Anda di halaman 1dari 25

GAS DAN TEORI KINETIKA GAS

I. 1. Gas dan sifat-sifat gas ideal


Gas terdiri dari molekul-molekul gas yang bergerak kesegala arah dan gerakkan ini
searah garis lurus, dengan kecepatan yang sangat tinggi. Molekul-molekul gas saling
bertumbukan satu sama lain atau dengan dinding bejana. Tumbukan terhadap dinding bejana
ini yang menyebabkan adanya tekanan.
Volume dari molekul-molekul gas sangat kecil dibandingkan dengan volume yang
ditempati oleh gas tersebut, sehingga banyak ruang kosong diantara molekul-molekulnya. Hal
ini yang menyebabkan gas mempunyai rapat yang lebih kecil dari pada cairan atau zat padat
dan bersifat kompresibel atau mudah ditekan.
Karena molekul gas selalu bergerak kesegala arah, maka gas yang satu mudah
bercampur dengan gas yang lain (diffusi), asal keduanya tidak bereaksi. Misalnya N 2 dan O2,
CO2 dan H2 dan sebagainya.
Ada dua jenis gas:
a. Gas ideal:
Yaitu gas yang mengikuti secara sempurna hukum-hukum gas misalnya Boyle,
Gay-Lussac, Amagat, Dalton dan Graham.
b. Gas nyata:
Yaitu gas yang hanya mengikuti hukum-hukum gas tersebut pada tekanan rendah.
Dialam ini sebenarnya tidak ada sifat-sifat gas yang ideal, jadi hanya merupakan gas
hipotetis. Pada gas ideal dianggap bahwa molekul-molekulnya tidak tarik menarik dan
volume molekulnya dapat diabaikan terhadap volume gas itu sendiri atau ruang yang
ditempati. Sifat ideal ini hanya didekati oleh gas beratom satu pada tekanan rendah dan pada
temperatur yang relatif tinggi.
I. 2. Hukum-hukum gas ideal
Hukum-hukum ini diperoleh dari suatu percobaan (eksperimen).
I. 2. 1. Hukum Boyle
Robert Boyle menyatakan bahwa: volume dari sejumlah tertentu gas pada suhu tetap
berbanding terbalik dengan tekanannya.
1
V∞ V = volume gas
P
k1
V= P = tekanan gas
P
PV = k1 (1.1)

1
k1 = tetapan yang harganya tergantung dari suhu, berat gas, dan jenis gas.
Atau : P1V1 = P2V2 .
Untuk sejumlah gas tertentu, grafik P terhadap V pada berbagai suhu merupakan suatu
hyperbola dan disebut garis-garis isoterm gas ideal.

Gambar 1.1 : Isoterm Gas Ideal.


Sumber : Castellan, Gilbert W., 1983
I. 2. 2. Hukum Charles & Gay Lussac
Percobaan dilakukan terhadap gas-gas H2, Udara, CO2 dan O2 dengan jumlah volume
yang sama pada pemanasan antara 0 – 80 oC pada tekanan tetap. Hukum ini menyatakan
bahwa semua gas pada pemanasan dengan tekanan tetap, volume akan bertambah (1/273,15)
* volume pada 0 oC. Bila V0 = volume gas pada 0 oC dan V = volume gas pada suhu t oC,
maka
V = V0 + (t/273,15) V0
V = (1 + t/273,15) V0
( 273,15  t)
V = V0 ( )
273,15

T V T
V = V0 ( ) atau ( )=( )
T0 V0 T0

V = k2 T (1.2)
Jadi volume sejumlah tertentu gas berbanding lurus dengan suhu absolutnya. Grafik V suatu
gas terhadap suhu pada berbagai tekanan disebut isobar.
I. 2. 3. Hukum Boyle – Gay Lussac
Hukum ini menyatakan hubungan volume gas terhadap suhu dan tekanan.

2
Gas pada V1 P1 T1 ------------------------------------------------- V2 P2 T2
Vx P2 T1
Perubahan pertama: V1 P1 T1  Vx P2 T1 proses pada suhu tetap (isotermal).
P V
1 1
Vx = P
2

Perubahan kedua: Vx P2 T1  V2 P2 T2 Proses pada tekanan tetap (isobar).


V V
x  2
T T
1 2

T
2
V2 = Vx T
1

P V T
1 1
V2 = P
* T2
2 1

P V P V PV
1 1 2 2
T
= T
 = k ( konstanta) (1.3)
1 2 T

I. 2. 4. Tetapan Gas Ideal


Harga k pada persamaan keadaan PV = kT ditentukan oleh jumlah mol gas, P dan T
tetapi tidak tergantung pada jenis gas. Pada P dan T tertentu harga k berbanding lurus dengan
V atau jumlah mol gas. Bila jumlah mol gas = n dan tetapan gas tiap mol adalah R maka
persamaan tersebut dikenal dengan nama persamaan gas ideal:
PV = nRT. (1.4)
Berbagai harga R : 0,08205 liter atm der-1 mol-1 = 8,314 joule der-1 mol-1 = 1, 987 kal.
der-1 mol-1.

I. 2. 5. Hukum Dalton
Pada suhu tetap, Tekanan total suatu campuran gas sama dengan jumlah tekanan
parsialnya. Ptotal = P1 + P2 + P3 +........+ Pn .

P1, P2, P3 dan seterusnya adalah tekanan parsial. Tekanan parsial gas ialah tekanan dari gas
tersebut bila sendirian ada didalam ruangan.
n RT n RT n RT (n  n  n ) RT n RT
Ptotal = 1 + 2 + 3 = 1 2 3 = t
V V V V V

n RT
Untuk masing-masing komponen gas : P1 = 1
V

ni
Pi = Pt atau Pi = Xi Pt Xi ialah mol fraksi gas ke i. (1.5)
nt

3
I. 2. 6. Hukum Amagat
Di dalam suatu campuran gas, volume total gas sama dengan jumlah volume
parsialnya.
Vt = V1 + V2 + V3 + ..........+ Vn.
Vi = Xi Vt. (1.6)
I. 2. 7. Hukum Graham
Pada suhu dan tekanan tetap, kecepatan difusi berbagai gas berbanding terbalik
dengan akar rapat massanya atau berat molekulnya.
v1 d2
=
v2 d1

v = kecepatan difusi dan d = rapat massa gas.


Pada tekanan dan suhu sama, dua gas mempunyai volume molar yang sama.
v1 d 2 . Vm M2
= = (1.7)
v2 d1 . Vm M1

M = berat molekul gas dan Vm = volume molar gas.


I. 3. Teori Kinetika Gas
Sifat gas juga dapat dijelaskan dengan teori kinetika gas. Teori ini mula-mula
diberikan oleh Bernouli pada tahun 1738, dan disempurnakan oleh Cleusius, Boltzmann, Van
der Waals dan Jeans. Teori ini berdasarkan asumsi-asumsi sebagai berikut:
1) Gas terdiri atas partikel-partikel yang sangat kecil (discrete) yang disebut molekul,
massa dan besarnya sama untuk tiap-tiap jenis gas.
2) Molekul-molekul ini selalu bergerak kesegala arah dan selalu bertumbukan dengan
molekul-molekul yang lain serta dengan dinding-dinding bejana.
3) Tumbukan molekul ini yang menyebabkan terjadinya tekanan pada dinding.
4) Karena tekanan gas tidak tergantung waktu, pada tekanan dan suhu tertentu maka
pada tumbukan tidak ada tenaga yang hilang atau tumbukan bersifat elastis sempurna.
5) Pada tekanan yang relatif rendah, jarak antara molekul-molekul jauh lebih besar dari
pada diameter molekul sendiri, sehingga gaya tarik antar molekul dapat diabaikan.
6) Karena molekul-molekul sangat kecil dibandingkan dengan jarak antar molekul, maka
volume molekul dapat diabaikan dan molekul dianggap sebagai titik-titik bermassa.
7) Suhu absolud berbanding lurus dengan tenaga kinetik rata-rata dari semua molekul
dalam sistem.
Rumus-rumus gas yang diturunkan secara matematis atas dasar anggapan diatas, sesuai
dengan hasi-hasil percobaan.

4
Kita misalkan suatu kubus yang berisi n molekul gas, dengan masing-masing
mempunyai massa m dan kecepatan μ. Kecepatan ini dapat diuraikan menjadi tiga komponen
μx, μy, dan μz. Tiap-tiap komponen dapat dianggap sebagai molekul-molekul tunggal dengan
massa m yang bergerak sepanjang sumbu x, y dan z.
μ2 = μx2 + μy2 + μz2 (1.8)
Molukul yang bergerak sepanjang sumbu x kekanan akan menumbuk dinding bejana dikanan
dengan momen: m μx. Molekul ini kembali lagi kekiri, karena tumbukan elastis sempurna
dengan kecepatan μx dan momen m μx. Perubahan momen pada sekali tumbukan oleh satu
molekul:
m μx – (– m μx) = 2 m μx.
Agar molekul dapat menumbuk dinding disebelah kanan, molekul harus berjalan sepanjang
2l , bila l merupakan panjang rusuk kubus. Jadi jumlah tumbukan tiap detik = μ/2 l dan
perubahan momen per detik per molekul:
x m x2
(2 m μx) ( ) = ( )
2l l
Perubahan momen pada sumbu x:
m x2 2m x2
2* ( ) =( )
l l
Perubahan momen pada sumbu x, y dan z:
2m x2 2m y2 2m z2 2m 2m
( )+( ) +( )=( ) (μx2 + μy2 + μz2) = ( ) μ2
l l l l l

2m
untuk n molekul perubahan momen tiap detik: ( ) μ2 n.
l
Perubahan momen ini tidak lain adalah gaya yang berkerja pada dinding-dinding, sedangkan
tekanan adalah gaya per satuan luas:
f 2mn 2
P= =( )
A lA
A = luas, P = tekanan dan f = gaya. A = 6 l2. Volume = V = l3
2mn 2 1 mn 2
P= ( ) =
6l 3 3 V
PV = (1/3) m n μ2 (1.9)

I. 3. 1 Penurunan hukum gas ideal menurut teori kinetik


Hukum Boyle

5
Tenaga kinetis satu molekul: ½ m μ2 maka untuk n molekul besar tenaga kinetis ½ m
n μ2
Tenaga kinetis ∞ Temperatur absolut
½ m n μ2 ∞ T
½ m n μ2 = k1 T
PV = 2/3 * (1/2) m n μ2
PV = 2/3 k1 T
Pada T tetap: PV = tetap.
Hukum Gay Lussac
PV = 2/3 k1 T
2 k 1T
V = jadi pada P tetap maka harga V = k2T.
3 P
Hukum Avogadro
Pada suhu dan tekanan sama, gas-gas yang volumenya sama mempunyai jumlah
molekul yang sama pula. Hukum ini dapat dijabarkan dengan teori kinetik gas.
Gas ideal, bila P dan V sama, maka P1V1 = P2V2 jadi:
(1/3) m1 n1 μ12 = (1/3) m2 n2 μ22
Suhu sama berarti tenaga kinetik sama pula
½ m1 μ12 = ½ m2 μ22  n1 = n2
Jumlah molekul dalam 1 mol gas disebut bilangan Avogadro dan besarnya 6,0232 * 10 23,
dengan ini dapat dicari massa tiap-tiap molekul.
Misalnya 1 mol O2 = 32 gram
32
Maka m O2 = = 5,31 * 10-23 gram molekul-1.
6,0232 * 10 23

Hukum Graham
Untuk dua jenis gas dengan P dan V sama:
(1/3) m1 n1 μ12 = (1/3) m2 n2 μ22
2
μ1 m2 . n2

μ2
2
m 1 . n1

μ1 m2 . n2

μ2 m1 . n1

μ1 m2. N M2
Bila n1 = n2 = N maka:   (1.10)
μ2 m1 . N M1

Karena pada P dan T tetap maka volume molar gas juga sama, maka:

6
μ1 d2
 d = rapat massa gas. (1.11)
μ2 d1

Dari teori tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rumus teoritis dan eksperimen
untuk gas sama.

I. 4. Persamaan Gas Nyata


Secara eksperimen maupun dari teori kinetik gas didapatkan bahwa persaman gas
ideal adalah PV = nRT. Pada suhu tetap maka harga PV = nRT = tetap, ini berarti bahwa hasil
kali P dan V untuk semua gas selalu tetap pada tekanan yang berubah-ubah. Hal ini sangat
berbeda dengan hasil percobaan yang ada.
I. 4. 1 Faktor Daya Mampat
PV
Apabila gas bersifat ideal, maka harga = 1, pada semua tekanan. Pada Gambar
nRT
1.2 menunjukkan hubungan antara PV/nRT terhadap P untuk beberapa jenis gas menyimpang
dari keadaan ideal. Besarnya penyimpangan tersebut dinyatakan sebagai besaran yang disebut

PV
dengan nama faktor daya mampat (Z) sehingga Z = . Untuk gas ideal Z = 1, sedangkan
nRT
untuk gas nyata harga Z  1. Makin besar panyimpangan harga Z dari 1 berarti semakin
besar penyimpangan gas dari keadaan ideal. Dengan mengetahui harga Z memungkinkan
untuk menghitung besarnya tekanan dan volum dari persaman gas nyata. Faktor daya mampat
ini harganya tergantung pada jenis gas, tekanan dan suhu, harga tersebut dapat ditentukan
dengan menggunakan diagram faktor daya mampat.
Dari gambar 1.2 dapat dinyatakan:
a) Apabila tekanan diturunkan hingga harga yang sangat rendah, maka Z mendekati
harga satu. Hal ini berarti bahwa untuk semua gas, bila P mendekati 0, maka harga Z
= 1 yang berarti gas bersifat ideal.

7
Gambar 1.2 : Hubungan harga Z dengan P untuk beberapa gas, pada suhu 0 oC.
Sumber : Castellan, Gilbert W., 1983.

b) Kecuali gas H2, kenaikan tekanan dari P = 0, mula-mula harga Z turun dibawah 1
kemudian akan mencapai titik minimum dan pada tekanan yang tinggi akhirnya harga
Z akan lebih besar dari 1. Penyimpangan dari keadaan gas ideal pada dasarnya
disebabkan oleh dua faktor : pertama bila gas berada pada tekanan yang relatif rendah
dan menyebabkan harga Z < 1, hal ini disebabkan karena pengaruh gaya tarik
menarik antar molekul-molekul. Faktor kedua yang lebih berpengaruh pada tekanan
yang relatif tinggi dan menyebabkan harga Z > 1 adalah adanya gaya tolak menolak.
Pada tekanan yang relatif tinggi, kedudukan molekul-molekul sangat berdekatan, hal
ini akan menyebabkan gaya tolak-menolak yang kuat dan ini cenderung membuat
harga Z > 1.
c) Pada suhu 0 oC, untuk gas H2 pada semua tekanan harga Z > 1. Tetapi pada suhu yang
berbeda keadaan ini juga berubah, kenyataannya pada suhu - 166 oC gas H2 juga
memperlihatkan titik minimum pada kurva Z-P. Fakta ini menunjukkan bahwa tiap
gas mempunyai suhu yang khas, dimana kurva Z-P mula-mula harganya turun, lalu
melewati titik minimum dan akhirnya naik hingga harga Z > 1.
Pengaruh suhu terhadap harga Z ditunjukkan pada Gambar 1.3 untuk gas metana. Pada suhu
dibawah 640 K semua kurva Z-P memperlihatkan titik minimum, sedangkan diatas suhu
tersebut harga Z > 1 pada semua tekanan. Pada suhu 640 oC garis Z = 1 menyinggung kurva
Z-P pada P = 0 dan pada selang tekanan yang cukup besar harga Z tidak banyak berbeda dari
satu, sehingga pada kondisi ini gas praktis bersifat ideal. Suhu tersebut disebut dengan
Temperature Boyle (TB).

8
Gambar 1.3 : Hubungan harga Z dengan P untuk gas CH4 pada berbagai suhu.
Sumber : Castellan, Gilbert W., 1983.
Suhu Boyle dari berbagai jenis gas tertera pada Tabel 1.1:
Tabel 1.1 Temperature Boyle beberapa jenis Gas.
Jenis Gas He H2 N2 Udara O2 CH4
TB 24 107 324 347 423 640
Sumber: Castellan, Gilbert W., 1983.
I. 4. 2. Persamaan Gas Van Der Waals
Karena gas nyata selalu menyimpang dari sifat-sifat ideal, banyak usaha-usaha untuk
mendapatkan persaman keadaan yang menyatakan hubungan antara P, V, dan T.
Van der Waals memperhitungkan volum yang ditempati molekul-molekul gas dan gaya tarik
antara molekul-molekul ini. Kalau V adalah volum dari n mol gas dan b volum efektif dari 1
mol gas, maka volum yang bebas dari gas tersebut adalah (V – nb) dan ini adalah volum gas
ideal.
Karena molekul saling tarik menarik, maka tekanan gas yang terlihat lebih kecil
daripada tekanan gas ideal. Kalau P’ besarnya pengurangan tekanan maka:
P = Pi – P’
Pi = P + P’
Pi adalah tekanan gas ideal, sehingga persamaan gas menjadi:
Pi Vi = nRT
(P + P’)(V – nb) = nRT
Besarnya faktor koreksi P’ oleh Van der Waals dinyatakan sebagai

9
n2 a
P’ =
V2
Harga konstanta a dan b tergantung dari jenis gasnya tetapi tidak tergantung pada tekanan dan
suhu. Rumus yang dinyatakan oleh Van der Waals adalah:
n2 a
(P + ) (V – nb) = nRT (1.12)
V2
Contoh soal.
2 mol gas NH3 pada 27 oC volumnya 5 liter. Bila harga a = 4,17 atm l2 mol-2 dan b =
0,0371 liter per mol, berapa besarnya tekanan gas tersebut?
Penyelesaian:
n2 a
(P + ) (V – nb) = nRT
V2

nRT n 2a
P= 
V  nb V 2

2(0,08205)(300) 2 2 ( 4,17)
P= 
5  2(0,0371) 52

P = 9,33 atm.
Bila kita menggunakan persamaan gas ideal maka didapatkan harga P = 9,86 atm. Untuk gas-
gas yang stabil pada suhu kamar, jadi jauh diatas suhu kritis a berharga kecil, jadi gaya tarik
antar molekulnya kecil. Sebaliknya untuk gas-gas yang mudah dicairkan, a berharga besar
yang berarti gaya tarik antar molekulnya besar juga.
I. 5. Keadaan kritis
Bila air diletakkan pada bejana tertutup maka air mempunyai tekanan uap tertentu,
dan tekanan ini besarnya tergantung pada suhu. Misalnya P 25oC = 23,76 mm Hg, pada 100 oC
= 760 mm Hg. Kalau suhu dinaikkan terus maka tekanan uap juga akan bertambah, tetapi
selalu ada kesetimbangan antara :
AIR  UAP.
Pada suhu 374,4 oC, batas antara air dan uap akan hilang. Air dalam keadaan ini disebut ada
pada titik kritis. Demikian juga zat cair yang lain bila dipanaskan pada bejana tertutup, akan
mengalami peristiwa yang sama. Suhu pada titik kritis disebut Suhu kritis (T C), tekanannya
disebut tekanan kritis (PC) dan volume nya disebut volume kritis (VC).
Contih : Untuk air TC = 374,4 oC, PC = 219,5 mm Hg, dan VC = 58,7 cc/mol.
I. 5. 1 Hubungan P-V-T Cairan dan gas

10
Hubungan P-V-T antara cairan dan gas mula-mula ditemukan oleh Andrews untuk
Carbon Dioksida, dia mengukur variasi volume CO2 dengan tekanan pada suhu tetap. Isoterm
gas nyata berbeda dengan gas ideal, terutama pada temperatur rendah, seperti terlihat pada
gambar 1.4 . Pada suhu (13 oC)dan tekanan rendah, misalnya pada titik A, karbon dioksida
berada sebagai gas. Bila tekanan dinaikkan pada suhu tetap, maka volume akan berkurang
sesuai dengan kurva AB. Pada B gas mulai mencair dan selama pencairan ini tekanan gas
(sama dengan tekanan uap CO2 cair pada suhu yang bersangkutan) tidak berubah.

Gambar 1.4 : Isoterm gas CO2 pada kondisi disekitar titik kritis.
Sumber : Borrow, Gordon M., 1979.

Pada titik C semua gas sudah mencair. Kenaikkan tekanan yang sangat besar sesudah
titik ini (kurva CD) diikuti dengan penurunan volume yang kecil, disebabkan cairan sulit
untuk dimampatkan. Perubahan pada suhu yang lebih tinggi, misalnya pada 21,5 oC
memperlihatkan pola perubahan yang sama kecuali bahwa titik-titik B dan C lebih berdekatan
kedudukannya. Pada suhu 31,1 oC kedua titik ini berimpit, sedangkan diatas suhu ini tidak
terdapat lagi bagian yang datar pada isoterm gas CO2. Hal ini berarti bahwa diatas suhu 31,1
o
C karbon dioksida tidak dapat dicairkan sekalipun pada tekanan yang tinggi. Suhu ini
disebut Temperatur kritis (Tc) dan titik adalah titik kritis. Tekanan dan Volume pada titik
kritis disebut sebagai Tekanan kritis (Tc) dan Volume kritis (Vc).
Makin tinggi suhu diatas suhu kritis garis isoterm ini makin mirip dengan isoterm gas
ideal, misalnya pada suhu 48,1 oC. Gas dan cairan hanya dapat ditemukan bersama-sama pada

11
daerah dibawah kurva C-K-B. Diagram seperti gambar 1.4 sangat penting dalam proses
pencairan gas.
I. 5. 2. Isoterm Persamaan Van der Waals
Untuk satu mol gas, persamaan Van der Waals dapat dinyatakan :
RT a
P 
V - b V2

Dari harga-harga a dan b, hubungan P – V untuk setiap suhu dapat dihitung. Hasil
perhitungan ini untuk gas CO2 dapat dilihat pada gambar 1.5.
Pada umumnya isoterm-isoterm ini mirip dengan yang diperoleh dari eksperimen, misalnya
isoterm pada 50 oC serupa dengan isoterm pada 48,1 oC. Akan tetapi dibawah suhu kritis,
kurva menunjukkan koeksistensi antara uap dengan cairan, bukan merupakan garis lurus
melainkan kurva berbentuk S, misalnya pada 13 oC. Bila gas dimampatkan pada suhu ini
seharusnya terjadi kondensasi pada titik A. Pada kondisi tertentu kondensasi ini dapat
dihindarkan dan tekanan gas melampaui tekanan kesetimbangan yang sesuai dengan suhu ini.

Gambar 1.5. Perbandingan kurva PV untuk persamaan Van der waals dengan hasil
eksperimen untuk gas CO2.
Sumber : Borrow, Gordon M., 1979.

Bagian kurva AA’ yang menyatakan uap lewat jenuh merupakan keadaan meta stabil, dapat
terealisasi dengan cara penurunan tekanan secara perlahan-lahan. Bagian kurva A’B’C’ tidak
dapat diwujudkan secara eksperimen.

I. 5. 3. Evaluasi Tetapan Van der Waals

12
Pada gambar 1.5 titik kritis K merupakan titik belok pada kurva P – V, karena itu
berlaku :
 P    2P 
   0 dan  2   0
 V  T  V  T

Persaman gas Van der Waals untuk satu mol gas pada titik kritis :
RTc a
Pc  - 2
Vc - b Vc

 Pc   RTc 2a
     0
 Vc
2
 Tc (Vc  b) Vc3

  2 Pc 
    RTc  6a  0
 V 2  3
Vc4
 c  Tc (Vc  b)
Dari ketiga persamaan tersebut didapatkan harga-harga :
a = 3 Vc2 Pc (1.13)
b = 1/3 Vc (1.14)
8 Pc Vc
R= (1.15)
3 Tc

I. 6. Hukum Keadaan Berhubungan


Bila harga-harga a, b dan R tersebut disubstitukan ke persamaan Van der Waals maka :
RT a
P  2
V-b V

8 Pc Vc T 3 Pc Vc2
P 
 1 
3 Tc  V - Vc  V2
 3 
P 8 (T/Tc ) 3
 
Pc 3(V/Vc )  1 (V/Vc ) 2

(1.16)
P V T
Besaran-besaran , dan masing-masing disebut tekanan tereduksi PR, Volume
Pc Vc Tc

tereduksi VR dan suhu tereduksi TR. Apabila persamaan Van der Waals dinyatakan dalam
besaran tereduksi , maka didapatkan persamaan :
8 TR 3
PR   (1.17)
3 VR  1 VR 2

13
Pesamaan ini harganya tidak tergantung pada tetapan-tetapan yang nilainya tertentu sesuai
dengan jenis zatnya, oleh karena itu persamaan ini mestinya berlaku untuk semua gas.
Persamaan tersebut adalah suatu pernyataan matematis dari hukum keadaan sehubungan,
yang menyatakan bahwa bila dua zat atau lebih mempunyai tekanan tereduksi (P R) dan suhu
(TR) tereduksi sama, maka volume tereduksinya (VR) harus sama pula. Hukum kedaan
sehubungan tidak berlaku secara eksak tetapi hanya digunakan sebagai pendekatan saja.
Tabel 1. 2 : Hukum keadaan sehubungan
PR = 0,08846 dan TR = 0,75 – 0,74

Zat VR
Cairan Uap
C6H6 0,4065 28,3
n- pentana 0,4061 28,4
n-0ktana 0,4006 29,3
Dietil eter 0,4030 28,3
Metil formiat 0,4001 29,3
CCl4 0,4078 27,5
SnCl4 0,4031 27,2
C6H5F 0,4078 28,4

Dari eksperimen pendekatan harga Z merupakan fungsi dari PR dan TR.


Z = f (PR , TR)
Berdasarkan fungsi ini disusun suatu diagram Z terhadap P R pada berbagai suhu tereduksi.
Diagram ini sering dipergunakan untuk menentukan nilai faktor daya mampat dalam
perhitungan volume, jumlah mol, tekanan atau suhu gas.

14
Gambar 1. 6 : Faktor kompresibilitas sebagai fungsi TR dan PR.
Sumber : Castellan, Gilbert W., 1983

15
BAB II
HUKUM PERTAMA TERMODINAMIKA

2.1 SISTEM DAN LINGKUNGAN


Sistem didefinisikan sebagai suatu zat atau campuran zat-zat yang dipelajari sifat-
sifatnya pada kondisi yang dapat diatur, dan segala sesuatu yang berada diluar sistem disebut
lingkungan.
Antara sistem dan lingkungannya dapat terjadi pertukaran energi atau materi.
 Sistem tersekat : sistem dan lingkungan tidak dapat mempertukarkan energi maupun
materi. Sistem dengan energi tetap, walaupun didalamnya dapat terjadi perubahan
energi dari satu bentuk ke bentuk yang lain.
 Sistem tertutup : sistem dan lingkungan hanya dapat mempertukarkan energi.
 Sistem terbuka : sistem dan lingkungannya dapat mempertukarkan baik energi
maupun materi.
Suatu sistem dalam keadaan tertentu apabila semua sifat-sifatnya mempunyai harga tertentu
dan tidak berubah dengan waktu. Keadaan sistem ditentukan oleh sejumlah variabel atau
parameter sistem, misalnya suhu, tekanan, jumlah mol, volum, komposisi dan sebagainya.
Variabel yang harganya hanya tergantung pada keadaan sistem dan tidak tergantung pada
bagaimana keadaan itu tercapai disebut fungsi keadaan.
Contoh : suhu, tekanan, volum, energi dalam dan entropi
V = f (P, T, n).
Diferensial dari suatu fungsi keadaan adalah diferensial total. Bila x adalah fungsi keadaan
maka dx sebagai diferensial total, yang mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
2
1.  dX = X2 – X1
1

2.  dX = 0
3. x = f (y, z)
dx = (∂x/∂y)z dy + (∂x/∂z)y dz.

2. 2 Perubahan Keadaan
Jika suatu sistem mengalami perubahan keadaan, maka perubahan sistem ini sudah
tertentu jika keadaan awal dan akhir sistem diketahui. Urutan keadaan yang dilalui sistem
dalam perubahannya disebut jalannya perubahan sedangkan jalannya perubahan yang

16
berlangsung melalui jalan yang sudah ditentukan dinamakan proses. Secara garis besar proses
dibedakan: Proses reversibel dan tidak reversibel.
Suatu proses dikatakan sebagai proses yang reversibel bila memenuhi syarat sebagai
berikut:
1. Proses itu dapat dibalikkan arahnya sewaktu-waktu dan setiap keadaan antara yang
telah dilalui oleh sistem akan dilalui lagi dengan arah yang berlawanan.
2. Proses tersebut harus berlangsung sedemikian lambat, sehingga setiap keadaan antara
yang dilalui oleh sistem dapat dianggap berada dalam keseimbangan. Hal ini hanya
mungkin terjadi jika setiap saat gaya penentang proses tak terhingga lebih kecil dari
pada gaya penggerak proses.
Contoh proses reversibel dapat dilihat pada sejumlah gas yang berada dalam tabung silinder
dan dilengkapi dengan penghisap. Gas memuai dari volume awal V 1 sampai volume akhir V2,
gaya penggerak dari proses ini adalah tekanan gas P sedangkan gaya penentangnya adalah
tekanan luar Pℓ.

V1  V2

GAS,
tek = P Pℓ

Bila proses pemuaian berjalan secara reversibel, maka setiap saat harus berlaku P ℓ = P – dP,
dimana dP adalah bilangan yang tak terhingga kecil. Untuk proses sebaliknya yaitu proses
pemampatan gas dari V2 ke V1 akan berlaku Pℓ = P + dP, maka setiap proses yang tidak
memenuhi persyaratan tersebut berarti proses tidak reversibel.
Pada kenyataannya proses reversibel ini tidak ditemukan, tetapi ada sejumlah proses yang
dapat dianggap reversibel. Misalnya pada proses perubahan fasa yang terjadi pada suhu
transisinya. Contohnya pada proses penguapan air pada titik didihnya, dengan tekanan 1 atm,
pada kondisi ini fasa cair dan gas berada dalam kesetimbangan dan bila perubahan
berlangsung cukup lambat maka prosesnya dapat dianggap reversibel.
P = 1 atm
H2O (ℓ) ------------------ H2O (g)
T = 100 oC

17
2. 3. Hukum Pertama Thermodinamika
2. 3. 1 Kalor dan Kerja
Kalor (q): energi yang dipindahkan melalui batas-batas sistem sebagai akibat
langsung dari perbedaan suhu antara sistem dan lingkungannya.
Perjanjian :
 q: positif jika kalor masuk sistem.
 q: negatif jika kalor keluar dari sistem.
Jumlah kalor yang dipertukarkan antara sistem dan lingkungannya tergantung pada cara
berlangsungnya perubahan keadaan sistem. Kalor sebagai suatu bentuk energi, hanya
mempunyai arti pada suatu perubahan, maka tidaklah benar jika menyatakan suatu sistem
dalam keadaan tertentu mempunyai sejumlah kalor. Kalor hanya muncul pada waktu
suatu sistem mengalami perubahan keadaan.
Kerja (W): energi dan bukan kalor yang dipertukarkan antara sistem dengan
lingkungannya pada suatu perubahan keadaan.
Perjanjian :
 W positif bila lingkungan melakukan kerja terhadap sistem, misalnya proses
pemampatan gas.
 W negatif bila sistem melakukan kerja terhadap lingkungan, misalnya proses
pemuaian gas terhadap atmosfer.
Salah satu bentuk kerja yang penting adalah kerja yang berhubungan dengan penambahan
volume sistem yaitu kerja ekspansi atau kompresi bila terjadi pengurangan volume.

V1  V2

GAS,
A tek = P Pℓ

X dX

Sejumlah gas berada dalam sebuah silinder yang dilengkapi dengan penghisap, luas
penampang silinder = A. Bila penghisap digerakkan sepanjang jarak dX terhadap tekanan
luar sebesar Pl maka besarnya kerja yang dilakukan oleh gas dapat dihitung sebagai
berikut :

18
Luas penampang penghisap : A
Tekanan luar : Pl
Jarak : dx
Kerja = gaya * jarak
dW = - Pl * A * dx
dW = - Pl * dV (persamaan untuk menentukan besarnya Kerja)
dV = perubahan volum yang terjadi pada proses
tanda (-) karena kerja dilakukan oleh gas.
Bila volume berubah dari V1 ke V2 maka persamaan tersebut dapat diintegralkan :
V2
W=   P dV (2.1)
V1

Harga integral dapat dihitung apabila Pl dinyatakan sebagai fungsi Volume, tetapi pada
umumnya fungsi ini tidak diketahui.
Beberapa keadaan khusus :
1. Pl = 0 : gas memuai terhadap vakum
Pada kondisi ini W = 0, proses ini disebut ekspansi bebas.

2. Pl harganya tetap, artinya gas memuai pada tekanan atmosfir yang tetap.
V2
W=   P dV = - Pl (V2 – V1)
V1

W = - Pl ΔV
3. Proses pemuaian reversibel : Pl = P – dP
V2
W=   (P  dP ) dV
V1

V2 V2
W=   P dV   dP dV
V1 V1

V2 V2
Karena harga :  dP dV <<  P dV sehingga harganya dapat diabaikan, maka
V1 V1

:
V2
Wrev =   P dV
V1

P = Tekanan gas
Untuk gas ideal berlaku PV = nRT maka :
19
V2
dV V2
Wrev =   nRT V
=  nRT ln
V1
V1

Perhitungan kerja maksimum pada ekspansi isotermal gas Van Der Waals adalah:
V2
 RT a 
Wrev =     2  dV
V b V 
V1

V2  b  1 1 
Wrev = - RT ln  a   
V1  b  V1 V2 
2. 3. 2 Energi dalam dan perubahan energi dalam.
Setiap sistem mempunyai sejumlah energi yang merupakan jumlah dari berbagai
bentuk energi dan energi potensial yang terdapat dalam sistem tersebut. Bentuk energi antara
lain: energi rotasi, translasi, vibrasi elektron dan sebagainya, energi ini disebut dengan
Energi dalam (U). Besarnya energi dalam tidak diketahui, energi dalam hanya tergantung
pada keadaan sistem dan tidak tergantung pada jalannya perubahan sistem. Pada keadaan
tertentu, energi dalam sistem tertentu pula.
Bila sistem mengalami perubahan keadaan dari keadaan 1 (energi dalam = U 1)
ke keadaan 2 (energi dalam = U2), maka besarnya perubahan energi dalam dapat dinyatakan:
∆U = U2 – U1.
Berbeda dengan energi dalam, perubahan energi dalam dapat ditentukan melalui percobaan
atau perhitungan.

2. 3. 3 Hukum pertama Termodinamika.


Bila dalam suatu perubahan, sistem menyerap sejumlah kecil panas sebesar dq dan
melakukan kerja sebesar dW maka sistem akan mengalami perubahan energi dalam (dU)
sebesar :
dU = dq + dW
2 2 2

 dU   dq +  dW
1 1 1

U2 – U1 = ΔU = q + W
Persamaan tersebut adalah bentuk matematik dari hukum Termodinamika I, hukum ini tidak
lain adalah hukum kekekalan energi yang menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan
dan tidak dapat dihancurkan. Sistem dapat menukarkan energi dengan lingkungannya tetapi
energi total sistem adalah tetap. Energi total sistem adalah energi sistem ditambah dengan
energi lingkungannya.

20
Bila kerja yang dapat dilakukan sistem hanya kerja ekspansi (misalnya pada reaksi
kimia), maka :
dU = dq - Pℓ dV
Bila proses berjalan pada volume tetap dV = 0 maka :
dU = dqv (2.2)
∆U = qv
Artinya perubahan energi dalam (∆U) pada proses volume tetap akan sama dengan besarnya
kalor yang diserap oleh sistem.

2. 4 Entalpi dan perubahan entalpi


Jika reaksi kimia dilaksanakan pada tekanan sistem tetap (P) yang sama dengan
tekanan luar, maka akan berlaku :
∆U = dq – P dV (2.3)
U2 – U1 = qp – P(V2 – V1)
U2 – U1 = qp – PV2 + PV1
Karena P tetap maka P1 = P2 = P
U2 – U1 = qp – P2V2 + P1V1
(U2 + P2V2) = (U1 + P1V1) + qp
Karena U, P dan V adalah fungsi keadaan maka U + PV juga merupakan fungsi keadaan.
Fungsi ini didefinisikan sebagai Enthalpy (H) dan H = U + PV sehingga persamaan tersebut
menjadi :
H2 – H1 = qp
∆H = qp (2.4)
H adalah fungsi keadaan maka perubahan entalpi hanya tergantung pada keadaan awal dan
akhir sistem. Untuk reaksi kimia yang berjalan pada tekanan tetap akan berlaku bahwa kalor
reaksi besarnya sama dengan perubahan entalpi sistem (∆H).

2. 5 Kapasitas Kalor (Kapsitas panas)


Kapasitas kalor didefinisikan sebagai perubahan energi sistem terhadap perubahan
suhu.
dq
C= (2.5)
dT
Energi dalam (U) dapat ditinjau sebagai fungsi suhu dan volume :
U = f (T, V) (2.6)

21
 U   U 
dU =   dV    dT (2.7)
 V  T  T  V

Hukum Termodinamika I :
dU = dq – P dV
dq = dU + P dV (2.8)
Bila dU persamaan (2.7) disubstitusikan ke persamaan (2.8)
 U   U 
dq =   dV    dT + P dV
 V  T  T  V

 U    U  
dq =   dT +  P    dV (2.9)
 T  V   V  T 

Persamaan ini menunjukkan banyaknya kalor yang diserap tergantung pada perubahan suhu
maupun perubahan volume.
Bila proses pada volume tetap maka :
 U 
dq =   dT (2.10)
 T  V

dq v  U 
   = Cv (2.11)
dT  T  V
Cv adalah kapasitas panas pada volume tetap, suatu besaran termodinamika dengan satuan
satuan energi (kalori, joule) per derajat K per mol.
T2
∆U =  Cv dT (untuk 1 mol gas)
T1

(2.12)
Entalpi merupakan fungsi suhu dan tekanan :
H = f (P, T)
 H   H 
dH =   dP    dT (2.13)
 P  T  T  P

Bila proses berjalan pada tekanan tetap maka : dP = 0 dan dH = dqp


 dH   dq p   H 
    
  T   Cp (2.14)
 dT  P  dT  P

Cp adalah kapasitas kalor pada tekanan tetap.


Proses perubahan suhu dari T1 ke T2 untuk 1 mol gas pada tekanan tetap berlaku :
T2
∆H =  Cp dT (2.15)
T1

22
Untuk gas harga Cp selalu lebih besar dari harga Cv karena proses pada tekanan tetap
sebagian panas yang dihisap akan digunakan untuk ekspansi sedangkan proses pada volume
tetap semua panas hanya digunakan untuk menaikkan suhu.
Hubungan Cp dan Cv dapat dijelaskan sebagai berikut:
 H   U 
Cp – Cv =      (2.16)
 T  P  T  V

Persamaan (2.9) :
 q p   U    U    V 
  =   +  P     
 T


  T  V   V  T   T  P

 H   U    U    V 
  =   +  P     
 T  P  T  V   V  T   T  P

Bila persamaan ini disubstitusikan ke persamaan (2.16) maka :


 
 U    V 
Cp – Cv =  P      (2.17)
  V  T   T  P

 U 
Harga   ditentukan dengan percobaan Joule sebagai berikut :
 V  T

Dua buah botol yang dihubungkan dengan kran dimasukkan kedalam suatu bejana
yang berisi cairan, diaduk dan diisolasi (q =0). Botol pertama disi degan gas dan botol kedua
divakumkan. Bila telah terjadi kesetimbangan suhu antara gas dan cairan (pada T tertentu)
maka kran dibuka, gas akan mengalir dari botol pertama ke botol kedua. Pada perubahan ini
Joule menemukan tidak ada perubahan suhu cairan sehingga dT = 0. Karena gas memuai
terhadap vakum maka harga dW = 0.
dU = dq + dW = 0
 U   U 
dU =   dV    dT = 0
 V T  T  V

 U 
Karena dV ≠ 0 maka   = 0.
 V  T

Dengan kata lain Energi gas tidak tergantung pada volume jika proses berjalan pada suhu
tetap. Persamaan (2.17) menjadi :
 V 
Cp – Cv = P  
 T  P

23
Pengaduk Termometer

Cairan

V1 V2

 V  R
Untuk gas ideal PV = nRT maka   , sehingga
 T  P
R
Cp – Cv = P
P
Cp – Cv = R.

24
25

Anda mungkin juga menyukai