Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

KAJIAN ARGUMENTASI PEMIKIRAN DUALISME DALAM PENDIDIKAN


JASMANI

DISUSUN OLEH:

NAMA : ARIANSYAH

NIM : 1904060014

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA (UNU)

MATARAM

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul" KAJIAN
ARGUMENTASI PEMIKIRAN DUALISME DALAM PENDIDIKAN JASMANI.
makalah ini dibuat sebagai media untuk menambah wawasan pengetahuan demi
tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami
kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah karate . Oleh karena itu,
penulis berharap dengan adanya makalah ini, kita sebagai mahasiswa dapat
mengetahui kajian dualisme .
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah yang
penulis buat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi penyempurnaan
makalah ini penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.

Mataram, Oktober 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENAGANTAR. ...................................................................................... i


DAFTAR ISI........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah. .................................................................................... 2
C. Tujuan. ...................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN/ ISI


A. Pengertian Dualisme.................................................................................3
B. Sejarah Dualisme...................................................................................... 4
C. Dualisme Pendidikan............................................................................... 8

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan ................................................................................................ 14
B. Penutup ...................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi
penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan
melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di
dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur
budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam literature
ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu keseluruhan
sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti kunci pokok dari kehidupan
manusia itu terletak dari adanya proses belajar.
Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu
menjadi ranah selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam
diskursus mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari
perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak ada
seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita ini
adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial Belanda turut
membentuk wajah pendidikan Indonesia. Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial
sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang
mengakar kuat.Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta,
umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan
menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis
pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.
Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative
baru (kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme lembaga
pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah
agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak
tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia,
misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam untuk
urusan agama. Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sudah tidak
bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di Indonesia

1
mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan yang masih rendah bila
dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti Vietnam. Begitupula tentang
kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin meningkat dari
tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini
tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas
pendidikan dan penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.

1.2 Rumusan Mashalah


Untuk mengkaji dan mengulas tentang Filsafat olah Raga ( Dualisme ), maka
diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Pengertian dari dualisme Dualisme
b. Mengkaji sejarah dualisme
c. Mengkaji tentang dualisme pendidikan Dalam jasmanai
d. Untuk mengetahui integrasi pendidikan Agama Dan Umum

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Olahraga.
b. Untuk mengetahui pengertian Dualisme.
c. Untuk mengetahui darimana sejarah dualisme itu
d. Untuk mengetahui Dualisme Pendidikan Jasmani
e. Untuk mengetahui integrasi pendidikan Agama Dan Umum

2
BAB II
PEMBAHASAN/ISI
2.1 Pengertian Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam
pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim
bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik.
Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak
zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa
yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat,
dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari budi atau jiwa)
tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René
Descartes (1641), yang berpendapat bahwa budi adalah substansi nonfisik. Descartes
adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas budi dengan kesadaran dan
membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang
pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada
[4]
sekarang. Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme,
termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan
semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis
materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-
emergent.
Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas
dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat
itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara
keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang
adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia. Konsep
Dualisme adalah Perbedaan antara bangsa kaya dan miskin, perbedaan antara
berbagai golongan masyarakat yang semakin meningkat. Pengertian dualisme itu
sendiri dapat diartikan sebagai adanya dua sistem yang sangat berbeda dan kedua-
duanya wujud secara berdampingan.

3
2.2 Sejarah Dualisme
Dua dari pandangan kuno dari pertanyaan ini telah diubah sebagai filosofi Pra-
Socratic: “dualisme” muncul dalam ajaran Phitagorean tentang perpindahan jiwa, dan
“kebendaan” hadir seperti posisi falsafah sebagai “atomisme” Democritus. Penganut
paham Phytagoras berpegang pada itikad keagamaan bahwa, jiwa, saat kematian,
perpindahan jiwa semata dari jasad yangmereka tempati menjadi tubuh yang lainnya
(terkadangperpindahanterjadi tidak hanya dalam spesies yang sama). In order to hold
this, mereka harus membuat perbedaan yang jelas antara dua hal, antara tubuh dan jiwa.
Walaupun bagi penganut Phitagoras, pengajaran individu adalah kombinasi dari tubuh
dan jiwa, terdapat keyakinan yang sangat penting bahwa pada pandangan ini telah
ditegakkan. Pertama, tubuh dan jiwa dapat dipisahkan. Bahkan, kematian didefinisikan
oleh para penganut Phitagoras adalah pemisahan jiwa dari tubuhnya (maka jiwanya
kini “bebas” dari tubuhnya, dan dapat berpindah pada yanglain). Yang kedua, memberi
pemisahan, orang yang “nyata” adalah bukan tubuhnya melainkan jiwanya, jiwanya
adalah dimensi utama dalam “personalitas” orang tersebut.
Plato menghibur dan melewati posisi dualis dalam dialognya, The phaedo, yang
menghadirkan Socrates, di hari kematiannya, dia membujuk peserta yang hadir
(kebanyakan adalah penganur Phytagorea itu sendiri) bahwa dia tidak benar-
benar akan mati, kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh dan pembebasan
jiwa dari tubuh kemudian akan menju ke dunia yang lebih “tinggi”.Ketika komunitas
Kristen berkembang, mereka merebut padangan dualisme diatas sebagai dasar filsafat
untuk titik berat setelah kehidupan mereka. Sejak pembuktian bahwa tubuh tidak hidup
setelah mati berlimpah, kepercayaan kehidupan setela mati dapat bertumpu pada
pendapat bahwa ada sesuatu yang lain pada orang tersebut, jiwanya, yang telah lepas
dari tubuhnya, tidak lagi membutuhkan tubuhnya, karena itu jiwa akan tetap hidup
setelah kematiannya. Ditambah lagi keutamaan bahwa jiwa tersebut adalah “orang
yang tepat”. Jauh lebih penting dari tubuh dalam penentuan dirinya dan takdirnya.
DUALISME Dua dari pandangan kuno daripertanyaan ini telah diubah sebagai
filosofi Pra- Socratic: “dualisme” muncul dalam ajaran Phitagorean tentang
perpindahan jiwa, dan “kebendaan” hadir seperti posisi falsafah sebagai “atomisme”
Democritus. Penganut paham Phytagoras berpegang pada itikad keagamaan bahwa,

4
jiwa, saat kematian, perpindahan jiwa semata dari jasad yang mereka tempati menjadi
tubuh yang lainnya (terkadang perpindahan terjadi tidak hanya dalam spesies yang
sama). In order to hold this, mereka harus membuat perbedaan yang jelas antara dua
hal, antara tubuh dan jiwa. Walaupun bagi penganut Phitagoras, pengajaran individu
adalah kombinasi dari tubuh dan jiwa, terdapat keyakinanyang sangat penting bahwa
pada pandangan ini telah ditegakkan. Pertama, tubuh dan jiwa dapat dipisahkan.
Bahkan, kematian didefinisikan oleh para penganut Phitagoras adalah pemisahan jiwa
dari tubuhnya (maka jiwanya kini “bebas” dari tubuhnya, dan dapat berpindah pada
yang lain). Yang kedua, memberi pemisahan, orang yang “nyata” adalah bukan
tubuhnya melainkan jiwanya, jiwanya adalah dimensi utama dalam “personalitas”
orang tersebut.Plato menghibur dan melewati posisidualis dalam dialognya, The
phaedo, yang menghadirkan S ocrates, di hari kematiannya, dia membujuk peserta
yang hadir (kebanyakan adalah penganur Phytagorea itu sendiri) bahwa dia tidak
benar benar akan mati, kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh dan pembe
basan jiwa dari tubuh kemudian akan menju ke dunia yang lebih“tinggi”. Ketika kom
unitas Kristen berkembang, mereka merebut padangan dualisme diatas sebagai dasar
filsafat untuk titik berat setelah kehidupan mereka. Sejak pembuktian bahwa tubuh
tidak hidup setelah mati berlimpah, kepercayaan kehidupan setela matidapat
bertumpu pada pendapat bahwa ada sesuatu yang lain pada orang tersebut,jiwanya, ya
ng telah lepas dari tubuhnya,tidak lagi membutuhkan tubuhnya , karena itu jiwa akan
tetap hidup setelah kematiannya. Ditambah lagi keutamaan bahwa jiwa tersebut adala
h “orang yang tepat”. Jauh lebih penting dari tubuh dalam penentuan dirinya dan
takdirnya.

2.2.1 Adapun macam dari dualisme itu sendiri adalah :


a. Dualisme Sosial
Dikemukakan oleh profesor Boeke, yang mengatakan bahwa di dalam suatu
masyarakat mungkin terdapat dua sistem sosial yang sangat berbeda. Kedua-duanya
wujud secara berdampingan dimana yang satu tidak dapat sepenuhnya menguasai yang
lainnya. Sistem sosial yang satu modern sedang yang lainnya tradisional. Sistem sosial
yang lebih modern ini terutama berasal dari negara-negara barat.

5
b. Dualisme Teknologi
Dalam menelaah mengenai dualisme di negara berkembang dua ahli ekonomi
yaitu Higgins dan Myint telah melakukan suatu studi tentang dualisme ini. Higgins
menekankan kepada adanya dualisme di bidang teknologi. Yang dimasud dengan
dualisme teknologi adalah suatu keadaan dimana di dalam sesuatu bidang kegiatan
ekonomi tertentu digunakan teknik memproduksi dan organisasi produksi yang sangat
berbeda sekali coraknya, dan mengakibatkan perbedaan yang besar sekali dalam
tingkat produktivitas.

c. Dualisme Finansial
Sedang Myint lebih banyak menyoroti masalah lembaga keuangan di negara
berkembang. Analisa Myint mengenai pasar yang yang melahirkan adanya dualisme
finansiil. Pengertian itu dapat dijelaskan dalam dua golongan yaitu : a) adanya pasar
uang yang memiliki organisasi yang sempurna (organized money market), b) adanya
pasar uang yang tidak terorganisir sama sekali (unorganization money market).
Untuk pasar uang yang pertama meliputi Bank-bank komersiil dan Badan-
badan keuangan lainnya. Hal ini terutama terdapat dikota-kota besar dan pusat-pusat
perdagangan. Sedang pasar uang jenis yang kedua adalah bentuk pasar uang yang
bukan berbentuk institusional terdiri dari tuan-tuan tanah, pedagang-pedagang
perantara. Biasanya pasar uang jenis ini sangat menonjol untuk daerah pedesaan yang
terkenal dengan renternir dan sistem ijon. Adanya kebutuhan yang mendesak akan
uang mengakibatkan cara tersebut yang mudah dijangkau oleh masyarakat di pedesaan.
d. Dualisme Regional
Pada tahun 1960 an banyak orang mulai membicarakan mengenai masalah
dualisme regional. Yang dimaksud dengan dualisme regional ini adalah
ketidakseimbangan tingkat pembangunan di berbagai daerah dalam suatu negara.
Akibat dari ketidakseimbangan dalam pembangunan mengakibatkan adanya jurang
perbedaan tingkat kesejahteraan antar berbagai daerah dan selanjutnya menimbulkan
masalah sosial dan politik. Sebagai contoh misal dualisme antara kota dengan desa,
dualisme antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah.

6
Adanya berbagai macam tersebut jelas kurang menguntungkan bagi
pembangunan, sebab akibat yang dapat ditimbulkan dapat berupa ada perbedaan yang
menyolok antara golongan kaya dan miskin dimana perbedaan ini semakin lama
semakin melebar dengan distribusi pembagian pemerataan pendapatan menjadi
timpang. Di samping itu kemajuan di bidang teknologi juga akan memberikan
pengaruh terhadap tingkat kesempatan kerja yang ada. Dualisme teknologi melahirkan
akibat buruh terhadap lajunya pembangunan dan kaharmonisan proses pembangunan.

2.2.2 Faktor penghambat pembangunan dualisme


4 Unsur pokok Konsep Dualisme :
a. Dua keadaan yg berbeda : Superior dan inferior
b. Kenyataan hidup perbedaan bersifat kronis dan bukan transisional.
c. Derajat superioritas atau inferioritas terus meningkat
d. Keterkaitan antar unsur berpengaruh kecil.

2.2.3 Kelemahan Teori dualisme.


1.Mengenai sumber hukum yang berbeda, kelemahan pendirian kaum dualis
tidak dapat dilepaskan dari pada kelemahan teori dasar mereka bahwa sumber segala
sumber hukum itu baik hukum internasional maupun hukum nasional adalah kemauan
negara. Hukum itu berlaku dan ada karena negara.Hal yang sama berlaku pula bagi
masyarakat internasional. Jadi adanya hukum dan daya ikat hukum tidak bersumber
kepada kemauan negara, melainkan merupakan prasyarat bagi kehidupan manusia
yang teratur dan beradab dan karenanya disebabkan oleh kebutuhan kehidupan
manusia bermasyarakat yang hakiki yang tidak dapat dielakkan. Dengan demikian
maka tidak tepat pula untuk berbicara berlainnya sumber dari pada hukum itu karena
pada hakekatnya sumbernya adalah sama yakni kebutuhan manusia untuk hidup secara
teratur.
2. Berlainnya subjek hukum dan pada hukum nasional dan hukum internasional
juga kurang rnenyakinkan. Karena argumentasi kaum dualis ini dibantah oleh
kenyataan bahwa di dalam satu lingkungan hukum, katakanlah hukum nasional pun
dapat saja terjadi bahwa subjek hukum itu berlainan. Karenanya di dalan hukum

7
nasional ada pembagian hukum antara hukum perdata dengan hukum publik.
Sebaliknya tidak pula benar untuk mengatakan bahwa subjek hukum internasional
adalah negara karena perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa individu atau
orang-perorangan pun bisa menjadi subjek hukum internasional
3. Berbedanva struktur hukum nasional dan hukum internasional juga kurang
tepat, karena di sini letak perbedaan tidaklah bersumber pada perbedaan hakiki atau
azasi (prinsipil) melainkan perbedaan yang gradual. Dengan perkataan lain apa yang
dinamakan perbedaan strukturil itu hanya merupakan bentuk perwujudan atau gejala
saja pada taraf integrasi yang berlainan dan pada masyarakat nasional dan masyarakat
internasiona1.
4. Pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional, tidak
dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktek sering
kali hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional.
Kenyataan bahwa ada kalanya hukum nasional yang berlaku bertentangan dengan
hukum internasional, bukan merupakan bukti dari pada perbedaan strukturil seperti
dikatakan kaum dualis, melainkan hanya bukti dan kurang efektifnya hukum
internasional

2.3 DUALISME PENDIDIKAN


Sebelum menjelaskan bagaimana dualisme pendidikan yang berkembang di
Indonesia, terlebih dahulu akan dijelaskan makna dari dualisme tersebut, sehingga
dengan memberikan penjelasan makna dualisme tersebut diharapkan akan memberikan
pemahaman yang utuh.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme adalah dua
prinsip yang saling bertentangan . Selanjutnya secara terminologi dualisme dapat
diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan.
Selanjutnya kata dualisme sangat erat hubungannnya dengan kata dikotomi yang
didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan, secara
terminologi dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang
kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti
dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam.

8
2.3.1 Penjelasan Dualisme Pendidikan Jasmani
Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki
makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada
pendidikan adalah adanya pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan umum dan
pendidikan agama, pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang pada akhirnya
melahirkan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara
mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap saling
bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pada dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia
merupakan perjalanan panjang sistem pendidikan yang telah terjadi sebelum Indonesia
meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada saat penjajahan berlangsung.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti sekolah kelas satu yang
dikhususkan untuk anak-anak kaum bangsawan, dengan lama belajarnya lima tahun,
sekolah kelas dua yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendah bagi
kantor pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang
memiliki kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan huruf latin,
latihan bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan menulis ,
kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.
Selain sekolah-sekolah tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh
Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata
pelajaran umum, seperti :

1. Europeesche Lagere School (ELS),yang kurikulumnya meliputi : mata pelajran


memabaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran
lainnya.
2. Hollandsche Chineesche School (HCS), yang kurikulumnya sama seperti kurikulum
ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS) yang merupakan sekolah yang diberikan

9
kepada masyarakat elit Indonesia, yang kurikulum terpenting sekolah ini adalah bahasa
Belanda.
3. Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah lanjutan dari
HIS, kurikulum sekolah ini menekankan kepada pengajaran bahasa Belanda, Prancis,
Inggris, dan Jerman, dalam proses pembelajrannya setengah waktu digunakan untuk
mempelajari bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan alam dan
seperenam untuk ilmu pengetahuan sosial
4. Hoogere Burger School (HBS), yang merupakan sekolah tingkat menengah, yang
kurikulumnya sama seperti kurikulum HBS yang ada di Belanda.
5. Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah yang merupakan menengah lanjutan
dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu bagian A : ilmu pengetahuan
kebudayaan yang terdiri dari A1 bagian kesustraan timur dan A2 bagian klasik barat,
dan bagian B : ilmu pengetahuan kealaman.
Dari gambaran pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut,
maka terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan sistem pendidikan yang diskriminatif,
yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan
yang merata sebagai mobilitas kehidupan, namun juga melarang pengajaran agama di
sekolah-sekolah tersebut yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu saja.
Mengenai larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah
tersebut Mulyanto Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menjelaskan bahwa
pemerintahan Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-
sekolah, ini dinyatakan dalam pasal 179 IS (Indische Staatsregeling), dan dalam
beberapa ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai berikut : pengajaran umum
adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan
agama masing-masing, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah.
Dari penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan
pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda pada waktu itu merupakan pendidikan
yang menekan terutama terhadap masyarakat islam, yaitu penekanan yang dilakukan
pemerintahan Belanda dengan memberlakukan ordonansi guru.
Pemerintahan Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905,
dimana ordonansi tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan

10
memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.
Sedangkan ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya
mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kebijakan pendidikan Belanda yang
memberlakukan ordonansi guru tersebut memberikan penekanan pada masyarakat
muslim pada saat itu, hal ini dilakukan Belanda sebagai usaha untuk meredam
perkembangan pemahaman agama Islam dan sepak terjang guru agama Islam yang
memperluas pengembangan agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Hal ini
dilakukan pihak Belanda bukan tanpa alasan, melainkan kekhawatiran mereka jika
pemahaman agama Islam berkembang maka ini akan dapat melahirkan sebuah gerakan
sosial agama khususnya Islam yang menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang
sekaligus mendorong sikap anti pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati
Djamas menjelaskan bahwa paranoid pemerintahan Belanda terhadap perkembangan
Islam tentu saja sangat beralasan mengingat berbagai perlawanan yang muncul dari
masyarakat Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat keagamaan,
seperti perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur, Cilegon, dan garut
yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda.
Pada saat masyarakat muslim Indonesia merasa tertekan dengan adanya
kebijakan pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang
selain mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah
tersebut dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada saat itu, seperti organisasi
Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah
tersebut bukanlah sekolah agama namun selain mengajarkan pelajaran umum juga
mengajarkan pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan sekolah-
sekolah, seperti MULO met de Qur’an.
Dengan adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam pada saat
itu yang tidak hanya memberikan pengajaran pelajaran-pelajaran umum saja melainkan
juga mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem
pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal
lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda, walaupun
diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memberikan perhatiannya
terhadap pelajaran umum dari pada pelajaran agama, namun terlepas dari hal itu, kita

11
harus menyadari bahwa gebrakan yang dilakukan organisasi-organisasi Islam pada saat
itu merupakan manuver yang luar biasa sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, kelihatannya kebijakan pendidikan
tidak lagi mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada saat itu ada upaya
mengakui pendidikan agama (Islam) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional
yang memiliki hak mendapatkan perhatian dari pemerintahan. Hal ini merupakan
implementasi dari sila pertama Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang
berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila tersebut
pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946, yang
memiliki tugas utamanya adalah mengurusi masalah kehidupan beragama bagi seluruh
masyarakat Indonesia, salah satu diantaranya adalah masalah pendidikan agama.
Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini tidak hanya
terbatas pada sekolah-sekolah agama seperti pesantren dan madrasah, tetapi juga
menyangkut sekolah-sekolah umum.
Selanjutnya Haidar mencatat upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan
agama di sekolah umum telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), diantara usulan badan tersebut kepada
kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk masalah
pengajaran agama madrsah dan pesantren. Mengenai hal ini Haidar juga memaparkan
usul badan pekerja tersebut, sebagaimana yang ia kutip dari Soegarda Poerbakawatja
sebagai berikut :
Pengaajran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga
cukup mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan
golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya.
Tentang cara melakukan ini baiklah kementrian mengadakan perundingan dengan
badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu
alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar
dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan
bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintahan.
Dari penjelasan ini memperlihatkan adanya fakta bahwa pemerintahan
Indonesia ingin mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu sistem dualisme

12
pendidikan, walaupun usaha tersebut belum sepenuhnya memberikan harapan yang
pasti terhadap pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan
pemerintah lainnya terhadap pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah
tersebut dari tahun ke tahun hingga saat ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk
melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum
kemerdekaan.

13
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam
pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim
bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan
raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan
spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato
dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang
(bagian dari budi atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative
baru (kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah). Dulaisme lembaga
pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah
agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak
tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia,
misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam untuk
urusan agama. Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sudah tidak
bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di Indonesia
mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan yang masih rendah bila
dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti Vietnam. Begitupula tentang
kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin meningkat dari
tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini
tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas
pendidikan dan penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.
3.2. PENUTUP

“Sesungguhnya kami hanyalah Muballigh (orang yang menyampaiakan ilmu


Allah S.W.T) dan Allah sajalah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk”.Semoga
kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. Mohonlah selalu
akan petunjuk Alloh “ihdinasshirotol mustaqiim”. Mohon maaf atas segala
kekurangan .

14
DAFTAR PUSTAKA
Satriawan, Caly. (2004). Krisis Identitas dan Lagitimasi Dalam Pendidikan Jasmani
JPJI, Vol 1 No.1

15

Anda mungkin juga menyukai