Anda di halaman 1dari 84

PENGUJIAN MUTU

SEDIAAN FARMASI

Prof. Dr. Slamet Ibrahim S. DEA. Apt.


Dr.rer.nat Sophi Damayanti

Sekolah Farmasi ITB


2009
Bentuk
BENTUKSediaan Farmasi
SEDIAAN FREKUENSI (%)

Tablet 45,8
Kapsul 13,0
Liquid oral 16,0
Injeksi 15,0
Topikal (salep, krim) 3,0
Sediaan obat mata 1,8
Suppositoria dan sejenisnya 3,3
Aerosol (inhalasi) 1,2
Lain-lain 0,3
Urutan Monografi Sediaan Obat Jadi
 Nama sediaan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggeris (dahulu
bahasa latin)
 Pernyataan standar kekuatan/potensi bahan aktif (API) dalam
sediaan yang dimaksud
 Standar identitas dan Identifikasi
 Standar Kemurnian dan Pengujiannya (tergantung pada bahan aktif
dan bentuk sediaannya)
 Standar Kinerja sediaan (tergantung pada bentuk sediaan: waktu
hancur, disolusi, keseragaman sediaan, sterilitas, endotoksin, dll)
 Prosedur penetapan kadar/potensi bahan aktif dalam sediaan
 Wadah dan penyimpanan
Standar Kinerja Sediaan
 Merupakan ungkapan yang menggambarkan tampilan fisik
dan perilaku sediaan yang berkaitan dengan proses yang akan
dialami dalam tubuh, serta berkaitan dengan khasiat yang
diberikan bahan aktif.
 Standar kinerja sediaan sangat tergantung pada cara
pemberiaan dan bentuk sediaan.
 Tablet: uji keseragaman sediaan, waktu hancur, disolusi,
disolusi terbanding, ketersediaan hayati, dll.
 Injeksi: pH, sterilitas, endotoksin, volume dalam wadah,
bahan partikulat, dll
Pengambilan/Penimbangan Sampel
untuk penetapan kadar dalam sediaan
farmasi
 Tablet : Timbang tidak kurang dari 20 tablet, dan hitung
berat rata-rata setiap tablet. Serbukkan semua (20) tablet
tersebut, timbang saksama sejumlah serbuk tablet setara
dengan lebih kurang ……. mg senyawa aktifnya, dst …….
 Kapsul : Timbang tidak kurang dari 20 kapsul. Keluarkan
semua isi kapsul, bersihkan cangkang kapsul dan timbang
saksama. Hitung berat rata-rata isi kapsul. Timbang saksama
sejumlah isi kapsul setara dengan lebih kurang ……. mg
senyawa aktifnya, dst……
 Salep Mata: Timbang saksama sejumlah salep mata
Kloramfenikol setara dengan lebih kurang 25 mg kloramfenikol,
dst……….
 Krim: Timbang saksama sejumlah krim Prednisolon setara
dengan lebih kurang 20 mg prednisolon, dst……….
 Sirup: Tetapkan bobot jenis sirup. Timbang saksama sejumlah
sirup setara lebih kurang 200 mg piperazin sitrat, dst…….
 Larutan oral: Ukur saksama sejumlah volume setara dengan
lebih kurang 500 mg parasetamol, dst………
 Suspensi Oral: Pipet sejumlah suspensi setara dengan lebih
kurang 200 mg pirantel pamoat, dst……….
 Tetes mata: Ukur saksama sejumlah volume tetes mata setara
dengan lebih kurang 10 mg timolol, dst………..
 Tetes telinga: Ukur saksama sejumlah volume tetes telinga
setara dengan lebih kurang 50 mg kloramfenikol, dst………
 Supositoria: Timbang sejumlah supositoria setara lebih kurang
100 mg bisakodil, dst….. ( hal yang sama untuk sediaan ovula)
 Injeksi: Ukur saksama sejumlah volume injeksi setara dengan
lebih kurang 10 mg furosemida, dst…….
 Injeksi: Pipet 1 ml larutan injeksi ke dalam labu tentukur 200-
ml, dst …………
Preparasi Sampel (penyiapan larutan
uji dari sediaan sebelum dianalisis)
 Menyiapkan bentuk sampel yang sesuai dengan pengukuran/
metode yang digunakan (identifikasi maupun penetapan kadar
bahan aktif) yang bebas dari gangguan matriks atau bahan lain
dalam sampel sediaan.
 Meliputi: pelarutan, ekstraksi, pembentukan derivatif,
destruksi, dll.
 Yang paling banyak adalah: pelarutan dan ekstraksi pelarut.
a. Identifikasi (setelah preparasi sampel)
 Spektrofotometri Infra merah
 Kromatografi lapis tipis
 Kromatografi cair kinerja tinggi
 Kromatografi gas
 Spektrofotometri ultra violet-visible
 Reaksi warna
b. Pemeriksaan Kemurnian
 Sangat tergantung pada bahan aktifnya ( mudah terurai, tidak
stabil, dll):
a. Spektrofotometri
b. Kromatografi Lapis Tipis
c. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
d. Kromatografi gas (residu pelarut)
c. Penetapan Kadar
 Gravimetri
 Volumetri (Asam-basa, Titrasi Bebas Air, dll)
 Spektrofotometri UV-VIS dan IR
 Kromatografi ( KG dan KCKT)
 Mikrobiologi (Potensi Antibiotika)

Kadar dinyatakan dalam persentase dari kadar atau yang


tertera pada etiket.
d. Kinerja Sediaan
1. Uji Disolusi : digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan
persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-masing
monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket
dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. (Lihat mata kuliah
Teknologi Sediaan Padat: Tablet).
2. Uji Waktu Hancur: digunakan untuk menentukan kesesuaian
batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing
monografi ( Lihat MK Teknologi Sediaan Padat: Tablet).
3. Volume terpindahkan: sebagai jaminan bahwa larutan oral
dan suspensi yang dikemas dalam wadah < 250 ml baik bentuk
cairan atau padatan yang direkonstitusi, jika dipindahkan dari
wadah asli akan memberikan volume sediaan seperti yang
tertera pada etiket.
4. Keseragaman Sediaan
 Dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode, yaitu
keragaman bobot atau keseragaman kandungan.
 Keragaman bobot: diterapkan pada produk kapsul lunak isi
cairan dan pada sediaan padat termasuk saediaan padat steril,
yang mengandung zat aktif 50 mg atau lebih yang merupakan
50% atau lebih dari bobot satuan sediaan.
 Keseragaman kandungan: diterapkan pada semua sediaan
yang mengandung zat aktif kurang dari 50 mg dari bobot
satuan sediaan.
4.1. Keragaman bobot
 Untuk tablet tidak bersalut, kapsul keras, kapsul lunak, dan
sediaan padat dalam dosis tunggal termasuk sediaan padat
steril.
 Timbang saksama 10 tablet satu persatu dan hitung rata-rata.
Dari hasil penetapan kadarnya hitung jumlah zat aktif dari
masing-masing dari 10 tablet dengan anggapan zat aktif
terdistribusi homogen.
 Untuk kapsul: Hitung berat isi kapsul masing-masing dari 10
kapsul ( lihat penimbangan kapsul).
4.2. Keseragaman Kandungan
 Tetapkan kadar 10 satuan satu per satu seperti tertera pada Penetapan Kadar
dalam masing-masing monografi.
 Persyaratan dipenuhi jika:
1. Jumlah zat aktif dalam masing-masing dari 10 satuan sediaan terletak antara 85,0%
hingga 115,0% dan simpangan baku relatifnya kurang dari atau sama dengan 6,0%.
2. Jika 1 satuan terletak di luar rentang 85,0% - 115,0%, dan tidak ada satuan yang terletak
antara rentang 75,0% - 125,0% atau simpangan baku relatifnya > 6,0%.
3. Jika kedua kondisi tidak dipenuhi, lakukan uji 20 satuan tambahan. Tidak lebih dari 1
satuan dari 30 terletak di luar 85,0% - 115,0% dan tidak ada satupun yang terletak di
luar 75,0 % - 125,0% atau Simpangan Baku Relatif dari 30 satuan tidak lebih dari 7,8%
PREPARASI SAMPEL DARI
BERBAGAI MATRIKS

Prof. Dr. Slamet Ibrahim S. DEA. Apt.


Dr.rer.nat Sophi Damayanti
Sekolah Farmasi ITB
23 Pebruari 2010
Pendahuluan
 Analisis atau disebut juga Pengujian merupakan proses yang
melibatkan penetapan dan pengukuran suatu karakteristik bahan yang
diuji serta penilaian terhadap suatu standar tertentu untuk
mengevaluasi tingkat kualitas dari bahan tersebut.
 Analisis menjawab pertanyaan dua dasar dari keingintahuan manusia
tentang bahan: yaitu apa yang ada dalam bahan (kualitatif) dan
berapa banyak bahan tersebut (kuantitatif).
 Setelah mengetahui apa yang ada dalam bahan, analisis sering
dilanjutkan dengan berapa banyak dalam sample yang dimaksud.
 Kuantitas bahan disebut major (bila >1%), minor (0,1% - 1%),
trace (<0,1%) serta ultra trace (bpj atau bpm).
 Bahan dapat berwujud padat, cair ataupun gas. Bahan yang
akan dianalisis disebut juga sebagai sampel uji
 Bahan berada dalam keadaan murni jika jumlahnya sekitar
100%, tetapi dapat juga berada dalam keadaan campuran
dengan bahan yang lainnya.
 Bahan yang sedang atau akan dianalisis disebut sebagai analit dan
merupakan bagian dari sampel.
 Bahan lain yang terdapat dalam sampel yang bukan analit disebut
matriks.
 Analisis bahan dalam keadaan murni tidak mengalami gangguan
berarti, bahan itu tinggal dianalisis langsung atau diubah menjadi
larutan yang sesuai dengan teknik pengukuran atau metode analisis
yang digunakan.
 Sedangkan analisis sampel dalam bentuk campuran sering
mengalami gangguan sehingga hasil analisis tidak/kurang akurat dan
presisi karena adanya gangguan baik dari bahan lain ataupun dari
matriks.
 Untuk itu diperlukan adanya cara/teknik pendukung analisis agar
diperoleh hasil yang lebih akurat seperti pemisahan analitik atau
pengubahan bentuk bahan agar sesuai dengan teknik
pengukuran/analisis yang digunakan.
 Pemisahan dan pengubahan bentuk tersebut dilakukan pada tahap
preparasi sampel.
Pentingnya Analisis
 Bahan kimia maupun bukan kimia (produk biologi) sangat
mendominasi hidup dan kehidupan manusia dewasa ini. Produk-
produk tersebut ada yang bermanfaat tetapi banyak juga yang
membahayakan kehidupan dan lingkungan kita.
 Kualitas bahan tersebut sangat tergantung pada komposisi dan
kandungan kimianya serta pada kualitas mikrobiologinya.
 Analisis digunakan untuk mengetahui kualitas bahan, baik
identitas, kemurnian maupun kandungan senyawa aktifnya
melalui penggunaan metode-metode analisis.
 Oleh karena itu analisis bahan sangat penting dan bermanfaat
untuk kehidupan dan kelestarian alam kita.
 Metode yang digunakan dalam analisis bahan dapat diklasifikasikan
sbb:

1. Metode Kimia, yang melibatkan reaksi kimia dalam penetapan dan


pengukurannya.
2. Metode Instrumen, yang menggunakan peralatan dalam
pengukuran karakteristik bahannya.
3. Metode Mikrobiologi , yang melibatkan mikroba dalam penetapan
dan penentuan.
4. Metode Termal, yang melibatkan panas/energi dalam
pengukurannya.
5. Metode Fisika, yang melibatkan pengukuran sifat dan tetapan fisika
bahan.
6. Metode Imunokimia, yang melibatkan fenomena imun dalam
pengukurannya.
Tahapan dalam Analisis
1. Penentuan Masalah Analisis
2. Pemilihan Metode
3. Pengambilan Sampel
4. Penyiapan sampel untuk analisis
5. Perlakuan pemisahan analisis
6. Pengukuran
7. Perhitungan
8. Pelaporan
Gambar 1 Tahapan Analisis
1. Penentuan Masalah Analisis
 Tujuan analisis : kualitatif atau kuantitatif.
 Kegunaan dari hasil analisis yang diperoleh
 Siapa pengguna hasil analisis
 Kapan hasil analisis ini digunakan
 Seberapa jauh akurasi dan presisi hasil analisis yang diinginkan
 Berapa dana yang disiapkan
 Metode apa yang harus digunakan
 Sampel yang akan dianalisis memerlukan pengambilan sendiri
atau tinggal dianalisis saja.
2. Pemilihan Metode
 Jenis dan ukuran sampel
 Preparasi sampel yang diperlukan
 Kadar senyawa aktif yang ditentukan
 Bentuk sampel : murni atau campuran
 Akurasi dan presisi hasil analisis yang diinginkan.
 Peralatan/instrumen yang tersedia
 Kepakaran yang tersedia
 Dana yang disediakan
 Kecepatan analisis yang diinginkan
 Adanya metode standar atau metode dalam literatur
 Bahan pembanding yang tersedia
3. Pengambilan Sampel
 Jenis dan ukuran sampel
 Homogenitas sampel
 Stabilitas sampel
 Pengambilan dilakukan sendiri atau sudah tersedia
 Metode Pengambilan sampel baku
 Statistika pengambilan sampel (SNI)
 Transportasi, pengawetan dan penyimpanan sampel
4. Preparasi sampel
 Jenis dan Wujud sampel : padat, cair, atau gas
 Kelarutan analit dalam berbagai pelarut
 Volatilitas analit ( perlu pemanasan atau tidak)
 Jenis dan pengaruh matriks pada metode
 Kadar analit ( perlu pemekatan atau tidak)
 Pengubahan bentuk analit untuk pengukuran (derivatisasi)
 Pengaturan kondisi ( pH, pereaksi atau pemanasan)
5. Perlakuan Pemisahan Analisis
 Distilasi
 Pengendapan atau pengendapan berfraksi
 Ekstraksi pelarut
 Solid Phase Extraction (SPE)
 Pemisahan Kromatografi
 Pemisahan Elektroforesis
 Pemisahan Dialisis
 Bentuk Pemisahan lainnya
6. Pengukuran
 Kalibrasi instrumen
 Validasi/Kualifikasi instrumen
 Penggunaan blangko dan kontrol
 Penggunaan bahan pembanding
 Replikasi pengukuran
 Analis yang mumpuni
 Kebersihan dan perawatan yang baik
7. Perhitungan dan Pelaporan
 Pemindahan data yang akurat
 Reliabilitas perhitungan ( penggunaan statistika atau komputasi)
 Tata cara pelaporan (adanya pembatasan, akurasi, presisi, metode
yang digunakan, dapat dikopi atau tidak, dll)

Pustaka acuan : Christian G.D. Analytical Chemistry, 6th ed.


John Willey & Sons, Inc. 2004
Sampel
 Wujud sampel:
a. Bahan baku (raw material)
b. Sedian Farmasi (dosage forms)
c. Sampel biologi (darah, urin, jaringan, dll)
d. Sampel hasil riset dan pengembangan
e. Sampel lainnya (kosmetika, makanan, lingkungan)

 Eksistensi analit dalam sampel:


a. Sebagai senyawa tunggal (aktif maupun non aktif)
b. Sebagai multikomponen (campuran > 2 senyawa
aktif/analit)
c. Dalam sampel biologi (sebagai senyawa utuh,
metabolit atau senyawa terikat)
 Matriks (matrices):
Bagian dari sampel di luar analit yang tidak perlu
dianalisis tapi dapat mengganggu analisis terutama dalam
sampel multikomponen , campuran atau sampel biologi.
 Jenis matriks :
 Bahan anorganik
 Bahan organik
 Cairan/jaringan biologi (darah, plasma, daging, dll)
 Sifat matriks:
 Inert, tidak mengganggu analisis
 Mengganggu analisis karena turut terukur dan teranalisis
 Merusak dan mengkontaminasi intrumen ukur
Preparasi sampel
 Tujuan:
a) Pemekatan analit
b) Meningkatkan keterukuran analit melalui perubahan bentuk, reaksi
kimia , derivatisasi, agar kompatibel dengan metode analisis yang
digunakan.
c) Menghilangkan komponen pengganggu analisis melalui pemisahan,
clean-up, filtrasi, dll.
d) Melindungi instrumen ukur dari kerusakan dan kontaminasi.
 Perlakuan sangat tergantung pada:
a. Jenis sampel
b. Kadar analit
c. Metode analisis yang digunakan
d. Kualitas hasil analisis yang dipersyaratkan (akurasi dan presisi)
 Tahap perlakuan menjadi tahapan penentu keberhasilan
analisis untuk memperoleh informasi hasil yang baik
(akurat dan presisi).
 Perlakuan awal (penyiapan sampel) ditujukan untuk memperoleh
larutan yang: homogen, reprodusibel dan sesuai dengan
metode yang digunakan.
 Penyiapan sampel dilakukan dari awal yaitu sejak koleksi,
transport, penyimpanan, dan proses pendahuluan
(pengecilan ukuran, penggerusan, dll)
 Prosedur penyiapan sampel harus memberikan rekoveri analit
yang kuantitatif (>99%). Rekoveri kuantitatif akan
meningkatkan kepekaan dan presisi hasil pengukuran.
 Jika rekoverinya tidak kuantitatif, penyiapan sampel harus
dilakukan secara berulang kali dengan hati-hati agar tidak
terjadi kehilangan analit.
 Beberapa teknik penyiapan sampel dapat dilakukan secara
otomatis dan instrumen untuk penyiapan sampel sudah
tersedia. Bahkan di Laboratorium modern sudah
menggunakan robot dalam penyiapan sampelnya.
Jenis Perlakuan Awal
Jenis Analit Jenis Matriks Perlakuan Awal
Anorganik Anorganik a. Pengendapan
b. Kromatografi ion
c. Pertukaran ion
Organik (termasuk a. Destruksi basah
matriks biologik) b. Pemijaran
c. Ekstraksi
d. Pelarutan
Organik Anorganik a. Ekstraksi
b. Kromatografi
c. Tanpa pemisahan jika
spektrometri.
Organik (termasuk a. Ekstraksi
matriks biologik)
a. Kromatografi
b. Elektroforesis
c. Destilasi
Klasifikasi Teknik Pengukuran berdasarkan bentuk
sampel yang diukur
1. Teknik analisis yang memerlukan sampel
berupa larutan:
 Gravimetri
 Volumetri
 Spektrofotometri
 Spektrofluorometri
 Spektrometri serapan atom (AAS/FES)
 Emisi plasma
 Kromatografi (KLT, KCKT, KPI, KI, dll)
 Elektrokimia (potensiometri, polarografi, amperometri)
 Elektroforesis
2. Teknik Analisis yang memerlukan sampel padat
ataupun larutan.
Analisis Fluoresensi Sinar X
Analisis Aktivasi Neutron

3. Teknik Analisis yang memerlukan sampel padat


DC Arc Emission Spectroscopy
AC Arc Emission Spectroscopy
Micropobe techniques
Combustion techniques
Bentuk Preparasi Awal Sampel
 Perlakuan awal untuk sampel cair:
Eksktraksi Cair-Cair
Ekstraksi Fase Padat (SPE)
Pemisahan dengan membran
Distilasi (untuk beberapa sampel)
Liofilisasi (untuk sampel biologi)
 Perlakuan awal untuk sampel padat.
Pengurangan ukuran sampel
Pengeringan dan pencetakan
Pelarutan dalam pelarut yang sesuai
Ekstraksi
 Derivatisasi: Pembentukan senyawa derivat yang dapat
terukur oleh instrtument atau terdeteksi oleh detektor.
Pernyataan Pemisahan
1. Pemisahan sempurna semua komponen penyusun dari
suatu campuran:

(a + b + c +…...) (a) + (b) + (c) + …..

1. Pemisahan sebagian komponen dari suatu campuran:

(a + b + c +…...) (a) + (b + c + ….)

1. Pemisahan untuk pengayaan


(a + b + c +…...) (a+b) + (b+a) + ….
Definisi Pemisahaan
• Definisi menurut Rony P.R.(1968):
Pemisahan adalah kondisi hipotetik dimana terjadi
pengucilan sempurna dari masing-masing komponen kimia
penyusun dari suatu campuran ke dalam “wadah”
makroskopik yang terpisah.
• Tujuan pemisahan :
Mengucilkan masing-masing atau salah satu komponen
penyusun suatu campuran dalam keadaan murni kedalam
masing-masing “wadah” yang terpisah.
• Kondisi hipotetik digunakan untuk dua alasan:
a. Tidak mungkin terjadi pemisahan yang sempurna (100%)
b. Tidak secara nyata terpisah kedalam wadah terpisah tetapi
misalnya terlihat dalam suatu rekaman kromatogram.
Pemisahan berdasarkan proses
Proses Proses Fisika Proses Kimia
Mekanik
Pengayakan dan Partisi: Perubahan wujud:
Pengucilan: •Kromatografi •Pengendapan
•Dialisis •Ekstraksi •Elektrodeposisi
•Kromatografi •Elektroforesis Masking
eksklusi Perubahan wujud: Pertukaran ion
•Filtrasi
Distilasi
Sentrifugasi Kristalisasi
Sublimasi
Mode Pemisahan
 Pemisahan setahap/sederhana, yang dilakukan hanya satu
kali saja misalnya: ekstraksi pelarut , pengendapan,
elektrodeposisi, dll.
 Pemisahan bertahap, yang dilakukan beberapa tahap
misalnya: ekstraksi pelarut, distribusi lawan arus, dll.
 Pemisahan sinambung, yang dilakukan bertahap tanpa
putus dan terus menerus misalnya: destilasi, kromatografi,
soxhletasi, dll.
 Pemisahan dengan jebakan, misalnya ekstraksi fase padat,
kromatografi kolom, dll.
Teknik Pemisahan Umum
 Ekstraksi Pelarut
 Pengendapan
 Elektrodeposisi
 Pertukaran ion
 Adsorpsi dan desorpsi
 Penguapan
 Absorpsi
 Kromatografi
 Dialisis
 Elektroforesis
 Pemisahan dengan membran
 Filtrasi
 Sentrifugasi dan ultrasentrifugasi
 Osmosis
Jenis Pemisahan
1. Pemisahan Preparatif.
 Tujuan pemisahan preparatif adalah memperoleh
produk yang berharga dari suatu campuran dengan
cara menghilangkan pengotor sekecil-kecilnya.
 Dapat dilakukan dengan skala besar, skala kecil dan skala
sangat kecil.
 Umumnya di industri dilakukan secara sinambung.
Teknik pemisahan yang paling banyak digunakan adalah
ekstraksi, distilasi berfraksi, kromatografi preparatif,
kristalisasi , dll
2. Pemisahan Analitik,
Tujuannya untuk memperoleh informasi analitik yang
bermutu (akurat, presisi) yang dihasilkan melalui suatu
pengukuran dari hasil pemisahan.
Skala pemisahan meliputi :makro, semi mikro , mikro, nano
tergantung pada kadar analit yang diperoleh dan teknik
analisis yang digunakan. Dilakukan di laboratorium Analisis.

Meliputi:
a. Pemisahan analit dari spesi yang mengganggu.
b. Pemekatan analit dalam analisis runut
c. Pengubahan analit kedalam fase yang sesuai
d. Pengurangan dan penyederhanaan matriks (clean-up)
e. Isolasi analit ke dalam bentuk murni
Pengertian Ekstraksi

 Ekstraksi atau penyarian adalah proses pemindahan atau pengucilan


suatu konstituen dalam suatu sample ke suatu pelarut dengan cara
mengocok atau melarutkannya.
 Proses ekstraksi melibatkan dua fase ( kedua fase dapat berupa cairan
tetapi tidak bercampur) dan dapat dilakukan dengan satu kali ekstraksi
(single extraction), beberapa kali ekstraksi (multiple extraction),
dan sinambung (continues extraction).
 Dari segi teknik, ekstraksi dapat diklasifikasikan menjadi: Ekstraksi
Cair-Cair (ekstraksi pelarut), Ekstraksi Padat-Cair, dan
Ekstraksi Super Kritik.
Ekstraksi Pelarut
 Dalam proses ekstraksi cair-cair atau sering disebut juga sebagai
ekstraksi pelarut, solut dipindahkan dari pelarut satu ke pelarut yang
lain dan tidak bercampur dengan cara pengocokan yang berulang.
 Di laboratorium ekstraksi pelarut dilakukan dalam suatu corong
pemisah (separation funnel).
 Prosedur umum: Dalam corong pemisah, siapkan larutan solut
dalam suatu pelarut. Kalau perlu atur pH larutan atau tambahkan suatu
pereaksi tertentu. Masukkan pelarut kedua yang tidak bercampur
dengan pelarut pertama dan kocok. Setelah pengocokan sempurna,
campuran dibiarkan memisah dalam dua lapisan (fase air dan fase
organik). Salah satu lapisan/fase diambil, sedangkan lapisan kedua
dibuang atau diekstraksi kembali dengan cara yang sama.
a. Koefisien Distribusi
 Misalkan dalam corong pemisah, suatu spesi solut terdistribusi di
antara dua pelarut/fase yang tidak bercampur. Kesetimbangan yang
terjadi adalah:
SB SA
di mana SB adalah spesi solut dalam fase bawah, dan SA adalah spesi
solut dalam fase atas.
 Secara termodinamika, pada saat kesetimbangan tercapai ratio antara
aktifitas kedua spesi solut dalam kedua fase selalu tetap (Hukum
Distribusi NERNST). Untuk larutan encer, aktifitas digantikan
konsentrasi (C).
 Koefisien Distribusi (KD) dapat ditulis sebagai berikut:
KD = CA / CB
di mana CA adalah konsentrasi spesi solut pada fase atas dan CB adalah
konsentrasi dalam fase bawah.
b.Jenis Pelarut
 Pelarut yang digunakan hendaknya tidak bercampur satu
sama lainnya (immiscible).
 Pelarut berair (aqueous) biasanya berupa:
a. air suling
b. larutan dapar pH tertentu
c. larutan elektrolit dalam air
d. larutan pembentuk kompleks dalam air
e. larutan asam atau basa dalam air
f. kombinasi larutan-larutan tersebut di atas.
 Pelarut organik yang tidak bercampur dengan air:
a. benzen, toluen, heksan, xilen
b. diklormetan, kloroform, tetraklormetan
c. dietil eter
d. metil iso butil keton
e. hidrokarbon alifatik
 Pelarut organik yang bercampur dengan air: alkohol
alifatik, asam karboksilat, aldehida, keton, asetonitril,
dimetilsulfoksida, dan dioksan, tidak sesuai digunakan
sebagai ekstraktan dari larutan berair, tetapi dapat digunakan
sebagai ekstraktan dari larutan organik yang tidak
bercampur.
Imisibilitas pelarut
c. Ratio Distribusi (D)
 Nilai KD selalu tetap pada suatu sistem dan suhu tertentu.
 Nilai KD dapat berubah, jika:
a. Kedua pelarut bercampur secara sebagian (partial)
b. Solut mengalami disosiasi atau asosiasi dalam salah satu
pelarut yang digunakan
c. Solut bereaksi dengan pelarut (solvatasi)
 Sesuai kondisi percobaan, maka Koefisien distribusi dapat
digantikan dengan ratio distribusi (D).
 Misalkan asam benzoat terdistribusi antara dua fase cairan benzen dan
air. Dalam fase air, asam benzoat akan terdisosiasi HBz ==== H+ +
Bz-. Bentuk anion benzoat tidak akan masuk ke dalam fase organik,
sedangkan asam HBz berada dalam fase organik.
 Dalam kondisi ini, yang berlaku adalah ratio distribusi (D) yaitu ratio
antara konsentrasi semua spesi solut dalam masing-masing fase:
D = [HBz]o/{[HBz]a + [Bz-]a}
 Tetapan Ka = {[H+]a[Bz-]a}/[HBz]a
 Berdasarkan keduanya maka dapat diturunkan persamaan berikut:
D = KD /{1 + Ka/[H+]a} atau
= KD [H+]/{Ka + [H+]}
 Jika D dirajah terhadap [H+] maka akan diperoleh kurva
hiperbolik.
 Kurva hiperbolik menggambarkan D mendekati Kd secara
asimtotik sebagaimana [H+] meningkat.
 Jika [H+] mendekati tak terhingga, maka
lim (Ka + [H+] = [H+] dan ini menakibatkan nilai Kd = D
 Jika [H+] = Ka, maka D = ½ (Kd).
 Jika [H+]>Ka maka nilai D akan mendekati nilai KD dan jika
nilai KD besar, maka asam benzoat akan terekstraksi ke
dalam fase organik. D merupakan maksimum dalam kondisi
ini. Dalam suasana asam, asam benzoat tidak terionisasi dan
berada dalam bentuk HBz maka akan terekstraksi ke dalam
fase organik.
 Jika [H+]<Ka maka nilai D akan menurun hingga KD[H+]/Ka,
dan asam benzoat berada dalam fase air. Dalam suasana basa,
asam benzoat akan terionisasi dan tidak dapat terekstraksi ke
dalam fase organik.
 Asam benzoat diekstraksi dari air ke dalam dietil eter pada
berbagai pH. Ka = 6.3 X 10-5 dan Kd = 720, maka hubungan
nilai D terhadap pH dari 0 – 13 adalah:
 pH = 0 D = 720 pH = 7 D = 1,14
 pH = 1 D = 720 pH = 8 D = 0,0114
 pH = 2 D = 715 pH = 9 D = 0,00114
 pH = 3 D = 667 pH = 10 D = 0,000114
 pH = 4 D = 442 pH = 11 D = 0,0000114
 pH = 5 D = 98,6 pH = 12 D = 0,00000114
 pH = 6 D = 11,3 pH = 13 D = 0,000000114
d. Persen Solut Terekstraksi
 Kedua persamaan ekstraksi menunjukkan bahwa efisiensi
ekstraksi tidak bergantung pada konsentrasi awal dari solut,
melainkan tergantung pada nilai KD atau D saja.
 Jika pH larutan berubah maka nilai D akan berubah pula.
 Nilai D selalu tetap pada kondisi percobaan, tetapi fraksi
solut terekstraksi akan sangat tergantung pada ratio volume
dari kedua pelarut.
 Jika volume pelarut organik yang digunakan besar maka
fraksi solut terekstraksi akan lebih banyak dalam fase organik
agar nilai D tercapai pada kondisi tersebut.
 Fraksi solut terekstraksi adalah sama dengan milimol solut dalam fase
organik dibagi dengan jumlah total milimol solut.
 Persen solut terekstraksi (%E) adalah:
%E = {100Co.Vo}/{Co.Vo + Ca.Va}
di mana Co dan Ca adalah konsentrasi solut dalam fase organik dan fase
air, serta Vo dan Va adalah volume fase organik dan fase air yang
digunakan.
 Persen terekstraksi (%E) sangat erat kaitannya dengan nilai D atau KD
dan ratio volum (Va/Vo) yaitu:
%E = 100D/{D + (Va/Vo)}
dan jika Va = Vo, maka persen terekstraksi
%E = 100D/(D + 1)
 Jika mengunakan Kd, maka % E = 100KdU/(KdU + 1), dimana U
adalah ratio volum (Va/Vo)
 Jika Vo ditingkatkan maka %E akan meningkat.
 Jika nilai D≥ 100, maka ekstraksi sangat efisien dan dapat dilakukan
hanya satu kali.
 Kd solut A dalam sistem air-eter adalah 40. Jika 15 ml larutan air
yang mengandung A diekstraksi dengan 20 ml eter, maka:
%E = (100 Kd.U)/(Kd.U +1) dengan U = 1,33
= ( 100. 40.1,33)/(40.1,33 +1)
= 98,155%
 Jika Kd = 1000, dan Vo = Va, U = 1, maka
%E = (100.Kd.U)/(Kd.U +1)
= (100.1000.1)/(1000.1 + 1)
= 99,99%
 Jika nilai Kd tidak terlampau besar, maka %E kecil perlu
dilakukan ekstraksi berulang kali (“multiple extraction”) untuk
memperoleh persentasi ekstraksi yang besar mendekati 99,99%.
e. Ekstraksi bertahap (multiple
extraction)
 Misalkan sejumlah berat W solut A dilarutkan dalam air lalu
diekstraksi dengan sejumlah tertentu pelarut organik:
KD = [A]o/[A]a = w/(W – w)
w = W.KD/(1 + KD)
di mana w adalah berat A yang terekstraksi ke dalam fase organik.
 Fraksi solut dalam fase organik dapat dihitung sebagai
fo = w/W = KD/(1 + KD),
dan fraksi dalam air fa = 1- fo = 1/(1 + KD).
 Bila ekstraksi dilakukan secara bertahap n kali , maka sisa dalam air
(fraksi sisa solut dalam air) adalah :
fa = {1/(1+KD)}n atau jika volumenya berbeda
fa = {Va/(Va + KD.Vo)}n
 Efisiensi ekstraksi adalah fo = (1 – fa) dan
%E = 100.fo
 Jika Kd = 4 untuk solut dalam sistem air- eter dan ratio volume
U = 1, maka persentase ekstraksi setelah 4 kali ekstraksi
diperoleh
Sisa solut dalam air fa = { 1/KdU + 1} n,
fa = { 1/(4.1 + 1)} 4 = (1/5)4 = 0,0016
fo = 1 – fa = (1 – 0,0016) = 0,9984
%E = 100 Fo = 99,84%
 Hubungan antara Kd terhadap E adalah
Kd = (%E) /(100 – %E)
f. Aplikasi dalam penyiapan sampel
 Ekstraksi pelarut sering digunakan dalam penyiapan sampel
untuk analisis gravimetri, volumetri, spektrofotometri dan
kromatografi terutama untuk senyawa organik dalam
sediaan, dan dalam matriks lain seperti matriks biologi (urin
dan darah).
 Garam basa organik seperti sulfat atau hidrokloridanya serta
garam asam organik seperti garam Na atau K merupakan
senyawa-senyawa yang mudah larut air. Sedangkan basa
organik dan asam organik melarut baik dalam pelarut
organik non polar seperti kloroform atau eter.
 Dengan demikian dapat digunakan dalam desain prosedur
ekstraksi.
Skema Ekstraksi 1
Skema Ekstraksi 2
Faktor yang mempengaruhi ekstraksibilitas
analit
 Tiga faktor utama adalah:
1. Kelarutan analit dalam berbagai pelarut atau nilai Kd dalam sistem
yang digunakan dalam ekstraksi.
2. Imisibilitas ( ketidakbercampuran ) pelarut yang digunakan harus
optimum.
3. Kesetimbangan kimia yang melibatkan analit dalam proses ekstraksi.
 Syarat pelarut pengekstraksi:
1. Pelarut hendaknya melarutkan solut sangat besar tetapi hanya tidak
atau sedikit saja melarutkan senyawa lain.
2. Pelarut benar-benar tidak bercampur (immiscible) dengan larutan air
atau sistem berair.
3. Pelarut mudah menguap dan mudah dimurnikan kembali.
Ekstraksi Sinambung
 Ekstraksi sekali dan berulangkali dilakukan biasanya dengan
menggunakan corong pemisah ( separation funnel ).
 Agar ekstraksi cair-cair dapat berlangsung secara sinambung
sehingga lebih efisien dan praktis maka digunakan ekstraktor
sinambung.
 Pada dasarnya ekstraktan (pelarut) yang digunakan dipanaskan
lalu dikondensasikan secara sinambung yang akan bersentuhan
dengan larutan analit dalam pelarut yang lain. Terjadilah
ekstraksi analit ke dalam ekstraktan secara sinambung. Kedua
pelarut harus tidak bercampur (immiscible).
 Dikenal dua ekstraktor:
1. Ekstraktor dengan ekstraktan lebih ringan dibandingkan rafinat
2. Ekstraktor dengan ekstraktan lebih berat dibandingkan rafinat.
 Jumlah solut yang terekstraksi dimana kadar solut asal = Co, kadar
dalam ekstraktan dC/dV, dan kadar solut sisa dalam rafinat (Co – C)/
v.
 Kesetimbangan akan terjadi, maka berlaku
Kd = (dC/dV)/{(Co – C)/v}
dC/dV = Kd. {(Co – C)/v}
dC/(Co – C) = Kd. (dV/v)
ln (Co – C)/Co = - Kd (V/v)
ln q = -Kd (V/v) atau ln 1/q = Kd(V/v)
V = (2,3 log 1/q) x (v) x (1/Kd)
dimana V adalah jumlah volume total ekstraktan setelah beberapa kali
ekstraksi, v adalah volume larutan solut yang akan diekstraksi, q adalah
fraksi solut dalam rafinat dan Kd adalah koefisen distribusi analit dalam
sistem pelarut.
Ekstraksi Padat -Cair
 Ekstraksi padat – cair merupakan tahapan penting dalam preparasi
sampel maupun penyediaan obat seperti tintura.
 Secara sederhana ekstraksi jenis ini dilakukan dengan melarutkan
langsung sampel padat dalam pelarut tertentu lalu disaring. Filtratnya
diuapkan hingga kering lalu jika perlu residunya dilarutkan dalam
pelarut yang sesuai dan digunakan sebagai larutan uji.
 Teknik pemisahan yang populer adalah ekstraksi menggunakan
ekstraktor Soxhlet atau ekstraktor Kumagawa, dimana digunakan
ekstraktan yang mudah menguap pada pemanasan dan terkondensasi
sehingga ekstraksi berjalan secara sinambung. Perlu diperhatikan
ketahanan analit dalam suasana panas.
 Kedua ekstraktor mempunyai cara kerja yang sama.
Faktor yang harus diperhatikan
 Pelarut pengekstraksi harus melarutkan bahan yang akan
diekstraksi secara sempurna ( lihat kelarutannya dalam pelarut
yang dimaksud).
 Analit dalam sampel harus tahan panas yaitu tidak terurai oleh
panas.
 Volume pelarut pengekstraksi dalam A harus cukup agar tidak
kering ( dapat dihitung perkiraan volumenya seperti pada
ekstraksi sinambung).
 Pelarut pengekstraksi tidak atau sedikit saja melarutkan bahan
lain selain analit yang dimaksud.
Ekstraksi Fase Padat (SPE)
 Ekstraksi pelarut sangat berguna dalam pemisahan analitik,
namun masih mempunyai beberapa kelemahan.
 Misalnya pelarut yang digunakan terbatas pada pelarut yang
tidak bercampur untuk sampel larut air dengan jumlah yang
cukup besar. Di samping itu pada praktek sering terbentuk
campuran emulsi pada saat pengocokan sehingga
menyulitkan pemisahan kedua pelarut.
 Beberapa kelemahan ini dapat ditanggulangi dengan
digunakannya ekstraksi fase padat (Solid Phase Extraction)
Solid Phase Extraction
 Pada SPE digunakan bahan padat sebagai adsorben, di mana
gugus fungsi hidrofob diikat secara kimia pada permukaan
silika seperti misalnya rantai C-8 (oktasilan) atau C-18
(oktadesisilan).
 Gugus hiodrofob itu akan berinteraksi dengan senyawa
organik yang hidrofob dengan daya van der Waals, sehingga
senyawa organik itu akan terekstraksi dari sampel berair
yang kontak dengan permukaan padat tersebut.
 Fase padat tersebut ditempatkan dalam suatu catridge kecil
yang mirip dengan alat suntik (syringe). Sampel dituangkan
pada katridge tersebut lalu dielusi.
 Molekul organik hidrofob akan terekstraksi, terkonsentrasi
pada kolom dan terpisah dari matriks sampel. Analit yang
terikat pada katridge tsb dielusi dengan suatu pelarut yang
baik misalnya metanol lalu ditampung. Jika perlu pelarut
diuapkan agar diperoleh analit yang pekat sebelum dianalisis.
 Bila gugus fungsi hidrofil (polar) yang terikat pada
permukaan padat misalnya gugus diol, maka senyawa polar
akan berinteraksi dengan fase padat melalui jembatan
hidrogen dan terekstraksi dari matriks sampelnya.
 Ikatan lain yang mungkin terjadi adalah ikatan elektrostatik
 SPE menggunakan kolom mini yang mengandung bahan
adsorben atau fase diam cair yang terikat secara kimia pada
permukaan silika.
 Disamping untuk ekstraksi, SPE digunakan pada pemurnian
ekstrak atau clean-up sebelum dilakukan analisis KCKT.
 Dengan SPE kelemahan ekstraksi pelarut dapat dihilangkan
yaitu:
1. Efisiensi penggunaan pelarut ditingkatkan.
2. Pembentukan emulsi pelarut dihilangkan.
3. Waktu ekstraksi menjadi singkat.
Katridge SPE
 Sorben SPE diprepacking dalam syring polipropilen dengan
sejumlah 500 mg dalam syring 3 atau 5 ml. Syring kecil (1
ml) mengandung 100 mg sorben SPE.
 Makin kecil syringnya makin kecil kapasitasnya dan makin
sedikit pelarut yang digunakan
SPE disk
 Ekstraktan SPE tersedia dalam bentuk filter (disk) dimana
partikel silika 8 µm tercampur dengan serat
politetrafluoroetilen (PTFE).
 Disk berbasis fiberglas yang lebih kaku juga tersedia.
Keunggulan SPE
 Ekstraksi lebih efisien (> 99.9%)
 Pelarut lebih sedikit
 Koleksi analit lebih mudah
 Menghilangkan partikulat
 Dapat diotomatisasikan
 Dapat digunakan dalam penyimpanan sampel
Kelemahan SPE
 SPE sangat beragam (sesuai pabrik, ukuran dan isinya)
 Dapat terjadi adsorpsi irreversibel pada catridge.
Tahapan pemisahan SPE
 Pengkondisian
Melewatkan pelarut untuk meningkatkan daya serap sorben
(hidrofob)
 Pemisahan dan Retensi
Memasukkan sampel, dimana analit akan tertahan dan beberapa
komponen lain akan tertahan juga
 Pencucian
Membilas/menghilangkan komponen lain yang tertahan katridge
dengan suatu pelarut tertentu.
 Elusi
Mengelusi analit dengan pelarut tertentu
 Penampungan Analit
Derivatisasi
 Derivatisasi merupakan proses preparasi sampel yang melibatkan
reaksi kimia antara analit dengan suatu pereaksi untuk mengubah sifat
fisika dan kimia dari analit.
 Tujuan derivatisasi dalam analisis adalah:
 Meningkatkan detektabilitas/daya ukur analit
 Mengubah struktur molekul atau polaritas agar dapat terukur dengan
lebih baik
 Mengubah sifat matriks agar diperoleh pemisahan yang lebih baik.
 Meningkatkan stabilitas kepekaan analit.
 Secara ideal proses derivatisasi harus cepat, kuantitatif mungkin, dan
sedikit menghasilkan produk samping yang mengganggu. Tentu saja
kelebihan pereaksi tidak boleh mengganggu analisis.
Persyaratan pereaksi derivatisasi
 Pereaksi harus stabil
 Pereaksi dan hasil samping derivatisasi yang terbentuk harus tidak
terdeteksi/terukur atau dapat dipisahkan secara sempurna dari
hasil reaksi dervatisasi analit
 Pereaksi harus reaktif dan kalau perlu selektif terhadap analit
(pada kondisi percobaan)
 Jika dimungkinkan, pereaksi harus aman dan tidak toksik
 Prosedur derivatisasi harus dapat mampu diotomatisasikan
Jenis reaksi derivatisasi
 Reaksi esterifikasi
 Reaksi asilasi
 Reaksi kondensasi
 Reaksi Sililasi
 Reaksi alkilasi
 Reaksi pembentukan senyawa siklik (siklisasi)
 Reaksi penggabungan (coupling reaction)
 Reaksi pembentukan kompleks yang berwarna atau sifat
kromoforiknya meningkat.

Hasil reaksi derivatisasi tersebut pada umumnya meningkatkan sifat


kromoforik, sifat fluoroforik dan volatilitas analit.
 Proses derivatisasi pada kromatografi dapat dilakukan secara
pre- atau post column, sedangkan pada spektrofotometri
dapat dilakukan sebelum pengukuran dilaksanakan.
 Beberapa golongan senyawa dapat diderivatisasi sebelum
dianalisis secara instrumen yaitu: asam karboksilat, alkaloid,
alkohol, aldehid, amina, antibiotika, barbiturat, senyawa
hidroksi, enol, dan steroida.
 Reaksi derivatisasi dapat juga digunakan untuk meningkatkan
pemisahan berdasarkan pada pembentukan senyawa khiral,
misalnya pada kromatografi fase balik maupun fase normal.
Dalam hal ini digunakan pereaksi akhiral untuk
meningkatkan selektifitas fase diam kiral (chiral
stationary phase, CSP) terhadap analit yang khiral.
Gugus fungsi dan hasil derivatisasinya
Gugus Fungsi Hasil derivatisasi
Gugus Hidroksi Ester, karbonat, karbamat
Gugus Karboksilat Ester dan amida
Gugus Amina Amida, urea, karbamat,
Epoksida Isotiosianat, olefina
Tiol Tioester
Gugus Karbonil Hidrazin
Guanidin Pirimidin (siklisasi)
Ringkasan
 Preparasi sampel merupakan tahapan analisis yang sangat
menentukan akurasi dan presisi hasil analisis.
 Preparasi sampel mengubah sampel menjadi sesuatu bentuk yang
adaptif dan sesuai dengan metode pengukuran, meliputi
pengubahan bentuk (derivatisasi ) yang akan meningkatkan
detektabilitas pengukuran.
 Preparasi sampel juga meningkatkan akurasi dan presisi hasil
melalui pemisahan analit yang bebas dari pengaruh matriks dan
analit yang lain.
 Preparasi sampel sangat tergantung pada jenis sampel, sifat alami
analit , kadar analit dan metode pengukuran yang digunakan.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai