Anda di halaman 1dari 11

MORALITAS KONVESIONAL DAN TEORI-TEORI ETIKA

Kelompok 3

YOGA RUDIANTO
I PUTU AGUS HARYANA
DESAK PUTU EKAYANTI

UNIVERSITAS MAHENDRADATTA BALI


MANAJEMEN II B
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Sebelum memahami pengertian perkembangan moral maka terlebih dahulu
perlu dipahami pengertian moral. Menurut Purwadarminto (dalam Sunarto, 2008)
moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban,
dan sebagainya. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara
perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali
dalam bertingkah laku.
Santrock mengemukakan pengertian moralitas yaitu perilaku proporsional ditambah
beberapa sifat seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap hak-hak dan
kebutuhan-kebutuhan orang lain. Kolhberg (dalam Santrock, 2002:370) menekankan
bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan
berkembang secara bertahap.
Perkembangan moral (moral development) berkaitan dengan aturan dan konvensi
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan
orang lain. Dalam mempelajari aturan-aturan ini para pakar perkembangan akan
menguji tiga bidang yang berbeda yaitu: (1) Bagaimana anak-anak bernalar atau
berpikir tentang aturan-aturan untuk perilaku etis; (2) Bagaimana anak-anak
sesungguhnya berperilaku dalam keadaan bermoral; (3) Bagaimana anak merasakan
hal-hal moral itu.
Perkembangan moral (moral development) melibatkan perubahan seiring usia pada
pikiran, perasaan, dan perilaku berdasarkan prinsip dan nilai yang mengarahkan
bagaimana seseorang seharusnya bertindak. Perkembangan moral memiliki dimensi
intrapersonal (nilai dasar dalam diri seseorang dan makna diri) dan dimensi
interpersonal (apa yang seharusnya dilakukan orang dalam interaksinya dengan orang
orang lain) (King, 2006).
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Moralitas
Moralitas adalah :
1) pedoman yang dimiliki individu atau kelompok mengenai apa itu benar dan salah,
atau baik dan jahat.
2) Pedoman mencakup norma-norma yang kita miliki mengenai jenis-jenis tindakan
yang kita yakini benar atau salah secara moral
3) nilai-nilai yang kita terapkan pada objek-objek yang kita yakini secara moral baik
atau secara moral buruk
Karakteristik norma moral “bahwa norma moral diutamakan terhadap norma atau
standar yang lain,termasuk kepentingan sendiri
Prinsip moral adalah menghargai manusia yang lain bersangkutan dengan tindakan
yang menguntungkan umat manusia
Nilai-nilai moral biasanya diekspresikan sebagai pernyataan yang mendeskripsikan
objek-objek atau ciri-ciri
objek yang bernilai, semacam “kejujuran itu baik” dan “ketidakadilan itu buruk”.
Norma moral konvensionil ,antara lain :
1) Tidak menyetujui orang berbohong
2) Tidak menyetujui orang mencuri
3) Tidak menyetujui orang membunuh
4) Tidak menyetujui orang berzina
5) Tidak menyetujui orang mabuk / berjudi
6) Dan semua tindakan yg dapat melukai manusia (khususnya )
2.2 Perkembangan Etika menurut Kohlberg
Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya (Lawrence Kohlberg).
Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari
perilaku etis, perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia bahwa
logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif. Kohlberg
memperluas pandangan dasar ini, dengan menentukan bahwa proses perkembangan
moral pada prinsipnya berhubungan dengan keadilan dan perkembangannya berlanjut
selama kehidupan.
Kohlberg menggunakan ceritera-ceritera tentang dilema moral dalam
penelitiannya, dan ia tertarik pada bagaimana orang-orang akan menjustifikasi
tindakan-tindakan mereka bila mereka berada dalam persoalan moral yang sama.

2.2.1 Tahapan perkembangan etika


·1. Pra-konvensional
Tingkat pra-konvensional dari penalaran moral umumnya ada pada anak-anak,
walaupun orang dewasa juga dapat menunjukkan penalaran dalam tahap ini. Seseorang
yang berada dalam tingkat pra-konvensional menilai moralitas dari suatu tindakan
berdasarkan konsekuensinya langsung. Tingkat pra-konvensional terdiri dari dua
tahapan awal dalam perkembangan moral, dan murni melihat diri dalam bentuk
egosentris,individu-individu memfokuskan diri pada konsekuensi langsung dari
tindakan mereka yang dirasakan sendiri. Sebagai contoh, suatu tindakan dianggap salah
secara moral bila orang yang melakukannya dihukum. Semakin keras hukuman
diberikan dianggap semakin salah tindakan itu.
Sebagai tambahan, ia tidak tahu bahwa sudut pandang orang lain berbeda dari
sudut pandang dirinya. Tahapan ini bisa dilihat sebagai
sejenisotoriterisme. Kemudian menempati posisi apa untungnya buat saya, perilaku
yang benar didefinisikan dengan apa yang paling diminatinya.
Penalaran tahap dua kurang menunjukkan perhatian pada kebutuhan orang lain,
hanya sampai tahap bila kebutuhan itu juga berpengaruh terhadap kebutuhannya
sendiri, seperti “kamu garuk punggungku, dan akan kugaruk juga punggungmu. Dalam
tahap dua perhatian kepada oranglain tidak didasari oleh loyalitas atau faktor yang
berifat intrinsik.
Kekurangan perspektif tentang masyarakat dalam tingkat pra-konvensional,
berbeda dengan kontrak sosial (tahap lima), sebab semua tindakan dilakukan untuk
melayani kebutuhan diri sendiri saja. Bagi mereka dari tahap dua, perpektif dunia
dilihat sebagai sesuatu yang bersifat relatif secara moral.

2. Konvensional
Tingkat konvensional umumnya ada pada seorang remaja atau orang dewasa.
Orang di tahapan ini menilai moralitas dari suatu tindakan dengan membandingkannya
dengan pandangan dan harapan masyarakat. Tingkat konvensional terdiri dari tahap
ketiga dan keempat dalam perkembangan moral. Seseorang memasuki masyarakat dan
memiliki peran sosial. Individu mau menerima persetujuan atau ketidaksetujuan dari
orang-orang lain karena hal tersebut merefleksikan persetujuan masyarakat terhadap
peran yang dimilikinya.
Mereka mencoba menjadi seorang anak baik untuk memenuhi harapan
tersebut, karena telah mengetahui ada gunanya melakukan hal tersebut. Penalaran
tahap tiga menilai moralitas dari suatu tindakan dengan mengevaluasi konsekuensinya
dalam bentuk hubungan interpersonal, yang mulai menyertakan hal seperti rasa hormat,
rasa terimakasih, dan golden rule. Keinginan untuk mematuhi aturan dan otoritas ada
hanya untuk membantu peran sosial yang stereotip ini. Maksud dari suatu tindakan
memainkan peran yang lebih signifikan dalam penalaran di tahap ini; 'mereka
bermaksud baik.
Penting untuk mematuhi hukum, keputusan, dan konvensi sosialkarena
berguna dalam memelihara fungsi dari masyarakat. Penalaran moral dalam tahap
empat lebih dari sekedar kebutuhan akan penerimaan individual seperti dalam tahap
tiga; kebutuhan masyarakat harus melebihi kebutuhan pribadi. Idealisme utama sering
menentukan apa yang benar dan apa yang salah, seperti dalam kasus fundamentalisme.
Bila seseorang bisa melanggar hukum, mungkin orang lain juga akan begitu - sehingga
ada kewajiban atau tugas untuk mematuhi hukum dan aturan.
Bila seseorang melanggar hukum, maka ia salah secara moral, sehingga celaan
menjadi faktor yang signifikan dalam tahap ini karena memisahkan yang buruk dari
yang baik.

3. Pasca-konvensional
Tingkatan pasca konvensional, juga dikenal sebagai tingkat berprinsip, terdiri
dari tahap lima dan enam dari perkembangan moral. Kenyataan bahwa individu-
individu adalah entitas yang terpisah dari masyarakat kini menjadi semakin jelas.
Perspektif seseorang harus dilihat sebelum perspektif masyarakat. Akibat ‘hakekat diri
mendahului orang lain’ ini membuat tingkatan pasca-konvensional sering tertukar
dengan perilaku pra-konvensional. Individu-individu dipandang sebagai memiliki
pendapat-pendapat dan nilai-nilai yang berbeda, dan adalah penting bahwa mereka
dihormati dan dihargai tanpa memihak. Permasalahan yang tidak dianggap sebagai
relatif seperti kehidupan dan pilihan jangan sampai ditahan atau dihambat.
Kenyataannya, tidak ada pilihan yang pasti benar atau absolut memang anda
siapa membuat keputusan kalau yang lain tidak Sejalan dengan itu, hukum dilihat
sebagai kontrak sosial dan bukannya keputusan kaku. Aturan-aturan yang tidak
mengakibatkan kesejahteraan sosial harus diubah bila perlu demi
terpenuhinya kebaikan terbanyak untuk sebanyak-banyaknya orang.
Hal tersebut diperoleh melalui keputusan mayoritas, dan kompromi. Dalam hal
ini, pemerintahan yang demokratis tampak berlandaskan pada penalaran tahap
lima. Penalaran moral berdasar pada penalaran abstrakmenggunakan prinsip etika
universal. Hukum hanya valid bila berdasar pada keadilan, dan komitmen terhadap
keadilan juga menyertakan keharusan untuk tidak mematuhi hukum yang tidak adil.
Hak tidak perlu sebagai kontrak sosial dan tidak penting untuk tindakan moral deontis.
Keputusan dihasilkan secara kategoris dalam cara yang absolut dan bukannya secara
hipotetis secara kondisional (lihat imperatif kategoris dariImmanuel Kant.
Hal ini bisa dilakukan dengan membayangkan apa yang akan dilakukan
seseorang saat menjadi orang lain, yang juga memikirkan apa yang dilakukan bila
berpikiran sama (lihat veil of ignorance dari John Rawls. Tindakan yang diambil
adalah hasil konsensus. Dengan cara ini, tindakan tidak pernah menjadi cara tapi selalu
menjadi hasil; seseorang bertindak karena hal itu benar, dan bukan karena ada maksud
pribadi, sesuai harapan, legal, atau sudah disetujui sebelumnya.

2.3 Teori-teori Etika


Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang
adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak
baik. Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu
tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang
berlainan.

Berikut teori-teori Etika :


1. Egoisme
Rachels (2004) memperkenalkan dua konsep yang berhubungan dengan egoisme.
Pertama, egoisme psikologis, adalah suatu teori yang menjelaskan bahwa semua
tindakan manusia dimotivasi oleh kepentingan berkutat diri (self servis). Menurut teori
ini, orang boleh saja yakin ada tindakan mereka yang bersifat luhur dan suka
berkorban, namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/ atau tindakan yang suka
berkorban tersebut hanyalah sebuah ilusi. Pada kenyataannya, setiap orang hanya
peduli pada dirinya sendiri.

2. Utilitarianisme
Menurut teori ini, suatu tindakan dikatakan baik jika membawa manfaat bagi
sebanyak mungkin anggota masyarakat (the greatest happiness of the greatest
number). Ukuran baik tidaknya suatu tindakan dilihat dari akibat, konsekuensi, atau
tujuan dari tindakan itu, apakah memberi manfaat atau tidak dalam mengukur akibat
dari suatu tindakan, satu-satunya parameter yang penting adalah jumlah kebahagiaan
atau jumlah ketidakbahagiaan, kesejahteraan setiap orang sama pentingnya.
Perbedaan paham utilitarianisme dengan paham egoisme etis terletak pada siapa
yang memperoleh manfaat. Egoisme etis melihat dari sudut pandang kepentingan
individu, sedangkan paham utilitarianisme melihat dari sudut pandang kepentingan
orang banyak.

3. Deontologi
Paradigma teori deontologi berbeda dengan paham egoisme dan utilitarianisme,
yang keduanya sama-sama menilai baik buruknya suatu tindakan memberikan manfaat
entah untuk individu (egoisme) atau untuk banyak orang/kelompok masyarakat
(utilitarianisme), maka tindakan itu dikatakan etis. Sebaliknya, jika akibat suatu
tindakan merugikan individu atau sebagian besar kelompok masyarakat, maka
tindakan tersebut dikatakan tidak etis. Teori yang menilai suatu tindakan berdasarkan
hasil, konsekuensi, atau tujuan dari tindakan tersebut disebut teori teleologiSangat
berbeda dengan paham teleologi yang menilai etis atau tidaknya suatu
tindakan berdasarkan hasil, tujuan, atau konsekuensi dari tindakan tersebut, paham
deontologi justru mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak ada kaitannya
sama sekali dengan tujuan, konsekuensi, atau akibat dari tindakan tersebut.
Konsekuensi suatu tindakan tidak boleh menjdi pertimbangan untuk menilai etis atau
tidaknya suatu tindakan. Kant berpendapat bahwa kewajiban moral harus dilaksanakan
demi kewajiban itu sendiri bukan karena keinginan untuk memperoleh tujuan
kebahagiaan, bukan juga karena kewajiban moral iu diperintahkan oleh Tuhan.
Moralitas hendaknya bersifat otonom dan harus berpusat pada pengertian manusia
berdasarkan akal sehat yang dimiliki manusia itu sendiri, yang berarti kewajiban moral
mutlak itu bersifat rasional.
Walaupun teori deontologi tidak lagi mengkaitkan kriteria kebaikan moral dengan
tujuan tindakan sebagaimana teori egoisme dan tlitarianisme, namun teori ini juga
mendapat kritikan tajam terutama dari kaum agamawan. Kant mencoba membangun
teorinya hanya berlandaskan pemikiran rasional dengan berangkat dari asumsi bahwa
karena manusiabermartabat, maka setiap perlakuan manusia terhadap manusia lainnya
harus dilandasi olehkewajiban moral universal. Tidak ada tujuan lain selain mematuhi
kewajiban moral demi kewajiban itu sendiri.

4. Teori Hak
Suatu tindakan atau perbuatan dianggap baik bila perbuatan atau tindakan tersebut
sesuai dengan HAM. Menurut Bentens (200), teori hak merupakan suatu aspek dari
deontologi (teori kewajiban) karena hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Bila
suatu tindakan merupakan hak bagi seseorang, maka sebenarnya tindakan yang sama
merupakan kewajibanbagi orang lain. Teori hak sebenarnya didsarkan atas asumsi
bahwa manusiamempunyai martabat dan semua manusia mempunyai martabat yang
sama.

5. Teori Keutamaan (Virtue Theory)


Teori keutamaan berangkat dari manusianya (Bertens,2000). Teori keutamaan
tidak menanyakan tindakan mana yang etis dan tindakan mana yang tidak etis. Teori
ini tidak lagi mempertanyakan suatu tindakan, tetapi berangkat dari pertanyaan
mengenai sifat-sifat atau karakter yang harus dimiliki oleh seseorang agar bisa disebut
sebagai manusia utama, dan sifat-sifat atau karakter yang mencerminkan manusia hina.
Karakter/sifat utama dapat didefinisikan sebagai disposisi sifat/watak yang telah
melekat/dimiliki oleh seseorang dan memungkinkan dia untuk selalu bertingkah laku
yang secara moral dinilai baik. Mereka yang selalu melakukan tingkah laku buruk secar
amoral disebut manusia hina. (Bertens,2000) memberikan contoh sifat keutamaan,
antara lain: kebijaksanaan, keadilan, dan kerendahan hati. Sedangkan untuk pelaku
bisnis, sifat utama yang perlu dimiliki antara lain: kejujuran, kewajaran (fairness),
kepercayaan dan keuletan.

6. Teori Etika Teonom


Sebagaimana dianut oleh semua penganut agama di dunia bahwa ada tujuan akhir yang
ingin dicapai umat manusia selain tujuan yang bersifat duniawi, yaitu untuk
memperoleh kebahagiaan surgawi. Teori etika teonom dilandasi oleh filsafat kristen,
yang mengatakan bahwa karakter moral manusia ditentukan secara hakiki oleh
kesesuaian hubungannya dengan kehendak Allah. Perilaku manusia secara moral
dianggap baik jika sepadan dengan kehendak Allah, dan perilaku manusia dianggap
tidak baik bila tidak mengikuti aturan/perintah Allah sebagaiman dituangkan dalam
kitab suci.
Sebagaimana teori etika yang memperkenalkan konsep kewajiban tak bersyarat
diperlukan untuk mencapai tujuan tertinggi yang bersifat mutlak. Kelemahan teori
etika Kant teletak pada pengabaian adanya tujuan mutlak, tujuan tertinggi yang harus
dicapai umat manusia, walaupun ia memperkenalkan etika kewajiban mutlak.
Moralitas dikatakan bersifat mutlak hanya bila moralitas itu dikatakan dengan tujuan
tertinggi umat manusia. Segala sesuatu yang bersifat mutlak tidak dapat diperdebatkan
dengan pendekatan rasional karena semua yang bersifat mutlak melampaui tingkat
kecerdasan rasional yang dimiliki manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa moralitas adalah Pedoman yang mencakup norma-norma yang kita
miliki mengenai jenis-jenis tindakan yang kita yakini benar atau salah secara moral.
Sedangkan Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral
seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya. Pada tahapan moral ini
memiliki beberapa tingkat yakni tahapan pra-konvensional, Konvensional, dan Pasca-
Konvensional.
Etika sebagai disiplin ilmu berhubungan dengan kajian secara kritis tentang
adat kebiasaan, nilai-nilai, dan norma perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak
baik. Teori-teori etika meliputi Egoisme, Utilitarianisme, Teori hak, Teori keutamaan,
Teori teotonom.

Anda mungkin juga menyukai