Sujaelanto
Abstrak
Di jaman sekarang ini, kebutuhan umat manusia salah satunya ditentukan oleh materi.
Dalam ajaran Hindu, materi merupakan sarana memperoleh Hita. Masyarakat Hindu dalam
memenuhi kebutuhan hidunpya dengan cara kerja untuk menghasilkan artha. Artha bukan
merupakan tujuan tertinggi. Artha hanya merupakan sebagian untuk memperoleh hita.
Penggunaan artha tidak saja untuk kepentingan individu (kama), tetapi artha juga
dipergunakan untuk dharma salah satunya disalurkan melalui punia. Melakukan punia tidak
semudah seperti membacakan dalil-dalil dalam agama, tetapi membutuhkan kesabaran,
membutuhkan waktu, membutuhkan semangat, membutuhkan penggerak. Dana punia bagi
umat Hindu merupakan kegiatan sosial yang mencerminkan sikap dan perilaku yang peduli
terhadap kebutuhan pihak lain. Atas kepedulian tersebut, umat Hindu menyumbangkan
secara sukarela sebagian dari hartanya untuk kepentingan sosial yang lebih luas dari pada
kepentingannya sendiri. Itulah sebabnya ajaran Hindu memandang dan mendudukkan
kegiatan dana punia selalu bernilai sosial tinggi. Di satu sisi punia bermanfaat bagi pihak
lain, di sisi lain bermanfaat bagi pihak pemberi punia sebagai pengendalian diri dari
keserakahan. Sasaran dalam tulisan ini adalah penggalangan kegiatan dana punia dalam
masyarakat Hindu di Kota Semarang dalam meningkatkan sradha.
Dalam tulisan ini ada dua pembahasan, yaitu bagaimana umat Hindu di Kota
Semarang menyikapi kegiatan dana punia dan bagaimana menggalang punia untuk
pembangunan pura dan upacara ritual ? Permasalahan tersebut dianalisis dan dijelaskan
dengan menerapkan teori hegemoni dan Semiotika. Berdasarkan analisis diperoleh gambaran
bahwa penggalangan punia dapat dilakukan melalui iuran wajib anggota tempek, pengajuan
proposal, sesari banten, kotak punia di pura, retribusi, kupon berhadiah, dana punia spontan,
dan sistem lelang. Dana punia untuk pembangunan pura terkait dengan kontruksi sosial, yaitu
pura sebagai kontrol sosial, pemersatu umat Hindu, pura simbol sradha bakti, dan kesucian
dalam kebangkitan kesradaan. Analisis tersebut menegaskan, bahwa kegiatan dana punia
bukan sekedar pemenuhan terhadap hasrat manusia sebagai makluk social yang terikat dalam
kelompok. Sebaliknya dana punia justru membangun kesadaran spiritual agar manusia dapat
menyeimbangkan kebutuhan dunia materi dan non materi. Keseimbangan diperlukan untuk
mengantisipasi anomali sosial dan moral demi terangkatnya tanggung jawab manusia
terhadap spirit kehidupan sosial dalam multi dimensi.
Kata Kunci ; Dana punia, Simbol religius, umat Hindu Kota Semarang.
Pendahuluan
Pembahasan
A. Peranan Organisasi Keagamaan Hindu dalam Penggalangan Danapunia
Penggalangan dana punia melalui kupon berhadiah pernah dilakukan pada tahun 2006
pada saat kegiatan Ngenteg Linggih Pura Girinatha. Panitia menyediakan undiankupon
berhadiah untuk merangsang umat Hindu dalam melaksanakan punia. Kupon berhadiah
perlembar dengan harga lima ribu rupiah. Asumsi Rencana penerimaan seratus lima puluh
juta rupiah, dengan jumlah penjualan tiga puluh ribu lembar yang terjual tidak lebih dari
tujuh ribu lembar. Walaupun kegiatan ini belum menunjukkan kesuksesan panitia
menggalang punia umat Hindu, tetapi perlu diberikan apresiasi. Bahwa segala upaya pernah
dilakukan untuk menggalang punia sebanyak-banyaknya. Menggalang punia tersebut
dilaksanakan untum mendorong pembangunan pura Girinatha segera selesai sesuai dengan
target yang telah ditentukan.
Yang dimaksud kegiatan ritual dan kegiatan social keagamaan Hindu hanyalah
berbeda dari segi bentuk. Kegiatan ritual yang dalam dalam ini adalah kegiatan odalan,
meplaspas, Hari Besar Agama, pembangunan tempat ibadah/pura. Kegiatan social
keagamaan adalah kegiatan umat Hindu diluar kegiatan ritual dan pura. Kegiatan social
keagamaan Hindu dalam hal ini meliputi pembinaan pendidikan dengan berbagai
fasilitasnya, pembinaan umat, bantuan siswa Hindu.
Kegiatan ritual agama Hindu di Semarang memiliki karakteristik yang khas jika
dibanding dengan kegiatan ritual agama Hindu dikota-kota di Jawa Tengah lainnya.
Perbedaan sifat dan karekter ini memberikan corak dan warna serta pengaruh budaya
yang mereka bawa. Masyarakat Hindu di Kota Semarang yang mayoritas adalah para
pendatang dari Bali sehingga memiliki warna tersendiri dalam setiap kegiatan ritual
agama Hindu. Kegiatan odalan yang merupakan kegiatan ritual rutin menjadi agenda
penting umat Hindu kota Semarang. Dari kelima pura yang ada, pura Girinatha dan
Amerthasari menjadi primadona dalam kegiatan odalan. Girinatha dilakukan setahun
sekali pada purnama Kedasa, dua minggu setelah hari Nyepi, sedangkan pura
Amerthasari setiap hari raya Kuningan. Pura Saraswati dikawasan Akpol dilaksanakan
setiap hari raya Saraswati. Pura Satya Dharma di Mijen dan pura Manggala Dharma di
Ngalian dilaksanakan setahun sekali.
Girinataha dan Amerthasari adalah dua pura yang di usung oleh masyarakat Hindu
yang sebagian besar para pendatang dari Bali yang terkadang memiliki kultur berbeda
dari setiap daerah asal. Sehingga proses ritualnya sedikit terpengaruh dari daerah mereka.
Memang dalam kegiatan ritual tidak terlalu mendominasi subkultur (Bali selatan atau
utara). Sinkritis mencerminkan sikap ngrumansani memiliki teman dari berbagai daerah
dari Bali. Sarana dan prasarana kegiatan ritual semuannya tidak didapat di Semarang
sehingga menyita banyak waktu, tenaga, pikiran dan bahkan material. Kedatipun
susahnya cara mendapatkan sarana tersebut tidak mengikis semangat dan antusias umat
Hindu. Seperti sarana Tirta dalam proses meplaspas yang harus dicari dari berbagai
sumber mata air suci, ataupun sarana ritual yang tidak terdapat di Semarng sehingga harus
mendatangkan dari Bali. Ketika seseorang pelaku ritual berpikir tentang nilai ekonomi,
maka proses kegiatan ritual akan terhambat. Nilai ritual tidak bisa disejajarkan dengan
nilai ekonomi. Perlakuan khusus terhadap nilai yang sacral ini tdak bisa dipahami
berdasarkan alas an ekonomi. Upacara persembahan sesajen sebagai persembahan ritual
tidak dapat dipahami sebagai alas an ekonomi, rasional dan pragmatis. Upacara ritual
dilakukan oleh umat beragama dan masyarakat primitive dari dahulu sampai sekarang dan
tetap dilaksanakan pada masa yang akan datang (Agus.2006).
Penggalangan dana punia ritual dengan melalui berbagai cara seperti memasang
pengumuman, himbauan, iuaran, mengajukan proposal bahkan untuk menarik minat
untuk berdana punia dengan cara menjual kupon berhadiah. Penggalangan Dana Punia
umat Hindu Kota Semarang dengan berbagai metoda yang dilakukan merupakan
pemenuhan kebutuhan ritual agama dan tidak untuk mencari keuntungan. Metoda
mengumnpuklan dana untuk kegiatan ritual yang walaupun tidak semua membuahkan
hasil menunjukan suatu sikap bahwa usaha untuk kegiatan ritual diusahakan dengan
sebaik mungkin. Dan keberhasilan mengumpulkan dana untuk ritual merupakan tingkat
kepercayaan dan antusias umat untuk ritual sangat luar biasa. Anggapan ini didasarkan
pada setiap kegiatan ritual tidak pernah terjadi pembagian laba/keuntungan untuk
organisasi keagamaan. Bahkan organisasi keagmaanlah yang mencukupi jika terjadi
devisit biaya. Baik masyarakat Hindu ataupun organisasi keagamaanHindu sejalan
dengan konsep ngayah (kerja bakti) untuk Tuhan. Upacara ritual yang dilaksanakan oleh
Itulah ekspresi simbolik keluhuran budi pemilik harta. Dalam perspektif ajaran
Hindu harta atau materi memang bukan untuk dihindari. Akan tetapi yang diperlukan adalah
sikap hidup untuk memahami posisi, eksistensi, dan esensi materi. Materi bukan untuk
dijauhi, tetapi jangan sampai diperbudak oleh materi (Wiana, 2004:92).
Apabila dalam satu keluarga terjadi perbedaan pandangan mengenai pengelolaan
harta benda, secara sosial dipandang dapat menjadi suatu kendala dalam relasi sosial mereka
dan dalam melaksanakan cita-cita menuju kesatuan dengan alam adi kodrati. Apalagi terjadi
perbedaan agama di dalam satu tubuh keluarga, dapat dipandang sebagai perpecahan
spiritualitas, sehingga dalam tubuh keluarga menjadi sakit. Sejak dahulu dan masih hingga
sekarang perpecahan seperti itu dihindarkan. Oleh karena itu, setiap keluarga berupaya untuk
menjaga agama yang dianut keluarga sebagai satu pranata sosial yang mempersatukan ikatan
sosial kekeluargaan mereka. Untuk memperoleh gambaran yang lebih konkret mengenai
kesatuan alur relasi dalam tubuh keluarga, seluruh penjelasan di atas dapat diringkaskan
dalam gambar kesatuan sosial keluarga yang diadaptasi dari pemikiran Turner (2006: 20).
Dana Punia merupakan suatu tata nilai yang melekat pada kehidupan kegamaan Hindu
di Semarang yang dapat membangun prinsp-prnsip kehidupan social keagamaan Hindu yang
menyatu dengan jiwa umat Hindu. Penggalangan Dana Punia untuk kebutuhan kegiatan ritual
dan kegiatan sosial kelagamaan umat Hindu di Semarang mencerminkan dua sikap yang
berbeda. Penggalangan punia untuk kegiatan ritual agama akan lebih mudah/berhasil jika
dibandingkan untuk kegiatan social keagamaan. Penggalangan Dana Punia dilakukan dengan
berbagai cara seperti melalui iuran, pengajuan proposal, sari canang, kotak punia, restribusi.
Lembaga / Badan Dharma Dana Nasional yang menurut keputusan parisada sebagai regulasi
dan manajemen dana punia belum terlaksana, karena di Kota Semarang belum terbentuk.
Ketidak hadiran lembaga tersebut tidak menyurutkan kesadaran ber dana punia. Kesadaran
dan kepedulian berdana punia bagi umat Hindu menjukan sikap antusias umat dalam
mengamalkan ajaran agama.
Kepustakaan
1. Agus, Bustanudin 2006. Agama Dalam kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
2. Mas Putra. Ny. I Gst Ag 1982. Upakara Yadnya.
3. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat 2002. Komplikasi Dokumen Literer 45
Tahun Parisada.
4. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat 2006. Hasil-hasil Mahasabha IX Parisada
5. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat 2009. Hasil-hasil Pesamuan Agung Parisada
Tahun2009.
6. PGAHN 6 Th Singaraja.1986.Nitisastra Dalam bentuk Kakawin.Proyek Penerangan
dan Bimbingan Dakwah Agama Hindu dan Budha.
7. Setia,Putu 2002. Dana Punia. Denpasar; Raditya: Majalah Hindu No.61 Agustus
2002.
8. Suseno. Franz Magnis.1991.Etika Jawa. Jakarta. PT.Gramedia.
9. Robertson, Roland.1995. Agama Dalam Analisis dan Interprestasi Sosiologi.Jakarta.
PT. Rajagrafindo Persada.
10. Wiana. I Ketut.2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar. PT. BP
KHASIAT MUTRA
DALAM PENGOBATAN AYURWEDA
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Konsep Ayurweda berisi penerapan hidup sehat secara alami untuk pencapaian umur
panjang. Sehat menurut ayurweda bukan hanya sekedar sehat melainkan semua sistem dan
cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang. Cairan tubuh terdiri atas tiga unsur sehingga
disebut tri dosha yang meliputi vatta (udara/angin), pitta (api/panas) dan kapha (air). Salah
satu unsur dari tri dosha (vatta, pitta dan kapha) tersebut jika berada dalam keadaan tidak
seimbang akan menyebabkan manusia jatuh sakit.
Sistem pengobatan tradisional seperti ayurweda telah menjadi popular dalam tahun-
tahun belakangan ini. Ini adalah bagian dari ketertarikan yang diperbaharui lagi dalam
kebudayaan suatu etnis di seluruh dunia, dalam pola hidup dan kepercayaan keagamaan. Obat
bisa dipandang sebagai komponen hidup dari sebuah tradisi yang diwariskan sejak ratusan
tahun. Salah satu obat yang digunakan untuk pengobatan adalah air kencing (Mutra).
PEMBAHASAN
Air kencing atau Mutra atau biasa disebut urine dihasilkan dari cairan yang masuk ke
dalam tubuh lewat makanan atau minuman kemudian sisa cairan diproses melalui ginjal
atau proses ekskresi kemudian dikeluarkan melalui proses yang disebut urinasi atau lebih
jelasnya cairan sisa dalam tubuh akan disaring di dalam ginjal lalu dialirkan melalui
ureter menuju kandung kemih dan selanjutnya melakukan proses pembuangan urine dari
dalam tubuh melalui uretra. Sebagai kotoran, air kencing merupakan sisa hasil
metabolisme tubuh yang harus dibuang karena tidak lagi digunakan. Ini adalah cairan sisa
di dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh.
Namun ada juga beberapa spesies yang menggunakan urine sebagai sarana komunikasi
olfaktori.
Urine merupakan hasil dari filtrasi darah dan bukannya filtrasi sampah. Secara
medis, urine dinyatakan sebagai plasma ultrafilter karena berasal dari pemurnian darah itu
sendiri yang dilakukan oleh ginjal. Ginjal tidak berfungsi untuk mengekskresikan, tetapi
meregulasi semua elemen dan konsentrasinya dalam darah. Nutrisi-nutrisi yang terdapat
di dalam darah bergerak melalui hati. Disini racun-racun akan diekskresikan dalam
bentuk sampah padat. Darah yang telah bersih kemudian dimurnikan kembali melalui
proses penyaringan di ginjal. Di sini pula semua kelebihan air, garam, vitamin-vitamin,
mineral, enzim-enzim, antibody, serta elemen-elemen lainnya yang tidak digunakan tubuh
pada saat itu dikumpulkan dalam bentuk cairan yang telah dimurnikan dan disterilkan dan
disebut urine atau mutra. Artinya, elemen-elemen ini tidak disaring karena beracun, tetapi
karena tubuh belum memerlukannya pada saat itu.
Urine terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme (seperti urea),
garam terlarut, dan materi organic. Menurut penelitian urine mengandung 95% air, 2,5%
urea dan 2,5% campuran mineral, enzim, hormone dan garam. Cairan dan materi
pembentuk urine berasal dari darah atau cairan interstisial.
Komposisi urine berubah sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang penting
bagi tubuh, missal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui molekul pembawa.
Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai senyawa
yang berlebih atau berpotensi racun yang dibuang keluar tubuh.
Urea adalah materi yang menyebabkan urine berbau pesing. Urine juga memiliki
substansi yang dapat merangsang system kekebalan tubuh, memerangi infeksi, serta
membunuh bibit penyakit. Materi yang terkandung di dalam urine dapat diketahui melalui
urinalisis. Urea yang dikandung oleh urine dapat menjadi sumber nitrogen yang baik
untuk tumbuhan dan dapat digunakan untuk mempercepat pembentukan kompos.
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Putu Budiadnyana
Abstrak
Melihat realitas yang sering terjadi pada masa sekarang ini, sangatlah membuat hati
terasa miris, karena walaupun sudah banyak orang pintar akan tetapi masih terjadi sikap
perilaku yang kurang baik sehingga muncul sifat egois, tidak memiliki kepedulian terhadap
sesama, kurang memiliki rasa tanggung jawab, baik tanggung jawab sebagai makhluk sosial
ataupun tanggung jawab sebagai makhluk Tuhan. Tetapi harus diakui dan diberikan apresiasi
kepada keluarga yang sudah menerapkan pendidikan keagamaan pada anak usia dini,
walaupun masih ada keluarga yang belum maksimal melakukan itu. Untuk itulah masih tetap
dibutuhkan keberadaan satuan-satuan Pendidikan Anak Usia Dini formal maupun non formal.
Pendidikan anak menurut ajaran agama Hindu, dimana anak merupakan jembatan bagi orang
tua untuk menuju sorga, anak juga menentukan citra dari sebuah keluarga, sehingga
kewajiban bagi orang tua untuk menanamkan pendidikan budi pekerti dan agama kepada
anak sejak dini untuk membentuk karakter anak
Pendahuluan
Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam masyarakat yang diharapkan dapat
memberikan sumbangsih pendidikan bagi anak-anaknya, karena pendidikan pertama kali
dimulai dari keluarga. Anak adalah berupa aset bagi orang tua, dan ditangan orang tua anak
akan tumbuh dan berkembang. Saat sikecil tumbuh dan berkembang begitu lincah dan
memikat. Orang tua begitu mencintai dan bangga kepadanya. Akan tetapi, mungkin masih
banyak dari orang tua yang belum menyadari bahwa sesungguhnya dalam diri si kecil
tersebut terjadi perkembangan potensi yang kelak akan sangat bermanfaat.
Anak juga merupakan generasi penerus masa depan bangsa, generasi yang diharapkan
dapat menjadi penerus bangsa yang cerdas serta memiliki akhlak mulia atau perilaku yang
baik. Ketika anak memiliki sikap dan perilaku yang baik, pemikiran yang cerdas maka itu
merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi semua orang tua. Dengan menciptakan generasi
yang cerdas dan budi pekerti luhur, berarti orang tua telah memberikan masa depan yang
cerah bagi anak, sehingga diharapkan anak tersebut menjadi anak yang berguna bagi agama,
bangsa dan negara.
Oleh karena itu, suatu bangsa tidak hanya memerlukan generasi yang hanya memiliki
Kecerdasan Intelektual (IQ) saja, akan tetapi harus diimbangi juga dengan Kecerdasan
Emosional (EQ) serta Kecerdasan Spiritual (SQ). Untuk dapat menanamkan ketiga
kecerdasan tersebut, haruslah dimulai dari sejak dalam kandungan. Lebih dari itu sebelum
mengandung, seorang perempuan harus terlebih dahulu mempersiapkan diri untuk menjadi
seorang Ibu. Baik secara Spiritual, Intelektual, maupun Moral. Menjadi Ibu bukanlah sekedar
melahirkan, lebih dari itu seorang ibu pastilah menjadi guru pertama dan yang utama bagi
anak-anaknya (Suharsono, 2005:15).
Dorothy dalam Alisshi Julaeha [Ed], (2004:56), mengatakan “anak-anak peduli pada
anda bukan karena Anda mengatakan sesuatu, akan tetapi mereka melihaat perilaku anda.
Andalah satu-satunya panutan mereka, karena anda orang yang pertama yang punya pengaruh
kuat bagi mereka”.Maka setiap anak perlu dilatih untuk melakukan hal-hal yang baik,
Pembahasan
Kelahiran anak pada suatu keluarga patut disyukuri karena anak merupakan titipan tuhan
yang sangat berharga dan wajib bagi orang tua untuk menjaga serta memberikan
pendidikan kepada anak. Menurut Titib (dalam Suryanto, 2013), dalam bahasa Sanskerta
‘anak’ adalah “putra”. Kata “putra” itu sendiri pada mulanya berarti kecil atau yang
disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak yang
lahir dalam keluarga:
“Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang
disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra”
(Manawadharmashastra IX.138).
Dalam kutipan tersebut kita dapat memahami betapa pentingnya seorang anak atau putra
dalam sebuah keluarga terutama bagi orang tuanya, karena anak selain sebagai penerus
garis keturunan dan adat-istiadat yang selama ini orang tua jalankan namun anak juga
akan menyebrangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Putra seperti mana
dijelaskan di atas.
Ada sebuah kutipan yang sangat berharga dan patut kita pelajari sebagai orang tua serta
sebagai seorang anak.
”Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula
seorang anak yang kuputra (buruk karakternya), menghancurkan dan memberikan aib
bagi seluruh keluarga”(Canakya Nitisastra II.15).
“Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh
ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang
tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”.(Nitisastra IV.6).
Dalam kutipan-kutipan tersebut kita sebagai orang tua diingatkan dan diajarkan
betapa pentingnya seorang anak, karena baik buruknya kita dalam mendidik seorang anak
akan membentuk karakter anak dalam keluarga dan menentukan citra keluarga dalam
masyarakat. Selain anak mendapatkan pendidikan dalam lingkungan sekolah, orang tua
juga berperan dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Jika anak dalam keuarga di
didik dengan kasih sayang dan pendidikan menurut ajaran agama sejak dini swaha anak
akan memiliki karakter yang baik dan bila sebaliknya, bila orang tua yang cuek atau tidak
memperdulikan atau membiarkan anak berkembang sendiri tanpa ada bimbingan orang
tua maka anaknya akan membentuk karakter yang tidak baik, selain sekolah, orang tua,
lingkungan pergaulan yang ada diluar rumah juga mempengaruhi perkembangan atau
pembentukan karakter seorang anak. Namun sebagai orang tua bukan berarti kita harus
mengurung anak hanya dirumah saja dan tidak memberikan kebebasan bagi anak,
melaikan memberikan kebebasan namun dalam pantauan atau bimbingan dari orang
tua. Dalam sistem pendidikan Veda, ketika seorang anak kehilangan cinta kasih dari
kedua orang tuanya, maka pendidikan di sekolah (dalam pengertian pendidikan Gurukula)
menggantikan kasih sayang orang tua tersebut kepadanya. Dalam pendidikan Gurukula
ini seorang anak dipisahkan dari keluarga. Kata “Kula” dalam kaitannya dengan Gurukula
berimplikasi bahwa seorang anak tidak sepenuhnya dijauhkan dari atmosfir keluarga. Ia
kini berubah dari kehidupan dalam keluarga kecil ke dalam keluarga besar. Dalam sistem
pendidikan Veda, seorang anak tidak dipisahkan dengan susana keluarga, ia hanya
ditransplatasikan dari keluarga kecil yakni orang tua ke keluarga besar, yakni keluarga
Guru.
Seorang anak juga harus mengerti bagaimana dan apa yang dilakukan oleh orang tua
kepada anaknya hanya semata-mata agar anaknya lebih baik, berguna bagi keluarga dan
masyarakat serta bekal anak di masa depannya untuk menempu hidup yang setiap hari
akan lebih keras. Jadi seorang anak harus berbakti kepada orang tua, dimanpun dan
kapanpun dia berada harus bertidak hati-hati dan dipikirkan terlebih dahulu baik dan
buruknya jika akan melakukan sesuatu karena anak menentukan citra keluarganya.
Berdasarkan penjelasan diatas, hal utama yang harus diajarkan atau ditanamkan kepada
anak sejak dini adalah moral dan budi pekerti. Budi pekerti dalam sansekerta terdiri dari
“Budhi” dan “Pekerti” , Budhi yang berarti pengetahuan, sedangkan pekerti atau pravriti
yang berarti perilaku. Dalam bahasa Indonesia kata budhi dan pekerti disatukan dan
memiliki satu pengertian yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai perilaku yang baik.
“Olehkarena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari
neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena
itu ia disebut Putra” (Manawadharmashastra IX.138).
Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Adiparva 74 dan 27, yang
merupakan bagaian dari kitab Mahabharata. Juga dinyatakan sama dalam
Ramayana II,107-112.
Putra yang mulia disebut “putra-suputra”. Kelahiran “putra-suputra” ini
merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan maupun dalam pendidikan Hindu.
(a) Anak usia 0-2 tahunSecara umum pada masa bayi anak usia 0-2 tahun, anak
mengalamiperubahan yang pesat bila dibandingkan dengan yang akan dialami pada
fase-fase berikutnya. Anak sudah memiliki kemampuan dan keterampilan dasar yang
berupa: keterampilan lokomotor (berguling, duduk, berdiri, merangkak dan berjalan),
keterampilan memegang benda, penginderaan (melihat, mencium, mendengar dan
merasakan sentuhan), maupun kemampuan untuk mereaksi secara emosional dan
sosial terhadap orang-orang sekelilingnya.
Segala bentuk stimulus (verbal maupun nonverbal) dari orang lain akan mendorong
anak untuk belajar tentang pengalaman-pengalaman sensori dan ekspresi perasaan
meskipun anak belum mampu memahami kata-kata.
Menurut Monks (1992:74-75) menyatakan bahwa stimulasi verbal ternyata sangat
penting untuk perkembangan bahasa. Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas
vokalisasi seorang anak dapat bertambah dengan pemberian reinforsement verbal.
Stimulasi verbal yang terusmenerus juga akan memudahkan anak untuk belajar
melafalkan suara-suara dan Dapat disimpulkan bahwa anak usia dini merupakan
masa yang kritis dalam sejarah perkembangan manusia. Masa anak usia dini ini
terjadi pada anak usia 0-6 tahun atau sampai anak mengikuti pendidikan pada jenjang
pendidikan anak usia dini atau prasekolah. Pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik
dan psikis yang sangat pesat. gerakan-gerakan yang mengkomunikasikan suasana
emosinya, seperti marah, cemas, tidak setuju dan lain-lain.
Banyak perilaku kita yang kita miliki sekarang adalah hasil dari pengkondisian
pengalaman kita sebelumnya. Demikian banyak nilai yang kita miliki saat ini hasil
pengkondisian mentalitas dan kondisi budaya di mana kita hidup.Anak belajar banyak
dengan meniru orang dewasa dan teman sebaya. Ketika anak dibiasakan rapi, disiplin,
jujur, tetapi hidup dalam dunia yang amburadul dan tidak disiplin, maka mereka menemui
kesulitan untuk memahami aturan-aturan tadi. Dengan memberikan teladan sikap kepada
peserta didik, yang langsung dialaminya, jauh lebih mengena dan efektif daripada dengan
penjelasan tentang sikap itu panjang lebar kepadanya.
Dalam keluarga, anak-anak cenderung dididik berperilaku sedemikian rupa sehingga
melestarikan perilaku yang dianggap pantas dalam suatu budaya atau bahkan sub budaya
tertentu, sehingga dianggap dapat mempertahankan eksistensi kelompok. Ada kelompok
masyarakat yang mendidik anaknya agar berperilaku gigih, kerja keras, tekun, penuh
perhitungan, agar kelompok ini tetap survive meskipun mendapatkan berbagai tekanan
atau tantangan.
Menurut Mansyur (2005:11). Selama masa kanak-kanak, keturunan sosial dialihkan
melalui keluarga, sehingga setiap keluarga merupakan suatu sistem sosial yang khas, baik
dalam hal pengorganisasian maupun fungsinya. Setiap keluarga mempunyai kekhasan
dalam cita-cita, cara merealisasikan cita-cita, cara berkomunikasi antar anggota keluarga,
orientasi tata nilai, cara-cara menghadapi masalah dan mengambil keputusan serta cara-
cara memelihara keseimbangan keluarga, sehingga setiap anak memiliki dasar perilaku
yang berbeda-beda. Pengaruh keluarga ini terlihat melalui cara mendidik, keteladanan,
penghargaan, maupun hukuman.
1) Cara Orang Tua Mendidik Anak Usia Dini Dalam Memahami Ajaran Agama
Hindu
Anak usia dini merupakan generasi penerus bangsa yang perlu mendapatkan perhatian
serius. Sejak lahir, anak memiliki berbagai potensi yang dikaruniakan Tuhan.Potensi
tersebut perlu dirangsang dan difasilitasi agar dapat berkembang dengan optimal. Banyak
ahli menyatakan bahwa masa anak usia dini merupakan masa peka dan amat penting bagi
perkembangan anak. Stimulasi terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua maupun
orang lain disekitar lingkungan anak akan membekas kuat dan tahan lama. Kesalahan
sedikit dalam memberikan stimulasi akan berdampak negatif jangka panjang yang sulit
diperbaiki.
Roseau (Slamet Suyanto, 2003: 2-3) menggambarkan bahwa: masa peka tersebut
ibarat saat yang tepat bagi seorang tukang besi untuk menempa besi yang dipanaskan.
Para penempa pasti tahu benar kapan besi harus ditempa. Terlalu awal ditempa, besi sulit
dibentuk dan dicetak, sebaliknya apabila terlambat ditempa maka besi akan hancur. Jadi
saat yang paling baik bagi seorang anak untuk memperoleh pendidikan yang tepat adalah
(a) Verbal. Perilaku yang bersifat verbal cenderung sering muncul secara spontan,
dan seringkali tidak disadari bahwa hal tersebut didengar dan ditiru oleh anak.
Beberapa perilaku bersifat verbal yang hendaknya dikembangkan antara lain
gemar memuji, memberikan kata-kata penyemangat – misalnya ”kamu pasti bisa”
- menyapa anak dengan hangat, menanyakan kabar atau kegiatan anak,
mengucapkan kata terima kasih, maaf, permisi, dan tolong secara tepat.
(b) Non verbal. Perilaku non verbal yang dapt dikembangkan oleh pendidik
Pendidikan Keagamaan Pada Anak Usia Dini Dalam Kluarga Menurut
Pendikan Agma Hindu antara lain berpenampilan fisik yang menarik anak
(mengenakan pakaian yang pantas, mengenakan sepatu yang nyaman dan pantas,
memiliki tatanan rambut yang tepat, serta mengenakan atribut lain secara
proporsional), memberikan sentuhan kasih sayang berupa pelukan, ciuman,
membungkukkan badan atau mensejajarkan diri dengan tingginya anak ketika
berkomunikasi, menatap wajah anak ketika berbicara atau menyapa anak.
(a) Intensitas, yaitu sering atau tidaknya perilaku tertentu ditampilkan atau
diperdengarkan kepada anak. Misalnya, pendidik yang sering menyakiti anak
secara verbal (misalnya menghardik anak, berkata kasar, dan sebagainya), akan
ditiru dan diterapkan oleh anak dalam pergaulannya sehari-hari.
(b) Kontras, yaitu perilaku berbeda yang mencolok di dalam suatu kelompok.
Misalnya dalam sekelompok pendidik yang menggunakan seragam, ada seorang
pendidik yang tidak berseragam, dapat memancing keingintahuan anak, dan
apabila perilaku ini kerap dinampakkan, merupakan model bagi anak untuk
meniru, yaitu bahwa tidak perlu berseragam ke lembaga pendidikan, meskipun ini
sudah menjadi kesepakatan bersama.
Faktor-faktor internal yang terdapat dalam diri anak, antara lain harapan, suasana
hati (mood) dan motif. Misalnya, sapaan ramah pendidik akan benar-benar menarik
perhatian apabila anak berada dalam suasana hati riang ketika berada di rumah dan
berangkat menuju lembaga pendidikan. perilaku pendidik oleh anak terjadi melalui
proses penginderaan, pemersepsian, peniruan, dan implementasi. Pada tahap awal, anak
melakukan penginderaan terhadap perilaku pendidik. Penginderaan ini sering terjadi
melalui proses pengamatan (melihat) dan pendengaran (mendengar). Anak memiliki
kemampuan yang baik dalam merekam informasi yang diperoleh. Proses mengamati
ataupun mendengar dapat terjadi secara intens maupun tidak, tetapi ini cukup bagi anak
untuk mereproduksi ulang informasi yang dilihat ataupun didengar.Pengamatan
merupakan proses belajar sosial bagi anak, karena terdapat keterlibatan orang lain,
Ajaran Agama Hindu bagi anak-anak dalam keluarga kiranya dapat menjadikan ajaran
moral, dalam Kitab Bhagavad sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus
ditanamkan dan cara penanamannya adalah sebagai berikut:
Simpulan
Berdasarkan uraian-uraian serta analisis data sebagaimana yang telah disajikan diatas,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pendidikan keagamaan bagi anak-anak dalam keluarga kiranya dapat menjadikan ajaran
moral, dalam Kitab Bhagavad sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus ditanamkan
dan cara orang tua mendidiknyaadalah sebagai berikut:
1. Cara Orang Tua Mendidik Anak Usia Dini Dalam Memahami Ajaran Agama
Hindu.Anak usia dini merupakan generasi penerus bangsa yang perlu mendapatkan
perhatian serius. Sejak lahir, anak memiliki berbagai potensi yang dikaruniakan
Tuhan.Potensi tersebut perlu dirangsang dan difasilitasi agar dapat berkembang
dengan optimal. Banyak ahli menyatakan bahwa masa anak usia dini merupakan masa
peka dan amat penting bagi perkembangan anak.
2. Ajaran Agama Hindu Dalam Mendidik Anak Usia Dini.Pendidikan Anak dalam
Kandungan Versi Hindu.Pendidikan Anak Menurut Agama HinduKelahiran anak
pada suatu keluarga patut disyukuri karena anak merupakan titipan tuhan yang sangat
berharga dan wajib bagi orang tua untuk menjaga serta memberikan pendidikan
kepada anak.
3. Manfaat PendidikanAnak Usia Dini Dalam Ajaran Hindu.
(a) Mempelajari hal-hal berguna di masa depan.
Seorang anak usia dini akan mampu berlatih dan belajar banyak hal ditempat
mereka mendapatkan pendidikan.
(b) Membangun kecerdasan sosial anak.
Daftar Pustaka
SUDJIMAN
Email: sudjimanrusjiyanto@gimail.com
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Upacara Sadranan adalah bukti nyata bahwa masyarakat tetap menjunjung tinggi nilai
budaya yang diyakinnya, dan sekaligus sebagai bukti nyata bahwa mereka tetap menjalin
hubungan erat dengan leluhur. Upacara ini masih dilakukan sejak nenek moyang secara turun
temurun dan terjadi karena ada ikatan batin yang kuat antara masyarakat setempat dengan
leluhur mereka. Secara pasti memang tidak ada yang mengetahui kapan upacara Sadranan ini
pertama kali dilakukan. Menurut tokoh dan sesepuh masyarakat Blimbing bahwa upacara
Sadranan dilaksanakan masyarakat Kabupaten Klaten secara turun temurun sejak nenek
moyang mereka.
Pelaksanaan upacara ini dilakukan di makam dengan membawa sarana sesaji yang
ditempatkan di sebuah wadah yang dinamakan tenong (anyaman dari bambu yang berbentuk
bulat seperti tampah dan memiliki tutup), waktu pelaksanaan di mulai pukul 11.00 siang
sampai selesai, peserta kendurian ± 365 keluarga dan semua warga antusias dalam mengikuti
upacara ini karena mereka mempunyai tujuan yang sama untuk mendoakan leluhurnya agar
jiwatman dapat mapan, kamulyan jati dan anak keturunannya yang di dunia mendapatkan
kebahagiaan lahir dan batin.
Sesuatu yang sangat menarik dan unik dari upacara ini adalah bahwa semua warga
masyarakat ikut melakukannya tanpa memandang perbedaan agama yang ada. Namun semua
warga dengan iklas dan tanpa paksaan melakukan upacara ini karena sudah menjadi tradisi
yang tidak bisa ditinggalkan lagi dan perlu untuk dilestarikan keberadaannya.
Upacara Sadranan ini dilaksanakan oleh masyarakat setiap tahun sekali tepatnya pada
tanggal 25 Ruwah (kalender bulan Jawa Abangan) atau istilah Jawa disebut selawenan bulan
Ruwah. Sebab bulan Ruwah diyakini menjadi panutan dan kesepakatan para leluhurnya.
Tanggal 25 itu hanya berlaku untuk dukuh Tricik saja. Sedangkan di tempat yang lain
mempunyai tradisi sendiri seperti tanggal 15, 17, 20, 23, 24 pada bulan yang sama.
Upacara Sadranan ini dilaksanakan di makam Dukuh Blimbing, mereka beranggapan
bahwa makam merupakan suatu tempat yang keramat dan disucikan dan sangat dihormati.
Dari sinilah keyakinan dan kepercayaan orang Jawa terhadap pemujaan leluhur sampai
sekarang masih dipercayai dan dilaksanakan.
2. Nilai Sosial
Dalam melaksanakan upacara sadranan sebagai sarana pemersatu umat
beragama dan masyarakat yang melakukannya. Karena dalam pelaksanaan tersebut
hanya satu tujuan yaitu penghormatan leluhur. Maka dalam pelaksanaan upacara
Sadranan tidak perbedaan antara etnis, agama, kaya dan miskin.
Sehingga upacara ini kami aumsikan sebagai perekat “Pemersatu bangsa”.
Oleh karena itu upacara tradisional yang adhi luhung perlu dilestarikan.
KESIMPULAN
1. Upacara Sadranan dilakukan dimakam leluhur pada siang hari sampai selesai membawa
sesaji/banten yang ditempatkan pada tenongnya masing-masing.
2. Upacara Sadranan berkumpul bersama di makam leluhurnya dengan tujuan mendoakan
leluhurnya agar semua dosa diampuni dan jiwatman dapat menyatu dengan Tuhan dan
DAFTAR PUSTAKA
I Nyoman Warta
Email: nyomanwarta_yogya@yahoo.com
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
A. MENGAPA BERYADNYA
Mengapa kita perlu beryadnya?. Apakah lantaran mengikuti tradisi kebiasana yang
turun tumurun?. Sebelum membahas tersbut alangkah baiknya kita lihat makna yadnya
yang sesungguhnya. Dalam Kamus kata yadnya diartikan beraneka ragam sesuai dengan
tingkat perkembangan bhatin spiritual seseorang. Dalam yadnya mutlak mengandung
unsure: perbuatan, ketulus iklasan, kesadaran, persembahan atau karya, sreya, budhi dan
bhakti. Jadi semua perbuatan yang berdasarkan dharma dan dilakukan dengan tulus iklas
bisa disebut yadnya. Dalam bhagawad Gita disebutkan bahwa belajar dan mengajar
dilaksanakan dengan keiklasan dan dharma guna memuja Tuhan, juga tergolong yadnya.
Memelihara lingkungan, mengendalikan nafsu, mengendalikan panca indrya,
menghormati orang lain, menyayangi kehidupan juga termasuk yadnya. Menolong orang
sakit, memberikan donor darah dan sebagainya adalah tergolong yadnya. Dalam Bagawad
Gita menyebutkan:
”Yajnarthat karmano nyatra, loko yam karma-bandhanah, tad-artham karma
kaunteya, mukta-sangah semacara” Artinya; Dari tujuan berbuat yajna itu menyebabkan
dunia ini terikat, oleh hukum karma, karena itu wahai Arjuna, bekerjalah tanpa pamrih,
tanpa kepentingan pribadi, wahai kunti putra (Bgt.III.9).
Bahwa setiap melakukan pekerjaan hendaknya dilakukan sebagai yadnya dan untuk
yadnya. Dan selanjutya dinyatakan, Tuhan memelihara manusia dan segala ciptaan Nya.
Dan manusiapun harus memelihara hubungannya dengan Tuhan dalam bentuk bhakti.
Saling memelihara ini merupakan dharma yang mulia. Disisi yang lain dikatakan Para
Dewa memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, manusiapun harus yang
memperoleh kebahagiaan harus melakkukan yadnya sebagai wujud yadnya yang
dituangkan dalam bentuk dana punia. Maka yang sudah mengakar dalam kehidupan kita
sehabis memperoleh keabagiaan, melakukan yanya sesa ini sehabis memasak. Maka
masakan dan kebahagiaan akan menjadi Prasadham.
Prasadham adalah anugrah Tuhan, jadi apun yang kita nikmati adalah anugrah dari
Tuhan, bukan semata-mata dari hasil keringat kita. Sedangkan kata lungsuran /pradham
dalam Bahasa Bali artinya hasil dari memohon kepada Tuhan. Bahan makanan yang
dimakan oleh manusia berasal dari isi alam ini. Alampun merupakan ciptaan Tuhan.
Maka manusiapun mendapatkan yadnya dari alam, dengan demikian manusia harus
beryadnya kepada alam semesta dalam hal ini, memelihara alam dengan Tri Hita Karana
yang didasari dengan upacara Bhuta yadnya. Dalam Bhagawadgita inilah dinyatakan
dengan Cakra Yadnya yakni perputaran roda yadnya yang sifatnya timbal balik.
Keagungan yadnya dalam bentuk persembahan bukan diukur dari besar dan
megahnya bentuk upakara, atau bukan yang melakukan upakara itu mempunyai
kedudukkan tinggi, bukan untuk mencari pengakuan ,tetapi yang paling penting adalah
kesucian dan ketulusan dari orang yang terlibat melakukan yadnya. Bila perlu dalam
melakukan yadnya dilandasi dengan Tapa, Brata ,Yoga dan Semadi yang dilakukan
dengan penuh keiklasan apa lagi diikuti dengan upawasa dari mulai sampai pada puncak
yadnya akan memberikan hasil yang luar biasa.
Kita sebagai hamba Tuhan tidak diajarkan untuk menerima saja berbagai benda-
benda dari Tuhan. Melainkan disamping kita menerima kita wajib
mempersembahkan terlebih dahulu, apa yang dapat kita persembahkan sebagai rasa
angayubagia kehadapannya. Kita menerima banyak cahaya, oksigen, makanan
,minuman sebagainya. Kalau benda-benda tidak disediakan oleh Tuhan, maka tidak
seorangpun akan dapat hidup. Kalau kita hanya menerima saja, tanpa
mempersembahkan sesuatu sebagai balasan akapah itu merupakan cinta kasih, maka
akan terjadi ketimpangan dialam semesta ini. Dalam kehidupan sebagai manusia
terutama dalam hal bhakti . Apun yang kita dapatkan sebagai langkah awal harus
dipersembahkan, tidak terpikir apakah itu diterima atau tidak, tetapi ini merupakan
ketulusan hati. Seseorang yang menikmati segala sesuatu yang disediakan oleh
Adanya unsur air dalam upakara yadnya, seperti Tirta Sanjiwani, Kamandalu
Tirta Kundalini, Tirta Pawitra, Tirta Amerta, Tirta pembersihan ,Tirta Penyucian dan
sebagainya, menyebabkan upakara yadnya berfungsi sebagai penyucian diri seperti:
Upakara Byokawonan, Durmanggala dan Prayascita sebagai penyucian bhuawa
alit( Mikrokosmos ) dan bhuana agung ( Makrocosmos ). Demikia juga adanya banten
pemelaspas, banten Tawur dan sebagainya, semuanya berfungsi sebagai penyucian.
Penyucian bisa diterima secara logis ialah keiklasan melandasi pengorbana umat
Hindu untuk melepaskan sebagain miliknya untuk dijadikan materi upakara. Disini
Terkandung pelepasan ikatan atau Tyaga. Dalam Bhagawad Gita Bab.XVIII:49)
menyatakan sebagai berikut:
“Asakta-buddhih sarvatra, jitatma vigata-sprhah, naiskarmya-siddhim paramam,
saannyasena adhigacchati” Artinya; Orang yang kecerdasannya tidak terikat dimana
saja telah menguasai dirinya dan melepaskan keinginannya, dengan penyangkalan ia
mencapai tingkat tertinggi dari kebebasan akan kegiatan kerja (Bgt.XVIII:49).
Mengerti ajaran kerohanian melalui cara berfilsafat saja, adalah sangat sulit bagi
orang awam. Dengan demikian sejak awal leluhur kita menyadari pentingnya sebuah
metode yang tepat untuk bisa menjalankan kerohanian secara mudah dan gamblang
kepada umat. Maka dituangkan ajaran agama lewat seni dan kerohanian sehingga
sangat mudah memahaminya. Seperti simbol upakaran banten/ sesaji, adalah
merupakan salah satu metoda pengajaran agama yang mengandung nilai teoritis,
teologis dan praktis. Unsur seni ( estetika ) dimaksudkan agar manusia tertarik pada
bidang itu, karena membutuhkan cetusan hati yang paling mendalam serta dilandasi
dengan filsafat kehidupan “Ramai Ing gawe Sepi Ing Pamerih “ (giat/rajin bekerja
tanpa mengharapkan balasan).
Dengan dipilihnya upakara yadnya sebagai metoda pengajaran keagamaan
( pengetahuan kerohanian) oleh masyarakat kebanyakan, diharapkan supaya semakin
maraknya kehidupan upakara yadnya, sehingga ajaran kerohanian dapat dihayati dan
tidak berhenti pada pengetahuan belaka. Mengingat ajaran agama tidak saja bersifat
imformatif atau mengerti agama secara teoritis saja, melainkan juga bersifat
transpormatif atau mengubah prilaku manusia menjadi lebih spiritualitas mekar
dalam bhatin dan intuisi keagamaan. Misalnya dalam pembuatan berbagai alat
Semua perbuatan mempunyai tujuan, tanpa tujuan ibaratnya perahu tanpa kendali
sehingga terombang-ambing tidak menentu. Begitu pula kita beryadnya mempuyai
tujuan yang muliya dalam rangka menuju kehidupan yang harmonis dan kelepasan.
Kelepasan akan terwujud jika kita telah membayar hutang kita yang disebut dengan Tri
Rnam yakni: Utang kehidupan kepada Tuhan ( Dewa Rena), utang kepada orang tua,
leluhur yang telah beryadnya menurunkan , memelihara, mendidik dari dalam
kandungan sampai kita bisa berdiri sendiri ( Pitra Rena ), dan Rsi rena adalah utang
kepada orang-orang suci dan bijaksana yang menyababkannya berbagai ilmu
pengetahuan kepada umat manusia.
Sesungguhnya melakasanakan Panca Yadnya tidaklah semata-mata berupa upacara
agama ( ritual dan serimonial ). Panca Yadnya dapat diwujudkan dengan berbagai
perbuatan nyata, bermakna bagi kehidupan sehari-hari. Misalnya menyekolahkan anak
dengan penuh dedikasi, sehingga anak nantinya menjadi anak yang berbakti,
berkualitas berdedikasi mempunyai pengetahuan dan bijaksana. Bisa juga dengan
memelihara lingkungan adalah salah satu melakukan bhuta yadnya. Mendengarkan
nasehat orang tua, mengabdi kepadanya merupakan rialisasi pitra yadnya.
Dalam melaksanakan Panca Yadnya sering dianggap sebagai beban hidup. Selain itu
ada pula umat melakukan Panca Yadnya dengan maksud jor-joran, pamer kemewahan,
ingin mendapatkan pujian dan maksud-maksud tertentu lainnya. Disisi yang lain umat
awam sering beranggapan kalau belum melaksanakan upacara besar akan mendapatkan
saksi moral dari Tuhan. Dari keyakinan yang keliru ini, timbullah pelaksanaan adnya
yang dipaksakan dengan mencari hutang atau menjual arta warisan agar dapat
melaksanakan upacara yang besar, anggapan seperti ini sangat keliru. Bahkan sering
C. Kualitas Yadnya
Dalam Bhagawad Gita XVII, 11,12 dan 13 menyebutkan ada tiga tingkatan yadnya
dilihat dari segi kualitasnya yakni:
a. Tamasika yadnya yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya,
tanpa mantra,tanpa ada kidung kidung suci tanpa ada daksina tanpa disadari oleh
kepercayaan.
b. Rajasika yadnya adalah dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya serta
dilakukan dengan motivasi pamer dan sebagainya.
c. Satwika yadnya yakni yadnya yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan bhakti
sesusi dengan sastra weda.
Dari urain tersebut ada tujuh syarat yadnya yang disebut Satwika yadnya yakni:
Sradha, Lascarya, Sastra, Daksina, mantra Gita, Annasewa dan Nasmita. (Yadnya Widhi).
Yadnya tidak akan ada maknanya jika tidak diyakinan
a. Sradha pelaksanaan yadnya dilakukan dengan penuh keyakinan yang digariskan dalam
yadnya dengan sepunuh hati. Dengan rasa keyakinan maka semua simbol dalam
upakara yadnya bermakna spiritual dan mempunyai makna rohani. Contohnya dalam
Ramayana dan Mahabrata.
b. Lascarya yadnya yang dilakukan dengan penuh keiklasan, dan cinta kasih yang tulus.
Contoh Dewi Kunti melakukan Dewa Sraya dihapan Durga.
c. Sastra yakni hukum yang diberlakukan dalam melaksanakan yadnya yang disebut
dengan yadnya Widhi. Beryadnya harus berdasarkan petunjuk sastra Misalnya:
Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti.
d. Daksina yakni suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan benda atau uang yang
dihaturkan secara iklas kepada pendeta yang memimpin upacara. Ini penting
bahkan merupakan salah satu unsure sukses upacara.
e. Mantra dan Gita setiap upacara yang berkualitas harus ada mantra dan gita, yang
diucapkan oleh umat, Pendeta sesuai dengan aturannya.
Dan masih ribuan lagi bahan sesaji yang dipergunakan sebagai bahan yadnya oleh
umat manusia. Semua bahan tersebut diciptakan oleh Tuhan, maka kita wajib
mengembalikan kepada Sang Penciptanya. Semua bahan tersebut menyimboliskan
tingginya nilai Etika, Ritual dan makna filsafati yang tinggi. Sebagai manipestasi Ida
Sang Hyang Widhi. Semua yadnya bhakti yang dilaksanakan sebagai peradaban hidup
suci dan harmonis. Keharmonisan ini akan menimbulkan berbagai nalia seni, budaya
dan tradisi menjadi akulturasi kehidupan dialektika agama dan budaya yang mengakar
dalam masyarakat.
SIMPULAN
Upakara yadnya mengandung berbagai makna dan filosofi serta sebagai alat kosentrasi,
mengandung nilai pembersihan, mengandung nilai kesucian, mengandung nilai seni dan
estetika. Secara simbolis dalam proses pembuatan banten/ sesaji dijiwai oleh kesucian hati,
dikerjakan dengan tangan-tangan trampil dilandasi filosofis bhakti yang tulus dan iklas, serta
dijiwai oleh ketulusan.
Upakara Yadnya pada hakekatnya mengandung berbagai demensi spiritual antara lain;
1. Sebagai alat kosentrasi
2. Mengandung nila pembersihan
3. Mengandung nilai kesucian
4. Mengadung nilai estetika
DAFTAR PUSTAKA
Setyaningsih
Prodi Penerangan Agama Hindu
STHD Klaten
ABSTRACT
The kinship ties of the balinese in Solo City shows in centre Solo’s banjar membership.
As a small community in Solo, the way to conserve culture proven by the nurture pattern of
chlidren that has their own differences. This research is to understand about the value of
hinduist in nurture pattern of children that applied by Banjar’s member in Solo and about the
way of the member to face the problem in this nurture of Hinduist value. Ethnography
method used to descipe the Hinduist value planting for chlidren by Banjar’s member in Solo.
Data collected with observation and interview. The Hinduist value planting in nurture pattern
of chlidren bj banjar’s member in Solo includes religion education in the family, in the
school, and the community. The nurture pattern of children that used by Banjar’s member get
by the equalities of faith, general habit, value, norm, and rules from the community of
Hinduist. The Hinduist value planting that given to children, then accepted by chlidren as a
controller for themselves. Dharma lesson and cultural’s value as controle make children as
the next generation can interpretat and accept the differences between them and the other
people around them, so that they can co
nserve the existence of their culture.
PENDAHULUAN
Di Surakarta, suku bangsa yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia hidup
berdampingan di tengah segala perbedaan pola pemikiran, sistem nilai, norma, kebiasaan,
adat dan sejarah antara satu dengan yang lain. Dari berbagai suku bangsa yang ada di
Surakarta, salah satu yang melakukan upaya pelestarian eksistensi kebuadayannya adalah
suku bangsa Bali. Mayoritas umat Hindu di Surakarta merupakan urban dari Bali. Komunitas
ini memiliki ikatan kekerabatan yang kuat berdasarkan sistem banjar. Keanggotaannya
bersifat terbuka, dimana anggota banjar bukan hanya mereka yang lahir di desa tersebut,
tetapi warga dari luar desa juga diperbolehkan bergabung menjadi warga anggota banjar.
Komunitas Hindu-Bali yang tinggal di Surakarta dan sekitarnya tergabung dalam Banjar
Solo. Banjar Solo diketuai oleh seorang ketua banjar yang terbagi ke dalam 3 sektor wilayah
berdasarkan wilayah kecamatan yang masing-masing wilayah diketuai oleh ketua banjar.
Yang menarik khas dari kebudayaan Bali pada anggota Banjar Solo adalah pola asuh
anak yang meliputi rangkaian tradisi sejak anak berada di dalam kandungan, kelahiran anak,
(upacara otonan), saat anak beranjak dewasa, mesangih / metatah / mepandes. Terkait dengan
pola pengasuhan anak yang di dalamnya mengandung pembelajaran nilai kebudayaan,
anggota banjar Solo lebih mengutamakan dari sisi keagamaan. Agama Hindu telah terjalin ke
dalam berbagai unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan .
Dalam tulisan ini permasalahan yang diangkat adalah pertama bagaimana penanaman
nilai agama Hindu dalam pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh anggota banjar Solo.
Kedua apa saja kendala dalam penanaman nilai agama Hindu pada anak dan bagaimana
upaya anggota banjar Solo menyikapinya.
Anak dalam keluarga akan tumbuh sesuai dengan referensi budaya terdekat dalam
kehidupannya. Keluarga menurut A.M. Rose merupakan sebuah kelompok yang ada di
dalamnya terdapat suatu interaksi dari orang-orang yang memiliki hubungan darah, hasil
adopsi, maupun berdasarkan ikatan perkawinan. Keluarga sebagai kelompok sosial paling
awal pada diri setiap anak dianggap penting bagi tumbuh kembang pola pemikiran dan
perilaku anak nkarena interaksi paling awal dengan orang-orang di sekitarnya terjadi disini
(Ahmadi, 2004:108). Proses sosialisasi merupakan permulaan dari proses bagaimana diri atau
self seseorang berkembang yang terjadi selama kehidupannya. Periode sosialisasi selama
seseorang hidup terbagi ke dalam dua tahap, yaitu sosialisasi primer dimana anak untuk
pertama kali mendapatkan identitasnya sebagai person atau pribadi, dan sosialisasi sekunder
di mana anak telah menjadi anggota masyarakat (Robinson, 1986:58).
Dalam proses sosialisasi, terjadi netralisasi nilai-nilai dan seorang anak akan
memberikan respon pada tekanan yang ada di sekitarnya. Respon ditunjukkkan sesuai dengan
kepribadian yang dimilikinya. Seorang anak akan menerima perannya, dia tidak akan diberi
kesempatan untuk menciptakan dunianya sendiri disini berbagai harapan akan prestasi,
ditujukan pada bagaimana peran tersebut dijalankan. Inkulturasi dan enkulturasi sebagai
pembelajaran kebudayaan oleh seorang individu dilakukan sejak ia dilahirkan, di mana
individu menyerap dan mempelajari berbagai cara berpikir, bertindak, dan merasakan apapun
yang mencerminkan kebudayannya. Proses tersebut diawali dari dalam lingkungan keluarga,
sehingga bagaimana bentuk pola pengasuhan yang diterapkan orang tua pada anak sangat
menentukan. Baik atau buruk hasil pembelajaran kebudayaan yang dilakukan seorang anak
sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang diberikan pada anak tersebut. Keluarga sebagai
media perantara awal, harus berperan secara maksimal (Manan, 1989:33).
Bonner(2007) menyatakan bahwa pola asuh sangat menentukan kualitas anak kelak,
baik prestasi, keberhasilan, dapat menghadapi tantangan, maupun dapat menyikapi berbagai
masalah dalam hidup. Pola pengasuhan anak menurut Kohn (2007) adalah setiap tindakan
akan membawa konsekuensi pada pengembangan kognitif dan perilaku remaja. Oleh karena
itu, pola asuh yang diterapkan orang tua harus disesuaikan dengan usia maupun kebutuhan
anak (Sopidi,2007:53).
Mendidik adalah memberikan latihan dan di dalamnya terdapat ajaran, tuntunan, serta
pimpinan berkaitan dengan kecerdasan pikiran. Sedangkan pengertian pendidikan adalah
proses pengajaran atau pelatihan dengan menggunakan metode tertentu untuk mengubah
sikap dan perilaku seseorang ataupun kelompok sebagai usaha agar seseorang atau kelompok
tersebut mendapatkan pengetahuan ataupun pemahaman sesuai dengan kebutuhan tertentu.
Dari pengertian ini, maka pendidikan sebagai proses pengajaran memerlukan pengajar, baik
guru maupun orang tua (Syah, 95:10-11). Dalam pendidikan anak, terdapat Tri Pusat
Pendidikan sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003. Tempat pergaulan atau pendidikan yang
berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku anak, yaitu meliputi pendidikan
keluarga. Di sini pendidikan bersifat alami, pendidikan didapatkan melalui pengalaman
sehari-hari secara informal. Kedua adalah pendidikan sekolah yang merupakan pusat
pendidikan formal. Pendidikan masyarakat atau komunitas, dimana pendidikan non formal
diberikan secara sengaja, terencana dan terarah, tetapi tidak berjenjang.
Kebudayaan yang merupakan berbagai pengetahuan, yang berupa ide, gagasan, nilai
yang didapatkan melalui pembelajaran, baik learning cultures maupun teaching cultures.
Margaret Mead (Koentjraningrat, 2007:228-230) memaparkan bahwa learning cultures atau
kebudayaan belajar adalah dimana seseorang mendapatkan pembelajaran secara informal.
Pembelajaran yang dimaksud adalah dengan mendapatkan berbagai pengetahuan dan
Penanaman nilai agama Hindu pada anak melalui Tri Pusat Pendidikan Agama, yaitu:
1. Pendidikan Agama di Pasraman Indraprastha
Di Pasraman, anak diberikan pembelajaran Weda sesuai dengan tingkatan
pemahaman anak. Ajaran agama tidak mudah diartikan dan dipahami oleh seorang
umat manusia. Oleh karena itu Weda diajarkan, khususnya kepada murid dengan
menggunakan metod pembelajaran yang telah sesuai dengan kurikulum pendidikan
agama. Pembelajaran diberikan mulai dari tingkatan PAUD, SD, SMP sampai dengan
SMA.
Metode pembelajaran yang digunakan di Pasraman Indraprastha Solo adalah metode
tugas, diskusi, latihan, tanya jawab dan karya wisata. Ajaran dharma ditanamkan pada
anak melalui berbagai pendekatan rasional, makna dan sebagainya. Materi ilmu tafsir
dan analisis Weda di tingkatan sekolah menengah atas. Setiap materi diberikan sesuai
dengan kemampuan nalar. Maka analisis Weda yang merupakan materi tersulit di
Perkawinan adalah peristiwa yang suci bagi seorang penganut Hindu. Di dalam suatu
perkawinan, seorang istri merupakan rekan dalam kehidupan seorang pria. Di dalam rumah
tangga, tujuan utama dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga dan melahirkan
keturunan. Tujuan utama perkawinan untuk menghasilkan keturunan merupakan sebuah
wujud amalan dharma, kemudian melahirkan pemaknaan akan pentingnya kehadiraan
pelanjut keturunan di dalam kebudayaan Bali yang saat ini masih digunakan dan dilestarikan
pada anggota Banjar Solo. Di dalam kehidupan anggota banjar Solo, pemaknaan purusa
masih dipegang teguh. Anak sebagai purusa adalah dimana anak laki-laki bertanggung jawab
penuh sebagai penerus keluarga. Sebagai perantau yang jauh dari keluarga besarnya, seorang
Kendala dalam Penanaman Nilai Agama Hindu pada Anak dan Upaya yang dilakukan
Anggota Banjar Solo
SIMPULAN
Penanaman nilai agama Hindu dalam pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh
anggota banjar Solo meliputi pendidikan agama anak dalam keluarga, pendidikan agama anak
di sekolah agama dan pendidikan agama anak di dalam komunitas Hindu. Penanaman nilai
agama anak di dalam keluarga yang meliputi pembelajaran yadnya, tri sandhya, yadnya sesa,
pelafalan doa dan mantram, serta etika Hindu yang lainnya. Pendidikan agama di pasraman
meliputi pembelajaran Weda dengan menggunakan pendekatan rasional dan kebermaknaan
sesuai tingkatan kelas murid. Sedangkan pendidikan dalam komunitas meliputi keikutsertaan
Daftar Pustaka
I Nyoman Suendi
ABSTRACT
Surya Majapahit yang terdapat di candi Ceto Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten
Karanganyar merupakan peninggalan Majapahit sekitar tahun 1293 M. Terkait dengan nilai
budaya agama Hindu khususnya seni kriya. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif
deskriptif melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan Motif Surya
Majapahit terdapat lingkaran paling tengah agak besar dikelilingi garis-garis seperti sinar
yang membentuk segitiga berjumlah delapan buah, sebagai simbol delapan dewa penjuru
mata angin. Di bagian tengah Surya Majapahit terdapat lingkaran kosong yang merupakan
dewa Siwa dilambangkan sebagai pusat. Motif Surya Majapahit berfungsi sebagai politik dan
lambang kebesaran dan bermakna religius. Aplikasi Motif Surya Majapahit sekarang
mengalami perubahan demi kepentingan ekonomi menjadi seni kerajinan yang bersifat
profan.
Pendahuluan
Kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia yang berdiri
bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Singosari (1222-1292). Kerajaan yang terletak
didaerah Nusantara ini pada masa dulu termasyur dengan wilayahnya yang luas serta makmur
dan maju kebudayaannya. Majapahit merupakan kerajaan Hindu yang berada pada masa
1293-1522. Majapahit memiliki peninggalan yang beraneka ragam, diantaranya berupa
candi, dan juga benda-benda seni. Salah satu peninggalan masa kerajaan Majapahit yaitu
produk seni berupa motif yang disebut motif Surya Majapahit. Motif Surya Majapahit
merupakan salah satu peninggalan seni kriya berbahan batu dengan teknik pahat (ukir).
terdapat di Candi Ceto yang terletak di lereng gunung Lawu, di Kecamatan Jenawi
Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Surya Majapahit berbentuk lingkaran dengan sinar
berupa garis-garis yang memancar yang mengelilinginya .
Motif Surya Majapahit yang dilukiskan di candi ceto periode tahun 1448 – 1456 Masehi,
kini keberadaannya semakin jelas seraya mengisyaratkan dinamika kehidupan sosio-kultural ,
dan sosio-religius bernafaskan agama Hindu.
Dalam kaitannya membicarakan Motif Surya Majapahit di candi Ceto, yang terbayang
dipikiran kita adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yakni pada jaman Majapahit
yang pernah mengalami kejayaan pada abad-14 pada masa pemerintahan Prabu Hayam
Wuruk (1350-1380). Sartono Kartodirdjo (1998:38) mengungkapkan bahwa pada masa
Majapahit basis kekuasaan sebagian besar berada ditangan birokrasi sekuler, politik dan
militer, para pandita dari berbagai aliran dimasukkan birokrasi kerajaan dan pemerintah
menjamin birokrasi tersebut. Penguasa dan birokrasi mendominasi secara politis dan kultural
masyarakat Majapahit. Selanjutnya dijelaskan bahwa hampir seluruh kebudayaan Majapahit
adalah kebudayaan istana atau dapat dikatakan kebudayaan pada masa itu adalah ciptaan para
penguasa, milik serta hasil karya yang eksklusif dari para birokrasi seperti monumen,
kesusasteraan, tulisan-tulisan teokratis dan ajaran-ajaran hukum. Kebudayaan para
Pembahasan
Motif Surya Majapahit di Candi Ceto, terdapat pada madya mandala candi ceto,
berbentuk dua lapis yaitu lingkaran paling tengah agak besar, kemudian garis-garis sinar.
Lingkaran paling tengah dikelilingi garis-garis seperti sinar yang membentuk segitiga,
sejumlah delapan buah. Sebagai simbol Dewata Nawa sanga dalam agama Hindu, terdiri
dari Dewa Utama Iswara (Timur), Mahadewa (Barat), Wisnu (Utara), Brahma (Selatan),
Sambhu (Timur Laut), Rudra (Barat Daya), Mahesora (Tenggara), dan Sangkara (Barat
laut). Sedangkan bagian tengah berupa lingkaran kosong merupakan dewa Siwa yang
hanya dilambangkan dengan lingkaran sebagai pusat.
Pada masa sekarang motif Surya Majapahit banyak digunakan masyarakat Jawa Timur
untuk motif batik Mojokerto seabgai tanah kelahiran motif Surya Majapahit pada masa
kerajaan Majapahit.
Motif Surya Majapahit yang bernilai ekonomi dapat dijumpai pada hiasan interior
balai pelestarian purbakala (BP3) dan seni kerajinan sarung bantal sebuah seni klasik
lambang kerajaan terbesar di negeri ini. Surya Majapahit memberi inspirasi sebuah karya
seni yang menunjukan simbol kerajaan nusantara.
Terkait dengan relief surya Majapahit di Candi Cetho Desa Gumeng Jenang
Karanganyar, disimbolkan sebagai Dewata Sanga oleh masyarakat Hindu dipercaya
sebagai dewa penjaga penjuru mata angin, sehingga keseimbangan dan ketentrama alam
semesta terjaga, makna Surya Majapahit juga merupakan wujud dari kepercayaan pada
Dzat Yang Maha Tnggi.
Aplikasi motif Surya Majapahit pada masa sekarang mengalami perubahan disebabkan
pada masa Majapahit pada kurun waktu abad 13-15 ditandai dengan masyarakat
agraris. Motif surya majapahit dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu masih sangat kuat.
Tetapi pada masa sekarang bangsa Indonesia menginjak kepada masyarakat industri
morif surya majapahit mengalami perubahan demi kepentingan ekonomi yakni
menjadi seni kerajinan yang bersifat profan, namun rohnya tetap bersifat religius.
Dalam hal ini seperti munculnya seni kerajinan batik motif surya majapahit Mojokerto
dan industri kerajinan bantal kursi surya majapahit seperti berikut ini :
Saat ini motif Surya Majapahit sudah mengalami perubahan masih banyak
digunakan oleh masyarakat Jawa Timur antara lain untuk motif batik Mojokerto
maupun sebagai motif hiasan interior.
Seni membatik di pulau Jawa sudah berusia ratusan tahun. Sejarahnya dapat
diamati dari motif batik itu sendiri antara lain lukisan tanaman, binatang dan cerita
jaman dahulu dari menitik, menetes. Sebaliknya perkataan 'batik' dalam bahasa
krama 'serat' dan dalam bahasa ngoko 'tulis', atau melukis dengan lilin.
Pekerjaan membatik di zaman dahulu merupakan suatu pekerjaan kebanyakan
wanita dari kalangan bangsawan dan hasilnya hanya dipakai untuk kebutuhan
keluarga sendiri. Juga ada peraturan keras bahwa seseorang hanya boleh memakai
lukisan batik yang diijinkan. Dari beberapa macam lukisan batik, diantaranya
'parang rusak' hanya boleh dipakai oleh raja dan dilarang keras dipakai oleh orang
biasa. Oleh sebab itu batik dengan lukisan ini dinamakan juga 'larangan'. Semakin
lama batik semakin berkembang dan kini sudah banyak berdiri industri-industri batik
seperti batik motif Surya Majapahit M ojokerto.
Untuk hiasan interior antara lain digunakan oleh Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP 3) Trowulan. Adapun motif Surya Majapahit yang ada di Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP 3) Trowulan dengan motif teratai.
Surya Majapahit di atas terdapat pada ukiran meja berbahan kayu di Museum
Trowulan. Berbeda dengan Surya Majapahit pada masa dulu yang diukir dengan
tokoh dewa-dewa Hindu, Surya Majapahit di atas berbentuk lingkaran yang tersusun
atas dua lapis yaitu lingkaran kecil di bagian tengah kemudian lingkaran yang lebih
besar. Pada bagian lingkaran kecil di ukir motif bunga teratai, yang mana dalam
kepercayaan Hindu motif bunga teratai melambangkan kesucian. Bagian lingkaran
yang lebih besar terdiri dari delapan bagian, juga di ukir motif bunga teratai tetapi
hanya bagian kelopak saja yang mengisi ke delapan bidang bagian tersebut.
Aksara Dharma, Maret 2016 63
Sedangkan bagian yang mengelilingi lingkaran tersebut berupa garis-garis yang
membentuk segitiga sejumlah delapan buah. Masing-masing bidang segitiga tersebut
juga diukir garis berbentuk setengah lingkaran dan dikelilingi motif potongan
kelopak bunga teratai yang tersusun membentuk segitiga dan bagian ujungnya
berbentuk lingkaran kecil.
Bentuk motif ini merupakan pengembangan bentuk motif Surya Majapahit yang
mana pada masa sekarang kehidupan beragama di wilayah Trowulan lebih banyak
didominasi oleh masyarakat yang beragama muslim sehingga perwujudan dewa-
dewa Hindu diganti dengan motif bunga teratai yang melambangkan kesucian.
Unsur sinkretisme antara islam dan hindu juga berperan dalam perwujudan Surya
Majapahit di atas.
Bentuk lingkaran yang dibagi delapan dalam motif ini berkaitan dengan bilangan
8+1, dalam kepercayaan Jawa melambangkan ajaran "Astabhrata". Ajaran Astabrata
yaitu ajaran keutamaan sifat baik yang mencerminkan ekspresi budaya Jawa
(Dharsono 2007:38). Sedangkan lingkaran bagian tengah sebagai pusat yaitu
manusia sebagai pusat pengendali. Menurut Edi Sedyawati dalam Sri Marwati (2010
: 145) dan sifat-sifat baik sesuai Astabhrata yaitu :
1) Dewa Indra, bratanya ialah sifat dan watak angkasa, intinya pemimpin
hendaknya mempunyai keluasan batin dan mengendalikan diri sehingga mampu
bersifat sabar
2) Dewa Surya, bratanya ialah sifat dan watak matahari, intinya pemimpin harus
memiliki sifat mendorong dan menumbuhkan daya hidup baik bagi dirinya
maupun rakyatnya ,
3) Dewa Bayu, bratanya ialah sifat dan watak angin, intinya pemimpin hendaknya
dekat dengan rakyatnya tidak membedakan derajat
4) Dewa Kuwera, bratanya ialah sifat dan watak bintang, intinya pemimpin
hendalmya menjadi teladan bagi rakyatnya
5) Dewa Baruna, bratanya ialah sifat dan watak samudra, intinya pemimpin harus
berlaku adil dan bijaksana
6) Dewa Agni, bratanya ialah sifat dan watak api, intinya pemimpin hendaknya
berwibawa dan berlaku adil
7) Dewa Yama, bratanya ialah sifat dan watak bumi, intinya pemimpi, hendaknya
murah hati dan pemberi
8) Dewi Candra, bratanya ialah sifat dan watak Bulan, intinya hendaknya mampu
menerangi dengan mendorong rakyatnya ketika sedang kesulitan
Untuk satu-satunya di Indonesia yang unik seni kerajinan tangan sarung bantal,
ornamen kulit yang menghiasi sarung (serehan) yang menghiasi sarung bantal
sebuah seni klasik lambang kerajaan terbesar di negeri ini surya majapahit
memberikan inspirasi sebuah karya seni yang menunjukkan simbol kerajaan
nusantara (id.wikipidia.org).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Bentuk, Fungsi dan Makna Motif Surya
Majapahit Candi Ceto di Kabupaten Karanganyar dan aplikasinya pada masa sekarang dapat
diambil beberapa simpulan seperti berikut ini :
Motif Surya Majapahit yang terdapat di candi Sukuh dan candi Ceto diciptakan bukan
karena tanpa tujuan, motif Surya Majapahit diciptakan terkait kehidupan masyarakat kerajaan
Majapahit. Penciptaan motif Surya Majapahit ini mempunyai masyarakat pendukungnya
sendiri yaitu masyarakat pada masa itu sebagai lambang kebesaran kerajaan Majapahit atau
lambang kebesaran kuasaan raja. Terkait keyakinan pada agama Hindu saat itu tercipta relasi
antara motif Surya Majapahit dan masyarakat Majapahit sehingga terdapat relasi nilai
keagamaan. Penciptaan motif Surya Majapahit digerakkan oleh adanya kebutuhan religius,
ada kebutuhan untuk mengekspresikan nilai-nilai religinya.
Pengetahuannya tentang nilai-nilai keagamaan Hindu tentang kepercayaan pada Dewa
penjaga arah mata angin menjadi pendorong terciptanya motif yang melambangkan
kedudukan dewa-dewa penjaga mata angin tersebut. Benda seni motif Surya Majapahit ini
mempunyai nilai bagi masyarakat pendukungnya sehingga benda seni ini bernilai spiritual.
Terkait konsep mandala, motif Surya Majapahit merupakan lambang kesatuan makrokosmos
dan mikrokosmos.
Perwujudan motif Surya Majapahit pada masa sekarang merupakan perwujudan yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial masyarakat setempat yaitu masyarakat Trowulan yang
sudah terkondisikan berada dalam wilayah di mana dulu kerajaan Majapahit berada.
Keberadaan motif Surya Majapahit berbeda penggunaan dan pemanfaatnya dengan fungsi
motif Surya Majapahit pada masa dulu karena memang masyarakat pendukungnya sudah
berbeda. Saat ini masyarakat Trowulan atau Mojokerto menggunakan motif Surya Majapahit
ini hanya berfungsi sebagai hiasan seperti untuk motif hiasan interior sehingga
pemaknaannya pun sudah berbeda dengan pemaknaan motif Surya Majapahit pada masa
kerajaan Majapahit dulu.
SARAN
Dalam membangun kehidupan beragama dan seni perlu dikembangkan pola pemikiran yang
luas, karena bangsa Indonesia secara realitas terdiri dari beraneka suku, budaya, tradisi dan
agama.
Perkembangan seni dan agama tergantung tingkat kepengaruhan budaya yang
beragam (multi culture) oleh pengaruh agama, kepercayaan, pendidikan yang memberi warna
setiap daerah. Seni dan agama yang ada di Indonesia merupakan kebudayaan masyarakat
dengan segala falsafah yang melatarbelakanginya. Dengan pemahaman ini diharapkan kepada
pemerintah khususnya kementerian agama untuk lebih memperhatikan kearifan lokal yang
DAFTAR PUSTAKA
Widhi Astuti
Prodi Penerangan Agama Hindu
STHD Klaten
Abstrak
Tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu tarian tertua diantara tari bedhaya yang
lain. Didalam pemikiran masyarakat jawa, kenyataan budaya dan kenyataan dari alam lahir
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat Jawa adalah figur yang
akrab dari tradisi leluhurnya. Masyarakat Hindu, sangat kental dengan adat yang serba
dengan sesaji, sehingga kebudayaan, budaya, norma, dan etikanya senantiasa tetap ingin
dipertahankan dan dihormati dan diyakini. Dalam ajaran agama Hindu diajarkan tiga bentuk
hubungan yang baik dalam hidup, yakni yang disebut dengan trihita karana, hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
alam. Tiga hubungan tersebut dapat kita temui didalam tari Bedhaya Ketawang. Nilai-nilai
pendidikan religiulitas dalam tari Bedhaya Ketawan tercermin dalam pola dan tingkah laku
yang serba susila, teratur, sopan, berbudi luhur, halus, pada hakikatnya merupakan usaha
untuk mengendalikan hawa nafsu. Perilaku tersebut tidak hanya tercermin dari kehidupan
sehari- hari, melainkan bisa tercermin dari bentuk kesenian, baik dari segi konsep ataupun
dari wujudnya. Tari Bedhaya Ketawang dijadikan sarana jumenengan raja dan tinggalan
jumenengan raja. Sifat kesakralan dan kekeramatan tari ini menyebabkan tari Bedhaya
Ketawang menjadi satu- satunya tari keraton yang masih tetap bertahan didalam keraton.
Fungsi tari Bedhaya Ketawang sebagai sarana upacara jumenengan raja dan tinggalan
jumenengan raja, menempatkan tari Bedhaya Ketawang sebagai sarana ritual dan bersifat
sangat sakral. Kesakralan dalam tari Bedhaya Ketawang ini disebabkan masih kuatnya
keyakinan masyarakat jawa kepada makhluk- makhluk halus dan hal- hal yang bersifat gaib
yaitu datangnya Kanjeng Ratu Kencana Sari, penguasa Laut Selatan yang diyakini
berkunjung pada saat tari Bedhaya Ketawang ditampilkan dan terkadang beliau
membenarkan jika ada gerakan penari yang salah.
Pendahuluan
Keraton Surakarta merupakan salah satu aset kebudayaan yang masih ada sampai
sekarang yang memang harus di lestarikan. Pada dasarnya keraton Surakarta memiliki banyak
keunikan dengan nilai- nilai budayanya. Salah satu budaya atau keunikan tersebut bisa kita
lihat dari bentuk keseniannya yang masih sangat tradisional dan masih terpatok oleh pakem-
pakem tertentu, yang salah satunya adalah Tari Bedhaya Ketawang. Dalam Keraton
Surakarta memiliki banyak sekali tari- tarian tradisi yang dalam penyajiannya digunakan
untuk keperluan- keperluan tertentu, yang salah satunya adalah tari Bedhaya ketawang. Tari
Bedhaya Ketawang merupakan salah satu tarian yang dianggap sebagai induk dari tari
bedhaya lainnya disamping tari yang paling tua , juga tari bedhaya ketawang ini merupakan
tarian yang sangat istimewa. Sehubungan dengan pembahasan tersebut maka dalam
pelaksanaan ataupun penyajian tari Bedhaya Ketawang itupun banyak memakai sesaji, karena
Pembahasan
Berawal dari sebuah cerita terciptanya Tari Bedhaya Ketawang adalah karena
pertemuan antara Panembahan senopati masa mudanya bernama Danang Suto Wijayo
dengan Kanjeng Ratu Kidul (Kanjeng Ratu Kencana Sari). Kangjeng Ratu Kidul pada masa
mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu
Mundhingsari, dari istri yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Suranadi, cicit Raja
Siluman di Sigaluh. Layaklah bila sang putri ini menderita sakit budhug (lepra/ kulit)
kemudian melarikan diri dari kraton dan bertapa di pantai selatan. Selama bertapa Sang putri
sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau
sebaliknya. Sang putri tidak bersuami (wadat) dan menjadi ratu di antara mahluk seluruh
pulau Jawa. Istananya di dasar samudera Indonesia. Masalah ini tidak mengherankan, karena
sang putri memang mempunyai darah keturunan dari mahluk halus. setelah menjadi ratu sang
putri lalu mendapat julukan Kangjeng Ratu Kidul ( Kanjeng Ratu Kencana Sari).
Di tengah- tengah persemediannya Panembahan Senopati juga bertapa di pantai
selatan, yang mengakibatkan Kanjeng Ratu Kidul Merasa Terganggu dengan kehadiran
Panembahan Senopati akhirnya terjadilah perang batin antara Panembahan Senopati dengan
Kanjeng Ratu Kencana Sari. Karena Kekuatan yang dimiliki oleh Panembahan Senopati
terlalu besar akirnya dalam peperangan tersebut Kanjeng Ratu Kidul kalah dan akhirnya
mengabdi dan bersedia menjadi permaisuri Panembahan Senopati. Berawal dari situlah Tari
Bedhaya Ketawang tercipta karena tarian tersebut menggambarkan kisah percintaan Kanjeng
Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati maka tarian tersebut juga disebut tari kesuburan.
Sargini yang merupakan salah satu abdi dalem Keraton Surakarta manambahkan
bawasanya Tari Bedhaya merupakan salah satu tarian yang terbentuk dan berkembang di
lingkungan tembok keraton. Tarian ini konon berasal dari tarian candi yang dalam
penyajiannya dengan memakai gerakan halus dan lentur dalam teknik sajian koreografi yang
sangat rumit. Sebagai salah satu tarian yang berasal dari candi maka Tari Bedhaya banyak
mengandung unsur simbolik dan mempunyai makna tertentu entah itu dari rias busana,
kostum, gerak, gendhing, pola lantai, semuanya yang merupakan rangkaian yang digunakan
dalam penyajian tari Bedhaya tersebut.
Mengingat Tari Bedhaya Ketawang dianggap sangat rumit, istimewa dan mempunyai
kedudukan tertinggi menyangkut agama dan kepercayaan, adat upacara(seremoni), sakral,
religius,tarian percintaan atau perkawinan, maka pembinaan Tari Bedhaya Ketawang
mendapat prioritas istimewa :
3
a) Pengayom dan perhatian langsung dari raja ( Sunan)
b) Dalam lembaga khusus (abdi dalem bedhaya)
c) Tempat latihan cukup luas dan terhormat (Pendapa Ageng Parsedya)
d) Semua fasilitas dicukupi (latihan dan pagelaranya)
e) Terhormat (dekat sunan dan mungkin bisa menjadi permaisuri)
f) Kedudukan dan gaji (pangkat dan biaya)
g) Sangat intensif (dua kali seminggu dengan banyak pelatih)
h) Iringan langsung dengan karawitan (karawitan lengkap)
1. Adat upacara
2. Sakral
3. Religius
Tari Bedhaya Ketawang memang sudah sangat jelas sekali ada hubungan religius
yang dapat dilihat mulai dari latihannya yang menggunakan uborampe atau banten sesaji
yang sangat rumit, dan juga masalah penarinya harus melakukan makemit terlebih
dahulu. Dari segi religi juga dapat diketahui dari kata- kata yang dinyanyikan oleh
suarawati atau pesinden tari Bedhaya Ketawang. Antara lain yang berbunyi :....tanu
astra kadya agni urupe, kantar- kantar kyai,....yen mati ngendi surupe, kyai?“ (
.........kalau mati kemana tujuannya, kyai?). Dalam istilah jawa “Manunggaling Kawula
Gusti“ semua yang ada akan kembali ke asalnya, menyatu dengan Tuhan atau Ida
Hyang Widhi Wasa. Dalam hindu juga disebutkan “Moksartam jagaditta ya ca iti
dharma“ yang berarti tujuan akhir dalam hidup adalah moksa, menyatu dengan Tuhan.
Dalam arti,dapat membebaskan dirinya (pikiran dan perasaannya) dari ikatan
keduniawian serta pengaruh suka dan duka yang muncul dari Tri Guna akan dapat
mencapai kelepasan itu, sebagaimana diungkap dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
“Brahabhutah prasanatma,na sochati na kankshanti,samah sarveshu
bhuteshu,madbhaktim labhate param“
Artinya: Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tentram, tiada dhuka tiada nafsu-
birahi, memandang semua makhluk-insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku
yang tertinggi. (Bhagawadgita, XVIII.54)
Tarian upacara dengan latar belakang keramat terutama merupakan tarian wanita.
Tidak lebih dari 50 tahun yang lalu tarian ini hanya boleh dipentaskan dikeraton saja. Di
keraton tarian ini hanya boleh ditarikan pada hari- hari besar tertentu, sedangkan para
penari sudah sejak berhari- hari sebelum pementasan harus mematuhi berbagai
kewajiban serta pantangan tertentu, agar dapat tercipta suatu suasana yang keramat.
Penari tarian seperti itu adalah biasanya gadis- gadis kecil, tetapi ada juga beberapa
tarian yang ditarikan oleh anak- anak pria berpakaian wanita. Beberapa tarian suci
ditarikan oleh wanita- wanita dewasa, dan ada tarian yang agak baru dan dianggap tidak
begitu keramat yang ditarikan oleh gadis- gadis remaja. Ada dua jenis tarian upacara
keramat, yaitu Bedhaya dan Srimpi (Koentjaraningrat, 1994: 298.)
Tarian Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian 'mistik' hubungan batin antara
raja-raja dinasti Mataram dan penerusnya dengan penguasa laut selatan atau yang lebih
dikenal dengan Kanjeng Ratu Kidul (Budiyanto, 2013). Tari Bedhaya Ketawang ini
diperagakan oleh Sembilan penari putri yang belum menikah atau yang masih perawan,
masih gadis. Yang boleh menarikan tari Bedhaya Ketawang ini pada jaman dahulu
adalah orang yang masih ada darah keturunan raja, dan orang- orang yang hidup di
lingkungan dalam tembok keraton, mengingat sangat sacral dan keramatnya tarian ini,
maka sebelum menarikan para penari menjalani berbagai aturan. Yakni sebelum mbeksa/
menarikan sehari sebelum menari para penari di pingit artinya para penari tidak boleh
keluar ruangan yang telah di tentukan secara sembarangan. Selama dipingit para penari
memakai jarit dan kemben, dan sudah memakai sanggul dengan dirias memakai
kerangka paes agung. Penari ini harus yang masih gadis dan dalam menarikan tidak
diperkenankan penari yang sedang mengalami mensturasi, karena itu juga dapat
mengurangi kesakralan dari pada tari Bedhaya Ketawang tersebut (wawancara, R.T.
Pamardi Bedhaya, 07 maret 2014)
Gerak sebagai medium pokok dalam tari menjadi bagian yang terpenting untuk
dijabarkan dalam tulisan ini. Gerak terkandung dalam strukturnya, mengalir secara
alamiah dari berbagai sumber dan tingkah laku manusia sehingga tak akan kekeringan
atau harus mencari-cari agar komposisi tetap hidup. Penggunaan ragam gerak serta alasan
memilihnya dalam implementasi setiap komposisi tari memerlukan kejelian dan
ketajaman rasa untuk menciptakan imajinasi yang selaras dengan tema. Begitu juga gerak
yang digunakan dalam menyajikan Tari Badhaya Ketawang ini. Bedhaya ketawang dalam
geraknya merupakan salah satu bentuk gerak yang memiliki unsure – unsure tertentu yang
berhubungan dengan alam, gaib dan begitu juga Tuhan. Kita dapat melihat bahwa dari
setiap gerakanya memiliki symbol dan makna, missal leyekan yaitu gerak penari meliuk-
liuk itu seperti halnya pohon yang tertiup angin atau mucang kanginan, ada juga gerak
awal yaitu gerakan sembah atau manembah sebelum menari yang di artikan sebelum kita
menari kita manembah dulu pada Hyang Esa. Apabila dikaitkan dalam agama hindu,
seperti halnya kita sembahyang, yaitu menyembah pada Hyang Maha Agung karena pada
dasarnya alam semesta itu akan mengalami proses awal (penciptaan) dan pralaya
(kembali keasalnya) seperti yang tercantum dalam Kitab Bhagawadgita sebagai berikut:
“Etadyonini bhutani sarvani ‘ty upadharaya, aham kritamasyajagatah prabhavah
pralayas tatha”
Artinya:
Ketahuilah bahwa semua insane mempunyai sumber kelahiran disini, aku adalah asal
mula alam semesta alam semesta ini demikian pula kiamat kelaknya ini”
(Bhagawadgita, VII.6)
Didalam menarikan tari Bedhaya Ketawang ini memang melatih kesabaran. Seperti
yang diutarakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Harya Poeger yang merupakan pengageng
sasono pustoko keraton Surakarta beliau menyebutkan bahwa untuk menarikan tari
Bedhaya Ketawang memang harus sareh, karena dalam menarikan bedhaya melatih
kesabaran. Disini kesabaran yang dapat di artikan bahwa dalam hidup kita tidak boleh
tergesa- gesa dalam mengambil suatu keputusan, seperti halnya dalam menjalani hidup
orang jawa sering menyebutkan “ alon- alon waton kelakon” jadi seadainya dalam
perjalanan hidup sekarang ini kita belum bisa meraih apa yang kita inginkan, pasti kita
akan mendapatkannya kesempatan dilain waktu asal kita mau berusaha dan bekerja keras.
(Wawancara, 25 Februari 2014)
Kostum merupakan salah satu adribud yang digunakan dalam mbeksa atau menari.
Dalam tari Bedhaya Ketawang yang ada di keraton Surakarta yakni memakai busana
dodot ageng, dengan cirri kas seperti temanten jawa basahan. Kostum yang dikenakan
pada tari Bedhaya Ketawang ini memang sangat rumit. Baik dari tata riasnya maupun
tata busananya. Dodot memiliki dua jenis, jenis yang pertama adalah dinamakan dodot
Musik merupakan suatu bagian yang terkadang tidak bisa ditinggalkan, karena musik
merupakan suatu pasangan atau sebagai pelengkap dari tari. Dalam penyusunan dan juga
untuk menambah sebuah kwalitas dari sebuah karya atau pertunjukannya yang
menggabungkan adanya iringan musik yang menjadi bagian dari susunan koreografinya.
Keberadaan musik dalam karya ini tidak hanya sebagai pengiring ataupun sebagai
ilustrasi, namun menjadi satu kesatuan yang utuh antara musik dan tari. Sebagai medium
yang sangat penting keberadaannya musik dapat memunculkan warna koreografi dan
mendukung kekuatan pada bagian- bagian penting dalam seluruh sajian. Pengolahan
beberapa unsur bunyi diharapkan dapat menimbulkan efek surprise, artinya pada bagian
tertentu secara terencana terdapat suara serta momen gerak yang dilakukan secara tiba-
tiba sehingga dapat membawa dan memancing penonton ke dalam suasana yang akan
dihadirkan dalam garapan atau karya tersebut.
Jawa merupakan salah satu daerah yang sangat luas yang meliputi seluruh bagian
tengah dan timur. Jawa sering disebut dengan istilah kejawen. Dalam hal sesaji jawa
sangat kental dengan hal- hal tersebut karena merupakan salah satu unsure dari budaya.
Bersama- sama dengan pandangan alam pikiran partisipasi tersebut, orang Jawa percaya
kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal,
yaitu kasekten, kemudian arwah atau ruh leluhur dan makhluk- makhluk halus seperti
misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam
sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan masing- masing makhluk haluus
tersebut dapat mendatangkan sukses- sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun
keselamatan, tetapi sebaliknya bisa pula mendatangkan gangguan pikiran, kesehatan,
bahkan kematian. Maka bila mana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu,
ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan misalnya berbatin,
berpuasa, berpantang, melakukan perbuatan serta makan- makanan tertentu,
berselamatan, bersesaji.( Prof.Dr. Koentjaraningrat.1997. 347). Maka di lingkungan
keraton tak lepas dari unsure budaya yang ada dan masih sangat melekat. Sehingga
dalam segala kegiatan di lingkungan keraton masih sangat erat sekali hubunganya
dengan hal- hal yang magis dan mistis. Seperti Tari Bedhaya Ketawang. Dalam latihan
sampai dengan pementasannya Tari Bedhaya Ketawang tidak lepas dari unsure
magisnya. Tari Bedhaya Ketawang memang baik dikalangan keraton dan diluar tembok
keraton masih sangat terkenal dengan kesakralannya, karena tidak semua orang dapat
melihatnya. Kesakralan itu terjadi dibuktikannya dengan beberapa kejadian aneh seperti
yang diungkapkan oleh sari seorang penari bedhaya ketawang:
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang amat sakral, selain itu merupakan
pusaka Keraton Surakarata. Maka tidak semua orang tidak diperbolehkan untuk melihat
Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi
seseorang yang kaya spiritual dan intelektual, sehingga dia dapat meningkatkan kualitas
hidupnya di segala aspek dan menajalani kehidupan dengan cita-cita dan tujuan yang pasti
(Maarif, 1996: 6). Sudah kita pelajari bawasanya Tari Bedhaya Ketawang merupakan simbol
dari kekuasaan raja, yang merupakan salah satu aset keraton surakarta. Pada jaman dahulu
orang menciptakan sebuah karya pastinya melalui perhitungan yang sangat matang. Dahulu
leluhur kita menggunakan akal sehat untuk tetap bertahan hidup dan membuat karya-
karyanya. Raja sebagai penghubung antara manusia, alam dengan Tuhan. Raja dipercaya
memiliki kekuatan yang sangat dasyat, oleh sebab itu banyak orang yang berbondong-
bondong untuk mengabdikan diri untuk- Nya. Tari Bedhaya Ketawang merupakan Tari
ciptaan Kanjeng Ratu Kencana Sari dengan Panembahan Senopati. Dalam penciptaannya
beliau bertapa, maka hasil dari ciptaanya pun juga bagus. Tari bedhaya Ketawang ini
memang sangat rumit dipandang dari sudut manapun serba rumit. Dilihat dari makna, simbol
yang ada pada Tari Bedhaya Ketawang sangat bagus berisi tentang ke- Tuhanan dan ajaran-
ajaran kebaikan / ajaran dharma. Maka tak heran jika penulis penasaran untuk meneliti Tari
Bedhaya Ketawang ini. Tari Bedhaya Ketawang selain berisikan tentang ke- Tuhanan juga
berisikan tentang pendidikan etika, budi pekerti dan kedisiplinan.
a. Pendidikan Etika
Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep
yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan
yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin (1993),
etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or
reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam
batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia,
etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsip- prinsip moral yang ada dan pada saat yang
dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari
kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bawasanya banyak sekali
nilai etika yang terdapat pada tari Bedhaya Ketawang. (Lindsay , 1991 : 436 )
mengatakan :
Kesenian tradisional adalah suatu ekspresi hasrat manusia akan keindahan dengan
latar belakang tradisi/ sistem budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut. Dalam karya
seni tradisional tersirat pesanan dari masyarakatnya yang berupa pengetahuan, gagasan,
kepercayaan, nilai, moral, dan sebagainya. Melalui sang seniman dan karya seninya ,
masyarakat berusaha memahami, menginterprestasikan atau menjawab masalah –
masalah lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Kesenian
merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan bersama misalnya kemakmuran,
Yang kedua adalah berkata yang baik dan suci, seperti tidak suka mencaci maki,
tidak berbicara kasar kepada makhluk lain, tidak ingkar janji, tidak memfitnah. Yang
ketiga yaitu berbuat yang baik seperti tidak menyiksa makhluk lain, tidak berzina, tidak
mencuri. Bertingkah laku yang baik, terlebih-lebih lagi pada seni tari merupakan hal
yang patut dan wajib diperhatikan karena hal itu adalah hal yang sangat penting, seperti
diuraikan dalam Sarasamuschaya, sloka 125 sebagai berikut:
Etika percakaapan juga bisa kita lihat dari bentuk sindenan dari tari Bedhaya
Ketawang. Maka dapat kita simpulkan bahwa dalam tari Bedhaya Ketawang mempunyai
pendidikan etika yang sangat kental.
b. Pendidikan Kedisiplinan.
Dalam tari Bedhaya Ketawang kedisiplinan juga diterapkan hal itu terurai dalam
beksan. Seorang penari pada dasarnya dituntut 3 hal yaitu wirasa, wiraga, wirama.
Kedisiplinan dalam wirasa yaitu kedisiplinan dalam hal rasa. Seorang penari dituntut
peka dalam hal rasa saat menari, dapat merasakan apa yang ia lakukan/ sadar dengan
apa yang ia lakukan disini dalam kehidupan bahwa seseorang dituntut untuk disiplin
dalam hal rasa yaitu ngolah rasa, tegas dalam segala hal, peka terhadap lingkungan.
Wiraga yaitu seseorang dalam hal pekerjaan apapun harus disiplin sesuai dengan bakat
dan kemampuan yang dia miliki. Dalam lingkungan ia hiduppun manusia diharapkan
untuk bisa beradaptasi. Wirama yaitu ketepatan dalam gendhing. Jika dalam kehidupan
bisa diartikan tepat dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Kesadaran akan sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri, sesuai
dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan yang
diarahkan pada suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Sikap dan perilaku ini
diwujudkan dengan perilaku yang konsisten, taat asas menuju tujuan tanpa perlu
pengawasan dan dorongan secara terus- menerus. Perilaku ini diwujudkann dalam
hubungannya dengan Tuhan dan diri sendiri. Seperti yang dapat kita liat dalam seloka
sebagai berikut :
Kesimpulan
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian tertua diantara tari bedhaya yang lain. Tari
Bedhaya Ketawang merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh Keraton Surakarta. Didalam
pemikiran masyarakat jawa, kenyataan budaya dan kenyataan dari alam lahir merupakan
suatu kenyataan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat Jawa adalah figur yang akrab dari
tradisi leluhurnya. Begitu juga masyarakat penganut ajaran agama hindu, sangat kental
dengan adat yang serba dengan sarana upakara. Sehingga kebudayaan budaya, norma, dan
etikanya senantiasa tetap ingin dipertahankan dan dihormati dan diyakini.
Dalam ajaran agama hindu diajarkan tiga bentuk hubungan yang baik dalam hidup,
yakni yang disebut dengan trihita karana, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Tiga hubungan tersebut dapat
kita temui didalam tari Bedhaya Ketawang. Selain itu ada juga tentang ajaran hidup yang
dapat kita ungkap yaitu berfikir, berkata, dan berbuat yang baik.
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tari yang menggambarkan hubungan mistis
antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul ( Kanjeng Ratu Kencana Sari) yang
bersifat sakral. Konsep tentang ratu gung binathara menentukan bahwa Tari Bedhaya
Ketawang mempunyai fungsi khusus yaitu konsepsi tentang kekuasaan raja, yang
menempatkan raja sebagai penjelmaan dewa, yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Tari Bedhaya Ketawang dijadikan sarana jumenengan raja dan tinggalan jumenengan
raja. Sifat kesakralan dan kekeramatan tari ini menyebabkan tari Bedhaya Ketawang menjadi
satu- satunya tari keraton yang masih tetap bertahan didalam keraton. Fungsi tari Bedhaya
Ketawang sebagai sarana upacara jumenengan raja dan tinggalan jumenengan raja,
menempatkan tari Bedhaya Ketawang sebagai sarana ritual dan bersifat sangat sakral.
Kesakralan dalam tari Bedhaya Ketawang ini disebabkan masih kuatnya keyakinan
masyarakat jawa kepada makhluk- makhluk halus dan hal- hal yang bersifat gaib yaitu
datangnya Kanjeng Ratu Kencana Sari, penguasa Laut Selatan yang diyakini berkunjung
pada saat tari Bedhaya Ketawang di pagelarkan.
Dalam tari Bedhaya Ketawang juga mengandung unsur- unsur pendidikan, terutama
pendidikan tentang ke-Tuhanan. Sebagai contoh pola dan tingkah laku yang serba susila,
teratur, sopan, berbudi luhur, halus, pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengendalikan
hawa nafsu. Perilaku tersebut tidak hanya tercermin dari kehidupan sehari- hari, melainkan
bisa tercermin dari bentuk kesenian, baik dari segi konsep ataupun dari wujudnya.
Kepustakaan
8
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Pustaka
Brakel, Clara & Papenhuijzen. 1992. The Bedhaya Court Dences of Central
Java.Netherland : E.J.Brill
Budiyanto, Eko Wahyu. 2013. Estetika Tari Bedhaya Ketawang. Suara Merdeka.
Dewi, Nora Kustantina. 2001.” Tari Bedhoyo Ketawang Legimitasi Kekuasaan Raja
Surakarta”.2001: Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.
Hawkins M Alma, I Wayan Dibia (terjemahan), Bergerak Menurut Kata Hati Metode
Baru daam Menciptakan Tari, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Humphrey Doris, Sal Murgiyanto (terjemahan),1983, Seni Menata Tari, Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.
SUGIMAN
sugimaklaten@yahoo.co.id
ABSTRAK
Dinegara Republik Indonesia yang kita cintai ini kehidupan masyarakat yang sangat
Plural, beraneka suku bangsa, beragam adat istiadat, kepercayaan dan Agama. Berbagai
Agama masuk atau ke Indonesia. Berbicara tentang kerukunan umat beragama , tampaknya
sudah tidak asing lagi hanya biasa saja. Karena kerukunan ini sudah menjadi warisan leluhur
kita. Kondisi kelihatan baik-baik saja namun ternyata muncul berbagai isu, muncul
permasalahan entah itu muncul diantara internal ataupun eksternal. Secara historical sejak
zaman Kerajaan , para pemimpin dari setiap suku bangsa Di Indonesia sudah mencanangkan
bagaimana hidup dalam Kedamaian dan hidup rukun. Sesuai dengan dasar Negara kita
Pancasila dan UUD 1945 ini merupakan pengikat bangsa indonesia dari berbagai majemuk
suku, agama dan bahasa . Dengan kemajemukan ini dan sikap-sikap kerukunan sudah
merupakan warna jati diri bangsa yang telah tumbuh kuat sejak menjadi jaman kerajaan.
Dengan konsep kerukunan antar umat beragama dalam ajaran agama hindu sudah tidak asing
lagi yang menjadi rajutnya adalah ajaran Tat Twan Asi dan ajaran Catur Guru karena ajaran
yang teruraikan merupakan ajaran cinta kasih, saling hormat menghormati sehingga tercipta
kehidupan yang serasi, selaras rukun damai.
Kata Kunci :
I. PENDAHULUAN
II. PEMBAHASAN
Pluralitas sebagai suatu keadaan nyata dalam kehidupan ini harus dikelola dengan
baik agar setiap komunitas dapat berkembang secara wajar sesuai dengan hukum alam
(Rta). Kehidupan di dunia ini harus diupayakan agar berjalan dengan harmonis . Upaya
ini dilakukan oleh manusia karena manusia diberi kelebihan akal budi (Vijnana) yang
tidak dimiliki oleh makluk lain. Kemajuan dibidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
akhir-akhir ini tak selamanya memberikan kemudahan hidup kepada manusia. Tak
disangkal bahwa kemajuan itu pun dalam beberapa hal membawa dampak negatif bagi
kehidupan ini. Terlepas dari itu semua, fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta
sosial nyata yang harus dihadapi masyarakat modern. Sementara itu dalam konteks yang
mana unsur pembentukannya adalah multi-agama, multi-budaya, muti ras dan sebagainya.
Perspektik Hindu dalam masalah pluralitas agama ini menjadi tampak jelas melalui
penjabaran , Pertama di dalam ajaran agama Hindu dikenal ajaran “Tri Hita Karana”
yang artinya Tiga hubungan yang harmonis untuk memperoleh kebahagiaan, Kedua
dalam ajaran Tat Twam Asi implementasinya dalam realitas praktis dalam masyarakat
Hindu . Masalah kehidupan bersama antar agama didalam masyarakat Hindu yang
merupakan masalah sosial yang sangat penting dan serius sekaligus sensitif, jelas
mendapat perhatian cukup besar. Maka marilah kita bicarakan satu persatu mengenai
ajaran agama Hindu tersebut diatas .
Hubungan manusia dengan Tuhan ini diterapkan oleh semua pemeluk agama yang ada di
indonesia. Dalam agama Hindu Konsep Parahyangan adalah Wujud Pura dan Sanggah
dengan Pralingganya merupakan simbol Tuhan sebagai produk pikiran. Setiap umat
beragama tentu memiliki tujuan untuk mengetahui, memuliakan, menghubungkan diri
Kepada Tuhan dan Konsep ini dilandasi oleh pemikiran bahwa untuk memuja Brahman
yang tanpa wujud sangat sulit dilaksanakan tanpa didahului dengan pemujaan dengan
a. Bhakti Marga yang artinya suatu cara / jalan untuk mengubungkan diri antara manusia
dengan Tuhan melalui Bhakti / sembahyang didasari ketulusan hati baik lahir maupun
batin. Bhakti merupakan cetusan hati yang tulus iklas kepada Tuhan. Dapat di artikan
juga menyatukan antara Atrman dengan Brahman melalui Bhakti, Bhakti manusia
pada umumnya masih dalam tingkatan yang disebut Aparabhakti yaitu pemujaan dan
bhakti dengan berbagai pemohon atau permohonan walaupun dipandang wajar
mengingat adanya keterbatasan kemampuan seseorang.
b. Karma Marga Yoga : adalah suatu usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Karma Marga Yoga menekankan kerja sebagai bentuk pengabdian
dan bhakti Kepada Tuhan Yang Maha Esa . Ajaran karma Marga Yoga merupakan
etos kerja atau budaya kerja bagi umat Hindu didalam usaha mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
c. Jnana Marga Yoga : Suatu cara / usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan
melalui pengetahuan. Jadi Jnana Marga Yoga adalah jalan dan usaha untuk
menghubungkan diri dengan Tuhan untuk mencapai kebahagiaan sejati melului
pengetahuan. Jnana atau ilmu pengetahuan suci menuntun manusia untuk bekerja
tidak terikat oleh hawa napsu , tanpa motif, tanpa kepentingan pribadi, rela
melepaskan,rela melepaskan keterikatan duniawi.
d. Raja Marga Yoga : yaitu jalan atau usaha tertinggi untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan melalui jalan Yoga yang tertinggi.
Apapun Ajaran agama atau Yoga bila tidak direalisasikan/dipraktekan langsung tidak
akan seseorang dapat merasakan keutamaan ajaran itu. Karena Yoga merupakan
bentuk pengendalian diri seseorang sehingga harus dikhususkan Raja marga yoga
dapat tercapai bila mana benar-benar mampu mengendalikan dirinya.
Pawongan ini merupakan hubungan manusia dengan sesama manusia, kita merasa
tidak bisa hidup sendiri setiap manusia menyadari akan hakekat hidupnya perlu
membutuhkan bantuan orang lain. Dalam ajaran agama Hindu Pawongan ini kebanyakan
umat Hindu. Belum mengenal diri sejatinya yang disebut Purusa, kebanyakan orang
merasakan bahwa dirinya ini adalah badan yang disebut Prakerti. Untuk menjalin
hubungan yang harmonis antara sesama umat manusia tidak memandang Suku Ras atau
agama namun rasa tenggang Rasa, Cinta Kasih, Tatwam Asi ini harus dikedepankan agar
rasa kebersamaan, kegotongroyongan, saling asah, asih dan asuh. Dalam Kitab Reg Weda
Samhita , Mandala X, sukta 191 sloka 2 dan 3 :
III. PENUTUP
Sebagai pemeluk agama yang arif tentunya dapat menerima kenyataan bahwa
kebhinekaan adalah kodrat yang diciptakan oleh Tuhan, maka kita sebagai manusia harus
siap mensikapi keanekaragaman baik suku Ras Bahasa budaya dan Agama karena
semuanya ini untuk menciptakan situasi dan kondisi yang sejuk, aman, tentram dan
damai tanpa ada gejolak dalam kehidupan masyarakat gara-gara perbedaan agama.
Agama Hindu dapat membawa umatnya menuju kedaamaian, ketentraman, kebahagiaan,
sehingga tujuan hidup manusia yang sudah dirumuskan benar-benar tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
I Ketut Regid , Saraswat Agung dewi, 2005 Lalita Hita Karana Sadhana Tri Hita
Karana, Gianyar Bali.
Gede Oka Netra. Anak Agung . 1994 Tuntunan dasar Agama Hindu.
G. Pudja , Teologi Hindu
IB. Mantra 2009 Tata Susila Hindu Dharma, Widya Dharma, denpasar