Anda di halaman 1dari 121

EVALUASI INTERAKSI OBAT POTENSIAL

PADA PENGOBATAN PASIEN STROKE HEMORAGIK


DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG, JAKARTA BARAT

SKRIPSI
Disusun Guna Melengkapi Syarat
Dalam Mencapai Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)

Disusun Oleh :

IRZA ANISA FITRI


201251095

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI AL-KAMAL
JAKARTA
2016
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini,

Nama : Irza Anisa Fitri

NIM : 201251095

Program Studi : Farmasi

Judul Skripsi : EVALUASI INTERAKSI OBAT POTENSIAL PADA


PENGOBATAN PASIEN STROKE HEMORAGIK DI
RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH CENGKARENG, JAKARTA BARAT
PERIODE JANUARI – JUNI 2015.

Dengan ini menyatakan skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua
sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.

Penulis,

Irza Anisa Fitri

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Nama : Irza Anisa Fitri


NIM : 201251095
Program Studi : Farmasi
Pembimbing I : Ivans Panduwiguna, S.Si., M.Farm., Apt.
Pembimbing II : Nabil Anas Yamin, S.Si., M.Farm., Apt.
Judul : Evaluasi Interaksi Obat Potensial Pada Pengobatan Pasien
Stroke Hemoragik Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit
Umum Daerah Cengkareng, Jakarta Barat Periode Januari –
Juni 2015.
PENGUJI
No Nama Kedudukan
1 Dr. Tisno Suwarno, Apt., DEA Ketua
2 Febri Hidayat, S.Si., MBA., Apt Anggota
3 Nur Cholis Majid, S.Farm Anggota
4 Dewi Rahma Fitri, S.Farm Anggota
Tanggal Sidang : 21 Maret 2016
Tanggal Lulus : 21 Maret 2016

Mengetahui,
Pembimbing I Pembimbing II

Ivans Panduwiguna, S.Si., M.Farm., Apt Nabil Anas Yamin, S.Si., M.Farm., Apt

Ketua Program Studi

Taufani Tasmin, S.Si., M.M., Apt

iii
Persembahan

“Dia memberikan hikmah (ilmu yang berguna) kepada siapa yang dikehendaki-

Nya. Barang siapa yang mendapat hikmah itu sesungguhnya ia telah mendapat

kebajikan yang banyak. Dan tiadalah yang menerima peringatan melainkan

orang-orang yang berakal”. (Q.S. Al-Baqarah : 269)

“Hidup adalah sebuah tantangan maka hadapilah. Hidup adalah sebuah lagu,

maka nyanyikanlah. Hidup adalah sebuah mimpi maka sadarilah. Hidup adalah

sebuah permainan, maka mainkanlah. Hidup adalah cinta, maka nikmatilah”.

(Bhagawan Sri Shtya Sai Baba)

“Pendiidikan adalah senjata paling ampuh yang dapat kamu gunakan untuk

mengubah duni”. (Nelson Mandel)

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin

Ya Allah...

Terima kasih atas nikmat dan rahmat-Mu yang agung ini. Sebuah perjalanan

yang panjang dan gelap telah Kau berikan cahaya terang, meskipun hari esok

penuh dengan teka-teki dan tanda tanya.

iv
Ibunda dan Ayahanda,

Inilah kata-kata yang mewakili seluruh rasa, sungguh ananda tak mampu

menggantikan kasihmu dengan apapun, tiada yang dapat ananda berikan agar

setara dengan pengorbananmu pada ananda, kasih sayangmu tidak pernah

bertepi cintamu tidak pernah berujung, tiada kasih seindah kasihmu, tiada cinta

semurni cintamu, kepadamu ananda persembahkan salam yang harumnya

melebihi kasturi, yang sejuknya melebihi embun pagi, hangatnya seperti mentari

di waktu dhuha, salam suci sesuci air telaga kautsar yang jika diteguk akan

menghilangkan dahaga. Selalu menjadi penghormatan kasih dan cinta yang

tidak pernah pudar dan berubah dalam segala musim dan peristiwa.

Kini sambutlah ananda di depan pintu tempat dimana dulu ananda mencium

tanganmu dan terimalah keberhasilan berwujud gelar persembahan sebagai bukti

cinta dan tanda bakti ananda.

Kupersembahkan karya kecil ini kepada,

Ayahanda dan Ibunda, terima kasih telah menjadi cahaya hidup yang

senantiasa ada saat suka dan duka, selalu setia mendampingi, selalu setia

memberi dukungan yang selalu memanjatkan doa untuk putri tercinta dalam

setiap sujud.

v
Adik-Adikku, Terima kasih atas doa, semangat, tawa dan canda yang selalu

menguatkan.

Keluargaku, terima kasih untuk doa dan dukungan yang selalu menguatkan.

Almarhum Kakek, Terima kasih telah hadir dalam kehidupan ini dan menjadi

inspirasi bagi semua, aku merindukanmu.

vi
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat

Rahmat dan Karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang

berjudul “Evaluasi Interaksi Obat Potensial Pada Pengobatan Pasien Stroke

Hemoragik Di Ruang Rawat Inap RSUD Cengkareng Periode Januari-Juni 2015”.

Skripsi ini dibuat sebagai syarat dalam menyelesaikan jenjang pendidikan Strata-1

pada Program Studi S1 Farmasi di Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal.

Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis mendapatkan bimbingan, dukungan dan

saran dari berbagai pihak secara langsung maupun tidak langsung telah

memberikan sumbangsih baik berupa tenaga, pikiran, dorongan moril maupun

bantuan lain.

Untuk itu, pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih

kepada :

1. Dr. Ing. Drs. H. Barnas Holil, DEA. Selaku Rektor Institut Sains dan

Teknologi Al-Kamal.

2. Taufani Tasmin, S.Si., M.M., Apt. Selaku Kepala Program Studi Farmasi

Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal, Jakarta.

3. Ivans Panduwiguna, S.Si., M.Farm., Apt. Selaku Pembimbing I.

4. Nabil Anas Yamin, S.Si., M.Farm., Apt. Selaku Pembimbing II.

5. David Rianto, S.Farm. Selaku Pembimbing III.

vii
6. Seluruh Dosen Program Studi Farmasi ISTA

7. Seluruh Dosen dan segenap jajaran staf dan karyawan akademik Institut

Sains dan Teknologi Al-Kamal.

8. Kedua orang tua tercinta Ayah Johan Syafri dan Ibu Rita Nelida serta

adik-adik saya Novtu Anjar Syah, Laila Antika dan Adrian Firnando.

9. Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, Jakarta Barat.

10. Tim Stroke (Keluarga Syahrini) Ressi Heniranti, Endang Purwanti, Cicih

Juita, Irma Sari Situmorang dan Lastri Erlintang.

11. Sahabatku Erti Rahma Sari dan sepupuku Dina Elpina Sari, terima kasih

atas kontribusinya dalam pengerjaan skripsi ini.

12. Seseorang yang dijanjikan Ilahi, terimakasih telah menjadi baik dan

bertahan disana.

13. Semua Mahasiswa angkatan 2012 Program Studi Farmasi ISTA.

Jakarta, April 2016

Penulis

viii
DAFTAR ISI

Halaman

COVER .................................................................................................................. i

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii

LEMBAR PERSEMBAHAN ............................................................................ iv

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv

ABSTRAK .......................................................................................................... xv

ABSTRACT ....................................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ...................................................................................... 3

1.3 Batasan Masalah ........................................................................................... 3

1.4 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 3

1.5 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5

ix
2.1 Stroke ............................................................................................................ 5

2.1.1 Definisi ................................................................................................ 5

2.1.2 Etiologi ................................................................................................ 5

2.1.3 Prognosis ............................................................................................. 7

2.1.4 Patofisiologi ........................................................................................ 8

2.1.5 Pencegahan Primer Pada Stroke ........................................................ 12

2.1.6 Manifestasi Klinik ............................................................................. 29

2.1.7 Manajemen Prahospital Pada Stroke Akut ........................................ 29

2.1.8 Diagnosis ........................................................................................... 32

2.1.9 Penatalaksanaan Umum Stroke Akut ................................................ 35

2.1.10 Kedaruratan Medik Stroke Akut ....................................................... 46

2.1.11 Penatalaksanaan Khusus Stroke Akut ............................................... 50

2.1.12 Restorasi dan Rehabilitasi Stroke ...................................................... 72

2.2 Interaksi Obat .............................................................................................. 80

2.2.1 Mekanisme Kerja Interaksi Obat ....................................................... 80

2.2.2 Implikasi Klinis Interaksi Obat ......................................................... 87

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 91

3.1 Desain Penelitian ...................................................................................... 91

x
3.2 Populasi dan Sampel ................................................................................ 91

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 91

3.4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 91

3.5 Alur Penelitian ...........................................................................................92

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 93

4.1 Hasil ............................................................................................................ 93

4.1.1 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Jenis Kelamin ...................... 93

4.1.2 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Usia ..................................... 94

4.1.3 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Riwayat Penyakit ................ 94

4.1.4 Jumlah Kejadian Interaksi Obat Potensial .........................................95

4.2 Pembahasan ................................................................................................ 96

4.2.1 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Jenis Kelamin ...................... 96

4.2.2 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Usia ..................................... 96

4.2.3 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Riwayat Penyakit ................ 97

4.2.4 Jumlah Kejadian Interaksi Obat Potensial ........................................ 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 101

5.1 Kesimpulan ................................................................................................101

5.2 Saran ......................................................................................................... 102

xi
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 103

LAMPIRAN ...................................................................................................... 105

xii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Bukti Penelitian di RSUD Cengkareng ......................................... 104

Lampiran 2. Contoh Pengolahan Data ............................................................... 105

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Jenis Kelamin ............... 92

Tabel 2. Data Pasien Stroke hemoragik Berdasarkan Usia ................................ 93

Tabel 3. Data Pasien Berdasarkan Riwayat Penyakit Terdahulu ....................... 93

Tabel 4. Jumlah Kejadian Interaksi Obat Potensial ........................................... 94

Tabel 5. Data Interaksi Obat Beserta Efek Yang Mungkin Ditimbulkan .......... 97

xiv
EVALUASI INTERAKSI OBAT POTENSIAL
PADA PENGOBATAN PASIEN STROKE HEMORAGIK
DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG, JAKARTA BARAT.
PERIODE JANUARI – JUNI 2015.

IRZA ANISA FITRI


201251095

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian evaluasi interaksi obat potensial pada pengobatan


pasien stroke hemoragik di ruang rawat inap rumah sakit umum daerah
Cengkareng, Jakarta Barat. Penelitian ini menggunakan data rekam medik pasien
stroke hemoragik yang berjumlah 25 data pasien stroke hemoragik. Metode yang
digunakan adalah deskriptif dengan teknik retrospektif dan dengan jenis data
sekunder rekam medik pasien stroke hemoragik. Hasil penelitian berdasarkan
jenis kelamin terdapat 13 pasien perempuan dan 12 pasien pasien laki-laki dengan
persentase 52% pasien perempuan dan 48% pasien laki-laki. Berdasarkan usia
80% pasien berusia 45-65 tahun, 12% pasien berusia dibawah 45 tahun dan 8%
pasien berusia diatas 65 tahun. Berdasarkan riwayat penyakit terdahulu yang
diderita pasien stroke hemoragik yaitu, 16% penderita hipertensi, 8% penderita
hipertensi dan diabetes, 4% penderita hipertensi dan stroke iskemik, 4% penderita
hipertensi disertai jantung dan diabetes, 20% adalah pasien stroke hemoragik yang
riwayat penyakitnya tidak terdata. Persentase kejadian interaksi obat potensial
pada pasien stroke hemoragik adalah 20% dari total sampel.

Kata Kunci : interaksi obat, stroke hemoragik

xv
EVALUATION OF POTENSIAL DRUG INTERACTIONS IN THE
TREATMENT OF HEMORRHAGIC STROKE PATIENTS IN THE
INPATIENTS UNIT OF CENGKARENG GENERAL HOSPITAL
JAKARTA BARAT.
PERIODE JANUARI – JUNI 2015

IRZA ANISA FITRI


201251095

ABSTRACT

Has conducted research evaluation of potensial drug interaction in the treatment of


hemorrhagic stroke patients in the inpatient unit of Cengkareng general hospital.
This study used data hemorrhagic stroke patients. The method used is descriptive
with retrospective techniques and the type of secondary data medical records of
patients of hemorrhagic stroke. The result based on gender, there were 13 female
patients and 12 male patients with a percentage of 52% female and 48% male
patients. Based on age 80% aged 45 – 65 years old, 12% under 45 years old and
8% over than 65 years old. Based on patients illness history of hemorrhagic
stroke, hypertension 16%, 8% of hypertension and diabetes, 4% of hypertension
and ischemic stroke, 4% of hypertension accompanied by diabetes and heart
disease, 20% are hemorrhagic stroke patiens who medical story is not recorded.
The percentage incidence of potential drug interactions in petients with
hemorrhagic stroke was 20 % from total sample.

Keyword : drug interactions, hemorrhagic stroke

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

World Health Organization (WHO) menetapkan bahwa stroke

merupakan suatu sindrom klinis dengan gejala berupa gangguan fungsi

otak secara fokal atau global yang dapat menimbulkan kematian atau

kelainan yang menetap lebih dari 24 jam, tanpa penyebab lain kecuali

gangguan vascular (Rasyid & Soertidewi, 2007). Menurut Hickey

(1997), stroke adalah suatu keadaan terputusnya atau terhentinya aliran

darah ke otak secara tiba-tiba yang mengakibatkan kerusakan dan

gangguan fungsi pergerakan, perasaan, memori, perabaan dan bicara,

yang bersifat sementara atau menetap.

Di Amerika Serikat, kejadian stroke akut pada tahun 2008

diperkirakan sekitar 600.000 (76,9%) orang per tahun dan stroke

berulang sekitar 180.000 (23,1%) orang per tahun. Dengan total insiden

sekitar 780.000 orang pertahun, stroke merupakan penyebab kematian

ketiga di Amerika setelah penyakit jantung dan kanker dan merupakan

penyebab kecacatan utama pada orang dewasa. Dari kasus di Amerika

tersebut, diperkirakan setiap 40 detik seseorang mengalami stroke dan

1
2

estimasi biaya mencapai lebih dari lima puluh juta dollar pertahun

(Courtney & Flier, 2009).

Di Indonesia, tercatat sekitar 800-1000 kasus stroke baru pertahun.

Berdasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 dan Survey

Kesehatan Nasional (SURKENNAS) 2001, penyakit utama penyebab kematian

adalah penyakit system sirkulasi dengan proporsi sebesar 24,4%, sedangkan

berdasarkan laporan Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia (Dirjen Yanmed Depkes RI) penyakit utama penyebab

kematian di rumah sakit adalah stroke (Hartono et al.,2001).

Sementara itu, interaksi obat yang merugikan menyebabkan ribuan orang

harus dirawat di rumah sakit di Amerika Serikat setiap tahun. Penelitian selama

satu tahun di sejumlah apotek menunjukkan bahwa di sejumlah apotek

menunjukkan bahwa hampir satu dari empat pasien yang yang mendapatkan resep

pernah mengalami interaksi obat yang berarati pada suatu saat tertentu dalam

tahun tersebut. Interaksi yang sering terjadi adalah interaksi yang meningkatkan

toksisitas atau turunnya efek terapi pengobatan sehingga pasien tidak merasa sehat

kembali atau tidak cepat sembuh sebagaimana seharusnya (Richard, 1984).

Berdasarkan data diatas dilakukan penelitian terkait stroke hemoragik

dengan judul “Evaluasi Interaksi Obat Potensial Pada Pengobatan Pasien Stroke

Hemoragik Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng,

Jakarta Barat”.
3

1.2 Perumusan Masalah

Bagaimana gambaran tentang interaksi obat potensial pada pengobatan

pasien stroke hemoragik di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah

Cengkareng, Jakarta Barat Periode Januari – Juni 2015?

1.3 Batasan Masalah

Interaksi obat dalam penelitian ini adalah interaksi obat potensial yang

mungkin terjadi akibat adanya obat lain. Obat yang dimaksud adalah obat – obat

yang digunakan pada pengobatan stroke hemoragik di RSUD Cengkareng.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui riwayat penyakit terdahulu pasien stroke hemoragik.

2. Mengetahui obat-obat yang diberikan pada pasien hemoragik yang

dapat menimbulkan interaksi obat.

3. Mengetahui persentasi kejadian interaksi obat potensial yang

ditimbulkan pada pasien.

4. Mengetahui kemungkinan efek yang ditimbulkan dari interaksi obat

potensial pada pengobatan stroke hemoragik.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui interaksi obat pada

penanganan keadaan stroke hemoragik dan gambaran penanganan yang harus


4

diperhatikan oleh tenaga medis terkait timbulnya interaksi obat dalam penanganan

pasien stroke hemoragik.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke

2.1.1 Definisi

Definisi stroke menurut WHO Task Force in Stroke and Other

Cerebrovascular Disease (1989) adalah suatu gangguan disfungsi neurologis akut

yang disebabkan peredaran darah, dan terjadi secara mendadak (dalam beberapa

detik) atau setidak – tidaknya secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala-

gejala dan tanda-tanda yang sesuai dengan daerah fokal otak yang terganggu

(WHO, 1989)

Stroke adalah keadaan dimana terjadinya penurunan sistem syaraf utama

secara tiba-tiba yang berlangsung selama 24 jam dan diperkirakan berasal dari

pembuluh darah. Serangan iskemia sementara atau Transient Ischemic Attacks

(TIAs) adalah iskemia sistem syaraf utama menurun selama kurang dari 24 jam

dan biasanya kurang dari 30 menit (Iso farmakoterapi, 2009).

2.1.2 Etiologi

Faktor resiko stroke diklasifikasikan menjadi 3 bagian berdasarkan potensi

yang dapat dimodifikasi dan kekuatan pembuktiannya, yaitu :

5
6

a. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain : usia, jenis kelamin,

ras, riwayat keluarga, berat badan saat lahir yang rendah.

b. Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi, antara lain : hipertensi

(hipertensi merupakan penyebab utama stroke iskemik di dunia), atrial

fibrilasi, penyakit kardiovaskular yang lain, diabetes, dislipidemi, paparan

asap rokok (pada pasien yang meninggal akibat stroke pada usia di bawah 65

tahun, dua per tiganya berhubungan dengan kebiasaan merokok), alkohol,

sickle cell disease stenosis arteri carotid, terapi hormon postmenopause, faktor

gaya hidup yang berhubungan dengan resiko stroke (obesitas, kurang

bergerak, kurang konsumsi makanan dan kurang baiknya distribusi lemak

tubuh).

c. Faktor resiko yang berpotensi dapat dimodifikasi, antara lain : metabolic

syndrome, penyalahgunaan obat dan alkohol, penggunaan kontrasepsi oral,

migrain, faktor inflamasi (fibrinogen dapat meningkatkan resiko),

hiperkromosistein, peningkatan lipoprotein yang berhubungan dengan

hiperkoagulabilitas fosfolipase dan infeksi.

Faktor resiko stroke spesifik di Indonesia lebih besar terjadi pada laki-laki,

pada usia yang semakin tua, tingkat pendidikan yang rendah, tidak bekerja,

riwayat pernah (mantan perokok) atau kadang-kadang merokok, menderita

diabetes mellitus (DM), hipertensi, obesitas abdominal dan mengalami gangguan

mental emosional (stress). Sedangkan menurut hasil analisis multivariat, faktor

resiko yang paling berhubungan dengan kejadian stroke di Indonesia atau peluang

6
7

terkena stroke terbesar adalah pada DM yang diikuti gangguan mental emosional,

hipertensi, riwayat pernah (mantan perokok) atau merokok kadang-kadang,

obesitas abdominal dan merokok setiap hari.

2.1.3 Prognosis

Prognosis stroke iskemik lebih baik dibandingkan dengan stroke

hemoragik dari segi survivals edangkan dari segi fungsi pemulihan (recovery),

prognosis stroke hemoragik lebih baik dibandingkan stroke iskemik. Penilaian

prognosis yang akurat mengenai keparahan dan prediksi berkaitan dengan stroke,

penting untuk pasien dan keluarganya untuk menentukan kebutuhan dan

manajemen stroke jangka panjang. Kegagalan dalam mengklasifikasikan stroke

pasien berdasarkan prognosis berpengaruh terhadap rehabilitasi stroke. Banyak

kajian mengenai beberapa indikator prognosis stroke yang telah diperoleh. Secara

umum, indikator prognosis didasarkan pada pemeriksaan neurologi tunggal bukan

merupakan prediktor yang fungsional. Nilai prognosis yang di dalamnya terdapat

penilaian fungsional lebih bersifat prediktif, tetapi untuk aplikasi pada pasien

geriatrik akan terbatas karena kajian ini diperoleh dari subjek dengan usia kurang

dari 75 tahun. Contoh salah satu alasan penilaian prognosis yang menghasilkan

nilai secara klinik dengan menggabungkan pengukuran terhadap motor deficite

proprioception, keseimbangan dan kognitif adalah Orpington Prognostic Score

(OPS).

7
9

Indikator prognosis ditentukan oleh tipe dan luasnya serangan, usia

terjadinya serangan (age of onset) dan tingkat kesadaran pasien. Jika infark terjadi

pada spinal cord, prognosis akan bervariasi tergantung keparahan gangguan

neurologis (jika kontrol motorik dan sensasi nyeri terganggu, prognosis pasien

menjadi buruk).

Pada pasien stroke iskemik, sekitar sepertiga jumlah pasien dapat kembali

pulih setelah serangan. Secara umum, sepertiga bagian lagi bersifat fatal dan

sepertiga sisanya dapat menyebabkan kecacatan jangka panjang. Apabila pasien

mendapatkan terapi yang tepat dalam waktu 3 jam setelah serangan, 33%

diantaranya diperkirakan akan pulih dalam waktu 3 bulan. Sedangkan prognosis

pasien dengan stroke hemoragik (perdarahan intrakranial) tergantung pada ukuran

hematoma. Dengan hematoma yang berukuran lebih dari 3cm, mortalitas pasien

lebih besar, sedangkan hematoma yang massif umumnya bersifat letal.

2.1.4 Patofisiologi

Berdasarkan klasifikasi American Heart Association, terdapat dua macam

tipe stroke :

A. Tipe oklusif atau penyumbatan, disebut juga stroke iskemik adalah stroke

yang disebabkan karena adanya penyumbatan pembuluh darah.

1) Stroke Iskemik (tipe sumbatan/ oklusif)

Stroke iskemik dapat terjadi akibat penurunan atau berhentinya sirkulasi

darah sehingga neuron-neuron tidak mendapatkan substrat yang

dibutuhkan. Efek iskemia yang cukup cepat terjadi karena otak kekurangan

9
10

pasokan glukosa (substrat energi yang utama) dan memiliki kemampuan

melakukan metabolisme anaerob.

B. Tipe hemoragik atau perdarahan adalah stroke yang disebabkan karena

perdarahan intrakranial. Stroke hemoragi terdiri dari:

1) Hemoragi Subarachnoid (subarachnoid hemorrhage)

Terjadi ketika darah memasuki daerah subarchnoid berhubungan dengan

trauma, pecahnya aneurism intracranial, atau rupture of an arteriovenous

malformation (AVM). Pada hemoragi subarachnoid (SAH), terjadi

perdarahan dimana darah memasuki daerah subarachnoid, daerah yang

mengelilingi oatak dan spinal cord.

2) Hemoragi Intraserebral

Pembuluh darah yang pecah dalam parenkim otak membentuk sebuah

hematoma. Tipe hemoragik ini sangat sering terjadi berhubungan dengan

tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol dan kadang karena pemberian

terapi antitrombotik atau terapi trombolitik. Pada hemoragik intraserebral

(ICH), perdarahan terjadi secara langsung di parenkim otak. Mekanisme

yang umum adalah bocornya arteri intraserebral kecil yang rusak akibat

hipertensi kronis, bleeding diatheses, iatrogenic anticoagulation, cerebral

amyloidosis, dan penyalahgunaan kokain.

Hemoragi intraserebral sering terjadi di bagian thalamus, putamen

serebelum dan batang otak. Kerusakan lokasi tertentu di otak karena

hemoragi, dapat menyebabkan lokasi sekelilingnya juga mengalami


11

kerusakan akibat peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan dari

efek massa hematoma.

Pada hemoragik intraserebral (ICH), perdarahan terjadi secara langsung di

parenkim otak. Mekanisme yang umum adalah bocornya arteri

intraserebral kecil yang rusak akibat hipertensi kronis, bleeding diatheses,

iatrogenic anticoagulation, cerebral amyloidosis, dan penyalahgunaan

kokain. Hemoragik intraserebral sering terjadi di bagian thalamus,

putamen serebelum dan batang otak. Kerusakan lokasi tertentu di otak

karena hemoragi, dapat menyebabkan lokasi sekelilingnya juga mengalami

kerusakan akibat peningkatan tekanan intrakranial yang dihasilkan dari

efek massa hematoma.

3) Pada hematoma subdural

Berkumpulnya darah di bagian bawah dural, disebabkan umumnya oleh

trauma. Pada stroke hemoragik subdural, darah yang terkumpul akibat

perdarahan di bagian subdural dapat menarik air (karena osmosis) dan

menyebabkan perluasan area. Perluasan tersebut dapat menekan jaringan

otak dan menyebabkan perdarahan baru akibat robeknya pembuluh darah.

Darah yang terkumpul dapat membentuk membran yang baru.

Pada beberapa kondisi perdarahan subdural, lapisan arachnoid dari

selsaput otak yang robek menyebabkan cairan serebrospinal maupun darah

yang ada dapat berpenetrasi ke daerah intrakranial dan meningkatkan

tekanan.
12

Zat yang menyebabkan vasokontriksi, dapat dilepaskan dari hematoma

yang terkumpul dari material subdural. Zat tersebut dapat menyebabkan

iskemia lebih lanjut dengan menghambat aliran darah ke otak. Ketika

aliran darah ke otak tidak cukup, terjadi suatu rangkaian peristiwa

biokimia yang disebut dengan ischemic cascade dan akhirnya

menyebabkan kematian sel otak. Tubuh secara bertahap meresorbsi clot

dan menggantikannya dengan jaringan granuler.

Gejala umum stroke antara lain mati rasa (paresthesia) dan kelumpuhan

(hemiparesis) secara tiba-tiba pada bagian lengan, kaki, wajah, yang lebih

sering terjadi pada bagian separuh tubuh. Gejala lain yang muncul antara

lain bingung, kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan (aphasia),

berkurangnya fungsi penglihatan melalui salah satu mata (monocular

visual loss) atau keseimbangan atau koordinasi, sakit kepala yang parah

tanpa sebab, lemah bahkan tidak sadar. Efek penyakit stroke tergantung

lokasi kerusakan otak dan bagaimana keparahan tersebut mempengaruhi

kondisi tersebut. Stroke yang sangat parah dapat menyebabkan kematian

mendadak.

Tanda stroke yang dialami pasien diantaranya adalah :

a. Disfungsi neurologi lebih dari satu (multiple), dan penurunan fungsi

tersebut bersifat spesifik ditentukan oleh daerah otak yang terkena.

b. Hemi atau monoparesis (kelumpuhan separuh tubuh)


13

c. Vertigo dan penglihatan yang kabur (double vision), yang dapat

disebabkan oleh sirkulasi posterior yang terlibat di dalamnya.

d. Aphasia (kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan)

e. Dystharia (kesulitan melafalkan ucapan dengan jelas, penurunan lapang-

pandang visual, dan perubahan tingkat kesadaran).

2.1.5 Pencegahan Primer Pada Stroke

Pencegahan primer pada stroke meliputi upaya perbaikan gaya hidup dan

pengendalian berbagai faktor risiko. Upaya ini ditujukan pada orang sehat dan

kelompok risiko tinggi yang belum pernah terserang stroke.

A. Mengatur Pola Makan yang Sehat

Konsumsi makanan tinggi lemak dan kolesterol dapat meningkatkan risiko

terkena serangan stroke. Sebaliknya konsumsi makanan rendah lemak jenuh

dan kolesterol dapat mencegah terjadinya stroke. Beberapa jenis makanan

yang yang dianjurkan untuk pencegahan primer terhadap stroke adalah :

1. Makanan biji-bijian yang membantu menurunkan kadar kolesterol :

a. Serat larut yang banyak terdapat dalam biji-bijian seperti beras

merah, bulgur, jagung dan gandum.

b. Oat (beta glucan) akan menurunkan kadar kolesterol total dan LDL,

menurunkan tekanan darah, dan menekan nafsu makan bila dimakan

di pagi hari (menghambat pengosongan usus).


14

c. Kacang kedelai beserta produk olahannya dapat menurunkan lipid

serum, menurunkan kolesterol total, kolesterol LDL, dan trigliserida

tetapi tidak mempengaruhi kadar kolesterol HDL.

d. Kacang-kacangan, termasuk biji kenari dan kacang mede,

menurunkan kolesterol LDL dan mencegah aterosklerosis.

2. Makanan lain yang berpengaruh terhadap prevensi stroke :

a. Makanan/ zat yang membantu mencegah peningkatan homosistein

seperti asam folat, vitamin B6, B12 dan riboflavin.

b. Susu yang mengandung protein, kalsium, seng (Zn), dan B12

mempunyai efek proteksi terhadap stroke.

c. Beberapa jenis ikan seperti ikan tuna dan ikan salmon mengandung

omega-3, eicosapentenoic acid (EPA), dan docosahexonoic acid

(DHA) yang merupakan pelindung jantung, mencegah risiko

kematian mendadak, mengurangi risiko aritmia, menurunkan kadar

trigliserida, menurunkan kecenderungan adesi platelet, sebagai

prekursor prostaglandin, inhibisi sitokin, anti inflamasi dan stimulasi

Nitric Oxide (NO) endothelial. Makanan jenis ini sebaiknya

dikonsumsi dua kali seminggu.

d. Makanan yang kaya vitamin dan antioksidan (vitamin C, E,

betakaroten) seperti yang banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-

buahan dan biji-bijian.

e. Buah-buahan dan sayur-sayuran.


15

∑ Kebiasaan/ membudaya diet kaya buah-buahan dan sayuran

bervariasi minimal 5 porsi setiap hari.

∑ Sayuran hijau dan jeruk yang menurunkan risiko stroke.

∑ Sumber kalium yang merupakan prediktor yang kuat untuk

mencegah mortalitas akibat stroke, terutama buah pisang.

∑ Apel yang mengandung quercetin dan phytonutrient dapat

menurunkan risiko stroke.

f. Teh hitam dan teh hijau yang mengandung antioksidan.

3. Anjuran lain tentang makanan:

a. Menambah asupan kalium dan mengurangi asupan natrium (<6gram/

hari). Bahan-bahan yang mengandung natrium, seperti monosodium

glutamat dan sodium nitrat sebaiknya dikurangi. Makanan sebaiknya

harus segar. Pada penderita hipertensi, asupan natrium yang

dianjurkan adalah ≤2,3 gram/ hari dan asupan kalium ≥4,7 gram/

hari.

b. Meminimalkan makanan tinggi lemak jenuh dan mengurangi asupan

trans fatty acids seperti kue-kue crackers, telur, makanan yang

digoreng dan mentega.

c. Mengutamakan makanan yang mengandung polyunsaturated fatty

acids, monounsaturated fatty acids, makanan berserat dan protein

nabati.

d. Nutrien harus diperoleh dari makanan, bukan suplemen.

e. Jangan makan berlebihan dan perhatikan menu seimbang.


16

f. Makanan sebaiknya bervariasi dan tidak tunggal.

g. Hindari makanan dengan densitas kalori tinggi dan kualitas nutrisi

rendah.

h. Sumber lemak sebiknya berasal dari sayuran, ikan, buah polong dan

kacang-kacangan.

i. Utamakan makan yang mengandung polisakarida seperti nasi, roti,

pasta, sereal dan kentang. Hindari makanan yang mangandung gula

(monosakarida dan disakarida).

B. Penanganan Stres dan Beristirahat yang Cukup

1. Istirahat cukup dan tidur teratur antara 6-8 jam sehari.

2. Mengendalikan stres dengan cara berpikir positif sesuai dengan jiwa

sehat menurut WHO, menyelesaikan pekerjaan satu demi satu, bersikap

ramah dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa dan

mensyukuri hidup yang ada. Stres kronis dapat meningkatkan tekanan

darah. Penanganan stres menghasilkan respon relaksasi yang

menurunkan denyut jantung dan tekanan darah.

C. Pemeriksaan Kesehatan Secara Teratur dan Taat Anjuran Dokter dalam Hal

Diet dan Obat

1. Faktor-faktor risiko, seperti penyakit jantung, hipertensi, dislipidemia,

Diabetes Melitus (DM) harus dipantau secara teratur.

2. Faktor-faktor risiko ini dapat dikoreksi dengan pengobatan teratur diet

dan gaya hidup sehat.


17

3. Pengendalian hipertensi dilakukan dengan target tekanan darah <140/ 90

mmHg. Jika menderita diabetes melitus atau penyakit ginjal kronik target

tekanan darah <130/ 80 mmHg.

4. Pengendalian kadar gula darah pada penderita diabetes melitus dengan

target HbAIC <7%.

5. Pengendalian kadar kolesterol pada penderita dislipidemia dengan diet

dan obat penurun lemak. Target kadar kolesterol LDL <100 mg/ dL.

Penderita yang berisiko tinggi stroke sebaiknya kadar LDL <70mg/ dL.

6. Terdapat bukti-bukti tentang faktor risiko yang bersifat infeksi misalnya

infeksi gigi. Kesehatan gigi dan mulut sebaiknya diperhatikan secara

teratur.

D. Beberapa Rekomendasi

1. Penilaian faktor risiko serangan stroke pertama

Setiap penderita perlu dilakukan penilaian dengan risiko terjadinya stroke

dikemudian hari (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A). Risk-

assesment tool seperti Framingham Stroke Profile (FSP) dapat digunakan

untuk membantu mengidentifikasi individu yang mungkin mendapat

manfaat dari intervensi terapi berdasarkan faktor risiko yang ada

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

2. Penyebab stroke secara genetik

Anamnesis riwayat keluarga dapat bermanfaat untuk skrining seseorang

mempunyai faktor risiko stroke genetik (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidence A). Rujukan untuk konseling genetik dapat dipertimbangkan


18

pada pasien stroke yang disebabkan oleh faktor genetik (AHA/ASA,

Class IIb, Level of evidence C).

3. Penyakit kardiovaskular

Risiko terkena stroke serangan pertama meningkat pada orang dengan

penyakit vaskular aterosklerotik non serebrovaskular (penyakit jantung

koroner, gagal jantung atau klaudikasio intermiten). Terapi yang

digunakan untuk penatalaksanaan kondisi tersebut, misalnya antiagregasi

platelet seperti yang direkomendasikan pada bagian lain dari panduan ini

dapat menurunkan risiko stroke.

4. Hipertensi

a. Panduan The Joint National Commitee Seventh (JNC 7)

merekomendasikan skrining tekanan darah secara teratur dan

penanganan yang sesuai, termasuk modifikasi gaya hidup dan

terapi farmakologik.

b. Tekanan darah sistolik harus dikelola mencapai target <140 mmHg

dan tekanan darah diastolik <90 mmHg. Penderita dengan

hipertensi dan diabetes atau penyakit ginjal memiliki sasaran

tekanan darah 130/80 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence A). Hal ini berhubungan dengan risiko yang rendah

terjadinya stroke dan kejadian kardiovaskuler (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence A).


19

c. European Stroke Organization menyebutkan bahwa tekanan darah

tinggi harus dikelola dengan modifikasi pola hidup dan terapi

farmakologi secara individual (ESO, Class I, Level of evidence A).

5. Merokok

a. Merokok tidak direkomendasikan. Perokok aktif disarankan untuk

berhenti merokok karena studi epidemiologi menunjukkan

hubungan yang konsisten antara merokok dengan stroke iskemik

meupun perdarahan subarakhnoid (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B)

b. Walaupun belum cukup bukti bahwa menghindari lingkungan asap

rokok dapat mengurangi insidensi stroke, tetapi data epidemiologi

menunjukkan peningkatan risiko stroke pada mereka yang terpapar

asap rokok dan manfaat menghindari asap rokok dan manfaat

menghindari asap rokok pada risiko kardiovaskuler lain. Oleh

karena itu, anjuran untuk menghindari paparan dengan lingkungan

asap rokok cukup beralasan (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidence C).

c. Berbagai cara seperti konseling, penggunaan pengganti nikotin,

pemakaian obat-obat oral untuk berhenti merokok, dapat dipakai

sebagai strategi penghentian merokok secara keseluruhan. Status

rokok perlu selalu dibicarakan dan didiskusikan setiap pertemuan

dengan penderita (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).


20

6. Diabetes

a. Penderita diabetes direkomendasikan untuk mengontrol hipertensi

secara ketat (rekomendasi JNC 7 adalah 130/80 mmHg untuk

pasien diabetes) sebagai bagian dari program pengurangan risiko

yang menyeluruh (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

b. Pemakaian ACEI atau ARB pada penderita diabetes dewasa dengan

hipertensi terbukti bermanfaat (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence A).

c. Pada penderita diabetes dewasa, khususnya mereka yang memiliki

faktor risiko tambahan, pemberian statin direkomendasikan untuk

menurunkan risiko terkena stroke serangan pertama (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence C).

7. Fibrilasi Atrium (Atrial Fibrilation, AF)

a. Skrining aktif adanya AF pada penderita <65 tahun di unit

perawatan orimer dengan memeriksa nadi diikuti EKG terbukti

bermanfaat (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

b. Adjusted-dose warfarin (target INR 2,0-3,0) direkomendasikan

pada semua penderita dengan non valvular atrial fibrillation yeng

dinilai berisiko tinggi dan beberapa penderita yang dinilai berisiko

sedang selama pemberian obat ini aman. (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence A).

c. Aspirin direkomndasikan untuk penderita AF risiko rendah dan

beberapa penderita risiko sedang dengan pertimbangan berdasarkan


21

pilihan penderita, risiko kemungkinan terjadinya perdarahan, serta

tersedianya fasilitas pemantauan antikoagulan yang baik

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

d. Penanganan tekanan darah secara agresif bersama pemberian

antitrombotik profilaksis pada penderita AF usia lanjut bisa

bermanfaat (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

e. Penderita AF yang tidak dapat menerima antikoagulan oral dapat

diberikan aspirin (ESO, Class I, Level of evidence A).

f. Penderita AF yang menggunakan katup jantung prostetik perlu

mendapat antikoagulan jangka panjang dengan target INR

berdasarkan tipe katup prostetiknya, tetapi tidak kurang dari INR

2,0-3,0 (ESO, Class II, Level of evidence B).

8. Penyakit jantung lain

Pemberian warfarin cukup beralasan pada penderita pascainfark

miokard dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial

Infact, STEMI) dengan trombus mural ventrikel kiri untuk

mencegah terjadinya stroke (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidence A).

9. Dislipidemia

a. Penderita penyakit jantung koroner atau penderita dengan risiko

tinggi seperti penderita diabetes dianjurkan mendapat tambahan

terapi pemberian statin, di samping modifikasi gaya hidup untuk

mencapai kadar kolesterol LDL sesuai pedoman The National


22

Cholesterol Education Program (NCEP) (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence A).

b. Kolesterol darah harus diperiksa secara teratur. Penderita dengan

kolesterol darah tinggi (LDL >150 mg/dl) sebaiknya dikelola

dengan modifikasi pola hidup dan pemberian statin (ESO, Class I,

Level of evidence A).

10. Asymptomatic Carotid Stenosis

a. Skrining pada penderita stesonis arteri karotis asimptomatik

direkomendasikan untuk mencari faktor risiko lain dari stroke yang

masih dapat diterapi dengan modifikasi gaya hidup dan terapi

medis yang sesuai (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).

b. Pemilihan penderita asimptomatik untuk dilakukan revaskularisasi

karotis harus melihat kondisi komorbid, harapan hidupnya dan juga

faktor-faktor individual lain termasuk hasil diskusi tentang manfaat

dan risiko dari prosedur yang akan dijalankan. Dokter juga hanya

menghargai pilihan penderita (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence C).

c. Sepanjang tidak ada kontaraindikasi, penggunaan aspirin

direkomendasikan pada Carotid Endarterectomy (CEA)

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).

d. CEA profilaksis dapat dilakukan pada penderita stesonis arteri

karotis asimptomatik dengan seleksi ketat (minimum 60% dengan


23

angiografi, 70% dengan Doppler ultrasound) (AHA/ASA, Class

IIa, Level of evidence A).

e. Stenting arteri karotis profilaksis pada penderita asymptomatic

carotid stesonis dipertimbangkan dengan seleksi ketat (≥60% pada

angiografi, ≥70% pada USG Doppler atau >80% pada Computed

Tomoghraphic Angiography (CTA) atau Magnetic Resonance

Angiography (MRA) bila stesonis pada USG antara 50-69%).

Keuntungan dari revaskularisasi dibanding dengan terapi obat saja

tidak jelas (AHA/ASA, Class IIb, Level of Evidence B).

f. Manfaat Carotid Artery Angioplasty (CAS) sebagai pengganti CEA

pada penderita asimptomatik dengan risiko tinggi untuk

pembedahan tidak jelas (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence

C).

g. Skrining di populasi untuk mengetahui stesonis arteri karotis

asimptomatik tidak direkomendasikan (AHA/ASA, Class III, Level

of evidence B).

11. Sickle Cell Disease (SCD)

a. Anak-anak penderita SCD direkomendasikan untuk menjalani

skrining dengan Transcranial Doppler (TCD) mulai usia 2 tahun

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

b. Meskipun interval skrining yang optimal belum dapat dipastikan,

tetapi cukup beralasan untuk melakukan skrining ulang lebih sering

pada anak-anak yang berusia lebih dini dan mereka yang memiliki
24

kecepatan aliran darah berdasarkan TCD borderline abnormal

dengan tujuan mendeteksi perkembangan risiko tinggi intervensi

berdasarkan indikasi TCD (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence

C).

c. Terapi transfusi (dengan target penurunan HbS dari >90% menjadi

<30%) bermanfaat untuk menurunkan risiko stroke yang meningkat

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

d. Sambil menunggu hasil penelitian lebih lanjut, transfusi dibenarkan

untuk diteruskan meskipun hasil pemeriksaan TCD sudah menjadi

normal (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

e. Pemilihan pasien anak-anak untuk pencegahan primer stroke

dengan tranfusi berdasarkan kriteria MRI dan MRA masih belum

mantap dan pemeriksaan tersebut tidak dapat menggantikan fungsi

TCD (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).

f. Orang dewasa dengan TCD harus dievaluasi untuk mencari faktor-

faktor risiko stroke dan harus dikelola sesuai dengan panduan

umum (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

12. Terapi sulih hormon

a. Terapi sulih hormon (esterogen dengan atau tanpa progestin) tidak

dibenarkan sebagai pencegahan stroke primer pada penderita

pascamenopause (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A)

b. ESO juga menyebutkan bahwa terapi sulih hormon tidak

direkomendasikan (ESO, Class I, Level of evidence A).


25

13. Kontrasepsi oral

a. Kontrasepsi oral dapat berbahaya pada penderita dengan faktor

risiko tambahan seperti merokok dan riwayat kejadian

tromboemboli (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).

b. Mereka tetap memilih menggunakan kontrasepsi oral meskipun

menambah risiko, perlu dilakukan terapi agresif terhadap faktor

risiko stroke yang sudah ada (AHA/ASA, Class IIb, Level of

evidence C).

14. Diet dan nutrisi

a. Penurunan masukan natrium dan peningkatan masukan kalium

direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah pada penderita

hipertensi (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

b. Metode Dietary Approach to Stop Hypertension (DASH) yang

menekankan pada konsumsi buah, sayur dan produk susu rendah

lemak dapat menurunkan tekanan darah serta merupakan diet yang

direkomendasikan (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

15. Aktivitas fisik

a. Peningkatan aktivitas fisik direkomendasikan karena berhubungan

dengan penurunan risiko stroke (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence)

b. Pada orang dewasa, direkomendasikan untuk melakukan aktivitas

fisik aerobik minimal selama 150 menit (2 jam 30 menit) setiap

minggu dengan intensitas sedang atau 75 menit (1 jam 15 menit)


26

setiap minggu dengan intensitas lebih berat (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence B).

16. Obesitas dan lemak tubuh

a. Pada individu overweight dan obesitas, penurunan BB (berat

badan) direkomendasikan untuk menurunkan tekanan darah

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

b. Pada individu overweigt dan obesitas, penurunan BB dipandang

cukup beralasan dapat menurunkan risiko stroke (AHA/ASA, Class

IIa, Level of evidence B).

17. Konsumsi alkohol

Metode skrining dan konseling direkomendasikan untuk pengurangan

atau penghentian konsumsi alkohol diantara peminum berat, sesuai

dengan the US Preventive Service Task Force Update 2004 (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence A).

18. Penyalahgunaa obat (Drugs Abuse)

Penderita dengan masalah penyalahgunaan obat perlu dipertimbangkan

dirujuk untuk program terapeutik yang tepat (AHA/ASA, Class IIa, Level

of evidence C).

19. Sleep-Disordered Breathing (SDB)

Mengingat SDB berhubungan dengan faktor risiko vaskuler dan

morbiditas kasrdiovaskuler lain, evaluasi adanya SDB dengan anamnesis

yang teliti dan bila perlu dengan tes khusus direkomendasikan untuk

dilakukan, terutama pada individu dengan obesitas abdomen, hipertensi,


27

penyakit jantung atau hipertensi yang resisten terhadap obat (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence A).

20. Migren

Mengingat adanya hubungan antra frekuensi migren yang sering dengan

risiko stroke, pengobatan untuk menurunkan frekuensi migren cukup

beralasan, meskipun belum cukup data yang menunjukan bahwa

pendekatan ini akan menurunkan risiko terjadinya stroke pertama

(AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence)

21. Hiperhomosisteinemia

a. Pemberian vitamin B komplek, piridoksin (B6), kobalamin (B12)

dan asam folat dapat dipertimbangkan untuk pencegahan stroke

iskemik pada penderita dengan hiperhomosisteinemia, tetapi

manfaatnya belum jelas (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence

B).

b. Asupan folat harian, B6 (1,7 mg/hari) dan B12 melalui konsumsi

sayur, buah, kacang polong, daging, ikan, padi dan sereal untuk

individu yang tidak hamil dan menyusui mungkin berguna dalam

menurunkan risiko stroke (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence

C).

22. Peningkatan Lipoprotein

Pemberian niacin cukup beralasan untuk pencegahan stroke iskemik pada

penderita dengan Lp(a) yang tinggi, tetapi manfaatnya belum jelas

(AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence)


28

23. Hiperkoagulabilitas

a. Manfaat skrining genetik untuk mendeteksi hiperkoagulabilitas

heriditer pada pencegahan stroke belum jelas (AHA/ASA, Class

IIb, Level of evidence C).

b. Manfaat terapi spesifik untuk pencegahan stroke primer pada

penderita trombofilia heriditer atau didapat yang asimptomatik

belum jelas (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C).

c. Aspirin dosis rendah (81mg/hari) tidak diindikasikan untuk

pencegahan primer stroke pada seorang dengan antiphospholipid

antibodies (APL) positif persisten (AHA/ASA, Class III, Level of

evidence B).

24. Inflamasi dan Infeksi

a. Penanda inflamasi seperti hsCRP atau Lp-PLA2 pada penderita

tanpa CVD mungkin dapat mengidentifikasi penderita dengan

peningkatan risiko stroke, meskipun manfaatnya dalam praktik

klinis rutin belum jelas (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence

B).

b. Penderita dengan penyakit inflamasi kronik seperti Rheumatoid

Arthritis (RA) atau Systemic Lupus Erythematosus (SLE), perlu

diwaspadai mempunyai risiko stroke yang meningkat (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence B).


29

c. Pengobatan dengan antibiotik untuk infeksi kronis sebagai cara

untuk pencegahan stroke, tidak direkomendasikan (AHA/ASA,

Class III, Level of evidence A).

d. Penelitian pasien dengan peningkatan hsCRP dengan pemberian

statin dapat menurunkan risiko stroke (AHA/ASA, Class II, Level

of evidence B).

e. Vaksinasi influenza setahun sekali dapat bermanfaat pada penderita

dengan risiko stroke (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

25. Aspirin

a. Pemakaian aspirin untuk pencegahan kejadian kardiovaskuler,

termasuk stroke direkomendasikan pada seseorang dengan risiko

cukup tinggi dibanding dengan risiko pengobatan dengan nilai

risiko kejadian dalam 10 tahun kedepan sebesar 6% sampai 10%

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A)

b. Aspirin (81 mg sehari atau 100 mg setiap 2 hari sekali) bermanfaat

untuk mencegah stroke pertama pada wanita dengan faktor risiko

pengobatan (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

c. Aspirin tidak bermanfaat untuk mencegah stroke pertama pada

wanita dengan faktor risiko yang cukup tinggi dibanding dengan

risiko pengobatan (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

d. Antiplatelet selain aspirin tidak direkomendasikan untuk

pencegahan primer stroke (ESO, Class IV, GCP).


30

2.1.6 Manifestasi Klinik

Serangan awal stroke umumnya berupa gangguan kesadaran. Gangguan

kesadaran dapat berupa perasaan ingin tidur, kebingungan, sukar mengingat,

penglihatan kabur dan sebagainya. Pada beberapa jam berikutnya gangguan

kesadaran akan berlanjut, yang menurunkan kekuatan otot dan koordinasi. Pasien

mengalami kelemahan pada satu sisi tubuh, ketidakmampuan berbicara, vertigo,

atau jatuh. Stroke iskemia biasanya tidak menyakitkan, tapi sakit kepala dapat

terjadi dan lebih parah pada stroke perdarahan.

Gangguan lain berupa ketidakmampuan mengontrol buang air kecil dan

besar, kehilangan kemampuan untuk merasakan, mengalami kesulitan untuk

menelan dan bernafas. Sebagian besar kasus stroke terjadi secara mendadak,

sangat cepat dan menyebabkan kerusakan otak dalam beberapa menit (completed

stroke). Stroke bisa menjadi bertambah buruk dalam beberpa jam sampai 1 atau 2

hari akibat bertambah luasnya jaringan otak yang mati (stroke in-evolution).

2.1.7 Manajemen Prahospital Pada Stroke Akut

1. Deteksi

Pengenalan cepat dan reaksi terhadap tanda-tanda stroke dan TIA.

Keluhan pertama kebanyakan pasien (95%) mulai sejak di luar rumah

sakit. Beberapa gejala atau tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke

antara lain hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia

atau buta mendadak, diplopia, vertigo, afasia, disfagia, disatria, ataksia,

kejang atau penurunan kesadaran yang kesemuanya terjadi secara


31

mendadak. Untuk memudahkan digunakan istilah FAST (Facial

movement, Arm movement, Speech, Test all three).

2. Pengiriman pasien

Bila seseorang dicurigai terkena serangan stroke, maka segera panggil

ambulans gawat darurat. Ambulans gawat darurat sangat berperan penting

dalam pengiriman pasien ke fasilitas yang tepat untuk penanganan stroke.

Semua tindakan dalam ambulansi pasien hendaknya berpedoman kepada

protokol.

3. Transportsi/ambulans

Utamakan transportasi (termasuk transportasi udara) untuk pengiriman

pasien ke rumah sakit yang dituju. Petugas ambulans gawat darurat harus

mempunyai kompetensi dalam penilaian pasien stroke pra rumah sakit.

Fasilitas ideal yang harus ada dalam ambulans sebagai berikut :

a. Personil yang terlatih

b. Mesin EKG

c. Peralatan dan obat-obatan resusitasi dan gawat darurat

d. Obat-obat neuroprotektan

e. Telemedisin

f. Ambulans yang dilengkapi dengan peralatan gawat darurat antara lain,

pemeriksaan glukosa (glucometer), kadar saturasi oksigen (pulse

oximeter)

Personil pada ambulans gawat darurat yang terlatih mampu mengerjakan :

a. Memeriksa tanda-tanda vital.


32

b. Tindakan stabilisasi dan resusitasi (Airway Breathing Circulation/

ABC). Intubasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan koma

yang dalam, hipoventilasi dan aspirasi.

c. Bila kardiopulmuner stabil, pasien diposisikan setengah duduk.

d. Memeriksa dan menilai gejala tanda stroke.

e. Pemasangan kateter intravena, memantau tanda-tanda vital dan

keadaan jantung.

f. Berikan oksigen untuk menjamin saturasi > 95%.

g. Memeriksa kadar gula darah.

h. Menghubungi unit gawat darurat secepatnya (stroke emergency)

i. Transportasi secepatnya (time is brain)

Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh petugas pelayanan

ambulans :

a. Jangan terlambat membawa ke rumah sakit yang tepat.

b. Jangan memberikan cairan berlebihan kecuali pada pasien syok

dan hipotensi.

c. Hindari pemberian cairan glukosa/ dekstrose kecuali pada pasien

hipoglikemia.

d. Jangan menurunkan tekanan darah kecuali pada kondisi khusus.

Hindari hipotensi, hipoventilasi atau anoksia.

e. Catat waktu onset serangan.


33

4. Memanfaatkan jaringan pelayanan stroke komprehensif yaitu unit gawat

darurat, stroke unit atau ICU sebagai tempat tujuan penanganan definitif

pasien stroke.

2.1.8 Diagnosis

Diagnosis biasanya ditegakan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan

fisik-neurologis. Prosedur pemeriksaan yang dilakukan harus diusahakan tidak

memakan waktu terlalu lama, demi meminimalkan hilangnya waktu emas antara

onset timbulnya penyakit dan timbulnya terapi.

Perlu dibuat tentang hasil pemeriksaan fisik dan neurologis, dengan

bantuan pemeriksaan penunjang untuk menentukan prosedur terapi dan

pencegahan sekunder.

1. Anamnesis

Pada anamnesa akan ditentukan kelumpuhan anggota gerak sebelah badan,

mulut mencong atau bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi dengan baik.

Keadaan ini timbul sangat mendadak, dapat sewaktu bangun tidur, mau

shalat, sedang bekerja atau sewaktu istirahat.

Selain itu perlu ditanyakan pula faktor-faktor risiko yang menyertai stroke

misalnya penyakit kencing manis, darah tinggi dan penyakit jantung. Dicatat

obat-obat yang sedang dipakai. Selanjutnya ditanyakan pula riwayat keluarga

dan penyakit lainnya. Pada kasus-kasus berat, yaitu dengan penurunan

kesadaran sampai koma, dilakukan pencatatan perkembangan kesadaran sejak

serangan terjadi.
34

2. Pemeriksaan Fisik

Setelah penentuan keadaan kardiovaskular penderita serta fungsi vital seperti

tekanan darah kiri dan kanan, pernafasan, tentukan juga tingkat kesadaran

penderita. Jika kesadaran menurun, tentukan skor dengan Skala Glasgow agar

pemantauan selanjutnya lebih mudah, tetapi seandainya penderita sadar

tentukan berat kerusakan neurologi yang terjadi, disertai pemeriksaan saraf-

saraf otak dan motorik apakah fungsi komunikasi masih baik atau adakah

disleksia.

Jika kesadaran menurun dan nilai Skala Koma Glasgow telah ditentukan,

setelah itu lakukan pemeriksaan refleks-refleks batang otak yaitu :

∑ Reaksi pupil terhadap cahaya

∑ Refleks kornea

∑ Refleks okulo sefalik

∑ Keadaan (refleks) respirasi, apakah terdapat pernafasan Cheyne Stoke,

hiperventilasi neurogen, kluster, apneustik dan ataksik. Setelah itu

tentukan kelumpuhan yang terjadi pada saraf-saraf otak dan anggota

gerak.

3. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan Radiologi

∑ CT Scan (Computerized Tomography Scanning)

CT scan kepala tanpa kontras dapat membedakan stroke iskemik,

perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid. Pemeriksaan

ini sudah harus dilakukan sebelum terapi spesifik diberikan.


35

∑ Foto Toraks

Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan keadaan jantung,

apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah

satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke dan adakah

kelainan lain pada jantung. Selain itu dapat mengidentifikasi

kelainan paru yang potensial.

b. Pemeriksaan Neurokardiologi

Pada sebagian kecil penderita stroke, terdapat juga perubahan

elektrokardiografi. Perubahan ini dapat berarti kemungkinan mendapat

serangan infark jantung. Elektrokardiografi (EKG) monitoring dianjurkan

selama 48 jam pertama terutama pada penderita stroke dengan riwayat

aritmia atau penyakit jantung, tekanan darah yang tidak stabil, gambaran

klinik ada gagal jantung dan baseline EKG abnormal.

c. Pemeriksaan Laboratorium

∑ Pemeriksaan darah lengkap

Pemeriksaan ini berupa pemeriksaan jumlah sel darah merah, darah

putih, trombosit dan lain-lain.

∑ Pemeriksaan kimia darah lengkap

Pemeriksaan ini berupa pemeriksaan gula darah, lipid analisa

(kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida), ureum/kreatinin, elektrolit,

fungsi hati, dan analisa gas darah. Dari pemeriksaan ini dapat

diketahui apakah kadar gula darah tinggi. Jika demikian, maka

disimpulkan pasien menderita diabetes. Jika kolesterol tinggi,


36

kemungkinan pasien menderita penyakit jantung. Diabetes dan

jentung merupakan pencetus terjadinya stroke.

∑ Pemeriksaan darah koagulasi

Pemeriksaan ini terdiri dari empat tes yaitu prothrombin time, partial

thromboplastin time (PTT), international normalized ratio (INR),

dan agregrasi trombosit. Gunanya untuk mengetahui seberapa

kecepatan darah pasien menggumpal karena gangguan

penggumpalan akan menyebabkan perdarahan atau pembekuan

darah.

2.1.9 Penatalaksanaan Umum Stroke Akut

A. Penatalaksaan di ruang gawat darurat

1. Evaluasi cepat dan diagnosis

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat

pendek, maka evaluasi dan diagnosis klinik harus dilakukan dengan cepat,

sistematik dan cermat (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi

gejala dan tanda klinik stroke akut meliputi:

a. Anamnesis, terutama gejala awal,waktu awitan, aktivitas penderita

saat serangan, gejala lain seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa

berputar, kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan

kesadaran serta faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-

lain).
37

b. Pemeriksaan fisik meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri dan

suhu tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya ciderea kepala

akibat jatuh saat kejang, bruit karotis dan tanda-tanda distensi vena

jugular pada gagal jantung kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan

paru-paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.

c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis

terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem

motorik, sikap dan cara jalan, reflex, koordinasi, sensorik dan fungsi

kognitif. Skala stroke yang dianjurkan saat ini adalah NIHSS

(National Institutes of Health Stroke Scale) (AHA/ASA, Class I, Level

of evidence B).

2. Terapi umum

a. Stabilisasi jalan napas dan pernapasan

∑ Pemantauan secaraterus-menerus terhadap status neurologis, nadi,

tekanan darah, suhu tubuh dan saturasi oksigen dianjurkan dalam

72 jam, pada pasien dengan defisit neurologis yang nyata (ESO,

Class IV, GCP)

∑ Pemberian oksigen dianjurkan pada keadaan dengan saturasi

oksigen <95% (ESO, Class IV, GCP)

∑ Perbaiki jalan napas termasuk pemasangan pipa orofaring pada

pasien yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien

yang mengalami penurunan kesadaran atau disfungsi bulbar


38

dengan gangguan jalan napas (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence C).

∑ Terapi oksigen diberikan pada pasien hipoksia (AHA/ASA, Class

I, Level of evidence B).

∑ Pasien stroke iskemik akut yang non hipoksia (AHA/ASA, Class

III, Level of evidence B).

∑ Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask

Airway) diperlukan pada pasien dengan hipoksia (pO2 <60

mmHg atau pCO2 >50 mmHg) atau pada pasien yang berisiko

untuk terjadi aspirasi.

∑ Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu.

Jika pipa terpasang lebih dari 2 minggu, maka dianjurkan

dilakukan trakeostomi.

b. Stabilisasi hemodinamik

∑ Berikan cairan kristaloid atau koloid intravena (hindari pemberian

cairan hipotonik seperti glukosa).

∑ Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter) dengan

tujuan untuk memantau cairan dan sebagai sarana untuk

memasukkan cairan dan nutrisi.

∑ Usahakan CVC 5-12 mmHg.

∑ Optimalisasi tekanan darah .

∑ Bila tekanan darah sistolik <120 mmHg dan cairan sudah

mencukupi, maka obat-obat vasopressor dapat diberikan secara


39

titrasi seperti dopamin dosis sedang/tinggi, norepinefrin atau

epinefrin dengan target tekanan darah sistolik berkisar 140

mmHg.

∑ Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan selama

24 jam pertama setelah awitan serangan stroke iskemik

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

∑ Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif segera atasi

(konsultasi radiologi).

∑ Hipotensi arterial harus dihindari dan dicari penyebabnya.

Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal dan

aritmia jantung yang mengakibatkan penurunan curah jantung

sekuncup harus dikoreksi (AHA/ASA, Class I, Level of evidence

C).

c. Pemeriksaan awal fisik umum

∑ Tekanan darah

∑ Pemeriksaan jantung

∑ Pemeriksaan neurologi umum awal:

a) Tekanan darah

b) Pemeriksaan pupil dan okulomotor

c) Keparahan hemiparesis

d. Pengendalian peninggian tekanan intrakranial (TIK)

∑ Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema

serebral harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan


40

gejala dan tanda neurologis pada hari-hari pertama setelah

serangan stroke (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

∑ Monitor TIK harus dipasang pada pasien dengan GCS <9 dan

penderita yang mengalami penurunan kesadaran karena kenaikan

TIK (AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

∑ Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70

mmHg.

∑ Penatalaksaan penderita dengan peningkatan tekanan intrakranial

meliputi:

a) Tinggikan posisi kepala 20o – 30o

b) Posisi pasien hendaklah menghindari penekanan vena jugular

c) Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik

d) Hindari hipertermia

e) Jaga jaga normovolemia

f) Osmoterapi atas indikasi:

- Manitol 0,25 – 0,50 gr/kgBB selama >20 menit, diulangi

setiap 4 – 6 jam dengan target ≤310 mOsm/L.

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence C). Osmolalitas

sebaiknya diperiksa 2 kali dalam sehari selama

pemberian osmoterapi.

- Kalau perlu, berikan furosemide dengan dosis inisial 1

mg/kgBB i.v.
41

g) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35 – 40

mmHg). Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan

dilakukan tindakan operatif.

h) Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi

yang kuat dapat mengurangi naiknya TIK dengan cara

mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena

akibat batuk, suction, bucking ventilator (AHA/ASA, Class

III-V, Level of evidence C).Pasien dengan kenaikan kritis TIK

sebaiknya diberikan relaksan otot sebelum suctioning atau

lidokain sebagai alternatif.

i) Kortikosteroid tidak direkomendasi untuk mengatasi edema

otak dan tekanan tinggi intrakranial pada stroke iskemik,

tetapi dapat diberikan kalau diyakini tidak ada kontra indikasi

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

j) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat

stroke iskemik serebral (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B).

k) Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik yang

menimbulkan efek masa, merupakan tindakan yang dapat

menyelamatkan nyawa dan memberikan hasil yang baik

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

e. Penanganan transformasi hemoragik


42

Tidak ada anjuran khusus tentang terapi transformasi perdarahan

asimtomatik (AHA/ASA, Class Ib, Level of evidence B). Terapi

transformasi perdarahan simtomatik sama dengan terapi stroke

perdarahan, antara lain dengan memperbaiki perfusi serebral dengan

mengendalikan tekanan darah arterial secara hati-hati.

f. Pengendalian kejang

- Bila kejang, berikan diazepam bolus lambat intravena 5 – 20 mg

dan diikuti oleh fenitoin loading dose 15 – 20 mg/kg bolus

dengan kecepatan maksimum 50 mg/menit.

- Bila kejang belum teratasi, maka perlu dirawat di ICU.

- Pemberian antikonvulsan profilaksis pada penderita stroke

iskemik tanpa kejang tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III,

Level of evidence C).

- Pada stroke perdarahan intraserebral, obat antikonvulsan

profilaksis dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan

dan dihentikan bila tidak ada kejang selama pengobatan

(AHA/ASA, Class V, Level of evidence C).

g. Pengendalian suhu tubuh

- Setiap penderita stroke yang disertai demam harus diobati dengan

antipiretika dan diatasi penyebabnya (AHA/ASA, Class I, Level

of evidence C).

- Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu tubuh labih dari 38,5o C

(AHA/ASA guideline) atau 37,5o C (ESO guideline).


43

- Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan

kultur dan hapusan (trakea, darah dan urin) dan diberikan

antibiotik. Jika memakai kateter ventikuler, analisa cairan

serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis.

- Jika didapatkan meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik

(AHA/ASA guideline).

h. Pemeriksaan penunjang

- EKG

- Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, faal

hemostasis, kadar gula darah, analisis urin, analisa gas darah dan

elektrolit)

- Bila perlu pada kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan

punksi lumbal untuk pemeriksaan serebrospinal.

- Pemeriksaan radiologi

a) Foto rontgen dada

b) CT scan

B. Penatalaksanaan umum di ruang rawat

1. Cairan

a. berikan cairan isotonis seperti 0,9% salin dengan tujuan menjaga

euvolemi. Tekanan vena sentral dipertahankan antara5 – 12 mmHg.

b. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB per hari (parenteral

maupun enteral).
44

c. Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari

ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi

urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak

tampak dan ditambah lagi 300 ml per derajat celcius pada penderita

panas).

d. Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) harus selalu

diperiksa dan diganti bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai

normal.

e. Asidosis dan alkalosis harus dikoreksi sesuai dengan hasil analisa gas

darah.

f. Cairan yang hipotonik atau mengandung glukosa hendaklah dihindari

kecuali keadaan hipoglikemia.

2. Nutrisi

a. Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam,

nutrisi oral hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan

baik.

b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun , makanan

dan nutrisi diberikan melalui pipa nasogastrik.

c. Pada keadaan akut, kebutuhan kalori 25 – 30 kkal/kg/hari dengan

komposisi:

∑ Karbohidrat 30-40% dari total kalori

∑ Lemak 20-35% (pada gangguan napas dapat lebih tinggi 35-55%)


45

∑ Protein 20-30% (pada keadaan stres kebutuhan protein 1,4 – 2,0

g/kgBB/hari, pada gangguan fungsi ginjal <0,8 g/kgBB/hari).

d. Apabila kemungkinan pemakaian pipaa nasogastrik diperkirakan >6

minggu, pertimbangkan untuk gastrostomi.

e. Pada keadaan tertentu, yaitu pemberian nutrisi enteral tidak

memungkinkan, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.

f. Perhatikan diet pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan

yang diberikan. Contohnya, hindarkan makanan yang banyak

mengandung vitamin K pada pasien yang mendapat warfarin.

3. Pencegahan dan penanganan komplikasi

a. Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi sub akut

(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, thrombosis vena dalam, emboli paru,

dekubitus, komplikasi ortopedi dan kontraktur) perlu dilakukan.

(AHA/ASA, Level of evidence B and C).

b. Berikan antibiotika atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes

kultur dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai

dengan pola kuman (AHA/ASA, Level of evidence A).

c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas atau memakai kasur

anti dekubitus.

d. Pencegahan trombosis vena dalam dan emboli paru.

e. Pada pasien tertentu yang berisiko menderita thrombosis vena dalam,

heparin subkutan 5000 IU 2 kali sehari atau LMWH atau heparinoid

perlu diberikan (AHA/ASA, Level of evidence A). Risiko perdarahan


46

sistemik dan perdarahan intraserebral perlu diperhatikan. Pada pasien

imobilisasi yang tidak bisa menerima antikoagulan, penggunaan

stocking external atau aspirin direkomendasikan untuk mencegah

trombosis vena dalam (AHA/ASA, Level of evidence A and B).

4. Penatalaksanaan medis lain

a. Pemantauan kadar glukosa darah sangat diperlukan. Hiperglikemia

(kadar glukosa darah >180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati

dengan titrasi insulin (AHA/ASA, Class I, Level of evidence C).

Target yang harus dicapai adalah normoglikemia. Hipoglikemia berat

(<50 mg/dl) harus dioibati dengan dekstrosa 40% intravena atau infus

glukosa 10-20%.

b. Jika gelisah lakukan terapi psikologi, kalau perlu berikan minor dan

mayor tranquilizer seperti benzodiazepine short acting atau propofol

bisa digunakan.

c. Analgesik dan anti muntah sesuai indikasi.

d. Berikan H2 antagonis apabila ada indikasi (perdarahan lambung).

e. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lender, atau memandikan

pasien karena dapat mempengaruhi TIK.

f. Mobilisasi bertahap bila hemodinamik dan pernapasan stabil.

g. Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan

kateterisasi intermiten.
47

h. Pemeriksaan penunjang lanjutan seperti pemeriksaan laboratorium,

MRI, Dupleks Carotid Sonography, Transcranial Doppler, TTE

sesuai dengan indikasi.

i. Rehabilitasi.

j. Edukasi keluarga.

k. Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar rumah sakit).

2.1.10 Kedaruratan Medik Stroke Akut

A. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Stroke Akut :

1. Penatalaksanaan hipertensi

a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan

sekitar 15% (sistolik maupun diastolik dalam 24 jam pertama

setelah awitan apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg

atau tekanan darah diastolik (TDD) >120 mmHg. Pada pasien

stroke iskemik akut yang akan diberi terapi trombolitik (rtPA),

TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180

mmHg dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah rtPA. Obat

antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,

nitroprusid, nikardin atau ditiazem intravena.

b. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA,

Class IIb, Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau

Mean Arterial Pressure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah


48

diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena

secara kontinyu dengan pemantauan tekanan darah setiap 5

menit.

c. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai

dengan gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial,

dilakukan pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan darah

diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi intravena

secara kontinyu atau intermiten dengan pemantauan tekanan

perfusi serebral ≥60 mmHg.

d. Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai

gejala dan tanda peningkatan tekanan intrakranial, tekanandarah

diturunkan secara hati-hati dengan menggunakan obat

antihipertensi intravena kontinyu atau intermiten dengan

pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110

mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. (AHA/ASA, Class

IIa, Level of evidence B).

e. Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-

220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS

140 mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidence B). Setelah kraniotomi target MAP adalah 100 mmHg.

f. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan

tekanan darah pada penderita stroke perdarahan intraserebral.


49

g. Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat

beta (labetalol dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin

dan diltiazem) intravena, digunakan dalam upaya diatas.

h. Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena

mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial meskipun

bukan kontra indikasi mutlak.

i. Pada perdarahan subarakhnoid (PSA) aneurismal, tekanan darah

harus dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan

perfusi serebral untuk mencegah risiko terjadinya stroke iskemik

sesudah PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level

of evidence B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan

subarakhnoid berulang, pada pasien stroke perdarahan

subarakhnoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-

160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan

sebagai target TDS dalam mencegah risiko terjadinya

vasospasme, namun hal ini bersifat individual tergantung pada

usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan

komorbiditas kardiovaskuler.

j. Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam

berbagai panduan penatalaksanaan PSA karena dapat

memperbaiki keluaran fungsional pasien apabila vasospasme

serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini menyatakan

bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.


50

k. Terapi hiperdinamik dengan ekspansi volume dan induksi

hipertensi dapat dilakukan dalam penatalaksanaan vasospasme

serebral pada PSA aneurismal (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidence B), tetapi target rentang tekanan darah belum jelas.

l. Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat

dipertimbangkan hingga lebih rendah dari target diatas pada

kondisi tertentu yang mengancam target akut, edema paru, gagal

ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan

tersebut adalah 15-25% pada jam pertama dan TDS 160/90

mmHg dalam 6 jam pertama.

2. Penatalaksanaan hipotensi pada stroke akut

Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya

keluaran neurologis, terutama bila TDS <100 mmHg atau TDD <70

mmHg. Oleh karena itu, hipotensi pada stroke akut harus diatasi dan dicari

penyebabnya terutama diseksi aorta, hipovolemia, perdarahan dan

penurunan cardiac output karena iskemia miokardial atau aritmia.

Penggunaan obat vasopresor dapat diberikan dalam bentuk infus

dan disesuaikan dengan efek samping yang akan ditimbulkan seperti

takikardia. Obat-obat vasopressor yang dapat digunakan antara lain,

fenilpherin, dopamin dan norepinefrin. Pemberian obat-obat tersebut

diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan darah optimal

yaitu TDS berkisar 140 mmHg pada kondisi akut stroke.


51

B. Penatalaksanaan Gula Darah pada Stroke Akut

Hindari kadar gula darah melebihi 180 mg/dl, disarankan dengan

infus salin dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah

serangan stroke akan berperan dalam mengendalikan gula darah.

Hipoglikemia (<50 mg/dl) akan memperlihatkan gejala mirip

dengan serangan infark dan dapat diatasi dengan pemberian bolus

dekstrosa atau infus glukosa 10-20% sampai kadar gula darah 80-110

mg/dl.

2.1.11 Penatalaksanaan Khusus Stroke Akut

A. Penatalaksanaan Stroke Iskemik

1. Pengobatan terhadap hipertensi

Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar

15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelah awitan

apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah

diastolik (TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akutyang akan

diberi terapi trombolitik (rTPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS

<185 mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B).

Selanjutnya tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg

dan TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rTPA. Obat

antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid,

nikardipin, atau diltiazem intravena.


52

2. Pemberian obat yang dapat menyebabkan hipertensi tidak

direkomendasikan diberikan pada kebanyakan pasien stroke iskemik

(AHA/ASA, Level of evidence A).

3. Pengobatan terhadap hipoglikemia atau hiperglikemia

a. Hindari kadar gula darah melebihi 180 mg/dl, disarankan dengan

infus salin dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam pertama

setelah serangan stroke akan berperan dalam mengendalikan kadar

gula darah. Hipoglikemia (<50 mg/dl) mungkin akan memperlihatkan

gejala mirip dengan stroke infark, dan dapat diatasi dengan pemberian

bolus dekstrosa atau infus glukosa 10-20% sampai kadar gula darah

80-110 mg/dl.

b. Kontrol gula darah selama fase akut stroke. Periksa gula darah kapiler

tiap jam sampai pada sasaran glukosa (glucose goal range) selama 4

jam, kemudian diturunkan tiap 2 jam. Bila gula darah tetap stabil,

infus insulin dapat dikurangi tiap 4 jam. Pemantauan tiap jam untuk

penderita sakit kritis walaupun gula darah stabil.

4. Strategi untuk memperbaiki aliran darah dengan mengubah reologik darah

secara karakteristik dengan meningkatkan tekanan perfusi tidak

direkomendasikan.

5. Pemberian terapi trombolisis pada stroke akut

a. Prosedur aplikasi pemberian terapi trombolisis rTPA pada stroke

iskemik akut.
53

Rekomendasi pengobatan stroke didasarkan pada perbedaan antara

keuntungan dan kerugian dalam tatalaksana yang diberikan.

Fibrinolitik dengan rTPA secara umum memberikan keuntungan

reperfusi dari lisisnya trombus dan perbaikan sel serebral yang

bermakna. Pemberian fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat

diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis stroke iskemik akut

ditegakkan (awitan 3 jam pada pemberian intravena dan 6 jam

pemberian intraarterial).

∑ Kriteria inklusi

- Usia ≥18 tahun

- Diagnosis klinis stroke dengan defisit neurologis yang jelas

- Awitan dapat ditentukan secara jelas (<3 jam, AHA guideline

2007 atau <4,5 jam, ESO 2009)

- Tidak ada bukti perdarahan intrakranial dari CT scan

- Pasien atau keluarga mengerti dan menerima keuntungan serta

risiko yang mungkin timbul dan harus ada persetujuan secara

tertulis dari penderita atau keluarga untuk dilakukan terapi

rTPA

∑ Kriteria eksklusi

- Usia >80 tahun

- Defisit neurologi yang ringan dan cepat membaik atau

perburukan defisit neurologi yang berat

- Gambaran perdarahan intrakranial pada CT scan


54

- Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir

b. Golden hour untuk rencana pemberian rTPA (≤60 menit)

- Pasien tiba di IGD dengan diagnosis stroke

- Evaluasi dan pemeriksaan pasien oleh triage dengan waktu ≤10

menit

- Didiskusikan oleh tim stroke (termasuk keputusan dilakukan

pemberian rTPA) dengan waktu ≤15 menit

- Dilakukan pemeriksaan CT scan kepala, waktu ≤25 menit

- Hasil pemeriksaan CT scan kepala dan laboratorium, waktu

≤45 menit

- Pemberian rTPA (bila pasien memenuhi kriteria inklusi), ≤60

menit

c. Monitor risiko perdarahan selama pemberian rTPA. Pemberian rTPA

harus segera dihentikan bila terdapat perdarahan yang dianggap

serius, misalnya perdarahan yang tidak dapat dihentikan dengan

penekanan lokal.

6. Pemberian antikoagulan

a. Antikoagulasi yang urgent dengan tujuan mencegah timbulnya stroke

ulang awal, menghentikan perburukan defisit neurologi, atau

memperbaiki keluaran setelah stroke iskemik akut, tidak

direkomendasikan sebagai pengobatan untuk pasien stroke iskemik

akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).


55

b. Antikoagulasi urgent tidak direkomendasikan pada penderita dengan

stroke akut sedang sampai berat karena meningkatnya risiko

komplikasi perdarahan intrakranial (AHA/ASA, Class III, Level of

evidence A).

c. Inisiasi pemberian terapi antikoagulan dalam jangka waktu 24 jam

bersamaan dengan pemberian intravena rTPA tidak direkomendasikan

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).

d. Secara umum, pemberian heparin, LMWH atau heparinoid setelah

stroke iskemik akut tidak bermanfaat. Namun, beberapa ahli masih

merekomendasikan heparin dosis penuh pada penderita stroke

iskemik akut dengan risiko tinggi terjadi reembolisasi, diseksi arteri

atau stenosis berat arteri karotis sebelum pembedahan. Kontra

indikasi pemberian heparin juga termasuk infark besar >50%,

hipertensi yang tidak dapat terkontrol dan perubahan mikrovaskuler

otak yang luas.

7. Pemberian antiplatelet

a. Pemberian aspoirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24 sampai 48

jam setelah awitan stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

b. Aspirin tidak boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi

akut pada stroke, seperti pemberian rTPA intravena (AHA/ASA,

Class III, Level of evidence B).


56

c. Jika direncanakan pemberian trombolitik, aspirin jangan diberikan

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

d. Penggunaan aspirin sebagai adjunctive therapy dalam 24 jam setelah

pemberian obat trombolitik tidak direkomendasikan (AHA/ASA,

Class III, Level of evidence A).

e. Pemberian klopidogrel saja atau kombinasi dengan aspirin, pada

stroke iskemik akut tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of

evidence C). Kecuali pada pasien dengan indikasi spesifik, misalnya

angina pektoris tidak stabil, non-Q-wave MI, atau recent stenting,

pengobatan harus diberikan sampai 9 bulan setelah

kejadian(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

f. Pemberian antiplatelet intravena yang menghambat reseptor

glikoprotein IIb/IIIa tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class III, Level of

evidence B).

8. Hemodilusi dengan atau tanpa vanaseksi dan ekspansi volume tidak

dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level

of evidence A).

9. Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi

stroke iskemik akut (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

10. Dalam keadaan tertentu, vasopresor terkadang digunakan untuk

memperbaiki aliran darah ke otak (cerebral blood flow). Pada keadaan

tersebut, pemantauan kondisi neurologis dan jantung harus dilakukan

secara ketat (AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).


57

11. Tindakan endarterektomi karotid pada stroke iskemik akut dapat

mengakibatkan risiko serius dan keluaran yang tidak menyenangkan.

Tindakan endovaskular belum menunjukkan hasil yang bermanfaat,

sehingga tidak dianjurkan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C).

12. Pemakaian obat-obatan neuroprotektan belum menunjukkan hasil yang

efektif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan (AHA/ASA, Class III,

Level of evidence A). Namun, citicolin sampai saat ini masih memberikan

manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke iskemik akut

dengan dosis 2 x 1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan oral 2 x

1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS

(International Citicholine Trial in Acute Stroke). Selain itu penelitian yang

dilakukan oleh PERDOSSI secara multisenter, pemberian plasmin oral 3 x

500 mg pada 66 pasien di 6 rumah sakit pendidikan di Indonesia

menunjukkan efek positif pada penderita stroke akut berupa perbaikan

motorik, score MRS dan barthel index.

13. Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)

Diagnosa CVST tetap sulit. Faktor. Beberapa faktorrisiko sering dijumpai

bersamaan. Penelitian The International Study On Cerebral Vein And

Dural Sinus Thrombosis (ISCVT) mendapat 10 faktor risiko terbanyak,

antara lain kontrasepsi oral (54,3%), trombofilia (34,1%), masa nifas

(13,8%), infeksi dapat berupa infeksi sistem saraf pusat, infeksi organ-

organ wajah dan infeksi lainnya (12,3%), gangguan hematologi seperti

anemia, trombositemia, polisitemia (12%), obat-obatan (7,5%), keganasan


58

(7,4%), kehamilan (6,3%), presipitasi mekanik termasuk cidera kepala

(4,5%), dan vaskulitis (3%). Penatalaksanaan CVST diberikan secara

komprehensif, yaitu dengan terapi antitrombolitik, terapi simptomatik dan

terapi penyakit dasar. Pemberian terapi UFH atau LMWH

direkomendasikan untuk diberikan, walaupun terdapat infark hemoragik

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). terapi dilanjutkan dengan

antikoagulan oral diberikan selama 3-6 bulan, diikuti dengan terapi

antiplatelet (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence C).

B. Penatalaksanaan Perdarahan Intraserebral

1. Diagnosis dan penilaian gawat darurat pada perdarahan intrakranial

dan penyebabnya.

a. Pemeriksaan pencitraan yang cepat dengan CT atau MRI

direkomendasikan untuk membedakan stroke iskemik dengan

perdarahan intrakranial. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence

A).

b. Angiografi CT dan CT dengan kontrasdapat dipertimbangkan

untuk membantu mengidentifikasi pasien dengan risiko perluasan

hematoma. Bila secara klinis atau radiologis terdapat kecurigaan

yang mengarah ke lesi struktural termasuk malformasi vaskuler

dan tumor, sebaiknya dilakukan angiografi CT, venografi CT, CT

dengan kontras, MRI dengan kontras, MRA dan venografi MR.

(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).


59

2. Tatalaksana medis perdarahan intrakranial

a. Pasien dengan defisisensi berat faktor koagulasi atau

trombositopenia berat sebaiknya mendapat terapi penggantian

faktor koagulasi atau trombosit. (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence C).

b. Pasien dengan perdarahan intrakranial dan peningkatan INR

terkait obat antikoagulan oral sebaiknya tidak diberikan warfarin,

tetapi mendapat terapi untuk mengganti vitamin K-dependent

factor dan mengkoreksi INR, serta mendapat vitamin K intravena.

Konsentrat kompleks protombin tidak menunjukkan perbaikan

keluaran dibandingkan dengan Fresh Frozen Plasma (FFP).

Namun, pemberian konsentrat kompleks protombin dapat

mengurangi komplikasi dibandingkan dengan FFP dan dapat

dipertimbangkan sebagai alternatif FFP (AHA/ASA, Class IIa,

Level of evidence B).

c. Apabila terjadi gangguan koagulasi maka dapat dikoreksi sebagai

berikut :

∑ Vitamin K 10 mg intravema diberikan pada penderita

dengan peningkatan INR dan diberikan dalam waktu yang

sama dengan terapi yang lain karena efek akan timbul 6 jam

kemudian. Kecepatan pemberian <1 mg/menit untuk

meminimalkan risiko anafilaksis.


60

∑ FFP 2-6 unit diberikan untuk mengoreksi defisiensi faktor

pembekuan darah bila ditemukan sehingga dengan cepat

memperbaiki INR atau aPTT. Terapi FFP ini untuk

mengganti pada kehilangan faktor koagulasi.

d. Faktor VIIa rekombinan tidak mengganti semua faktor

pembekuan dan walaupun INR menurun, pembekuan bisa jadi

tidak membaik. Oleh karena itu, faktor VIIa rekombinan tidak

secara rutin direkomendasikansebagai agen tunggal untuk

mengganti antikoagulasi oral pada perdarahan intrakranial.

Walaupun faktor VIIa rekombinan dapat membatasi perluasan

hematoma pada pasien ICH tanpa koagulopati, risiko kejadian

tromboemboli akan meningkat dengan faktor VIIa rekombinan

dan tidak ada keuntungan nyata pada pasien yang tidak terseleksi.

Dengan demikian faktor VIIa rekombinan tidak

direkomendasikan pada pasien yang tidak terseleksi. (AHA/ASA,

Class III, Level of evidence A).

e. Kegunaan dari tranfusi trombosit pada pasien perdarahan

intrakranial dengan riwayat penggunaan antiplatelet masih tidak

jelas dan masih dalam tahap penelitian. (AHA/ASA, Class IIb,

Level of evidence B).

f. Untuk mencegah tromboemboli vena pada pasien dengan

perdarahan intrakranial, sebaiknya mendapat pneumatic


61

intermittent compression selain dengan stoking elastis.

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

g. Setelah dokumentasi penghentian perdarahan, LMWH atau UFH

subkutan dosis rendah dapat dipertimbangkan untuk pencegahan

tromboemboli vena pada pasien dengan mobilitas yang kurang

setelah satu hingga empat hari pascaawitan. (AHA/ASA, Class

IIb, Level of evidence B).

h. Efek heparin dapat diatasi dengan pemberian protamin sulfat 10-

50 mg IV dalam waktu 1-3 menit. Penderita dengan pemberian

protamin sulfat perlu pengawasan ketat untuk melihat tanda-tanda

hipersensitif. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

3. Tekanan darah

Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220

mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140

mmHg cukup aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

Setelah kraniotomi target MAP adalah 100 mmHg.

4. Penanganan di rumah sakit dan pencegahan kerusakan otak sekunder

a. Pemantauan awal dan penanganan pasien perdarahan intrakranial

sebaiknya dilakukan di ICU dengan dokter dan perawat yang

memiliki keahlian perawatan intensif neurosains. (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence B).

b. Penanganan glukosa
62

Hindari kadar gula darah melebihi 180 mg/dl, disarankan dengan

infus salin dan menghindari larutan glukosa dalam 24 jam

pertama setelah serangan stroke akan berperan dalam

mengendalikan gula darah.

c. Obat kejang dan antiepilepsi

Kejang sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi. Pemantauan

EEG secara kontinyu dapat diindikasikan pada pasien perdarahan

intrakranial dengan kesadaran menurun tanpa mempertimbangkan

kerusakan otak yang terjadi. Pasien dengan perubahan status

kesadaran yang didapatkan gelombang epileptogenik pada EEG

sebaiknya diterapi dengan obat antiepilepsi. Pemberian

antikonvulsan profilaksis tidak direkomendasikan. (AHA/ASA,

Class III, Level of evidence B).

5. Prosedur/ Operasi

a. Penanganan dan pemantauan intrakranial

Pasien dengan skor GCS <8 dengan tanda klinis herniasi

transtentorial atau dengan perdarahan intraventrikuler luas atau

hidrosefalus dapat dipertimbangkan untuk penanganan dan

pemantauan tekanan intrakranial. Tekanan perfusi otak 50-70

mmHg dapat dipertahankan tergantung pada status otoregulasi

otak. (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence C).

b. Perdarahan intraventrikuler
63

Walaupun pemberian intraventrikuler recombinant tissue-type

plasminogen activator (rtPA) untuk melisisikan bekuan darah

intraventrikuler memiliki tingkat komplikasi yang cukup rendah,

efikasi dan keamanan dari tata laksana ini masih dalam tahap

penelitian. (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence B).

c. Evakuasi hematom

∑ Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami

perburukan neurologis atau yang terdapat kompresi batang

otak dan atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel

sebaiknya menjalani operasi evakuasi bekuan darah

secepatnya. Tatalaksana awal pada pasien tersebut dengan

drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah tidak

direkomendasikan. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence

C).

∑ Pada pasien dengan bekuan darah di lobus >30 ml dan

terdapat di 1 cm dari permukaan, evakuasi perdarahab

intrakranial supratentorial dengan kraniotomi standar dapat

dipertimbangkan. (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidence

B).

∑ Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan

segera dari perdarahan intrakranial supratentorial untuk

meningkatkan keluaran fungsional atau angka kematian.

Kraniotomi segera dapat merugikan karena dapat


64

meningkatkan risiko perdarahan berulang. (AHA/ASA, Class

III, Level of evidence B).

d. Prediksi keluaran dan penghentian dukungan teknologi

Perintah penundaan tidak diresusitasi direkomendasikan untuk

tidak dilakukan sebelum perawatan penuh dan agresif dilakukan

selama dua hari, kecuali pada pasien yang sejak semula ada

keinginan untuk tidak diresusitasi.

e. Pencegahan perdarahan intrakranial berulang

∑ Pada perdarahan intrakranial dimana stratifikasi risiko pasien

telah disusun untuk mencegah perdarahan berulang

keputusan tatalaksana dapat berubah karena pertimbangan

beberapa faktor risiko, antara lain lokasi lobus dari

perdarahan awal, usia lanjut, dalam pengobatan antikoagulan,

terdapat alel E2 atau E4 apolipoprotein dan perdarahan mikro

dalam jumlah besar pada MRI. (AHA/ASA, Class IIa, Level

of evidence B).

∑ Setelah periode akut perdarahan intrakranial dan tidak ada

kontra indikasi medis, tekanan darah sebaiknya dikontrol

dengan baik terutama pada pasien yang lokasi perdarahannya

tipikal dari vaskulopati hipertensif. (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence A).

∑ Setelah periode akut perdarahan intrakranial, target dari

tekanan darah dapat dipertimbangkan menjadi <140/90


65

mmHg atau <130/80 mmHg jika diabetes atau penyakit ginjal

kronik. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

C. Penatalaksanaan Perdarahan Subarakhnoid

1. Tatalaksana penegakan diagnosis perdarahan subarakhnoid

a. Perdarahan subarakhnoid merupakan salah satu kegawatdaruratan

neurologi dengan gejala yang kadangkala tidak khas sehingga

sering ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosa. Pasien

dengan keluhan nyeri kepala hebat yang muncul tiba-tiba

sebaiknya dicurigai sebagai suatu tanda adanya PSA. (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence B).

b. Pasien yang dicurigai PSA sebaiknya dilakukan pemeriksaan CT

scan kepala. Apabila hasil CT scan tidak menunjukan adanya

tanda-tanda PSA pada pasien yang secara klinis dicurigai PSA,

maka tindakan fungsi lumbal untuk analisis cairan serebrospinal

sangan direkomendasikan. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence

B).

2. Tata laksana umum PSA

a. Tata laksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt &

Hess (H&H) adalah sebagai berikut :

∑ Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin.

∑ Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 30∞ dalam

ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila

perlu berikan oksigen 2-3 l/menit.


66

∑ Hati-hati dalam pemakaian sedatif.

∑ Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan

monitor ketat sistem kardiopulmoner dan kelainana neurologi

yang timbul.

b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H, perawatan

harus lebih intensif

∑ Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol

pasien di ruang gawat darurat.

∑ Perawatan sebaiknya dilakukan di ruang intensif atau

semiintensif.

∑ Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang

adekuat perlu dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan

hati-hati terutama apabila didapatkan tanda-tanda tekanan

tinggi intrakranial.

∑ Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan

karena akan menyulitkan penilaian status neurologi.

3. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA

a. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko

perdarahan ulang. Hipertensi berkaitan dengan terjadinya

perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg

sangat disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan ulang

pada PSA.

b. Istirahat total di tempat tidur.


67

c. Terapi antifibronilitik (epsilon-aminocaproic acid : loading 4 mg

IV, kemudian diikuti infus kontinyu 1 g/jam atau asam

traneksamat loading 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup

atau biasanya disarankan selama 72 jam) untuk mencegah

terjadinya perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan

klinis tertentu. Terapi antifibrinolitik dikontra indikasikan pada

pasien dengan koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke

iskemik, emboli paru atau trombosis vena dalam. Terapi

antifibrinolitik dikaitkan dengan tingginya angka kejadian

iskemik serebral sehingga mungkin tidak menguntungkan pada

hasil akhir secara keseluruhan. (AHA/ASA, Class IIb, Level of

evidence B).

d. Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan

perdarahan ulang. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence A).

4. Tindakan operasi pada aneurisma yang ruptur

a. Operasi clipping atau endovaskuler coiling sangat

direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah

ruptur aneurisma pada PSA. (AHA/ASA, Class I, Level of

evidence B).

b. Walaupun operasi yang segera akan mengurangi risiko

perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian yang

memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil akhir tidak

berbeda dengan operasi yang ditunda. (AHA/ASA, Class II-V,


68

Level of evidence B). Operasi segera (early dan ultra early)

dianjurkan pada pasien dengan derajat yang lebih baik serta lokasi

aneurisma yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi

yang segera atau yang ditunda direkomendasikan tergantung pada

situasi klinik khusus. Rujukan dini ke pusat spesialis sangat

dianjurkan. Penenganan dan pengobatan pasien aneurisma lebih

awal dianjurkan untuk sebagian besar kasus. (AHA/ASA, Class

IIa, Level of evidence B).

c. Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa

coilling atau coiling and clipping ditentukan tim bedah syaraf dan

dokter endovaskuler. Tindakan endovaskuler coiling lebih

bermanfaat. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).

d. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang

tinggi untuk perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma cara

komplit dianjurkan kapan saja bila memungkinkan. (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence B).

5. Pencegahan dan tatalaksana vasospasme

a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam intravena

pada hari ketiga atau secara oral 60mg setiap 6 jam selama 21

hari. Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki defisit

neurologi yang ditimbulkanoleh vasospasme. (AHA/ASA, Class

I, Level of evidence A). Calsium antagonist lainnya yang


69

diberikan secara oral atau intravena tidak bermakna. (AHA/AS,

Class I, Level of evidence).

b. Pengobatan vasospasme serebral dimulai dengan penanganan

aneurisma yang ruptur dengan mempertahankan volume darah

sirkulasi yang normal (euvolemia) dan menghindari terjadinya

hipofolemia. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

c. Terutama pada pasien PSA dengan tanda-tanda vasospasme,

terapi hiperdinamik yang dikenal dengan triple-H (hyperfolemic-

hypertensif-hemodilution) perlu dipertimbangkan dengan tujuan

mempertahankan tekanan perfusi serebral. Dengan demikian

angka kejadian iskemik serebral akibat vasospasme dapat

dikurangi. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan

ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.

(AHA/ASA, Class III-V, Level of evidence C).

d. Fibrinolitik intrasisternal, antioksidan dan anti inflamasi tidak

bermakna. (AHA/ASA, Class II-IV, Level of evidence C).

e. Pada pasien yang gagal dengan terapi konvensional, angioplasti

transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme.

(AHA/ASA, Class IV-V, Level of eveidence C).

f. Cara lain untuk penatalaksanaan vasospasme adalah sebagai

berikut:

∑ Pencegahan vasosapsme:

i. Nimodipin 60 mg per oral empat kali sehari


70

ii. NaCl 3% intravena 50 mg tiga kali sehari (hati-hati

terhadap timbulnya komplikasi berupa central

pontine myelinolisis (CPM).

iii. Jaga keseimbangan elektrolit

∑ Delayed vasopasm

i. Stop nimodipin, anti hipertensi dan diuretika.

ii. Berikan 5% albumin 250 ml intravena

iii. Bila memungkinkan lakukan pemasangan swan-

ganz dan usahakan wedge pressure 12-14 mmHg.

iv. Jaga cardiac index sekitar 4L/min/sg.meter.

v. Berikan dobutamin 2-15 ug/kg/min.

6. Pengelolaan tekanan darah pada PSA

Pada perdarahan subarakhnoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus

dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi

serebral untuk mencegah risiko terjadinya stroke iskemik sesudah

PSA serta perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I, Level of evidence

B). Untuk mencegah terjadinya perdarahan subarakhnoid berulang,

pada pasien stroke perdarahan subarakhnoid akut, tekanan darah

diturunkan hingga TDS 140-160 mmHg. Sedangkan TDS 160-180

mmHg sering digunakan sebagai target TDS dalam mencegah risiko

terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual tergantung

pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan

komorbiditas kardiovaskuler.
71

7. Tatalaksana hiponatremia pada PSA

∑ Bila natrium dibawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% 2-3 liter

perhari. Berikan NaCl hipertonik 3% 50ml tiga kali sehari bila

perlu. (AHA/ASA, Class III-IV, Level of evidence C).

∑ Hindari pemberian cairan hipotonik dan kontraksi volume

intravaskuler pada pasien perdarahan surakhnoid. (AHA/ASA,

Class I, Level of evidence B).

∑ Pantau status volume cairan pada pasien PSA dengan kombinasi

tekanan vena sentral, tekanan arteri pulmoner, balans cairan.

Terapi untuk kontraksi volume cairan adalah dengan cairan

isotonik. (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).

∑ Pemberian fludrocortisone acetate dan cairan hipertonik berguna

untuk mengoreksi hiponatremia. (AHA/ASA, Class IIa, Level of

evidence B).

∑ Pada keadaan tertentu, restriksi cairan dapat dilakukan untuk

mempertahankan keadaan eupolemik. (AHA/ASA, Class IIb,

Level of evidence B).

8. Tatalaksana komplikasi hidrosefalus

∑ Hidrosefalus akut (obstruksi)

Dapat terjadi setelah hari pertama, nmun lebih sering dalam tujuh

hari pertama. Dengan insidensi kira-kira 20% dari kasus

dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau drainase eksternal

ventrikel), walaupun kemungkinan risikonya kemungkinan dapat


72

terjadi perdarahan ulang dan infeksi. (AHA/ASA, Class IV-V,

Level of evidence C).

∑ Hidrosefalus kronik (komunikan)

Sering terjadi setelah PSA, untuk ini perlu dilakukan pengaliran

cairan cerbrospinalis secara temporer atau permanen seperti

pemasangan ventrikuloperitoneal shunt. (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence B).

9. Terapi tambahan

a. Laksansia (pencahar) diperlukan untuk melunakkan feses secara

reguler.

b. Analgesik

∑ Asetaminofen ½ - 1 gram/ 4-6 jam dengan dosis maksimal 4

gram/ 4-6jam.

∑ Kodein posfat 30-60 mg oral atau intramuskular/ 4-6 jam.

∑ Tylanol dengan kodein.

∑ Hindari asetosal.

c. Pasien yang sangat gelisah dapat diberikan :

∑ Haloperidol intramuskular 1-10 mg/ 6 jam

∑ Petidin intramuskular 50-100 mg atau morfin subkutan atau

intravena 5-10 mg/ 4-6 jam.

∑ Midazolam 0,06-1,1 mg/ kg/ jam.

∑ Propopol 3-1 mg/ kg/ jam.


73

2.1.12 Restorasi Dan Rehabilitasi Stroke

A. Rekomendasi mengenai elemen dari rehabilitasi

1. Fisioterapi dan terapi okupasi direkomendasikan, walaupun cara

pelaksanaan yang optimal belum diketahui. (AHA/ASA, Class I,

Level of evidence A).

2. Meskipun penilaian terhadap gangguan komunikasi

direkomendasikan, tetapi data untuk merekomendasikan tatalaksana

yang spesifik tidak mencukupi. (ESO, Class III, GCP).

3. Fasilitas informasi direkomendasikan untuk disediakan kepada

penderita dan perawat pendampingnya. (AHA/ASA, Class II, Level of

evidence B).

4. Rehabilitasi direkomendasikan pada semua penderita, tetapi masih

terbatas hasil penelitian tentang tatalaksana yang sesuai untuk

sebagian besar kecacatan yang berat. (AHA/ASA, Class II, Level of

evidence B).

5. Meskipun penilaian terhadap deifisit kognitif diperlukan, tetapi data

untuk merekomendasikan tatalaksana yang spesifik tidak cukup.

(AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

6. Direkomendasikan untuk memantau adanya depresi pada penderita

selama perawatan di rumah sakit dan setelah rawat jalan. (AHA/ASA,

Class IV, Level of evidence B).


74

7. Terapi farmakologi (SSRI dan heterocyclics) dan intervensi non

farmakologi direkomendasikan untuk memperbaiki mood.

(AHA/ASA, Level of evidence A, Class I).

8. Terapi farmakologi dapat digunakan untuk memperbaiki status

emosional pasca stroke. (AHA/ASA, Class II, Level of evidence B).

9. Obat trisiklik dan antikonvulsan (lamotridin dan gabapentin)

direkomendasikan untuk pengobatan nyeri neuropatik pasca stroke

yang terjadi pada beberapa penderita. (AHA/ASA, Class III, Level of

evidence B).

10. Toksin botulinum direkomendasikan untuk tatalaksana spastisitas

pasca stroke, walaupun manfaat fungsionalnya masih belum jelas.

(AHA/ASA, Class III, Level of evidence B).

B. Rekomendasi umum rehabilitasi untuk stroke

1. Pasien stroke fase akut direkomendasikan menjalani perawatan di unit

stroke dengan tujuan untuk mendapatkan penanganan multi disiplin

dan terkoordinasi. (AHA/ASA, Class I, Level of evidence A).

2. Direkomendasikan untuk memulai rehabilitasi dini setelah kondisi

medis stabil. (AHA/ASA, Class III, Level of evidence C).

3. Setelah keluar dari unit stroke, direkomendasikan untuk melanjutkan

rehabilitasi dengan berobat jalan selama tahun pertama setelah stroke.

(AHA/ASA, Class II, Level of evidence A).

4. Direkomendasikan untuk meningkatkan durasi dan intensitas

rehabilitasi. (AHA/ASA, Class II, Level of evidence B).


75

C. Rekomendasi restorasi dan rehabilitasi stroke pascaakut

1. Keluaran klinis yang baik akan tercapai jika pasien stroke pasca akut

yang akan direhabilitasi menerima intervensi yang terkoordinasi dan

evaluasi multi disiplin.

a. Perawatan stroke pasca akut sebaiknya dilakukan didalam

perawatan restorasi dan rehabilitasi yang secara formal

terkoordinasi dan terorganisasi.

b. Perawatan stroke pasca akut sebaiknya dilakukan dengan tata

laksana dari berbagai disiplin ilmu, berpengalaman dalam

menyediakan perawatan stroke pasca akut, untuk memastikan

konsistensi dan mengurangi risiko terjadinya komplikasi.

c. Tim multi disiplin ilmu dapat terdiri dari dokter, perawat,

tenaga terapi fisik, tenaga terapi okupasi, tenaga terapi kinesi,

ahli patologi bicara dan bahasa, psikolog, tenaga terapi

rekreasi, pasien dan keluarga.

2. Jika tim restorasi dan rehabilitasi yang terorganisasi tidak tersedia

didalam fasilitas, pasien dengan keadaan klinis sedang atau berat

sebaiknya ditawarkan untuk mendapatkan fasilitas dengan tim

tersebut atau dokter dan spesialis rehabilitasi yang berpengalaman

dalam kasus stroke yang sebaiknya tetap didapatkan dalam perawatan

psien.
76

3. Pendekatan dengan tim yang terorganisasi sebaiknya tetap dilanjutkan

pada saat pasien pulang dan mendapatkan perawatan rehabilitasi di

rumah.

D. Rekomendasi mengenai intensitas dan lamanya terapi

1. Terapi rehabilitsi direkomendasikan secara kuat untuk dimulai

sesegera mungkin saat stabilits medis tercapai.

2. Pasien direkomendasikan untuk mendapatkan terapi sebanyak

mungkin yang diperlukan untuk beradaptasi, pemulihan, dan atau

menentukan pramorbid atau kadar optimal kemandirian secara

fungsional.

3. Beberapa strategi yang dapat meningkatkan intensitas dan lamanya

latihan, antara lain :

a. Mengajari keluarga penderita untuk melakukan perawatan.

b. Menggunakan alat-alat bantu terapi, robot-robot atau teknologi

pendukung yang dapat meningkatkan waktu terapi.

c. Memeperpanjang lamanya dan ketersediaan unit restorasi dan

rehabilitasi.

E. Rekomendasi untuk keluarga penderita dan perawat

1. Keluarga/ perawat pasien stroke dilibatkan dalam membuat

keputusan dan rencana terapi sesegera mungkin, jika dapat dalam

keseluruhan proses terapi.

2. Perawat sebaiknya waspada terhadap stres pada keluarga/

pengasuh dan secara spesifik menyadari stres berhubungan dengan


77

kendala seperti menurunnya fungsi kognitif, inkontinensia urin,

dan perubahan kepribadian, melalui cara memberi semangat yang

diperlukan.

3. Perawatan akut di rumah sakit dan fasilitas rehabilitasi sebaiknya

dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal, yaitu memberikan

informasi terbaru mengenai sumber-sumber komunitas pada

tingkat lokal dan nasional, menyediakan informasi pada pasien

stroke dan keluarga/ pengasuh dan menawarkan bantuan untuk

memperoleh layanan yang dibutuhkan.

4. Pasien dan pengasuh mendapatkan pandangan psikososial dan

semnagat secara reguler melalui pekerja sosial atau pekerja

kesehatan yang sesuai untuk mengurangi stres pada pengasuh.

F. Rekomendasi persiapan penderita kembali ke lingkungannya setelah

stroke

1. Pasien, keluarga dan pengasuh dijelaskan secara penuh mengenai,

persiapan dan seluruh aspek pelayanan kesehatan serta keamanan

yang dibutuhkan.

2. Keluarga dan pengasuh mendapatkan segala perlengkapan yang

dibutuhkan untuk keamanan pasien dalam pemindahan ke

rumahnya.

3. Pasien mendapatkan pendidikan dan kesempatan mendapat

penghasilan. Pasien stroke yang bekerja sebelum terjadinya stroke

sebaiknya dibesarkan hatinya untuk di evaluasi terhadap potensi


78

kembali bekerja, jika kondisi mereka memungkinkan. Konseling

sebaiknya dilakukan jika dibutuhkan.

4. Aktivitas diwaktu luang diketahui oleh perawat atau keluarga dan

dikembangkan, kemudian pasien dapat berpatisipasi dalam aktivits

ini.

5. Penanganan dilaakukan ditempat pasien dan situasi keluarga yang

kompleks.

6. Rekomendasi perawatan fase akut dirumah sakit dan

mempertahankan pelayanan rehabilitasi yang bersumberdayakan

masyarakat, menyediakan informasi bagi pasien stroke dan

keluarga serta pengasuh dan menawarkan bantuan dalam

menemukan kebutuhan yang diperlukan. Pasien sebaiknya

diinformasikan dan ditawarkan untuk kontak dengan agen

sukarelawan yanga ada.

G. Rekomendasi untuk gangguan motorik

1. Latihan resisten (tahanan) progresif.

2. Stimulasi elektrik bersama-sama dengan terapi latihan dan

aktivitas.

3. Latihan tugas spesifik.

4. Latihan pergerakan seharusnya dipertimbangkan pada penderita

dengan kemapuan ekstensi dari sendi pergelangan tangan sebesar

20∞ dan ekstensi dari jari sebesar 10∞ dan tidak memiliki gangguan

kognitif atau gangguan sensorik.


79

5. Latihan treadmill mungkin dapat digunakan pada beberapa

penderita.

6. Latihan berjalan dengan berbagai jenis lantai, lingkungan, langkah,

kecepatan.

7. Alat bantu untuk ektremitas bawah dapat dipertimbangkan jika

dibutuhkan kestabilan lutut untuk latihan berjalan.

8. Berjalan dengan alat bantu dapat dipertimbangkan untuk

membantu mobilisasi, efisiensi dan keamanan jika diperlukan.

9. Program-program harus disusun secara terstruktur untuk kegiatan

latihan.

10. Kelompok terapi, latihan sendiri atau dengan bantuan robot,

mungkin memberikan kesempatan untuk latihan lebih giat.

H. Rekomendasi untuk latihan sensorik

1. Latihan sensorik khusus dan stimulasi elektrik kutaneus dapat

dipertimbangkan.

2. Kacamata prisma mungkin diperlukan untuk penderita dengan

gangguan visual (hemianopsia hominim).

I. Rekomendasi penilaian kognisi dan komunikasi

1. Rekomendasi penilaian kognisi arousal, dan atensi pada area

learning dan memori, visual neglect, atensi, apraksia dan problem

solving.

2. Rekomendasi penilaian kemapuan berkomunikasi ditujukan pada

area mendengar, berbicara, membaca, menulis dan pragmatik.


80

J. Rekomendasi untuk gangguan komunikasi akut

1. Rekomendasi pasien dengan gangguan komunikasi mendapatkan

terapi segera dan memantau perubahan dalam hal kemampuan

komunikasi untuk mengoptimalkan pemulihan kemampuan

komunikasi, membangun strategi yang bermanfaat jika dibutuhkan

fasilitasi perkembangan dalam komunikasi.

2. Rekomendasi tenaga terlatih umtuk mendidik staf rehabilitasi dan

keluarga atau perawat mengenai cara memperkuat komunikasi

dengan pasien yang memiliki gangguan komunikasi.

K. Rekomendasi perlengkapan adaptasi, perlengkapi medikal tahan lama,

orthotik dan kursi roda

1. Rekomendasi peralatan adatif digunakan untuk keamanan fungsi

jika metode lain melakukan aktivitas tidak tersedia atau tidak dapat

dipelajari atau jika keamanan pasien menjadi tujuan.

2. Rekomendasi peralatan ortotik ektremitas bawah digunakan jika

stabilisasi pergelangan kaki atau lutut diperlukan untuk

memperbaiki kemampuan berjalan pasien dan mencegah pasien

terjatuh.

3. Rekomendasi prefabricated brace (penyangga dengan kaitan)

digunakan diawal dan hanya pasien yang menunjukan kebutuhan

penyangga jangka panjang dibuatkan ortosis yang sesuai.


81

4. Rekomendasi kursi roda berdasarkan penilaian secara teliti

terhadap pasien dan lingkungan dimana kursi roda akan digunakan.

5. Rekomendasi alat bantu berjalan digunakan untuk membantu

efisiensi dan keamanan mobilitas jika diperlukan.

2.2 Interaksi Obat

Interaksi obat terjadi jika efek suatu obat (index drugs) berubah akibat

adanya obat lain (precipitant drugs), makanan atau minuman. Interaksi obat dapat

menghasilkan efek yang memang dikehendaki (Desirable Drugs Interaction) atau

efek yang tidak dikehendaki (undesirable/ adverce drug interaction = ADIs) yang

lazimnya menyebabkan efek samping obat dan/ atau toksisitas karena

meningkatnya kadar obat di dalam plasma atau sebaliknya menurunnya kadar obat

dalam plasma yang menyebabkan hasil terapi menjadi tidak optimal. Sejumlah

besar obat baru yang dilepas di pasaran setiap tahunnya menyebabkan munculnya

interaksi baru antar obat akan semakin sering terjadi.

2.2.1 Mekanisme terjadinya interaksi obat

a. Interaksi Farmasetik :

Interaksi farmasetik atau disebut juga inkompatibilitas farmasetik

bersifat langsung dan dapat secara fisik atau kimiawi, misalnya

terjadinya presipitasi, perubahan warna, tidak terdeteksi (invisible),

yang selanjutnya menyebabkan obat menjadi tidak aktif.

b. Interaksi Farmakokinetik :

Interaksi dalam proses farmakokinetik, yaitu absorpsi, distribusi,

metabolism dan ekskresi (ADME) dapat meningkatkan atau


82

menurunkan kadar plasma obat. Interaksi obat secara farmakokinetik

yang terjadi pada suatu obat tidak dapat diekstrapolasikan (tidak

berlaku) untuk obat lainnya meskipun dalam saatu kelas terapi,

disebabkan karena adanya perbedaaan sifat fisikokimia, yang

menghasilkan sifat farmakokinetik yang berbeda.

Mekanisme interaksi yang melibatkan absorpsi gastrointestinal dapat

terjadi melalui beberapa cara :

a. Secara langsung, sebelum absorbsi :

Interaksi yang terjadi secara langsung sebelum obat di absorbs

contohnya adalah : interaksi antibiotic (tetrasiklin, fluorokuinolon)

dengan besi (Fe) dan antasida yang mengandung Al, Ca, Mg,

terbentuknya senyawa Kelat/ yang tidak larut sehingga obat

antibiotika tidak absorbsi. Obat – seperti digoksin, siklosporin, asam

valpratat menjadi inaktif jika diberikan bersama adsorben (kaolin,

charcoal) atau anionic exchange resins (kolestiramin, kolestipol).

b. Terjadi perubahan pH (Potential of Hidrogen) cairan gastrointestinal :

Terjadinya perubahan pH cairan gastrointestinal, misalnya

peningkatan pH karena adaanya antasida, penghambatan-H2,

penghambat pompa-proton akan menurunka absorbsi basa-basa lemah

(misal, ketokonazol, itrakonazol) dan akan meningkatkan absorbsi

obat-obat asam lemah (misal, glibenklamid, glipizid, tolbutamid).

Peningkatan pH cairan gastrointestinal akan menurunkan absorbsi


83

antibiotik golongan sefalosporin seperti sefuroksin aksetil dan

sefodoksim proksetil).

c. Penghambatan transport aktif gastrointestinal :

Mekanisme interaksi melalui penghambatan transport aktif

gastrointestinal, misalnya grape fruitjuice, yakni suatu inhibitor

protein transporter uptake pum di saluran cerna, akan menurunkan

bioavailabilitas beta-bloker dan beberapa antihistamin (misalnya,

feksofenadin) jika diberikan bersama-sama. Pemberian digoksin

bersaama inhibitor transporter refflux pum-glikoprotein (a.l.

ketokonazol, amiodarone, kuinidin) akan meningkatkan kadar plasma

digoksin sebesar 60-80 % dan menyebabkan intoksikasi (blokade

jantung derajat-3), menurunkan ekskresinya lewat empedu, dan

menurunkan ekskresinya oleh sel-sel tubulus ginjal proksimal.

d. Adanya perubahan flora usus :

Adanya perubahan flora usus misalnya akibat penggunaan antibiotik

berspektrum luas yang mensupresi flora usus dan menyebabkan

menurunnya konversi obat menjadi komponen aktif.

e. Efek makanan

Efek makanan terhadap absorbsi terlihat misalnya padaa penurunan

absorbsi penisili, rifampisin, INH, atau peningkatan absorbsi HCT,

penitoin, nitrofurantoin, halofantrin, albendazol, mebendazol karena

pengaruh adanya makanan. Makanan juga dapat menurunkan

metabolisme lintas pertama dari propanolol, metoprolol, dan


84

hidralazine sehingga bioavailabilitas obat-obat tersebut meningkat,

dan makanan berlemak meningkatkan absorbsi obat-obat yang sukar

larut dalam air seperti griseovulvin dan danazol.

Interaksi yang melibatkan proses distribusi terjadi karena pergerseran

protein ikatan plasma.

a. Interaksi obat yang melibatkan proses distribusi akan bermakna klinik

jika:

a) Obat index memiliki ikatan protein sebesar ≥ 85%, volume

distribusi (Vd obat ≤ 0,15 l/kg dan memiliki batas keamanan

sempit).

b) Obat presipitan berikatan dengan albumin pada tempat ikatan

(binding site) yang sama dengan obat index, serta kadarnya cukup

tinggi untuk menempaati dan menjenuhkan binding-site nya.

Contohnya, fenilbutazon dapat menggeser warfarin (ikatan

protein 99% ; Vd = 0,15 l/kg) dan tolbutamid (ikatan protein 96%

; Vd = 0,12 l/kg) sehingga kadar plasma warfarin bebas

meningkat selain itu, fenilbutazon juga menghambat metabolism

warfarin dan tolbutamid.

Interaksi yang terjadi pada metabolisme obat.

Mekanisme interaksi dapat berupa :

a. Penghambat (inhibisi) metabolism


85

Hambatan ataupun induksi enzim pada proses metabolisme obat

terutama berlaku terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan

substrat enzim mikrosom hati sitokrom P450 (CYP). Beberapa

isoenzim CYP yang penting dalam metabolism obat, antara lain :

CYP2D6 yang dikenal juga sebagai debrisokuin hidroksilase dan

merupakan isoenzim CYP pertama yang diketahui aktivitasnya yang

dihambat oleh obat-obat seperti kuinidin, parosetin, terbinafin ;

CYP3A yang memetabolisme lebih dari 50% obat-obat yang baanyak

digunakan dan terdapat selain dihati juga di usus halus dan ginjal,

antara lain dihambat oleh ketokonazol, itrakonazol, eritromisin,

klaritromisin, diltiazem, nefazodon ; CYP1A2 merupakan enzim

pemetabolis penting dihati untuk teofilin, kofein, klozapin dan R-

warfarin, dihambat oleh obat-obat seperti siprofloksasin, fluvoksamin.

Interaksi inhibitor CYP dengan substratnya akan menyebabkan

peningkatan kadar plasma ataau peningkatan bioavailabilitas sehingga

memungkinkan aktivitas substrat meningkat sampai terjadinya efek

samping yang tidak dikehendaki.

b. Induksi metabolisme

Induktor atau zat yang menginduksi enzim pemetabolis (CYP) akan

meningkatkan sintesis enzim tersebut. Interaksi induktor CYP dengan

substratnya menyebabkan laju kecepatan metabolisme obat (substrat)

meningkat sehingga kadarnya menurun dan efikasi obat akan

menurun; atau sebaliknya, induksi CYP menyebabkan meningkatnya


86

pembentukan metabolit yang bersifat reaktif sehinggaa

memungkinkan timbulnya resiko toksik.

c. Perubahan aliran darah hepatik.

Interaksi yang terjadi pada proses ekskresi obat.

Mekanisme interaksi obat dapat terjadi pada proses ekskresi

melalui empedu dan pada sirkulasi enterohepatik, sekresi tubuli ginjal,

dank arena terjadinya perubahan pH urin. Gangguan dalam ekskresi

melalui empedu terjadi akibat kompetisi antar obat dan metabolit obat

untuk system transport yang sama, contohnya kuinidin menurunkan ekresi

empedu digoksin, probenesid menurunkan ekskresi empedu rifampisin.

Obat-obat tersebut memiliki sistem transporter protein yang sama, yaitu P-

glikoprotein. Obat-obat yang menghambat P-glikoprotein di intestin akan

meningkatkan bioavailabilitas substrat P-glikoprotein, sedangkan

hambatan P-glikoprotein di ginjal dapat menurunkan ekskresi ginjal

substrat. Contoh, intrakonazol, suatu inhibitor P-glikoprotein diginjal,

akan menurunkan klirens ginjal digoksin (substrat P-glikoprotein) jika

diberikan bersama-sama, sehingga kadar digoksin akan meningkat.

Sirkulasi enterohepatik dapat diputuskan atau diganggu dengan

mengikat obat yang dibebaskan atau dengan mensupresi flora usus yang

menghidrolisis konjugat obat, sehingga obat tidak dapat di reabsorbsi.

Contoh : kolestiramin, suatu binding agent-, akan mengikat parent drugs

(misalnya warfarin, digoksin) sehingga reabsorbsinya terhambat dan


87

klirens meningkat. Antibiotik berspektrum luas (misalnya rifampisin,

neomisin) yang mensupresi flora usus dapat mengganggu sirkulasi

enterohepatik metabolik konjugat obat (misalnya kontrasepsi

oral/hormonal) sehingga konjugat tidak dapat dihidrolisis dan

reabsorbsinya terhambat dan berakibat efek kontrasepsi menurun.

Penghambatan sekresi di tubuli ginjal terjadi akibat kompetisi

antara obat dan metabolit obat untuk sistem transport yang sama, terutama

sistem transport untuk obat bersifat asam dan metabolit yang bersifat

asam. Contoh : fenibutazon, dan indometasin menghambat sekresi ke

tubuli ginjal obat-obat diuretic tiazid dan flurosemid, sehingga efek

diuretiknya menurun ; salisilat menghambat sekresi probenesid ke tubuli

ginjal sehingga efek probenesid sebagai urikosurik menurun.

c. Interaksi Farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat yang bekerja

pada sistem reseptor, tempat kerja atau sistem fisiologi yang sama

sehingga terjadi efek yang adiktif, sinergistik, atau antagonistik, tanpa ada

perubahan kadar plasma ataupun profil farmakokinetik lainnya. Interaksi

farmakodinamik umumnya dapat diekstrapolasikan ke obat lain yang

segolongan dengan obat yang berinteraksi, karena klasifikasi obat adalah

berdasarkan efek farmakodinamiknya selain itu, umumnya kejadian

farmakodinamik dapat diramalkan sehingga dapat dihindari sebelumnya

jika diketahui mekanisme kerja obat.


88

Contoh interaksi obat pada reseptor yang bersifat antagonistik

misalnya : interaksi antara beta-bloker dengan agonis-beta2 pada penderita

asam ; interaksi antara penghambat reseptor dopamin (haloperidol,

metocli-pramid) dengan levodopa pasien parkinson.

2.2.2 Implikasi klinis interaksi obat

Interaksi obat sering dianggap sebagai sumber terjadinya efek samping

obat (adverse drugs reaction), yakni jika metabolisme suatu obat indeks

terganggu akibat adanya obat lain (presipitan) dan menyebabkan peningkatan

kadar plasma obat indeks sehingga terjadi toksisitas. Selain itu interaksi antar obat

dapat menurunkan efikasi obat. Interaksi obat demikian tergolong sebagai

interaksi obat yang “tidak dikehendaki” atau Adverse Drugs Interaction (ADIs).

Meskipun demikian, beberapa interaksi obat tidak selalu harus dihindari karena

tidak selamanya serius untuk mencederai pasien.

a. Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs).

Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs) mempunyai implikasi klinis jika :

1) Obat indeks memiliki batas keamanan sempit

2) Mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam

3) Dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam

kehidupan

4) Obat indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktek klinik

secara bersamaan dalam kombinasi.


89

Banyak faktor yang berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara

klinik, antara lain faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat

preskripsi bersama-sama beberapa obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih rentan

mengalami interaksi obat. Pada penderita diabetes mellitus usia lanjut yang

disertai menurunnya fungsi ginjal, pemberian penghambat ACE (misal : kaptopril)

bersama diuretik hemat kalium (misal: spironolakton, amilorid, triamteren)

menyebabkan terjadinya hiperkelamia yang mengancam kehidupan. Beberapa

penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan

penghambatan metabolisme obat-obat tertentu yang dimetabolisme dihati

(misalnya, simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Pemberian relaksan

otot bersama aminoglikosida pada penderita miopati, hipokalemia, ataau disfungsi

ginjal dapat menyebabkan efek relaksan otot meningkat dan kelemahan otot

meningkat.

Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang berperan dalam interaksi

obat. Pemberian fenitoin bersama INH (Isoniazid) pada kelompok polimorfisme

acetilator lambat dapat menyebabkan toksisitas fenitoin meningkat. Obat-obat

OTC (Over The Counter) seperti antasida, NSAID (Nonsteroidal

Antiimflammantory Drugs) dan rokok yang banyak digunakan secara luas dapat

berinteraksi dengan baanyak sekali obat-obat lain.

b. Interaksi obat yang dikehendaki.

Adakalanya penambahan obat lain justru diperlukan untuk meningkatkan atau

mempertahankan kadar plasma obat-obat tertentu sehingga diperoleh efek

teraupetik yang diharapkan. Selain itu, penambahan obat lain diharapkan dapat
90

mengantisipasi atau mengantagonis efek obat yang berlebihan. Penambahan obat

lain dalam bentuk kombinasi (tetap ataupun tidak tetap) kadang-kadang disebut

pharmacoenhancement juga sengaja dilakukan untuk mencegah perkembangan

resistensi, meningkatkan kepatuhan, dan menurunkan biaya terapi karena

mengurangi regimen dosis obat yang harus diberikan.

Kombinasi suatu anti aritmia yang memiliki waktu paruh singkat misalnya

prokainamid, dengan simetidin dapat mengubah parameter farmakokinetik

prokainamid. Simetidin akan memperpanjang waktu paruh prokainamid dan

menghambat eliminasinya. Dengan demikian frekuensi pemberian dosis

prokainamid sebagai anti aritmia dapat dikurangi dari setiap 4-6 jam menjadi

setiap 8 jam perhari, sehingga kepatuhan dapat ditingkatkan.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif untuk mengetahui interaksi

obat potensial yang mungkin terjadi pada pasien stroke hemoragik di Rumah Sakit

Umum Daerah Cengkareng, Jakarta Barat.

3.2 Populasi dan Sampel

Data yang digunakan adalah data rekam medik pasien Stroke Hemoragik

di ruang rawat inap yang berasal dari bagian Rekam Medik RSUD Cengkareng,

Jakarta barat. Sampel yang diolah adalah sampel terbatas terkontrol pihak rumah

sakit yang berjumlah 25 data pasien stroke hemoragik.

3.3 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei – November 2015 di ruang rekam

medik RSUD Cengkareng.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan teknik

retrospektif dengan jenis data sekunder rekam medik pasien stroke hemoragik di

RSUD Cengkareng.

91
92

3.5 Alur Penelitian

RSUD CENGKARENG

RUANG REKAM MEDIS

PENGUMPULAN DATA
(Data yang diberikan oleh rekam medik hanya 25 data pasien)

Stroke Hemoragik Stroke Iskemik

Karakteristik Pasien
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Riwayat Penyakit
Terdahulu

Evaluasi Interaksi Obat


Potensial Pada Pengobatan HASIL
Pasien Stroke Hemoragik

92
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Dari penelitian yang dilakukan terhadap rekam medik pasien stroke

hemoragik di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng,

Jakarta Barat periode Januari sampai Juni 2015 sebanyak 25 pasien, maka

diperoleh hasil sebagai berikut :

4.1.1 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 4.1 Data pasien stroke hemoragik berdasarkan jenis kelamin

di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng,

Jakarta Barat periode Januari – Juni 2015.

No Jenis Kelamin Jumlah (Pasien ) Persesntase (%)

1 Laki – Laki 12 52 %

2 Parempuan 13 48 %

Total 25 100 %

93
94

4.1.2 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Usia

Tabel 4.2 Data rentang usia pasien stroke hemoragik di ruang rawat

inap Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, Jakarta Barat

periode Januari – Juni 2015.

No Rentang Usia Jumlah (Pasien) Persentase (%)

1 < 45 tahun 3 12 %

2 45 – 64 tahun 20 80 %

3 > 65 tahun 2 8%

Total 25 100 %

4.1.3 Pasien Stroke Hemoragik Berdasarkan Riwayat Penyakit

Terdahulu

Tabel 4.3 Data riwayat penyakit terdahulu pasien stroke hemoragik

di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng,

Jakarta Barat periode Januari – Juni 2015.

Riwayat Penyakit Jumlah Persentase


No
Terdahulu (Pasien) (%)

1 Hipertensi 16 16 %

2 Hipertensi + Diabetes 2 8%

Hipertensi + Stroke
3 1 4%
Iskemik
95

Hipertensi + Diabetes +
4 1 4%
Jantung

5 Tidak Terdata 5 20 %

Total 25 100 %

4.1.4 Jumlah Kejadian Interaksi Obat Potensial Pada Pasien Stroke

Hemoragik

Tabel 4.4 Data kejadian interaksi obat potensial pada pasien stroke

hemoragik di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah

Cengkareng, Jakarta Barat periode Januari – Juni 2015.

Interaksi
No Jumlah (Pasien) Persentase (%)
Potensial Obat

Terdapat interaksi
1 5 20 %
obat potensial

Tidak terdapat

2 interaksi obat 20 80 %

potensial

Total 25 100 %
96

4.2 Pembahasan

4.2.1 Pasien Stroke Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan pengelompokan jenis kelamin, pasien stroke

hemoragik di RSUD Cengkareng periode Januari – Juni 2015 didominasi

oleh pasien berjenis kelamin perempuan dengan persentase 52% atau

sebanyak 13 orang pasien. Sedangkan sisanya yaitu 48 % atau 12 orang

terjadi pada pasein jenis kelamin laki – laki.

Banyaknya pasien berjenis kelamin perempuan dikarenakan pada

periode pengambilan data pasien yang berobat ke RSUD Cengkareng di

dominasi oleh pasien perempuan. Faktor resiko stroke spesifik di Indonesia,

lebih besar terjadi pada laki-laki, pada usia yang semakin tua, tingkat

pendidikan yang rendah, tidak bekerja, riwayat pernah (mantan perokok)

atau kadang-kadang merokok, menderita diabetes mellitus (DM), hipertensi,

obesitas abdominal,dan mengalami gangguan mental emosional (stress).

4.2.2 Pasien Stroke Berdasarkan Usia

Berdasarkan Pengelompokkan usia, pasien yang paling banyak

mengalami stroke hemoragik adalah pasien dengan usia 45 – 64 tahun yaitu

sebesar 80 % (20 pasien). Hal ini dikarenakan stroke menyerang usia

produktif, tingkat pendidikan yang rendah, tidak bekerja, riwayat pernah

(mantan perokok) atau kadang-kadang merokok, menderita diabetes

mellitus (DM), hipertensi, obesitas abdominal, dan mengalami gangguan

mental emosional (stress) dan disamping itu dengan adanya modernisasi


97

akan meningkatkan risiko stroke karena perubahan pola hidup. Kedua

terbanyak di alami pasien dengan usia dibawah 45 tahun yaitu sebesar 12 %

(3 pasien) dan sisanya 8 % (2 pasien) di alami pasien dengan usia diatas 65

tahun, hal ini berkaitan dengan adanya proses degenerasi (penuaan) yang

terjadi secara alamiah dan pada umumnya pada orang lanjut usia, pembuluh

darah lebih kaku karena adanya plak (aterosklerosis).

4.2.3 Pasien Stroke Berdasarkan Riwayat Penyakit Terdahulu

Hipertensi (hipertensi merupakan penyebab utama stroke iskemik

di dunia), atrial fibrilasi, penyakit kardiovaskular yang lain, diabetes,

dislipidemi, paparan asap rokok (pada pasien yang meninggal akibat stroke

pada usia di bawah 65 tahun, dua per tiganya berhubungan dengan

kebiasaan merokok), alcohol, sickle cell disease stenosis arteri carotid,

terapi hormone postmenopause, faktor gaya hidup yang berhubungan

dengan resiko stroke (obesitas, kurang

Berdasarkan pengelompokan riwayat penyakit terdahulu pasien

dengan riwayat penyakit hipertensi (tekanan darah tinggi) adalah pasien

terbanyak di RSUD Cengkareng yaitu sebesar 64 % (16 orang pasien),

kemudian adalah pasien dengan riwayat penyakit terdahulu adalah pasien

dengan riwayat penyakit hipertensi disertai diabetes melitus (DM) yaitu

sebesar 8 % (2 orang pasien), pasien dengan riwayat penyakit hipertensi

disertai DM dan jantung sebesar 4 % (1 orang pasien), pasien dengan

riwayat penyakit hipertensi disertai stroke iskemik sebesar 4 % (1 orang


98

pasien), sisanya sebesar 20 % (5 orang pasien) adalah pasien dengan riwayat

penyakit yang belum terdata.

4.2.4 Jumlah Kejadian Interaksi Obat Potensial

Berdasarkan pengamatan terhadap interaksi obat potensial yang

mungkin terjadi pada pasien stroke hemoragik di RSUD Cengkareng,

Jakarta Barat terjadi pada 5 orang pasien dengan 7 interaksi obat potensial.

Tabel 4.5 Data interaksi obat potensial beserta efek yang mungkin di

timbulkan pada pasien stroke hemoragik di ruang rawat inap Rumah Sakit

Umum Daerah Cengkareng, Jakarta Barat periode Januari – Juni 2015.

Obat Yang

NO
Berinteraksi Efek / Interaksi Yang

Obat 1 Obat 2 Ditimbulkan

Kombinasi ini dapat menyebabkan

tekanan darah terlalu rendah,

akibatnya : hipotensi postural,


1 Haloperidol Kaptopril
pusing, lemas, pingsan. Penurunan

tekanan darah yangg hebat dapat

menybabkan kejang atau syok.

2 Fenitoin As. Folat Efek asam folat dapat berkurang


99

akibatnya kemungkinan terjadi

defisiensi asam folat.

Kemungkinan penurunan
3 Nimodipin Fenitoin
konsentrasi serum fenitoin.

Kombinasi ini dapat menyebabkan

penurunan tekanan darah yang

parah. Kaptopril berinteraksi dengan

spironolakton yang menyebabkan

4 Kaptopril Spironolakton tubuh banyak menyimpan kalsium

sehingga timbul efek samping

merugikan seperti lemah otot, mati

rasa atau lumpuh, brakikardia dan

aritmia jantung.

ACE Inhibitor dapat meningkatkan

potensi reaksi alergi atau


5 Ramipril Alopurinol
hipersensitivitas terhadap

allupurinol.

Dapat meningkatkan metabolisme

parasetamol. Ini dapat mengurangi


6 Phenytoin Paracetamol
efek dari parasetamol dan

meningkatkan resiko kerusakan hati.


100

Dapat menyebabkan tekanan darah

terlalu rendah, akibatnya hipotensi

postural dengan gejala yang

7 ISDN Furosemid menyertainya : pusing, lemah,

pingsan, penurunan tekanan darah

yang hebat dapat menyebabkan

kejang dan syok.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan jenis kelamin pasien stroke hemoragik di RSUD

Cengkareng, Jakarta Barat periode Januari – Juni 2015 pasien terbanyak

adalah pasien dengan jenis kelamin perempuan yaitu 13 orang sisanya 12

orang adalah pasien berjenis kelamin laki – laki.

Berdasarkan usia pasien dengan usia 45 – 64 tahun adalah pasien

terbanyak mengalami stroke hemoragik yaitu 80 % (20 orang pasien),

sedangkan sisanya adalah pasien usia dibawah 45 tahun yaitu 12 % (3

orang pasien) dan pasien usia diatas 65 tahun yaitu 8 % (2 orang pasien).

Berdasarkan riwayat penyakit terdahulu, pasien stroke hemoragik di

RSUD Cengkareng mempunyai riwayat penyakit :

1. Hipertensi (64%) sebanyak 16 orang pasien

2. Hipertensi dan DM (8%) sebanyak 2 orang pasien

3. Hipertensi, DM dan Jantung (4%) sebanyak 1 orang pasien

4. Hipertensi dan Stroke Iskemik (4%) sebanyak 1 orang pasien

101
102

5. 20% (5 orang) pasien stroke hemoragik tidak terdata riwayat penyakit

terdahulunya.

Dari 25 pasien stroke hemoragik ditemukan 5 pasien dengan 7 interaksi

obat potensial. Adapun kombinasi obat yang berpotensi terjadinya

interaksi adalah :

1. Haloperidol dengan Kaptopril

2. Fenitoin dengan Asam Folat

3. Nimodipin dengan Fenitoin

4. Kaptopril dengan Spironolakton

5. Ramipril dengan Alopurinol

6. Parasetamol dengan Fenitoin

7. ISDN dengan Furosemid

5.2 Saran

Untuk penelitian selanjutnya diharapkan meneliti interaksi obat aktual

pada pasien stroke hemoragik.


DAFTAR PUSTAKA

Acute Stroke Practice Guideline for Inpatient Management of Intracerebral


Hemorrhage. OHSU Health Care System. 2010.

AHA/ASA Guideline. Guidelines for the Early Management of Adults with


Ischemic Stroke. 2007.

AHA/ASA Guideline. 2010. Guidelines for the Management of Spontaneous


Intracerebral Hemorrhage In Adult.

Americans Pharmacists Association. 2008. Drugs Information Handbook 17th


Edition. AphA.

Ament PW, Bertolino JG, Liszewski JL.2000. Clinical Pharmacology :Clinically


significant drug interaction, Am Fam physician.

Bederson JB, Connoly es, et All, Guidelines for The Management of Aneurysmal
Subarakhnoid Hemorrhage, American Heart Association. Dallas. 2009.

Biller J. Hemorrhagic Cerebrovascular Disease. In Practical Neurology,


Philadelphia: Lippincott William & Wilkins.2009.

Departemen kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia, 2008-


2009.

Ekawati,Zullies. 2011.Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat.Yogyakarta :


Bursa Ilmu.

Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Departemen Farmakologi Universitas Indonesia.


2011.

101
102

Gitawati, Retno. 2008. Interaksi Obat dan Beberapa Implikasinya. Media Litbang
Kesehatan Volume XVIII Nomor 4.

Harkness, Ricahard.1984. Interaksi Obat. Bandung : Penerbit ITB.

Lumbantobingng,S.M. 2007. Stroke Bencana Perdarahan Otak. Jakarta : FKUI.


Who Step Stroke Manual : The Who Stepwise Approach To Stroke Surveillance,
Geneva, World Health Organization.
.
National Clinical Guideline for Diagnostic and Initial for Management af Acute
Stroke and Transient Ischemic Attack. Royal Collage of Physicians, London.
2008.

Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.2011. Guideline Stroke.


PERDOSSI

The Seventh Report of The JNC on Prevention Detection and Treatment of High
Blood Pressure US Dept of Health and Human Service NIH Publication, 2003.

The European Stroke Organisation (ESO) Executive Commitee and the ESO
Writing Commitee. Guidelines for Management of Ischaemic Stroke and
Transient Ischaemic Attack. 2008.
LAMPIRAN 1
BUKTI PENELITIAN DI RSUD CENGKARENG

105
106

LAMPIRAN 2
CONTOH FORMAT PENGAMBILAN DATA PASIEN STROKE
ISKEMIK DI RAWAT INAP RSUD CENGKARENG PERIODE JANUARI-
JUNI 2015

NO JENIS UMUR RIWAYAT DIAGNOSA TANGGAL ALASAN TERAPI FOTO


HASIL
KELAMIN PENYAKIT RAWAT KELUAR RS OBAT THORAX
CT SCAN

Anda mungkin juga menyukai