Anda di halaman 1dari 22

IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI

JAWA TIMUR 1
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masalah perubahan iklim di Indonesia seringkali terkait dengan kasus
penggundulan hutan dan emisi gas rumah kaca, meskipun pada dasarnya,
kejadian tersebut lebih banyak dipengaruhi karena dampak perubahan iklim
global terhadap Indonesia (UNDP, 2007). Salah satu pengaruh utama iklim di
Indonesia adalah El Niño-Southern Oscillation (ENSO). Gambar 1.1
menunjukkan berbagai kondisi ENSO, yaitu ENSO hangat (el-nino), normal
dan ENSO dingin (la-nina) (Mulyana, 2002). Dampak secara langsung dari
kejadian el-nino, yaitu musim penghujan yang datang lebih akhir serta
menurunkan total curah hujan (Qian, et al., 2010). Keterkaitan antara kejadian
el-nino dengan curah hujan merupakan salah satu kejadian perubahan iklim
global yang menarik untuk dikaji, khususnya jika memperhatikan kejadian el-
nino, yaitu pada tahun 1997, 2002, 2004, 2006 dan 2009 (Hamada, et al.,
2012).

Gambar 1. 1 Berbagai Kondisi ENSO (Prenhall, 2004)


IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Kejadian el-nino yang ditunjukkan dengan tingkat menurunnya curah


hujan merupakan kejadian yang memiliki variasi kondisi tinggi secara spasial
dan temporal. Bentuk kemajuan teknologi yang saat ini memungkinkan untuk
memantau hal tersebut adalah penginderaan jauh. Ketersediaan data
penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer saat ini tergolong melimpah,
khususnya secara temporal. Informasi Suhu Permukaan Awan (SPA) dan
Albedo merupakan paremeter pendukung curah hujan yang dapat diperoleh
melalui satelit penginderaan jauh (Kuligowski, 2010). Kondisi curah hujan
estimasi yang diperoleh melalui satelit penginderaan jauh selanjutnya berguna
sebagai pendukung kejadian el-nino.
Salah satu citra satelit penginderaan jauh yang dapat memberikan
informasi tentang kajian curah hujan adalah citra MODIS (Moderate-
Resolution Imaging Spectroradiometer). Kelebihan citra MODIS dibandingkan
dengan citra meteorologi lainnya adalah ketersedian data untuk proses
pengkajian global tentang atmosfer dengan wilayah cakupan yang luas dan
resolusi spektral yang tinggi (Mustofa, 2009). Sensor MODIS terpasang pada
satelit Terra dan Aqua. Satelit Terra dan Aqua memiliki orbit selaras matahari
(sun synchronous) dan dekat kutub (near-polar). Citra yang dihasilkan
memiliki tiga resolusi spasial yaitu 250 meter, 500 meter, dan 1000 meter.
Total karakteristik panjang gelombang yang dimiliki oleh citra MODIS adalah
36 buah saluran dan 12-bit kepekaan radiometrik (Toller, et al., 2009).
Banyak penelitian sebelumnya mengkaji tentang informasi curah hujan
pada kondisi iklim tertentu. Salah satunya yaitu kajian tentang El
Nino/Southern Oscillation (ENSO) terhadap curah hujan bulanan Pulau Jawa,
yang dilakukan oleh Mulyanti (2012). Kajian tentang curah hujan tersebut
dilakukan dengan menggunakan data lapangan serta pengolahan secara
kuantitatif. Informasi yang disajikan dalam penelitian tersebut secara aktual
dapat merepresentasikan kondisi sebenarnya di kenyataan, hanya saja tidak
semua data stasiun hujan terisi, beberapa di antaranya kosong atau tidak
memberikan informasi. Keberadaan teknologi penginderaan jauh, khususnya
citra MODIS, dapat memberikan informasi curah hujan realtime pada seluruh

2
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

daerah cakupan. Dengan kata lain, proses identifikasi terhadap pola curah
hujan dapat dilakukan secara cepat, mudah dan menyeluruh.
Pernyataan di atas memberikan gambaran secara garis besar bahwa
penelitian terkait dengan perolehan data curah hujan melalui data penginderaan
jauh dimungkinkan untuk dapat dilakukan, khususnya pada kondisi el-nino
yang terkait dengan kondisi perubahan iklim global. Wilayah kajian yang tepat
untuk identifikasi pola curah hujan pada kondisi el-nino adalah Propinsi Jawa
Timur. Hal tersebut dikarenakan Jawa bagian timur mengalami dampak
terbesar dari kejadian el-nino, meskipun pengaruhnya lebih singkat (Mulyanti,
2012). Data pola curah hujan harian melalui citra MODIS selanjutnya
diharapkan dapat memenuhi informasi kondisi el-nino pada penelitian ini.

1.2 Perumusan Masalah


Data stasiun hujan di seluruh Indonesia hanya berada pada lokasi
tertentu, dengan jumlah dan kualitas alatnya yang terbatas. Di sisi lain,
ketersediaan data penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer melimpah
karena interval waktu yang pendek untuk data dalam bentuk citra maupun
non citra. Permasalahan lainnya, aplikasi penginderaan jauh untuk lingkungan
atmosfer dalam jumlah (volume data) yang besar, membutuhkan seleksi,
reduksi dan penanganan otomatis melalui komputer, baik dalam skala global
maupun regional (Lo, 1996). Salah satu jenis citra satelit penginderaan jauh
untuk lingkungan atmosfer yang terkait dengan kajian meteorologis serta
mudah diperoleh adalah MODIS. Di Indonesia, pengolahan data
penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer tidak banyak dilakukan,
khususnya terkait dengan identifikasi kondisi curah hujan pada fenomena el-
nino. Beberapa algoritma pada penelitian sebelumnya menggunakan variabel
kondisi awan untuk mengestimasi nilai curah hujan pada wilayah tertentu.
Fenomena el-nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah
Indonesia berkurang. Tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung
dari intensitas el-nino tersebut. Menurut intensitasnya, el-nino terbagi dalam
4 skala yaitu kuat (strong), menengah (moderate), lemah (weak) dan sangat
lemah (very weak) (Trenberth, 1997). Tahun 2009 dikategorikan sebagai

3
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

tahun kejadian el-nino menengah atau disebut juga dengan moderate el-nino
(Null, 2007). Kejadian tersebut merupakan kondisi ekstrim yang berbeda
dengan kondisi normal (pada umumnya). Seluruh kejadian tersebut memiliki
karakteristik curah hujan, khususnya di Jawa, dan di daerah tropis umumnya,
dengan ragam spasio-temporal yang tinggi.
Citra MODIS memiliki wilayah cakupan yang luas (250 km hingga
1000 km) serta memiliki nilai spektral yang tinggi, yaitu 36 kanal pada
panjang gelombang tampak hingga inframerah (0,405–14,385µm). Hal
tersebut menunjukkan bahwa citra MODIS sebagai penyedia data untuk
proses-proses pengkajian global tentang atmosfer memiliki kelebihan
dibandingkan satelit cuaca lainnya (Mustofa, 2009). Meskipun, data curah
hujan yang dihasilkan dari pengolahan citra MODIS selanjutnya perlu
dibandingkan atau diuji dengan data curah hujan aktual pada stasiun penakar
hujan.
Mendasarkan uraian rumusan masalah yang disebutkan di atas, muncul
pertanyaan penelitian sebagai berikut.
1. Algoritma apa yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi informasi
SPA dan ALB yang mendukung nilai curah hujan estimasi pada kondisi el-
nino melalui pengolahan citra MODIS?
2. Bagaimana perbandingan pola curah hujan estimasi yang ditunjukkan pada
kondisi el-nino dengan kondisi normal melalui pengolahan citra MODIS di
Provinsi Jawa Timur?
3. Bagaimana tingkat validasi pola curah hujan estimasi pada kondisi el-nino
menggunakan citra Penginderaan Jauh dibandingkan dengan pengukuran
data lapangan?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini, yaitu :
1. Mengetahui algoritma yang yang dapat memberikan informasi SPA dan
ALB sebagai parameter pendukung nilai curah hujan estimasi pada kondisi
el-nino melalui pengolahan citra MODIS.

4
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

2. Membandingkan pola curah hujan estimasi melalui pengolahan citra


MODIS yang ditunjukkan pada kondisi el-nino dengan kondisi normal di
Provinsi Jawa Timur.
3. Mengetahui validasi hasil identifikasi pola curah hujan (estimasi) pada
kondisi el-nino menggunakan citra Penginderaan Jauh dibandingkan
dengan pengukuran data lapangan.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini bermanfaat untuk beberapa kepentingan, antara lain :
1. Secara akademis, khususnya dalam bidang penginderaan jauh atmosfer,
dapat memberikan gambaran tentang tingkat akurasi data curah hujan
berdasarkan pengolahan citra MODIS.
2. Untuk instansi pengelola data curah hujan dan pemerintah daerah, dapat
digunakan sebagai alternatif perolehan data terkait dengan estimasi curah
hujan melalui citra MODIS.

1.5 Landasan Teori


1.5.1 Awan dan Hujan
Udara selalu mengandung uap air. Apabila uap air ini meluap
menjadi titik-titik air, maka terbentuklah awan. Penguapan ini bisa terjadi
dengan dua cara (Pramudia, 2010) sebagai berikut.
1. Apabila udara panas, lebih banyak uap terkandung di dalam udara.
Udara panas yang penuh dengan air ini akan naik tinggi, hingga tiba di
satu lapisan dengan suhu yang lebih rendah, uap itu akan mencair dan
terbentuklah awan, molekul-molekul titik air yang tak terhingga
banyaknya.
2. Suhu udara tidak berubah, tetapi keadaan atmosfer lembab.
Awan menurut bentuknya terbagi menjadi 10 jenis awan
utama seperti pada Gambar 1.2, antara lain (Rahayu, 2010) :
1. Cirrus (Ci), awan terlihat halus dan lembut seperti bulu-bulu,
berwarna putih. Ketinggian umumnya lebih dari 5.000 meter. Terdiri

5
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

dari kristal es, suhu sangat dingin, walaupun pada musim panas atau
kering.
2. Cirrocumulus (Cc), mengandung butiran air super-dingin, bercampur
dengan kristal es. Butiran air cepat membeku. Awan ini berumur
sangat singkat, cepat berubah menjadi cirrostratus.
3. Cirrostratus (Cs), gugusan kristal es, menyebar dan menutupi sebagian
atau seluruh langit. Menyerupai selaput tipis tembus cahaya. Sering
terbentuk cincin atau halo di sekeliling matahari atau bulan. Kadang-
kadang terjadi hujan yang tidak sampai ke permukaan bumi (virga),
seolah-olah cerah di permukaan.
4. Altocumulus (Ac), puncak awan putih bergulung, dengan dasar awan
lebih gelap dan umumnya melebar. Seperti pecahan atau halus,
ketebalan beragam. Menggambarkan udara cerah, namun bisa
berkembang menjadi awan hujan lainnya, bahkan cumulonimbus.
5. Altostratus (As), awan seperti lembaran halus berwarna abu-abu
gelap. Dapat menghasilkan hujan gerimis, hujan ringan hingga
sedang. Umumnya terbentuk sepanjang sore hari, diikuti hujan pada
senja atau malam hari.
6. Stratus (St), awan terpecah-pecah dan tipis, dapat berbentuk lembaran
atau lapisan. Tidak tumbuh vertikal. Berkembang pada kondisi dimana
aliran angin mengakibatkan udara terkondensasi pada lapisan atmosfer
bawah.
7. Stratocumulus (Sc), awan rendah yang umumnya bergerak lebih cepat
dari cumulus. Dasar awan umumnya lebih gelap daripada puncak
awan, namun ciri-cirinya dapat lebih beragam.
8. Cumulus (Cu), adalah awan yang mengandung kristal es. Terlihat
seperti serabut atau buntut kuda berwarna putih. Terlihat pada posisi
yang sangat tinggi, umumnya lebih dari 5.000 meter dengan suhu
sangat dingin, walaupun pada musim panas atau kering.
9. Nimbostratus (Ns), berwarna gelap, langit tertutup awan, dan sinar
matahari terhalang. Umumnya disertai cuaca buruk. Hujan turun
dengan intensitas rendah hingga sedang, untuk waktu yang lama.

6
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

10. Cumulonimbus (Cb), awan cumulus yang tumbuh vertikal ketika


cuaca terik. Mengandung hujan lebat, petir, kilat, kadang-kadang
terkait dengan badai dan cuaca buruk.

Gambar 1. 2 Skema Penamaan Awan berdasarkan Bentuk dan Ketinggian


Dasarnya (Pramudia, 2010)
Hujan adalah salah satu bentuk presipitasi. Definisi presipitasi pada
dasarnya yaitu pengendapan air dari atmosfer pada permukaan bumi dalam
bentuk cair (tetes hujan) dan padat (salju) (Tjasyono, 2008). Di wilayah
tropis seperti Indonesia presipitasi lebih didefinisikan sebagai hujan karena
sangat jarang terjadi presipitasi dalam bentuk jatuhan keping es.
Curah hujan mempunyai variabilitas yang besar dalam ruang dan
waktu. Menurut skala ruang, variabilitasnya sangat dipengaruhi oleh letak
geografi, topografi, arah angin dan letak lintang. Menurut skala waktu,
keragaman curah hujan dibagi atas tipe harian, bulanan dan tahunan.
Variasi curah hujan harian lebih dipengaruhi oleh faktor lokal, variasi
bulanan dipengaruhi oleh angin darat dan angin laut, aktivitas konveksi,
arah aliran udara di permukaan serta variasi sebaran daratan dan lautan.
Variasi curah hujan tahunan dipengaruhi oleh perilaku atmosfer global,
siklon tropis dan lain-lain (Prasetya, 2011).
Cuaca permukaan wilayah Indonesia relatif sama. Secara umum
curah hujan di Indonesia didominasi oleh pengaruh beberapa fenomena
seperti sistem monsoon Asia-Australia, el-nino, sirkulasi Timur-Barat
(Walker Circulation) dan Utara-Selatan (Hadley Circulation) serta
beberapa sirkulasi karena faktor lokal (Prasetya, 2011).

7
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.5.2 Suhu Permukaan Awan (SPA), Albedo Awan dan Estimasi Curah
Hujan
Suhu Permukaan Awan atau disingkat SPA, memiliki definisi lain
yaitu temperatur puncak dari awan. Permukaan paling atas dari awan
(cloud-top) merupakan bagian yang terpengaruh langsung oleh sinar
matahari (seperti pada Gambar 1.3). Kondisi temperatur permukaan awan
secara visual dapat diketahui melalui kecerahan awan dan ketebalan awan,
yang cenderung pada jenis awan (Lo, 1996).

Gambar 1. 3 Proses Terjadinya Presipitasi pada 2 Jenis Kondisi Awan (IPCC, 2007)
Albedo memiliki kaitan dengan nilai pantulan kembali sinar
matahari. Sedangkan albedo awan berarti nilai pantulan dari awan setelah
menerima energi dari matahari, yang dipengaruhi oleh sudut zenith
matahari, ketebalan awan, kandungan air atau es pada awan. Nilai albedo
awan berkisar antara 10% hingga kurang dari 90% (Gourdeau, 2004).

8
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Banyak penelitian penginderaan jauh sebelumnya terkait dengan


estimasi curah hujan mendasarkan variabel SPA yang diperoleh melalui
spektrum panjang gelombang inframerah dan kadangkala menyertakan
variabel Albedo Awan (ALB) yang diperoleh melalui spektrum panjang
gelombang tampak/visible. Pendekatan tersebut umumnya didasarkan
pada asumsi bahwa SPA diyakini sebagai variabel prediktor yang tepat
untuk menunjukkan nilai curah hujan (Kuligowski, 2010). Dengan kata
lain, nilai curah hujan dapat diestimasikan melalui persamaan berdasarkan
korelasi statistik dari beberapa parameter.
Metode penaksiran hujan menggunakan spektrum tampak maupun
inframerah dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (1) metode indeks awan
yang tidak tergantung waktu, (2) metode riwayat hidup (life history)
tergantung waktu. Metode indeks awan memerlukan identifikasi tipe awan
dan luas awan untuk menaksir jumlah hujan, dengan mangasumsikan
intensitas dan probabilitas hujan tertentu berkaitan dengan jenis awan.
Metode life history menguji perkembangan awan konveksi dari urutan
waktu pada citra di setiap pikselnya (Lo, 1996).

1.5.3 El-Nino
El Nino merupakan suatu gejala alam di Samudra Pasifik bagian
tengah dan timur ditandai dengan kondisi memanasnya suhu permukaan
laut di wilayah tersebut, yang berefek pada pendinginan suhu permukaan
laut di lautan Indonesia. Saat yang bersamaan terjadi perubahan pola
tekanan udara yang mempunyai dampak sangat luas. Tekanan udara pada
masing-masing wilayah kejadian el-nino memiliki hubungan yang
berbanding terbalik dengan suhu permukaan laut (Gambar 1.4). Kondisi El
Nino ditunjukkan melalui rendahnya tekanan udara pada wilayah Samudra
Pasifik bagian timur dan tingginya tekanan udara pada wilayah Samudra
Pasifik bagian barat (Stone, 2010).
Walaupun el-nino dianggap sebagai faktor pengganggu dari sirkulasi
monsun yang berlangsung di Indonesia, namun pengaruhnya sangat terasa
yaitu timbulnya bencana kekeringan yang meluas. Ketika berlangsung el-

9
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

nino, terjadi penguatan angin barat di Pasifik barat daerah ekuator mulai
dari sebelah utara Irian hingga Pasifik Tengah (Trenberth, 1997).
Fase Panas (el-nino) sebagai bagian dari ENSO dipengaruhi oleh tiga
faktor, yaitu curah hujan, temperatur dan evaporasi (Mulyanti, 2012).
Terjadinya el-nino menyebabkan musim penghujan datang lebih akhir
serta menurunkan total curah hujan. Dampak el-nino siginifikan pada
bulan September – November (SON) dan memberikan dampak signifikan
dalam menurunkan curah hujan di Pulau Jawa pada bulan Desember –
Februari (DJF) (Qian, et al., 2010).

Gambar 1. 4 Hubungan Suhu Permukaan Laut dan Tekanan Udara (Stone, 2010)
Indikator menentukan terjadinya el-nino adalah SST (Sea Surface
Temperature), SOI (Southern Oscillation Index) dan MEI (Multivariate
ENSO Index). MEI merupakan gabungan SOI dan SST.

10
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tabel 1. 1 Tahun Kejadian El-Nino dan La-Nina di Indonesia


Nilai Ocean Nino Indeks (ONI) per Triwulan
Tipe Tahun JJA JAS ASO SON OND NDJ DJF JFM FMA MAM AMJ MJJ
ENSO
- 2001 2002 0.0 0.0 -0.1 -0.2 -0.2 -0.3 -0.2 0.0 0.1 0.3 0.5 0.7

ME 2002 2003 0.8 0.8 0.9 1.2 1.3 1.3 1.1 0.8 0.4 0.0 -0.2 -0.1

- 2003 2004 0.2 0.4 0.4 0.4 0.4 0.3 0.3 0.2 0.1 0.1 0.1 0.3

WE 2004 2005 0.5 0.7 0.7 0.7 0.7 0.7 0.6 0.4 0.3 0.3 0.3 0.3

WL 2005 2006 0.2 0.1 0.0 -0.2 -0.5 -0.8 -0.9 -0.7 -0.5 -0.3 0.0 0.1

WE 2006 2007 0.2 0.3 0.5 0.8 1.0 1.0 0.7 0.3 -0.1 -0.2 -0.3 -0.3

ML 2007 2008 -0.3 -0.6 -0.9 -1.1 -1.2 -1.4 -1.5 -1.5 -1.2 -0.9 -0.7 -0.5

- 2008 2009 -0.3 -0.2 -0.1 -0.2 -0.4 -0.7 -0.9 -0.8 -0.6 -0.2 0.1 0.4

ME 2009 2010 0.5 0.6 0.7 1.0 1.4 1.6 1.6 1.4 1.1 0.7 0.2 0.3
Keterangan : ME (Moderate El Nino); WE (Weak El Nino); ML (Moderate -1.3La Nina); WL (Weak La
Nina). Sumber : (Null, 2007)

1.5.4 Penginderaan Jauh untuk Lingkungan Atmosfer


Penginderaan jauh (remote sensing) adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi mengenai obyek, daerah atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Lillesand, et al., 1990). Pola
pantulan spektral pada citra penginderaan jauh sangat berguna untuk
mengenali obyek atau fenomena yang ada dimuka bumi.
Aplikasi penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer dicirikan
oleh arah orientasi analisis dari volume data satelit meteorologi dalam
jumlah yang besar. Dengan kata lain, skala penelitian dalam aplikasi
penginderan jauh untuk lingkungan atmosfer ini berada pada skala global
hingga regional (Barret, 1974). Selain pertimbangan skala tersebut,
ketersediaan data satelit cuaca untuk interval waktu yang pendek
memeberikan tiga pendekatan, yaitu (1) interpretasi visual atau bantuan
komputer pola spasial citra dua dimensi asli; (2) analisis matematis
pengukuran radiasi untuk memperoleh parameter meteorologi yang
bermanfaat; (3) deteksi trend atau pola perubahan fenomena iklim dengan
cara membandingkan data meteorologi satu dimensi atau dua dimensi (Lo,
1996).

11
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Tidak semua spektrum gelombang elektromagnetik (lihat Gambar


1.5) dapat digunakan untuk kajian penginderaan jauh lingkungan atmosfer,
hanya sebagian dari spektrum yang terkait dengan besaran, parameter serta
gejala atmosfer, yang dapat digunakan (Prawirowardoyo, 1996).
Perkembangan penginderaan jauh lingkungan atmosfer, khususnya dalam
memprediksi curah hujan memunculkan banyak algoritma yang bervariasi.
Pada dasarnya, instrumen dasar penginderaan jauh yang digunakan (seperti
pada kejadian curah hujan) tidak berbeda dengan kajian penginderaan jauh
di bidang lain, yaitu gelombang elektromagnetik bagian tampak (visible)
dan inframerah (infrared) yang saling di-regresikan secara statistik (Hao,
et al., 2007). Di sisi lain, masalah utama aplikasi penginderaan jauh untuk
lingkungan atmosfer adalah melimpahnya data. Volume data satelit yang
besar serta dikumpulkan setiap harinya, membutuhkan seleksi, reduksi dan
penanganan otomatis dengan komputer (Lo, 1996).

Gambar 1. 5 Nilai Serapan dan Pancaran oleh Atmosfer (WCRP, 2008)

12
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.5.5 Kualitas Data Spasial


Kualitas data spasial merupakan hal penting dalam 15 tahun terakhir
ini. Studi terkait kualitas data spasial meliputi aspek ilmu sosial (analisis
kualitas data pengguna), model database (metadata) dan analisis statistik
secara kuantitatif (ITC, 2014).
Data spasial setidaknya ada tiga komponen di dalamnya, antara lain
(Hunter, et al., 2009).
1. Akurasi data (accuracy)
Keakuratan adalah kedekatan dari hasil pengamatan terhadap nilai-nilai
benar atau nilai-nilai yang diterima sebagai benar.
2. Kualitas (quality)
Kualitas secara sederhana dapat dikatakan sebagai kesesuaian untuk
digunakan untuk sebuah dataset tertentu. Data yang sesuai untuk
digunakan dengan satu aplikasi mungkin tidak cocok untuk digunakan
dengan yang lain. Hal ini sepenuhnya bergantung pada skala, akurasi,
dan cakupan data yang ditetapkan, serta kualitas data set yang akan
digunakan. US Spatial Data Transfer Standard (SDTS)
mengidentifikasi lima komponen data kualitas definisi, yaitu :
a. Lineage (riwayat data) : sumber, isi, spesifikasi, cakupan geografis,
metode kompilasi, metode tranformasi, penggunaan algoritma yang
relevan selama kompilasi.
b. Positional accuracy (akurasi posisi)
c. Attribute accuracy (akurasi informasi simbol)
d. Logical consistency : komponen ini berkaitan dengan menentukan
konsistensi struktur data dari sebuah dataset.
e. Completeness (kelengkapan data) : pertimbangan
terhadap kekosongan data, bagian yang tak terklasifikasi
dan prosedur kompilasi.
3. Kesalahan (error)
Ada dua jenis kesalahan, yaitu kesalahan sumber dan kesalahan
opersional. Kesalahan sumber mengartikan bahwa kesalahan berasal
dari sumber dokumen dan data. Kesalahan operasional seperti

13
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

kesalahan saat pengambilan sampel, ketidak akuratan algoritma,


kesalahan klasifikasi dan lain sebagainya.
Data spasial terkait dengan informasi curah hujan melalui citra
penginderaan jauh dan data pengukuran lapangan memiliki resolusi dan
akurasi yang berbeda, baik secara spasial maupun temporal. Komponen
pengukuran kualitas data (resolusi dan akurasi) secara spasial meliputi
pertimbangan dimensi data (x, y, z) dan ukuran piksel/cakupan wilayah
(Veregin, 1998).
Pengukuran untuk memperoleh nilai akurasi spasial dapat dilakukan
dengan memperhatikan komponen statistiknya, seperti rerata kesalahan
(mean error), RMSE (root mean squared error), derajat kepercayaan
(confidence limits), dan lainnya. Resolusi spasial penting diperhatikan
untuk pengambilan sampel, agar sampel tidak terlalu banyak ataupun
terlalu sedikit. Pengukuran untuk memperoleh nilai akurasi temporal yaitu
dengan memperhatikan aktualisasi data serta dinamika perubahan
informasi yang terjadi pada suatu lokasi. Terkait dengan resolusi temporal,
hal yang perlu diperhatikan adalah interval sampel (Veregin, 1998).
Contohnya terkait dengan pengukuran data curah hujan adalah dengan
memperhatikan rata-rata sampel pada citra dan data lapangan untuk setiap
waktu perekaman (scene).

1.5.6 Citra MODIS

Gambar 1. 6 Satelit Terra MODIS dan Satelit Aqua MODIS (Gumley, 2002)

14
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer) adalah


salah satu dari lima sensor (ASTER, CERES, MISR, MODIS, dan
MOITT) yang secara komprehensif mengukur lingkungan bumi dan
perubahan didalam sistem iklim. MODIS (lihat Gambar 1.6) telah berhasil
diluncurkan dari Vandenberg Air Force Base, CA pada tanggal 18
Desember 1999 dengan satelit Terra (mengorbit dari utara ke selatan).
Satelit ke dua, yaitu Aqua (mengorbit dari selatan ke utara), diluncurkan
pada tanggal 4 Mei 2002. MODIS mempunyai 2 band resolusi 250 m,
yang 4 kali lebih baik dari NOAA-AVHR, 5 band resolusi 500 m, dan 29
band resolusi 1000 m. MODIS dapat mengamati seluruh permukaan bumi
dengan resolusi temporal yang tinggi.
MODIS mengorbit bumi secara polar pada ketinggian 705 km. Lebar
cakupan lahan pada permukaan bumi setiap putarannya sekitar 2330 km.
Pantulan gelombang elektromagnetik yang diterima sensor MODIS
sebanyak 36 band (36 interval panjang gelombang) seperti pada Tabel 2,
mulai dari 0,405 sampai 14,385 µm (1 µm = 1/1.000.000 meter). Data
terkirim dari satelit dengan kecepatan 11 Megabytes setiap detik dengan
resolusi radiometrik 12 bits. Artinya obyek dapat dideteksi dan dibedakan
sampai 212 = 4.096 derajat keabuan (grey levels) (Toller, et al., 2009).
Dengan karakteristik di atas, MODIS memiliki beberapa kelebihan
dibanding NOAA-AVHRR. Diantara kelebihannya, yaitu lebih banyaknya
spektral panjang gelombang (resolusi radiometrik), lebih telitinya cakupan
lahan (resolusi spasial) serta lebih seringnya frekuensi pengamatan
(resolusi temporal). Data yang diperoleh dari MODIS, dapat dimanfaatkan
untuk dinamika global dan proses yang terjadi di permukaan bumi, laut,
dan atsmosfer dekat permukaan bumi. MODIS berperan sangat penting
dalam memprediksi perubahan global secara akurat dan membantu
penentu kebijakan yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan.
Secara detail, produk MODIS dikatagorikan menjadi tiga bagian, yaitu
produk pengamatan vegetasi, radiasi permukaan bumi, dan tutupan lahan.
Meskipun, kualitas produk tersebut perlu diukur melalui proses valiadasi,

15
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yaitu membandingkan ketepatan pengamatan sensor dengan kondisi


sebenarnya (Mustofa, 2009).
Tabel 1. 2 Spesifikasi Sensor MODIS Aqua/Terra
Resolusi
Band λ (µm) Kegunaan Utama
Spasial (m)
Saluran Reflektan (Pantulan)
1 0,620 - 0,670 250
Aerosol, Awan, Lahan
2 0,841 - 0,876 250
3 0,459 - 0,479 500
4 0,545 - 0,565 500 Aerosol, Awan, Ketebalan Optis,
5 1,230 - 1,250 500 Bentuk Awan, Masking Awan, Salju,
6 1,628 - 1,652 500 Lahan/Tanah
7 2,105 - 2,155 500
8 0,405 - 0,420 1000
9 0,438 - 0,448 1000 Warna Laut, Klorofil, Fitoplankton,
10 0,483 - 0,493 1000 Biogeo-kimiawi
11 0,526 - 0,536 1000
12 0,546 - 0,556 1000
Sedimen, Atmosfer
13 0,662 - 0,672 1000
14 0,673 - 0,683 1000 Flouresense
15 0,743 - 0,753 1000
Aerosol Atmosfer
16 0,862 - 0,877 1000
17 0,890 - 0,920 1000
18 0,931 - 0,941 1000 Uap Air, Awan
19 0,915 - 0,965 1000
26 1,360 - 1,390 1000 Awan Sirus
Saluran Radian (Pancaran)
20 3,660 - 3,840 1000 Permukaan dan Awan, Suhu, Api dan
21 3,929 - 3,989 1000
Vulkanik,
22 3,929 - 3,989 1000
Suhu Muka Laut
23 4,020 - 4,080 1000
24 4,433 - 4,498 1000
Suhu Atmosfer
25 4,482 - 4,549 1000
27 6,535 - 6,895 1000
Uap Air Troposfer
28 7,175 - 7,475 1000
29 8,400 - 8,700 1000 Partikel Awan
30 9,580 - 9,880 1000 Total Kandungan Ozon
31 10,780 - 11,280 1000
Awan, Api, Suhu Permukaan
32 11,770 - 12,270 1000
33 13,185 - 13,485 1000
34 13,485 - 13,785 1000 Ketinggian Awan, Suhu, Tekanan,
35 13,785 - 14,085 1000 Profil Suhu/Temperatur
36 14,085 - 14,385 1000
Sumber : modis.gsfc.nasa.gov

1.6 Penelitian Sebelumnya


Penelitian tentang estimasi curah hujan, khususnya dengan data
penginderaan jauh, telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.

16
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Widodo (1998), menggunakan data Satelit Cuaca GMS melalui persamaan


regresi berganda untuk estimasi curah hujan. Metode dalam penelitian
tersebut, yaitu menggabungkan variabel terikat (curah hujan) dengan variabel
tak terikat (suhu ppermukaan awan dan albedo awan) untuk dijadikan
persamaan regresi linier berganda serta estimasi curah hujan. Penelitian yang
dilakukan selama bulan Oktober, November 1996 dan Januari hingga Maret
2007 di Bandung tersebut, menghasilkan korelasi antara suhu puncak awan,
albedo awan dan curah hujan sebesar 87,3 persen.
Hao, et al. (2007) melakukan perbandingan estimasi curah hujan melalu
beberapa algoritma. Diantaranya, yaitu data harian Aqua MODIS dengan
metode MODIS Dual Spectral Rain Algorithm (MODRA), algoritma AMSR-
E dan pengukuran lapangan. Penelitian yang dilakukan di China bagian
Timur selama bulan Mei hingga September 2005 ini, menunjukkan hasil
bahwa estimasi curah hujan dari MODRA lebih baik terhadap awan-awan
hujan yang hangat jika dibandingkan dengan algoritma AMSR-E.
Indah, et al. (2007) melakukan penelitian berupa pengembangan
aplikasi data Terra MODIS untuk ekstraksi data Suhu Permukaan (SP)
dengan menerapkan 3 algoritma perhitungan, yaitu Price (1984), Li & Becker
(1991) dan Coll, et al. (1994). Metode split-window dengan menggunakan 2
band (31 dan 32) pada penelitian ini, menunjukkan hasil berupa, nilai SP
tertinggi dihasilkan oleh algoitma Li & Becker (1991) dan terendah
dihasilkan oleh algoritma Price (1984).
Mardiyanto (2009) dengan menggunakan data gabungan dari citra
MTSAT dan TRMM, sekaligus kondisi fisik lahan dari Citra Landsat ETM+,
melakukan estimasi curah hujan pada tanggal 5 hingga 15 Februari 2009 di
DAS Garang, Semarang, Jawa Tengah. Curah hujan yang diperoleh melalui
gabungan nilai estimasi kedua citra tersebut serta kondisi fisik DAS,
kemudian digunakan untuk menghitung debit aliran DAS dengan metode
rasional. Nilai debit aliran melalui data penginderaan jauh, kemudian
dibandingkan dengan debit aliran hasil pengukuran di lapangan (ALWR).
Buana (2012) melakukan penelitian dengan menggabungkan variabel
suhu permukaan awan dan albedo awan untuk digunakan sebagai persamaan

17
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

estimasi curah hujan melalui citra TERRA MODIS. Penelitian tersebut


dilakukan di sebagian daerah Jawa Tengah pada tahun 2001 hingga tahun
2011. Metode yang digunakan untuk menghasilkan persamaan dalam
penelitian tersebut yaitu regresi linier berganda. Hasilnya menunjukkan
bahwa nilai curah hujan estimasi berada di bawah acuan nilai curah hujan dari
data lapangan (Dinas Pertanian).
Penelitian yang dilakukan oleh penulis memanfaatkan data
penginderaan jauh berupa citra Terra MODIS untuk identifikasi pola curah
hujan di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data time series,
yaitu saat tahun terjadinya el-nino (2009/2010) serta dibandingkan dengan
tahun normal (2003/2004). Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah persamaan regresi linier berganda pada dua jenis persamaan
(gabungan 2 algoritma) untuk memperoleh nilai estimasi curah hujan. Hasil
akhir dari nilai estimasi curah hujan tersebut kemudian dibandingkan dengan
data lapangan (stasiun hujan).
Berikut ini adalah tabel perbandingan perbedaan penelitian penulis
dengan peneliti sebelumnya.

Tabel 1. 3 Daftar Penelitian Terkait Sebelumnya


Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil
(1) (2) (3) (4)
F. Heru Widodo, 1998. 1. Mempelajari kemampuan Regresi Berganda, 1. Satelit cuaca GMS dapat
Pemanfaatan Data satelit cuaca GMS untuk Variabel Terikat (Curah dipakai dengan baik untuk
Satelit Cuaca GMS menyadap data Albedo Hujan), Variabel Tak menyadap data SPA
untuk Estimasi Curah
Awan (ALB) dan SPA. Terikat (SPA & Albedo melalui nilai indeks
Hujan di Kabupaten
Bandung, Jawa Barat 2. Mencari hubungan antara Awan). kecerahan pada citra GMS.
dan sekitarnya. Thesis. ALB dan SPA dengan 2. Hubungan kecerahan
curah hujan yang terjadi. antara SPA dan ALB
3. Membuat model terhadap curah hujan cukup
matematis untuk estimasi tinggi.
besarnya curah hujan 3. Satelit cuaca GMS-5 dapat
wilayah menggunakan digunakan untuk
ALB dan SPA dari citra pembuatan model estimasi
satelit GMS. curah hujan dengan
pengukuran nilai ALB dan
SPA.

18
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Lanjutan Tabel 1.3


Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil
(1) (2) (3) (4)
Hao Yan dan Song Mengeksplorasi cara baru Perbandingan Data Harian Melalui penerapan MODRA
Yang, 2007. A untuk memperkirakan Aqua MODIS, AMSR-E menggunakan 2 band
MODIS Dual Spectral curah hujan dari MODIS dan pengukuran lapangan, (panjang gelombang 11 µm
Rain Algorithm. melalui berbagai saluran MODRA, Multiregresi dan 1,38 µm), hasil
Journal of Applied menunjukkan bahwa estimasi
Meteorology and terkait dengan awan. dan Korelasi Band IR- curah hujan dari MODRA
Climatology Vol. 46 VIS. lebih baik terhadap awan-
p.1305-1323. awan hujan yang hangat jika
dibandingkan dengan
algoritma AMSR-E.
Indah, et al., 2007. Mengembangkan aplikasi Pengolahan data SP Data Terra MODIS
Pengkajian data Terra MODIS guna dengan 3 algoritma, memungkinkan untuk
Pemanfaatan Data ekstraksi data Suhu Klasifikasi nilai SP, dikembangkan guna ekstraksi
Terra-MODIS untuk data SP, yaitu dengan
Permukaan (SP) dengan Metode Multi-Kanal
Ekstraksi Data Suhu memanfaatkan kanal 31 dan
Permukaan Lahan menerapkan 3 algoritma (Split Window). 32. Nilai SP tertinggi
(SPL) berdasarkan perhitungan, yaitu Price dihasilkan oleh algoitma Li
Beberapa Algoritma. (1984), Li & Becker (1991) & Becker (1991) dan
Jurnal LAPAN Vol 4 dan Coll, et al. (1994). terendah dihasilkan oleh
No. 1. algoritma Price (1984).
Mardiyanto, 2010. 1. Estimasi curah hujan dari Penginderaan Jauh Cuaca 1. Estimasi curah hujan dari
Pemanfaatan Citra gabungan data satelit (MTSAT dan TRMM), gabungan data satelit
Satelit Orbit MTSATdan TRMM Statistik, Debit Puncak MTSATdan TRMM.
Geostasioner dan Orbit 2. Memperoleh debit aliran melalui metode Cook, 2. Estimasi debit puncak
Polar untuk Estimasi dengan metode rasional Hidrologi dan SIG. dengan data citra satelit
Curah Hujan dan Debit menggunakan SIG dan debit puncak aktual
Puncak di DAS 3. Menentukan ketepatan dari data pengukuran
Garang, Semarang, relatif sebit limpasan stasiun hujan.
Jawa Tengah. Thesis. aktual dan estimasi 3. Ketepatan debit aliran dari
dibandingkan dengan hasil pengukuran stasiun
debit aliran dari data hujan dan estimasi citra
AWLR satelit dibandingkan
dengan data AWLR.
Fahrudin Indra Buana, 1. Estimasi curah hujan SPA + Albedo, Regresi Pola sama dengan curah
2012. Estimasi Curah yang terjadi dengan Berganda. hujan aktual, hasil
Hujan Menggunakan analisis suhu permukaan underestimate.
Citra MODIS di awan dan nilai albedo.
Sebagian Daerah Jawa 2. Mengetahui tingkat
Tengah. Skripsi. keakuratan data curah
hujan yang disadap dari
citra MODIS dengan data
curah hujan acuan (milik
Dinas Pertanian).

19
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

Lanjutan Tabel 1.3


Penulis/Judul Tujuan Metode Hasil
(1) (2) (3) (4)
Rif’at Darajat, 2013. 1. Mengetahui algoritma Ekstraksi Suhu 1. Peta intensitas curah hujan
Identifikasi Pola Curah yang dapat memberikan Permukaan Awan (SPA) yang didapat dari citra
Hujan pada Kondisi informasi suhu dan Albedo melalui satelit MODIS tiap 3 kali
El-Nino melalui Citra permukaan awan (SPA) beberapa algoritma, dalam satu bulan.
MODIS di Propinsi dan albedo awan (ALB) Regresi Liner Berganda, 2. Grafik intensitas curah
Jawa Timur. Skripsi. sebagai parameter Uji Akurasi dengan Data hujan pada kondisi el-nino
pendukung nilai curah Stasiun Hujan. dan kondisi normal
hujan (estimasi) melalui (sebagai pembanding).
pengolahan citra satelit 3. Tabel dan grafik
MODIS. perbandingan antara pola
2. Membandingkan pola curah hujan hasil estimasi
curah hujan (estimasi) pengolahan citra satelit
yang ditunjukkan pada MODIS dengan data
kondisi el-nino dengan lapangan (stasiun hujan)
kondisi normal. daerah kajian.
3. Mengetahui validasi hasil
identifikasi pola curah
hujan (estimasi)
menggunakan citra PJ
dibandingkan dengan
data lapangan.

1.7 Kerangka Pemikiran


Kejadian hujan yang tidak menentu serta perubahan iklim drastis yang
akhir-akhir ini terjadi merupakan salah satu contoh fenomena cuaca yang
menarik untuk diteliti. Hanya saja ketersediaan data hujan di stasiun memiliki
beberapa kekurangan seperti pencatatan yang tidak teratur, kondisi alat,
pembacaan data yang kurang cermat dan lain sebagainya. Di sisi lain, masalah
utama aplikasi penginderaan jauh untuk lingkungan atmosfer adalah
melimpahnya data. Volume data satelit yang besar dan dikumpulkan setiap
hari membutuhkan seleksi, reduksi dan penanganan otomatis dari komputer.
Memperhatikan dua hal yang berbeda tersebut, peluang untuk melakukan
penelitian tentang curah hujan secara realtime pada kondisi tertentu dapat
disinkronkan.
Data hujan hasil estimasi melalui satelit penginderaan jauh dapat
dikonversi hingga satuan mm/jam. Satelit MODIS merupakan jenis satelit

20
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

yang dapat memonitoring permukaan bumi melalui deteksi suhu permukaan


serta albedo, khususnya terkait dengan awan. Kualitas hujan pada salah satu
kondisi iklim, yaitu el-nino, dapat diamati melalui satelit MODIS dengan
memperhatikan pola yang terjadi di setiap bulannya sepanjang tahun. El-Nino
merupakan kondisi tegas ketika potensi hujan minim akibat meningkatnya
suhu muka laut secara ekstrim.
Visualisasi akhir dari pengolahan data hujan melalui satelit MODIS
adalah grafik pola curah hujan serta peta distribusi hujan pada kondisi el-nino
di daerah penelitian. Uji akurasi dari pengolahan data penginderaan jauh
tersebut dilakukan dengan membandingkan data pengukuran lapangan (data
sekunder curah hujan dari stasiun hujan). Grafik yang menunjukkan pola
curah hujan pada kondisi normal (tidak terjadi el-nino dalam satu tahun) dapat
disajikan sebagai pembanding dalam melakukan analisis pola curah hujan
dalam setahun pada kondisi klimatologi yang berbeda.

1. Fenomena hujan yang bervariasi (tidak


menentu) akibat pengaruh perubahan iklim
2. Ketersediaan data penginderaan jauh di bidang
lingkungan atmosfer melimpah (seperti : data
satelit GOES, CERES, NOAA, TRMM, MODIS,
MTSAT, dan lain sebagainya)

Nilai curah
Pemanfaatan data citra satelit MODIS
hujan dan
lokasi stasiun
Pengolahan citra satelit melalui beberapa algoritma hujan dari
untuk memperoleh data curah hujan (harian, bulanan) data lapangan
pada kondisi El-Nino dan kondisi normal (sekunder)

Pola dan distribusi curah hujan tiap bulan


pada kondisi El-Nino dan kondisi normal
(sebagai pembanding)

Gambar 1. 7 Diagram Kerangka Pemikiran

21
IDENTIFIKASI POLA CURAH HUJAN PADA KONDISI EL-NINO MELALUI CITRA MODIS DI PROVINSI
JAWA TIMUR
RIFAT DARAJAT
Universitas Gadjah Mada, 2014 | Diunduh dari http://etd.repository.ugm.ac.id/

1.8 Batasan Istilah


1. Albedo merupakan presentase yang menggambarkan perbandingan antara
sinar matahari yang tiba di permukaan bumi dan yang dipantulkan kembali
ke angkasa dengan perubahan panjang gelombang (outgoing longwave
radiation) (Budikova, et al., 2012).
2. Awan adalah suatu kumpulan partikel air atau es yang tampak di atmosfer.
Kumpulan partikel tersebut termasuk partikel yang lebih besar, juga
partikel kering seperti terdapat pada asap atau debu (Prawirowardoyo,
1996).
3. Data Realtime adalah data yang selalu diperbarui secara cepat dan terus
menerus (Hanifuddin, 2012).
4. El-Nino merupakan suatu gejala alam di Samudra Pasifik bagian tengah
dan timur diikuti dengan memanasnya suhu permukaan laut di wilayah
tersebut. El-Nino secara umum akan menyebabkan curah hujan di sebagian
besar wilayah Indonesia berkurang, besar pengurangannya tergantung dari
lokasi dan intensitas El-Nino tersebut (Mulyana, 2002).
5. Korelasi Statistik adalah hubungan, yang dalam hal ini adalah hubungan
antara satu variabel dengan variabel lain. Besarnya korelasi ditunjukkan
oleh koefisien korelasi (Furqon, 2004).
6. Presipitasi adalah semua bentuk dari unsur air (hujan, salju, es, embun,
kabut) yang jatuh ke tanah (Miller, et al., 1983).
7. Suhu Puncak Awan adalah besarnya suhu di permukaan awan (Widodo,
1998).
8. Kolokasi adalah titik dengan perbedaan nilai pada sistem pengamatan
independen, yang memiliki bias dan kesalahan sistematis (Worley, et al.,
2011). Contohnya yaitu perbandingan antara data aktual dan penginderaan
jauh pada lokasi dan waktu yang sama.

22

Anda mungkin juga menyukai