Anda di halaman 1dari 23

Referat

BATTERED BABY SYNDROME

Oleh:
Heniszayanti Nabiladhiya A 1740312248
Sufhi Hamdan 1740312287
Eko Setiawan 1840312465
Fikra Nurul Indra 1840312466
Araminta Nabila Z 1840312437
Putri Nirmala Dewi 1840312309
Rio Martin Rajagukguk 1840312630

Preseptor :
dr. Taufik Hidayat, M.Sc, Sp.F

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


PERIODE 7 FEBRUARI– 11 MARET 2019
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR M.DJAMILPADANG
2019

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur atas kehadirat Allah S.W.T
dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah referat dengan judul “Battered
Baby Syndrome”. Makalah ini diajukan untuk melengkapi tugas kepaniteraan
klinik pada Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
preseptor dr. Taufik Hidayat, M.Sc Sp.F yang telah membimbing penulis dalam
menyelesaikan referat ini. Akhir kata, penulis memohon maaf apabila terdapat
kesalahan dalam penulisan referat ini. Untuk itu, penulis menerima kritik dan
saran dari berbagai pihak untuk menyempurnakan referat ini.

Padang, 19 Februari 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ……………………………………………….. 1
KATA PENGANTAR ........................................................................ 2
DAFTAR ISI ....................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. 4
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 5
1.2 Batasan Masalah ............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................ 5
1.4 Metode Penulisan ........................................................................... 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ................................................................................... 7
2.2 Klasifikasi .............................................................................. 8
2.3 Etiologi .................................................................................. 8
2.4 Epidemiologi ......................................................................... 9
2.5 Patofisiologi ........................................................................... 9
2.6 Manifestasi Klinis ................................................................. 10
2.7 Aspek Psikiatri ...................................................................... 12
2.8 Tatalaksana ............................................................................ 15
2.9 Prognosis .............................................................................. 16
2.10 Pencegahan .......................................................................... 16
2.11 Aspek Medikolegal ............................................................. 16
BAB 3 KESIMPULAN …………………………………………….. 22
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 23

3
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Gambar 2.1 Patofisiologi Battered Baby Syndrome .............. 10

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


2
Battered baby syndrome pertama kali disadari berupa cedera tidak disengaja
pada masa kanak-kanak atau sindrom pelecehan anak pada tahun 1946.
Dilaporkan beberapa patah tulang pada enam bayi yang menderita hematoma
subdural kronis. Fraktur tulang panjang tampaknya merupakan asal traumatis,
tetapi, episode traumatis dan faktor atau mekanisme penyebab yang
sebenarnya tetap tidak jelas. Pada tahun 1961, dokter anak, Dr. Henry
Kempe, mengusulkan istilah 'battered baby syndrome' untuk memfokuskan
perhatian pada keseriusan masalah, pada simposium American Academy of
Pediatrics. Sejak itu, perubahan telah dilakukan untuk mendefinisikan dan
memasukkan kasus-kasus penganiayaan atau pengabaian secara emosional
dan fisik.1
3
Battered baby syndrome sering dijumpai pada praktik dokter spesialis
radiologi, dokter spesialis orthopedi, dokter spesialis anak, dan dokter
spesialis bedah anak. Kejadian ini memiliki angka kecacatan dan kematian
yang tinggi pada anak-anak.1
4
Battered baby syndrome adalah fenomena tragis dan biasanya didapat anak
dari orang tua atau pengasuh. Sayangnya, battered baby syndrome merupakan
kejahatan yang sering berhasil disembunyikan oleh para pelakunya.
Penegakan hukum memiliki peran penting dalam mengungkap kasus battered
baby syndrome dan mengumpulkan bukti untuk penuntutan terhadap pelaku.1
1.2 Batasan Penulisan
Penulisan makalah ini dibatasi pada definisi, klasifikasi, cara kerja,
patofisiologi, dosis letal, gejala dan tanda pada pasien hidup, temua pada jenazah
dengan intoksikasi, serta aspek medikolegal pada penyalahgunaan opiate dan
opioid.

1.3 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang


definisi, klasifikasi, cara kerja, patofisiologi, dosis letal, gejala dan tanda pada

5
pasien hidup, temua pada jenazah dengan intoksikasi, serta aspek medikolegal
pada penyalahgunaan opiate dan opioid.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang dipakai dalam penulisan makalah ini adalah tinjauan


kepustakaan yang merujuk pada berbagai literatur.

6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Definisi
[1] Battered baby syndrome juga dikenal sebagai sindrom pelecehan anak,
sindrom Caffey, sindrom bayi terguncang, cedera tidak disengaja pada masa
kanak-kanak, dan sindrom penganiayaan Battered Baby Syndrome adalah orang
yang telah menerima cedera fisik berulang sebagai akibat dari kekerasan yang
tidak disengaja, yang dihasilkan oleh orang tua atau wali. [1] Gambaran klasik
sindrom ini adalah perbedaan yang jelas antara sifat cedera dan penjelasan yang
diberikan oleh orang tua, dan keterlambatan antara cedera, dan perhatian medis
yang tidak dapat dijelaskan. Fitur konstannya adalah pengulangan cedera pada
tanggal yang berbeda, seringkali berkembang dari minor menjadi lebih parah.
Fitur khusus adalah penolakan oleh orang tua atas segala cedera. [2, 3]
Masyarakat Internasional untuk Pencegahan Penyalahgunaan dan
Penelantaran Anak baru-baru ini membandingkan definisi pelecehan dari 58
negara dan menemukan beberapa kesamaan dalam apa yang dianggap kekerasan
(4). Pada tahun 2007, Konsultasi WHO untuk Pencegahan Kekerasan terhadap
Anak menyusun definisi berikut (5): '' Pelecehan atau penganiayaan anak
merupakan semua bentuk perlakuan fisik dan / atau emosional, pelecehan seksual,
pengabaian atau perawatan lalai atau eksploitasi komersial atau lainnya, yang
menghasilkan dalam bahaya aktual atau potensial terhadap kesehatan,
kelangsungan hidup, perkembangan, atau martabat anak dalam konteks hubungan
tanggung jawab, kepercayaan, atau kekuasaan. '' Beberapa definisi berfokus pada
perilaku atau tindakan orang dewasa sementara yang lain menganggap pelecehan
terjadi jika terjadi bahaya atau ancaman bahaya terhadap anak (5). Perbedaan
antara perilaku terlepas dari hasil dan dampak atau bahaya berpotensi
membingungkan jika niat orang tua membentuk bagian dari definisi. Beberapa
ahli menganggap sebagai melecehkan anak-anak yang telah secara tidak sengaja
dilukai melalui tindakan orang tua, sementara yang lain mensyaratkan bahwa
kerusakan pada anak dimaksudkan agar tindakan tersebut didefinisikan sebagai
pelecehan. (6)

7
2.2 Klasifikasi
Kekerasan terhadap anak dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu:
kekerasan fisik, pelecehan seksual, pelecehan emosional dan lalai. Kekerasan fisik
terhadap seorang anak didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
pengasuh yang menyebabkan kerugian fisik aktual atau berpotensi
membahayakan. (5) Pelecehan seksual terhadap anak yaitu tindakan-tindakan di
mana pengasuh menggunakan anak untuk kepuasan seksual. Pelecehan emosional
termasuk kegagalan pengasuh untuk menyediakan lingkungan yang tepat dan
mendukung, dan termasuk tindakan yang memiliki efek buruk pada kesehatan
emosional dan perkembangan anak. Tindakan tersebut termasuk membatasi
gerakan anak, pencemaran nama baik, cemoohan, ancaman dan intimidasi,
diskriminasi, penolakan dan bentuk-bentuk perlakuan permusuhan nonfisik
lainnya. Kelalaian mengacu pada kegagalan orang tua untuk menyediakan bagi
perkembangan anak di mana orang tua berada dalam posisi untuk melakukannya
dalam satu atau lebih bidang berikut: kesehatan, pendidikan, perkembangan
emosi, nutrisi, tempat tinggal dan kehidupan yang aman kondisi. Dengan
demikian, pengabaian dibedakan dari keadaan kemiskinan karena pengabaian
hanya dapat terjadi dalam kasus-kasus di mana sumber daya yang wajar tersedia
untuk keluarga atau pengasuh.(5)

2.3 Etiologi

Battered child syndrome (BCS) ditemukan di setiap tingkat masyarakat,


meskipun kejadiannya mungkin lebih tinggi di rumah tangga berpenghasilan
rendah, di mana pengasuh orang dewasa mungkin menderita stres dan kesulitan
sosial yang lebih besar dan memiliki lebih sedikit kontrol terhadap situasi stres.(7)
Faktor risiko lain termasuk kurangnya pendidikan, orang tua tunggal, dan
alkoholisme atau kecanduan narkoba. Pelaku anak paling sering melukai anak
karena panasnya amarah atau saat stres.
Peristiwa-peristiwa pemicu umum yang mungkin terjadi sebelum
penyerangan termasuk tangisan atau rengekan bayi atau anak-anak; dirasakan
"kerewelan" yang berlebihan pada bayi atau anak; pelatihan toilet anak yang
gagal; dan persepsi yang berlebihan tentang tindakan "ketidaktaatan" oleh seorang

8
anak.(8) Kadang-kadang tradisi budaya dapat mengarah pada pelecehan, termasuk
kepercayaan bahwa anak adalah milik, bahwa orang tua (terutama laki-laki)
memiliki hak untuk mengendalikan anak-anak mereka dengan cara apa pun yang
mereka inginkan, dan bahwa anak-anak perlu dikuatkan untuk menghadapi
kesulitan hidup. Pelaku anak sering dilecehkan seperti anak-anak itu sendiri dan
tidak menyadari bahwa pelecehan bukanlah teknik disiplin yang tepat. Pelaku
kekerasan juga sering memiliki kontrol impuls yang buruk dan tidak memahami
konsekuensi dari tindakan mereka.(9)

2.4 Epidemiologi
Caffey’s Syndrome atau juga yang dikenal sebagai Battered Child
Syndrome atau Shaken Baby Syndrome banyak terjadi pada anak dibawah usia 3
tahun, dengan insiden kasus tinggi pada anak laki-laki di tahun pertama
kehidupan.1,2 Dijelaskan pula lingkungan social keluarga berhubungan dengan
kejadian dari sindrom ini, seperti pada keluarga yang miskin dan orang tua muda
serta tingkat Pendidikan yang rendah. Angka kematian dari kasus ini berkisar dari
10% sampai 40% dan apabila pasien selamat, pasien akan mengalami sekuel
neurologis seperti gangguan perilaku, gangguan kognitif, kebutaan, atau kejang.1
Pada penelitian lain yang dilakukan di perancis, angka dari kasus ini
adalah 2,9 dari 100.000 kelahiran hidup, dengan pasien paling banyak laki-laki
(78% dari total 37 sampel) dan perempuan 22%, dengan usia rata-rata adalah 4
bulan. Tetapi pada penelitian ini dijelaskan bahwa orang tua dari pasien memiliki
latar belakang social yang terpandang, berbeda dengan pernyataan dari literature
yang dipaparkan di atas.
2.5 Patofisiologi
Pada publikasi NCBI dijelaskan bahwa tindakan kekerasan ini biasanya
diawali oleh kemarahan dan rasa frustasi orang tua terhadap akibat dari beberapa
hal, seperti masalah makan, pada latihan ke toilet, serta masalah medis seperti
nyeri kolik.2
Mekanisme dari kekerasan ini adalah mengguncang tubuh anak sehingga
terjadi gerakan fleksi, ekstensi, dan rotasi yang berulang pada kepala dan leher.
Gerakan cepat ini membuat otak membentur tengkorak serta dapat menyebabkan
perdarahan pada otak dan menghasilkan hematoma. Hematoma yang besar dapat

9
menyebabkan peningkatan tekanan ruang intrakranial sehingga menyebabkan
kerusakan otak yang lebih lanjut. Kekuatan yang berubah-ubah arahnya pada otak
ini dapat menyebabkan jejas pada akson saraf dan menyebabkan jejas difus pada
akson. Kepala dari anak-anak besar dan berat, otot leher masih terlalu lemah
untuk menyangga kepala yang besar. Gerakan fleksi, ekstensi, dan rotasi yang
berulang menyebabkan pergerakan yang berat dan besar. Ketika kekuatan dari
kepala mengenai objek lain, luka lain seperti laserasi, memar, dan fraktur dapat
terlihat, bahkan sedikit saja mengenai benda lembut akan menyebabkan suatu
jejas yang signifikan.2 Akibat dari trauma ini, dimana ada pergerakan akselerasi
dan deselerasi kepala terhadap tubuh, akan terbentuk gangguan dari vena-vena
otak yang nanti berhubungan dengan subdural hematom, pecahnya pembuluh
darah retina dengan akibat perdarahan intraretina, serta jejas akson difus akibat
dari trauma dengan ensefalopati difus.1

Gambar 2.1

2.6 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis dari sindrom battered-child sangat bervariasi dari kasus-
kasus di mana trauma sangat ringan dan sering tidak terduga dan dikenali, mereka
yang menunjukkan bukti paling parah terdapat cedera pada jaringan lunak dan
kerangka. Pada kelompok sebelumnya, tanda dan gejala pasien dapat dianggap
sebagai hasil dari kegagalan untuk berkembang dari beberapa penyebab lain atau
telah dihasilkan oleh gangguan metabolisme, proses infeksi, atau gangguan

10
lainnya. Pada pasien-pasien ini temuan spesifik trauma seperti memar atau
perubahan rontgen khas seperti yang dijelaskan di bawah ini mungkin
disalahartikan dan signifikansinya tidak dikenali.
Sindrom battered-child dapat terjadi pada semua usia, tetapi, secara
umum, anak-anak yang terkena dampak lebih muda dari 3 tahun. Dalam beberapa
kasus, manifestasi klinis terbatas pada yang dihasilkan dari satu episode trauma,
tetapi lebih sering terjadi pada kesehatan umum anak di bawah normal, dan ia
menunjukkan bukti pengabaian termasuk kebersihan kulit yang buruk, beberapa
cedera jaringan lunak, dan kekurangan gizi. Seseorang sering mendapatkan
riwayat episode sebelumnya yang menunjukkan pengabaian atau trauma orangtua.
Perbedaan yang mencolok antara temuan klinis dan data historis yang dipasok
oleh orang tua adalah fitur diagnostik utama sindrom battered-child. Fakta bahwa
tidak ada lesi baru, baik dari jaringan lunak atau tulang, terjadi ketika anak di
rumah sakit atau di lingkungan yang dilindungi memberikan bobot pada diagnosis
dan cenderung untuk mengecualikan banyak penyakit pada sistem kerangka atau
hemopoietik di mana lesi dapat terjadi secara spontan atau setelah trauma ringan.
Hematoma subdural, dengan atau tanpa fraktur tengkorak, merupakan temuan
yang sangat sering bahkan tanpa adanya fraktur tulang panjang. Dalam kasus yang
sesekali orang tua atau orang tua-pengganti juga mungkin telah menyerang anak
dengan memberikan overdosis obat atau dengan mengekspos anak untuk gas alam
atau zat beracun lainnya. Distribusi karakteristik dari multiple ini fraktur dan
pengamatan bahwa lesi berada dalam tahap penyembuhan yang berbeda memiliki
nilai tambahan dalam membuat diagnosis.
Dalam kebanyakan kasus, lesi tulang diagnostik diamati secara insidentil
untuk pemeriksaan untuk tujuan selain evaluasi untuk kemungkinan kekerasan.
Kadang-kadang, pemeriksaan setelah cedera diketahui mengungkapkan tanda-
tanda lain, keterlibatan kerangka. Ketika serangan orang tua sedang
dipertimbangkan, pemeriksaan radiologis dari seluruh kerangka dapat
memberikan konfirmasi objektif. Setelah diagnosis, pemeriksaan radiologis dapat
mendokumentasikan penyembuhan lesi dan mengungkapkan tampilan lesi baru
jika trauma tambahan telah ditimbulkan.

11
Manifestasi radiologis dari trauma pada struktur kerangka yang tumbuh
adalah sama apakah ada riwayat cedera atau tidak. Namun ada keengganan di
pihak banyak dokter untuk menerima tanda-tanda radiologis sebagai indikasi
trauma berulang dan kemungkinan kekerasan. Keengganan ini berasal dari
keengganan emosional dokter untuk menganggap kekerasan sebagai penyebab
kesulitan anak dan juga karena tidak terbiasa dengan aspek-aspek tertentu dari
penyembuhan patah tulang sehingga ia tidak yakin akan pentingnya lesi yang ada.
Kepada dokter yang mendapat informasi, tulang-tulang itu menceritakan suatu
kisah yang anak itu terlalu muda atau terlalu takut untuk menceritakannya.
2.7 Aspek Psikiatri
Pengetahuan psikiatris yang berkaitan dengan masalah anak yang babak
belur sangat sedikit, dan literatur tentang subjek hampir tidak ada. Jenis dan
tingkat serangan fisik sangat bervariasi. Pada satu ekstrim, ada pembunuhan
langsung terhadap anak-anak. Ini biasanya dilakukan oleh orang tua atau kerabat
dekat lainnya, dan, pada orang-orang ini, psikosis yang biasanya mudah terlihat.
Pada ekstrem yang lain adalah kasus-kasus di mana tidak ada bahaya nyata telah
terjadi, dan satu orangtua, lebih sering ibu, datang ke psikiater untuk meminta
bantuan, dipenuhi dengan kecemasan dan rasa bersalah yang terkait dengan
fantasi melukai anak. Kadang-kadang gangguan tersebut telah melampaui titik
fantasi dan telah mengakibatkan tamparan atau tamparan yang parah. Dalam kasus
seperti itu, orang dewasa biasanya responsif terhadap pengobatan; tidak diketahui
apakah gangguan pada orang dewasa ini akan berkembang ke titik di mana
mereka akan menimbulkan trauma yang signifikan pada anak.
Di antara kedua ekstrem ini terdapat sejumlah besar anak-anak yang babak
belur dengan cedera ringan hingga parah yang dapat hilang sepenuhnya atau
mengakibatkan kerusakan permanen atau bahkan kematian setelah serangan
berulang. Deskripsi anak-anak tersebut telah diterbitkan oleh banyak penyelidik
termasuk ahli radiologi, ahli ortopedi, dan pekerja sosial. Yang terakhir telah
melaporkan penelitian mereka tentang investigasi keluarga di mana anak-anak
telah dipukuli dan pekerjaan mereka dalam mempengaruhi penempatan yang
memuaskan untuk perlindungan anak. Dalam beberapa laporan yang diterbitkan
ini, orang tua, atau setidaknya orang tua yang melakukan pelecehan, ditemukan

12
memiliki kecerdasan yang rendah. Seringkali, mereka digambarkan sebagai
karakter psikopat atau sosiopat. Alkoholisme, pergaulan bebas seksual,
perkawinan yang tidak stabil, dan kegiatan kriminal ringan dilaporkan umum di
antara mereka. Mereka tidak dewasa, impulsif, egois, hipersensitif, dan cepat
bereaksi dengan agresi yang tidak terkontrol. Data dalam beberapa kasus
menunjukkan bahwa orang tua penyerang semacam itu sendiri mengalami
beberapa tingkat serangan dari orang tua mereka di masa kecil mereka sendiri.
Menyerang anak-anak, bagaimanapun, tidak dikonfirmasi kepada orang-
orang dengan kepribadian psikopat atau status sosial ekonomi terbatas. Ini juga
terjadi di antara orang-orang dengan pendidikan yang baik dan latar belakang
keuangan dan sosial yang stabil. Namun, dari sedikit data yang tersedia, akan
terlihat bahwa dalam kasus-kasus ini, juga, ada cacat dalam struktur karakter yang
memungkinkan impuls agresif untuk diekspresikan terlalu bebas. Ada juga
beberapa saran bahwa orang tua yang diserang menjadi sasaran pelecehan serupa
di masa kecil. Tampaknya salah satu faktor terpenting yang dapat ditemukan
dalam keluarga di mana serangan orangtua terjadi adalah "melakukan kepada
orang lain seperti yang telah Anda lakukan". Ini tidak mengejutkan; Sudah lama
diakui oleh para psikolog dan antropolog sosial bahwa pola-pola membesarkan
anak, baik dan buruk diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam
bentuk yang relatif tidak berubah.
Secara psikologis, seseorang dapat menggambarkan fenomena ini sebagai
identifikasi dengan orang tua yang agresif, identifikasi ini terjadi meskipun
keinginan kuat orang tersebut berbeda. Tidak jarang bayi yang dipukuli adalah
produk dari kehamilan yang tidak diinginkan, kehamilan yang dimulai sebelum
menikah, terlalu cepat setelah menikah, atau pada suatu saat merasa sangat tidak
nyaman. Terkadang beberapa anak dalam satu keluarga telah dipukuli; di lain
waktu satu anak dipilih untuk diserang sementara yang lain diperlakukan dengan
cukup penuh kasih. Kami juga telah melihat contoh di mana jenis kelamin anak
yang diserang parah terkait dengan faktor yang sangat spesifik dalam konteks
neurosis orang tua yang kasar.
Seringkali sulit mendapatkan informasi bahwa seorang anak telah diserang
oleh orang tuanya. Yang pasti, beberapa karakter yang sangat sosiopat akan

13
berkata, “Ya, Johnny tidak akan berhenti menangis jadi saya memukulnya. Terus?
Dia menangis lebih keras jadi saya memukulnya lebih keras ”. Kadang-kadang
salah satu pasangan akan menunjukkan bahwa yang lain adalah orang yang
menyerang, tetapi lebih sering ada penolakan penuh dari pengetahuan tentang
cedera pada anak dan pemeliharaan sikap tidak bersalah sepenuhnya pada pihak
kedua orang tua. Sikap seperti itu dipertahankan meskipun fakta bahwa bukti
serangan fisik jelas dan bahwa trauma tidak mungkin terjadi dengan cara lain.
Penyangkalan oleh orang tua atas keterlibatan apa pun dalam episode pelecehan
itu, kadang-kadang, bisa menjadi alat pelindung yang disadari, tetapi dalam kasus
lain itu bisa berupa penolakan berdasarkan represi psikologis. Jadi, seorang ibu
yang tampaknya adalah orang yang melukai bayinya memiliki amnesia total untuk
episode-episode di mana serangannya meledak dengan sangat mencolok.
Selain keengganan orang tua untuk memberikan informasi mengenai
serangan terhadap anak-anak mereka, ada faktor lain, yang sangat penting dan
sangat menarik karena berkaitan dengan kesulitan dalam menggali masalah
pengabaian dan pelecehan orang tua. Ini adalah fakta bahwa dokter mengalami
kesulitan besar dalam mempercayai bahwa orang tua dapat menyerang anak-anak
mereka dan dalam melakukan pertanyaan penting dari orang tua mengenai hal ini.
Banyak dokter merasa sulit untuk percaya bahwa serangan seperti itu dapat terjadi
dan mereka berusaha untuk menghilangkan kecurigaan seperti itu dari pikiran
mereka, bahkan dalam kenyataan bukti nyata yang jelas. Alasannya tidak
dipahami dengan jelas. Salah satu kemungkinan adalah bahwa gairah antipati
dokter dalam menanggapi situasi seperti itu sangat besar sehingga lebih mudah
bagi dokter untuk menyangkal kemungkinan serangan seperti itu daripada harus
berurusan dengan kemarahan berlebihan yang melonjak dalam dirinya ketika dia
menyadari bahwa kebenaran situasi. Selain itu, pelatihan dan kepribadian dokter
biasanya membuatnya cukup sulit baginya untuk berperan sebagai polisi atau
pengacara distrik dan mulai menanyai pasien seolah-olah dia sedang menyelidiki
kejahatan. Seorang ilmuan yang berpikiran kemanusiaan menemukan kesulitan
untuk melanjutkan ketika ia bertemu dengan protes tidak bersalah dari orang tua
yang agresif, terutama ketika anak yang babak belur itu dibawa kepadanya secara
sukarela.

14
Meskipun teknik di mana dokter memperoleh informasi yang diperlukan
dalam kasus pemukulan anak tidak terpecahkan secara memadai, rute-rute tertentu
dari pertanyaan telah berhasil dalam beberapa kasus. Pasangannya mungkin
ditanyai tentang pasangan lainnya sehubungan dengan perilaku yang tidak biasa
atau ingin tahu atau untuk deskripsi langsung dari berurusan dengan bayi.
Petunjuk tentang karakter dan pola respons orang tua dapat diperoleh dengan
bertanya pada bayi. Petunjuk tentang karakter dan pola respons orang tua dapat
diperoleh dengan mengajukan pertanyaan tentang sumber kekhawatiran dan
ketegangan. Mengungkap jawaban dapat ditimbulkan oleh pertanyaan tentang
bayi seperti, “Apakah dia banyak menangis? Apakah dia keras kepala? Apakah
dia patuh? Apakah dia makan dengan baik? Apakah Anda memiliki masalah
mengendalikannya? ”Beberapa pertanyaan umum mengenai gagasan orang tua
sendiri tentang bagaimana mereka sendiri dibesarkan dapat menghasilkan jawaban
yang menerangi; wawancara dengan kakek-nenek atau kerabat lain dapat
memperoleh data sugestif tambahan. Dalam beberapa kasus, tes psikologis dapat
mengungkapkan kecenderungan agresif yang kuat, perilaku impulsif, dan
kurangnya mekanisme yang memadai untuk mengendalikan perilaku impulsif.
Dalam kasus lain hanya kontak jangka panjang di lingkungan psikoterapi yang
akan mengarah pada pemahaman lengkap tentang latar belakang dan keadaan
sekitar serangan orangtua. Pengamatan oleh perawat atau personel tambahan
lainnya tentang perilaku orang tua sehubungan dengan bayi yang dirawat di
rumah sakit seringkali sangat berharga.
2.8 Tatalaksana
Hal yang terpenting yang harus dilakukan oleh dokter adalah membuat
diagnosis yang benar, agar terapi yang tepat dapat diberikan agar kejadian serupa
tidak akan terulang kembali. Kemungkinan trauma yang disengaja dapat
dilaporkan kepada polisi atau komunitas yang dapat melindungi anak-anak.
Laporan yang disampatkan harus terbatas pada penemuan objektif yang
ditemukan dan sebaiknya didukung oleh bukti-bukti seperti foto.
Tatalaksana medis yang diberikan pada korban battered child syndrome
akan bervariasi sesuai dengan jenis cedera yang terjadi. Konseling dan
implementasi rencana intervensi juga diperlukan untuk orangtua ataupun wali

15
korban. Selain itu pengembalian korban ke rumah atau tempat terjadinya trauma
sebaiknya tidak dilakukan karena hal tersebut akan menimbulkan trauma
tambahan dari segi psikologis pada korban. Penempatan korban sementara pada
relatif yang lain ataupun rumah asuh yang diawasi dapat dilakukan.

2.9 Prognosis
Prognosis dari battered child syndrome bergantung sesuai dengan tingkat
keparahan dari cedera yang dialami korban, kebijakan yang diambil oleh otoritas
untuk menjamin keamanan korban di masa yang akan datang, dan kesediaan
orangtua ataupun wali untuk mendapatkan konselin baik untuk mereka sendiri dan
untuk anak mereka.
2.10 Pencegahan
Mengenali adanya kemungkinan battered child syndrome akan terjadi dan
tawarkan konseling ataupun intervensi sebelum battered child syndrome adalah
pencegahan terbaik yang dapat dilakukan. Tanda bahwa seorang anak memiliki
risiko terjadinya kekerasan fisik ialah penyalahgunaan alkohol ataupun zat
terlarang oleh orangtua ataupun wali, terdapat riwayat penganiayaan pada anak
ataupun saudaranya, terdapat riwayat masalah psikologis pada orangtua, orangtua
mengalami kekerasan sewaktu kanak-kanak, higenitas pada anak yang sangat
kurang.

2.11 Aspek Medikolegal


Caffey’s Syndrome adalah salah satu sindroma fatal akibat dari child
abuse, sehingga aspek medikolegal pada Caffey’s Syndrome merupakan aspek
medikolegal terkait child abuse. Tenaga profesional kesehatan seringkali menjadi
pihak pertama yang menemukan kasus child abuse, baik pada saat ia melakukan
prakteknya di institusi kesehatan atau di tempat praktek pribadi, atau juga pada
saat ia melakukan kunjungan ke lapangan. Demikian pula tenaga profesional
pendidikan, pengasuh anak, konselor, dan agamawan. Merekalah yang seharusnya
dapat mendeteksi dini dan menangani atau merujuk kasus child abuse sesuai
dengan prosedur dalam sistem perlindungan anak yang berlaku. Namun demikian
fakta menunjukkan bahwa angka kejadian child abuse yang dilaporkan dan
tercatat di Indonesia sangatlah rendah dibandingkan dengan di negara-negara lain.

16
Hal ini membawa asumsi bahwa kasus child abuse yang tercatat adalah hanya
merupakan ujung atas/kecil dari gunung es yang sebenarnya ada di dalam
masyarakat (iceberg phenomenon).1
Para ahli pendidikan kedokteran melihat sistem pendidikan kedokteran dan
kesehatan yang diberlakukan saat ini cenderung untuk menghasilkan tenaga
kesehatan yang bersikap hanya melihat sisi medis pasien saja. Padahal pada bnyak
kasus, termasuk kasus child abuse, masalah utamanya bukan masalah medis,
melainkan masalah hukum dan psiko-sosial. Oleh karena itu pendekatan
mutidisipliner harus diterapkan untuk dapat menangani kasus child abuse secara
komprehensif.1
Tenaga kesehatan dituntut untuk memahami juga bidang kerja disiplin lain
yang terkait dengan masalah child abuse, seperti aspek kesehatan masyarakat dan
keluarga, aspek etik dan hukum, aspek psikososial, ataupun aspek budaya.
Pemahaman tentang aspek-aspek lain di luar kesehatan dan kedokteran diharapkan
akan mempererat dan mengefektifkan kerjasama tim yang multidisipliner
tersebut.1
Seluruh pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan penganiayaan
(pasal. 351, 352, 353, 354, 355 KUHP) juga berlaku bagi penganiayaan terhadap
anak, bahkan memberinya pemberatan pidana (pasal 356 KUHP) bagi pelaku
tindak pidana pasal 351, 353, 354, dan 355 yang merupakan orangtua korban.
Pasal 80 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak memberikan ancaman pidana
yang lebih berat untuk itu. Pidana juga diberikan kepada mereka yang karena
kelalaiannya telah mengakibatkan seseorang (anak) luka, luka berat atau mati
(pasal 359, 360 KUHP), bahkan memberikan pemberatan bila dilakukan oleh
orang yang sedang melakukan jabatan/pekerjaannya (termasuk pekerjaan di
bidang kesehatan) (pasal 361 KUHP).1
Berikut penjabaran isi tiap pasal pada kitab UU Hukum Pidana (KUHP)
yang yang berkaitan dengan jenis dan akibat pencederaan anak serta UU 23/2002
tentang Perlindungan Anak:1
 Pasal 351 KUHP
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

17
rupiah;

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun; 

(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling
lama tujuh tahun; 

 Pasal 352 KUHP
(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan
yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan
pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam sebagai penganiayaan ringan,
dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja
padanya, atau menjadi bawahannya. 

 Pasal 353 KUHP
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun. 

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. 

 Pasal 354 KUHP
(1) Barangsiapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena
melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun. 

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. 

 Pasal 355 KUHP
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
 Pasal 356 KUHP

18
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat
ditambah dengan sepertiga:
(1) Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang
sah, isterinya atau anaknya; 

(2) Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau
karena menjalankan tugasnya yang sah; 

(3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dilaksanakan atau diminum.

 Pasal 80 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekertasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana
penjara paling lama tiga tahun enam bulan dan/atau denda paling banyak
tujuh puluh dua juta rupiah. 

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat,
maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun
dan/atau denda paling banyak seratus juta rupiah. 

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun
dan/atau denda paling banyak dua ratus juta rupiah. 

(4) Pidana ditambah dengan sepertiga dari ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan
penganiayaan tersebut orang tuanya.
 Pasal 359 KUHP
Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
kurungan paling lama satu tahun.
 Pasal 360 KUHP
(1) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebutkan orang
lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang

19
lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan
menjalankan pekerjan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana
kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat
ribu lima ratus rupiah.
 Pasal 361 KUHP
Jika kejahatan yang diterangkan dalam BAB ini dilakukan dalam
melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat
ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari
pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim
dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan.
Peran para dokter adalah menemukan kasus kekerasan terhadap anak dan
menolong anak tersebut beserta keluarganya dalam menempuh proses pemulihan.
Untuk mencapai peran tersebut para dokter dan tenaga kesehatan harus
memperoleh pelatihan khusus agar dapat memiliki kemampuan yang dibutuhkan,
serta membentuk tim yang multidisiplin guna menangani child abuse. Dalam hal
ini anak adalah pasiennya, sehingga segala yang terbaik buat si anak adalah
perhatian utama dokter.1
Dalam menemukan kasus child abuse, tindakan dini yang dilakukan dapat
meliputi:1
a. Melaporkan kasus tersebut ke Komisi Perlindungan Anak
b. Merawat inap korban child abuse yang membutuhkan perlindungan pada
tahap evaluasi awal
c. Memberitahukan diagnosis dan diferensial diagnosis anak kepada orang tua
anak secara objektif tanpa bersifat menuduh

Evaluasi medis pada kasus dugaan kekerasan fisik terhadap anak sebaiknya
meliputi:1
a. Riwayat cedera
b. Pemeriksaan fisik
c. Survei radiologis terhadap trauma
d. Pemeriksaan kelainan perdarahan
e. Pemotretan berwarna

20
f. Pemeriksaan fisik saudara kandungnya
g. Laporan medis tertulis resmi
h. Skrining perilaku
i. Skrining tumbuh kembang pada bayi dan anak pra-sekolah

Disebutkan pula bahwa penanganan medis kasus kekerasan seksual


terhadap anak meliputi 3 hal:1
a. Pengobatan trauma fisik dan psikologis
b. Pengumpulan dan pemrosesan bukti (evidence)
c. Penanganan dan/atau pencegahan kehamilan dan penyakit hubungan
seksual.
Profesional kesehatan dalam menangani anak dugaan korban kekerasan
terhadap anak sedapat mungkin mencari bukti fisik (physical evidence) yang
nantinya dapat digunakan dalam upaya pembuktian di pengadilan. Penelitian
dapat dilakukan dengan melakukan anamnesis yang mendalam, pemeriksaan fisik
yang teliti, pemeriksaaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya, serta
uji psikologis dan psikiatris yang diperlukan.1
Pasal 108 KUHAP memberikan hak kepada setiap orang untuk
melaporkan adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) apabila ia
mengetahuinya sebagai saksi, dan memberikan kewajiban bagi pegawai negeri
yang mengetahui adanya tindak pidana (termasuk kekerasan terhadap anak) pada
waktu ia menjalankan tugasnya.1
Pasal 78 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan
ancaman pidana bagi setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat (termasuk anak korban kekerasan) padahal anak tersebut
memerlukan pertolongan dan harus dibantu.1
Kewajiban moral dan hukum bagi para profesional kesehatan yang
mengetahui adanya korban kekerasan terhadap anak, untuk menindaklanjutinya
sesuai prosedur termasuk melaporkannya ke Komisi Perlindungan Anak
setempat.1

21
BAB 3
KESIMPULAN

1. Battered baby syndrome juga dikenal sebagai sindrom pelecehan anak,


sindrom Caffey adalah bayi yang telah menerima cedera fisik berulang
sebagai akibat dari kekerasan yang tidak disengaja, yang dihasilkan oleh
orang tua atau wali.
2. Sindrom battered-child dapat terjadi pada semua usia, tetapi, secara umum,
anak-anak yang terkena dampak lebih muda dari 3 tahun dengan
manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan hingga berat.
3. Gambaran klasik sindrom ini adalah perbedaan yang jelas antara sifat
cedera dan penjelasan yang diberikan oleh orang tua, dan keterlambatan
antara cedera, dan perhatian medis yang tidak dapat dijelaskan.
4. Aspek medikolegal pada Caffey’s Syndrome merupakan aspek
medikolegal terkait child abuse
5. Seluruh pasal-pasal dalam KUHP yang berkaitan dengan penganiayaan
(pasal. 351, 352, 353, 354, 355 KUHP) juga berlaku bagi penganiayaan
terhadap anak, bahkan memberinya pemberatan pidana (pasal 356 KUHP)
bagi pelaku tindak pidana pasal 351, 353, 354, dan 355 yang merupakan
orangtua korban

22
DAFTAR PUSTAKA

23

Anda mungkin juga menyukai