Anda di halaman 1dari 66

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketombe adalah suatu gangguan berupa pengelupasan kulit mati secara

berlebihan di kulit kepala, kadang disertai pula dengan pruritus (gatal-gatal) dan

peradangan (Toruan, I989). Pada umumnya ketombe seringkali menjadi masalah

karena dapat mengganggu penampilan seseorang dengan timbulnya sisik putih dan

serpihan yang berjatuhan di baju dan menyebabkan kulit kepala menjadi kotor serta

lepek dan berbau. Selain itu ketombe menyebabkan keresahan karena rasa gatal yang

berlebih yang memungkinkan penderita menggaruk kulit kepala hingga lecet dan

berdarah, akibat yang paling parah dari ketombe adalah kerontokan rambut pada

tingkat yang meresahkan. Selain itu, didukung oleh iklim tropis Indonesia

menyebabkan banyak berkeringat, membuat penderita masalah ketombe sangat

mudah ditemui di Indonesia. Cuaca panas dapat menimbulkan berkembangnya jamur

pada kulit kepala sehingga memperparah masalah ketombe (Sinha, 2005).

Penyebab ketombe dapat berupa sekresi kelenjar keringat yang berlebihan

atau adanya peranan mikroorganisme di kulit kepala yang menghasilkan suatu

metabolit yang dapat menginduksi terbentuknya ketombe di kulit kepala (Harahap,

1990). Mikroorganisme yang diduga sebagai penyebab utama ketombe adalah

Pityrosporum ovale. Jamur ini sebenarnya merupakan flora normal di kulit kepala,

namun pada kondisi rambut dengan kelenjar minyak berlebih, jamur ini dapat tumbuh

dengan subur (Figuers, dkk., 2000). Jamur ini dapat menyerang manusia pada segala

1
usia, oleh karena itu bayi, anak-anak, dewasa dan orang tua dapat menderita ketombe

(Said, 2009). Menurut Said (2009) “penelitian menunjukkan bahwa populasi

Pityrosporum ovale yang lebih dari 75% pada kulit kepala dapat menyebabkan

timbulnya ketombe, jumlah normal Pityrosporum ovale pada kulit kepala adalah

46%”. Ketombe dapat diatasi atau dicegah dengan memanfaatkan berbagai macam

tumbuh-tumbuhan. Salah satu tumbuhan yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi

masalah ketombe yaitu tumbuhan komba-komba (Chromolaena odorata L.).

Manjappa (2015) dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sunder, dkk

(2012) menyatakan bahwa Chromolaena odorata dapat berkhasiat sebagai antijamur.

Daun komba-komba mengandung metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, tanin dan

saponin (Armadany, dkk., 2017). Senyawa daun komba-komba yang dapat memiliki

aktivitas antifungi yaitu flavonoid, saponin, triterpenoid dan tanin yang dapat

merusak membran sel sehingga terjadi perubahan permeabilitas sel (Sihombing, dkk.,

2018).

Penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat anti ketombe alami secara

tradisional biasanya dilakukan dengan proses yang sederhana yaitu bahan alam yang

dijadikan sebagai salah satu bahan aktif untuk menghilangkan ketombe, cara

pengaplikasiannya dilakukan dengan menggosokkan tanaman secara langsung pada

permukaan kulit kepala yang berlangsung secara turun temurun. Untuk mengatasi

permasalahan dalam aspek kenyamanan pada pengaplikasian obat/tanaman

tradisional secara langsung, salah satunya yaitu dengan memformulasikan suatu

2
sediaan kosmetika yang dapat mencegah terjadinya ketombe seperti menggunakan

sediaan Shampoo.

Shampoo termasuk ke dalam sediaan kosmetika untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari yang digunakan untuk membersihkan rambut dari partikel yang tidak

diinginkan seperti minyak dan ketombe sehingga rambut menjadi lembut, bersih,

sehat, berkilau dan untuk meningkatkan percaya diri seseorang (Faizatun, dkk.,

2008). Formulasi shampoo ini bervariasi mulai dari cair, gel, lotion, krim, dan pasta,

dengan beberapa bahan khusus yang mengandung protein dan bahan anti ketombe

(Michael & Ash, 1977). Dalam penelitian ini, dibuat sediaan shampoo dalam bentuk

gel karena cara pembuatannya yang sederhana, mudah, dan lebih nyaman

digunakan pada rambut karena memiliki kandungan air yang besar pada sediaan

gel (Nurdianti, dkk., 2017).

Berdasarkan adanya kandungan senyawa dan adanya kemampuan antijamur

pada daun komba-komba (Chromolaena odorata L. King dan H.E Robins), maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian kemampuan ekstrak sediaan shampoo

dari ekstrak daun komba-komba dalam menghambat pertumbuhan jamur

Pityrosporum ovale.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aktivitas antijamur dari ekstrak daun komba-komba berbunga kuning

(Chromolaena odorata L. King dan H.E Robins) terhadap pertumbuhan jamur

Pityrosporum ovale penyebab ketombe?

3
2. Bagaimana aktivitas antijamur dari sediaan shampoo yang mengandung ekstrak

daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata L. King dan H.E

Robins)?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui aktivitas antijamur dari ekstrak daun komba-komba berbunga

kuning (Chromolaena odorata L. King dan H.E Robins) terhadap pertumbuhan

jamur Pityrosporum ovale penyebab ketombe.

2. Untuk mengatuhui aktivitas antijamur dari sediaan shampoo yang mengandung

ekstrak daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata L. King dan

H.E Robins).

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat bagi peneliti

Menambah wawasan keilmuwan peneliti terutama dalam bidang formulasi sediaan

shampoo dari ekstrak daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata

L. King dan H.E Robins) sebagai antifungi Pityrosporum ovale penyebab

ketombe.

2. Manfaat bagi institusi

Sebagai salah satu sumber informasi mengenai formulasi shampoo yang

mengandung ekstrak daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata

L. King dan H.E Robins) sebagai antifungi Pityrosporum ovale penyebab ketombe

sehingga dapat dijadikan rujukan untuk penelitian selanjutnya.

4
3. Bagi ilmu pengetahuan

Sebagai informasi baru khususnya dalam bidang kosmetik khususnya sediaan

shampoo yang berasal dari bahan alam.

4. Manfaat bagi masyarakat

Bagi masyarakat, memberikan informasi baru mengenai manfaat daun komba-

komba berbunga kuning sebagai anti ketombe.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Daun Komba-Komba berbunga kuning (Chromolaena odorata L.)

1. Klasifikasi

Klasifikasi tumbuhan (Chromolaena odorata L. King dan H.E Robins) yaitu

sebagai berikut (Chakraborty, dkk., 2011) :

Regnum : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Sub divisio : Spermatophyta

Classis : Magnoliopsida

Ordo : Asterales

Familia : Asteraceae Gambar 1. Tumbuhan komba-komba


(C. odoratum (L.) (Ayu Sasta, 2017)
Genus : Chromolaena

Species : Chromolaena odorata (L.) King dan H.E Robins

2. Sinonim

Eupatorium odoratum (L). memiliki nama lain yaitu Chromolaena odorata

(L.) King & H.E. Robinson, Eupatorium affine Hook & Arn., Eupatorium

brachiatum Wikstrom, Osmia odorata (L.) Schultz-Bip, Osmia floribunda (Kunth)

Schultz-Bip (Chakraborty dkk., 2011). Sedangkan nama daerah dari tumbuhan ini

yaitu komba-komba (Muna, Sulawesi Tenggara) (Windadri, 2006), lenga-lenga

6
(Sumatera Utara), kirinyuh, babanjaran, darismin (Sunda), laruna, lahuna,

kopasanda (Makassar) (Atikah, 2016).

3. Deskripsi Tumbuhan

Akar tunggang, bercabang, warna kekuningan, batang bulat, berwarna hijau,

batang tua berwarna lebih coklat, ditutupi rambut-rambut halus, percabangan rapat,

tinggi 1-2 m, daun tunggal, berhadapan, bulat telur, tepi bergerigi, ujung dan pangkal

runcing, permukaan berbulu halus, pertulangan menyirip, berwarna hijau muda,

panjang 5-12 cm dan lebar 3-6 cm, bertangkai pendek; bunga: majemuk, malai,

tumbuh di ujung batang, kelopak bentuk lonceng dan mahkota bunga berbentuk oval,

berwarna kuning (Chakraborty, dkk., 2011).

4. Habitat

Habitat tanaman ini adalah sabana, rawa, batas hutan, daerah terganggu,

daerah perkebunan dan tanaman tahunan, dan di pinggir jalan. Tanaman ini lebih

menyukai daerah dengan kondisi lembab, yang berada dekat permukaan laut sampai

2000 m ketinggian. (Hammado dan Ilmiati, 2013).

5. Kandungan Kimia

Pengujian kualitatif fitokimia ekstrak etanol daun Chromolaena odorata

diperoleh hasil bahwa daun Chromolaena odorata mengandung senyawa alkaloid,

flavonoid, tanin (Hadi dkk., 2000). Daun dan batang juga mengandung steroid, fenol,

saponin, dan minyak atsirinya mengandung α-pinen, kadinen, kamfer, limonen, β-

cariofilin, isomer kadinol (Inya-agha dkk., 1987), β-pinen, germakren, β-copaen-4α-

7
ol, geijeren (Owolabi dkk., 2010), α-humulen, γ-muurolen, bisiklogermakren,

vinilkroman-4-on, dan 2-senecioyl-4-vinylphenol (Jane dkk., 2004).

Senyawa flavonoid, triterpenoid, saponin dan tanin dapat memiliki aktivitas

sebagai antijamur. Senyawa antijamur mempunyai berbagai mekanisme

penghambatan terhadap sel jamur (Sihombing, dkk., 2018). Djunaedy (2008)

menyatakan bahwa senyawa antijamur memiliki mekanisme kerja dengan cara

merusak membran sel jamur, menghambat sistem enzim jamur sehingga mengganggu

terbentuknya ujung hifa dan mempengaruhi sintesis asam nukleat dan protein.

Penelitian oleh Filho, dkk (2016) menunjukan bahwa flavonoid memiliki aktivitas

antijamur dengan menghambat dinding sel jamur sehingga menyebabkan

terdenaturasinya protein dinding sel. Kerusakan pada dinding sel menyebabkan

perubahan permeabilitas dinding sel, semakin lipofilik suatu flavonoid semakin

merusak membran jamur.

6. Khasiat

Secara tradisional daun E. odoratum digunakan sebagai obat dalam

penyembuhan luka, obat kumur untuk pengobatan sakit pada tenggorokan, obat

batuk, obat malaria, antimikroba, sakit kepala, antidiare, astringent, antispasmodik,

antihipertensi, anti inflamasi dan diuretik (Vital dan Rivera, 2009), penelitian yang

dilakukan oleh (Sunder, dkk., 2012) mengungkapkan daun komba-komba dapat

berkhasiat sebagai antijamur dengan konsentrasi 2-4 mg/mL (0,2-0,4%). Hasil untuk

aktivitas antijamur ditentukan dengan menggunakan nilai MIC (konsentrasi hambat

minimum yang mampu menghambat 50% dari strain jamur), dimana hasil aktivitas

8
yang kuat adalah untuk nilai MIC antara 0,05 - 0,50 mg / mL, aktivitas moderat MIC

nilai antara 0,6 - 1,50 mg / mL dan aktivitas lemah adalah di atas 1,50 mg / mL

(Sartoratto,dkk., 2004).

B. Metode Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses penarikan atau pemisahan komponen atau zat

aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan pelarut dan

metode ekstraksi akan mempengaruhi hasil kandungan senyawa metabolit sekunder

yang dapat terekstraksi. Pemilihan pelarut ekstraksi umumnya menggunakan prinsip

like dissolves like, dimana senyawa yang non polar akan larut dalam pelarut non polar

sedangkan senyawa yang polar akan larut pada pelarut polar (Seidel, 2008).

Etanol dipilih sebagai pelarut karena bersifat universal yang dapat melarutkan

senyawa yang bersifat polar, semi polar maupun non polar. Hal ini terjadi karena

etanol memiliki gugus hidroksil sebagai gugus polar dan gugus hidrokarbon sebagai

gugus non polar serta dapat menghasilkan rendemen yang tinggi. Selain itu, etanol

merupakan pelarut yang aman, tidak toksik, dan mudah menguap dengan titik didih

78°C (Lestari, 2006). Disamping itu, etanol merupakan pelarut dengan daya ekstraktif

terbesar untuk semua bahan alam berbobot molekul rendah seperti alkaloid, saponin

dan flavonoid (Djamal, 2012).

Menurut DEPKES RI (1986) perbandingan simplisia daun dengan pelarut

dengan metode maserasi yaitu 1:7 (10 bagian dalam 75 mL). Tujuan ekstraksi adalah

untuk menarik komponen-komponen kimia yang terdapat dalam suatu sampel dengan

menggunakan pelarut tertentu (Harborne, 1987). Hasil ekstraksi diperoleh ekstrak.

9
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif

dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang

tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan

(Ditjen POM, 1995). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu :

1. Cara dingin

a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut

dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar)

(Depkes RI, 2000).

b. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru yang umumnya

dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,

tahapan maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/ penampungan

ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes RI, 2000).

2. Cara panas

a. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya,

selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik. Umumnya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama

sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI,

2000).

10
b. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang selalu

baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus dimana pelarut akan terkondensasi

dari labu menuju pendingin (Depkes RI, 2000).

c. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinyu) pada

temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan kamar), yaitu secara umum

dilakukan pada temperatur 40-50oC (Depkes RI, 2000).

d. Infusa

Infusa adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90oC

selama 15 menit (Depkes RI, 2000).

e. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90oC selama 30 menit (Depkes RI, 2000).

C. Delipidasi Ekstrak

Delipidasi ekstrak adalah suatu proses penghilangan senyawa-senyawa yang

tidak mempunyai efek farmakologi atau terapi misalnya karbohidrat, lemak, protein,

klorofil, resin yang biasa disebut sebagai zat ballast. Keberadaan senyawa atau zat

tersebut lebih banyak merugikan pada kestabilan dan mengurangi kadar senyawa

aktif di dalam ekstrak sehingga harus dihilangkan. Penghilangan zat ballast pada

ekstrak dikenal dengan delipidasi ekstrak. Tujuan dari delipidasi yaitu untuk

11
memperoleh kadar kandungan kimia aktif yang lebih tinggi dibanding ekstrak

kasarnya. Dengan demikian diharapkan efektifitasnya sebagai antijamur semakin

besar (Armadany, dkk., 2017).

Skrining fitokimia terhadap kedua jenis tumbuhan komba-komba

menunjukkan ekstrak mengandung metabolit sekunder alkaloid, flavonoid, tanin dan

saponin. Kandungan steroid dan terpenoid tidak terdeteksi dalam ekstrak

terdelipidasi. Hal ini juga disebabkan karena kedua golongan metabolit sekunder ini

termasuk dalam golongan lipid sehingga akan ikut tertarik bersama dengan n-heksan

yang digunakan sebagai pelarut untuk delipidasi, yaitu suatu pelarut yang bersifat non

polar (Armadany, dkk., 2017).

D. Kulit Kepala

Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : (1)

Skin atau kulit, yaitu memiliki kulit yang tebal, bantalan rambut bervariasi, kaya

dengan kelenjar sebaceous, (2) Connective Tissue atau jaringan penyambung,

merupakan lobulus lemak yang terikat pada fibrosa septa yang keras. Pembuluh darah

dari kulit kepala dan saraf kulit terletak di lapisan ini, (3) Aponeurosis atau galea

aponeurotika, merupakan jaringan ikat yang berhubungan lansung dengan tulang

tengkorak, (4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, merupakan

tempat yang biasa terjadinya pendarahan subgaleal (hematom subgaleal) pada

trauma/benturan kepala, (5) Perikranium, merupakan lapisan yang membungkus dan

berhubungan lansung dengan permukaan luar tulang tengkorak (Satyanegara, 2010).

12
Gambar 2. Lapisan kulit kepala (Scalp) (Satyanegara, 2010)

E. Ketombe

1. Defenisi

Ketombe disebut juga dandruff, pityriasis simplex capillitii, dan p. sicca.

Ketombe merupakan suatu keadaan anomali pada kulit kepala yang dikarakterisasi

dengan terjadinya pengelupasan lapisan tanduk secara berlebihan dari kulit kepala

membentuk sisik-sisik yang halus (Sukandar, dkk., 2006).

2. Penyebab

Beberapa penyebab serta faktor resiko yang memicu timbulnya ketombe

antara lain adalah :

a. Mikroflora Normal

Mikroflora normal di kulit kepala seperti Pityrosporum ovale jumlahnya

berbeda pada penderita ketombe. Jamur ini merupakan penyebab utama timbulnya

ketombe. Pityrosporum ovale adalah ragi lipofilik yang merupakan flora normal kulit

manusia pada orang dewasa. Pityrosporum ovale merupakan anggota dari genus

Malassezia sp. dan termasuk familia Cryptococcaceae. Pada kondisi normal,

kecepatan pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale kurang dari 47 %. Jika ada faktor

13
pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan flora normal pada kulit kepala, maka

akan terjadi peningkatan kecepatan pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale yang

dapat mencapai 74 %. Banyaknya populasi Pityrosporum ovale inilah yang memicu

terjadinya ketombe (Istiqomah, dkk., 2016).

b. Peningkatan Pengelupasan Sel Keratin

Secara normal, lapisan kulit teratas akan diganti oleh sel-sel dari lapisan di

bawahnya. Pada kulit kepala juga mengalami pengelupasan sel keratin kemudian

digantikan dengan sel-sel basal yang bergerak ke lapisan yang lebih atas. Pada

keadaan normal, proses ini berlangsung sebulan sekali, sedangkan pada keadaan

ketombe proses ini biasa terjadi 10-15 hari sekali (Harahap, 1990).

c. Kelenjar Sebasea

Kelenjar sebasea menghasilkan sebum di kulit kepala. Jika jumlahnya

berlebih serta adanya pengaruh mikroorganisme akan menyebabkan ketombe. Kadar

sebum biasa dipengaruhi oleh konsumsi lemak yang berlebih yang mencapai kelenjar

sebasea dan akhirnya menjadi bahan pembentuk sebum. Stress psikis juga

menyebabkan peningkatan aktivitas kelenjar sebasea (Harahap, 1990).

3. Gejala dari Penyakit Ketombe

Penyakit ketombe ditandai oleh gejala-gejala fisik, seperti timbulnya sisik-

sisik (kering atau basah) di kulit kepala, adanya bintik-bintik merah seperti bisul kecil

yang disertai rasa nyeri, gatal, kulit kepala lecet, basah, bergetah dan bau dan

seringkali terjadi kerontokan rambut (Sitompul, dkk., 2016).

14
4. Pencegahan terhadap Timbulnya Ketombe

Untuk mencegah timbulnya ketombe, kesehatan kulit kepala harus selalu

dijaga. Hindari menggaruk kepala secara berlebihan karena dapat mengakibatkan

kerusakan kulit, yang selanjutnya dapat meningkatkan resiko infeksi kulit kepala.

Untuk itu, pencegahan ketombe sangat penting. Bagi yang memiliki faktor resiko

berketombe untuk lebih sering mencuci rambut dengan shampoo biasa atau dengan

sampo antiketombe (Wijaya, 2001).

F. Sediaan Shampoo

1. Defenisi

Shampoo adalah sediaan kosmetik berwujud cair, gel, emulsi, ataupun yang

mengandung surfaktan, sehingga memiliki sifat detergensi,humektan dan

menghasilkan busa. Shampoo merupakan sediaan kosmetika yang digunakan untuk

membersihkan rambut, sehingga rambut dan kulit kepala menjadi bersih dan sedapat

mungkin lembut, mudah diatur dan berkilau (Faizatun, dkk., 2008).

Sediaan shampoo anti ketombe adalah shampoo yang digunakan selain untuk

membersihkan juga untuk mencegah dan menghilangkan jamur penyebab infeksi

kulit kepala. Kandungan dan persyaratan dari shampoo antijamur tidak berbeda dengn

shampoo biasa, hanya pada shampoo antijamur, mengandung zat untuk

menghilangkan jamur pada kulit kepala (Ditjen POM, 1985). Shampoo anti ketombe

banyak yang mengandung senyawa-senyawa antijamur seperti zink, yang mempunyai

efek dapat merusak kulit dan menimbulkan kerontokan rambut. Oleh karena itu, perlu

15
ada alternatif lain khususnya bahan alam yang dapat digunakan sebagai anti ketombe

(Budiman, 2015).

2. Syarat Sediaan Shampoo

Syarat shampoo yaitu : ( Tranggono dan Fatma, 2007).

a. Dapat membersihkan dengan baik (sifat deterjen)

b. Memiliki sifat membasahi (wetting)

c. Memiliki sifat dapat mengemulsi (emulsifying)

d. Memiliki sifat dapat membuat busa (foaming)

e. Dapat membersihkan dan menyehatkan kulit kepala

f. Mudah dicuci/dibilas kembali

g. Membuat rambut lebih mudah disisir dan lebih cemerlang

h. Mengandung bahan aktif untuk mengatasi penyakit pada rambut dan kulit kepala

(Medicated shampoo)

i. Aman untuk dipakai, tidak mengiritasi mata dan tidak toksik

j. Menyebarkan bau harum

3. Mekanisme pembersihan rambut oleh shampoo

Surfaktan pada shampoo akan menurunkan tegangan antarmuka antara

kotoran dengan permukaan rambut dan kulit kepala. Bagian polar dari surfaktan akan

berinteraksi dengan air pada rambut dan kulit kepala, sedangkan bagian non polar

akan berinteraksi dengan kotoran yang biasanya berupa lemak. Surfaktan-surfaktan

tersebut akan menyusun diri membentuk misel dengan kotoran terjebak di bagian

dalamnya. Bagian luar misel yang merupakan gugus polar mudah berinteraksi dengan

16
air, sehingga saat pembilasan misel tersebut akan terbawa oleh air dan kotoran juga

akan ikut terbawa (Mitsui, 1997).

4. Evaluasi Sediaan Shampoo

Setelah sediaan shampoo sudah jadi, perlu dilakukan pengujian untuk

penjaminan kualitas shampoo tersebut. Beberapa uji yang dilakukan pada shampoo

diantaranya adalah :

a. Penampilan fisik

Penampilan fisik shampoo haruslah menarik, homogen, tidak pecah, dan

mampu membentuk busa (Kumar, 2010).

b. pH

Uji pH bertujuan untuk mengetahui keamanan sediaan pada waktu digunakan.

pH shampoo yang terlalu asam maupun terlalu basa akan mengiritasi kulit kepala. pH

sampo sangat penting untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas rambut,

meminimalkan iritasi pada mata dan menstabilkan keseimbangan ekologis kulit

kepala. Uji pH shampoo dapat dilakukan menggunakan pH meter maupun kertas pH.

persyaratan pH yang telah ditetapkan dalam SNI No. 06-2692-1992 yaitu berkisar

5,0-9,0 (Kumar, 2010).

c. Viskositas

Uji viskositas shampoo dilakukan menggunakan viskosimeter Rion seri VT

04 rotor nomor 3. Viskositas shampoo akan berpengaruh pada saat filling ke wadah,

proses pencampuran, dan pada saat pemakaian (Kumar, 2010).

17
d. Kemampuan dan stabilitas busa

Uji tinggi busa bertujuan untuk menunjukkan kemampuan surfaktan

membentuk busa. Busa dari shampoo merupakan hal yang sangat penting. Hal ini

karena busa menjaga shampoo tetap berada pada rambut, membuat rambut mudah

dicuci, serta mencegah batangan-batangan rambut menyatu sehingga menyebabkan

kusut (Mitsui, 1997). Uji kemampuan dan stabilitas busa dari shampoo dilakukan

denga metode cylinder shake. Caranya yaitu dengan memasukkan 50 mL shampoo

1% ke dalam tabung reaksi 250 mL kemudian dikocok kuat selama 10 kali. Total

volume dari isi busa diukur dan diamati penurunan dan stabilitas busanya (Kumar,

2010).

Rumus stabilitas busa :

Rumus % busa yang hilang:

(Redmon, 2001).

e. Daya sebar

Uji daya menyebar dilakukan untuk mengetahui kualitas dari sediaan yang

dapat menyebar pada kulit dan dengan cepat pula memberikan efek terapinya. Daya

sebar yang baik dapat menjamin pelepasan bahan obat yang memuaskan (Voight,

1995). Dimana semakin meningkat konsentrasi ekstrak, daya sebar sediaan semakin

meningkat, hal ini disebabkan karena semakin menurunnya viskositas sediaan. Nilai

daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas, dimana semakin besar daya sebar

18
maka semakin kecil nilai viskositas (Mardikasari, dkk., 2017). Penentuannya

dilakukan dengan cara sebuah sampel dengan volume tertentu diletakkan dipusat

antara dua lempeng gelas, dimana lempeng sebelah atas dalam interval waktu tertentu

dibebani dengan meletakkan anak timbangan diatasnya. Permukaan penyebaran yang

dihasilkan dengan meningkatnya beban, merupakan karakteristika daya sebarnya

(Voight, 1995).

5. Stabilitas

Stabilitas merupakan kemampuan produk obat ataupun kosmetik untuk

bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan selama periode penyimpanan dan

penggunaan, untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian produk

tersebut. Untuk memperoleh kestabilan yang baik dalam waktu yang singkat, maka

dapat dilakukan dengan metode uji stabilitas dipercepat (Djajadisastra, 2004).

Uji stabilitas dipercepat bertujuan untuk mendapatkan informasi yang

diinginkan pada waktu yang sesingkat mungkin, dengan cara menyimpan sediaan

pada kondisi yang telah dirancang untuk mempercepat terjadinya perubahan yang

biasanya sering terjadi pada kondisi normal (Martin, dkk., 1983). Biasanya uji

stabilitas dipercepat dilakukan dengan cara suatu sediaan disimpan pada suhu rendah

selama 24 jam, lalu dipindahkan kesuhu tinggi selama 24 jam (1siklus). Dilakukan

sebanyak 6 siklus (12 hari) (Djajadisastra, 2004).

19
G. Uraian Bahan

1. Uraian bahan dalam sediaan shampoo anti ketombe ekstrak daun komba-
komba berbunga kuning

a. HPMC (Hidroksi Propil Metil Selulosa)

HPMC merupakan serbuk putih tidak berbau dan tidak memiliki rasa, larut

dalam air. Selain itu, HPMC merupakan bahan yang tidak beracun dan noniritatif.

HPMC stabil pada pH 3 hingga 11, gel yang dihasilkan jernih, bersifat netral, serta

vikositasnya yang stabil meski disimpan pada jangka waktu yang lama

(Arikumalasari., 2013). Penelitian Nursiah, dkk., (2011) menunjukkan bahwa gelling

agent HPMC memiliki kestabilan fisik paling optimal pada sediaan gel dibandingkan

dengan karbopol. Menurut penelitian Niyogi, dkk., (2012) formula gel menggunakan

HPMC memiliki viskositas dan daya sebar yang lebih baik dibandingkan dengan

karbopol dan Na CMC. Jika dibandingkan dengan Na CMC, HPMC memiliki

kompatibilitas yang baik terhadap ekstrak yang mengandung senyawa fenol (Sofwan,

2011).

Gambar 3. Struktur hidroksipropilmetilselulosa (Rowe, dkk., 2009)

20
b. Sodium Lauril Sulfat

Sodium lauril sulfat adalah surfaktan anionik yang memiliki karakteristik

sebagai pembentuk busa yang baik, memiliki daya pembersih yang tinggi, dan stabil

pada air sadah. Sifatnya sebagai pembentuk busa dan pembersih yang baik dapat

terlihat dari nilai HLB SLS yang tinggi, yaitu 40. Menurut Liebermann (1996)

surfaktan dikatakan memiliki sifat sebagai pembersih yang baik bila memiliki nilai

HLB di atas 12, karena berarti surfaktan tersebut cenderung bersifat hidrofil, sehingga

saat penggunaannya akan mudah terbilas oleh air. SLS bersifat sukar larut dalam air

dingin, namun kelarutannya meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Mitsui, 1997

dan Rieger, 2000). Sodium lauril sulfat digunakan sebagai surfaktan dalam formulasi

sampo dengan konsentrasi 10 % (Rowe, dkk., 2009).

Gambar 4. Struktur SLS (Rowe, dkk., 2009)


c. Metil paraben

Metil paraben (C8H8O3) atau nipagin merupakan kristal tak berwarna atau

bubuk kristal putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau. Larut dalam 400 bagian

air, dalam 3 bagian etanol (95%) dan tidak larut dalam minyak mineral. Metilparaben

banyak digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik, produk makanan, dan sediaan

farmasi. Metilparaben dapat digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan paraben

yang lain seperti etilparaben, propilparaben, dan butilparaben. Metilparaben mampu

bekerja efektif pada rentang pH yang lebar, memiliki aktivitas antimikroba spectrum

21
luas, dan sangat efisien melawan kapang maupun jamur. Konsentrasi metilparaben

yang dapat digunakan dalan sediaan topikal yaitu 0,02-0,3 % (Rowe, dkk., 2009).

Nipagin merupakan pengawet yang sesuai bagi sediaan gel, karena tidak

mempengaruhi efisiensi polimer untuk menaikkan viskositas sediaan (Kartika, 2010).

OCH3
O

OH

Gambar 5. Struktur metil paraben (Rowe, dkk., 2009).

d. Propilen Glikol

Propilen glikol (C3H8O2) merupakan cairan jernih, tidak berwarna, kental,

praktis tidak berbau, rasa manis, higroskopis. Bahan ini larut dalam aseton,

kloroform, air, gliserin, eter dan etanol namun tidak larut dalam minyak mineral.

Propilen glikol digunakan sebagai humektan, stabilisator, kosolven, plastisizer, dan

pelarut yang lebih baik dibandingkan dengan gliserin. Data klinis telah menunjukkan

reaksi iritasi kulit pada pemakaian propilen glikol di bawah 10% dan dermatitis di

bawah 2% (Loden, 2009).

H OH OH

H C C C H

H H H
Gambar 6. Struktur propilen glikol (Rowe, dkk., 2009)

22
e. Disodium Edetate

Disodium EDTA (ethylenediaminetetraacetate) digunakan sebagai agen

khelating di berbagai sediaan farmasi termasuk obat kumur, tetes mata dan topikal

dengan konsentrasi (0,0005-0,1)% b/v digunakan dalam volume kecil. Disodium

EDTA membentuk kompleks yang mudah larut dalam air (khelat) dengan ion logam

berat (Rowe, 2009).

Gambar 7. Struktur Disodium EDTA (Rowe, dkk., 2009)


f. Akuades

Akuades adalah nama resmi purified water (air murni) memiliki rumus

molekul H2O dan berat molekul 18,02 g/mol. Akuades merupakan cairan jernih, tidak

berwarna dan tidak berbau. Penyimpanan akuades adalah dalam wadah tertutup rapat.

Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan

menggunakan penukar ion, osmotik balik atau proses lain yang sesuai. Tidak

mengandung zat tambahan lain dan kegunaannya adalah sebagai pelarut (Ditjen

POM, 1979).

O
H H

Gambar 8. Struktur akuades (Ditjen POM, 1979)

23
2. Uraian Sediaan Obat Ketokonazol

Ketokonazol adalah salah satu anti jamur golongan azol sintetik yang

merupakan turunan imidazol dengan spektrum luas dan efektifitas tinggi yang bekerja

menghambat sintesa ergosterol yaitu komponen yang penting bagi integritas jamur.

Ketokonazol merupakan buuk tidak berbau, berwarna coklat kekuningan yang pucat

dan suram atau kurang putih, dibuat melalui sintesa kimiawi, praktis tidak larut dalam

air, dan relatif tidak larut dalam alkohol (Setiabudy, dkk., 2007).

H. Pengujian Aktivitas Antijamur

1. Jamur Penyebab Ketombe (Pityrosporum ovale)

a. Klasifikasi Pityrosporum ovale (Fardiaz, 1992)

Divisi : Eumycetes

Kelas : Deuteromycetes

Ordo : Cryptococcales

Famili : Cryptococcaceae

Genus : Pityrosporum
Gambar 9. Pityrosporum ovale secara
mikroskopis (Shepard dan Lampiris., 2010)
Spesies : Pityrosporum ovale

b. Deskripsi Pityrosporum ovale

Pityrosporum ovale merupakan yeast lipofilik sebagai komensalisme kulit dan

menjadi patogen pada kondisi tertentu (Kindo, 2004). Morfologi P. ovale

berkarakteristik oval seperti botol, berwarna putih−krem, halus, aerob, berukuran

1−2 × 2−4 mm, pH 5−6 (Bramono, 2008), Pityrosporum ovale tumbuh paling baik

24
dalam kisaran suhu 35o C hingga 37o C, tetapi dalam penelitian yang telah dilakukan

suhu optimal adalah 37o C, pertumbuhan terlihat setelah 2 hari inkubasi pada 37o C,

dan pertumbuhan optimal diperoleh setelah 3 hingga 5 hari. Pityrosporum ovale

sangat sensitif terhadap pengeringan, dan oleh karena itu penting untuk meningkatkan

kelembaban dalam inkubator untuk pertumbuhan optimal (Serup, dkk., 2006).

Pityrosporum ovale memperbanyak diri dengan cara blastospora atau tunas.

Blastospora dibentuk dari proses pertunasan sederhana dimana tunas tidak

melepaskan diri dari induknya tetapi membentuk kumpulan tunas yang menempel

pada sel yang memanjang atau pseudomiselium, tunas-tunas sel tersebut tetap

berbentuk oval sehingga membentuk cabang baru (Fardiaz, 1992). P. ovale

merupakan fungi yang berperan menyebabkan ketombe (Bramono, 2008).

(a) (b)
Gambar 10. Bentuk bulat (a) dan oval (b) P. ovale secara mikroskopis (Serup, dkk., 2006)

Pada saat menumbuhkan fungi P. ovale ini menggunakan media Sabouraud

Dextrose Agar dengan media penambah yaitu minyak kelapa, minyak samin atau

olive oil. Lemak merupakan kebutuhan mutlak bagi P. ovale karena fungi ini bersifat

lipofilik yaitu memerlukan lemak (lipid) untuk pertumbuhannya (Mayser, 2008). P.

ovale merupakan yeast yang ditemukan pada kulit kepala karena kulit kepala

mengandung sejumlah besar kelenjar sebasea. Kelenjar sebasea atau sebum

25
menghasilkan minyak pada kulit kepala namun pada penderita ketombe jumlahnya

lebih banyak (Niharika, 2010).

Gambar 11. Kultur P. ovale pada media SDA+olive oil suhu 37⁰C selama 5 hari (Kaw Bing,
2005)
Mekanisme terjadinya ketombe itu sendiri, diakibatkan hipersekresi sebum

sehingga memicu pertumbuhan P. ovale secara berlebihan. P. ovale akan memakan

minyak yang keluar dari pori-pori kepala, yang akan mengeluarkan enzim lipase

kemudian menghidrolisis trigliserida dari sebum menjadi asam lemak jenuh yang

akan dikonsumsi oleh Pityrosporum ovale untuk tumbuh dan berkembang biak,

sedangkan asam lemak tak jenuh hasil hidrolisis akan dibiarkan begitu saja.

Akibatnya, akan terjadi peradangan/iritasi kulit yang akan menyebabkan sel kulit

lebih cepat mati. Keratin mati dilepaskan sebagai gumpalan-gumpalan serpihan

berwarna putih abu-abu pada kulit kepala dan rambut yang disebut sebagai ketombe

(Oktaviani, 2012).

2. Uji Antijamur

a. Metode Difusi

1. Cakram (Disc)

Cara ini merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menentukan

kepekatan kuman terhadap berbagai macam obat – obatan. Pada cara ini, digunakan

26
suatu cakram kertas saring (paper disc) yang berfungsi sebagai tempat penampung

zat antijamur. Kertas saring tersebut kemudian diletakkan pada lempeng agar yang

telah diinokulasi mikroba uji, kemudian diinkubasi pada waktu tertentu dan suhu

tertentu, sesuai dengan kondisi optimum dan jamur uji. Pada umumnya, hasil yang

didapat bias diamati setelah diinkubasi selama 18 – 24 jam dengan suhu 370 C

(Greenwood, 1995)

Metode cakram disk atau kertas cakram ini memiliki kelebihan dan

kekurangan. Kelebihannya mudah dilakukan, tidak memerlukan peralatan khusus dan

relatif murah. Sedangkan kelemahannya adalah ukuran zona bening yang terbentuk

tergantung oleh kondisi inkubasi, inokulasi, predifusi dan preinkubasi serta ketebalan

medium (Pelczar, 1998).

2. Cara sumuran (hole/cup)

Pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan mikroba uji dibuat suatu

lubang yang selanjutnya diisi dengan zat antimikroba uji. Kemudian setiap lubang itu

diisi dengan zat uji. Setelah diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai dengan

mikroba uji, dilakukan pengamatan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan

disekeliling lubang (Bonang, 1992).

3. Metode E-test

Metode E-test digunakan untuk mengestimasi MIC (Minimum Inhibitory

Concentration) atau KHM (Kadar hambat minimum) yaitu konsentrasi minimal suatu

agen antimikroba untuk dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Pada

metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar

27
terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah

ditanami mikroorganisme. Pengamatan dilakukan pada area jernih yang ditimbulkan

yang menunjukkan kadar agen antimikroba yang menghambat pertumbuhan

mikroorganisme pada media agar (Pratiwi, 2008).

4. Ditch plate technique.

Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada

parit yang dibuat dengan cara memotong media ager dalam cawan petri pada bagian

tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah

parit yang berisi agen antimikroba (Pratiwi, 2008).

b. Metode Dilusi

1. Metode dilusi cair

Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau kadar

hambat minimum KHM) dan MBC (minimum bactericidal concentration atau kadar

bunuh minimum/KBM). Cara dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran

agen antijamur pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji

agen antijamur pada kadar terkecil yang terlihat jenih tanpa adanya pertumbuhan

mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut

selanjutnya dikultur ulang pada medium cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun

agen antijamur dan diinkubasi. Media cair yang bening setelah diinkubasi ditetapkan

sebagai KBM (Pratiwi, 2008).

28
2. Metode dilusi padat

Metode ini serupa dengan metode dilusi cair, namun menggunakan media

padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antijamur yang

diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008)

29
I. Kerangka Konsep

penelitian yang Ekstrak Etanol daun Delipidasi dengan


dilakukan oleh komba-komba menggunakan N-heksan
(Sunder, dkk., 2012) berbunga kuning
mengungkapkan (Chromolaena odorata
ekstrak daun (L.))
komba-komba dapat Ekstrak tidak larut N-heksan
berkhasiat sebagai
antijamur

Uji aktivitas antijamur ekstrak etanol dan


ekstrak delipidasi dengan menggunakan
N-heksan terhadap jamur Pityrosporum
ovale

Formulasi sediaan shampoo dari


ekstrak dengan daya hambat
terhadap jamur Pityrosporum ovale
yang paling optimum

Karakterisasi fisik sediaan Uji aktivitas antijamur sediaan


shampoo terhadap jamur
Pityrosporum ovale

Evaluasi sediaan
- Sifat Organoleptis
- Nilai pH Keterangan: Variabel bebas :
- Nilai Viskositas
- Daya Busa Variabel Terikat :
- Daya Sebar
Gambar 12. Kerangka konsep

30
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Penelitian Farmasi Fakultas Farmasi

Universitas Halu Oleo, Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara. Penelitian ini

dilaksanakan mulai bulan Juli sampai Desember 2018.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksprimental yang dilakukan di

laboratorium dengan menggunakan rancangan eksprimental membuat sediaan

shampoo gel dari ektrak daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata

(L.)).

C. Bahan Penelitian

Bahan baku penelitian adalah daun komba-komba berbunga kuning

(Chromolaena odorata (L.)). Bahan – bahan lain yang digunakan yaitu kultur murni

jamur Pityrosporum ovale ( ), etanol 96 % (Merck®), N-heksan, HPCMC, sodium

lauryl sulfat, metil paraben, propilen glikol, pengaroma, akuades, disodium EDTA,

Media SDA (Sabouraud Dekstrose Agar) + olive oil, Agar, NaCl 0,9 % (Otsuka®),

Na CMC 1%, ketokonazol, kertas cakram, kertas label, kertas saring, plastik wrap

(Total®), Aluminium foil (Bagus®), kapas, tissue (Tessa®).

D. Alat yang Digunakan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotary vacuum

evaporator(Rotavapor Buchi®), blender(Philips®),timbangan analitik(Precisa®), gelas

31
kimia(Pyrex®), laminar air flow(Chuaire®), tabung reaksi(Pyrex®), jarum ose, cawan

petri(Anumbra®), batang pengaduk, autoklaf(Wisecrave®), corong pisah(Pyrex®), alat

pencadang besi, gelas ukur(Pyrex®), hot plate (MS-H280-PRO), magnetic stirrer,

oven(Memmert®), Erlenmeyer(Pyrex®), labu takar(Pyrex®), Cawan Petri, chamber,

wadah toplaes kaca, cutter, dan alat gelas(Pyrex®) lainnya.

E. Variabel

Dalam penelitian ini, variabel dibagi menjadi :

1. Variabel bebas :

Konsentrasi ekstrak etanol dan ekstrak etanol terdelipidasi dengan

menggunakan pelarut N-heksan daun komba-komba berbunga kuning

(Chromolaena odorata (L.)) dan konsentrasinya dalam sediaan shampoo.

2. Variabel terikat:

Aktivitas antijamur ekstrak etanol dan ekstrak terdelipidasi daun komba-

komba berbunga kuning (Chromolaena odorata (L.)) dan sediaan shampoo yang

mengandung ekstrak daun komba-komba berbunga kuning.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini yaitu:

1. Ekstrak etanol daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata (L.))

adalah ekstrak yang diperoleh dari simplisia daun komba-komba berbunga kuning

(Chromolaena odorata (L.)) yang diekstraksi secara maserasi menggunakan

pelarut etanol 96%.

32
2. Ekstrak terdelipidasi adalah ekstrak etanol daun komba-komba berbunga kuning

(Chromolaena odorata (L.)) yang didelipidasi dengan pelarut N-heksan sehingga

menghasilkan ekstrak dengan komponen bahan alam yang bebas dari komponen

kimia lain yang tidak dibutuhkan seperti lemak, karbohidrat, klorofil, dan lain-

lain.

3. Aktivitas antijamur adalah kemampuan senyawa yang terdapat dalam ekstrak

daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata (L.)) yang dapat

memberikan efek menghambat atau membunuh jamur Pityrosporum ovale.

4. Sediaan shampoo yang mengandung ekstrak daun komba-komba berbunga kuning

(Chromolaena odorata (L.)).

G. Metode Kerja

Metode penelitian yang dilakukan meliputi pengumpulan, preparasi sampel,

ekstraksi, delipidasi esktrak etanol daun komba-komba berbunga kuning pengujian

aktivitas antijamur pada ekstrak, pembuatan sediaan shampoo, evaluasi sediaan

shampoo dan pengujian aktivitas sediaan shampoo.

1. Pengumpulan Sampel

Sampel komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata (L.)),

diperoleh di Kel. Lasehao Kec. Parigi Kab. Muna, Sulawesi Tenggara. Pengambilan

sampel dilakukan pada pukul 9 pagi, sampel yang diambil dipilih daun yang sehat

(tidak terkena hama), daun ketiga- ketujuh dari pucuk, dan dipetik satu persatu secara

manual.

33
2. Preparasi sampel

Sampel yang telah dikumpulkan kemudian disortasi basah, dalam proses ini

daun komba-komba bunga kuning dipisahkan dari pengotor seperti tanah, atau

tanaman lain yang terikut saat pengambilan sampel. Setelah proses sortasi basah,

daun komba-komba bunga kuning kemudian dicuci bersih menggunakan air

mengalir. Setelah proses pencucian, daun komba-komba bunga kuning dikeringkan

dengan cara daun komba-komba bunga kuning ditutupi dengan kain hitam yang

diberi jarak antara sampel dengan kain, kemudian dijemur tidak lansung di bawah

sinar matahari. Setelah kering, sampel disortasi kering tujuannya yaitu untuk

memisahkan benda – benda asing dan pengotor – pengotor lain yang masih ada dan

tertinggal pada simplisia kering. Setelah itu sampel daun komba-komba bunga kuning

dihaluskan menggunakan pencacah elektrik dan diayak untuk memperoleh serbuk

ukuran 40/60 mesh, kemudian disimpan dalam wadah (Departemen Kesehatan,

2000).

3. Ekstraksi

Simplisia yang telah diserbukkan sebanyak 500 gram dimaserasi dengan

pelarut etanol 96% sebanyak 3,7 L. Sampel serbuk direndam dalam pelarut etanol

96% hingga terendam seluruhnya, kemudian diaduk selama 15 menit, kemudian

didiamkan selama 3x24 jam, setelah perendaman selama 3x24 jam diambil filtrat

dengan penyaringan, kemudian dikentalkan dalam rotary vacuum evaporator pada

suhu 60°C. Pada proses ini didapatkan ekstrak kental daun komba-komba bunga

34
kuning (Departemen Kesehatan, 2000). Selanjutnya ekstrak kental dikeringkan.

Perhitungan rendemen ekstrak :

Berat ekstrak kental


% Rendemen = x 100 %
Berat simplisia kering

4. Delipidasi Ekstrak Etanol Daun Komba-Komba Bunga Kuning

Ekstrak etanol yang telah dikeringkan ditimbang 20 gram, setelah itu

dilarutkan dalam etanol 96 % sebanyak 250 mL lalu diaduk hingga ekstrak tersari

dalam etanol 96 %, kemudian ditambahkan N-heksan sama banyak. Dilakukan

pengocokan selama kurang lebih 1 menit dan didiamkan selama 10 menit. Fraksi

etanol yang didapat kemudian ditambahkan lagi N-heksan hingga didapatkan fraksi

N-heksan yang jernih, Fraksi etanol yang didapatkan diambil dan dipekatkan

(Puspitasari dan Suwijiyo, 2015).

H. Uji aktivitas antijamur ekstrak daun komba-komba berbunga kuning


(Chromolaena odorata (L.)), terhadap jamur Pityrosporum ovale

a. Sterilisasi alat

Alat-alat gelas yang tidak berskala seperti cawan petri dan tabung reaksi di

bungkus dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan di dalam oven pada suhu

170oC selama 2 jam, sedangkan pada alat – alat gelas yang berskala di bungkus

dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan pada autoklaf pada suhu 121 oC

dengan tekanan 15 lbs selama 15 menit. Laminar AirFlow disterilkan dengan

menyalakan lampu UV selama 5 menit kemudian dhidupkan Blowernya. Lemari

35
aseptis dibersihkan dari debu lalu disemprotkan dengan alkohol 70 % (Febriyenti

dkk., 2014).

b. Pembuatan media SDA (Sabouraud Dextrose Agar)

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media SDA (Sabouraud

Dextrose Agar) yang diperkaya olive oil 1% (Rukayadi, dkk., 2012). Pembuatan

media dilakukan dengan mencampurkan 40 g dextrose, 15 g agar dan 10 g pepton

yang dilarutkan dalam 1L akuades, kemudian dipanaskan sampai larut sambil diaduk

agar larut sampai menjadi larutan yang homogen, jangan sampai mendidih.

Selanjutnya medium SDA disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121o C selama 15

menit. Larutan olive oil disterilkan dengan oven pada suhu 160o C selama 30-60

menit. Setelah selesai dikeluarkan media SDA dari autoklaf dan olive oil dari oven,

kemudian ditambahkan 1% olive oil pada media SDA yang dilakukan secara aseptis

dan dihomogenkan. Selanjutnya media SDA + olive oil dituang ke dalam cawan petri

dan dibiarkan menjadi dingin sampai agar-agar menjadi padat (Nenoff dan Haustein,

2002).

c. Prekultur Pityrosporum ovale

Prekultur jamur dilakukan dengan cara satu ose kamir dari kultur murni

digoreskan pada medium agar SDA + olive oil di dekat api bunsen, setelah itu ditutup

dengan kapas steril dan diinkubasi selama 3-5 hari di dalam inkubator dengan suhu

37o C untuk kemudian digunakan pada uji antifungi (Serup, dkk., 2006).

36
d. Pengenceran dan perhitungan koloni jamur Pityrosporum ovale

Pengenceran dilakukan dengan cara koloni jamur diambil dengan

menggunakan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 9 mL larutan NaCl

steril 0,9%, lalu diaduk dan didapatkan pengenceran 10-1. Dari pengenceran ini

dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 9 mL NaCl

fisiologis dan didapatkan pengenceran 10-2, dilakukan sampai pengenceran 10-8.

Pengenceran 10-2 sampai 10-8 digunakan untuk pembiakan jamur pada media

pembenihan (Juwita, dkk., 2013). Menurut (Wasteson and Hornes, 2009) tujuan dari

pengenceran bertingkat yaitu memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang

tersuspensi dalam cairan. Digunakan perbandingan 1:9 untuk sampel dan

pengenceran pertama dan selanjutnya, sehingga pengenceran berikutnya mengandung

1/10 sel mikroorganisme dari pengenceran sebelumnya. Selanjutnya, dipipet

sebanyak 1 mL hasil pengenceran 10-2 sampai 10-8 dimasukkan ke dalam cawan petri,

lalu ditambahkan medium SDA dan dibiarkan sampai agar memadat. Kemudian

dibalikkan cawan petri dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 3-5 hari. Setelah masa

inkubasi, koloni yang tumbuh dihitung jumlahnya dengan colony counter dengan

menggunakan metode hitung cawan. Menurut Bailey and Scott’s (1982),

penghitungan bakteri dilakukan dengan menerapkan metode total plate count (TPC).

Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel-sel mikroba yang

masih hidup pada suatu atau beberapa media sehingga sel tersebut berkembang biak

dan membentuk koloni-koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang

tanpa menggunakan mikroskop. Jumlah jamur yang muncul dihitung dengan

37
menggunakan alat colony counter yang kemudian dicatat dan dikalikan dengan

besaran pengenceran yang telah dilakukan. Jumlah mikroba dinyatakan dalam satuan

CFU/mL (colony-forming unit/mL). Setelah dilakukan perhitungan, tabung

pengenceran yang dipilih yaitu yang memenuhi persyaratan jumlah koloni 30-300

koloni yang digunakan untuk pengujian antijamur.

e. Pembuatan suspensi ekstrak

Ekstrak daun komba-komba bunga kuning dibuat dalam beberapa seri

konsentrasi. Konsentrasi uji dibuat dengan cara menimbang masing-masing ekstrak

menggunakan timbangan analitik. Kemudian dimasukkan masing-masing ke dalam

mucilago Na CMC 1% dan digerus sampai homogen (Nursida, dkk., 2016).

f. Pembuatan suspensi kontrol positif dan kontrol negatif

Suspensi kontrol positif dibuat dengan cara menimbang Na CMC sebanyak 1

gram yang didispersikan ke dalam air hangat sedikit demi sedikit hingga 75 mL dan

digerus hingga terbentuk korpus suspensi, kemudian dimasukkan ketokonazol

sebanyak 0,02 gram yang telah digerus dan ditambahkan akuades hingga 100 mL dan

digerus sampai homogen. Kontrol negatif menggunakan Na CMC 1% (Devi, 2017).

g. Pengujian Antijamur

Penentuan aktivitas antijamur Pityrosporum ovale dilakukan dengan metode

sumuran. Metode ini menggunakan 2 lapis media SDA+olive oil, pada lapisan

pertama yaitu sebanyak 10 mL media SDA+olive oil steril dalam keadaan cair

dituangkan ke dalam cawan petri steril dan kemudian dibiarkan selama 15 menit

hingga menjadi padat sebagai lapisan dasar (base layer). Setelah media SDA

38
memadat, media agar dibagi menjadi 7 bagian dengan masing-masing bagian

diletakkan alat pencadang yang berfungsi sebagai cetakan lubang atau sumuran

dengan jarak 2 – 3 cm. Lapisan ke-2 yaitu lapisan semi solid (seed layer) dituangkan

media SDA+olive oil yang telah ditambahkan 1 mL hasil pengenceran jamur. Alat

pencadang pada media yang telah memadat diangkat secara aseptis sehingga

membentuk sumuran pada media. Kemudian isi sumuran dengan ekstrak daun

komba-komba bunga kuning dengan beberapa seri konsentrasi sebanyak 20𝜇L. Na

CMC 1% sebagai kontrol negatif dan ketokonazol 2% sebagai kontrol positif.

Selanjutnya dimasukkan ke inkubator untuk diinkubasi dengan suhu 370 C selama 3-5

hari kemudian diamati diameter hambat (zona bening) yang terbentuk. Masing-

masing perlakuan dilakukan replikasi 3 kali. Pengukuran zona hambat yang terbentuk

dilakukan dengan mengukur diameter zona bening yang terbentuk dengan

menggunakan jangka sorong (mm). Setelah itu zona hambat yang terbentuk

dibandingkan dengan diameter zona hambat kontrol positif ketokonazol (Maryanti,

dkk., 2014).

I. Formulasi Sediaan Shampoo

Tabel 1. Acuan formula sediaan shampoo menurut Faizatun, dkk., 2008.

No. Nama Bahan Formula Gel (% b/v)


1. Ekstrak bunga chamomile 5
2. HPMC 2
3. SLS 10
4. Disodium EDTA 0,1
5. Metil paraben 0,18
6. Propil paraben 0,02
7. Propilen glikol 5

39
8. Pengaroma q.s
9. Akuades (mL) Ad 100

Tabel 2. Rancangan formula shampoo anti ketombe dari ekstrak komba-


komba berbunga kuning (Chromolaena odorata L.)
No Nama Bahan Kegunaan Formula Gel (% b/v)
F1 F2 F3
1. Ekstrak daun komba-komba Zat aktif X X X
bunga kuning
2. Sodium lauryl sulfat Surfaktan 10 10 10
3. HPMC Gelling agent 2 2 2
4. Propilen glikol Kosolven 15 15 15
5. Metil Paraben Pengawet 0,2 0,2 0,2
6. Disodium EDTA Pengkhelat 0,1 0,1 0,1
7. Pengaroma Pengaroma q.s q.s q.s
8. Akuades (mL) Pelarut Ad 100 Ad 100 Ad 100

J. Formulasi Shampoo dari Ekstrak Daun Komba-komba bunga kuning

Pembuatan sediaan shampoo diawali dengan terlebih dahulu dicampurkan

Disodium EDTA ke dalam akuades yang akan digunakan dalam proses pembuatan

sediaan shampoo, kemudian HPMC didispersikan dalam akuades yang sudah

dipanaskan hingga suhu 80-900 C, lalu digerus hingga terbentuk disperse yang

homogen di dalam mortir(1). Sodium Lauryl Sulfate dilarutkan dengan akuades yang

telah ditambahkan dengan Disodium EDTA, aduk sampai homogen (bagian 1) (2).

metil paraben dilarutkan dengan propilen glikol dan diaduk hingga homogen (bagian

2) (3). Bagian 1 dimasukan ke dalam massa gel, kemudian dicampurkan bagian 2 ke

dalam massa gel sedikit demi sedikit diaduk hingga homogen setelah itu ditambahkan

ekstrak kental daun komba-komba bunga kuning dan tambahkan pengaroma,

40
selanjutnya sisa akuades dimasukan kedalam campuran bahan tersebut sampai batas

tanda di dalam wadah (100 mL) dan diaduk sampai homogen (4).

K. Uji Stabilitas dan Evaluasi Sediaan Shampoo anti ketombe ekstrak daun
komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata)

Uji Stabilitas Sediaan

Salah satu cara mempercepat evaluasi kestabilan adalah dengan cycling test.

Metode cycling test dilakukan satu siklus pada saat sediaan shampoo disimpan pada

suhu ± 4°C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu ± 65°C

selama 24 jam (1 siklus), percobaan ini diulang sebanyak 6 siklus (12 hari)

(Djajadisastra, 2004).

Evaluasi Sediaan

1. Organoleptis

Pengamatan dilakukan pada setiap perubahan meliputi tekstur, bau, dan warna

sediaan shampoo gel ekstrak daun komba-komba bunga kuning (Kumar, 2010).

2. Pengukuran pH

Pengukuran pH sediaan shampoo menggunakan alat pH meter. Alat terlebih

dahulu dikalibrasi, setelah itu pH meter dicelupkan kedalam larutan sediaan shampoo

(sediaan shampoo terlebih dahulu diencerkan dengan air perbandingan 1:10),

dibiarkan alat menunjukan angka pH sampai konstan. Angka yang ditunjukkan pH

meter merupakan pH sediaan (Kumar, 2010).

41
3. Pengukuran Viskositas

Pengukuran viskositas dilakukan terhadap sediaan shampoo yang telah dibuat

sebelum dan setelah kondisi penyimpanan dipercepat. Uji viskositas dilakukan

dengan alat Viscosimeter Rion seri VT 04 rotor nomor 3 dicelupkan ke dalam gel

shampoo. Viskositas diketahui dengan mengamati gerakan jarum penunjuk viskositas

yang menunjuk pada angka tertentu (Kumar, 2010).

4. Uji stabilitas busa

Untuk mengevaluasi stabilitas busa dilakukan dengan mengambil sediaan

shampoo dalam volume tertentu yang dimasukkan ke dalam wadah bening kemudian

ditambahkan air sampai 100 ml. Lakukan proses pengadukan dengan pengaduk

mekanik untuk memperoleh kecepatan pengadukan yang seragam. Ketinggian busa

diukur setelah 1 menit (tinggi busa awal), kemudian ketinggian busa diukur kembali

setelah 5 menit (tinggi busa akhir) (Redmon, 2001). Sediaan shampoo dikatakan

memiliki busa yang stabil jika ketinggian busa pada menit pertama sama dengan

ketinggian busa setelah menit kelima atau memiliki persentase stabilitas busa sebesar

100% setelah didiamkan selama lima menit (Guala, dkk., tt). Stabilitas Busa dapat

dihitung dengan persamaan berikut (Redmon, 2001) :

Rumus stabilitas busa :

Rumus % busa yang hilang:

42
5. Uji daya sebar

Gel shampoo ditimbang sebanyak 0,5 g, kemudian diletakkan di tengah benda

transparan yang berdiameter 15 cm. Di atas gel shampoo diletakkan benda transparan

lain dan pemberat (50 g), didiamkan selama satu menit, kemudian dicatat diameter

penyebarannya (Nurdianti, dkk., 2017). Daya sebar gel yang baik antara 5-7 cm

(Garg, dkk., 2002).

L. Uji aktivitas antijamur sediaan shampoo anti ketombe ekstrak daun komba-
komba berbunga kuning (Chromolaena odorata (L.)), terhadap jamur
Pityrosporum ovale.

a. Sterilisasi alat

Alat-alat gelas yang tidak berskala seperti cawan petri dan tabung reaksi di

bungkus dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan di dalam oven pada suhu

170oC selama 2 jam, sedangkan pada alat – alat gelas yang berskala di bungkus

dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan pada autoklaf pada suhu 121 oC

dengan tekanan 15 lbs selama 15 menit. Laminar AirFlow disterilkan dengan

menyalakan lampu UV selama 5 menit kemudian dhidupkan Blowernya. Lemari

aseptis dibersihkan dari debu lalu disemprotkan dengan alkohol 70 % (Febriyenti

dkk., 2014).

b. Pembuatan media SDA (Sabouraud Dextrose Agar)

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media selektif SDA

(Sabouraud Dextrose Agar) yang diperkaya olive oil 1% (Rukayadi, dkk., 2012).

Pembuatan media dilakukan dengan mencampurkan 40 g dextrose, 15 g agar dan 10 g

43
pepton yang dilarutkan dalam 1L akuades, kemudian dipanaskan sampai larut sambil

diaduk agar larut sampai menjadi larutan yang homogen, jangan sampai mendidih.

Selanjutnya medium SDA disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121o C selama 15

menit. Larutan olive oil disterilkan dengan oven pada suhu 160o C selama 30-60

menit. Setelah selesai dikeluarkan media SDA dari autoklaf dan olive oil dari oven,

kemudian ditambahkan 1% olive oil pada media SDA yang dilakukan secara aseptis

dan dihomogenkan. Selanjutnya media SDA + olive oil dituang ke dalam cawan petri

dan dibiarkan menjadi dingin sampai agar-agar menjadi padat (Nenoff dan Haustein,

2002).

c. Prekultur Pityrosporum ovale

Prekultur jamur dilakukan dengan cara satu ose kamir dari kultur murni

digoreskan pada medium agar SDA + olive oil di dekat api bunsen, setelah itu ditutup

dengan kapas steril dan diinkubasi selama 3-5 hari di dalam inkubator dengan suhu

37o C untuk kemudian digunakan pada uji antifungi (Serup, dkk., 2006).

d. Pengenceran dan perhitungan koloni jamur Pityrosporum ovale

Pegenceran dilakukan dengan cara koloni jamur diambil dengan

menggunakan jarum ose dan diencerkan ke dalam tabung berisi 9 mL larutan NaCl

steril 0,9%, lalu diaduk dan didapatkan pengenceran 10-1. Dari pengenceran ini

dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 9 mL NaCl

fisiologis dan didapatkan pengenceran 10-2, dilakukan sampai pengenceran 10-8.

Pengenceran 10-2 sampai 10-8 digunakan untuk pembiakan jamur pada media

pembenihan (Juwita, dkk., 2013). Menurut (Wasteson and Hornes, 2009) tujuan dari

44
pengenceran bertingkat yaitu memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang

tersuspensi dalam cairan. Digunakan perbandingan 1:9 untuk sampel dan

pengenceran pertama dan selanjutnya, sehingga pengenceran berikutnya mengandung

1/10 sel mikroorganisme dari pengenceran sebelumnya. Selanjutnya, dipipet

sebanyak 1 mL hasil pengenceran 10-2 sampai 10-8 dimasukkan ke dalam cawan petri,

lalu ditambahkan medium SDA dan dibiarkan sampai agar memadat. Kemudian

dibalikkan cawan petri dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 3-5 hari. Setelah masa

inkubasi, koloni yang tumbuh dihitung jumlahnya dengan colony counter dengan

menggunakan metode hitung cawan. Menurut Bailey and Scott’s (1982),

penghitungan bakteri dilakukan dengan menerapkan metode total plate count (TPC).

Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel-sel mikroba yang

masih hidup pada suatu atau beberapa media sehingga sel tersebut berkembang biak

dan membentuk koloni-koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang

tanpa menggunakan mikroskop. Jumlah jamur yang muncul dihitung dengan

menggunakan alat colony counter yang kemudian dicatat dan dikalikan dengan

besaran pengenceran yang telah dilakukan. Jumlah mikroba dinyatakan dalam satuan

CFU/ml (colony-forming unit/mL). Setelah dilakukan perhitungan, tabung

pengenceran yang dipilih yaitu yang memenuhi persyaratan jumlah koloni 30-300

koloni yang digunakan untuk pengujian antijamur.

e. Pengujian Antijamur

Penentuan aktivitas antijamur Pityrosporum ovale dilakukan dengan metode

sumuran. Metode ini menggunakan 2 lapis media SDA+olive oil, pada lapisan

45
pertama yaitu sebanyak 10 mL media SDA+olive oil steril dalam keadaan cair

dituangkan ke dalam cawan petri steril dan kemudian dibiarkan selama 15 menit

hingga menjadi padat sebagai lapisan dasar (base layer). Setelah media SDA

memadat, media agar dibagi menjadi 5 bagian dengan masing-masing bagian

diletakkan alat pencadang yang berfungsi sebagai cetakan lubang atau sumuran

dengan jarak 2 – 3 cm. Lapisan ke-2 yaitu lapisan semi solid (seed layer) dituangkan

media SDA+olive oil yang telah ditambahkan 1 mL hasil pengenceran jamur. Alat

pencadang pada media yang telah memadat diangkat secara aseptis sehingga

membentuk sumuran pada media. Kemudian isi sumuran dengan shampoo dari

ekstrak daun komba-komba bunga kuning dengan konsentrasi masing-masing yaitu

F0 (shampoo tanpa ekstrak daun komba-komba bunga kuning), F1 (shampoo dengan

X% ekstrak daun komba-komba bunga kuning), F2 (shampoo dengan X% ekstrak

daun komba-komba bunga kuning), F3 (shampoo dengan X% ekstrak daun komba-

komba bunga kuning) dan F4 sebagai kontrol positif (sediaan shampoo anti ketombe

ekstrak bahan alam yang beredar dipasaran) sebanyak 20𝜇L. Selanjutnya dimasukkan

ke inkubator untuk diinkubasi dengan suhu 370 C selama 3-5 hari kemudian diamati

diameter hambat (zona bening) yang terbentuk. Masing-masing perlakuan dilakukan

replikasi 3 kali. Pengukuran zona hambat yang terbentuk dilakukan dengan mengukur

diameter zona bening yang terbentuk dengan menggunakan jangka sorong (mm).

Setelah itu zona hambat yang terbentuk dibandingkan dengan diameter zona hambat

kontrol positif ketokonazol (Maryanti, dkk., 2014).

46
M. Pengolahan Data

Parameter yang diukur dalam pengujian antijamur ialah perubahan visual dari

besarnya diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumuran pada media

pertumbuhan jamur dalam pengujian aktivitas antijamur. Diameter zona hambat

dihitung dalam satuan millimeter (mm) menggunakan jangka sorong. Kemudian

diameter zona hambat tersebut dikategorikan kekuatan daya antijamur berdasarkan

penggolongan Pan, dkk., 2009.

Tabel 3. Kategori penghambatan antimikroba berdasarkan diameter zona hambat

(Pan, dkk., 2009).

Diameter Daerah Hambat Respon Hambatan Pertumbuhan

Lebih dari 6 mm Kuat


3 – 6 mm Sedang
0-3 mm Lemah

Gambar. 13 Cara perhitungan diameter daerah hambat

𝑃𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑑𝑖𝑎𝑚𝑒𝑡𝑒𝑟 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎h h𝑎𝑚𝑏𝑎𝑡 = 2𝑥𝑧 -2𝑦𝑧

Ket :
2xz = diameter zona bening dan sumuran
2yz = diameter sumuran
a,b,c,d = sisi pengukuran zona bening

47
Diameter zona bening yang diukur seperti pada Gambar. Pengukuran dilakukan pada

empat sisi yaitu pada sisi a, b, c dan sisi d, kemudian dihitung nilai rata-rata dari hasil

pengukuran empat sisi tersebut. Cara menghitung rata-rata diameter zona bening

yaitu :

𝑎 +𝑏 +𝑐 +𝑑
4

Pengukuran diameter daerah hambat pada sampel penelitian yang telah selesai

dilakukan, dilanjutkan dengan membandingkannya terhadap kontrol positif. Hasil

perbandingan tersebut dijadikan acuan terhadap seberapa besar aktivitas antijamur

yang terkandung dalam ekstrak tanaman sehingga jika sampel penelitian memiliki

aktivitas terhadap jamur, zona bening yang terbentuk di sekitar sumuran menandakan

bahwa pertumbuhan mikroorganisme telah dihambat oleh senyawa-senyawa yang

terdapat pada sampel penelitian.

48
DAFTAR PUSTAKA

Allen, L.V., 2002. The Art, Science and Technology of Pharmaceutical


Compounding, American Pharmaceutical Association,Washington D.C.

Arikumalasari., (2013). Optimasi Hpmc Sebagai Gelling agent Dalam Formula Gel
Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.), Jurnal Farmasi
Udayana, Vol. 2 (3).

Armadany, F.I., Andi Nafisah, T.A.M., Ayu, S.F., dan Novi., 2017. Uji Aktivitas
Ekstrak Etanol Daun Komba-Komba (Eupatorium odoratum) Berbunga Putih
dan Berbunga Kuning Sebagai Antinyamuk, Jurnal Farmasi, Sains, dan
Kesehatan, Vol. 3 (2), ISSN 2442-9791.

Atikah, D., 2016. Uji Efektivitas Gel Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam
(Chromolaena odorata) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat, Skripsi, Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bailey and Scott’s., 1982. Diagnostic Microbiology. The CV. Mosby Company S.T.
Louis, Toronto, London.

Bonang G., 1992. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan Edisi 16. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

Bramono K., 2008. Pitiriasis sika/ketombe: etiopatogenesis. Dalam : Wasitaatmadja


SM, Menaldi SLS, Jacoeb TNA, Widaty S, editor. Kesehatan dan keindahan
rambut. Kelompok Studi Dermatologi Kosmetik Indonesia.

Budiman, A., Melina, F., Anna, Y., dan Anis, K., 2015. Uji Aktivitas Sediaan Gel
Shampo Minyak Atsiri Buah Lemon (Citrus limon Burm.), Jurnal IJPST, Vol.
2 (2).

Chakraborty, A.K., Sujit, R., dan Umesh, K.P., 2011. Chromolaena odorata (L.) : An
Overview, Journal of Pharmacy Research, Vol. 4 (3).

Devi, S., 2017. Uji Daya Hambat Infusa Tanaman Akar Kucing (Acalypha indica L.)
Terhadap Jamur Candida albicans, Jurnal Akademi Farmasi Prayoga, Vol.2
(1).

49
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 1985. Formularium Kosmetika
Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV,


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

Depkes RI, 2000., Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta.

Depkes RI, 1986., Sediaan Galenik, 2 &10, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.

Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan., 1979. Farmakope Indonesia Edisi
III, Departemen Kesehatan Republik.

Ditjen POM, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.

Ditjen POM., 1985. Formularium Kosmetik Indonesia. Jakarta: Departemen


Kesehatan RI.

Djajadisastra, J., 2004. Cosmetic Stability.Departemen Farmasi Fakultas Matematika


dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, Seminar Setengah Hari
HIKI, Jakarta.

Djamal, R., 2012. Prinsip-Prinsip Dasar Isolasi dan Identifikasi, Universitas


Baiturrahman, Padang.

Djunaedy, A., 2008. Aplikasi Fungisida Sistemik dan Pemanfaatan Mikoriza dalam
Rangka Pengendalian Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kedelai (Glycine
max L.). Embryo, Vol. 5 (2).

Faizatun., Kartiningsih., dan Liliyana., 2008. Formulasi Sediaan Sampo Ekstrak


Etanol Bunga Chamomile dengan Hidroksi Propil Metil Lelulosa Sebagai
Pengental, Jurnal Kefarmasian Indonesia, Vol. 6 (1).

Faizatun., Kartiningsih., dan liliyana., 2008. Formulasi Sediaan Sampo Ekstrak


Bunga Chamomile dengan Hidroksi Propil metil Selulosa sebagai Pengental,
Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia, Vol. 6 (1).

50
Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan
PAU Pangan dan Gizi.

Febriyenti, Sari, L. I., dan Nofita, R., 2014. Formulasi Sabun Transparan Minyak
Ylang-Ylang dan Uji Efektivitas Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat,
Jurnal Sains Farmasi & Klinis., Vol. 1(1).

Felicyta, K. G., 2010. Pengaruh Peningkatan Konsentrasi Carbopol 940 Sebagai


Bahan Pengental Terhadap Viskositas Dan Ketahanan Busa Sediaan
Shampoo, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Figueras M. J., J. Guarro, J. Gene, and de Hoog., G. S., 2000. Atlas of Clinical Fungi,
2nd ed, vol. 1. Centraalbureau voor Schimmelcultures, Utrecht,
TheNetherlands.

Filho, A. A., Heloísa, M.B. F., Janiere, P., Déborah, R. P. M., Gabriela, L., José, M.
B. F., José, P., and Edeltrudes, O. L., 2016. In vitro anti-Candida activity and
mechanism of action of the flavonoid isolated from Praxelis clematidea
against Candida albicans species, Journal of Applied Pharmaceutical
Science, Vol. 6 (01), ISSN 2231-3354.

Gerard Bonang., Enggar, S., dan Koeswardoyo., 1992. Mikrobiologi Kedokteran


untuk. Laboraturium dan Klinik, Jakarta.

Greenwood., 1995. Antibiotics Susceptibility (Sensitivity) Test, Antimicrobial ant.


Chemoterapy. Addison Westley Longman Inc. San Fransisco, USA.

Guala, F., N.Lionetti, E.Merlo, dkk. tt. Enhancement of Wash Resistance and
Functionality in Hair Colouring by Sodium Methyl Cocoyl Taurate and
Sodium Myristoyl Sarcosinate based Formulae. Milano, Italy : Zschimmer
&Schwars, Rigano Laboratories.

Garg, A., Anggarwal, S., and A. K. Sigla., 2002. Spreading of Semisolid


Formulation: An Update, Pharmaceutical Tecnology.

Hadi, M., J.W. Hidayat., dan K. Baskoro., 2000. Uji Potensi Ekstrak Daun
Eupatoriumodoratum sebagai Bahan Insektisida Alternatif: Toksisitas dan
Efek Antimakan Terhadap Larva Heliothisarmigera Hubner, Jurnal Sains
danMatematika, Fakultas MIPA UNDIPSemarang.

51
Hammado, N., dan Ilmiati, I., 2013. Identifikasi Senyawa Bahan Aktif Alkaloid pada
Tanaman Lahuna (Eupatorium odoratum), Jurnal Dinamika, Vol. 04 (2),
ISSN 2087 – 7889.

Harahap, M., 1990. Penyakit Kulit, Gramedia, Jakarta.

Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis


Tumbuhan, Edisi II, ITB Press, Bandung.

Inya-agha, S.I., B.O., Oguntimein., A., Sofowora, dan T.V. Benjamin., 1987.
Phytochemical and Antibacterial Studies on the Essential Oil of
Eupatorium odoratum L.,Pharmaceutical Biology, Vol. 25 (1).

Istiqomah, M.I., Prasetyowati, S., dan Aryoko, W.S., 2016. Prevalensi dan Faktor
Risiko Terjadinya Ketombe pada Polisi Lalu Lintas Kota Semarang, Jurnal
Kedokteran Diponegoro, Vol. 5 (4), ISSN Online : 2540-8844.

Jane, R.M.R., Albuquerque, Edilberto R.S., Daniel E. De A., Uchoa, dan Otilia
D.L.P., 2004. Chemical Composition and Larvicidal Activity of The
Essential Oils from Eupatorium betonicaeforme (D.C) Baker (Asteraceae),
J. Agric. Food Chem, Vol. 52 (22).

Juwita, D.A., Netty, S., dan Roslinda, R., 2013. Isolasi Jamur Pengurai Pati dari
Tanah Limbah Sagu, Jurnal Farmasi Andalas, Vol. 1 (1).

Kartika, G.F., 2010. Pengaruh peningkatan konsentrasi carbopol 940 sebagai bahan
pengental terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo, Skripsi.

Kaw, Bing. 2005. A modified mycological medium for isolation and culture of
Malassezia furfur. International Medical University. Kuala Lumpur,
Malaysia.

Kindo, AJ, Sophia, SKC et al. 2004. Identification of Malassezia Species. Indian
Journal of Medical Microbiology, Vol. 22 (3).

Kumar, Ashok., Mali., dan Rakesh Roshan., 2010. Evaluation Of Prepared Shampoo
Formulations And To Compare Formulated Shampoo With Marketed
Shampoos, International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and
Research, Vol. 3 (1).

52
Lestari, T., 2002. Hand and Body Lotion: Pengaruh Penambahan Nipagin,Nipasol
dan Campuran KeduanyaTerhadap Stabilitas Fisika danEfektifitasnya
Sebagai Anti Jamur, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada.

Liebermann, H.A., Rieger, M.M., dan Banker, G.S., 1996. Pharmaceutical Dossage
Forms : Disperse system, Volume 1, 2nd ed, Marcel Dekker, Inc., New York.

Loden, M., 2009. Hydrating SubstanceIn Handbook of Cosmetic Science and


Technology 3rd Edition, 107, New York : Informa Healthcare USA.

Maryanti, E., Elsi, F., dan Enny, L., 2014. Studi Efektivitas Antijamur Nanopartikel
ZnO/ZnS Terhadap Pertumbuhan Jamur Pityrosporum ovale Penyebab
Ketombe, Jurnal Gradien, Vol. 10 (2).

Mardikasari, S.A., Andi Nafisah, T.A., Wa Ode Sitti, Z., dan Endeng, K., 2017.
Formulasi dan Uji Stabilitas Lotion dari Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji
(Psidium guajava L.) Sebagai Antioksidan, Jurnal Farmasi, Sains, dan
Kesehatan, Vol. 3 (2).

Manjappa, K., 2015. Evaluation of Antifungal Properties of Eupatorium (Chromolaena


odorata L.) Plant Extract Against Pyricularia oryzae Causing Blast Disease In Rice
Crop, Asian Journal of Pharmaceutical Science & Technology, Vol. 5 (2).

Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A., 1983. Farmasi Fisik Edisi III.

Mayser PA, Sarah K. Lang., 2008. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. Human and
Animal Relationships The Mycota, Vol. 6 (1).

Michael dan Ash Irene., 1977. A Formulary Of Cosmetic Preparation. Chemical


Publishing Co. New York.

Mitsui, T., 1997. New Cosmetics Science, 406. Elsevier, Netherlands.

Nenoff, p., and Haustein, U. F., 2002. In Vitro Activity Of Phytosphingosines


Against Malassezia furfur and Candida albicans, J. Acta Derm Venereol, Vol.
82.

Niharika, A. 2010. Antifungal properties of neem (azardirachta Indica) leaves extract


to treat hair dandruff. E-international scientific research journal, Vol. 2 (3),
ISSN: 2094-1749.

53
Nursida., Besse, H., Julianri, S.L., dan Yuri, P.U., 2016. Uji Efektivitas Sediaan
Suspensi Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Terhadap Aktivitas
Fagositosis Pada Mencit Jantan (Mus musculus), Journal of
Pharmaceutical and Medicinal Sciences, Vol. 1 (1).

Niyogi, P., N. J. Raju, P. G. Reddy, dan B.G. Rao., 2012. Formulation and Evaluation
of Antiinflammatory Activity of Solanum Pubescens Wild Extracts Gel on
Albino Wistar Rats. International Journal of Pharmacy, Vol. 2 (3).

Nurdianti, L., Siti, F., dan Nur, A., 2017. Pengembangan Formulasi Sediaan Gel
Rambut Antiketombe Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius
Roxb.) dengan Menggunakan Viscolam Sebagai Gelling Agent Dan Uji
Aktivitasnya Terhadap Jamur Pityrosporum ovale, Jurnal Kesehatan Bakti
Tunas Husada, Vol. 17 (2).

Nursiah, H., Faradiba., Baharuddin, G. A., 2011. Formulasi gel sari buah belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi L.), Universitas Hasanuddin dan Universitas Muslim
Indonesia Makassar, Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 15 (1).

Oktaviani., 2012. Uji Banding Efektivitas Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper
Crocatum) Dengan Zinc Pyrithione 1% Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum
Ovale Pada Penderita Berketombe, Karya Tulis Ilmiah, FK universitas
Diponegoro.

Owolabi, M.S., Akintayo O., Kamil O.Y., Labunmi L., Heather E.V., Jessika A. T.,
dan William N.S., 2010. Chemical Composition and Bioactivity of the
Essential Oil of Chromolaena odorata from Nigeria, ACG Publication,
Records Natural Products, Vol. 4 (1).

Pan, X., F. Chen., T. Wu., H. Tang and Z. Zhao., 2009. The Acid, Bile Tolerance and
Antimicrobial Property of Lactobacillus acidophilus NIT. J. Food
Control, 20.

Pelczar., Michael, J., dan Chan, E.C.S., 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid II.
Jakarta: UI Press.

Pratiwi, Sylvia., 2008. Mikrobiologi Farmasi, Erlangga : Jakarta.

54
Puspitasari, A.D dan Suwijiyo, P., 2015. Perbandingan Metode Pembuatan Ekstrak
Terpurifikasi Bee Propolis dari Lebah Madu (Apis mellifera) Berdasarkan
Kadar Flavonoid Total Dihitung sebagai Rutin, Traditional Medicine Journal,
Vol. 20 (2).

Redmon, R., 2001. Super Shampoo Scrubbing Bubbles Analysi,. NTTI TM.

Rieger, M.M., 2000. Harry’s Cosmetology 8th ed, Chemical Publishing Co. Inc, New
York.

Rowe, R.C., Sheskey, P.J., Quinn, M. (2009).Handbook of pharmaceutical excipients


(Fifth Edition). Pharmaceutical Press and American Pharmacist Association
:Washington D.C.

Rukayadi., Diantini, A., dan Lestari, K., 2012. Anti Fungal Activity Of Methanolic
Extract Of Usnea sp. Against Malassezia furfur, Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu
Hayati dan Fisik, Vol. 14 (1).

Said, Haikal., 2009. Panduan Merawat Rambut. Jakarta: Penebar Plus+.

Setiabudy, R., Syarif, A., Ascobat, P., Stuningtyas, A., Setiawati, A., dan Muchtar,
H., 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Shepard, D dan Lampiris, H.W., 2010. Antifungal Agent. In: Basic and Clinical
Pharmacology Large, 12th edition. McGraw Hill, Singapura.

Sartoratto, A., Machado, A.L.M., Delarmelina, C., Figueira, G.M., Duarte, M.C.T.,
and Rehder, V.L.G., 2004. Composition and antimicrobial activity of
essential oils from aromatic plants used in Brazil. Braz J Microbiol, Vol. 3
(5).

Satyanegara., 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.

Seidel, V., 2008. Initial and Bulk Extraction, Humana Press, New Jersey.

Sinha dan Meenakshi., 2005. Rahasia Rambut Indah. Jakarta: Orchid.

Serup, J., Gregor, J., and Gary, G., 2006. Handbook of Non-Invasive Methods and the
Skin, Second Edition, Taylor & Francis Group (CRC).

55
Sitompul, M.B., Paulina, V.Y., dan Novel, S.K., 2016. Formulasi dan Uji Aktivitas
Sediaan Sampo Antiketombe Ekstrak Etanol Daun Alamanda (Allamanda
cathartica L.) terhadap Pertumbuhan Jamur Candida albicans secara In
Vitro, Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT, Vol. 5 (3), ISSN 2302 – 2493.

Sofwan, A.G., (2011). Formulasi Sediaan Gel Antioksidan dan Ekstrak Etanol
Bawang Sabrang (Eleutherine bulbus(L.) Merr), Skripsi, Medan: Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Sukandar, E., Suwendar., dan Ekawati, E., 2006. Aktivitas ekstrak etanol herba
seledri (Apium graveolens) dan daun urang aring (Eclipta prostate L.)
terhadap Pityrosporum ovale. Bandung, Majalah Farmasi Indonesia.

Sunder, J., Kundu, S., Jeyakumar and Arun, K., 2012. Antimicrobial Activities of
Eupatorium odoratum Leaves, The Indian Veterinary Journal, Vol. 89 (1).

Sihombing, M.A., Winarto., dan Indah, S., 2018. Uji Efektivitas Antijamur Ekstrak
Biji Pepaya ( Carica papaya L.) Terhadap Pertumbuhan Malassezia Furfur
Secara In Vitro, Jurnal Kedokteran Diponegoro, Vol. 7 (2).

Toruan, T., 1989. Ketombe dan Penanggulangannya, Jakarta : Pustaka.

Tranggono, R.I dan Fatma, L., 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Voight, R., 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Yogyakarta Gajah Mada
University Press.

Wasteson, Y and Hornes, E., 2009. Pathogenic Escherichia Coli Found in Food.
International Journal Of Food Microbiology, Vol. 12.

Wijaya, L., 2001. Pengaruh Jumlah Pityrosporum ovale dan Kadar Sebum Terhadap
Kejadian Ketombe, FK UNDIP.

Windadri, F.I., Mulyati, R., Tahan, U., dan Himmah, R., 2006. Pemanfaatan
Tumbuhan sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di
Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Biodiversitas, Vol. 7 (4).

56
LAMPIRAN

57
Lampiran 1. Ekstraksi dan Pembuatan Ekstrak Terdelipidasi

1. Pembuatan ekstrak kental daun komba-komba berbunga kuning

Daun Komba-komba
- Disortasi Basah
- Dicuci dibawah air mengalir
- Dikeringkan
- Disortasi Kering
- Dihaluskan dengan pencacah elektrik
- Disimpan dalam wadah

Serbuk Simplisia Daun


Komba-komba 500 g
- Dimaserasi menggunakan etanol 96% (3,7
L) selama 3 x 24 jam
-Dipekatkan dengan VacuumRotary
Evaporator

Ekstrak Kental Daun Komba-komba

58
2. Pembuatan ekstrak etanol terdelipidasi Daun Komba-komba

Ekstrak etanol daun


komba-komba 20 g
- Dilarutkan dalam 250 ml etanol 96%

- Dimasukkan dalam corong pisah


- Ditambahkan N Heksan 250 ml
- Dikocok selama 1 menit
- Didiamkan hingga terbentuk 2 fraksi

Fraksi Etanol Fraksi N Heksan


- Diulangi prosedur diatas hingga - Disisihkan
didapatkan fraksi N Heksan bening
- Dipekatkan dengan vacuum
Rotary Evaporator
Ekstrak terdelipidasi daun komba-komba Residu senyawa larut N Heksan

59
Lampiran 2. Perhitungan Bahan Formula

Formula shampoo dibuat sebanyak 100 mL, berikut perhitungan bahan


tambahan formula:

A. Jumlah Bahan yang digunakan


1. Sodium lauryl sulfat 10% = 10 X 100 = 10 mL
100

2 X 100 = 2 mL
2. HPMC 2% =
100

3. Propilen glikol 15% = 15 X 100 = 15 mL


100

4. Metil paraben 0,2% = 0,2= X 100 = 0,2 mL


100

5. Disodium EDTA 0,1% = 0,1= X 100 = 0,1 mL


100

60
Lampiran 3. Pengujian Aktivitas Antijamur Ekstrak dan Sediaan

a. Sterilisasi Alat

Alat - alat

- Dicuci sampai bersih


- Dikeringkan
- Dimasukkan dalam oven pada suhu 1700 C
selama 2 jam untuk alat yang tidak berskala
- Dibungkus dengan kertas
- Dimasukkan dalam autoklaf pada suhu 121oC
dengan tekanan 1 atm selama 15 – 20 menit
untuk alat yang berskala
Alat – alat Steril

b. Pembuatan Media

Sabouraud Dextrose Agar +


Olive oil (1%)

- Ditimbang sebanyak 65 g (dextrose 40 g, agar 15 g dan


pepton 10 g)
- Dilarutkan sampai 1000 mL dengan akuades dalam
erlenmeyer
- Dipanaskan sampai larut sambil diaduk sehingga menjadi
larutan yang homogen
- Dimasukkan dalam autoklaf pada suhu 121oC selama 15 –
20 menit
- Ditempat lain, olive oil dimasukkan dalam oven pada suhu
160oC selama 30-60 menit
- Dikeluarkan media SDA dari autoklaf dan olive oil dari
oven
- Ditambahakan 1% olive oil pada media SDA secara aseptis
dan dihomogenkan
- Dituang ke dalam cawan petri dan dibiarkan sampai
memadat

Media jamur

61
c. Peremajaan Jamur

Prekultur jamur

- Diambil 1-2 ose jamur dari kultur murni


- Digoreskan pada medium agar SDA +
olive oil di dekat api Bunsen
- Ditutup dengan kapas steril
- Diinkubasi pada suhu 37oC
selama 3-5 hari

Media jamur

d. Pengenceran koloni jamur

Larutan NaCl Steril 0,9%

- Dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak 9


mL
- Ditambahkan koloni jamur yang diambil dengan
menggunakan jarum ose
- Dihomogenkan dan didapatkan pengenceran10-1
- Dipipet sebanyak 1 mL
- Dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah
berisi 9 mL NaCl dan didapatkan pengenceran
10-2
- Dilakukan cara di atas sampai pengenceran 10-8
- Digunakan pengenceran 10-2 sampai 10-8 untuk
pembiakan jamur pada media pembenihan

Hasil Pengenceran koloni jamur

62
e. Perhitungan koloni jamur

Hasil Pengenceran 10-2 sampai 10-8

- Dipipet sebanyak 1 mL pada masing-masing


pengenceran
- Dimasukkan ke dalam cawan petri
- Ditambahkan medium SDA dan dibiarkan sampai agar
memadat
- Diinkubasi pada suhu 370 C selama 3-5 hari
- Dihitung koloni jamur yang tumbuh pada media
dengan colony counter menggunakan metode hitung
cawan
- Dipilih tabung pengenceran yang memenuhi
persyaratan jumlah koloni 30-300 koloni

Media Pengujian Antijamur

f. Pembuatan larutan ekstrak

Ekstrak daun komba-komba

- Dibuat dalam beberapa seri konsentrasi


- Ditimbang masing-masing ekstrak
menggunakan timbangan analitik
- Dimasukkan masing-masing ke dalam
mucilago Na CMC 1%
- Digerus sampai homogen

Suspensi Ekstrak

63
g. Pembuatan suspensi kontrol positif

Na CMC

- Ditimbang sebanyak 1 gram


- Didispersikan dalam air hangat sedikit demi
sedikit hingga 75 mL
- Digerus hingga terbentuk korpus suspensi
- Dimasukkan ketokonazol sebanyak 0,02
gram yang telah digerus
- Ditambahkan akuades hingga 100 mL dan
digerus sampai homogen

Suspensi ketokonazol 2%

h. Pengujian Antijamur ekstrak dengan metode sumuran

Media SDA + Olive oil 1%

- Dibuat menjadi 2 lapisan yaitu padat dan semi solid


- Dituang 10 mL media SDA+ Olive oil steril ke dalam cawan petri
steril dan dibiarkan hingga menjadi padat sebagai lapisan dasar
- Dibagi media agar di cawan petri menjadi 7 bagian
- Diletakkan alat pencadang pada masing-masing bagian
- Dituang media SDA+ Olive oil yang telah ditambahkan 1 mL hasil
pengenceran jamur
- Diangkat alat pencadang pada media secara aseptis sehingga
membentuk sumuran pada media
- Diisi sumuran dengan ekstrak dengan beberapa seri konsentrasi
sebanyak 20 𝜇L
- Diinkubasi pada suhu 37oC selama 3-5 hari
- Diamati diameter zona hambat yang terbentuk
- Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali
- Diukur zona hambat yang terbentuk dengan menggunakan jangka
sorong (mm)
- Dibandingkan dengan diameter zona hambat kontrol positif

Diameter zona hambat ekstrak

64

ekstrak
i. Pengujian Antijamur sediaan dengan metode sumuran

Media SDA + Olive oil 1%

- Dibuat menjadi 2 lapisan yaitu padat dan semi solid


- Dituang 10 mL media SDA+ Olive oil steril ke dalam
cawan petri steril dan dibiarkan hingga menjadi padat
sebagai lapisan dasar
- Dibagi media agar di cawan petri menjadi 5 bagian
- Diletakkan alat pencadang pada masing-masing bagian
- Dituang media SDA+ Olive oil yang telah ditambahkan
1 mL hasil pengenceran jamur
- Diangkat alat pencadang pada media secara aseptis
sehingga membentuk sumuran pada media
- Diisi sumuran dengan sediaan shampoo sebanyak 20
µL, setiap sumuran berisi 1 macam formula yaitu F0
(shampoo tanpa ekstrak), F1-F3 (shampoo dengan
konsentrasi X ekstrak) dan F4 (kontrol positif)
- Diinkubasi pada suhu 37oC selama 3-5 hari
- Diamati diameter zona hambat yang terbentuk
- Dilakukan replikasi sebanyak 3 kali
- Diukur zona hambat yang terbentuk dengan
menggunakan jangka sorong (mm)
- Dibandingkan dengan diameter zona hambat kontrol
positif

Diameter zona hambat


sediaan shampoo

65
Lampiran 4.

1. Prosedur pembuatan sediaan shampoo anti ketombe

HPMC

- Ditimbang sebanyak 2 gram


- Dilarutkan Disodium EDTA ke dalam akuades
yang digunakan dalam pembuatan gel
- Didispersikan HPMC ke dalam akuades yang
sudah dipanaskan hingga suhu 80-90oC
- Digerus hingga terbentuk disperse yang
homogen di dalam mortir
- Ditempat lain, dilarutkan sodium lauryl sulfat
dengan akuades (bagian 1)
- Dilarutkan metil paraben dengan propilen
glikol pada wadah yang lain dan diaduk hingga
homogen (bagian 2)
- Dimasukkan bagian 1 ke dalam massa gel,
kemudian dicampurkan bagian 2 ke dalam
massa gel sedikit demi sedikit dan diaduk
hingga homogen
- Ditambahkan ekstrak kental daun komba-koma
bunga kuning dan pengaroma secukupnya
- Dimasukkan sisa akuades kedalam campuran
bahan tersebut sampai batas tanda di dalam
wadah (100 mL)
- Diaduk sampai homogen

Sediaan Shampoo Anti


ketombe

66

Anda mungkin juga menyukai