PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
berlebihan di kulit kepala, kadang disertai pula dengan pruritus (gatal-gatal) dan
karena dapat mengganggu penampilan seseorang dengan timbulnya sisik putih dan
serpihan yang berjatuhan di baju dan menyebabkan kulit kepala menjadi kotor serta
lepek dan berbau. Selain itu ketombe menyebabkan keresahan karena rasa gatal yang
berlebih yang memungkinkan penderita menggaruk kulit kepala hingga lecet dan
berdarah, akibat yang paling parah dari ketombe adalah kerontokan rambut pada
tingkat yang meresahkan. Selain itu, didukung oleh iklim tropis Indonesia
Pityrosporum ovale. Jamur ini sebenarnya merupakan flora normal di kulit kepala,
namun pada kondisi rambut dengan kelenjar minyak berlebih, jamur ini dapat tumbuh
dengan subur (Figuers, dkk., 2000). Jamur ini dapat menyerang manusia pada segala
1
usia, oleh karena itu bayi, anak-anak, dewasa dan orang tua dapat menderita ketombe
Pityrosporum ovale yang lebih dari 75% pada kulit kepala dapat menyebabkan
timbulnya ketombe, jumlah normal Pityrosporum ovale pada kulit kepala adalah
46%”. Ketombe dapat diatasi atau dicegah dengan memanfaatkan berbagai macam
Manjappa (2015) dan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sunder, dkk
saponin (Armadany, dkk., 2017). Senyawa daun komba-komba yang dapat memiliki
aktivitas antifungi yaitu flavonoid, saponin, triterpenoid dan tanin yang dapat
merusak membran sel sehingga terjadi perubahan permeabilitas sel (Sihombing, dkk.,
2018).
tradisional biasanya dilakukan dengan proses yang sederhana yaitu bahan alam yang
dijadikan sebagai salah satu bahan aktif untuk menghilangkan ketombe, cara
permukaan kulit kepala yang berlangsung secara turun temurun. Untuk mengatasi
2
sediaan kosmetika yang dapat mencegah terjadinya ketombe seperti menggunakan
sediaan Shampoo.
sehari-hari yang digunakan untuk membersihkan rambut dari partikel yang tidak
diinginkan seperti minyak dan ketombe sehingga rambut menjadi lembut, bersih,
sehat, berkilau dan untuk meningkatkan percaya diri seseorang (Faizatun, dkk.,
2008). Formulasi shampoo ini bervariasi mulai dari cair, gel, lotion, krim, dan pasta,
dengan beberapa bahan khusus yang mengandung protein dan bahan anti ketombe
(Michael & Ash, 1977). Dalam penelitian ini, dibuat sediaan shampoo dalam bentuk
gel karena cara pembuatannya yang sederhana, mudah, dan lebih nyaman
digunakan pada rambut karena memiliki kandungan air yang besar pada sediaan
pada daun komba-komba (Chromolaena odorata L. King dan H.E Robins), maka
Pityrosporum ovale.
B. Rumusan Masalah
3
2. Bagaimana aktivitas antijamur dari sediaan shampoo yang mengandung ekstrak
Robins)?
C. Tujuan Penelitian
H.E Robins).
D. Manfaat Penelitian
ketombe.
L. King dan H.E Robins) sebagai antifungi Pityrosporum ovale penyebab ketombe
4
3. Bagi ilmu pengetahuan
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Klasifikasi
Regnum : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
Classis : Magnoliopsida
Ordo : Asterales
2. Sinonim
(L.) King & H.E. Robinson, Eupatorium affine Hook & Arn., Eupatorium
Schultz-Bip (Chakraborty dkk., 2011). Sedangkan nama daerah dari tumbuhan ini
6
(Sumatera Utara), kirinyuh, babanjaran, darismin (Sunda), laruna, lahuna,
3. Deskripsi Tumbuhan
batang tua berwarna lebih coklat, ditutupi rambut-rambut halus, percabangan rapat,
tinggi 1-2 m, daun tunggal, berhadapan, bulat telur, tepi bergerigi, ujung dan pangkal
panjang 5-12 cm dan lebar 3-6 cm, bertangkai pendek; bunga: majemuk, malai,
tumbuh di ujung batang, kelopak bentuk lonceng dan mahkota bunga berbentuk oval,
4. Habitat
Habitat tanaman ini adalah sabana, rawa, batas hutan, daerah terganggu,
daerah perkebunan dan tanaman tahunan, dan di pinggir jalan. Tanaman ini lebih
menyukai daerah dengan kondisi lembab, yang berada dekat permukaan laut sampai
5. Kandungan Kimia
flavonoid, tanin (Hadi dkk., 2000). Daun dan batang juga mengandung steroid, fenol,
7
ol, geijeren (Owolabi dkk., 2010), α-humulen, γ-muurolen, bisiklogermakren,
merusak membran sel jamur, menghambat sistem enzim jamur sehingga mengganggu
terbentuknya ujung hifa dan mempengaruhi sintesis asam nukleat dan protein.
Penelitian oleh Filho, dkk (2016) menunjukan bahwa flavonoid memiliki aktivitas
6. Khasiat
penyembuhan luka, obat kumur untuk pengobatan sakit pada tenggorokan, obat
antihipertensi, anti inflamasi dan diuretik (Vital dan Rivera, 2009), penelitian yang
berkhasiat sebagai antijamur dengan konsentrasi 2-4 mg/mL (0,2-0,4%). Hasil untuk
minimum yang mampu menghambat 50% dari strain jamur), dimana hasil aktivitas
8
yang kuat adalah untuk nilai MIC antara 0,05 - 0,50 mg / mL, aktivitas moderat MIC
nilai antara 0,6 - 1,50 mg / mL dan aktivitas lemah adalah di atas 1,50 mg / mL
(Sartoratto,dkk., 2004).
B. Metode Ekstraksi
aktif suatu simplisia dengan menggunakan pelarut tertentu. Pemilihan pelarut dan
like dissolves like, dimana senyawa yang non polar akan larut dalam pelarut non polar
sedangkan senyawa yang polar akan larut pada pelarut polar (Seidel, 2008).
Etanol dipilih sebagai pelarut karena bersifat universal yang dapat melarutkan
senyawa yang bersifat polar, semi polar maupun non polar. Hal ini terjadi karena
etanol memiliki gugus hidroksil sebagai gugus polar dan gugus hidrokarbon sebagai
gugus non polar serta dapat menghasilkan rendemen yang tinggi. Selain itu, etanol
merupakan pelarut yang aman, tidak toksik, dan mudah menguap dengan titik didih
78°C (Lestari, 2006). Disamping itu, etanol merupakan pelarut dengan daya ekstraktif
terbesar untuk semua bahan alam berbobot molekul rendah seperti alkaloid, saponin
dengan metode maserasi yaitu 1:7 (10 bagian dalam 75 mL). Tujuan ekstraksi adalah
untuk menarik komponen-komponen kimia yang terdapat dalam suatu sampel dengan
9
Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan
(Ditjen POM, 1995). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu :
1. Cara dingin
a. Maserasi
dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar)
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru yang umumnya
dilakukan pada temperatur ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) (Depkes RI, 2000).
2. Cara panas
a. Refluks
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya
sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes RI,
2000).
10
b. Sokletasi
baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus dimana pelarut akan terkondensasi
c. Digesti
temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan kamar), yaitu secara umum
d. Infusa
Infusa adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90oC
e. Dekoktasi
C. Delipidasi Ekstrak
tidak mempunyai efek farmakologi atau terapi misalnya karbohidrat, lemak, protein,
klorofil, resin yang biasa disebut sebagai zat ballast. Keberadaan senyawa atau zat
tersebut lebih banyak merugikan pada kestabilan dan mengurangi kadar senyawa
aktif di dalam ekstrak sehingga harus dihilangkan. Penghilangan zat ballast pada
ekstrak dikenal dengan delipidasi ekstrak. Tujuan dari delipidasi yaitu untuk
11
memperoleh kadar kandungan kimia aktif yang lebih tinggi dibanding ekstrak
terdelipidasi. Hal ini juga disebabkan karena kedua golongan metabolit sekunder ini
termasuk dalam golongan lipid sehingga akan ikut tertarik bersama dengan n-heksan
yang digunakan sebagai pelarut untuk delipidasi, yaitu suatu pelarut yang bersifat non
D. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari lima lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu : (1)
Skin atau kulit, yaitu memiliki kulit yang tebal, bantalan rambut bervariasi, kaya
merupakan lobulus lemak yang terikat pada fibrosa septa yang keras. Pembuluh darah
dari kulit kepala dan saraf kulit terletak di lapisan ini, (3) Aponeurosis atau galea
tengkorak, (4) Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar, merupakan
12
Gambar 2. Lapisan kulit kepala (Scalp) (Satyanegara, 2010)
E. Ketombe
1. Defenisi
Ketombe merupakan suatu keadaan anomali pada kulit kepala yang dikarakterisasi
dengan terjadinya pengelupasan lapisan tanduk secara berlebihan dari kulit kepala
2. Penyebab
a. Mikroflora Normal
berbeda pada penderita ketombe. Jamur ini merupakan penyebab utama timbulnya
ketombe. Pityrosporum ovale adalah ragi lipofilik yang merupakan flora normal kulit
manusia pada orang dewasa. Pityrosporum ovale merupakan anggota dari genus
kecepatan pertumbuhan jamur Pityrosporum ovale kurang dari 47 %. Jika ada faktor
13
pemicu yang dapat mengganggu kesetimbangan flora normal pada kulit kepala, maka
Secara normal, lapisan kulit teratas akan diganti oleh sel-sel dari lapisan di
bawahnya. Pada kulit kepala juga mengalami pengelupasan sel keratin kemudian
digantikan dengan sel-sel basal yang bergerak ke lapisan yang lebih atas. Pada
keadaan normal, proses ini berlangsung sebulan sekali, sedangkan pada keadaan
ketombe proses ini biasa terjadi 10-15 hari sekali (Harahap, 1990).
c. Kelenjar Sebasea
sebum biasa dipengaruhi oleh konsumsi lemak yang berlebih yang mencapai kelenjar
sebasea dan akhirnya menjadi bahan pembentuk sebum. Stress psikis juga
sisik (kering atau basah) di kulit kepala, adanya bintik-bintik merah seperti bisul kecil
yang disertai rasa nyeri, gatal, kulit kepala lecet, basah, bergetah dan bau dan
14
4. Pencegahan terhadap Timbulnya Ketombe
kerusakan kulit, yang selanjutnya dapat meningkatkan resiko infeksi kulit kepala.
Untuk itu, pencegahan ketombe sangat penting. Bagi yang memiliki faktor resiko
berketombe untuk lebih sering mencuci rambut dengan shampoo biasa atau dengan
F. Sediaan Shampoo
1. Defenisi
Shampoo adalah sediaan kosmetik berwujud cair, gel, emulsi, ataupun yang
membersihkan rambut, sehingga rambut dan kulit kepala menjadi bersih dan sedapat
Sediaan shampoo anti ketombe adalah shampoo yang digunakan selain untuk
kulit kepala. Kandungan dan persyaratan dari shampoo antijamur tidak berbeda dengn
menghilangkan jamur pada kulit kepala (Ditjen POM, 1985). Shampoo anti ketombe
efek dapat merusak kulit dan menimbulkan kerontokan rambut. Oleh karena itu, perlu
15
ada alternatif lain khususnya bahan alam yang dapat digunakan sebagai anti ketombe
(Budiman, 2015).
h. Mengandung bahan aktif untuk mengatasi penyakit pada rambut dan kulit kepala
(Medicated shampoo)
kotoran dengan permukaan rambut dan kulit kepala. Bagian polar dari surfaktan akan
berinteraksi dengan air pada rambut dan kulit kepala, sedangkan bagian non polar
tersebut akan menyusun diri membentuk misel dengan kotoran terjebak di bagian
dalamnya. Bagian luar misel yang merupakan gugus polar mudah berinteraksi dengan
16
air, sehingga saat pembilasan misel tersebut akan terbawa oleh air dan kotoran juga
penjaminan kualitas shampoo tersebut. Beberapa uji yang dilakukan pada shampoo
diantaranya adalah :
a. Penampilan fisik
b. pH
pH shampoo yang terlalu asam maupun terlalu basa akan mengiritasi kulit kepala. pH
kepala. Uji pH shampoo dapat dilakukan menggunakan pH meter maupun kertas pH.
persyaratan pH yang telah ditetapkan dalam SNI No. 06-2692-1992 yaitu berkisar
c. Viskositas
04 rotor nomor 3. Viskositas shampoo akan berpengaruh pada saat filling ke wadah,
17
d. Kemampuan dan stabilitas busa
membentuk busa. Busa dari shampoo merupakan hal yang sangat penting. Hal ini
karena busa menjaga shampoo tetap berada pada rambut, membuat rambut mudah
kusut (Mitsui, 1997). Uji kemampuan dan stabilitas busa dari shampoo dilakukan
1% ke dalam tabung reaksi 250 mL kemudian dikocok kuat selama 10 kali. Total
volume dari isi busa diukur dan diamati penurunan dan stabilitas busanya (Kumar,
2010).
(Redmon, 2001).
e. Daya sebar
Uji daya menyebar dilakukan untuk mengetahui kualitas dari sediaan yang
dapat menyebar pada kulit dan dengan cepat pula memberikan efek terapinya. Daya
sebar yang baik dapat menjamin pelepasan bahan obat yang memuaskan (Voight,
1995). Dimana semakin meningkat konsentrasi ekstrak, daya sebar sediaan semakin
meningkat, hal ini disebabkan karena semakin menurunnya viskositas sediaan. Nilai
daya sebar berbanding terbalik dengan viskositas, dimana semakin besar daya sebar
18
maka semakin kecil nilai viskositas (Mardikasari, dkk., 2017). Penentuannya
dilakukan dengan cara sebuah sampel dengan volume tertentu diletakkan dipusat
antara dua lempeng gelas, dimana lempeng sebelah atas dalam interval waktu tertentu
(Voight, 1995).
5. Stabilitas
bertahan dalam batas spesifikasi yang ditetapkan selama periode penyimpanan dan
tersebut. Untuk memperoleh kestabilan yang baik dalam waktu yang singkat, maka
diinginkan pada waktu yang sesingkat mungkin, dengan cara menyimpan sediaan
pada kondisi yang telah dirancang untuk mempercepat terjadinya perubahan yang
biasanya sering terjadi pada kondisi normal (Martin, dkk., 1983). Biasanya uji
stabilitas dipercepat dilakukan dengan cara suatu sediaan disimpan pada suhu rendah
selama 24 jam, lalu dipindahkan kesuhu tinggi selama 24 jam (1siklus). Dilakukan
19
G. Uraian Bahan
1. Uraian bahan dalam sediaan shampoo anti ketombe ekstrak daun komba-
komba berbunga kuning
HPMC merupakan serbuk putih tidak berbau dan tidak memiliki rasa, larut
dalam air. Selain itu, HPMC merupakan bahan yang tidak beracun dan noniritatif.
HPMC stabil pada pH 3 hingga 11, gel yang dihasilkan jernih, bersifat netral, serta
vikositasnya yang stabil meski disimpan pada jangka waktu yang lama
agent HPMC memiliki kestabilan fisik paling optimal pada sediaan gel dibandingkan
dengan karbopol. Menurut penelitian Niyogi, dkk., (2012) formula gel menggunakan
HPMC memiliki viskositas dan daya sebar yang lebih baik dibandingkan dengan
kompatibilitas yang baik terhadap ekstrak yang mengandung senyawa fenol (Sofwan,
2011).
20
b. Sodium Lauril Sulfat
sebagai pembentuk busa yang baik, memiliki daya pembersih yang tinggi, dan stabil
pada air sadah. Sifatnya sebagai pembentuk busa dan pembersih yang baik dapat
terlihat dari nilai HLB SLS yang tinggi, yaitu 40. Menurut Liebermann (1996)
surfaktan dikatakan memiliki sifat sebagai pembersih yang baik bila memiliki nilai
HLB di atas 12, karena berarti surfaktan tersebut cenderung bersifat hidrofil, sehingga
saat penggunaannya akan mudah terbilas oleh air. SLS bersifat sukar larut dalam air
dingin, namun kelarutannya meningkat seiring dengan kenaikan suhu (Mitsui, 1997
dan Rieger, 2000). Sodium lauril sulfat digunakan sebagai surfaktan dalam formulasi
Metil paraben (C8H8O3) atau nipagin merupakan kristal tak berwarna atau
bubuk kristal putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau. Larut dalam 400 bagian
air, dalam 3 bagian etanol (95%) dan tidak larut dalam minyak mineral. Metilparaben
banyak digunakan sebagai pengawet dalam kosmetik, produk makanan, dan sediaan
bekerja efektif pada rentang pH yang lebar, memiliki aktivitas antimikroba spectrum
21
luas, dan sangat efisien melawan kapang maupun jamur. Konsentrasi metilparaben
yang dapat digunakan dalan sediaan topikal yaitu 0,02-0,3 % (Rowe, dkk., 2009).
Nipagin merupakan pengawet yang sesuai bagi sediaan gel, karena tidak
OCH3
O
OH
d. Propilen Glikol
praktis tidak berbau, rasa manis, higroskopis. Bahan ini larut dalam aseton,
kloroform, air, gliserin, eter dan etanol namun tidak larut dalam minyak mineral.
pelarut yang lebih baik dibandingkan dengan gliserin. Data klinis telah menunjukkan
reaksi iritasi kulit pada pemakaian propilen glikol di bawah 10% dan dermatitis di
H OH OH
H C C C H
H H H
Gambar 6. Struktur propilen glikol (Rowe, dkk., 2009)
22
e. Disodium Edetate
khelating di berbagai sediaan farmasi termasuk obat kumur, tetes mata dan topikal
EDTA membentuk kompleks yang mudah larut dalam air (khelat) dengan ion logam
Akuades adalah nama resmi purified water (air murni) memiliki rumus
molekul H2O dan berat molekul 18,02 g/mol. Akuades merupakan cairan jernih, tidak
berwarna dan tidak berbau. Penyimpanan akuades adalah dalam wadah tertutup rapat.
Air murni adalah air yang dimurnikan yang diperoleh dengan destilasi, perlakuan
menggunakan penukar ion, osmotik balik atau proses lain yang sesuai. Tidak
mengandung zat tambahan lain dan kegunaannya adalah sebagai pelarut (Ditjen
POM, 1979).
O
H H
23
2. Uraian Sediaan Obat Ketokonazol
Ketokonazol adalah salah satu anti jamur golongan azol sintetik yang
merupakan turunan imidazol dengan spektrum luas dan efektifitas tinggi yang bekerja
menghambat sintesa ergosterol yaitu komponen yang penting bagi integritas jamur.
Ketokonazol merupakan buuk tidak berbau, berwarna coklat kekuningan yang pucat
dan suram atau kurang putih, dibuat melalui sintesa kimiawi, praktis tidak larut dalam
air, dan relatif tidak larut dalam alkohol (Setiabudy, dkk., 2007).
Divisi : Eumycetes
Kelas : Deuteromycetes
Ordo : Cryptococcales
Famili : Cryptococcaceae
Genus : Pityrosporum
Gambar 9. Pityrosporum ovale secara
mikroskopis (Shepard dan Lampiris., 2010)
Spesies : Pityrosporum ovale
1−2 × 2−4 mm, pH 5−6 (Bramono, 2008), Pityrosporum ovale tumbuh paling baik
24
dalam kisaran suhu 35o C hingga 37o C, tetapi dalam penelitian yang telah dilakukan
suhu optimal adalah 37o C, pertumbuhan terlihat setelah 2 hari inkubasi pada 37o C,
sangat sensitif terhadap pengeringan, dan oleh karena itu penting untuk meningkatkan
melepaskan diri dari induknya tetapi membentuk kumpulan tunas yang menempel
pada sel yang memanjang atau pseudomiselium, tunas-tunas sel tersebut tetap
(a) (b)
Gambar 10. Bentuk bulat (a) dan oval (b) P. ovale secara mikroskopis (Serup, dkk., 2006)
Dextrose Agar dengan media penambah yaitu minyak kelapa, minyak samin atau
olive oil. Lemak merupakan kebutuhan mutlak bagi P. ovale karena fungi ini bersifat
ovale merupakan yeast yang ditemukan pada kulit kepala karena kulit kepala
25
menghasilkan minyak pada kulit kepala namun pada penderita ketombe jumlahnya
Gambar 11. Kultur P. ovale pada media SDA+olive oil suhu 37⁰C selama 5 hari (Kaw Bing,
2005)
Mekanisme terjadinya ketombe itu sendiri, diakibatkan hipersekresi sebum
minyak yang keluar dari pori-pori kepala, yang akan mengeluarkan enzim lipase
kemudian menghidrolisis trigliserida dari sebum menjadi asam lemak jenuh yang
akan dikonsumsi oleh Pityrosporum ovale untuk tumbuh dan berkembang biak,
sedangkan asam lemak tak jenuh hasil hidrolisis akan dibiarkan begitu saja.
Akibatnya, akan terjadi peradangan/iritasi kulit yang akan menyebabkan sel kulit
berwarna putih abu-abu pada kulit kepala dan rambut yang disebut sebagai ketombe
(Oktaviani, 2012).
2. Uji Antijamur
a. Metode Difusi
1. Cakram (Disc)
Cara ini merupakan cara yang paling sering digunakan untuk menentukan
kepekatan kuman terhadap berbagai macam obat – obatan. Pada cara ini, digunakan
26
suatu cakram kertas saring (paper disc) yang berfungsi sebagai tempat penampung
zat antijamur. Kertas saring tersebut kemudian diletakkan pada lempeng agar yang
telah diinokulasi mikroba uji, kemudian diinkubasi pada waktu tertentu dan suhu
tertentu, sesuai dengan kondisi optimum dan jamur uji. Pada umumnya, hasil yang
didapat bias diamati setelah diinkubasi selama 18 – 24 jam dengan suhu 370 C
(Greenwood, 1995)
Metode cakram disk atau kertas cakram ini memiliki kelebihan dan
relatif murah. Sedangkan kelemahannya adalah ukuran zona bening yang terbentuk
tergantung oleh kondisi inkubasi, inokulasi, predifusi dan preinkubasi serta ketebalan
Pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan mikroba uji dibuat suatu
lubang yang selanjutnya diisi dengan zat antimikroba uji. Kemudian setiap lubang itu
diisi dengan zat uji. Setelah diinkubasi pada suhu dan waktu yang sesuai dengan
mikroba uji, dilakukan pengamatan dengan melihat ada atau tidaknya zona hambatan
3. Metode E-test
Concentration) atau KHM (Kadar hambat minimum) yaitu konsentrasi minimal suatu
metode ini digunakan strip plastik yang mengandung agen antimikroba dari kadar
27
terendah hingga tertinggi dan diletakkan pada permukaan media agar yang telah
Pada metode ini sampel uji berupa agen antimikroba yang diletakkan pada
parit yang dibuat dengan cara memotong media ager dalam cawan petri pada bagian
tengah secara membujur dan mikroba uji (maksimum 6 macam) digoreskan ke arah
b. Metode Dilusi
hambat minimum KHM) dan MBC (minimum bactericidal concentration atau kadar
agen antijamur pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji
agen antijamur pada kadar terkecil yang terlihat jenih tanpa adanya pertumbuhan
mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM tersebut
selanjutnya dikultur ulang pada medium cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun
agen antijamur dan diinkubasi. Media cair yang bening setelah diinkubasi ditetapkan
28
2. Metode dilusi padat
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair, namun menggunakan media
padat (solid). Keuntungan metode ini adalah satu konsentrasi agen antijamur yang
diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi, 2008)
29
I. Kerangka Konsep
Evaluasi sediaan
- Sifat Organoleptis
- Nilai pH Keterangan: Variabel bebas :
- Nilai Viskositas
- Daya Busa Variabel Terikat :
- Daya Sebar
Gambar 12. Kerangka konsep
30
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Jenis Penelitian
shampoo gel dari ektrak daun komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata
(L.)).
C. Bahan Penelitian
(Chromolaena odorata (L.)). Bahan – bahan lain yang digunakan yaitu kultur murni
lauryl sulfat, metil paraben, propilen glikol, pengaroma, akuades, disodium EDTA,
Media SDA (Sabouraud Dekstrose Agar) + olive oil, Agar, NaCl 0,9 % (Otsuka®),
Na CMC 1%, ketokonazol, kertas cakram, kertas label, kertas saring, plastik wrap
31
kimia(Pyrex®), laminar air flow(Chuaire®), tabung reaksi(Pyrex®), jarum ose, cawan
E. Variabel
1. Variabel bebas :
2. Variabel terikat:
komba berbunga kuning (Chromolaena odorata (L.)) dan sediaan shampoo yang
F. Definisi Operasional
adalah ekstrak yang diperoleh dari simplisia daun komba-komba berbunga kuning
32
2. Ekstrak terdelipidasi adalah ekstrak etanol daun komba-komba berbunga kuning
menghasilkan ekstrak dengan komponen bahan alam yang bebas dari komponen
kimia lain yang tidak dibutuhkan seperti lemak, karbohidrat, klorofil, dan lain-
lain.
G. Metode Kerja
1. Pengumpulan Sampel
diperoleh di Kel. Lasehao Kec. Parigi Kab. Muna, Sulawesi Tenggara. Pengambilan
sampel dilakukan pada pukul 9 pagi, sampel yang diambil dipilih daun yang sehat
(tidak terkena hama), daun ketiga- ketujuh dari pucuk, dan dipetik satu persatu secara
manual.
33
2. Preparasi sampel
Sampel yang telah dikumpulkan kemudian disortasi basah, dalam proses ini
daun komba-komba bunga kuning dipisahkan dari pengotor seperti tanah, atau
tanaman lain yang terikut saat pengambilan sampel. Setelah proses sortasi basah,
dengan cara daun komba-komba bunga kuning ditutupi dengan kain hitam yang
diberi jarak antara sampel dengan kain, kemudian dijemur tidak lansung di bawah
sinar matahari. Setelah kering, sampel disortasi kering tujuannya yaitu untuk
memisahkan benda – benda asing dan pengotor – pengotor lain yang masih ada dan
tertinggal pada simplisia kering. Setelah itu sampel daun komba-komba bunga kuning
2000).
3. Ekstraksi
pelarut etanol 96% sebanyak 3,7 L. Sampel serbuk direndam dalam pelarut etanol
didiamkan selama 3x24 jam, setelah perendaman selama 3x24 jam diambil filtrat
suhu 60°C. Pada proses ini didapatkan ekstrak kental daun komba-komba bunga
34
kuning (Departemen Kesehatan, 2000). Selanjutnya ekstrak kental dikeringkan.
dilarutkan dalam etanol 96 % sebanyak 250 mL lalu diaduk hingga ekstrak tersari
pengocokan selama kurang lebih 1 menit dan didiamkan selama 10 menit. Fraksi
etanol yang didapat kemudian ditambahkan lagi N-heksan hingga didapatkan fraksi
N-heksan yang jernih, Fraksi etanol yang didapatkan diambil dan dipekatkan
a. Sterilisasi alat
Alat-alat gelas yang tidak berskala seperti cawan petri dan tabung reaksi di
bungkus dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan di dalam oven pada suhu
170oC selama 2 jam, sedangkan pada alat – alat gelas yang berskala di bungkus
dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan pada autoklaf pada suhu 121 oC
35
aseptis dibersihkan dari debu lalu disemprotkan dengan alkohol 70 % (Febriyenti
dkk., 2014).
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media SDA (Sabouraud
Dextrose Agar) yang diperkaya olive oil 1% (Rukayadi, dkk., 2012). Pembuatan
yang dilarutkan dalam 1L akuades, kemudian dipanaskan sampai larut sambil diaduk
agar larut sampai menjadi larutan yang homogen, jangan sampai mendidih.
Selanjutnya medium SDA disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121o C selama 15
menit. Larutan olive oil disterilkan dengan oven pada suhu 160o C selama 30-60
menit. Setelah selesai dikeluarkan media SDA dari autoklaf dan olive oil dari oven,
kemudian ditambahkan 1% olive oil pada media SDA yang dilakukan secara aseptis
dan dihomogenkan. Selanjutnya media SDA + olive oil dituang ke dalam cawan petri
dan dibiarkan menjadi dingin sampai agar-agar menjadi padat (Nenoff dan Haustein,
2002).
Prekultur jamur dilakukan dengan cara satu ose kamir dari kultur murni
digoreskan pada medium agar SDA + olive oil di dekat api bunsen, setelah itu ditutup
dengan kapas steril dan diinkubasi selama 3-5 hari di dalam inkubator dengan suhu
37o C untuk kemudian digunakan pada uji antifungi (Serup, dkk., 2006).
36
d. Pengenceran dan perhitungan koloni jamur Pityrosporum ovale
menggunakan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung berisi 9 mL larutan NaCl
steril 0,9%, lalu diaduk dan didapatkan pengenceran 10-1. Dari pengenceran ini
dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 9 mL NaCl
Pengenceran 10-2 sampai 10-8 digunakan untuk pembiakan jamur pada media
pembenihan (Juwita, dkk., 2013). Menurut (Wasteson and Hornes, 2009) tujuan dari
sebanyak 1 mL hasil pengenceran 10-2 sampai 10-8 dimasukkan ke dalam cawan petri,
lalu ditambahkan medium SDA dan dibiarkan sampai agar memadat. Kemudian
dibalikkan cawan petri dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 3-5 hari. Setelah masa
inkubasi, koloni yang tumbuh dihitung jumlahnya dengan colony counter dengan
penghitungan bakteri dilakukan dengan menerapkan metode total plate count (TPC).
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel-sel mikroba yang
masih hidup pada suatu atau beberapa media sehingga sel tersebut berkembang biak
dan membentuk koloni-koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang
37
menggunakan alat colony counter yang kemudian dicatat dan dikalikan dengan
besaran pengenceran yang telah dilakukan. Jumlah mikroba dinyatakan dalam satuan
pengenceran yang dipilih yaitu yang memenuhi persyaratan jumlah koloni 30-300
gram yang didispersikan ke dalam air hangat sedikit demi sedikit hingga 75 mL dan
sebanyak 0,02 gram yang telah digerus dan ditambahkan akuades hingga 100 mL dan
g. Pengujian Antijamur
sumuran. Metode ini menggunakan 2 lapis media SDA+olive oil, pada lapisan
pertama yaitu sebanyak 10 mL media SDA+olive oil steril dalam keadaan cair
dituangkan ke dalam cawan petri steril dan kemudian dibiarkan selama 15 menit
hingga menjadi padat sebagai lapisan dasar (base layer). Setelah media SDA
38
memadat, media agar dibagi menjadi 7 bagian dengan masing-masing bagian
diletakkan alat pencadang yang berfungsi sebagai cetakan lubang atau sumuran
dengan jarak 2 – 3 cm. Lapisan ke-2 yaitu lapisan semi solid (seed layer) dituangkan
media SDA+olive oil yang telah ditambahkan 1 mL hasil pengenceran jamur. Alat
pencadang pada media yang telah memadat diangkat secara aseptis sehingga
membentuk sumuran pada media. Kemudian isi sumuran dengan ekstrak daun
Selanjutnya dimasukkan ke inkubator untuk diinkubasi dengan suhu 370 C selama 3-5
hari kemudian diamati diameter hambat (zona bening) yang terbentuk. Masing-
masing perlakuan dilakukan replikasi 3 kali. Pengukuran zona hambat yang terbentuk
menggunakan jangka sorong (mm). Setelah itu zona hambat yang terbentuk
dkk., 2014).
39
8. Pengaroma q.s
9. Akuades (mL) Ad 100
Disodium EDTA ke dalam akuades yang akan digunakan dalam proses pembuatan
dipanaskan hingga suhu 80-900 C, lalu digerus hingga terbentuk disperse yang
homogen di dalam mortir(1). Sodium Lauryl Sulfate dilarutkan dengan akuades yang
telah ditambahkan dengan Disodium EDTA, aduk sampai homogen (bagian 1) (2).
metil paraben dilarutkan dengan propilen glikol dan diaduk hingga homogen (bagian
dalam massa gel sedikit demi sedikit diaduk hingga homogen setelah itu ditambahkan
40
selanjutnya sisa akuades dimasukan kedalam campuran bahan tersebut sampai batas
tanda di dalam wadah (100 mL) dan diaduk sampai homogen (4).
K. Uji Stabilitas dan Evaluasi Sediaan Shampoo anti ketombe ekstrak daun
komba-komba berbunga kuning (Chromolaena odorata)
Salah satu cara mempercepat evaluasi kestabilan adalah dengan cycling test.
Metode cycling test dilakukan satu siklus pada saat sediaan shampoo disimpan pada
suhu ± 4°C selama 24 jam lalu dikeluarkan dan ditempatkan pada suhu ± 65°C
selama 24 jam (1 siklus), percobaan ini diulang sebanyak 6 siklus (12 hari)
(Djajadisastra, 2004).
Evaluasi Sediaan
1. Organoleptis
Pengamatan dilakukan pada setiap perubahan meliputi tekstur, bau, dan warna
sediaan shampoo gel ekstrak daun komba-komba bunga kuning (Kumar, 2010).
2. Pengukuran pH
dahulu dikalibrasi, setelah itu pH meter dicelupkan kedalam larutan sediaan shampoo
41
3. Pengukuran Viskositas
dengan alat Viscosimeter Rion seri VT 04 rotor nomor 3 dicelupkan ke dalam gel
shampoo dalam volume tertentu yang dimasukkan ke dalam wadah bening kemudian
ditambahkan air sampai 100 ml. Lakukan proses pengadukan dengan pengaduk
diukur setelah 1 menit (tinggi busa awal), kemudian ketinggian busa diukur kembali
setelah 5 menit (tinggi busa akhir) (Redmon, 2001). Sediaan shampoo dikatakan
memiliki busa yang stabil jika ketinggian busa pada menit pertama sama dengan
ketinggian busa setelah menit kelima atau memiliki persentase stabilitas busa sebesar
100% setelah didiamkan selama lima menit (Guala, dkk., tt). Stabilitas Busa dapat
42
5. Uji daya sebar
transparan yang berdiameter 15 cm. Di atas gel shampoo diletakkan benda transparan
lain dan pemberat (50 g), didiamkan selama satu menit, kemudian dicatat diameter
penyebarannya (Nurdianti, dkk., 2017). Daya sebar gel yang baik antara 5-7 cm
L. Uji aktivitas antijamur sediaan shampoo anti ketombe ekstrak daun komba-
komba berbunga kuning (Chromolaena odorata (L.)), terhadap jamur
Pityrosporum ovale.
a. Sterilisasi alat
Alat-alat gelas yang tidak berskala seperti cawan petri dan tabung reaksi di
bungkus dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan di dalam oven pada suhu
170oC selama 2 jam, sedangkan pada alat – alat gelas yang berskala di bungkus
dengan kertas terlebih dahulu kemudian disterilkan pada autoklaf pada suhu 121 oC
dkk., 2014).
Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media selektif SDA
(Sabouraud Dextrose Agar) yang diperkaya olive oil 1% (Rukayadi, dkk., 2012).
43
pepton yang dilarutkan dalam 1L akuades, kemudian dipanaskan sampai larut sambil
diaduk agar larut sampai menjadi larutan yang homogen, jangan sampai mendidih.
Selanjutnya medium SDA disterilkan dengan autoklaf pada suhu 121o C selama 15
menit. Larutan olive oil disterilkan dengan oven pada suhu 160o C selama 30-60
menit. Setelah selesai dikeluarkan media SDA dari autoklaf dan olive oil dari oven,
kemudian ditambahkan 1% olive oil pada media SDA yang dilakukan secara aseptis
dan dihomogenkan. Selanjutnya media SDA + olive oil dituang ke dalam cawan petri
dan dibiarkan menjadi dingin sampai agar-agar menjadi padat (Nenoff dan Haustein,
2002).
Prekultur jamur dilakukan dengan cara satu ose kamir dari kultur murni
digoreskan pada medium agar SDA + olive oil di dekat api bunsen, setelah itu ditutup
dengan kapas steril dan diinkubasi selama 3-5 hari di dalam inkubator dengan suhu
37o C untuk kemudian digunakan pada uji antifungi (Serup, dkk., 2006).
menggunakan jarum ose dan diencerkan ke dalam tabung berisi 9 mL larutan NaCl
steril 0,9%, lalu diaduk dan didapatkan pengenceran 10-1. Dari pengenceran ini
dipipet 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah berisi 9 mL NaCl
Pengenceran 10-2 sampai 10-8 digunakan untuk pembiakan jamur pada media
pembenihan (Juwita, dkk., 2013). Menurut (Wasteson and Hornes, 2009) tujuan dari
44
pengenceran bertingkat yaitu memperkecil atau mengurangi jumlah mikroba yang
sebanyak 1 mL hasil pengenceran 10-2 sampai 10-8 dimasukkan ke dalam cawan petri,
lalu ditambahkan medium SDA dan dibiarkan sampai agar memadat. Kemudian
dibalikkan cawan petri dan diinkubasi pada suhu 370 C selama 3-5 hari. Setelah masa
inkubasi, koloni yang tumbuh dihitung jumlahnya dengan colony counter dengan
penghitungan bakteri dilakukan dengan menerapkan metode total plate count (TPC).
Prinsip dari metode hitungan cawan adalah menumbuhkan sel-sel mikroba yang
masih hidup pada suatu atau beberapa media sehingga sel tersebut berkembang biak
dan membentuk koloni-koloni yang dapat dilihat langsung dengan mata telanjang
menggunakan alat colony counter yang kemudian dicatat dan dikalikan dengan
besaran pengenceran yang telah dilakukan. Jumlah mikroba dinyatakan dalam satuan
pengenceran yang dipilih yaitu yang memenuhi persyaratan jumlah koloni 30-300
e. Pengujian Antijamur
sumuran. Metode ini menggunakan 2 lapis media SDA+olive oil, pada lapisan
45
pertama yaitu sebanyak 10 mL media SDA+olive oil steril dalam keadaan cair
dituangkan ke dalam cawan petri steril dan kemudian dibiarkan selama 15 menit
hingga menjadi padat sebagai lapisan dasar (base layer). Setelah media SDA
diletakkan alat pencadang yang berfungsi sebagai cetakan lubang atau sumuran
dengan jarak 2 – 3 cm. Lapisan ke-2 yaitu lapisan semi solid (seed layer) dituangkan
media SDA+olive oil yang telah ditambahkan 1 mL hasil pengenceran jamur. Alat
pencadang pada media yang telah memadat diangkat secara aseptis sehingga
membentuk sumuran pada media. Kemudian isi sumuran dengan shampoo dari
komba bunga kuning) dan F4 sebagai kontrol positif (sediaan shampoo anti ketombe
ekstrak bahan alam yang beredar dipasaran) sebanyak 20𝜇L. Selanjutnya dimasukkan
ke inkubator untuk diinkubasi dengan suhu 370 C selama 3-5 hari kemudian diamati
replikasi 3 kali. Pengukuran zona hambat yang terbentuk dilakukan dengan mengukur
diameter zona bening yang terbentuk dengan menggunakan jangka sorong (mm).
Setelah itu zona hambat yang terbentuk dibandingkan dengan diameter zona hambat
46
M. Pengolahan Data
Parameter yang diukur dalam pengujian antijamur ialah perubahan visual dari
besarnya diameter zona bening yang terbentuk di sekitar sumuran pada media
Ket :
2xz = diameter zona bening dan sumuran
2yz = diameter sumuran
a,b,c,d = sisi pengukuran zona bening
47
Diameter zona bening yang diukur seperti pada Gambar. Pengukuran dilakukan pada
empat sisi yaitu pada sisi a, b, c dan sisi d, kemudian dihitung nilai rata-rata dari hasil
pengukuran empat sisi tersebut. Cara menghitung rata-rata diameter zona bening
yaitu :
𝑎 +𝑏 +𝑐 +𝑑
4
Pengukuran diameter daerah hambat pada sampel penelitian yang telah selesai
yang terkandung dalam ekstrak tanaman sehingga jika sampel penelitian memiliki
aktivitas terhadap jamur, zona bening yang terbentuk di sekitar sumuran menandakan
48
DAFTAR PUSTAKA
Arikumalasari., (2013). Optimasi Hpmc Sebagai Gelling agent Dalam Formula Gel
Ekstrak Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.), Jurnal Farmasi
Udayana, Vol. 2 (3).
Armadany, F.I., Andi Nafisah, T.A.M., Ayu, S.F., dan Novi., 2017. Uji Aktivitas
Ekstrak Etanol Daun Komba-Komba (Eupatorium odoratum) Berbunga Putih
dan Berbunga Kuning Sebagai Antinyamuk, Jurnal Farmasi, Sains, dan
Kesehatan, Vol. 3 (2), ISSN 2442-9791.
Atikah, D., 2016. Uji Efektivitas Gel Ekstrak Etanol Daun Gulma Siam
(Chromolaena odorata) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat, Skripsi, Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Bailey and Scott’s., 1982. Diagnostic Microbiology. The CV. Mosby Company S.T.
Louis, Toronto, London.
Bonang G., 1992. Mikrobiologi Untuk Profesi Kesehatan Edisi 16. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.
Budiman, A., Melina, F., Anna, Y., dan Anis, K., 2015. Uji Aktivitas Sediaan Gel
Shampo Minyak Atsiri Buah Lemon (Citrus limon Burm.), Jurnal IJPST, Vol.
2 (2).
Chakraborty, A.K., Sujit, R., dan Umesh, K.P., 2011. Chromolaena odorata (L.) : An
Overview, Journal of Pharmacy Research, Vol. 4 (3).
Devi, S., 2017. Uji Daya Hambat Infusa Tanaman Akar Kucing (Acalypha indica L.)
Terhadap Jamur Candida albicans, Jurnal Akademi Farmasi Prayoga, Vol.2
(1).
49
Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 1985. Formularium Kosmetika
Indonesia, Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Depkes RI, 2000., Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat, Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional, Jakarta.
Depkes RI, 1986., Sediaan Galenik, 2 &10, Departemen Kesehatan RI, Jakarta.
Direktorat Jendral Pengawas Obat dan Makanan., 1979. Farmakope Indonesia Edisi
III, Departemen Kesehatan Republik.
Ditjen POM, 1995. Farmakope Indonesia, Edisi IV, Depkes RI, Jakarta.
Djunaedy, A., 2008. Aplikasi Fungisida Sistemik dan Pemanfaatan Mikoriza dalam
Rangka Pengendalian Patogen Tular Tanah pada Tanaman Kedelai (Glycine
max L.). Embryo, Vol. 5 (2).
50
Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama dan
PAU Pangan dan Gizi.
Febriyenti, Sari, L. I., dan Nofita, R., 2014. Formulasi Sabun Transparan Minyak
Ylang-Ylang dan Uji Efektivitas Terhadap Bakteri Penyebab Jerawat,
Jurnal Sains Farmasi & Klinis., Vol. 1(1).
Figueras M. J., J. Guarro, J. Gene, and de Hoog., G. S., 2000. Atlas of Clinical Fungi,
2nd ed, vol. 1. Centraalbureau voor Schimmelcultures, Utrecht,
TheNetherlands.
Filho, A. A., Heloísa, M.B. F., Janiere, P., Déborah, R. P. M., Gabriela, L., José, M.
B. F., José, P., and Edeltrudes, O. L., 2016. In vitro anti-Candida activity and
mechanism of action of the flavonoid isolated from Praxelis clematidea
against Candida albicans species, Journal of Applied Pharmaceutical
Science, Vol. 6 (01), ISSN 2231-3354.
Guala, F., N.Lionetti, E.Merlo, dkk. tt. Enhancement of Wash Resistance and
Functionality in Hair Colouring by Sodium Methyl Cocoyl Taurate and
Sodium Myristoyl Sarcosinate based Formulae. Milano, Italy : Zschimmer
&Schwars, Rigano Laboratories.
Hadi, M., J.W. Hidayat., dan K. Baskoro., 2000. Uji Potensi Ekstrak Daun
Eupatoriumodoratum sebagai Bahan Insektisida Alternatif: Toksisitas dan
Efek Antimakan Terhadap Larva Heliothisarmigera Hubner, Jurnal Sains
danMatematika, Fakultas MIPA UNDIPSemarang.
51
Hammado, N., dan Ilmiati, I., 2013. Identifikasi Senyawa Bahan Aktif Alkaloid pada
Tanaman Lahuna (Eupatorium odoratum), Jurnal Dinamika, Vol. 04 (2),
ISSN 2087 – 7889.
Inya-agha, S.I., B.O., Oguntimein., A., Sofowora, dan T.V. Benjamin., 1987.
Phytochemical and Antibacterial Studies on the Essential Oil of
Eupatorium odoratum L.,Pharmaceutical Biology, Vol. 25 (1).
Istiqomah, M.I., Prasetyowati, S., dan Aryoko, W.S., 2016. Prevalensi dan Faktor
Risiko Terjadinya Ketombe pada Polisi Lalu Lintas Kota Semarang, Jurnal
Kedokteran Diponegoro, Vol. 5 (4), ISSN Online : 2540-8844.
Jane, R.M.R., Albuquerque, Edilberto R.S., Daniel E. De A., Uchoa, dan Otilia
D.L.P., 2004. Chemical Composition and Larvicidal Activity of The
Essential Oils from Eupatorium betonicaeforme (D.C) Baker (Asteraceae),
J. Agric. Food Chem, Vol. 52 (22).
Juwita, D.A., Netty, S., dan Roslinda, R., 2013. Isolasi Jamur Pengurai Pati dari
Tanah Limbah Sagu, Jurnal Farmasi Andalas, Vol. 1 (1).
Kartika, G.F., 2010. Pengaruh peningkatan konsentrasi carbopol 940 sebagai bahan
pengental terhadap viskositas dan ketahanan busa sediaan shampoo, Skripsi.
Kaw, Bing. 2005. A modified mycological medium for isolation and culture of
Malassezia furfur. International Medical University. Kuala Lumpur,
Malaysia.
Kindo, AJ, Sophia, SKC et al. 2004. Identification of Malassezia Species. Indian
Journal of Medical Microbiology, Vol. 22 (3).
Kumar, Ashok., Mali., dan Rakesh Roshan., 2010. Evaluation Of Prepared Shampoo
Formulations And To Compare Formulated Shampoo With Marketed
Shampoos, International Journal of Pharmaceutical Sciences Review and
Research, Vol. 3 (1).
52
Lestari, T., 2002. Hand and Body Lotion: Pengaruh Penambahan Nipagin,Nipasol
dan Campuran KeduanyaTerhadap Stabilitas Fisika danEfektifitasnya
Sebagai Anti Jamur, Skripsi, Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada.
Liebermann, H.A., Rieger, M.M., dan Banker, G.S., 1996. Pharmaceutical Dossage
Forms : Disperse system, Volume 1, 2nd ed, Marcel Dekker, Inc., New York.
Maryanti, E., Elsi, F., dan Enny, L., 2014. Studi Efektivitas Antijamur Nanopartikel
ZnO/ZnS Terhadap Pertumbuhan Jamur Pityrosporum ovale Penyebab
Ketombe, Jurnal Gradien, Vol. 10 (2).
Mardikasari, S.A., Andi Nafisah, T.A., Wa Ode Sitti, Z., dan Endeng, K., 2017.
Formulasi dan Uji Stabilitas Lotion dari Ekstrak Etanol Daun Jambu Biji
(Psidium guajava L.) Sebagai Antioksidan, Jurnal Farmasi, Sains, dan
Kesehatan, Vol. 3 (2).
Martin, A., Swarbrick, J., dan Cammarata, A., 1983. Farmasi Fisik Edisi III.
Mayser PA, Sarah K. Lang., 2008. Pathogenicity of Malassezia Yeasts. Human and
Animal Relationships The Mycota, Vol. 6 (1).
53
Nursida., Besse, H., Julianri, S.L., dan Yuri, P.U., 2016. Uji Efektivitas Sediaan
Suspensi Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.) Terhadap Aktivitas
Fagositosis Pada Mencit Jantan (Mus musculus), Journal of
Pharmaceutical and Medicinal Sciences, Vol. 1 (1).
Niyogi, P., N. J. Raju, P. G. Reddy, dan B.G. Rao., 2012. Formulation and Evaluation
of Antiinflammatory Activity of Solanum Pubescens Wild Extracts Gel on
Albino Wistar Rats. International Journal of Pharmacy, Vol. 2 (3).
Nurdianti, L., Siti, F., dan Nur, A., 2017. Pengembangan Formulasi Sediaan Gel
Rambut Antiketombe Ekstrak Daun Pandan Wangi (Pandanus amaryllifolius
Roxb.) dengan Menggunakan Viscolam Sebagai Gelling Agent Dan Uji
Aktivitasnya Terhadap Jamur Pityrosporum ovale, Jurnal Kesehatan Bakti
Tunas Husada, Vol. 17 (2).
Nursiah, H., Faradiba., Baharuddin, G. A., 2011. Formulasi gel sari buah belimbing
wuluh (Averrhoa bilimbi L.), Universitas Hasanuddin dan Universitas Muslim
Indonesia Makassar, Majalah Farmasi dan Farmakologi, Vol. 15 (1).
Oktaviani., 2012. Uji Banding Efektivitas Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper
Crocatum) Dengan Zinc Pyrithione 1% Terhadap Pertumbuhan Pityrosporum
Ovale Pada Penderita Berketombe, Karya Tulis Ilmiah, FK universitas
Diponegoro.
Owolabi, M.S., Akintayo O., Kamil O.Y., Labunmi L., Heather E.V., Jessika A. T.,
dan William N.S., 2010. Chemical Composition and Bioactivity of the
Essential Oil of Chromolaena odorata from Nigeria, ACG Publication,
Records Natural Products, Vol. 4 (1).
Pan, X., F. Chen., T. Wu., H. Tang and Z. Zhao., 2009. The Acid, Bile Tolerance and
Antimicrobial Property of Lactobacillus acidophilus NIT. J. Food
Control, 20.
Pelczar., Michael, J., dan Chan, E.C.S., 1998. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid II.
Jakarta: UI Press.
54
Puspitasari, A.D dan Suwijiyo, P., 2015. Perbandingan Metode Pembuatan Ekstrak
Terpurifikasi Bee Propolis dari Lebah Madu (Apis mellifera) Berdasarkan
Kadar Flavonoid Total Dihitung sebagai Rutin, Traditional Medicine Journal,
Vol. 20 (2).
Redmon, R., 2001. Super Shampoo Scrubbing Bubbles Analysi,. NTTI TM.
Rieger, M.M., 2000. Harry’s Cosmetology 8th ed, Chemical Publishing Co. Inc, New
York.
Rukayadi., Diantini, A., dan Lestari, K., 2012. Anti Fungal Activity Of Methanolic
Extract Of Usnea sp. Against Malassezia furfur, Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu
Hayati dan Fisik, Vol. 14 (1).
Setiabudy, R., Syarif, A., Ascobat, P., Stuningtyas, A., Setiawati, A., dan Muchtar,
H., 2007. Farmakologi dan Terapi, Edisi V, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Shepard, D dan Lampiris, H.W., 2010. Antifungal Agent. In: Basic and Clinical
Pharmacology Large, 12th edition. McGraw Hill, Singapura.
Sartoratto, A., Machado, A.L.M., Delarmelina, C., Figueira, G.M., Duarte, M.C.T.,
and Rehder, V.L.G., 2004. Composition and antimicrobial activity of
essential oils from aromatic plants used in Brazil. Braz J Microbiol, Vol. 3
(5).
Satyanegara., 2010. Ilmu Bedah Saraf Edisi IV, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
Seidel, V., 2008. Initial and Bulk Extraction, Humana Press, New Jersey.
Serup, J., Gregor, J., and Gary, G., 2006. Handbook of Non-Invasive Methods and the
Skin, Second Edition, Taylor & Francis Group (CRC).
55
Sitompul, M.B., Paulina, V.Y., dan Novel, S.K., 2016. Formulasi dan Uji Aktivitas
Sediaan Sampo Antiketombe Ekstrak Etanol Daun Alamanda (Allamanda
cathartica L.) terhadap Pertumbuhan Jamur Candida albicans secara In
Vitro, Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT, Vol. 5 (3), ISSN 2302 – 2493.
Sofwan, A.G., (2011). Formulasi Sediaan Gel Antioksidan dan Ekstrak Etanol
Bawang Sabrang (Eleutherine bulbus(L.) Merr), Skripsi, Medan: Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara.
Sukandar, E., Suwendar., dan Ekawati, E., 2006. Aktivitas ekstrak etanol herba
seledri (Apium graveolens) dan daun urang aring (Eclipta prostate L.)
terhadap Pityrosporum ovale. Bandung, Majalah Farmasi Indonesia.
Sunder, J., Kundu, S., Jeyakumar and Arun, K., 2012. Antimicrobial Activities of
Eupatorium odoratum Leaves, The Indian Veterinary Journal, Vol. 89 (1).
Sihombing, M.A., Winarto., dan Indah, S., 2018. Uji Efektivitas Antijamur Ekstrak
Biji Pepaya ( Carica papaya L.) Terhadap Pertumbuhan Malassezia Furfur
Secara In Vitro, Jurnal Kedokteran Diponegoro, Vol. 7 (2).
Tranggono, R.I dan Fatma, L., 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik,
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Voight, R., 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, Yogyakarta Gajah Mada
University Press.
Wasteson, Y and Hornes, E., 2009. Pathogenic Escherichia Coli Found in Food.
International Journal Of Food Microbiology, Vol. 12.
Wijaya, L., 2001. Pengaruh Jumlah Pityrosporum ovale dan Kadar Sebum Terhadap
Kejadian Ketombe, FK UNDIP.
Windadri, F.I., Mulyati, R., Tahan, U., dan Himmah, R., 2006. Pemanfaatan
Tumbuhan sebagai Bahan Obat oleh Masyarakat Lokal Suku Muna di
Kecamatan Wakarumba, Kabupaten Muna, Biodiversitas, Vol. 7 (4).
56
LAMPIRAN
57
Lampiran 1. Ekstraksi dan Pembuatan Ekstrak Terdelipidasi
Daun Komba-komba
- Disortasi Basah
- Dicuci dibawah air mengalir
- Dikeringkan
- Disortasi Kering
- Dihaluskan dengan pencacah elektrik
- Disimpan dalam wadah
58
2. Pembuatan ekstrak etanol terdelipidasi Daun Komba-komba
59
Lampiran 2. Perhitungan Bahan Formula
2 X 100 = 2 mL
2. HPMC 2% =
100
60
Lampiran 3. Pengujian Aktivitas Antijamur Ekstrak dan Sediaan
a. Sterilisasi Alat
Alat - alat
b. Pembuatan Media
Media jamur
61
c. Peremajaan Jamur
Prekultur jamur
Media jamur
62
e. Perhitungan koloni jamur
Suspensi Ekstrak
63
g. Pembuatan suspensi kontrol positif
Na CMC
Suspensi ketokonazol 2%
64
ekstrak
i. Pengujian Antijamur sediaan dengan metode sumuran
65
Lampiran 4.
HPMC
66