mengalami mutasi dapat berkembang menjadi sel
displasia. Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, kanker in
situ dan kemudian berkembang menjadi kanker invasif (Cunningham, 2007).

3.5 Manifestasi Klinis Kanker Serviks


Pada stadium dini kanker serviks tidak menunjukkan gejala yang khas atau
bahkan tidak ada gejala sama sekali sehingga sulit diketahui. Beberapa tanda dan
gejala pada kanker serviks antara lain keputihan, perdarahan vagina yang abnormal,
nyeri, anemia dan lain-lain. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih
khas untuk kanker serviks, baik berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam
bentuk eksofilik), fluor albus yang berbau dan rasa sakit yang sangat hebat (Gibbs,
2008).
Keputihan merupakan keluarnya cairan mukus yang encer, yang keluar dari
vagina makin lama akan berbau busuk akibat infeksi dan nekrosis jaringan.
Sedangkan perdarahan timbul sebagai akibat terbukanya pembuluh darah yang makin
lama akan lebih sering terjadi. Perdarahan ini dapat terjadi setelah coitus, dicurigai
terjadi pada menstruasi yang lama dan banyak dan dapat pula terjadi pada wanita
menopause. Perdarahan spontan umumnya terjadi pada tingkat stadium lanjut,
terutama pada tumor yang bersifat eksofitik (Gibbs, 2008).
Gejala klinis lain pada kanker serviks yaitu nyeri, rasa nyeri timbul akibat
infiltrasi sel tumor ke serabut saraf. Rasa nyeri daerah pelvis dirasakan di perut
bagian bawah sekitar panggul yang biasanya unilateral yang terasa menjalar ke paha
dan ke seluruh panggul. Nyeri bersifat progresif, sering dimulai dengan low back pain
di daerah lumbal, menjalar ke pelvis dan tungkai bawah. Dapat pula terjadi nyeri pada
saat BAK (buang air kecil) atau BAB (buang air besar). Anemia juga dapat terjadi
karena adanya perdarahan pervaginam yang berulang. Pada stadium kanker lanjut,
badan menjadi kurus karena kekurangan gizi, timbul iritasi pada kandung kemih dan
poros usus besar bagian bawah (rectum), kegagalan faal ginjal (CRF= Chronic Renal
Failure) akibat infiltrasi tumor ke ureter sebelum memasuki kandung kemih, yang
menyebabkan obstruksi total, atau timbul gejala-gejala lain yang disebabkan oleh
metastasis jauh dari kanker serviks itu sendiri (Cunningham, 2007).

Berdasarkan dari pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:


a) Serviks dapat teraba membesar, ireguler, teraba lunak
b) Bila tumor tumbuh eksofitik maka terlihat lesi pada porsio atau
sudah sampai vagina.
Pemeriksaan in spekulo:
a) Adanya portio ulseratif
b) Adanya fluor albus
c) Muncunya darah jika lesi tersentuh (lesi rapuh)
d) Terdapat gambaran seperti bunga kol pada stadium lanjut

Pemeriksaan dalam:
a) Adanya fluor albus
b) Serviks teraba membesar
c) Serviks dapat teraba irregulerm berdugul
d) Adanya massa benjolan ataupun erosi ataupun ulkus pada portio
uteri.
3.6 Stadium Klinik Kanker Serviks

Gambar 3.4 Stadium Klinis Kanker Serviks (Cunningham, 2007)


Tabel 1: Stadium Klinik Kanker Serviks Menurut FIGO 2000 (Gibbs, 2008)
Stadium Karakteristik
0 Lesi belum menembus membrana basalis
I Lesi tumor masih terbatas di serviks
IA1 Lesi telah menembus membrana basalis kurang dari 3 mm dengan
diameter permukaan tumor <7mm
IA2 Lesi telah menembus membrana basalis > 3 mm tetapi <5mm dengan
diameter permukaan tumor <7mm
IB1 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer <4cm
IB2 Lesi terbatas di serviks dengan ukuran lesi primer >4cm
II Lesi telah keluar dari serviks (meluas ke parametrium dan sepertiga
proksimal vagina)
IIA Lesi telah meluas ke sepertiga proksimal vagina
IIB Lesi telah meluas ke parametrium tetapi tidak mencapai dinding panggul
III Lesi telah keluar dari serviks (menyebar ke parametrium dan atau sepertiga
vagina distal)
IIIA Lesi menyebar ke sepertiga vagina distal
IIIB Lesi menyebar ke parametrium sampai dinding panggul
IV Lesi menyebar keluar organ genitalia
IVA Lesi meluas ke rongga panggul, dan atau menyebar ke mukosa vesika
urinaria
IVB Lesi meluas ke mukosa rektum dan atau meluas ke organ jauh

3.7 Diagnosis Kanker Serviks


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan sebagai berikut:
1. Pemeriksaan Sitologi
Pemeriksaan ini dikenal sebagai tes Papanicolaou (tes Pap). Pap smear
dapat mendeteksi lesi secara dini dengan tingkat ketelitian sampai 90% pada
kasus kanker serviks, akibatnya angka kematian akibat kanker serviks pun
menurun sampai lebih dari 50%. Sitodiagnosis didasarkan pada kenyataan,
bahwa sel-sel permukaan secara terus menerus dilepaskan oleh epitel dari
permukaan traktus genitalis. Sel-sel yang dieksfoliasi atau dikerok dari
permukaan epitel serviks merupakan mikrobiopsi yang memungkinkan kita
mempelajari proses dalam keadaan sehat dan sakit. Sitologi adalah cara
skrining sel-sel serviks yang tampak sehat dan tanpa gejala untuk kemudian
diseleksi. Kanker hanya dapat didiagnosis secara histologik (Cunningham,
2007).
Setiap wanita yang telah aktif secara seksual sebaiknya menjalani pap
smear secara teratur yaitu 1 kali setiap tahun. Apabila selama 3 kali berturut-
turut menunjukkan hasil pemeriksaan yang normal, maka pemeriksaan pap
smear bisa dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali.
Hasil pemeriksaan pap smear adalah sebagai berikut (Wiebe K, 2012) :
a. Normal
b. CIN I : displasia ringan (perubahan dini yang belum bersifat ganas),
dimana sel abnormal terbatas pada sepertiga luar lapisan
permukaan yang melapisi serviks. termasuk didalamnya adalah
perubahan sel yang disebabkan oleh virus HPV.
c. CIN II : displasia berat (perubahan lanjut yang belum bersifat ganas),
dimana sel abnormal menempati setengah dari lapisan
permukaan serviks.
d. CIN III : kanker in situ (kanker terbatas pada lapisan serviks paling
luar) dan kanker invasif (kanker telah menyebar ke lapisan
serviks yang lebih dalam atau ke organ tubuh lainnya), dimana
keseluruhan lapisan epitel tersusun oleh sel abnormal namun
belum menyebar ke bawah permukaan.

Gambar 5 : Histologi Cervic Intraepithelial Neoplasia (CIN) (Wiebe K, 2012)


2. Biopsi
Biopsi dilakukan jika pada pemeriksaan panggul tampak suatu
pertumbuhan atau luka pada serviks, atau jika hasil pemeriksaan pap smear
menunjukkan suatu abnormalitas atau kanker (Cunningham, 2007)
Biopsi dilakukan di daerah abnormal jika squamocolumnar junction
(SCJ) terlihat seluruhnya dengan kolposkopi. Jika SCJ tidak terlihat seluruhnya
atau hanya terlihat sebagian sehingga kelainan di kanalis servikalis tidak dapat
dinilai, maka contoh jaringan diambil secara konisasi. Biopsi harus dilakukan
dengan tepat dan alat biopsi harus tajam sehingga harus diawetkan dalam
larutan formalin 10% (Kampono, 2011).
3. Kolposkopi (pemeriksaan serviks dengan lensa pembesar)
Pemeriksaan melihat porsio (juga vagina dan vulva) dengan pembesaran
10-15x, untuk menampilkan porsio dipulas terlebih dahulu dengan asam asetat
3-5%. Pada porsio dengan kelainan (infeksi HPV atau NIS) terlihat bercak
putih atau perubahan corakan pembuluh darah (Kampono, 2011).
4. Konisasi
Konisasi serviks adalah pengeluaran sebagian jaringan serviks
sedemikian rupa sehingga yang dikeluarkan berbentuk kerucut (konus), dengan
kanalis servikalis sebagai sumbu kerucut. Untuk tujuan diagnostik, konisasi
harus dilanjutkan dengan kuretase. Batas jaringan yang dikeluarkan ditentukan
dengan pemeriksaan kolposkopi atau dapat pula dengan menggunakan tes
Schiller. Pada tes ini digunakan larutan lugol (yodium 5g, kalium yodida 10g,
air 10 ml). Serviks diolesi dengan larutan yodium, sel yang sehat warnanya
akan berubah menjadi coklat, sedangkan sel yang abnormal warnanya menjadi
putih atau kuning (Cunningham, 2007).
Konisasi diagnostik dilakukan pada keadaan dimana proses dicurigai
berada di endoserviks rahim, lesi tidak tampak seluruhnya dengan pemeriksaan
kolposkopi, diagnostik mikroinvasi ditegakkan atas dasar spesimen biopsi, dan
jika terdapat kesenjangan hasil sitologi dan histopatologik. (Cunningham,
2007).
5. Tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)
IVA merupakan pemeriksaan skrining alternative dari Papsmear karena
murah dan praktis, sangat mudah dilakukan dengan peralatan sederhana.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara melihat serviks yang telah diberi asam
asetat 3-5% secara inspekulo. Zat ini akan meningkatkan osmolaritas cairan
ekstraseluler epitel abnormal. Cairan ekstraseluler hipertonik ini akan menarik
cairan intraseluler sehingga membrane akan kolaps dan jarak antar sel semakin
dekat. Akibatnya jika permukaan epitel disinari maka sinar tersebut tidak akan
diteruskan ke stroma namun akan dipantulkan dan permukaan epitel abnormal
akan berwarna putih.
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan juga akan berwarna
putih setelah pengusapan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan
cepat menghilang, ini yang membedakannya dengan proses pra-kanker dimana
epitel putih lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat
berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein yang lebih banyak.
Makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan histologiknya.
Demikian pula makin makin tajam batasnya, makin tinggi derajat jaringannya,
sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran
serviks yang normal (merah homogen) dan bercak putih (displasia). Dibutuhkan
satu sampai dua menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel.
Serviks yang diberi larutan asam asetat 5% akan merespon lebih cepat daripada
larutan 3%. Efek akan hilang setelah sekitar 50-60 detik. Lesi yang tampak
sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih namun
dikatakan suatu leukoplakia.

3.8 Penatalaksanaan Kanker Serviks


3.8.1 Pencegahan
Kanker dapat dicegah dengan kebiasaan hidup sehat dan menghindari faktor-
faktor penyebab kanker. Pencegahan kanker didefinisikan sebagai pengidentifikasian
faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya kanker pada manusia dan membuat
sebab-sebab ini tidak efektif dengan cara-cara apapun yang mungkin.11
Pencegahan kanker serviks dapat berupa pencegahan primer sekunder maupun
tersier. Pencegahan primer merujuk pada kegiatan/langkah yang dapat dilakukan oleh
setiap orang untuk menghindarkan diri dari faktor-faktor yang dapat menyebabkan
tumbuhnya kanker. Pencegahan primer ini dapat berupa :
1. Menghindari berbagai faktor risiko, yaitu hubungan seks pada usia muda,
pernikahan pada usia muda, dan berganti-ganti pasangan seks.
2. Dianjurkan untuk berperilaku hidup sehat, seperti menjaga kebersihan alat
kelamin dan tidak merokok.
Dewasa ini, vaksin terhadap infeksi HPV juga telah ditemukan dan terus
dikembangkan. Penggunaan vaksin dalam mencegah kanker serviks berdasarkan 99%
penyebab kanker serviks adalah infeksi HPV menetap. Vaksin HPV merupakan
vaksin kedua di dunia yang dapat mencegah kanker, setelah vaksin Hepatitis B yang
dapat mencegah kanker hati. Pengembangan vaksin HPV saat ini lebih
menitikberatkan pada teknologi rekombinan DNA VLP (Viral Like Particle
Vaccines) yang dibentuk dari protein virus. Tujuan utama vaksin HPV saat ini adalah
melindungi manusia terhadap infeksi HPV tipe 16 dan 18, dan telah dipikirkan untuk
mengembangkan vaksin HPV untuk HPV tipe lainnya seperti 45, 31, 33, 52, 58, dan
seterusnya.
Pencegahan sekunder diterapkan dengan pengidentifikasian kelompok populasi
berisiko tinggi terhadap kanker, skrining populasi tertentu, deteksi dini kanker pada
individu yang tidak bergejala (asimtomatik) dan pengubahan perilaku manusia
sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatkan. Skrining ini dapat
dilakukan melalui pemeriksaan pap smear pada wanita diatas usia 25 tahun, telah
menikah dan sudah mempunyai anak.
Deteksi dini penyakit kanker dengan program skrining, dimana dengan program
skrining dapat memperoleh beberapa keuntungan yaitu : memperbaiki prognosis pada
sebagian penderita sehingga terhindar dari kematian akibat kanker, tidak diperlukan
pengobatan radikal untuk mencapai kesembuhan, adanya perasaan tentram bagi
mereka yang menunjukkan hasil negatif dan penghematan biaya karena pengobatan
yang relatif murah. Di beberapa negara maju yang telah melakukan program skrining
penyakit kanker serviks dalam upaya menemukan penyakit pada tingkat prakanker,
dapat menurunkan kematian sampai lebih dari 50%.
Pencegahan tersier ditujukan pada seseorang yang telah positif menderita
kanker serviks dan menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena
pengobatan. Sehingga perlu dilakukan rehabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan
atau fungsi organ yang cacat, supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di
masyarakat. Rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk penderita kanker serviks pasca
menjalani operasi contohnya yaitu dengan melakukan gerakan-gerakan untuk
membantu mengembalikan fungsi gerak dan untuk mengurangi pembengkakan, bagi
penderita yang mengalami alopesia (rambut gugur) akibat kemoterapi dan radioterapi
bisa diatasi dengan memakai wig untuk sementara karena umumnya rambut akan
tumbuh kembali.

3.8.2 Pengobatan
Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada.
Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan
program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat
dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila
didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan
sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih. Pada
skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan untuk
konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka
dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau
Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan
diagnostik maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa
dilanjutkan dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
 LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion),dilakukan LEEP dan observasi 1
tahun.
 HSIL (high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi
6 bulan (Gibbs, 2008)
Kanker serviks dapat ditangani dengan pembedahan, terapi radiasi atau
kemoterapi. Penentuan terapi yang digunakan berdasarkan stadium, ukuran dan lokasi
kanker, usia dan kondisi kesehatan pasien. Terapi kanker serviks dilakukan bilamana
diagnosis telah dipastikan secara histologik. Pengobatan pada kanker serviks dapat
berupa:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan salah satu terapi yang bersifat kuratif maupun paliatif.
Kuratif adalah tindakan yang langsung menghilangkan penyebabnya sehingga
manifestasi klinik yang ditimbulkan dapat dihilangkan. Sedangkan tindakan paliatif
adalah tindakan yang berarti memperbaiki keadaan penderita. Pembedahan dipilih
hanya untuk kanker serviks stadium I sampai IIA.
Ada beberapa macam bentuk terapi bedah, antara lain: a) radical trachelectomy,
merupakan suatu cara pembedahan dimana serviks, sebagian vagina dan limfonodi
pelvis diangkat. Pembedahan ini ditujukan untuk tumor yang kecil dan pada pasien
kanker serviks yang ingin memiliki keturunan lagi; b) total hysterectomy, dilakukan
pengangkatan uterus dan serviks; c) radical hysterectomy, dilakukan pengangkatan
serviks, beberapa jaringan disekitar serviks, uterus dan sebagian vagina. Pembedahan
secara radikal dan total histerektomi harus diikuti dengan pengangkatan jaringan tuba
dan ovarium yang dikenal sebagai salpingo-oophorectomy, dan pengangkatan
limfonodi yang berada didekat tumor (Cunningham, 2007).
2. Terapi penyinaran (radioterapi)
Terapi penyinaran efektif untuk mengobati kanker invasif yang masih terbatas
pada daerah panggul. Pada radioterapi digunakan sinar berenergi tinggi untuk
merusak sel-sel kanker dan menghentikan pertumbuhannya.24 Terdapat dua macam
terapi penyinaran untuk kanker serviks, yaitu: a) terapi radiasi eksternal, dilakukan
sebanyak lima kali dalam seminggu (sekali dalam sehari) selama 6 minggu, b) terapi
radiasi internal (brachytherapy), terapi ini dilakukan dengan menempatkan kapsul
radioaktif di vagina atau dekat serviks. terapi ini dapat diulang dua kali atau lebih
selama beberapa minggu (Gibbs, 2008).
3. Kemoterapi
Apabila kanker telah menyebar ke luar panggul, maka dianjurkan menjalani
kemoterapi. Kemoterapi menggunakan obat obatan untuk membunuh sel-sel kanker.
Obat anti-kanker bisa diberikan melalui suntikan intravena atau melalui mulut
(Cunningham, 2007)
4. Terapi biologis
Terapi biologi berguna untuk memperbaiki sistem kekebalan tubuh dalam
melawan penyakit. Terapi biologis tersebut dilakukan pada kanker yang telah
menyebar ke bagian tubuh lainnya (Kampono, 2011).

3.9 Prognosis
Prognosis kanker serviks tergantung dari tingkatan klinik dan jenis histologik
tumor. Biasanya penyakit ini ditemukan dalam stadium lanjut, maka angka harapan
hidupnya tidak seberapa baik. Harapan hidup selama 5 tahun pada pasien kanker
serviks yaitu 100% pada stadium prainvasif, 90% pada stadium I, 82% pada stadium
II, 35% pada stadium III dan 10% pada stadium IV (Kumar V C. R., 2007)
Pasien kanker serviks yang tidak diobati atau tidak memberikan respons
terhadap pengobatan, 95% akan mengalami kematian dalam 2 tahun setelah timbul
gejala. Pasien yang menjalani histerektomi dan memiliki risiko tinggi terjadinya
rekurensi harus terus diawasi karena lewat deteksi dini dapat diobati dengan
radioterapi. Setelah histerektomi radikal, terjadi 80% rekurensi dalam 2 tahun
(Cunningham, 2007)

Anda mungkin juga menyukai