Anda di halaman 1dari 15

Definisi Demam Berdarah Dengue (DBD)

Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Hemrrhagic Fever (DHF) ialah
penyakit yang disebabkan virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes
aegyti dan Aedes albbopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir di seluruh pelosok
Indonesia kecuali ditempat ketinggian lebih dari 1000 meter di atas permukaan air laut
(Ginanjar, 2008).
Menurut Rampengan seseorang di dalam darahnya mengandung
virus Dengue merupakan sumber penular penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD).
Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari sebelum demam. Bila
penderita tersebut digigit nyamuk penular, maka virus dalam darah akan ikut terhisap masuk
ke dalam lambung nyamuk. Selanjutnya virus akan memperbanyak diri dan tersebar di berbagai
jaringan tubuh nyamuk termasuk di dalam kelenjar liurnya. Kira-kira satu minggu setelah
menghisap darah penderita, nyamuk bersiap untuk menularkan kepada orang lain. Virus ini
akan tetap berada dalam tubuh nyamuk sepanjang hidupnya. Penularan ini terjadi setiap kali
nyamuk menggigit, sebelum menghisap darah akan mengeluarkan air liur melalui saluran alat
menggigitnya (proboscis), agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama air liur inilah
virus Dengue dipindahkan dari nyamuk ke orang lain.
Faktor-faktor Penyebab Terjadinya DBD
DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok Arbovirus B, dan disebarkan oleh
artropoda. Vektor utama DBD ialah Aedes aegypti di daerah perkotaan dan Aedes albopictus
di daerah pedesaan. Nyamuk ini dapat menyebarkan virus dengue setelah sebelumnya
menggigit dan menghisap darah manusia yang sedang menderita DBD. Berdasarkan laporan
yang ada, virus ini juga dapat ditularkan transovarial sehingga telur- telur nyamuk ini
terinfeksi oleh virus dengue. Virus ini berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk selama kurang
dari 8-10 hari terutama di dalam kelenjar air ludahnya. Saat nyamuk menggigit manusia, virus
ini akan ditularkan dan berkembang biak di dalam tubuh manusia. Masa inkubasi selama
kurang lebih 4-6 hari dan orang yang terinfeksi tersebut dapat menderita demam berdarah
dengue (Dinkes, 2006)
Virus Dengue yang menjadi penyebab penyakit ini termasuk dalam kelompok B
Airthopod Borne Virus (Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, Famili
Flaviviradae dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4
(Departemen Kesehatan RI, 2003). Keempat serotipe virus Dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi
seumur hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap
serotype lain. Serotipe DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan banyak berhubungan
dengan kasus berat. Virus Dengue ini ditularkan kepada manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti (Kristina, dkk, 2004).
Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit Demam Berdarah Dengue,
antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri. Faktor host yaitu
kerentanan (susceptibility) dan respon imun. Faktor lingkungan (environment) yaitu kondisi
geografi (ketinggian dari permukaan laut, curah hujan, angin, kelembaban, musim), Kondisi
demografi (kepadatan, mobilitas, perilaku, adat istiadat, sosial ekonomi penduduk). Faktor
agent yaitu sifat virus Dengue, yang hingga saat ini telah diketahui ada 4 jenis serotipe yaitu
Dengue 1, 2, 3, dan 4. Penelitian terhadap epidemi Dengue di Nicaragua tahun 1998,
menyimpulkan bahwa epidemiologi Dengue dapat berbeda tergantung pada daerah geografi
dan serotipe virusnya.
Epidemiologi Penyakit DBD
A. Distribusi Penyakit DBD Menurut Orang
DBD dapat diderita oleh semua golongan umur, walaupun saat ini DBD lebih banyak
pada anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini DBD terlihat kecenderungan kenaikan
proporsi pada kelompok dewasa, karena pada kelompok umur ini mempunyai mobilitas yang
tinggi dan sejalan dengan perkembangan transportasi yang lancar, sehingga memungkinkan
untuk tertularnya virus dengue lebih besar, dan juga karena adanya infeksi virus dengue jenis
baru yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang sebelumya belum pernah ada pada suatu
daerah.
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur memperlihatkan jumlah
penderita terbanyak dari golongan anak berumur kurang dari 15 tahun (86-95%). Namun pada
wabah wabah selanjutnya jumlah penderita yang digolongkan dalam usia dewasa muda
meningkat. Di Indonesia penderita DBD terbanyak pada golongan anak berumur 5-11 tahun,
proporsi penderita yang berumur lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984

B. Distribusi Penyakit DBD Menurut Tempat


Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempat-tempat dengan
ketinggian 1000 meter dari permukaan laut karena pada tempat yang tinggi dengan suhu yang
rendah perkembangbiakan Aedes aegypti tidak sempurna. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak
ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta tahun 1968 angka kejadian sakit infeksi virus
dengue meningkat dari 0,05 per 100.000 penduduk menjadi 35,19 per 100.000 penduduk tahun
1998. Sampai saat ini DBD telah ditemukan diseluruh propinsi di Indonesia.
Meningkatnya kasus serta bertambahnya wilayah yang terjangkit disebabkan karena
semakin baiknya sarana transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya
vektor nyamuk hampir di seluruh pelosok tanah air serta adanya empat tipe virus yang
menyebar sepanjang tahun.

2.1.9. Faktor – faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit DBD


Penularan penyakit DBD dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu agent (virus), host
(pejamu), dan lingkungan, yaitu :
1) Agent (penyebab penyakit) adalah semua unsur atau elemen hidup atau mati yang
kehadirannya, apabila diikuti dengan kontak yang efektif dengan manusia rentan dalam
keadaan yang memungkinkan akan menjadi stimuli untuk mengisi dan memudahkan terjadinya
suatu proses penyakit. Dalam hal ini yang menjadi agent penyebaran DBD adalah virus dengue.
2) Karakteristik host (pejamu) adalah manusia yang kemungkinan terjangkit penyakit DBD.
Faktor-faktor yang terkait dalam penularan DBD pada manusia yaitu :
a. Mobilitas penduduk akan memudahkan penularan dari suatu tempat ke tempat yang lainnya.
Hasil penelitian Fathi (2004) di kota Mataram mobilitas penduduk tidak ikut berperan dalam
terjadinya KLB penyakit DBD di kota Mataram, hal ini dapat dikaitkan dengan mobilitas
penduduk di kota Mataram yang relatif rendah yaitu sebagian besar adalah petani. Hasil
penelitian Arsunan dan Wahiduddin (2003) di kota Makassar mobilitas penduduk berperan
dalam penyebaran DBD, hal ini disebabkan mobilitas penduduk di kota Makassar yang relatif
tinggi. Hal ini sesuai dengan Sumarmo bahwa penyakit biasanya menjalar dimulai dari suatu
pusat sumber penularan (kota besar), kemudian mengikuti lalu-lintas (mobilitas) penduduk.
Semakin tinggi mobilitas makin besar kemungkinan penyebaran penyakit DBD.
b. Pendidikan akan mempengaruhi cara berpikir dalam penerimaan penyuluhan dan cara
pemberantasan yang dilakukan, hal ini berkaitan dengan pengetahuan. Hasil penelitian Nicolas
Duma (2007) di kecamatan Baruga kota Kendari ada hubungan yang sangat signifikan antara
pengetahuan dengan kejadian DBD. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Arsunan dan
Wahiduddin (2003) di kota Makassar yang mendapatkan adanya hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan kejadian DBD. Hasil penelitian Kasnodiharjo (1997) di Subang
Jawa Barat menyatakan bahwa seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan atau buta
huruf, pada umumnya akan mengalami kesulitan untuk menyerap ide-ide baru dan membuat
mereka konservatif karena tidak mengenal alternatif yang lebih baik.
c. Kelompok umur akan mempengaruhi peluang terjadinya penularan penyakit DBD. Hasil
penelitian Soegeng Soegijanto (2000) di Jawa Timur dari tahun 1996 sampai dengan tahun
2000 proporsi kasus DBD terbanyak adalah pada kelompok umur 5-9 tahun. Tetapi pada tahun
1998 dan 2000 proporsi kasus pada kelompok umur 15-44 tahun meningkat, keadaan tersebut
perlu diwaspadai bahwa DBD cenderung meningkat pada kelompok umur remaja dan dewasa.
Hal ini sesuai dengan Suroso bahwa di Indonesia pada tahun 1995-1997 proporsi kasus DBD
telah bergeser ke usia ≥ 15 tahun. Hasil penelitian Fitri (2005) di Pekanbaru proporsi penderita
terbanyak lebih sering pada kelompok umur ≥ 15 tahun.
d. Jenis kelamin, berdasarkan penelitian Widyana (1998) di Bantul pada tahun 1997
menemukan bahwa proporsi penderita perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki yaitu sebesar
52,6 %.23 Hasil serupa juga di peroleh oleh Enny dkk (2003) di Jakarta pada tahun 2000
sebagian besar penderita adalah perempuan (58,2%).25 Namun secara keseluruhan tidak
terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita DBD dan sampai sekarang tidak ada
keterangan yang dapat memberikan jawaban dengan tuntas mengenai perbedaan jenis kelamin
pada penderita DBD.13 Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan Djelantik di
RSCM Jakarta (1998) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
angka insiden laki-laki dan perempuan.
3) Lingkungan, lingkungan yang terkait dalam penularan penyakit DBD adalah :
a. Tempat penampungan air / keberadaan kontainer, sebagai tempat perindukan nyamuk Aedes
aegypti. Hasil penelitian Yukresna (2003) dengan desain penelitiancase control di kota Medan
mendapatkan kondisi tempat penampungan air mempunyai hubungan dengan kejadian DBD
dengan OR 5,706 (CI 95% 1,59 – 20,39).
b. Ketinggian tempat suatu daerah mempunyai pengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk
dan virus DBD. Di wilayah dengan ketinggian lebih dari 1.000 meter diatas permukaan laut
tidak ditemukan nyamuk Aedes aegypti.
c. Curah hujan, pada musim hujan (curah hujan diatas normal) tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi air, mulai terisi air. Telur-telur
yang belum sempat menetas, dalam tempo singkat akan menetas, dan kelembaban udara juga
akan meningkat yang akan berpengaruh bagi kelangsungan hidup nyamuk dewasa dimana
selama musim hujan jangka waktu hidup nyamuk lebih lama dan berisiko penularan virus lebih
besar. Dari hasil pengamatan penderita DBD yang selama ini dilaporkan di Indonesia bahwa
musim penularan DBD pada umumnya terjadi pada musim hujan yaitu awal dan akhir tahun.4
Hasil penelitian Fitri (2005) kasus penyakit DBD di kota Pekanbaru akan lebih tinggi pada saat
curah hujan tinggi yaitu diatas 300 mm.
d. Kebersihan lingkungan / sanitasi lingkungan, dari penelitian Yukresna (2003) di kota Medan
dengan desain penelitian case control yang mendapatkan bahwa kebersihan lingkungan
mempunyai hubungan dengan kejadian DBD dengan OR 2,90 (CI 95% 1,63-5,15).26
Penelitian tersebut sesuai dengan pernyataan Seogeng, S (2004) yang menyatakan bahwa
kondisi sanitasi lingkungan berperan besar dalam perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti.

Pencegahan Primer
Pencegahan penyakit DBD dapat dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu pencegahan primer,
pencegahan sekunder, dan pencegahan tersier. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan
upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang
sehat menjadi sakit.

2.2.1 Surveilans Vektor


Surveilans untuk nyamuk Aedes aegypti sangat penting untuk menentukan distribusi,
kepadatan populasi, habitat utama larva, faktor resiko berdasarkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengan penyebaran dengue, dan tingkat kerentanan atau kekebalan insektisida yang
dipakai, untuk memprioritaskan wilayah dan musim untuk pelaksanaan pengendalian vektor.
Data tersebut akan memudahkan pemilihan dan penggunaan sebagian besar peralatan
pengendalian vektor, dan dapat dipakai untuk memantau keefektifannya. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah survei jentik. Survei jentik dilakukan dengan cara melihat atau
memeriksa semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat berkembangbiakan
nyamuk Aedes aegypti dengan mata telanjang untuk mengetahui ada tidaknya jentik,yaitu
dengan cara visual. Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap
tempat genangan air tanpa mengambil jentiknya. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk
mengetahui kepadatan jentik Aedes aegypti adalah :
a. House Indeks (HI), yaitu persentase rumah yang terjangkit larva dan atau pupa.
HI = Jumlah Rumah Yang Terdapat Jentik x 100%
Jumlah Rumah yang Diperiksa
b. Container Indeks (CI), yaitu persentase container yang terjangkit larva atau pupa. CI =
Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100%
Jumlah Container Yang Diperiksa
c. Breteau Indeks (BI), yaitu jumlah container yang positif per-100 rumah yang diperiksa.
BI = Jumlah Container Yang Terdapat Jentik x 100 rumah
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Dari ukuran di atas dapat diketahui persentase Angka Bebas Jentik (ABJ), yaitu jumlah rumah
yang tidak ditemukan jentik per jumlah rumah yang diperiksa.
ABJ = Jumlah Rumah Yang Tidak Ditemukan Jentik x 100%
Jumlah Rumah Yang Diperiksa
Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) merupakan bentuk evaluasi hasil kegiatan yang dilakukan
tiap 3 bulan sekali disetiap desa/kelurahan endemis pada 100 rumah/bangunan yang dipilih
secara acak (random sampling). Angka Bebas Jentik dan House Indeks lebih menggambarkan
luasnya penyebaran nyamuk disuatu wilayah.

2.2.2 Pengendalian Vektor


Pengendalian vektor adalah upaya untuk menurunkan kepadatan populasi nyamuk Aedes
aegypti. Secara garis besar ada 3 cara pengendalian vektor yaitu :
1) Pengendalian Cara Kimiawi
Pada pengendalian kimiawi digunakan insektisida yang ditujukan pada nyamuk dewasa atau
larva. Insektisida yang dapat digunakan adalah dari golongan organoklorin, organofosfor,
karbamat, dan pyrethoid. Bahan-bahan insektisida dapat diaplikasikan dalam bentuk
penyemprotan (spray) terhadap rumah-rumah penduduk. Insektisida yang dapat digunakan
terhadap larva Aedes aegypti yaitu dari golongan organofosfor (Temephos) dalam bentuk sand
granules yang larut dalam air di tempat perindukan nyamuk atau sering disebut dengan
abatisasi.
2) Pengendalian Hayati / Biologik
Pengendalian hayati atau sering disebut dengan pengendalian biologis dilakukan dengan
menggunakan kelompok hidup, baik dari golongan mikroorganisme hewan invertebrate atau
vertebrata. Sebagai pengendalian hayati dapat berperan sebagai patogen, parasit dan pemangsa.
Beberapa jenis ikan kepala timah (Panchaxpanchax), ikan gabus (Gambusia affinis) adalah
pemangsa yang cocok untuk larva nyamuk. Beberapa jenis golongan cacing nematoda
seperti Romanomarmis iyengari dan Romanomarmis culiforax merupakan parasit yang cocok
untuk larva nyamuk.
3) Pengendalian Lingkungan
Pengendalian lingkungan dapat digunakan beberapa cara antara lain dengan mencegah nyamuk
kontak dengan manusia yaitu memasang kawat kasa pada pintu, lubang jendela, dan ventilasi
di seluruh bagian rumah. Hindari menggantung pakaian di kamar mandi, di kamar tidur, atau
di tempat yang tidak terjangkau sinar matahari.

2.2.3 Surveilans Kasus


Surveilans kasus DBD dapat dilakukan dengan surveilans aktif maupun pasif. Di
beberapa negara pada umumnya dilakukan surveilans pasif. Meskipun sistem surveilans pasif
tidak sensitif dan memiliki spesifisitas yang rendah, namun sistem inin berguna untuk
memantau kecenderungan penyabaran dengue jangka panjang. Pada surveilans pasif setiap unit
pelayanan kesehatan ( rumah sakit, Puskesmas, poliklinik, balai pengobatan, dokter praktek
swasta, dll) diwajibkan melaporkan setiap penderita termasuk tersangka DBD ke dinas
kesehatan selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam. Surveilans aktif adalah yang bertujuan
memantau penyebaran dengue di dalam masyarakat sehingga mampu mengatakan kejadian,
dimana berlangsung penyebaran kelompok serotipe virus yang bersirkulasi, untuk mencapai
tujuan tersebut sistem ini harus mendapat dukungan laboratorium diagnostik yang baik.
Surveilans seperti ini pasti dapat memberikan peringatan dini atau memiliki kemampuan
prediktif terhadap penyebaran epidemi penyakit DBD.

2.2.4 Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk


Gerakan PSN adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat dan
pemerintah untuk mencegah penyakit DBD yang disertai pemantauan hasil hasilnya secara
terus menerus. Gerakan PSN DBD merupakan bagian terpenting dari keseluruhan upaya
pemberantasan penyakit DBD, dan merupakan bagian dari upaya mewujudkan kebersihan
lingkungan serta prilaku sehat dalam rangka mencapai masyarakat dan keluarga sejahtera.
Dalam membasmi jentik nyamuk penularan DBD dengan cara yang dikenal dengan istilah 3M,
yaitu :
1) Menguras bak mandi, bak penampungan air, tempat minum hewan peliharaan minimal sekali
dalam seminggu.
2) Menutup rapat tempat penampungan air sedemikian rupa sehingga tidak dapat diterobos oleh
nyamuk dewasa.
3) Mengubur barang-barang bekas yang sudah tidak terpakai, yang semuanya dapat
menampung air hujan sebagai tempat berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti.
2.3 Pencegahan Sekunder
Pada pencegahan sekunder dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
2.3.1 Penemuan, Pertolongan dan Pelaporan Penderita
Penemuan, pertolongan, dan pelaporan penderita DBD dilaksanakan oleh petugas
kesehatan dan masyarakat dengan cara :
1) Bila dalam keluarga ada yang menunjukkan gejala penyakit DBD, berikan pertolongan
pertama dengan banyak minum, kompres dingin dan berikan obat penurun panas yang tidak
mengandung asam salisilat serta segera bawa ke dokter atau unit pelayanan kesehatan.
2) Dokter atau unit kesehatan setelah melakukan pemeriksaan/diagnosa dan pengobatan segaera
melaporkan penemuan penderita atau tersangka DBD tersebut kepada Puskesmas, kemudian
pihak Puskesmas yang menerima laporan segera melakukan penyelidikan epidemiologi dan
pengamatan penyakit dilokasi
penderita dan rumah disekitarnya untuk mencegah kemungkinan adanya penularan lebih lanjut.
3) Kepala Puskesmas melaporkan hasil penyelidikan epidemiologi dan kejadian luar biasa
(KLB) kepada Camat, dan Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten, disertai dengan cara
penanggulangan seperlunya.

2.3.2 Diagnosis
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997
terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.
1) Kriteria Klinis
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2-7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan : uji tourniquet positif, petechie, echymosis,
purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan malena. Uji
tourniquet dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan tekanan darah. Selanjutnya diberikan
tekanan di antara sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas
siku; tekanan ini diusahakan menetap selama percobaan. Setelah dilakukan tekanan selama 5
menit, diperhatikan timbulnya petekia pada kulit di lengan bawah bagian medial pada sepertiga
bagian proksimal. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inchi persegi (2,8 x 2,8 cm) didapat
lebih dari 20 petekia.13
c. Pembesaran hati (hepatomegali).
d. Syok (renjatan), ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki
dan tangan dingin, kulit lembab, dan gelisah.
2. Kriteria Laboratorium
a. Trombositopeni ( < 100.000 sel/ml)
b. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih.
3. Derajat Penyakit DBD, menurut WHO tahun 1997 4,5
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat, yaitu :
a. Derajat I Demam disertai dengan gejala umum nonspesifik, satu-satunya manifestasi
perdarahan ditunjukkan melalui uji tourniquet yang positif.
b. Derajat II Selain manifestasi yang dialami pasien derajat I, perdarahan spontan juga terjadi,
biasanya dalam bentuk perdarahan kulit dan atau perdarahan lainnya.
c. Derajat III Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan ditemukan
gejala-gejala kegagalan sirkulasi meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (
< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit lembab dan dingin serta gelisah.
d. Derajat IV Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai hepatomegali dan
ditemukan gejala syok (renjatan) yang sangat berat dengan tekanan darah dan denyut nadi yang
tidak terdeteksi.

2.3.3 Diagnosis Laboratorium


Pemeriksaan laboratorium yang sangat penting untuk memastikan diagnosis infeksi
dengue, meliputi :
1) Pengumpulan Spesimen
Salah satu aspek yang esensial untuk diagnosis laboratorium adalah pengumpulan, pegolahan,
penyimpanan, dan pengantaran spesimen. Spesimen S1 adalah sampel darah yang diambil pada
stadium akut atau secepatnya setelah onset penyakit atau segera setelah masuk rumah
sakit. Spesimen S2 adalah sampel darah yang diambil pada waktu penderita
akan meninggalkan rumah sakit atau secepatnya sebelum meninggal. Spesimen S3 adalah
sampel darah yang diambil 2-3 minggu setelah spesimen akut. Waktu antara yang paling baik
untuk pengambilan spesimen akut dan kovalesen adalah 10 hari. Untuk pemeriksaan serologi
pengumpulan spesimen darah dapat dilakukan dengan 2 cara :
a. Dengan menggunakan kertas saring (filter paper khusus).
Darah diteteskan pada kertas saring sampai jenuh, bolak-balik sehingga seluruh permukaan
filter paper terisi darah rata. Darah dapat dari pembuluh vena dapat pula darah dari ujung jari
(ujung jari ditusuk). Kertas saring yang berisi darah dibiarkan kering pada temperatur kamar.
Jangan dikeringkan dengan panas sinar matahari atau yang lainnya. Kertas saring yang berisi
darah yang telah kering disimpan dalam tempat yang kering pada suhu kamar tidak lebih dari
3 bulan. Kirimkan dalam amplop atau kantong plastik ke laboratorium secepatnya sebelum
waktu 3 bulan tersebut.

b. Dengan serum
darah diambil secara asepsis dengan menggunakan semprit. Serum dipisahkan dengan diputar
1500-2000 putaran sekitar 10-15 menit. Serum yang terpisah dipindahkan dalam botol kecil
dengan menggunakan pipet Pasteur. Serum tersebut disimpan pada suhu -200C sebelum
dikirim ke laboratorium.
2) Isolasi Virus
Isolasi sebagian besar strain virus dengue dari spesimen klinis dapat dilakukan pada sebagian
besar kasus asalkan sampel diambil dalam beberapa hari pertama sakit dan langsung diproses
tanpa penundaan. Spesimen yang mungkin sesuai untuk isolasi virus diantaranya serum fase
akut dari pasien, autopsi jaringan dari kasus fatal, terutama dari hati, limpa, nodus limfe.
3) Uji Serologis
Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) merupakan salah satu pemeriksaaan serologi untuk penderita
DBD dan telah ditetapkan oleh WHO sebagai standar pada pemeriksaan serologi penderita
DBD dibandingkan pemeriksaan serologi lainnya seperti ELISA, uji komplemen fikasi, uji
netralisasi, dan sebagainya. Apapun jenis uji yang dilakukan, konfirmasi serologis sudah pasti
bergantung pada kenaikan yang signifikan (4 kali lipat atau lebih) pada antibodi spesifik dalam
sampel serum diantara fase akut dan fase pemulihan. Kumpulan antigen untuk sebagian besar
uji serologis ini harus mencakup keempat serotipe dengue.

2.3.4 Pengobatan Penderita DBD


Pengobatan penderita DBD pada dasarnya bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi.
1) Penatalaksanaan DBD tanpa komplikasi :
a. Istirahat total di tempat tidur.
b. Diberi minum 1,5-2 liter dalam 24 jam (susu, air dengan gula atau air ditambah garam/oralit).
Bila cairan oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut
berlebihan, maka cairan inravena harus diberikan.
c. Berikan makanan lunak
d. Medikamentosa yang bersifat simptomatis. Untuk hiperpireksia dapat diberikan kompres,
antipiretik yang bersifat asetaminofen, eukinin, atau dipiron dan jangan diberikan asetosal
karena dapat menyebabkan perdarahan.
e. Antibiotik diberikan bila terdapat kemungkinan terjadi infeksi sekunder.
2) Penatalaksanaan pada pasien syok :
a. Pemasangan infus yang diberikan dengan diguyur, seperti NaCl, ringer laktat dan
dipertahankan selama 12-48 jam setelah syok diatasi.
b. Observasi keadaan umum, nadi, tekanan darah, suhu, dan pernapasan tiap jam, serta
Hemoglobin (Hb) dan Hematokrit (Ht) tiap 4-6 jam pada hari pertama selanjutnya tiap 24 jam.
Nilai normal Hemoglobin :
Anak-anak : 11,5 – 12,5 gr/100 ml darah
Laki-laki dewasa : 13 – 16 gr/100 ml darah
Wanita dewasa : 12 – 14 gr/100 ml darah
Nilai normal Hematokrit :
Anak-anak : 33 – 38 vol %
Laki-laki dewasa : 40 – 48 vol %
Wanita dewasa : 37 – 43 vol %
b. Bila pada pemeriksaan darah didapatkan penurunan kadar Hb dan Ht maka diberi transfusi
darah.

2.3.5 Penyelidikan Epidemiologi (PE)


Penyelidikan Epidemiologi adalah kegiatan pencarian penderita/tersangka DBD
lainnya dan pemeriksaan jentik rumah, yang dilakukan dirumah penderita dan 20 rumah
disekitarnya serta tempat-tempat umum yang diperkirakan menjadi sumber penularan, hasilnya
dicatat dalam formulir PE dan dilaporkan kepada Kepala Puskesmas selanjutnya diteruskan
kepada Lurah melalui Camat dan penanggulangan seperlunya untuk membatasi penularan.
Maksud penyelidikan epidemiologi ialah untuk mengetahui ada/tidaknya kasus DBD tanbahan
dan luas penyebarannya, serta untuk mengetahui kemungkinan terjadinya penyebaran penyakit
DBD lebih lanjut dilokasi tersebut.
Bila pada hasil PE ditemukan penderita DBD lain atau jentik dan penderita panas tanpa
sebab yang jelas lebih dari 3 orang maka akan dilakukan penyuluhan 3 M plus, larvasida,
fogging fokus / penanggulangan fokus, yaitu pengasapan rumah sekitar tempat tinggal
penderita DBD dalam radius 200 meter, yang dilaksanakan berdasarkan hasil dari penyelidikan
epidemiologi, dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu. Bila pada hasil PE tidak ditemukan
kasus lain maka dilakukan penyuluhan
dan kegiatan 3M.

2.4 Pencegahan Tersier


Pencegahan tingkat ketiga ini dimaksudkan untuk mencegah kematian akibat penyakit
DBD dan melakukan rehabilitasi. Upaya pencegahan ini dapat dilakukan dengan :
2.4.1 Transfusi Darah
Penderita yang menunjukkan gejala perdarahan seperti hematemesis dan malena
diindikasikan untuk mendapatkan transfusi darah secepatnya.
2.4.2 Stratifikasi Daerah Rawan DBD
Adapun jenis kegiatan yang dilakukan disesuaikan dengan stratifikasi daerah rawan seperti :
1) Endemis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir selalu ada kasus DBD. Kegiatan
yang dilakukan adalah fogging Sebelum Musim Penularan
2) Sporadis
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir ada kasus DBD. Kegiatan yang
dilakukan adalah Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB), PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk)
dan 3M, penyuluhan tetap dilakukan.
3) Potensial
Yaitu Kecamatan, Kelurahan, yang dalam 3 tahun terakhir tidak ada kasus DBD. Tetapi
penduduknya padat, mempunyai hubungan transportasi dengan wilayah lain dan persentase
rumah yang ditemukan jentik > 5%. Kegiatan yang dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan
penyuluhan.
4) Bebas
Yaitu Kecamatan, Kelurahan yang tidak pernah ada kasus DBD. Ketinggian dari permukaan
air laut > 1000 meter dan persentase rumah yang ditemukan jentik ≤ 5%. Kegiatan yang
dilakukan adalah PJB, PSN, 3M dan penyuluhan.

Penatapelaksaan

Tidak ada terapi yang spesifik untuk DD dan DBD, prinsip utama adalah terapi suportif.
Penanganan yang tepat oleh dokter dan perawat dapat menyelamatkan pasien DBD. Dengan
terapi suportif yang kuat, angka kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 1%.
Pemeliharaan volume cairan sirkulasi merupakan tindakan yang paling penting dalam
penanganan kasus DBD. Asupan cairan pasien harus tetap dijaga, terutama cairan oral. Jika
asupan cairan oral pasien tidak mampu dipertahankan, maka dibutuhkan suplemen cairan
melalui intravena untuk mencegah dehidrasi dan hemokonsentrasi.

TATALAKSANA PADA DEWASA

Perhimpunan Dokter Ahli {Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) bersama dengan Divisi
Penyakit Tropik dan Infeksi dan Divisi Hematologi dan Onkologi Medik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia telah menyusun protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa
berdasarkan kriteria :

1. Tatalaksana dengan rencana tindakan sesuai indikasi


2. Praktis dalam pelaksanaannya
3. Mempertimbangkan cost effectiveness

Protokol ini terbagi dalam 5 kategori :

Protokol 1

Penanganan tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Protokol 2

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Protokol 3

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%

Protokol 4

Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa

Protokol 5

Tatalaksana Sindoma Syok Dengue pada dewasa

Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD dewasa tanpa syok

Potokol 1 ini digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan pertama pada
penderita DBD atau yang diguga DBD di Instalasi Gawat Darurat dan juga dipakai sebagai
petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

Seseorang yang tersangka menderita DBD di ruang Gawat Darurat dilakukan pemeriksaan
Hemoglobin (Hb), hematoktrit dan trombosit apabila didapatkan :

 Hb, Ht dan trombosit normal atau trombosit antara 100.000 – 150.000, pasien dapat
dipulangkan dengan anjuran kontrol atau berobat jalan ke Poliklinik dalam waktu 24
jam berikutnya (dilakukan pemeriksaan Hb, Ht, Leukosit dan trombosit tiap 24 jam)
atau bila keaadaan penderita memburuk segera kembali ke Instansi Gawat Darurat)
 Hb, Ht normal tetapi trombosit <100.000 dianjurkan untuk dirawat.
 Hb, Ht meningkat dan trombosit normal atau turun juga dianjurkan untuk dirawat.
Protokol 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan masif dan tampak syok maka di
ruang rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut ini:

Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan

Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (BB dalam kg – 20)

Contoh volume rumatan untuk BB 55kg : 1500 + 20 x (55 – 20) = 2200 ml

(Sumber : Pan American Health Orgabization : Dengue and dengue hemorrhagic Fever :
Guidlines for Prevention and Control : PAHO : Washington D.C, 1994:67)

Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan HB, Ht tiap 24 jam :

 Bila Hb, HT meningkat 10 – 20% dan trombosit <100.000 jumlah pemberian cairan
tetap seperti rumus diatas tetapi pemantauan Hb, Ht dan trombosit dilakukan tian 12
jam.
 Bila Hb, Ht meningkat >20% dan trombosit <100.000 maka pemberian cairan sesuai
dengan protokol penatalaksanaan DBD dangan peningkatan Ht > 20 %.

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%

Meningkatnya Ht > 20 % menunjukkan bahwa tubuh mengalami defisit sebanyak 5%.


Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan
kristaloid sebnayal 6-7 ml/kgBB/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian
cairan. Bila terjadi perbaikan yang ditandai dengan tanda-tanda Ht turun, frekuensi nadi turun,
tekanan darah stabil, produksi urin meningkat maka jumlah cairan harus dikurangi menjadi 5
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan keadaan tetap membaik maka
pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.

Apabila setelah pemberian terapi cairan awal 6 – 7 ml/ kgBB/ jam tadi keadaan tetap
tidak membaik, yang ditandai dengan Ht dan nadi meningkat, tekanan nadi menurun <20
mmHg, produksi urin menurun, maka kita harus menaikkan jumlah cairan infus menjadi 10
ml/kgBB/jam. 2 jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan menunjukkan
perbaikan maka jumlah cairan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam tetapi bila keaadaan tidak
menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dinaikkan menjadi 15ml/kgBB/jam dan bila
dalam perkembangannya kondisi menjadi memburuk dan didapatkan tanda-tanda syok maka
pasien ditangani sesuai dengan protokol tatalaksana sindrom syok dengue pada dewasa. Bila
syok telah teratasi maka pemberian cairan dimulai lagi seperti terapi cairan awal.

Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan spontan pada DBD deawasa

Perdarahan spontan dan masif pada penderita DBD dewasa adalah : perdarahan
hidung/epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberikan tampon hidung, perdarahan
saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing
(hematuria), perdarahan otak atau perdarahan tersembunyi dengan jumlah perdarahan
sebanyak 4-5 cc/kgBB/jam. Pada keadaan ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan tetap
seperti keadaan DBD tanpa syok lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan
jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan Hb, Ht dan trombosit serta
hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang
setiap 4-6 jam.

Pemberian heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-
tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. FFP diberikan bila didapatkan
defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan aPTT yang memanjang), PRC diberikan bila nilai
Hb kurang dari 10g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada pasien DBD dengan
perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit <100.000/ul disertai atau tanpa KID.

Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok Dengue pada dewasa

Bila kita berhadapan dengan Sindroma Syok Dengue (SSD) maka hal pertama yang
harus diingat adalah bahwa renjatan ini harus segera diatasi oleh karena itu penggantian cairan
intravaskuler yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian sindrom syok dengue
sepuluh kali lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan, dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan / pengobatan,
penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda – tanda
renjatan dini, dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD cairan kristaloid adalah pilihan utama yang diberikan. Selain resusitasi
cairan, penderita juga diberikan oksigen 2-4 liter/menit. Pemeriksaan – pemeriksaan yang harus
dilakukan adalah pemeriksaan darah perifer lengkap (DPL), hemostasis, AGD, kadar natrium,
kalium dan klorida, serta ureum dan kereatinin.

Pada fase awal, cairan kristaloid diguyur sebanyak 10-20 ml/kgBB dan dievaluasi
setelah 15-30 menit. Bila renjatan telah teratasi (ditandai dengan TD sistolik 100mmHg dan
tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekuensi nadi kurang dari 100 kali per menit dengan volume
yang cukup, akral teraba hangat, dan kulit tidak pucat serta diuresis 0,5-1cc/kgBB/jam) jumlah
cairan dikurangi menjadi 7ml/kgBB/jam. Bila dalam waktu 60 – 120 menit keadaan tetap stabil
pemberian cairan menjadi 5ml/kgBB/jam. Bila dalam 60 – 120 menit kemudian keadaan tetap
stabil pemberian caira menjadi 3ml/kgBB/jam. Bila 24-48 jam setelah renjatan teratasi tanda-
tanda vital dan hematokrit tetap stabil serta diuresis cukup maka pemberian cairan perinfus
harus dihentikan (karena jika rebsorbsi cairan plasma yang mengalami ekstravasasi telah
terjadi, ditandai dengan turunnya hematokrit, cairan infus terus diberikan maka keadaan
hipervolemi edema paru atau gagal jantung dapat terjadi).

Pengawasan dini kemungkinan terjadinya renjatan berulang harus dilakukan terutama


dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadin renjatan ( karena selain proses patogenesis penyakit
masih berlangsung, ternyata cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam
pembuluh darah setelah 1 jam saat pemberian). Oleh karena untuk mengetahui apakah renjatan
telah teratasi dengan baik, diperlukan pemantauan tanda vital yaitu status kesadaran, tekanan
darah, frekuensi nadi, frekuensi jantung dan napas, pembesaran hati, nyeri tekan daerah
hipokondrium kanan dan epigastrik serta jumlah diuresis. Diuresis diusahakan 2ml/kgBB/kam.
Pemantauan kadar hemoglobin, hematoktrit, dan jumlah trombosit dapat dipergunakan untuk
pemantauan perkalanan penyakit.

Bila stelah fase awal pemberian cairan ternyata renjatan belum teratasi, maka
pemberian cairan kristaloid dapat ditingkatkan menjadi 20-30 ml/kgBB dan kemudian
dievaluasi detelah 20-30 menit. Bila nilai hematokrit meningkat berarti perembesan plasma
masih berlangsung maka pemberian cairan koloid merupakan pilihan, tetapi bila nilai
hematokrit menurun , berarti terjadi perdarahan ( internal bleeding) maka pada penderita
diberikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dan dapat diulang sesuai kebutuhan.

Sebelum cairan koloid diberikan maka sebaiknya kita harus mengetahui sifat-sifat
cairan tersebut. Pemberian koloid sendiri mulu-mula diberikan dengantetesan cepat 10-20
ml/kgBB dan dievaluasi setelah 10-30 menit. Bila keadaan tetap belum teratasi maka untuk
memantau kecukupan cairan dilakukan pemasangan kateter vena sentral dan pemberian koloid
dapat ditambah hingga jumlah maksimum 30ml/kgBB (maksimal 1-1,5 1/hari) dengan sasaran
tekanan vena sentral 15-18 smH2O. Bila keadaan tetap belum teratasi harus diperhatikan dan
dilakukan koreksi terhadap gangguan asam basa, elektrolit, hipoglikemia, anemia, KID, infeksi
sekunder. Bila tekanan vena sentral penderita sudah sesuai dengan target tetapi renjatan belum
teratasi maka dapat diberikan obat inotropik/vasopresor.

Keluhan DBD
(Kriteria WHO 1997)

Hb, Ht normal, Hb, Ht meingkat,


trombo 100.000- trombo normal/
150.000
turun
Hb, Ht, trombo Hb, Ht normal,
normal trombo <100.000

Observasi Observasi Rawat Rawat


rawat jalan, rawat jalan,
periksa Hb,Ht, periksa Hb,Ht,
Leuko, Leuko, Penanganan Protokol Rawat Inap
Trombosit/ 24 Trombosit/ 24 Untuk DBD (protokol 2 )
jam jam
Protokol 1. Penanganan Tersangka
(Probable) DBD dewasa tanpa syok

Anda mungkin juga menyukai