Kelompok 3
YOGA RUDIANTO
I PUTU AGUS HARYANA
DESAK PUTU EKAYANTI
2.1 Moralitas
Moralitas adalah :
1) pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah,
atau baik dan jahat.
2) Pedoman mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan
yang kita yakini benar atau salah secara moral
3) nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik
atau secara moral buruk
Karakteristik norma moral “bahwa norma moral diutamakan terhadap norma atau
standar yang lain,termasuk kepentingan sendiri
Prinsip moral adalah menghargai manusia yang lain bersangkutan dengan tindakan
yang menguntungkan umat manusia
Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan
objek-objek atau ciri-ciri
objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”.
Norma moral konvensionil ,antara lain :
1) Tidak menyetujui orang berbohong
2) Tidak menyetujui orang mencuri
3) Tidak menyetujui orang membunuh
4) Tidak menyetujui orang berzina
5) Tidak menyetujui orang mabuk / berjudi
6) Dan semua tindakan yg dapat melukai manusia (khususnya )
2.2 Perkembangan Etika menurut Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya (Lawrence Kohlberg).
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia bahwa
logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg
memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan
moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut
selama kehidupan.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam
penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi
tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama.
2. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa.
Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap
ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan
memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari
orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap
peran yang dimilikinya.
Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan
tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran
tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya
dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat,
rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada
hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan
memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka
bermaksud baik.
Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosialkarena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap
tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering
menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme.
Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga
ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.
Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari
yang baik.
3. Pasca-konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri
dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-
individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas.
Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri
mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar
dengan perilaku pra-konvensional. Individu-individu dipandang sebagai memiliki
pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai
relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut memang anda
siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak Sejalan dengan itu, hukum dilihat
sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.
Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap
lima. Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrakmenggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.
Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis.
Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara
hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dariImmanuel Kant.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil
adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud
pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.
2. Utilitarianisme
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi
sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest
number). Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau
tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak dalam mengukur akibat
dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan
atau jumlah ketidakbahagiaan, kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa
yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan
individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan
orang banyak.
3. Deontologi
Paradigma teori deontologi berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme,
yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat
entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat
(utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu
tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka
tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan
hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologiSangat
berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu
tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham
deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya
sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut.
Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau
tidaknya suatu tindakan. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan
demi kewajiban itu sendiri bukan karena keinginan untuk memperoleh tujuan
kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu diperintahkan oleh Tuhan.
Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat pada pengertian manusia
berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti kewajiban moral
mutlak itu bersifat rasional.
Walaupun teori deontologi tidak lagi mengkaitkan kriteria kebaikan moral dengan
tujuan tindakan sebagaimana teori egoisme dan tlitarianisme, namun teori ini juga
mendapat kritikan tajam terutama dari kaum agamawan. Kant mencoba membangun
teorinya hanya berlandaskan pemikiran rasional dengan berangkat dari asumsi bahwa
karena manusiabermartabat, maka setiap perlakuan manusia terhadap manusia lainnya
harus dilandasi olehkewajiban moral universal. Tidak ada tujuan lain selain mematuhi
kewajiban moral demi kewajiban itu sendiri.
4. Teori Hak
Suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut
sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari
deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila
suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama
merupakan kewajibanbagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi
bahwa manusiamempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang
sama.