Anda di halaman 1dari 82

PENGGALANGAN DANA PUNIA UMAT HINDU KOTA SEMARANG

DALAM PENINGKATAN SRADHA

Sujaelanto

Abstrak

Di jaman sekarang ini, kebutuhan umat manusia salah satunya ditentukan oleh materi.
Dalam ajaran Hindu, materi merupakan sarana memperoleh Hita. Masyarakat Hindu dalam
memenuhi kebutuhan hidunpya dengan cara kerja untuk menghasilkan artha. Artha bukan
merupakan tujuan tertinggi. Artha hanya merupakan sebagian untuk memperoleh hita.
Penggunaan artha tidak saja untuk kepentingan individu (kama), tetapi artha juga
dipergunakan untuk dharma salah satunya disalurkan melalui punia. Melakukan punia tidak
semudah seperti membacakan dalil-dalil dalam agama, tetapi membutuhkan kesabaran,
membutuhkan waktu, membutuhkan semangat, membutuhkan penggerak. Dana punia bagi
umat Hindu merupakan kegiatan sosial yang mencerminkan sikap dan perilaku yang peduli
terhadap kebutuhan pihak lain. Atas kepedulian tersebut, umat Hindu menyumbangkan
secara sukarela sebagian dari hartanya untuk kepentingan sosial yang lebih luas dari pada
kepentingannya sendiri. Itulah sebabnya ajaran Hindu memandang dan mendudukkan
kegiatan dana punia selalu bernilai sosial tinggi. Di satu sisi punia bermanfaat bagi pihak
lain, di sisi lain bermanfaat bagi pihak pemberi punia sebagai pengendalian diri dari
keserakahan. Sasaran dalam tulisan ini adalah penggalangan kegiatan dana punia dalam
masyarakat Hindu di Kota Semarang dalam meningkatkan sradha.
Dalam tulisan ini ada dua pembahasan, yaitu bagaimana umat Hindu di Kota
Semarang menyikapi kegiatan dana punia dan bagaimana menggalang punia untuk
pembangunan pura dan upacara ritual ? Permasalahan tersebut dianalisis dan dijelaskan
dengan menerapkan teori hegemoni dan Semiotika. Berdasarkan analisis diperoleh gambaran
bahwa penggalangan punia dapat dilakukan melalui iuran wajib anggota tempek, pengajuan
proposal, sesari banten, kotak punia di pura, retribusi, kupon berhadiah, dana punia spontan,
dan sistem lelang. Dana punia untuk pembangunan pura terkait dengan kontruksi sosial, yaitu
pura sebagai kontrol sosial, pemersatu umat Hindu, pura simbol sradha bakti, dan kesucian
dalam kebangkitan kesradaan. Analisis tersebut menegaskan, bahwa kegiatan dana punia
bukan sekedar pemenuhan terhadap hasrat manusia sebagai makluk social yang terikat dalam
kelompok. Sebaliknya dana punia justru membangun kesadaran spiritual agar manusia dapat
menyeimbangkan kebutuhan dunia materi dan non materi. Keseimbangan diperlukan untuk
mengantisipasi anomali sosial dan moral demi terangkatnya tanggung jawab manusia
terhadap spirit kehidupan sosial dalam multi dimensi.

Kata Kunci ; Dana punia, Simbol religius, umat Hindu Kota Semarang.

Pendahuluan

Aksara Dharma, Maret 2016 1


Semarang memiliki karakteristik tersendiri dengan kota-kota yang ada di Jawa Tengah
dalam pembangunan agama. Kegiatan keagamaan Hindu Semarang mengikuti sifat dan
karaketristk masyarkat metroplitan yang hiruk pikuk dengan kegiatannya. Pembangunan pura
dilaksanakan secara bertahap dalam kurun waktu yang cukup lama karena terdapat kendala
pendanaan. Begitu juga pembangunan sarana social keagamaan Hindu lainnya di Kota
Semarang juga mengalami nasib yang sama.
Pura dengan segala ritualnya memerlukan biaya yang cukup besar. Apabila dilihat dari
kuantitas warga Hindu yang hanya berjumlah sekitar sepuluh ribu lima ratus jiwa, dapat
dikatakan di Kota Semarang memilki prestasi besar dalam upaya mewujudkan bangunan pura
dengan kegiatan ritualnya. Proses penggalangan dana untuk kegiatan social keagamaan lainya
di Kota Semarang di satu sisi menunjukkan adanya kesulitan dalam penggalangan dana,
meskipun mereka yakin dapat menyelesaikan. Begitu juga pada saat penggalangan dana
untuk upacara Mlaspas, Ngenteg Linggih atau piodalan, proses pengumpulan dana dari
umat berlangsung lebih cepat. Pengumpulan dana untuk kegiatan keagamaan lain seperti
pembangunan pasraman, organisasi pemuda Hindu, organisasi wanita Hindu, bantuan siswa
Hindu miskin dan bahkan penggalangan dana untuk pembinaan umat terdapat kecenderung
yang berbeda.
Kedua fenomena tersebut menunjukkan adanya gejala sosial religius bagi Umat Hindu
di Kota Semarang, sekalipun substansi dan esensi religiusitasnya berbeda, bahkan terdapat
indikasi adanya sikap umat yang bersifat paradoks atau berlawanan sekalipun tidak
bertentangan. Dalam kasus ini pengumpulan dana punia yang lebih cepat merupakan sikap
antusiasme umat untuk menunjukkan dimensi ritualistik yang lebih besar dan serentak dalam
upaya membangun sakralitas. Sikap ritualistik umat seperti itu, sekilas tampak irasional
apabila dikaitkan dengan kondisi social ekonomi. Akan tetapi aspek irasionalitas ini mungkin
tidak seluruhnya benar.
Umat Hindu di Kota Semarang dengan setting dan situasi tingkat perekonomian
mereka yang beraneka ragam, pasti memiliki alasan yang beragam dan juga bersifat rasional
di balik antusiasme ritualistik itu dalam penggalangan dana punia untuk kepentingan
pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Terkait dengan fenomena tersebut, Agus (2006)
mengatakan, bahwa ada tatacara perlakuan terhadap sesuatu yang di sakralkan. Ada upacara
keagamaan yang berhadapan dengan yang sakral. Upacara dan perlakuan khusus ini tidak
sepenuhnya dapat dipahami berdasarkan alasan-alasan ekonomi dan rasional.
Frans Magnis Suseno menyampaikan pandangan yang setara dengan pandangan Agus
mengenai upacara ritual. Menurut Suseno (2006:28) upacara ritual adalah tatacara sebelum
agama besar itu mengklaimnya. Sejak semula suku-suku asli percaya pada satu Tuhan. Pada
penghayatan keagamaan asli itu, seluruh alam diresapi oleh kekuatan-kekuatan gaib yang
tidak kelihatan. Kekuatan-kekuatan itu, ada yang melindungi desa, ada pula yang
mengancam. Melalui sesaji, ritus, dan doa-doa, dengan memperlihatkan berbagai pantangan,
dan dengan mengatur seluruh cara hidup dalam kesucian dan kepercayaan bersama, orang
berusaha untuk hidup aman. Antara realitas alami, realitas sosial (masyarakat), dan adi-
duniawi menyatu. Dalam tulisan ini ada dua pembahasan, yaitu bagaimana umat Hindu di
Kota Semarang menyikapi kegiatan dana punia dan bagaimana menggalang punia untuk
pembangunan pura dan upacara ritual ? Permasalahan tersebut dianalisis dan dijelaskan
dengan menerapkan teori hegemoni dan Semiotika.

Pembahasan
A. Peranan Organisasi Keagamaan Hindu dalam Penggalangan Danapunia

Aksara Dharma, Maret 2016 2


Kota Semarang terdiri 16 kecamatan dan 177 kelurahan dan sebagai kota metropolitan
dihuni berbagai penganut agama yang didalamnya terdapat agama Hindu. Mereka datang
dari berbagai daerah di Jawa dan Bali. Meskipun jumlah mereka berbeda jauh dengan
penganut agama besar lain, namun aktivitas keagamaan mereka dapat dilakukan secara
hidmat sesuai dengan tradisi ritualistik masyarakat Hindu yang diselenggarakan di
berbagai tempat pura. Umat Hindu di Kota Semarang yang tersebar di tiap-tiap
kecamatan terdiri dari tiga etnis yakni etnis Jawa yang berdomisili di wilayah Mijen dan
sekitarnya, etnis India berdomisili di perkotaan dan etnis dari Bali menyebar diseluruh
wilayah kota Semarang. Umat Hindu dari Bali memiliki sifat dan karakteristik sosial
kemasyarakatan dengan membentuk komunitas seperti tempek di Bali. Tetapi masyarakat
Hindu dari Jawa dan India tidak membentuk organisasi social kemasyarakatan seperti
tempek yang ada di Bali. Konsep tempek tidak begitu popular di wilayah Semarang, hal
ini disebabkan karena umat Hindu Semarang juga berasal dari etnis Jawa yang mungkin
bagi mereka etnis Jawa kata tempek memiliki arti yang berbeda. Sehingga komunitas
Hindu Semarang lebih cenderung dengan menggunakan istilah wilayah umat.
Secara system social kemasyarakat Hindu, pembagian wilayah umat meliputi wilayah
umat Hindu Semarang Timur dengan jumlah 89 kepala keluarga, wilayah umat Hindu
Semarang Barat dengan jumlah 51 kepala keluarga dan wilayah umat Hindu Semarang
Selatan dengan jumlah 66 kepala keluarga. Selain system social kemasyarakatan Hindu
yang tergabung dalam kelompok wilayah masih terdapat beberapa umat yang membentuk
komunitas tersendiri seperti komunitas Hindu dari Jawa yang derdomisili di Kecmatan
Mijen dan sekitarnya serta komunitas Hindu dari India. Struktur organisasi social
kemasyarakatan Hindu di kota Semarang yang berbentuk wilayah sebagaimana organisasi
pada umumnya, memiliki susunan kepengurusan Ketua, Sekretaris dan Bendahara yang
mengelola jalannya organisasi.
Organisasi kemasyarakat Hindu (tempek) di bawah pengendalian Parisada tingkat
kota memiliki fungsi untuk pembinaan dan penghubung kepada umat yang berakaitan
dengan kegiatan keagamaan seperti piodalan, masalah pembangunan pura maupun
informasi-informasi yang berkaitan dengan agama Hindu. Organisasi keagamaan Hindu
tidak saja tempek, tetapi masih ada beberapa organisasi keagamaan Hindu lainnya yang
ada di Semarang. ada yang sifatnya local maupun keberadaanya nasional. Organisasi
keagamaan yang bersifat local seperti Kesatuan Mahasiswa Hindu Semarang, Pasraman
Brahmawidya, Pesantian Merdu Kumala, Paguyuban Hindu Satya Dharma, Lembaga
Pembinaan Umat.
Organisasi keagamaan Hindu yang memiliki tingkat kepengurusan secara hirarkis
mulai tingkat nasional hingga regional adalah Parisada, Badan Penyiaran Hindu,
Pinandita Sanggraha Nusantara Jawa Tengah. Lembaga Pengembangan Dharmagita Jawa
Tengah. Sarati Banten, Wanita Hindu Dharma Indonesia. Perhimpunan Pemuda Hindu
Indonesia, Badan Pendidikan Hindut, Lembaga Artha, Badan Dharma Dana Nasional.
Namun disayangkan tidak semua organisasi keagamaan tersebut tidak mampu mengkases
organisasinya pada tingkat kota, artinya hanya berada pada tingkat provinsi. Bahkan
organisasi keagamaan yang terakhir (Badan Dharma Dana Nasional) tidak terdapat
ditingkat provinsi. Padahal organisasi keagamaan tersebut yang paling berperan dalam
urusan dana punia.
Parisada sebagai leanding sector yang menggerakan organisasi keagamaan Hindu
sebenarnya memiliki legimitasi untuk membentuk organisasi keagamaan tersebut. Tidak
terbentuknya Badan Dharma Dana Nasional kota Semarag hingga kecamatan
menimbulkan suatu pertanyaan pada diri kita. Mengapa kita tidak bisa membentuk?
Jawaban secara klasik adalah karena keterbatasan sumber daya manusia dan dana
operasional. Kurangnya dukungan terhadap lembaga ini salah satunya disebabkan oleh

Aksara Dharma, Maret 2016 3


kurangnya sosialisasi dan penjelasan yang benar tentang lembaga ini dan penerapan
manajemen yang belum sistemik dan transparan. Akibat dari itu, Media Hindu juga
menyitir, bahwa punia yang dihimpun melalui Badan Dharma Dana Nasional tidak
mencapai angka ratusan juta. Lembaga agama Hindu (parisada) dalam rangka
menggalang punia kepada umat dengan melalui jalur hirarkis seperti mendirikan Badan
Dharma Dana Nasional baik ditingkat provinsi ataupun kota belum mendapat respon
yang diharapkan, salah satu penyebabnya adalah kurangnya sosialisasi. Lembaga Artha
yang pernah dibentuk oleh Parisada untuk menghimpun dana punia sudah hilang
gaungnya, karena kurang mendapat dukungan serius oleh umat (Majalah Raditya 6
Sempetmber 2002).
Kurang gaungnya lembaga ini berdampak pula di Kota Semarang yang berujung
belum terbentuk Badan Dharma Dana Nasional tingkat Kota. Hal ini tentunya
mengingatkan keberadaan kita tentang Lembaga Dana Punia (Badan Dharma Dana
Nasonal), walaupun sudah di tetapkan pengakuannya oleh Parisada, tetapi karena
sosialisasi sehingga belum bisa mengumpulkan dana punia sesuai yang diharapkan.
Sehingga masyarakat Hindu Kota Semarang diperkenankan untuk penggalangan Punia
sesuai dengan kemampuan umat di wilayah tersebut.
Penggalagan Dana Punia sudah dihimbau oleh Parisada dalam Ketetapan Mahasabha
no IV/Tap/M.Sabha/1980 tentang Tata Kemasyarakatan, di bagian d disebutkan untuk
mendukung dan menunjang semua kegiatan….oleh karena itu penggalian dana dari segala
sumber secara syah juga perlu digalakan . penggalangan dana tersebut dapat digolongka
menjadi beberapa golongan yakni dana dari umat, dana dari pemerintah.(Parisada Hindu
Dharma Indonesia Pusat 2005.67-68). Penggalangan dana punia sebagai upaya untuk
kelancaran suatu keagiatan agama menjadikan tantangan bagi umat Hindu kususnya umat
Hindu kota Semarang. Penggalangan dana punia yang telah diisyaratkan dalam
keputusan mahasabha yang merupakan keputusan hukum umat Hindu Indonesia
dipertegas lagi dalam Bhisama Sabha Pandita no 01Bhisama/SabhaPandita Parisada
Pusat/X/ 2002 tentang Dana Punia dan Keputusan Pesamuan Agung no. 010/Kep/P.A/
Parisada/VII/ 2005 tentang Dharma Dana Nasional.
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Parisada sebenarnya merupakan langkah maju
dalam rangka menggalang Dana Punia sebagai sumber utama kegiatan keagamaan.
Agama Hindu memiliki kegiatan ritual agama yang cukup banyak sehingga perlu adanya
upaya menggali dana dan menghimpun dana menjadi Dana abadi untuk keperlua ritual
maupun kegiatan keagamaan lainnya. Penggalian dan penggunaan Dana Punia
memerlukan metoda dan menejemen yang tepat untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
Sehingga tahun 2006 Parisada mengeluarkan Ketatapan Maha Sabha no IV/Tap/M. Sabha
IX/2006 tentang Dharma Dana Nasional pada bagian kedua “menugaskan kepada
pengurus harian parisada pusat untuk mensosialisasikan Dharma Dana Nasional ini
keseluruh umat Hindu melalui parisada provinsi dan kabupaten/kota. Di bagian ketiga
menyebutkan “menugaskan kepada pengurus harian parisada pusat untuk membentuk
Badan Dharma Dana Nasional yang menjalankan mekanisme dalam pengumpulan,
penyimpanan, menetapkan peruntukan dan mengelola Dharma Dana Nasional sebagai
kelanjutandari setiap keputusan parisada Hindu Dharma Indonesia sebelumnya”
(Parisada.2006.108).
Penggalangan Dana Punia secara structural merupakan impian bagi umat Hindu
kota Semarang. Tidak ada akses untuk melegitimit termasuk lembaga tinggi agama
Hindu. Akses menuju birokrasi dalam menggalang Dana Punia mengalami jalan buntu.
Tidak berjalannya system Badan Dharma Dana nasional merupakan permasalahan yang
berkaitan dengan arus politik kekuasaan. Hubungan antara politik dan agama biasanya
muncul pada bangsa-bangsa yang tidak homogeny secara agama. Para pemikir politik

Aksara Dharma, Maret 2016 4


klasik seperti Aristoteles menegaskan bahwa homogenitas agama adalah suatu kestabilan
politik. Apabila kepeercayaan-kepercayaan yang berlawanan mengenai nilai-nilai tinggi
(ultimate value) masuk dalam arena politik mereka makin jauh dari kompromi
(Alford.dalam Roland Robertson.1995.379). pengaruh kuat arus politik berokerstra
dengan kelompok agama mayoritas dapat menyulap kondisi yang semakin menjadi
kelompok minoritas kurang mendapat pelayan dan hak yang sama. Dalam kehidupan
Negara yang agama masyoritas tentunya hak-hak pelayanan agama semakin terbelakang,
tidak memiliki kompromi. Penggalangan dana dalam kelompok agama mayoritas sudah
tersistem dan melembaga melalui badan atau birokrasi.
Jalan yang dibangun parisada untuk membentuk jaringan Dana Punia melalui jalur
formal dengan pemerintah tidak kunjung datang. Padahal tegas dalam amanat keputusan
Mahasabha IX no IV/Tap.M.Sabha IX/2006 tentang petunjuk teknis mekanisme
penyelenggaraan dharma dana nasional . Petunjuk teknis ini tidak mampu menembus
kancah pergulatan dalam penggalangan dana karena arus politik dan peraturan lain tidak
mendukung. Sehingga umat Hindu kota Semarang dalam penggalangan Dana Punia
secara organisasi keagamaan teradopsi melalui kelompok sesuai wilayah umat seperti
tersebut di atas.
Penggalangan Dana Punia melalui kelompok wilayah umat yang di organisisir oleh
Parisada wilayah masing-masing merupakan terobosan dan kurang mencerminkan system
organisasi keagamaan Hindu masih tumpul dalam penggalangan Dana Punia yang
semestinya digerakan oleh Badan Dharma Dana Nasional tingkat kota. Namun lembaga
ini ternyata belum terbentuk pada tingkat provinsi, apakah hal ini disebabkan kurangnya
sosialisasi atau mungkin adanya hambatan dari system yang ada dalam lembaga tersebut,
tentunya untuk menggali lebih jauh tentang lembaga ini perlu penelitian lebih lanjut.
Tidak berfungsinya Badan Dharma Dana Nasional tingkat kota, tidak menyurutkan
semangat dan strategi umat Hindu kota Semarang dalam upaya penggalangan Dana Punia
guna memenuhi kebutuhan kegiatan ritual / upacara keagamaan maupun kegiatan
keagamaan yang harus berjalan sesuai program dan jadwal yang telah ditentukan.
Kegiatan- kegiatan keagamaan yang melibatkan umat secara internal maupun eksternal
akan menguras dana yang cukup besar, sehingga umat Hindu kota Semarang melakukan
langkah langkah strategis dalam penggalian Dana Punia.

B. Penggalangan Dana Punia Di Kota Semarang

Penggalangan dana punia selama ini mengalami banyak permasalahan. Beberapa di


antaranya adalah keidakpercayaan pemberi dana punia terhadap pengelola dana punia,
ketiadaan dana yang cukup untuk berdana punia pada saat itu, dan kemungkinan pihak
yang dimintai dana punia adalah kurang menyadari pentingnya dana punia terhadap
berbagai keperluan pihak-pihak lain, baik kelompok maupun individu. Kemungkinan
lain, bahwa yang bersangkutan tergolong orang yang berpandangan sekuler yang kurang
percaya pada ajaran agama.
Pengaruh jaman Kaliyoga yang cenderung bahwa seseorang lebih banyak
diperbudak oleh materi atau mungkin keberadaan ekonomi. Seperti umat Hindu Mijen
yang kebaradaan ekonomi sebagian besar kurang menguntungkan, memang agak
tersendat dalam melakukan punia. Pada jaman Kali Yoga , sastra agama (dharma sastra)
menyiratkan bahwa jaman sekarang ini manusia cenderung diperbudak oleh harta. Hal itu
dinyatakan secara tegas dalam Kakawin Nitisastra sargah IV.7 yang berbunyi sebagai
berikut.

Aksara Dharma, Maret 2016 5


Singgih yan tekaning yugan ta kali tan hana lewiha saking mahadana. Tan waktan
guna sura pandita widagdha pada mengayap ing dhanaiswara.
Artinya ; Sesungguhnya bila jaman kali datang pada akhir yuga, hanya kekayaan
yang dihargai. Tidak perlu dikatakan lagi bahwa orang yang saleh dan orang yang pandai
akan mengabdi kepada orang kaya.
Dengan demikian untuk penggalangan dana punia perlu adanya upaya upaya
tertentu. Salah satunya digali melalui kegiatan organisasi-organisasi sosial masyarakat
Hindu. Berdasarkan kesulitan-kesulitan tersebut, maka para pengumpul dana punia bagi
umat Hindu di Kota Semarang menggunakan beberapa strategi, agar pengumpulan dana
punia sukses. Adapun strategi ayng digunakan adalah sebagai berikut.

1. Dana Punia Melalui Iuran Wajib Anggota Wilayah Umat.


Punia merupakan suatu bentuk aktivitas sosial berupa pemberian sumbangan materi
tertentu secara ikhlas. Dengan kata lain, bahwa punia selalu berorientasi pada
pemberian yang tidak terikat dalam bentuk paksaan. Ketidak-terpaksaan itulah yang
dibahasakan dengan istilah tulus iklas atau lascarya. Namun demikian, seiring dengan
perubahan zaman yang tiada terbendung, maka pemahaman masyarakat mengenai apa
yang dikategorikan sebagai sederhana, sedang, dan utama yang dalam kategori
pelaksananan upacara ritual Hindu disebut nista, madya, utama sangat bergantung
pada perubahan situasi sosial pada zamannya.
Dalam mengatasi terhambatnya pelaksanaan dana punia, sehingga masyarakat kota
Semarang melalui jalur alternative sebagai upaya suksesnya penggalangan Dana
Punia melalui organisasi social kemasyarakatan. sehingga jalan alterrnative untuk
melakukan komunikasi melalui organisasi wilayah umat.
Organisasi social keagamaan ini tidak bisa menjebatani karena tidak semua umat
Hindu di wilayah Kota Semarang bergabung dalam organisasi wilayah umat. Dalam
keanggotaan ini, salah satu kewajiban yang harus dipenuhi adalah membayar
iuran/sumbangan yang besaran nominalnya berbeda antara wilayah umat yang satu
dengan yang lain. Penggalangan Dana Punia melalui organisasi wilayah umat
merupakan system yang strategis dalam upaya meningkatan kesadaran umat Hindu
untuk mengamalkan ajaran agama.

2. Dana Punia Melalui Pengajuan Proposal.


Penggalangan Punia dengan mengajukan proposal ditujukan kepada Donatur dan,
Instansi Pemerintah/Swasta. Seperti contoh pada saat pelaksanaan Melasti dan Hari
Raya Nyepi tahun 2011, panitia Kota Semarang dengan rencana mengajukan proposal
kepada calon donator, kurang mendapatkan respon. Pengajuan proposal untuk
pembangunan pura ataupun untuk upacara di pura, terkadang berhasil terkadang tidak,
tergantung kepada siapa yang mengajukan dan siapa yang mengajukan.
Pengajuan proposal kepada para donator mungkin disebabkan karena donator merasa
berulangkali sebagai obyek penggalangan punia ataupun kurang pedulinya terhadap
kegiatan tersebut. Keberhasilan penggalangan punia melalui intansi pemerintah,
tergantung pada system yang ada pada instansi tersebut, seperti tersedianya post
anggaran dan kebijakan aparat pemerintah setempat. Pada saat mengalokasikan
anggaran kegiatan keagamaan, kebijakan sangat memenentukan. Post anggaran
kegaiatan setiap agama, sesuai dengan amanat undang undang terwadai, tetapi
terwujud dan tidaknya tergantung dari pembuat kebijakan.

3. Dana Punia Melalui Sesari Banten

Aksara Dharma, Maret 2016 6


Masyarakat Hindu kota Semarang sudah menjadikan tradisi dalam setiap kegiatan
persembahyangan selalu menghaturkan banten, yang dilengkapi dengan canang.
Canang dengan berbagai kelengkapanya yang termasuk didalamnya terdapat uang/sari
banten. Besaran nilai sari banten tidak ditentukan. Sari Banten secara filosifis sebagai
pelengkap sarana upakara. Makna sari banten/uang, sering muncul dalam mantra-
mantra upacara, seperti mantra untuk menghaturkan Segehan. Adapun mantranya
yaitu:
Sang Hyang Purusangkara………manusa aweh tadah saji sira watek Kala Bhuta
kabeh. Iti tadah sajinira sega iwak sambel. Asing kirang luput nyata pipis sabundel
patukuna sira ring pasar agung. (Ny. Putra.1982)
Artinya, Wahai Sang Purusangkara….. Manusia menghaturkan santapan sesaji
(untuk) semua Kala Buta. Makanlah ini sesaji nasi dan lauk sambal. Apabila kurang
ini sejumlah uang belilah (makanan) di Pasar Besar.
Menyurut (ambil) kembali sari/uang sudah menjadi tradisi untuk dapat dipergunakan
keperluan lainnya. Sari/uang yang di surut tersebut dikumpulkan menjadi dana/kas
milik umat Hindu. Sari Banten yang terkumpul biasanya dibagi untuk kepentingan
pura dan sebagian untuk menunjang pelaksanakan kegiatan organisasi social
keagamaan seperti organisasi keagamaan pemuda Hindu. Kwantitas sari banten di
Kota Semarang, tergantung dari moment ritual yang dilaksanakan. Ketika
persembahyangan hari raya Galungan, di Pura Girinatha bisa mencapai tiga juta
rupiah, tetapi pada hari Purna maupun Tilem berkisar angka ratusan ribu rupian. Di
pura lain seperti pura Amerta Sari dan Saraswati yang ketiganya berlokasi di kawasan
kota Semarang besaran Sari banten tidak sebanyak di Girinatha. Hal ini disebabkan
Girinatha merupakan pusat kegiatan hindu di Semarang, terlebih di pura Manggala
Dharma dan Satya Dharma yang lokasinya dipinggirang kota Semarang, besaran
banten jauh lebih kecil jika dibadingkan dengan pura yang ada di pusat kota.

4. Dana Punia melalui Kotak Punia Di Pura


Umat Hindu di Kota Semarang tidak terbiasa atau tidak pernah melakukan penggalian
dana punia melalui kotak punia yang diletakkan di jalan-jalan raya ataupun ditempat
keramaian seperti di rumah makan/toko. Kotak dana punia cukup dipasang
dilingkungan pura. Cara ini tidak sekedar untuk mengumpulkan uang, tetapi
sekaligus menjaring dan meningkatkan kesadaran umat Hindu di Kota Semarang
dalam rangka menyalurkan punia harta milik pribadinya. Hasil yang diperoleh dari
kotak dana punia, sangat bervariasi. Pada bulan-bulan tertentu isi kotak punia pura
Girinatha dalam kurun satu bulan bisa terkumpul tujuh ratus ribu, misalnya pada saat
dilaksanakan kegiatan pasraman.
Akan tetapi pada saat liburan sekolah perolehan dana punia menurun jumlahnya.
Biasanya para anggota masyarakat Hindu di Kota Semarang yang tidak pernah
menghadiri kegiatan arisan Tempek, dengan kesadarannya sendiri berkenan mengisi
kotak punia dengan jumlah yang agak besar, sedangkan orang yang sering mengkuti
kegiatan di pura, mengisi kotak punia relatif kecil, tetapi volumenya lebih tinggi. Lagi
pula umat yang sering mengikuti kegiatan di pura relatif lebih banyak mengeluarkan
biaya. Penggalangan punia melalui kotak punia dirasakan sangat efektif, sehingga
teknik ini masih dilaksanakan sampai saat ini.

5. Dana Punia melalui Retribusi


Penggalangan punia ini sangat kecil, mengingat kegiatan bidang jasa perdagangan
yang bisa dikelola adalah lapak-lapak (ada 7 lapak/kios) penjualan di lingkungan Pura
Girinatha. Parisada Semarang hanya memiliki jasa restribusi kusus di lingkungan Pura

Aksara Dharma, Maret 2016 7


Girinatha. Pura Girinatha memiliki areal yang bisa dimanfaatkan umat untuk
berdagang pada saat ada kegiatan di pura, seperti kegiatan umat hari Minggu ataupun
pada saat hari raya. Besaran retribusi tidak ditentukan tetapi tergantung dari kesadaran
para pemakai lapak.

6. Dana Punia melalui Undian Kopon Berhadiah

Penggalangan dana punia melalui kupon berhadiah pernah dilakukan pada tahun 2006
pada saat kegiatan Ngenteg Linggih Pura Girinatha. Panitia menyediakan undiankupon
berhadiah untuk merangsang umat Hindu dalam melaksanakan punia. Kupon berhadiah
perlembar dengan harga lima ribu rupiah. Asumsi Rencana penerimaan seratus lima puluh
juta rupiah, dengan jumlah penjualan tiga puluh ribu lembar yang terjual tidak lebih dari
tujuh ribu lembar. Walaupun kegiatan ini belum menunjukkan kesuksesan panitia
menggalang punia umat Hindu, tetapi perlu diberikan apresiasi. Bahwa segala upaya pernah
dilakukan untuk menggalang punia sebanyak-banyaknya. Menggalang punia tersebut
dilaksanakan untum mendorong pembangunan pura Girinatha segera selesai sesuai dengan
target yang telah ditentukan.

7. Dana Punia Sistem Lelang

Penggalangan punia dengan sistem “lelang” dilakukan untuk menggalang kebutuhan


pembangunan pura maupun upacara agama. Pembangunan pura yang diprogramkan oleh
panitia pembangunan dengan menyampaikan berbagai butir kebutuhan fisik pura. Begitu juga
panitia piodalan juga menampilkan item-item kebutuhan sarana upakara. Dari hasil
pengamatan terhadap pertemuan langsung yang telah penulis lakukan tampak, bahwa panitia
piodalan yang sering lebih banyak dapat mengumpulkan punia dengan model lelang
dibanding dengan panitia pembangun pura. Panitia piodalan biasanya mendapatkan punia
dengan cara menawarkan kepada warga pada saat pertemuan warga Tempek. Warga tempek
ada yang secara sukarela menawarkan menyumbang kebutuhan sarana ritual seperti ayam,
buah, banten Pajegan, kain, dupa dan sebagainya (wawancara Bp Nyoman Romangsi tanggal
19 Juni 2011).
Catatan hasil observasi menunjukkan, bahwa 90% sarana upakara yang dibutuhkan untuk
ritual disanggupi oleh umat. sebaliknya butir-butir kebutuhan untuk pembangunan pura
sering kurang mendapat respon yang cepat dari warga. Item-item kebutuhan untuk
pembangunan pura diperoleh dari simpatisan Hindu, bukan dari umat Hindu semarang. Selain
itu sumbangan juga berasal dari umat Hindu di luar Kota Semarang. Sumbangan yang
diperoleh dari para simpatisan Hindu biasanya didahului dengan mengajukan proposal. Selain
sumbangan dalam bentuk dana pembangunan, ada juga simpatisan yang menyumbang dalam
bentuk material/ bahan bangunan. Para penyumbang tersebut biasanya adalah orang-orang
yang berhasil usahanya berkat adanya pura. Umat Hindu dari luar Kota Semarang
menyumbang karena pernah berdomisili di Semarang dan berhasil dalam meniti karier atau
berhasil bidang usaha jasa tertentu

Aksara Dharma, Maret 2016 8


C. Dana Punia Kegiatan Ritual dan Sosial Keagamaan

Yang dimaksud kegiatan ritual dan kegiatan social keagamaan Hindu hanyalah
berbeda dari segi bentuk. Kegiatan ritual yang dalam dalam ini adalah kegiatan odalan,
meplaspas, Hari Besar Agama, pembangunan tempat ibadah/pura. Kegiatan social
keagamaan adalah kegiatan umat Hindu diluar kegiatan ritual dan pura. Kegiatan social
keagamaan Hindu dalam hal ini meliputi pembinaan pendidikan dengan berbagai
fasilitasnya, pembinaan umat, bantuan siswa Hindu.
Kegiatan ritual agama Hindu di Semarang memiliki karakteristik yang khas jika
dibanding dengan kegiatan ritual agama Hindu dikota-kota di Jawa Tengah lainnya.
Perbedaan sifat dan karekter ini memberikan corak dan warna serta pengaruh budaya
yang mereka bawa. Masyarakat Hindu di Kota Semarang yang mayoritas adalah para
pendatang dari Bali sehingga memiliki warna tersendiri dalam setiap kegiatan ritual
agama Hindu. Kegiatan odalan yang merupakan kegiatan ritual rutin menjadi agenda
penting umat Hindu kota Semarang. Dari kelima pura yang ada, pura Girinatha dan
Amerthasari menjadi primadona dalam kegiatan odalan. Girinatha dilakukan setahun
sekali pada purnama Kedasa, dua minggu setelah hari Nyepi, sedangkan pura
Amerthasari setiap hari raya Kuningan. Pura Saraswati dikawasan Akpol dilaksanakan
setiap hari raya Saraswati. Pura Satya Dharma di Mijen dan pura Manggala Dharma di
Ngalian dilaksanakan setahun sekali.
Girinataha dan Amerthasari adalah dua pura yang di usung oleh masyarakat Hindu
yang sebagian besar para pendatang dari Bali yang terkadang memiliki kultur berbeda
dari setiap daerah asal. Sehingga proses ritualnya sedikit terpengaruh dari daerah mereka.
Memang dalam kegiatan ritual tidak terlalu mendominasi subkultur (Bali selatan atau
utara). Sinkritis mencerminkan sikap ngrumansani memiliki teman dari berbagai daerah
dari Bali. Sarana dan prasarana kegiatan ritual semuannya tidak didapat di Semarang
sehingga menyita banyak waktu, tenaga, pikiran dan bahkan material. Kedatipun
susahnya cara mendapatkan sarana tersebut tidak mengikis semangat dan antusias umat
Hindu. Seperti sarana Tirta dalam proses meplaspas yang harus dicari dari berbagai
sumber mata air suci, ataupun sarana ritual yang tidak terdapat di Semarng sehingga harus
mendatangkan dari Bali. Ketika seseorang pelaku ritual berpikir tentang nilai ekonomi,
maka proses kegiatan ritual akan terhambat. Nilai ritual tidak bisa disejajarkan dengan
nilai ekonomi. Perlakuan khusus terhadap nilai yang sacral ini tdak bisa dipahami
berdasarkan alas an ekonomi. Upacara persembahan sesajen sebagai persembahan ritual
tidak dapat dipahami sebagai alas an ekonomi, rasional dan pragmatis. Upacara ritual
dilakukan oleh umat beragama dan masyarakat primitive dari dahulu sampai sekarang dan
tetap dilaksanakan pada masa yang akan datang (Agus.2006).
Penggalangan dana punia ritual dengan melalui berbagai cara seperti memasang
pengumuman, himbauan, iuaran, mengajukan proposal bahkan untuk menarik minat
untuk berdana punia dengan cara menjual kupon berhadiah. Penggalangan Dana Punia
umat Hindu Kota Semarang dengan berbagai metoda yang dilakukan merupakan
pemenuhan kebutuhan ritual agama dan tidak untuk mencari keuntungan. Metoda
mengumnpuklan dana untuk kegiatan ritual yang walaupun tidak semua membuahkan
hasil menunjukan suatu sikap bahwa usaha untuk kegiatan ritual diusahakan dengan
sebaik mungkin. Dan keberhasilan mengumpulkan dana untuk ritual merupakan tingkat
kepercayaan dan antusias umat untuk ritual sangat luar biasa. Anggapan ini didasarkan
pada setiap kegiatan ritual tidak pernah terjadi pembagian laba/keuntungan untuk
organisasi keagamaan. Bahkan organisasi keagmaanlah yang mencukupi jika terjadi
devisit biaya. Baik masyarakat Hindu ataupun organisasi keagamaanHindu sejalan
dengan konsep ngayah (kerja bakti) untuk Tuhan. Upacara ritual yang dilaksanakan oleh

Aksara Dharma, Maret 2016 9


umat Hindu merupakan suatu indikasi kehendak untuk berkomonikas dengan Tuhan.
Sehingga kegiatan ritual dengan berbagai sarana yang dioperoleh dengan berbagai cara
yang menurut Hindu benar, merupakan suatu perwujudan ketulusan untuk mencari dan
memahami sifat Tuhan. Proses dan sifat prilaku umat Hindu dalam melaksanakan
kegiatan ritual agama dalam tataran keberagamaan merupakan bentuk peningkatan
sraddha.
Prilaku untuk meningkatkan sraddha bagi umat Hindu, tidak saja terfokus pada
kegiatan ritual, tetapi masih banyak prilaku lain yang memiliki nilai dalam meningkatkan
sraddha. Kegiatan social keagaman seperti membantu siswa Hindu miskin, membantu
pasraman, dan lain yang sejenis juga dalam katagori jalan peningkatan sraddha. Pada saat
penggalangan Dana punia dengan diberi merk ritual dan yang lain tidak, akan
mencerminkan kecenderungan perbedaan. Pada suatu saat di Semarang melaksanakan
meplaspas salah satu pura pada tahun 2004, dalam kurun waktu hitungan bulan bisa
terkumpul ratusan juta rupiah. Bila diperbandingkan dengan membuat satu gedung untuk
pasraman Brahma Widya, bahwa pasraman yang sudah berdiri lebih dari dua puluh tahun
sampai sekarang baru berdiri podasi, bahkan terwujudnya pondasi bangunan tersebut
berkat bantuan pemerintah. Analogi yang demikian menunjukan bahwa sikap dan
antusias umat Hindu dalam berdana punia masih mencerminkan merk.
Perbedaan respon umat Hindu di Kota Semarang terhadap dana punia untuk kegiatan
keagamaan seperti pembangunan pura, piodalan dengan dana punia untuk
melaksanakan kegiatan keagamaan lain seperti; pendirian pasraman, orgaisasi pemuda
Hindu, organisasi wanita Hindu, bantuan siswa hindu miskin dan lainnya yang diluar
kegiatan pura, terdapat kecenderung yang berbeda. Kurang responsifnya umat Hindu
dalam memberikan punia untuk kegiatan yang disebutkan di atas didasarkan pada
masalah keyakinan. Masalah keyakinan tidak bisa diukur dengan nilai. Punia untuk pura
lebih didasarkan pada rasa kepuasaan yang seakan jika punia dilakukan untuk
kepentingan pura (odalan ritual) merupkan tingkat kepercayaan yang klimak,, sedangkan
untuk kegiatan diluar pura memerlukan kepercayaan yang terlalu lama. Sehingga
penggalangan Dana punia untuk kegiatan ritual merupakan suatu sikap kepercayaan dan
yang lain merupakan sikap kepedulian.

Pura sebagai Ontrol Sosial


Pengertian agama, baik oleh Durkheim maupun oleh MacIver, secara sosiologis
dimaksudkan sebagai sarana untuk membentuk ikatan-ikatan sosial. Seorang individu tidak
pernah dapat mengembangkan suatu sistem ikatan sosial seorang diri. Itu sebabnya, seorang
individu merasa perlu mengembangkan diri dengan cara membentuk satuan kelompok sosial,
misalnya dengan membangun sebuah keluarga. Melalui keluarga hubungan-hubungan sosial
menjadi lebih dekat dan bahkan erat satu sama lain, seperti ikatan cinta kasih antara suami-
istri, anak, cucu, dan sebagainya. Dari ikatan sosial dalam keluarga akan terbentuk sistem
sosial dan pranata sosial.
Dalam sistem sosial terjadi tata hubungan yang diakui, dianut, dan dilaksanakan oleh seluruh
komponen sosial yang ada dalam satu kelompok sosial. Misalnya dalam satu keluarga ada
yang berperan sebagai kepala keluarga dan yang lain sebagai anggota keluarga. Dalam satuan
sosial terkecil yang disebut keluarga, seorang ayah, apapun profesi dan status sosialnya,
secara umum biasa-nya langsung diposisikan sebagai kepala keluarga, sedangkan istri dan
anak-anaknya otomatis menjadi anggota kelurga. Mereka biasanya hidup dan dihidupi
dengan harta kekayaan milik keluarga yang pada umumnya dalam sistem sosial yang
berbentuk partriarkhi diusahakan oleh seorang ayah, agar kehidupan seluruh anggota
keluarga sejahtera secara ekonomi. Akan tetapi dalam pandangan Hindu harta yang menjadi

Aksara Dharma, Maret 2016 10


hak milik keluarga tidak serta merta hanya digunakan untuk kepentingan kesejahtraan sosial
untuk memenuhi tuntutan-tuntutan duniawi, tetapi yang terpenting dikelola untuk
membangun, menjaga, dan meningkatkan nilai-nilai kesejahteraan rohani seluruh anggota
keluarga. Pemikiran ini memberi kontribusi bagi penguatan mentalitas manusia. Akan tetapi
logika masyarakat yang telah memasuki wilayah modernitas tentu pemikiran tersebut sulit,
bahkan mungkin tidak bisa diterima akal. Mereka pada umumnya bersifat materialistis.
Situasi ini menandakan semakin menguatnya kecenderungan sikap materialistis di
masyarakat yang bisa menyebabkan tujuan hidup semakin sempit, yakni terfokus pada
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan material yang hanya mendatangkan kenyamanan dan
kenikmatan duniawi semata. Akibatnya, antara logika dan kenyataan terpisah-pisahkan atau
terkotak-kotak. Hegel (dalam Giddens, 2009: 250) menyangkal kontradiksi logika dan alam
nyata yang dikotak-kotakan itu. Ia mengatakan, bahwa logika dan alam nyata tidak dapat
dikotak-kotakkan satu sama lain, karena seolah-olah keduanya masuk dalam bidang yang
sangat berbeda. Bagi Hegel kontradiksi merupakan akar logika sekaligus realita.
Nilai-nilai yang dianut oleh satuan terkecil kelompok sosial, misalnya satu keluarga,
biasanya memanfaatkan suatu pranata sosial seperti Agama Hindu dalam keluarga Hindu
yang kemudian secara turun-temurun dikondisikan melalui proses enkulturasi yang
berkesinambungan dalam tradisi-tradisi budaya agama yang melekat dan ditransmisikan
dalam agama yang dianut oleh satu keluarga. Sistem nilai yang terkandung di dalam suatu
ajaran agama Hindu yang dianut oleh satu keluarga bisa dimafaatkan sebagai sarana kontrol
sosial keluarga yang ber-sangkutan, agar diperoleh kesatuan visi dan misi dalam menata dan
menjalani proses kehidupan, baik di masa kini dan di masa yang akan datang. Dalam proses
enkulturasi berbagai tradisi budaya keagamaan tersebut, baik yang dilakukan oleh satu
keluarga maupun oleh satu kelompok sosial keagamaan yang lebih besar, pasti melibatkan
harta benda tertentu atau paling tidak berupa dana atau uang. Penggunaan harta benda milik
perorangan, keluarga, atau kelompok sosial tertentu yang disumbangkan secara sukarela
untuk kepentingan pihak lain dalam ajaran Hindu dinamakan “dana punia”.
Pemanfaatan harta benda dan atau uang milik pribadi, keluarga, atau kelompok
sosial yang lebih besar untuk kepentingan pihak lain merupakan suatu proses sosial. Proses
tersebut diharapkan menjadi pembelajaran sosial secara terus-menerus bagi umat Hindu agar
benar-benar disadari, bahwa kepemilikan harta benda termasuk uang sangat penting untuk
sebagian disumbangkan kepada pihak lain demi kesejahteraan sosial, baik lahir maupun
batin. Kegiatan berdana punia seperti ini juga merupakan pendidikan moral mengenai
tatacara amal bakti yang dapat mempersatukan visi dan misi satu keluarga tentang nilai luhur
harta atau materi.

Itulah ekspresi simbolik keluhuran budi pemilik harta. Dalam perspektif ajaran
Hindu harta atau materi memang bukan untuk dihindari. Akan tetapi yang diperlukan adalah
sikap hidup untuk memahami posisi, eksistensi, dan esensi materi. Materi bukan untuk
dijauhi, tetapi jangan sampai diperbudak oleh materi (Wiana, 2004:92).
Apabila dalam satu keluarga terjadi perbedaan pandangan mengenai pengelolaan
harta benda, secara sosial dipandang dapat menjadi suatu kendala dalam relasi sosial mereka
dan dalam melaksanakan cita-cita menuju kesatuan dengan alam adi kodrati. Apalagi terjadi
perbedaan agama di dalam satu tubuh keluarga, dapat dipandang sebagai perpecahan
spiritualitas, sehingga dalam tubuh keluarga menjadi sakit. Sejak dahulu dan masih hingga
sekarang perpecahan seperti itu dihindarkan. Oleh karena itu, setiap keluarga berupaya untuk
menjaga agama yang dianut keluarga sebagai satu pranata sosial yang mempersatukan ikatan
sosial kekeluargaan mereka. Untuk memperoleh gambaran yang lebih konkret mengenai
kesatuan alur relasi dalam tubuh keluarga, seluruh penjelasan di atas dapat diringkaskan
dalam gambar kesatuan sosial keluarga yang diadaptasi dari pemikiran Turner (2006: 20).

Aksara Dharma, Maret 2016 11


Kesimpulan

Dana Punia merupakan suatu tata nilai yang melekat pada kehidupan kegamaan Hindu
di Semarang yang dapat membangun prinsp-prnsip kehidupan social keagamaan Hindu yang
menyatu dengan jiwa umat Hindu. Penggalangan Dana Punia untuk kebutuhan kegiatan ritual
dan kegiatan sosial kelagamaan umat Hindu di Semarang mencerminkan dua sikap yang
berbeda. Penggalangan punia untuk kegiatan ritual agama akan lebih mudah/berhasil jika
dibandingkan untuk kegiatan social keagamaan. Penggalangan Dana Punia dilakukan dengan
berbagai cara seperti melalui iuran, pengajuan proposal, sari canang, kotak punia, restribusi.
Lembaga / Badan Dharma Dana Nasional yang menurut keputusan parisada sebagai regulasi
dan manajemen dana punia belum terlaksana, karena di Kota Semarang belum terbentuk.
Ketidak hadiran lembaga tersebut tidak menyurutkan kesadaran ber dana punia. Kesadaran
dan kepedulian berdana punia bagi umat Hindu menjukan sikap antusias umat dalam
mengamalkan ajaran agama.

Kepustakaan

1. Agus, Bustanudin 2006. Agama Dalam kehidupan Manusia. Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.
2. Mas Putra. Ny. I Gst Ag 1982. Upakara Yadnya.
3. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat 2002. Komplikasi Dokumen Literer 45
Tahun Parisada.
4. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat 2006. Hasil-hasil Mahasabha IX Parisada
5. Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat 2009. Hasil-hasil Pesamuan Agung Parisada
Tahun2009.
6. PGAHN 6 Th Singaraja.1986.Nitisastra Dalam bentuk Kakawin.Proyek Penerangan
dan Bimbingan Dakwah Agama Hindu dan Budha.
7. Setia,Putu 2002. Dana Punia. Denpasar; Raditya: Majalah Hindu No.61 Agustus
2002.
8. Suseno. Franz Magnis.1991.Etika Jawa. Jakarta. PT.Gramedia.
9. Robertson, Roland.1995. Agama Dalam Analisis dan Interprestasi Sosiologi.Jakarta.
PT. Rajagrafindo Persada.
10. Wiana. I Ketut.2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar. PT. BP

KHASIAT MUTRA
DALAM PENGOBATAN AYURWEDA

Aksara Dharma, Maret 2016 12


Oleh
Dewi Ayu Wisnu Wardani
Email : dewidanendra3@gimail.com

ABSTRAK

Pengobatan dalam Ayurweda merupakan pengobatan tradisional. Pengobatan tradisional


ini merupakan salah satu aspek budaya masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak
mereka belum mengenal pengobatan modern, keberhasilan cukup meyakinkan masyarakat
sehingga dengan demikian tetap berkembang dan tumbuh dengan subur, serta memanfaatkan
obat-obatan tradisional yang menggunakan bahan-bahan alami seperti mutra karena dengan
mempergunakan ramuan obat alami, kemungkinan efek negatifnya atau side effect yang
timbul dari penggunaan obat ini dalam jangka waktu panjang amat kecil dibandingkan
dengan menggunakan obat sintesis buatan pabrik. Penyembuhan dan Pengobatan Ayurweda
terhadap suatu penyakit pada sebagian besar mempergunakan ramuan obat yang terdiri dari
makhluk hidup, baik dari tanaman maupun dari binatang. Bagian dari binatang (jangama)
yang bisa digunakan adalah urine (mutra). Menurut Ayurweda, air kencing yang dapat
dipergunakan sebagai obat adalah air kencing binatang (jangama mutra) dan air kencing
manusia (manusha mutra). Hal ini dikarenakan air kencing (Urine/mutra) memiliki tiksna
Guna (menyengat, tajam), ruksa guna (kenyal, kurang jernih), usna guna (panas), kasaya
rasa (sepet) dalam anurasa, serta katu rasa (pedas). Berbagai pembuktian ilmiah
menegaskan bahwa terapi urine memiliki khasiat yang luar biasa untuk pengobatan. Terapi
urine sudah dipraktekkan manusia sejak ribuan tahun lalu. Semula orang menggunakan urine
untuk menyembuhkan luka bakar. Namun sekarang banyak dipakai untuk mengobati
penyakit degenerative. Meminum Mutra/air kencing sebagai obat telah lama dilakukan oleh
umat manusia. Air kencing ini dapat meningkatkan unsur tri dosha pitta, menyembuhkan
penyakit krmi (cacingan, parasit), sopha (oedema), udara (sumbatan pada perut, termasuk
asites), anaha (perut kembung, flatulen), sula (sakit menusuk-nusuk, kolik diperut), arusi
(anokresia, tak ada nafsu makan), visa (keracunan), svitra (bercak putih pada kulit,
lekodermis) dan kustha (gangguan pada kulit, termasuk kusta). Dalam pengobatan ayurweda,
mutra atau air kencing yang dapat dipergunakan sebagai obat adalah air kencing yang berasal
dari sapi (go mutra), kambing (chaga mutra), biri-biri (urabhra mutra), gajah ( hasti mutra),
kerbau (mahisa mutra), kuda (ekasapha mutra), unta (ustra mutra) dan keledai (rasabha
mutra) serta air kencing dari manusia (manusha mutra).

Kata Kunci; Mutra, Ayurweda

PENDAHULUAN

Konsep Ayurweda berisi penerapan hidup sehat secara alami untuk pencapaian umur
panjang. Sehat menurut ayurweda bukan hanya sekedar sehat melainkan semua sistem dan
cairan tubuh berada dalam keadaan seimbang. Cairan tubuh terdiri atas tiga unsur sehingga
disebut tri dosha yang meliputi vatta (udara/angin), pitta (api/panas) dan kapha (air). Salah
satu unsur dari tri dosha (vatta, pitta dan kapha) tersebut jika berada dalam keadaan tidak
seimbang akan menyebabkan manusia jatuh sakit.
Sistem pengobatan tradisional seperti ayurweda telah menjadi popular dalam tahun-
tahun belakangan ini. Ini adalah bagian dari ketertarikan yang diperbaharui lagi dalam
kebudayaan suatu etnis di seluruh dunia, dalam pola hidup dan kepercayaan keagamaan. Obat
bisa dipandang sebagai komponen hidup dari sebuah tradisi yang diwariskan sejak ratusan
tahun. Salah satu obat yang digunakan untuk pengobatan adalah air kencing (Mutra).

Aksara Dharma, Maret 2016 13


Kebanyakan orang tidak menyukai air kencing karena aromanya tidak sedap. Selain itu
meminum air kencingnya sendiri masih dianggap suatu tindakan yang menjijikkan.
Menjijikkan atau tidak, bagi mereka yang menderita sakit kronik dan tak tersembuhkan, maka
meminum air kencing bukanlah masalah, yang penting kesehatannya pulih kembali.
Air kencing tidak hanya terdapat dalam pengobatan ayurweda saja, ternyata pada dunia
kedokteran modern pun menjadi perhatian. Pada World Conference on Auto-Urie Theraphy
di India pada tanggal 23 sampai 25 februari 1996 terungkap betapa menakjubkannya
pengaruh penggunaan mutra, urine atau air kencing terhadap penyembuhan beberapa
penyakit, antara lain : penyakit kencing manis, influenza, he patitis B, sinusitis, jerawat
bahkan kanker.

PEMBAHASAN

A. Mengenal Mutra (Urine)

Air kencing atau Mutra atau biasa disebut urine dihasilkan dari cairan yang masuk ke
dalam tubuh lewat makanan atau minuman kemudian sisa cairan diproses melalui ginjal
atau proses ekskresi kemudian dikeluarkan melalui proses yang disebut urinasi atau lebih
jelasnya cairan sisa dalam tubuh akan disaring di dalam ginjal lalu dialirkan melalui
ureter menuju kandung kemih dan selanjutnya melakukan proses pembuangan urine dari
dalam tubuh melalui uretra. Sebagai kotoran, air kencing merupakan sisa hasil
metabolisme tubuh yang harus dibuang karena tidak lagi digunakan. Ini adalah cairan sisa
di dalam darah yang disaring oleh ginjal dan untuk menjaga homeostasis cairan tubuh.
Namun ada juga beberapa spesies yang menggunakan urine sebagai sarana komunikasi
olfaktori.
Urine merupakan hasil dari filtrasi darah dan bukannya filtrasi sampah. Secara
medis, urine dinyatakan sebagai plasma ultrafilter karena berasal dari pemurnian darah itu
sendiri yang dilakukan oleh ginjal. Ginjal tidak berfungsi untuk mengekskresikan, tetapi
meregulasi semua elemen dan konsentrasinya dalam darah. Nutrisi-nutrisi yang terdapat
di dalam darah bergerak melalui hati. Disini racun-racun akan diekskresikan dalam
bentuk sampah padat. Darah yang telah bersih kemudian dimurnikan kembali melalui
proses penyaringan di ginjal. Di sini pula semua kelebihan air, garam, vitamin-vitamin,
mineral, enzim-enzim, antibody, serta elemen-elemen lainnya yang tidak digunakan tubuh
pada saat itu dikumpulkan dalam bentuk cairan yang telah dimurnikan dan disterilkan dan
disebut urine atau mutra. Artinya, elemen-elemen ini tidak disaring karena beracun, tetapi
karena tubuh belum memerlukannya pada saat itu.
Urine terdiri dari air dengan bahan terlarut berupa sisa metabolisme (seperti urea),
garam terlarut, dan materi organic. Menurut penelitian urine mengandung 95% air, 2,5%
urea dan 2,5% campuran mineral, enzim, hormone dan garam. Cairan dan materi
pembentuk urine berasal dari darah atau cairan interstisial.
Komposisi urine berubah sepanjang proses reabsorpsi ketika molekul yang penting
bagi tubuh, missal glukosa, diserap kembali ke dalam tubuh melalui molekul pembawa.
Cairan yang tersisa mengandung urea dalam kadar yang tinggi dan berbagai senyawa
yang berlebih atau berpotensi racun yang dibuang keluar tubuh.
Urea adalah materi yang menyebabkan urine berbau pesing. Urine juga memiliki
substansi yang dapat merangsang system kekebalan tubuh, memerangi infeksi, serta
membunuh bibit penyakit. Materi yang terkandung di dalam urine dapat diketahui melalui
urinalisis. Urea yang dikandung oleh urine dapat menjadi sumber nitrogen yang baik
untuk tumbuhan dan dapat digunakan untuk mempercepat pembentukan kompos.

Aksara Dharma, Maret 2016 14


Pada tahun 1975, ilmuwan Dr. A.H. Free dalam bukunya, Urinalysis in Clinical
Laboratory Practice, mengatakan bahwa urine bersifat steril dan banyak mengandung zat-
zat nutrient, vitamin, hormone, asam amino, serta mineral yang bermanfaat bagi tubuh
manusia.
Makanan yang kita makan akan mempengaruhi rasa dan warna dari urine, selain itu
suhu udara dan jumlah air yang diminum juga turut mempengaruhi warna dan rasa urin,
untuk mereka yang mengkonsumsi banyak daging maka urin akan terasa asam, asin dan
bisa juga pahit, namun jika seseorang vegeraris urinnya akan terasa tawar.
Kebanyakan orang menganggap urine sebagai zat yang kotor. Hal ini berkaitan
dengan kemungkinan urine tersebut berasal dari ginjal atau saluran kencing yang
terinfeksi sehingga urine pun mengandung bakteri. Padahal fungsi utama urine adalah
untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-obatan dari dalam tubuh. Artinya, jika
urine berasal dari ginjal dan saluran kencing yang sehat, maka secara medis sebenarnya
urine merupakan zat yang steril. Bahkan urine benar-benar steril pada 15 menit pertama
setelah keluar tubuh.
Zat-zat beracun dari dalam tubuh manusia dikeluarkan melalui hati dan usus halus,
serta melalui kulit. Fungsi utama ginjal adalah menjaga agar komposisi darah tetap
seimbang. Saat terlalu banyak air, ginjal akan membuangnya. Tetapi, tidak berarti air
tersebut merupakan produk sisa yang beracun. Urine merupakan hasil dari filtrasi darah
dan bukan merupakan filtrasi sampah. Dengan demikian secara medis urine juga
dinyatakan sebagai plasma ultrafilter.
Orang normal dan sehat mengeluarkan 750-1.500 cc urine setiap hari. Pada
umumnya air seni orang normal dan sehat tampak jernih dan bening layaknya air atau
sedikit kekuningan. Adapun warna urine lainnya yaitu :
1. Kuning seperti kunyit pada orang yang menderita hepatitis dan lever
2. Kuning kemerahan pada orang yang sakit demam
3. Keruh, kental, dan kemerahan pada orang yang menderita gangguan ginjal atau
terinfeksi saluran kemih.
Urine juga memiliki rasa yang tidak sama. Urine orang sehat rasanya bisa tawar atau
sedikit asin dan asam. Jika warna urine lebih kuning, maka rasanya lebih asin dan asam.
Jika warnanya kuning pekat atau kemerahan, rasanya bukan saja asin, asam, bahkan bisa
pahit seperti brutowali.

B. KHASIAT DAN MANFAAT MUTRA (URINE)

Ada sejumlah khasiat dan manfaat dan urine yaitu :


1. Sebagai Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang memiliki kemampuan mengatasi atau menetralisir
radikal bebas. Radikal bebas merupakan sekelompok atom yang mengandung electron
tak berpasangan. Penyakit yang bisa muncul karena radikal bebas adalah kanker,
aterosklerosis, hipertensi, diabetes, dll. Antioksidan juga dapat membuat kita lebih
awet muda serta menjaga stamina tubuh agar lebih sehat.
2. Menjaga Keseimbangan Tubuh
Tubuh secara konstan memproduksi berbagai jenis antibodi, hormon, enzim-enzim
serta zat kimia alami lainnya untuk meregulasi dan mengontrol fungsi tubuh dan
mengatur ketidakseimbangan yang tidak disadari. Pada studi klinis telah membuktikan
bahwa ribuan zat kimia dan nutrisi tubuh yang terdapat di dalam urine mencerminkan
fungsi tubuh setiap orang dan pada saat digunakan kembali, zat-zat kimia dan nutrisi
ini bertindak sebagai vaksin, antibakteri, antivirus dan antikanker alami.

Aksara Dharma, Maret 2016 15


3. Sebagai Penunjuk Dehidrasi
Urine dapat dijadikan sebagai penunjuk dehidrasi dimana orang yang tidak menderita
dehidrasi akan mengeluarkan urine yang bening seperti air. Penderita dehidrasi akan
mengeluarkan urine berwarna kuning pekat atau coklat.
4. Untuk Menguatkan Kulit
Urine yang mengandung banyak antiseptic dapat digunakan untuk perawatan eksternal
sehingga dapat membuat kulit menjadi lebih kuat dan berseri.
5. Sebagai Antikanker
Dr. Evagelos Danopouolos dari Yunani melaporkan bahwa urea yang terkandung di
dalam urine mengandung property antikanker. Urea yang terdapat pada urine dapat
merusak kemampuan sel-sel kanker untuk berkumpul bersama dan membunuh sel-sel
kanker dengan cara merusak beberapa aktivitas metabolisme sel kanker. Oleh karena
itulah terapi mutra/urine digunakan untuk mengatasi kanker kulit, kanker serviks,
kanker paru-paru, kanker mata, kanker payudara dan kanker hati.
Menurut Dr. Ming Chen Lau, wakil general manager Long Life Biomedical Co. Ltd.
Hefel Barat, Cina, dalam makalahnya yang disampaikan pada konferensi tersebut,
berpendapat bahwa air kencing memiliki kemampuan menyembuhkan beberapa penyakit,
diantaranya penyakit kanker. Kebanyakan dari sekitar 600 delegasi dari 17 negara yang
menghadiri konferensi tersebut meminum air kencingnya sendiri sebagai pencegahan
penyakit.
Dr. Shigeyuri Arai, manajer Fujisaki Institute, Okayama, Jepang mengatakan
berkumur menggunakan sedikit air kencing bisa menyembuhkan penyakit kencing manis,
hepatitis B dan influenza, bahkan penyakit kanker. Arai meneliti sebanyak 1.752 orang
yang mempraktekkan terapi air kencing atau urine dan berhasil melawan penyakit mulai
dari diabetes atau kencing manis sampai kanker. Sebanyak 60% dari mereka mengaku
gejala penyakit yang mereka derita hilang selama melakukan terapi tersebut. Dikatakan
bahwa sekitar 200 ribu orang Jepang berkumur atau minum air kencingnya sendiri setiap
hari, sedangkan di Jerman hamper sebanyak 2 juta orang termasuk pengikut terapi ini.
Selain untuk diminum urine juga sangat bermanfaat untuk penyembuhan diluar tubuh
seperti masalah rambut, kulit, telinga, mata, dll. Untuk urine yang diminum sebaiknya
diminum langsung setelah keluar dari tubuh atau maksimal 5 menit setelah keluar dari
tubuh, karena pada saat itu urine masih dalam keadaan steril.
Urine yang paling bagus untuk pengobatan adalah urine diri sendiri. Sedangkan urine
yang paling baik adalah urine yang diproduksi ketika tubuh beristirahat dan bukan dalam
keadaan terforsir karena berolahraga atau bekerja keras. Urine yang berkualitas adalah di
pagi hari setelah bangun tidur. Kualitas urine sama, namun kualitas nutrient yang
dikandungnya berbeda. Urine sepanjang malam sampai yang paling pagi adalah urine
yang mempunyai kadar nutrient paling tinggi disbanding urine setelah makan pagi. Hal
ini dikarenakan pada saat tidur sebagian besar nutrient yang berasal dari otak dan system
hormonal belum terpakai untuk bekerja. Sebaliknya, setelah bangun tidur, karena sudah
terjadi aktivitas maka sebagian nutrient telah dipakai untuk menghasilkan energy.

C. CARA MENDETEKSI PENYAKIT LEWAT MUTRA/URINE.

Walaupun tidak secanggih seperti sekarang, yang mempergunakan laboratorium


klinik lengkap dengan peralatannya, ada pula pemeriksaan air kencing (mutra) penderita
secara sederhana menurut Ayurweda. Memeriksa mutra, urine, air kencing, air seni atau
air kemih seseorang di dalam kitab Ayurweda disebut mutra pariksha. Menurut kitab ini,
mutra atau air kencing adalah mala (cairan limbah) yang harus dibuang setiap hari,
melalui ginjal (vrkka) dan kantung kencing (bhasti). Bila tidak dibuang badan menjadi

Aksara Dharma, Maret 2016 16


sakit. Mutra ini terjadi akibat adanya hasil buangan dari proses yang terjadi di dalam
dhatu (jaringan tubuh). Dengan adanya pembuangan ini maka keseimbangan ketiga unsur
tri dosha tidak terganggu. Dari pemeriksaan terhadap mutra yang ke luar tubuh dapat
diamati keadaan dhatu dalam tubuh. Apakah tubuh berada dalam keadaan sehat
(svasthya) atau sakit (rogya, abadha).
Menurut kitab Ayurweda, jika ingin memeriksa air seni seorang pasien ada
aturannya. Mutra atau air kemihnya harus ditampung pada pagi hari setelah dia bangun.
Air kencing ini disebut brahma muhurta. Kucuran pertama dari air kencing ini sebaiknya
dibuang. Air seni selanjutnya baru ditampung. Untuk mengetahui vyadhi atau penyakit
apa yang diderita oleh seseorang dapat dilihat pada perubahan warnanya, konsentrasinya
dan dengan diberi perlakuan terhadap mutra ini.
Air seni yang warnanya biru (syama) atau coklat kehitaman (kapila) dan tampak
transparan (jernih dan tembus pandang), serta berminyak (snigdha), suhunya dingin
(sita), menandakan adanya peningkatam unsur vatta dalam tubuh pasien. Air kemih yang
warnanya merah (rakta) atau kuning tua (harida, pita) serta tampak seperti minyak,
berarti ada gangguan unsur pitta dalam tubuhnya. Mereka yang terganggu unsur kapha
dalam tubuhnya warna air kencingnya adalah berkabut atau kecoklatan (syava) seperti
lumpur disertai keadaannya pekat berminyak.
Perubahan lainnya, misalnya mutra ini seperti tandula toya (air cucian beras),
disertai bau khas seperti kencing kambing (Bali: mangsit sengir, ngas) pertanda terjadi
gangguan pada alat pencernaan (pakvasaya). Jika urinenya seperti air gula tebu dan mata
pasien seperti pinjara (merah) keadaan ini adalah akibat kenaikan rasa dhatu (cairan
plasma tubuh). Bila terjadi gangguan pada unsur pitta dan vatta bersamaan, maka mutra
akan tampak seperti air berasap (berkabut) dan agak hangat. Jika unsur vatta dan kapha
yang meningkat, maka air kencingnya berbuih dan warnanya putih. Kalau unsure kapha
dan pitta yang naik, urinenya berwarna merah dan berawan (kalusa). Bila warna air
seninya hitam, tetapi transparan, berarti ketiga unsure tri dosha yang terganggu
(sannipata). Pada penyakit demam kronik, air seninya seperti darah (rakta) dan disertai
cairan berwarna kuning.
Perubahan warna, bau, dan konsistensi urine dapat menunjukkan kondisi tubuh
seseorang. Di dunia kepolisian, urine merupakan alat untuk membuktikan seseorang
terbukti mengkonsumsi narkoba sedangkan didunia medis urine digunakan dokter untuk
menetapkan diagnosis penyakit seseorang. Cara mengetahui penyakit dengan mendeteksi
urine bisa dilakukan melalui pengamatan terhadap warna dan aroma urine.
Warna normal urine berkisar antara kuning muda hingga kuning tua. Warna itu
disebabkan oleh beberapa zat, terutama urochrome dan urobilin. Jika warna urine bukan
dalam gradasi kuning, maka bisa disebut abnormal, sehingga perlu menjalani
pemeriksaan lebih lanjut. Meski demikian warna abnormal juga belum tentu karena
penyakit berat. Bisa saja dapat disebabkan dari hasil metabolisme abnormal yang berasal
dari suatu jenis makanan atau obat-obatan. Namun, kadangkala warna urine yang
abnormal, atau bahkan ada darah dalam urine, bisa menandakan ada penyakit tertentu
yang menyerang tubuh.
Untuk mengetahui kondisi kesehatan seseorang ada beberapa criteria tentang
perubahan warna urine dalam mendeteksi penyakit, yaitu :
1. Kuning Jernih hingga Kuning Pucat
Urine normal biasanya berwarna variasi dari kuning jernih sampai kuning pucat,
tergantung pada kadar air pada urine. Urine lebih gelap biasanya merupakan tanda
bahwa kita tidak minum cukup cairan dan juga bisa merupakan pertanda awal
penyakit liver.
2. Kuning sangat Jernih

Aksara Dharma, Maret 2016 17


Jika urine berwarna sangat jernih, itu berarti kita meminum banyak cairan, atau
sedang mengkonsumsi diuretic. Bahkan bisa juga akibat mengkonsumsi vitamin
dalam dosis tinggi, terutama riboflavin (vitamin B).
3. Kuning Terang atau Seperti Lampu Neon
Warna ini menunjukkan bahwa terlalu banyak mengkonsumsi vitamin suplemen
sehingga tubuh secara berlebihan menyerap vitamin yang dikonsumsi.
4. Kuning Gelap atau Emas
Warna ini biasanya menunjukkan tanda-tanda dehidrasi. Tubuh membutuhkan jumlah
cairan tertentu untuk berfungsi sehingga apabila terjadi kekurangan cairan dapat
menyebabkan air seni menjadi sangat kuat dan terkonsentrasi.
5. Merah Muda atau Merah
Warna urine merah muda atau merah menunjukkan bahwa :
 Ada darah pada urine yang mengalir dari ginjal
 Pertanda terserang penyakit infeksi kandung kemih. Gejala lainnya adalah nyeri
pada perut dan demam.
 Terlalu banyak mengkonsumsi makanan berwarna merah muda atau merah seperti
berry atau bit.
 Efek samping dari beberapa obat pencahar
6. Biru atau Kehijauan
Biru atau kehijauan pada urine merupakan efek samping obat tertentu atau karena
mengkonsumsi makanan yang berwarna hijau terutama asparagus. Ini juga merupakan
indikasi penyakit abstruksi atau penyumbatan usus kecil.
7. Coklat atau Teh
Warna urine coklat atau the menunjukkan :
 Adanya kelainan hati, terutama bila disertai dengan wajah pucat kuning dan kulit
kuning
 Efek samping dari obat tertentu
 Indikasi penyakit porphyria, hepatitis, dan sindroma nefrotika (penyakit ginjal)
8. Keruh
Keruh adalah warna urine yang menunjukkan adanya infeksi saluran kemih atau batu
ginjal. Biasanya penyakit ini menyebabkan nyeri.
9. Oranye
Warna oranye mengindikasikan penyakit hepatitis atau malaria, pyridium, antibiotic
yang biasa digunakan untuk infeksi kandung kemih dan saluran kencing.
10. Serupa Susu
Zat warna normal dalam jumlah besar pada urine yang warnanya serupa susu adalah
fosfat dan urat. Sedangkan zat warna abnormalnya adalah getah, prostat, zat-zat
lemak, bakteri-bakteri, dan protein yang membeku. Warna ini merupakan indikasi
penyakit infeksi saluran kencing dan kebocoran kelenjar limpa.
Selain warna urine juga mengeluarkan bau atau aroma tertentu. Aroma ini bisa
digunakan untuk mendeteksi penyakit. Penderita diabetes dan kelaparan, misalnya bau,
urine cenderung manis dan berbau buah. Sementara urine yang terinfeksi bakteri E.Coli
biasanya berbau menyengat. Urine pada tubuh orang yang sehat adalah steril dan tidak
berbau saat keluar dari tubuh. Namun beberapa saat setelah meninggalkan tubuh, bakteri
segera mengkontaminasi urine dan mengubah zat di dalam urine sehingga menghasilkan
bau yang khas.

D. PEMANFAATAN URINE (MUTRA) BAGI PENGOBATAN AYURWEDA

Aksara Dharma, Maret 2016 18


Orang-orang yang mengidap penyakit menahun atau penyakit apapun yang sulit
disembuhkan dan belum ditemukan obatnya berusaha mempergunakan berbagai cara
serta obat untuk menyembuhannya. Salah satu cara penyembuhan tersebut adalah terapi
urine. Namun, di sisi lain banyak orang yang terkejut ketika mengetahui sejumlah hasil
penelitian yang menyetujui kehebatan terapi urine. Sedangkan berbagai pembuktian yang
dilakukan justru kian menegaskan bahwa terapi urine memiliki khasiat yang luar biasa
untuk pengobatan.
Cara pengobatan menggunakan urine tercatat dalam kitab Ayurweda yang ditulis
ribuan tahun yang lalu. Dalam pengobatan Ayurweda air kencing dikenal dengan istilah
mutra. Air kencing dari binatang (jangama mutra) dan manusia (manusha mutra)
menurut Ayurweda dapat dipergunakan sebagai obat. Hal ini dikarenakan air
kencing/mutra memiliki tiksna Guna (menyengat, tajam), ruksa guna (kenyal, kurang
jernih), usna guna (panas), kasaya rasa (sepet) dalam anurasa, serta katu rasa (pedas).
Karena mengandung guna dan rasa maka urine dapat dipergunakan sebagai bahan untuk
obat.
Meminum air kencing sebagai obat telah lama dilakukan oleh umat manusia. Air
seni/air kencing/urine/mutra ini dapat meningkatkan unsur tri dosha pitta, menyembuhkan
penyakit krmi (cacingan, parasit), sopha (oedema), udara (sumbatan pada perut, termasuk
asites), anaha (perut kembung, flatulen), sula (sakit menusuk-nusuk, kolik di perut), arusi
(anoreksia, tak ada nafsu makan), visa (keracunan), svitra (bercak putih pada kulit,
lekodermis) dan kustha (gangguan pada kulit, termasuk kusta).
Mutra dari binatang betina seperti sapi, kambing, biri-biri dan kerbau lebih baik
khasiatnya sebagai obat dibandingkan air kemih dari yang jantan. Sebaliknya pada
binatang keledai, unta, dan gajah malahan air kencing dari yang jantan khasiatnya lebih
baik dari yang betina. Demikian pula pada manusia dimana air kemih laki-laki lebih
berkhasiat sebagai obat dibandingkan dengan air kemih wanita.
Menurut Ayurweda, air kencing atau mutra yang dapat dipergunakan sebagai obat
adalah air kencing yang berasal dari sapi (go mutra), kambing (chaga mutra), biri-biri
(urabhra mutra), gajah (hasti mutra), kerbau (mahisa mutra), kuda (ekasapha mutra),
unta (ustra mutra) dan keledai (rasabha mutra). Air kencing dari manusia (manusha
mutra) juga dapat dipergunakan sebagai obat.
Mutra atau air kencing binatang yang sering dimanfaatkan dalam usaha manusia
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit antara lain :
1. Go Mutra (Air Kencing Sapi)
Mutra dari Sapi memiliki sifat laghu guna (ringan), tiksna guna (tajam, menyengat),
usna guna (panas) dan lavana rasa (asin). Oleh sebab itu go mutra ini tidak dapat
dipergunakan untuk meningkatkan unsur tri dosha vatta (udara,gas) tetapi dapat
menaikkan unsur pitta (api, panas, enzim) dan menurunkan unsur kapha (air, cairan
tubuh).
2. Chaga Mutra (Air Kencing Kambing)
Air kencing kambing atau chaga mutra mengandung sifat ruksa guna (kenyal), usna
guna (panas) dan katu rasa (pedas). Air kencing binatang ini sering dipergunakan
untuk mengobati penyakit kasa (bronchitis), svasa (sesak nafas, termasuk asma),
sopha (oedema, busung, bengkak berair), kamala (sakit kuning), visa (keracunan)
dan pandu (anemia, kurang darah).
3. Mahisa Mutra (Air Kencing Kerbau)
Air kencing kerbau atau mahisa mutra amat berkhasiat untuk mengobati penyakit
durnama (arsa, ambeien, wasir), udara (sumbatan pada perut) dan sula (kolik).
4. Ekasapha Mutra (Air Kencing Kuda)

Aksara Dharma, Maret 2016 19


Air kencing kuda atau ekasapha mutra mengandung sifat tiksna guna (tajam,
menyengat), usna guna (panas) dan katu rasa (pedas). Oleh karena itu, air seni ini
dapat dipergunakan sebagai pacana, untuk merangsang pencernaan sehingga keluar
lebih banyak enzim atau getah pencernaan), menurunkan unsur tri dosha vatta serta
meningkatkan unsur kapha (cairan tubuh).
5. Manusha Mutra (Air Kencing Manusia)
Air kencing manusia atau manusha mutra mempunyai sifat tiksna guna (tajam,
menyengat) dan lavana rasa (asin). Berdasarkan atas kandungannya ini maka air
kemih manusia dipergunakan untuk mengobati visa (orang keracunan), sebagai
rasayana (obat awet muda) dan obat pama (gatal).
Di dalam kitab Sri Damar Tantra : Shiwambu Kalpavidhi (meminum air seni untuk
meremajakan tubuh). Diceritakan tentang Dewi Parwati yang setiap hari memohon
kepada suaminya Dewa Siwa, bagaimana rahasianya sehingga beliau selalu sehat, segar
bugar dan perkasa. Akhirnya Dewa Siwa berkenan mengajarkan kepada Dewi Parwati
tentang khasiat mutra atau air seni untuk menyehatkan tubuh. Menurut Dewa Siwa
meminum air seni akan mendapatkan kenikmatan yang tinggi. Mutra dapat diminum dari
mangkok yang terbuat dari logam (dhatu), tanah liat, bambu, tulang tempurung kelapa,
kulit erang atau daun. Tetapi yang terbaik ialah minum dari mangkok tanah liat atau
tembaga. Para pengikut terapi mutra ini sebaiknya menghindari makanan yang tikshna
guna (tajam), katu (pedas), mengandung banyak bumbu rempah, dan jangan terlalu
kenyang. Bekerja dan berolah raga tidak berlebihan. Mutra terbaik yang dipergunakan
sebagai terapi adalah shiwambu dhara atau air seninya sendiri. Kucuran mutra dari
kemaluan pada pagi hari yang pertama dan terakhir dibuang, sedangkan kucuran yang
tengah diminum.

PENUTUP

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat ditarik kesimpulan :


1. Urine (mutra) baik dari air kencing binatang (jangama mutra) dan air kencing manusia
(manusha mutra) dapat dipergunakan sebagai obat dalam pengobatan ayurweda karena
dapat menyeimbangkan kembali unsur tri dosha yang terganggu di dalam tubuh manusia.
2. Selain dapat dipergunakan sebagai obat, Mutra/urine juga dapat digunakan untuk
mendeteksi adanya penyakit yang dapat dilihat dari warna dan aroma mutra/urine.
3. Penyakit yang dapat disembuhkan menggunakan urine (mutra) adalah cacingan, oedema,
sumbatan pada perut, perut kembung, kolik, tidak ada nafsu makan, keracunan, gangguan
kulit, dan beberapa penyakit degenerative salah satunya adalah penyakit kanker.

DAFTAR PUSTAKA

1. Armstrong, Jhon W. 2008. Air Kehidupan:Penyembuhan dengan Terapi Urin. Jakarta


: Gramedia Pustaka Utama
2. Dash, Vaidya Bhagawan dan Ramaswamy, Suhasini. 2006. Ayurveda Ilmu
Pengobatan Tradisional India. Penerjemah Ir. Gede Ngurah Ambara. Surabaya :
Paramita
3. Maswinara. 2011. Awet Muda dan Panjang Umur Dengan Ayurweda. Tersedia dalam
http://www.maswinara.com
4. Nala, I.G.N. 2001. Ayurweda Ilmu Kedokteran Hindu. Jilid 2. Denpasar : Upada
Sastra
5. William, George. 2011. Dahsyatnya Terapi Urine. Jakarta : berlian Media

Aksara Dharma, Maret 2016 20


METODA PENDIDIKAN KEAGAMAAN HINDU PADA ANAK USIA DINI DI
KOTA SURAKARTA

Putu Budiadnyana

Abstrak

Melihat realitas yang sering terjadi pada masa sekarang ini, sangatlah membuat hati
terasa miris, karena walaupun sudah banyak orang pintar akan tetapi masih terjadi sikap
perilaku yang kurang baik sehingga muncul sifat egois, tidak memiliki kepedulian terhadap
sesama, kurang memiliki rasa tanggung jawab, baik tanggung jawab sebagai makhluk sosial
ataupun tanggung jawab sebagai makhluk Tuhan. Tetapi harus diakui dan diberikan apresiasi
kepada keluarga yang sudah menerapkan pendidikan keagamaan pada anak usia dini,
walaupun masih ada keluarga yang belum maksimal melakukan itu. Untuk itulah masih tetap
dibutuhkan keberadaan satuan-satuan Pendidikan Anak Usia Dini formal maupun non formal.
Pendidikan anak menurut ajaran agama Hindu, dimana anak merupakan jembatan bagi orang
tua untuk menuju sorga, anak juga menentukan citra dari sebuah keluarga, sehingga
kewajiban bagi orang tua untuk menanamkan pendidikan budi pekerti dan agama kepada
anak sejak dini untuk membentuk karakter anak

Kata Kunci; orang Tua, Pendidikan, Anak usia dini,

Pendahuluan

Keluarga adalah sebuah institusi terkecil dalam masyarakat yang diharapkan dapat
memberikan sumbangsih pendidikan bagi anak-anaknya, karena pendidikan pertama kali
dimulai dari keluarga. Anak adalah berupa aset bagi orang tua, dan ditangan orang tua anak
akan tumbuh dan berkembang. Saat sikecil tumbuh dan berkembang begitu lincah dan
memikat. Orang tua begitu mencintai dan bangga kepadanya. Akan tetapi, mungkin masih
banyak dari orang tua yang belum menyadari bahwa sesungguhnya dalam diri si kecil
tersebut terjadi perkembangan potensi yang kelak akan sangat bermanfaat.
Anak juga merupakan generasi penerus masa depan bangsa, generasi yang diharapkan
dapat menjadi penerus bangsa yang cerdas serta memiliki akhlak mulia atau perilaku yang
baik. Ketika anak memiliki sikap dan perilaku yang baik, pemikiran yang cerdas maka itu
merupakan suatu kebanggan tersendiri bagi semua orang tua. Dengan menciptakan generasi
yang cerdas dan budi pekerti luhur, berarti orang tua telah memberikan masa depan yang
cerah bagi anak, sehingga diharapkan anak tersebut menjadi anak yang berguna bagi agama,
bangsa dan negara.
Oleh karena itu, suatu bangsa tidak hanya memerlukan generasi yang hanya memiliki
Kecerdasan Intelektual (IQ) saja, akan tetapi harus diimbangi juga dengan Kecerdasan
Emosional (EQ) serta Kecerdasan Spiritual (SQ). Untuk dapat menanamkan ketiga
kecerdasan tersebut, haruslah dimulai dari sejak dalam kandungan. Lebih dari itu sebelum
mengandung, seorang perempuan harus terlebih dahulu mempersiapkan diri untuk menjadi
seorang Ibu. Baik secara Spiritual, Intelektual, maupun Moral. Menjadi Ibu bukanlah sekedar
melahirkan, lebih dari itu seorang ibu pastilah menjadi guru pertama dan yang utama bagi
anak-anaknya (Suharsono, 2005:15).
Dorothy dalam Alisshi Julaeha [Ed], (2004:56), mengatakan “anak-anak peduli pada
anda bukan karena Anda mengatakan sesuatu, akan tetapi mereka melihaat perilaku anda.
Andalah satu-satunya panutan mereka, karena anda orang yang pertama yang punya pengaruh
kuat bagi mereka”.Maka setiap anak perlu dilatih untuk melakukan hal-hal yang baik,

Aksara Dharma, Maret 2016 21


bersosialisasi dan bekerja sama. Dengan menjadi model yang baik, orang tua harus selalu
mengingat bahwa anak selalu meng-copy tindak-tanduk atau segala perilaku orang tua.
Reni dan Elissiti Julaeha [Ed.] (2004:54), mengatakan “Jauhkanlah perilaku berbohong,
menggunjing, melecehkan, egois dan bersikap tidak tertib. Hindari mengekspresikan emosi
dengan cara kasar, tak santun, dan perilaku tidak bijak. Selalu tunjukkan kasing sayang anda
sepenuhnya, agar anak dapat merasakan bahwa ia mendapat dukungan”. Ini penting
dilakukan untuk memupuk kepercayaan diri anak dan juga kemampuan berinteraksi serta
mengekspresikan emosinya dengan baik.
Tugas dan tanggung jawab orang tua dalam mendidik dan melatih anak tidaklah mudah.
Terlebih dalam konteks pendidikan Hindu mendatang. Orang tua harus benar-benar siap dan
tahu bagaimana cara menanamkan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya (Syaeful Bahri
Djamarah, 2004:86). Oleh karena itu, orang tua yang seharusnya memahami dan mengetahui
bagaimana metode atau cara yang terbaik dalam mendidik dan mengajarkan anak-anaknya
untuk selalu hidup dengan berlandaskan ajaran agama.
Musthafa Al-‘Adawy dalam Fiqih Pendidikan Anak (2006:20) menyatakan perilaku
orang tua memiliki pengaruh yang besar dalam pendidikan anak, kesalahan jiwa dan perilaku
orang tua memiliki andil yang besar dalam membentuk kesalehan anak. Sebaliknya, perilaku
buruk yang dimiliki orang tua dapat membawa pengaruh tidak baik dalam pendidikan anak.
Dari beberapa uraian diatas, penulis berpendapat bahwa memahami ajaran agama
yang ditanamkan kepada anak sejak usia dini sangatlah penting, karena melihat pada
kenyataan sekarang ini, banyak anak-anak yang memiliki perilaku yang kurang baik, hal ini
disebabkan karena kurangnya pemahaman orang tua untuk mendidik anak usia dini dalam
memahami ajaran agma Hindu.

Pembahasan

A. Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Ajaran Hindu

1) Pendidikan Anak Menurut Agama Hindu

Kelahiran anak pada suatu keluarga patut disyukuri karena anak merupakan titipan tuhan
yang sangat berharga dan wajib bagi orang tua untuk menjaga serta memberikan
pendidikan kepada anak. Menurut Titib (dalam Suryanto, 2013), dalam bahasa Sanskerta
‘anak’ adalah “putra”. Kata “putra” itu sendiri pada mulanya berarti kecil atau yang
disayang, kemudian kata ini dipakai menjelaskan mengapa pentingnya seorang anak yang
lahir dalam keluarga:
“Oleh karena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari neraka yang
disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena itu ia disebut Putra”
(Manawadharmashastra IX.138).
Dalam kutipan tersebut kita dapat memahami betapa pentingnya seorang anak atau putra
dalam sebuah keluarga terutama bagi orang tuanya, karena anak selain sebagai penerus
garis keturunan dan adat-istiadat yang selama ini orang tua jalankan namun anak juga
akan menyebrangkan orang tuanya dari neraka yang disebut Putra seperti mana
dijelaskan di atas.
Ada sebuah kutipan yang sangat berharga dan patut kita pelajari sebagai orang tua serta
sebagai seorang anak.
”Seluruh hutan terbakar hangus karena satu pohon kering yang terbakar, begitu pula
seorang anak yang kuputra (buruk karakternya), menghancurkan dan memberikan aib
bagi seluruh keluarga”(Canakya Nitisastra II.15).

Aksara Dharma, Maret 2016 22


“Seluruh hutan menjadi harum baunya, karena terdapat sebuah pohon yang berbunga
indah dan harum semerbak. Demikian pula halnya bila dalam keluarga terdapat putra
yang Suputra”(Canakya Nitisastra II.16).

“Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan bukan oleh
ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat martabat orang
tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang baik”.(Nitisastra IV.6).

Dalam kutipan-kutipan tersebut kita sebagai orang tua diingatkan dan diajarkan
betapa pentingnya seorang anak, karena baik buruknya kita dalam mendidik seorang anak
akan membentuk karakter anak dalam keluarga dan menentukan citra keluarga dalam
masyarakat. Selain anak mendapatkan pendidikan dalam lingkungan sekolah, orang tua
juga berperan dalam mendidik dan membentuk karakter anak. Jika anak dalam keuarga di
didik dengan kasih sayang dan pendidikan menurut ajaran agama sejak dini swaha anak
akan memiliki karakter yang baik dan bila sebaliknya, bila orang tua yang cuek atau tidak
memperdulikan atau membiarkan anak berkembang sendiri tanpa ada bimbingan orang
tua maka anaknya akan membentuk karakter yang tidak baik, selain sekolah, orang tua,
lingkungan pergaulan yang ada diluar rumah juga mempengaruhi perkembangan atau
pembentukan karakter seorang anak. Namun sebagai orang tua bukan berarti kita harus
mengurung anak hanya dirumah saja dan tidak memberikan kebebasan bagi anak,
melaikan memberikan kebebasan namun dalam pantauan atau bimbingan dari orang
tua. Dalam sistem pendidikan Veda, ketika seorang anak kehilangan cinta kasih dari
kedua orang tuanya, maka pendidikan di sekolah (dalam pengertian pendidikan Gurukula)
menggantikan kasih sayang orang tua tersebut kepadanya. Dalam pendidikan Gurukula
ini seorang anak dipisahkan dari keluarga. Kata “Kula” dalam kaitannya dengan Gurukula
berimplikasi bahwa seorang anak tidak sepenuhnya dijauhkan dari atmosfir keluarga. Ia
kini berubah dari kehidupan dalam keluarga kecil ke dalam keluarga besar. Dalam sistem
pendidikan Veda, seorang anak tidak dipisahkan dengan susana keluarga, ia hanya
ditransplatasikan dari keluarga kecil yakni orang tua ke keluarga besar, yakni keluarga
Guru.
Seorang anak juga harus mengerti bagaimana dan apa yang dilakukan oleh orang tua
kepada anaknya hanya semata-mata agar anaknya lebih baik, berguna bagi keluarga dan
masyarakat serta bekal anak di masa depannya untuk menempu hidup yang setiap hari
akan lebih keras. Jadi seorang anak harus berbakti kepada orang tua, dimanpun dan
kapanpun dia berada harus bertidak hati-hati dan dipikirkan terlebih dahulu baik dan
buruknya jika akan melakukan sesuatu karena anak menentukan citra keluarganya.
Berdasarkan penjelasan diatas, hal utama yang harus diajarkan atau ditanamkan kepada
anak sejak dini adalah moral dan budi pekerti. Budi pekerti dalam sansekerta terdiri dari
“Budhi” dan “Pekerti” , Budhi yang berarti pengetahuan, sedangkan pekerti atau pravriti
yang berarti perilaku. Dalam bahasa Indonesia kata budhi dan pekerti disatukan dan
memiliki satu pengertian yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai perilaku yang baik.
“Olehkarena seorang anak yang akan menyeberangkan orang tuanya dari
neraka yang disebut Put (neraka lantaran tidak memiliki keturunan), oleh karena
itu ia disebut Putra” (Manawadharmashastra IX.138).

Penjelasan yang sama juga dapat kita jumpai dalam Adiparva 74 dan 27, yang
merupakan bagaian dari kitab Mahabharata. Juga dinyatakan sama dalam
Ramayana II,107-112.
Putra yang mulia disebut “putra-suputra”. Kelahiran “putra-suputra” ini
merupakan tujuan ideal dari setiap perkawinan maupun dalam pendidikan Hindu.

Aksara Dharma, Maret 2016 23


Kata yang lain untuk putra adalah: “sunu, atmaja, atmasambhava, nandana,
kumāra dan  samtāna”. Kata yang terakhir ini di Bali menjadi kata “sentana” yang
berarti keturunan. Pentingnya pendidikan anak dalam keluarga, kiranya tergambar
dari berbagai ajaran yang terdapat dalam berbagai kitab Weda seperti kutipan-
kutipan berikut:
“Seseorang dapat menundukkan dunia dengan lahirnya anak, ia memperoleh
kesenangan yang abadi, memperoleh cucu-cucu dan kakek-kakek akan memperoleh
kebahagiaan  yang  abadi  dengan  kelahiran  cucu- cucunya”   
(Àdiparva,74,38).
”Seseorang yang memperoleh anak, yang merupakan anaknya sendiri, tetapi
tidak memelihara anaknya dengan baik, tidak mencapai tingkatan hidup yang lebih
tinggi. Para leluhur menyatakan seorang anak melanjutkan keturunan dan
mendukung persahabatan, oleh karena itu melahirkan anak adalah yang terbaik
dari segala jenis perbuatan mulia (Adiparva 74,61-63).
“Di dalam menghadapi penderitaan duniawi, tiga hal yang menyebabkan
seseorang memperoleh kedamaian, yaitu : anak, istri dan pergaulan dengan orang-
orang suci”(Adiparva IV.10).

Berdasarkan keterangan tersebut di atas maka pendidikan, utamanya pendidikan


moral dan budi pekerti sangat penting ditanamkan bagi seorang anak. Budhi pekerti
sebagai suatu pengertian berasal dari kosa kata bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua
kata, yaitu budhi dan pekerti. Kata budhi berasal dari urat kata budh yang berarti
mengetahui, berubah menjadi kata benda budhi (bentuk tunggal) yang berarti
pengetahuan. Dalam perkembangannya, kata budhi juga berarti kecerdasan (Titib, 2003).
Kata pekerti berasal dari kata Sanskerta prakriti atau pravriti yang berarti perilaku.
Dalam bahasa Indonesia kata budhi dan pekerti disatukan dan memiliki satu pengertian
yang tidak terpisahkan, yaitu sebagai perilaku yang baik. Kata budhi pekerti sangat erat
maknanya dengan tata susila. Tata susila sangat dekat maknanya dengan kata etika dan
moral
“Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan
sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani,
insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu memberi
kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat”.( Nitisastra III.16).
“Kegelapan malam dibuat terang benderang hanya oleh satu rembulan dan
bukan oleh ribuan bintang, demikianlah seorang anak yang Suputra mengangkat
martabat orang tua, bukan ratusan anak yang tidak mempunyai sifat-sifat yang
baik”. (Nitisastra IV.6).
Demikianlah dapat dinyatakan bahwa ajaran suci Veda dan susastra Hindu lainnya
memandang anak atau putra sebagai pusat perhatian dan kegiatan yang berkaitan dengan
pendidikan. Dalam  hal ini, pada umat Hindu di Bali meyakini, bahwa karakter seorang
anak sangat pula ditentukan oleh kedua orang tuanya, lingkungannya dan upacara-
upacara yang berkaitan dengan proses kelahiran seorang anak.

2) Model Pendidikan Keluarga dalam Hindu

Pengaruh lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik (jasmani),


psikologis (mental/rohani) dan sosial (masyarakat). Lingkungan fisik, seorang anak

Aksara Dharma, Maret 2016 24


bersentuhan langsung dengan alam, yang juga akan mempengaruhi perkembangan
intelektualnya. Kitab suci Veda mengamanatkan: “Kecerdasan seorang secara intelektual
dibangkitkan di hamparan pegunungan (gunung-gunung) dan dipertemuan sungai-sungai
(Rgveda V.8.14). Itulah sebabnya para rsi membangun pendidikan (formal) di masa yang
silam di pangkuan alam. Demikianlah lembaga pendidikan dibangun di lereng-lereng atau
puncak-puncak perbukitan, di tepi-tepi sungai-sungai yang mengalir dengan suaranya
yang nyaring bagaikan musik. Dalam kondisi alam yang demikian, seorang anak
dikembangkan fisiknya melalui kontak langsung dengan alam. Saat ini sangat sulit
menemukan lembaga pendidikan seperti ashram-ashram yang dibangun oleh para rsi di
masa yang silam seperti disebutkan di dalam kitab suci Rgveda. Di kota-kota dengan
kebisingan serta atmospirnya yang tidak bagus, sangat sulit untuk melindungi seorang
anak didik dari pengaruh buruk yang diterima karena lingkungannya yang demikian.
Kitab suci Veda mengamanatkan pendidikan seorang anak (khususnya pengembangan
fisik) dengan latihan-latihan dalam suasana yang kondusif (memberi pangaruh yang baik)
hanya dapat dilakukan di lingkungan alam yang atmosfirnya menyehatkan.
Dalam sistem pendidikan Veda, ketika seorang anak kehilangan cinta kasih dari kedua
orang tuanya, maka pendidikan di sekolah (dalam pengertian pendidikan Gurukula)
menggantikan kasih sayang orang tua tersebut kepadanya. Dalam pendidikan Gurukula
ini seorang anak dipisahkan dari keluarga. Kata “Kula” dalam kaitannya dengan Gurukula
berimplikasi bahwa seorang anak tidak sepenuhnya dijauhkan dari atmosfir keluarga. Ia
kini berubah dari kehidupan dalam keluarga kecil ke dalam keluarga besar. Dalam sistem
pendidikan Veda, seorang  anak tidak dipisahkan dengan susana keluarga, ia hanya
ditransplatasikan dari keluarga kecil yakni orang tua  ke keluarga besar, yakni keluarga
Guru.

3) Pendidikan pada saat Anak dalam Kandungan

Proses menanamkan pendidikan terjadi di manaseorang purusa selalu mendapatkan


berbagai ajaran agama dari orang tuanya tentang bagaimanacara-cara bersikap dan
bertanggung jawab selama ia hidup dengan mempelajari berbagaiperaturan, ketentuan,
Pengasuhan dilakukan sebelum bayi dilahirkan ke dunia. Pola pengasuhan
anakdicerminkan melalui tradisi yang diawali dengan tradisi upacara gedong-gedongan
yangmerupakan upacara enam bulanan, dilakukan saat bayi sudah sempurna, di mana
bayi telahmemiliki roh, tangan, dan kaki. Dalam ajaran hinduupacara dilakukan sebagai
harapan agar bayi yang dilahirkanmenjadi anak suputra, yaitu putra yang baik. Bayi yang
lahir didoakan agar menjadi manusia yangberbudi luhur dan berguna bagi keluarga.
Upacara dilakukan juga untuk memohon keselamatanpada Sang Hyang Widhi agar ibu
dan bayi sehat dan selamat saat proses kelahiran.
Di dalamkandungan, bayi telah diberikan pendidikan secara spiritual, yaitu melalui
rangsangan denganmembacakan doa, maupun memperdengarkan kidung suci. Setelah
bayi itu lahir, terdapat bantendapetan, yaitu sesaji dapetan yang berarti bahwa orang tua
menghargai, memuji, danmensyukuri kepada Tuhan atas kelahiran jabang bayi. Orang
tua memberi persembahan berupabunga, buah, air, telor, dan kelapa. Yang bermakna, “Ya
Tuhan, Engkau memberikan seorangjabang bayi yang sempurna, hamba mohon anugrah
semoga anak sehat.” Setelah tali pusar bayi lepas selama 42 hari, terdapat upacara agar
sang jabang bayi inipanjang umur dan sehat lahir dan batin. Setelah bayi umur tiga bulan,
3x35 hari atau 105 hari adayang disebut upacara tiga bulanan. Upacara tiga bulanan
memiliki arti bahwa ketika anak lahirada sebuah kekuatan yang menjaga. Sang Penjaga
adalah Tuhan dalam wujud Dewi Ratih yangdisebut dengan Sang Hyang Kumara, di
mana beliau mengasuh bayi sejak lahir sampai umur tigabulan. Setelah bayi berumur tiga

Aksara Dharma, Maret 2016 25


bulan, yang mengasuh dimaknai dengan pengalihan tugaskepada kandapat. Kandapat
adalah kanda empat yang juga terdapat dalam budaya Jawa, yaitukakang, kawah, adi, ari-
ari. Jadi di sini Sang Hyang Kumara menyerahkan kepada kandapatuntuk mengasuh anak
sampai dewasa.berasal dari ajaran Hindu dengan tujuan manusia hidup sebagai
komunitas kecil yangdiwujudkan melalui penanaman pendidikan agama Hindu, baik
pendidikan yang diberikan di dalam keluarga pada anak sebagai generasi keluarga,
pengamalan dharma. Pengamalan dharma hanya meliputi ritual keseharian di dalam
keluarga. Pemahaman dharma yang diberikan pada anak berupa pentingnya kejujuran,
memberikan salam Om Swastiastu, berbuat kebaikan, serta melaksanakan yadnya dalam
keseharian melalui ketidaksengajaan dalam keseharian keluarga.

4) Pantangan Suami saat Istrinya Sedang Hamil.

Berdasarkan dari beberapa permasalahan yang ditemukan berdasarkan data yang


berhasil dihimpun dari tetua adat (tokoh masyarakat) dengan mencoba mengkaitkan
masalah tersebut dengan konsep – konsep dalam ajaran Agama Hindu. Pantangan–
pantangan yang diwariskan dalam mitos tersebut oleh nenek moyang atau orang terdahulu
memiliki hubungan atau keterkaitan dengan konsep dalam kehidupan masyarakat
Basangalas yaitu Konsep Tri Hita Karana (Hubungan antara manusia, tuhan dan alam
semesta), Tri Kaya Parisudha (Pikiran, perkataan dan perbuatan manusia) dan Hukum
Karmaphala yang mengatur hasil atau pahala atas perbuatan manusia. Ketiga konsep
inilah yang sebenarnya mendasari keberadaan mitos tersebut yang masing–masing
memiliki makna atau nilai yang berbeda pada setiap larangan yang ada. Makna makna
atau nilai yang terpendam dalam mitos tersebut berdasarkan analisis yang dikaitkan
dengan Konsep di atas adalah sebagai berikut:

(a) Tidak Boleh Potong Rambut


Bagi sang suami tidak diperkenankan untuk memotong rambut sampai bayi yang ada
di dalam kandungan sang istri lahir. Jika hal ini dilanggar maka di yakini dapat
memberikan dampak yang negatif kepada janin yang ada dalam kandungan.
“Kocap, yaning kang maraga lanang macukur rikalakurenannyane abot, pacang
ngawinang bobotanekaruron “
Artinya:
Katanya, kalau sang laki-laki (suami) potong rambut (bercukur) pada saat istrinya
hamil, akan menyebabkan kehamilannya keguguran. Selain hal tersebut masyarakat
Basangalas juga percaya dengan gangguan kejiwaan dalam hal ini kecemburuan yang
akan dialami sang istri jika sang suami melanggar aturan tersebut. Secara logika
tampak tidak ada hubungan antara potong rambut dengan bayi dalam kandungan.
Namun setelah penulis menelaah lebih jauh hal tersebut ternyata ada sebuah
keterkaitan yang sangat erat dengan salah satu konsep Tri Hita Karana yaitu
“Pawongan” yang berarti menciptakan suatu interaksi atau hubungan yang baik
dengan sesama manusia dalam hal ini sang suami dengan istrinya. Dalam hal ini
suami harus menjaga perasaan istrinya terutama dari perasaan cemburu karena jika
sang istri perasaannya tidak baik akan berpengaruh negatife terhadap perkembangan
janin yang dikandungnya. Hal tersebut sangatlah masuk akal karena bagi istri atau
ibu yang sedang hamil atau mengandung tentu tidak secantik dan seindah sewaktu
tidak sedang mengandung untuk dilihat atau dipandang. Kalau istri sedang hamil dan
suami malah tampil rapi dengan rambut yang pendek, kumis dan jenggot yang
dicukur pula, tentu akan membuat sang istri akan menjadi curiga, takut kalau
suaminya punya pujaan hati yang lain. Untuk itu, para tetua Basangalas terdahulu

Aksara Dharma, Maret 2016 26


menyarankan sang suami untuk berambut gondrong, berkumis atau berjenggot
sehingga sang istri tidak merasa curiga atau cemburu karena sang suami juga terlihat
tidak menarik.

(b) Tidak Boleh Membunuh Binatang


Dilarang keras untuk memperlakukan binatang dengan kasar apalagi sampai
membunuh untuk kepentingan apapun. Jika hal ini sampai terjadi di yakini dapat
berpengaruh pada sang bayi seperti, bayi akan lahir cacat atau bahkan meninggal
dunia baik di dalam kandungan maupun stelah bayi lahir. Dalam hal ini yang paling
ditekankan adalah tidak boleh memperlakukan binatang “Anjing” dengan tidak wajar
karena dampak yang ditimbulkan akan fatal sekali dan hal itu sudah pernah terbukti
dan masyarakat percaya kalau hal itu adalah dampak dari perbuatan yang dilakukan
ayahnya. Hal ini di yakini oleh masyarakat sekitar sebagai akibat dari perbuatan
ayahnya yang sudah melanggar salah satu aturan yang di wariskan oleh nenek
moyang tersebut walaupun hal tersebut tidak dilakukan secara langsung. Dilihat dari
konsep ajaran Karmaphala hal ini sudah pasti memiliki kaitan yang sangat erat
karena setiap perbuatan selalu mendapatkan hasil yang setimpal baik positif maupun
negatif.

(c) Dilarang Untuk Menanam Tanaman


Dilarang untuk menanam tanaman “Tanam Tuuh” (tanaman yang memiliki umur
yang panjang atau hasilnya dapat di nikmati berulang – ulang). Seperti contoh
misalnya pohon mangga, kelapa, durian dan lain lain. Yang diperbolehkan hanyalah
tanaman yang tanaman yang sifatnya sementara atau memiliki umur yang pendek
seperti pohon pisang, jagung, dan lain lain. Sesuai dengan mitosnya hal ini dilakukan
dengan maksud adalah agar umur kehamilan sang istri tidak lebih dari batas waktu
maksimal yaitu Sembilan bulan. Jika ditelusuri dari realitanya, kehidupan masyarakat
Basangalas pada zaman dahulu pada umumnya masih sangat tradisional dan yang ada
dalam pikiran mereka hanyalah cara untuk bertahan hidup. Pada umumnya mereka
mengandalkan hasil dari perkebunan untuk memenuhui kebutuhan mereka sehari-hari
karena lahan pertanian masih sangat jarang sehingga beras pada waktu itu merupakan
barang yang masih sangat langka sekali. Ada kemungkinan kalau hal inilah yang
menjadi alasan mengapa suami yang istrinya hamil tidak diperbolehkan menanam
tanaman yang usianya panjang.

(d) Dilarang Berkata Kasar


Di larang berkata yang tidak sopan atau kasar bagi suami maupun istri, karena
masyarakat percaya kalau sikap pasangan suami–istri mencerminkan sikap anak yang
ada dalam kandungannya atau sebasangalasknya. “Buah jatuh tidak jauh dari
pohonnya”Pribahasa ini tampaknya sangat tepat dalam hal ini karena bagaimanapun
sikap ayah-ibu pasti akan menurun kepada anaknya. Mitos ini diilhami dari cerita
pewayangan mahabarata dimana dalam cerita tersebut diceritakan bahwa abimaniu
putra dari Arjuna sudah mulai belajar semasih dalam kandungan ibunya. Oleh karena
kepercayaan tersebut, maka masyarakat Jawa percaya bahwa jika suami sering
berkata kasar terhadap istri pada saat istri mengandung, maka anak yang dilahirkan
nanti akan memiliki watak yang keras dan kasar.
B. Memahami Psikologi Anak Usia Dini

1) Fase-fase Perkembangan Anak Usia Dini

Aksara Dharma, Maret 2016 27


Menurut para ahli, pada usia dini terjadi beberapa periode perkembangan. Pada
setiap tahap perkembangan, seorang anak secara umum akan memperlihatkan ciri-ciri
khusus atau karakteristik tertentu yang hampir sama. Salah satu tahap tersebut adalah
tahap 0-6 tahun atau periode sekolah-ibu. Periode 0-6 tahun disebut periode sekolah ibu,
karena hampir semua usaha bimbingan, perawatan, pemeliharaan, dan pendidikan anak
berlangsung di dalam keluarga yang dilakukan oleh orang tua. Uraian di bawah ini
tentang fase-fase perkembangan anak usia dini :

(a) Anak usia 0-2 tahunSecara umum pada masa bayi anak usia 0-2 tahun, anak
mengalamiperubahan yang pesat bila dibandingkan dengan yang akan dialami pada
fase-fase berikutnya. Anak sudah memiliki kemampuan dan keterampilan dasar yang
berupa: keterampilan lokomotor (berguling, duduk, berdiri, merangkak dan berjalan),
keterampilan memegang benda, penginderaan (melihat, mencium, mendengar dan
merasakan sentuhan), maupun kemampuan untuk mereaksi secara emosional dan
sosial terhadap orang-orang sekelilingnya.
Segala bentuk stimulus (verbal maupun nonverbal) dari orang lain akan mendorong
anak untuk belajar tentang pengalaman-pengalaman sensori dan ekspresi perasaan
meskipun anak belum mampu memahami kata-kata.
Menurut Monks (1992:74-75) menyatakan bahwa stimulasi verbal ternyata sangat
penting untuk perkembangan bahasa. Hal ini disebabkan kualitas dan kuantitas
vokalisasi seorang anak dapat bertambah dengan pemberian reinforsement verbal.
Stimulasi verbal yang terusmenerus juga akan memudahkan anak untuk belajar
melafalkan suara-suara dan Dapat disimpulkan bahwa anak usia dini merupakan
masa yang kritis dalam sejarah perkembangan manusia. Masa anak usia dini ini
terjadi pada anak usia 0-6 tahun atau sampai anak mengikuti pendidikan pada jenjang
pendidikan anak usia dini atau prasekolah. Pada masa ini terjadi pertumbuhan fisik
dan psikis yang sangat pesat. gerakan-gerakan yang mengkomunikasikan suasana
emosinya, seperti marah, cemas, tidak setuju dan lain-lain.

(b) Anak usia 2-3 tahun


Pada fase ini anak sudah memiliki kemampuan untuk berjalan dan berlari. Anak juga
mulai senang memanjat, meloncat, menaiki sesuatu dan lain sebagainya.
Solehuddin (1997: 38) berpendapat bahwa pada anak usia 2-3 tahun lazimnya sangat
aktif mengeksplorasi benda-benda di sekitarnya. Anak memiliki kekuatan observasi
yang tajam. Anak juga menyerap dan membuat perbendaharaan bahasa baru, mulai
belajar tentang jumlah, membedakan antara konsep satu dengan banyak dan senang
mendengarkan cerita-cerita sederhana, yang kesemuanya diwujudkan anak dalam
aktivitas bermain maupun komunikasi dengan orang lain. Kemampuan anak
menguasi beberapa patah kata juga mulai berkembang. Anak mulai senang dengan
perckapan walaupun dalam bentuk dan kalimat yang sederhana. Selain itu juga, sikap
egosentrik anak sangat menonjol. Anak belum bisa memahami persoalan-persoalan
yang dihadapinya dari sudut pemikiran orang lain. Anak cenderung melakukan
sesuatu menurut kemauannya sendiri tanpa memperdulikan kemauan dan
kepentingan orang lain. Sebagai contoh, anak sering merebut mainan dari orang lain
jika anak menginginkannya.

(c) Anak usia 3-4 tahun


Secara umum, anak pada fase ini masih mengalami peningkatan dalam berperilaku
motorik, sosial, berfikir fantasi maupun kemampuan mengatasi frustasi. Untuk
kemampuan motorik, anak sudah menguasai semua jenis gerakan-gerakan tangan,

Aksara Dharma, Maret 2016 28


seperti memegang benda atau boneka. Akan tetapi sifat egosentriknya masih
melekat. Tingkat frustasi anak juga cenderung menurun. Hal ini disebabkan adanya
peningkatan kemampuan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya
secara lebih aktif atau sudah ada sifat kemandirian anak. Pada usia ini anak memiliki
kehidupan fantasi yang kaya dan menuntut lebih banyak kemandirian. Dengan
kehidupan fantasi yang dimilikinya ini, anak akan memperlihatkan kesiapannya
untuk mendengarkan cerita-cerita secara lebih lama, bahkan anak juga sudah dapat
mengingatnya. Selanjutnya dengan sifat kemandirian yang dimilikinya mulai
membuat anak tidak mau banyak diatur dalam kegiatan-kegiatannya. Pada aspek
kognitif,  anak juga sudah mulai mengenal konsep jumlah, warna, ukuran dan lain-
lain.

(d) Anak usia 4-6 tahun


Ciri yang menonjol anak pada usia ini adalah anak mempunyai sifat berpetualang
(adventuroussness) yang kuat. Anak banyak memperhatikan, membicarakan atau
bertanya tentang apa yang sempat ia lihat atau didengarnya. Minatnya yang kuat
untuk mengobservasi lingkungan benda-benda di sekitarnya membuat anak senang
bepergian sendiri untuk mengadakan eksplorasi terhadap lingkugan disekitarnya
sendiri. Pada perkembangan motorik, anak masih perlu aktif melakukan berbagai
aktivitas. Sejalan dengan perkembangan fisiknya, anak usia ini makin berminat
terhadap teman sebayanya. Anak sudah menunjukkan hubungan dan kemampuan
bekerjasama dengan teman lain terutama yang memiliki kesenangan dan aktivitas
yang sama. Kemampuan lain yang ditunjukkan anak adalah anak sudah mampu
memahami pembicaraan dan pandangan orang lain yang disebabkan semakin
meningkatnya keterampilan berkomunikasi.

2) Proses Perilaku Pada Anak Usia Dini

Banyak perilaku kita yang kita miliki sekarang adalah hasil dari pengkondisian
pengalaman kita sebelumnya. Demikian banyak nilai yang kita miliki saat ini hasil
pengkondisian mentalitas dan kondisi budaya di mana kita hidup.Anak belajar banyak
dengan meniru orang dewasa dan teman sebaya. Ketika anak dibiasakan rapi, disiplin,
jujur, tetapi hidup dalam dunia yang amburadul dan tidak disiplin, maka mereka menemui
kesulitan untuk memahami aturan-aturan tadi. Dengan memberikan teladan sikap kepada
peserta didik, yang langsung dialaminya, jauh lebih mengena dan efektif daripada dengan
penjelasan tentang sikap itu panjang lebar kepadanya.
Dalam keluarga, anak-anak cenderung dididik berperilaku sedemikian rupa sehingga
melestarikan perilaku yang dianggap pantas dalam suatu budaya atau bahkan sub budaya
tertentu, sehingga dianggap dapat mempertahankan eksistensi kelompok.  Ada kelompok
masyarakat yang mendidik anaknya agar berperilaku gigih, kerja keras, tekun, penuh
perhitungan, agar kelompok ini tetap survive meskipun mendapatkan berbagai tekanan
atau tantangan.
Menurut Mansyur (2005:11). Selama masa kanak-kanak, keturunan sosial dialihkan
melalui keluarga, sehingga setiap keluarga merupakan suatu sistem sosial yang khas, baik
dalam hal pengorganisasian maupun fungsinya.  Setiap keluarga mempunyai kekhasan
dalam cita-cita, cara merealisasikan cita-cita, cara berkomunikasi antar anggota keluarga,
orientasi tata nilai, cara-cara menghadapi masalah dan mengambil keputusan serta cara-
cara memelihara keseimbangan keluarga, sehingga setiap anak memiliki dasar perilaku
yang berbeda-beda.  Pengaruh keluarga ini terlihat melalui cara mendidik, keteladanan,
penghargaan, maupun hukuman.

Aksara Dharma, Maret 2016 29


Ketika anak keluar ke lingkungan yang lebih luas, antara lain lembaga pendidikan,
menerima pengaruh yang lebih banyak pula dalam hal perkembangan
perilakunya.Dengan demikian, lembaga pendidikan memiliki peranan sebagai tempat
terjadinya proses sosialisasi, yang memiliki fungsi-fungsi :
(a) Menanamkan nilai-nilai budaya masyarakat pada umumnya.
(b) Menetralkan perlakuan ekstrem keluarga, misalnya mengajarkan perilaku untuk
saling berbagi pada anak tunggal yang terlalu dimanja dan tidak pernah berbagi.
(c) Membantu anak mencapai kemandirian secara emosional
Dalam hal ini tentu saja pendidik merupakan salah satu orang dewasa yang memiliki
peranan sebagai model perilaku bagi anak, sehingga hendaknya senantiasa memiliki
perilaku – verbal maupun non verbal - yang patut dicontoh. Hal ini karena perilaku
pendidik meruapakn sebuah tindakan sosial yang dapat berfungsi sebagai pengukuh. 
Perilaku pendidik merupakan salah satu informasi yang dapat menstimulasi anak sebagai
peserta didik untuk berperilaku serupa. Ada tiga cara informasi ini masuk ke dalam otak
anak, yaitu :
(a) Informasi masuk dengan jalan ”dipaksakan” atau tanpa sengaja. Sebagai contoh tutur
kata pendidik terhadap anak – misalnya kasar, lembut, sopan - atau ungkapan
spontan pendidik ketika menghadapi situasi yang tiba-tiba – misalnya tiba-tiba
tersandung, tiba-tiba buku terjatuh yang didengar oleh anak setiap kali berada di
lembaga pendidikan, merupakan informasi yang tanpa sengaja diperoleh oleh otak
anak, yang akan semakin menguat dalam benak anak ketika intensitasnya semakin
kuat.
(b) Informasi masuk sesuai dengan pilihan. Dalam hal ini anak dihadapkan pada
berbagai informasi,. Ada pendidik yang berperilaku ramah, ada pendidik yang diam,
ada pendidik yang sedang berkreasi mengerjakan sesuatu. Anak tidak dapat
mengamati semua hal yang terjadi, dan mungkin hanya hal-hal tertentu saja dari
pendidik yang menarik perhatiannya, sehingga informasi yang masuk bersifat
selektif.Informasi masuk karena dicari. Anak dapat mencari informasi yang
diperlukan. Misalnya anak memeluk pendidik untuk memastikan bahwa dia
diperhatikan, anak menoleh ke kiri atau kanan untuk mencari pendidik yang disukai,
dan sebagainya.

C. Penerapan Pendidikan Keluarga Pada Anak Usia Dini

1) Cara Orang Tua Mendidik Anak Usia Dini Dalam Memahami Ajaran Agama
Hindu

Anak usia dini merupakan generasi penerus bangsa yang perlu mendapatkan perhatian
serius. Sejak lahir, anak memiliki berbagai potensi yang dikaruniakan Tuhan.Potensi
tersebut perlu dirangsang dan difasilitasi agar dapat berkembang dengan optimal. Banyak
ahli menyatakan bahwa masa anak usia dini merupakan masa peka dan amat penting bagi
perkembangan anak. Stimulasi terhadap anak yang dilakukan oleh orangtua maupun
orang lain disekitar lingkungan anak akan membekas kuat dan tahan lama. Kesalahan
sedikit dalam memberikan stimulasi akan berdampak negatif jangka panjang yang sulit
diperbaiki.
Roseau (Slamet Suyanto, 2003: 2-3) menggambarkan bahwa: masa peka tersebut
ibarat saat yang tepat bagi seorang tukang besi untuk menempa besi yang dipanaskan.
Para penempa pasti tahu benar kapan besi harus ditempa. Terlalu awal ditempa, besi sulit
dibentuk dan dicetak, sebaliknya apabila terlambat ditempa maka besi akan hancur. Jadi
saat yang paling baik bagi seorang anak untuk memperoleh pendidikan yang tepat adalah

Aksara Dharma, Maret 2016 30


saat usia dini.Senada dengan hal tersebut, Santrock & Yussen (Solehuddin, 1997: 2)
memandang usia prasekolah atau balita sebagai fase yang sangat fundamental bagi
perkembangan individu. Lebih lanjut mereka menyatakan bahwa masa usia balita sebagai
masa terbentuknya kepribadian dasar individu dan pada masa ini penuh dengan kejadian-
kejadian penting dan unik (a higly eventful and unique period of life) peletakkan dasar
kehidupan seseorang dimasa dewasa untuk menemukan makna hidup.
Pada masa usia dini, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik maupun
mental sangat pesat. Sel-sel tubuh anak tumbuh dan berkembang dengan cepat. Pada
tahap awal perkembangan janin sampai anak lahir, terjadi perkembangan sel-sel otak luar
biasa. Kemudian setelah lahir terjadi proses mielinasi dari sel-sel syaraf dan pembentukan
hubungan antar sel syaraf. Makanan bergizi dan seimbang serta stimulasi terhadap anak
sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan otak anak. Oleh karena itu pada masa
usia dini ini (0-6 tahun) sering disebut dengan masa emas atau golden age.
Stimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak pada tahap ini hendaknya dapat
dilakukan pada aspek-aspek perkembangan anak, baik perkembangan kognitif,
perkembangan fisik atau motorik, perkembangan sosial-emosional anak, perkembangan
kemampuan berbahasa dan perkembangan lainnya.
Hurlock (1978: 26) menjelaskan bahwa pada anak usia prasekolah 2-5 tahun adalah
masa penting dari keseluruhan tahap perkembangan. Pada tahap ini terjadi proses
peletakan dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan
anak. Dengan perkembangan sel-sel syaraf anak yang pesat dan stimulasi yang tepat akan
menyebabkan berfungsinya mental anak untuk memahami dan mengerti kondisi
lingkungannya.
Hal inilah menyebabkan anak mampu mengadakan penyesuaian diri terhadap
lingkungan sosial di sekelilingnya. Keluarga sebagai lingkungan pertama bagi anak
memegang peran penting dalam meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan anak usia
dini,disamping peran lembaga pendidikan (Taman Kanak-kanak, Kelompok bermain,
Taman Penitipan Anak) dan lingkungan masyarakat. Hal ini disebabkan, karena hampir
80% waktu dalam kehidupan sehari-hari anak digunakan untuk bermain, bersosialisasi,
dan berinteraksi dengan orang-orang dilingkungan keluarga.
Selain itu juga, perlu disadari bahwa layanan lembaga PAUD belum dapat
menggantikan peran keluarga dalam pendidikan anak, tetapi hanyalah berfungsi
memperkuat layanan kebutuhan anak untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Bahkan secara ekstrim dapat dikatakan jika keluarga mampu mendidik dan menstimulasi
tumbuh kembang anak secara mandiri melalui kegiatan sehari-hari di rumah maupun
lingkungan kesehariannya, maka mengikutsertakan anak dalam satuan PAUD bukanlah
suatu keharusan.
Peran orangtua dalam menstimulasi tumbuh kembang anak usia dini memang
memiliki peran penting dalam meningkatkan perkembangan potensi anak. Akan tetapi,
hal ini belum berjalan secara optimal. Hal ini disebabkan berbagai faktor. Faktor-faktor
tersebut, antara lain: rendahnya pengetahuan orang tua tentang pendidikan bagi anak usia
dini, kurangnya kemampuan orang tua dalam menstimulasi perkembangan anak dengan
berbagai strategi pengembangan potensi anak, masih adanya sebagian masyarakat hanya
menggandalkan pengetahuan yang bersifat turun-temurun guna menstimulasi
perkembangan anak, minimnya partisipasi atau dukungan orang lain dalam keluarga
dalam stimulasi perkembangan anak karena alasan kesibukan pekerjaan dan aktivitas lain
di luar rumah dan lain sebagainya. Oleh karena itu, pelaksanaan kegiatan peningkatan
kapasitas orang tua dalam menstimulasi tumbuh kembang anak usia dini merupakan
progam strategis guna membantu keluarga-keluarga di masyarakat agar mampu
mendampingi anak usia sesuai dengan karakteristik dan perkembangannya.

Aksara Dharma, Maret 2016 31


2) Perilaku Orang Tua yang dapat dikembangkan Anak Usia Dini antara lain

(a) Verbal. Perilaku yang bersifat verbal cenderung sering muncul secara spontan,
dan seringkali tidak disadari bahwa hal tersebut didengar dan ditiru oleh anak.
Beberapa perilaku  bersifat verbal yang hendaknya dikembangkan antara lain
gemar memuji, memberikan kata-kata penyemangat – misalnya ”kamu pasti bisa”
- menyapa anak dengan hangat, menanyakan kabar atau kegiatan anak,
mengucapkan kata terima kasih, maaf, permisi, dan tolong secara tepat.
(b) Non verbal. Perilaku non verbal yang dapt dikembangkan oleh pendidik
Pendidikan Keagamaan Pada Anak Usia Dini Dalam Kluarga Menurut
Pendikan Agma Hindu antara lain berpenampilan fisik yang menarik anak
(mengenakan pakaian yang pantas, mengenakan sepatu yang nyaman dan pantas,
memiliki tatanan rambut yang tepat, serta mengenakan atribut lain secara
proporsional), memberikan sentuhan kasih sayang berupa pelukan, ciuman,
membungkukkan badan atau mensejajarkan diri dengan tingginya anak ketika
berkomunikasi, menatap wajah anak ketika berbicara atau menyapa anak.

3) Aktor yang mempengaruhi perhatian anak terhadap perilaku pendidik

(a) Intensitas, yaitu sering atau tidaknya perilaku tertentu ditampilkan atau
diperdengarkan kepada anak. Misalnya, pendidik yang sering menyakiti anak
secara verbal (misalnya menghardik anak, berkata kasar, dan sebagainya), akan
ditiru dan diterapkan oleh anak dalam pergaulannya sehari-hari.
(b) Kontras, yaitu perilaku berbeda yang mencolok di dalam suatu kelompok.
Misalnya dalam sekelompok pendidik yang menggunakan seragam, ada seorang
pendidik yang tidak berseragam, dapat memancing keingintahuan anak, dan
apabila perilaku ini kerap dinampakkan, merupakan model bagi anak untuk
meniru, yaitu bahwa tidak perlu berseragam ke lembaga pendidikan, meskipun ini
sudah menjadi kesepakatan bersama.
Faktor-faktor internal yang terdapat dalam diri anak, antara lain harapan, suasana
hati (mood) dan motif. Misalnya, sapaan ramah pendidik akan benar-benar menarik
perhatian apabila anak berada dalam suasana hati riang ketika berada di rumah dan
berangkat menuju lembaga pendidikan. perilaku pendidik oleh anak terjadi melalui
proses penginderaan, pemersepsian, peniruan, dan implementasi. Pada tahap awal, anak
melakukan penginderaan terhadap perilaku pendidik. Penginderaan ini sering terjadi
melalui proses pengamatan (melihat) dan pendengaran (mendengar). Anak memiliki
kemampuan yang baik dalam merekam informasi yang diperoleh. Proses mengamati
ataupun mendengar dapat terjadi secara intens maupun tidak, tetapi ini cukup bagi anak
untuk mereproduksi ulang informasi yang dilihat ataupun didengar.Pengamatan
merupakan proses belajar sosial bagi anak, karena terdapat keterlibatan orang lain,

4) Ajaran Pendidikan Agama Hindu

Ajaran Agama Hindu bagi anak-anak dalam keluarga kiranya dapat menjadikan ajaran
moral, dalam Kitab Bhagavad sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus
ditanamkan dan cara penanamannya adalah sebagai berikut:

Aksara Dharma, Maret 2016 32


(a) Abhyasa, yang mengandung arti melatih diri, membiasakan diri terhadap hal-hal
yang baik (Bhagavad Gītā VI-35; VIII-8; XII.9-10). Anak harus sejak dini diajarkan
melatih, membiasakan diri terhadap hal-hal yang baik dengan cara orang tua mampu
menjadi tauladan yang baik bagi anak-anaknya dengan mempraktekkan perilaku
yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Anak sejak dini sudah diajarkan untuk
melakukan sembahyang dan mengucapkan nama suci Hyang Widi secara teratur,
Misalnya anak harus dibiasakan mengucapkan Mantram atau doa sehari-hari.
(b) Tyaga, mengandung arti tulus ikhlas (Bhagavad Gītā XVIII.3-4, 10) yakni ikhlas
tanpa beban ketika menghadapi sesuatu. Sikap abhyasa dan sikap tyaga keduanya
dapat dibandingkan seperti “maarkata nyaya” yaitu sikap anak kera, dan dengan
”marjara nyaya”, sikap anak kucing. Yang pertama berpegang erat-erat (seperti anak
kera memegang erat-erat induknya saat ia dibawa kemana saja) dan melaksanakan
ajaran agama sebaik-baiknya (bhakti), sedangkan yang kedua adalah seperti
kepasrahan seekor anak kucing yang dicengkeram oleh mulut induknya saat
berpindah-pindah. Seperti itu pulalah hendaknya kita pasrah dan menyerahkan diri
kepada Tuhan.
(c) Santosa, yang artinya puas menerima keadaan (santhusta), yakni dapat mensyukuri
karunia-Nya. Seseorang tidak perlu terlalu menyesali diri, tetapi harus tetap optimis
dalam menjalankan tugas kewajibannya. Kitab Weda menyatakan, tidak ada
kegagalan bagi orang yang tekun berusaha.
(d) Sthitaprajnya, yakni teguh dalam menghadapi tantangan, gelombang suka dan
duka (Bhagavad Gītā II-54) Dalam menghadapi berbagai cobaan, hendaknya orang
tetap berpegang teguh pada dharma.

Demikianlah pendidikan anak menurut ajaran agama hindu, dimana anak


merupakan jembatan bagi orang tua untuk menuju sorga, anak juga menentukan citra
dari sebuah keluarga, sehingga kewajiban bagi orang tua untuk menanamkan pendidikan
budi pekerti dan agama kepada anak sejak dini untuk membentuk karakter anak.
Pendidikan agama anakoleh orang tua diajarkan tentang kebersihan, keseragaman,
dan ketertiban dari peralatan upakara, bahan-bahan sajen pun juga harus baru, serta anak
harus menjaga sikap selama jalannya ritualupacara. Selain itu anak jug diberi
pembelajaran tentang berdana punia, yaitu mengenalkankepada anak-anak dengan
membiasakan untuk bersedekah sebagai pembelajaran agar anakmau berkorban dengan
hati yang ikhlas.
Di Indonesia pelaksanaan Pendidikan anak usia dini masih terkesan ekslusif dan
baru menjangkau sebagian kecil masyarakat. Meskipun berbagai program perawatan dan
pendidikan bagi anak usia dini usia (0-6 tahun) telah dilaksanakan di Indonesia sejak
lama, namun hingga tahun 2013 menunjukkan anak usia 0-6 tahun yang memperoleh
layanan perawatan dan pendidikan masih rendah. Data tahun 2001 menunjukkan bahwa
dari sekitar 26,2 jut anak usia 0-6 tahun yang telah memperoleh layanan pendidikan dini
melalui berbagai program baru sekitar 4,5 juta anak (17%). Kontribusi tertinggi melalui
Bina Keluarga Balita (9,5%), Taman Kanak-kanak (6,1%), Raudhatul Atfal (1,5%).
Sedangkan melalui penitipan anak dan kelompok bermain kontribusinya masing-masing
sangat kecil yaitu sekitar 1% dan 0,24%.Ada empat pertimbangan pokok pentingnya
pendidikan anak usia dini, yaitu:
 Menyiapkan tenaga manusia yang berkualitas
 Mendorong percepatan perputaran ekonomi dan rendahnya biaya sosial karena
tingginya produktivitas kerja dan daya tahan
 Meningkatkan pemerataan dalam kehidupan masyarakat

Aksara Dharma, Maret 2016 33


 Menolong para orang tua dan anak-anak.
Pendidikan anak usia dini tidak hanya sekedar berfungsi dalam memberikan
pengalaman belajar kepada anak akan tetapi yang lebih penting berfungsi untuk
mengoptimalkan perkembangan otak. Pendidikan anak usia dini sepatutnya juga
mencakup seluruh proses stimulasi psikososial dan tidak terbatas pada proses
pembelajaran yang terjadi dalam keluarga.
Menurut (Rumini 28 juli 2015). Banyak orang tua tak menyadari kesalahannya,
kalau dalam mendidik anak pada usia dini (0 sampai 6 tahun) adalah salah. Kesalahan
tersebut pada umumnya adalah pada cara membimbing dan mengasuh anak yang
hanya dengan bicara dan perintah saja, bukan dengan sikap dan prilaku serta
contoh teladan yang baik.Sebagaimana kita ketahui anak pada usia 0 sampai 6
tahun merupakan masa di mana tingkat daya serap dalam merespon apa yang
dilihat dan didengarnya adalah mencapai 70-80 persen. Artinya, pada masa peiriode
ini akan lebih efektif jika orang tua dalam membimbing dan mengasuh serta
mendidik anaknya adalah dengan cara member contoh teladan serta sikap yang
baik, bukan hanya sekedar bicara dan perintah-perintah yang terkadang sukar
dilakukan oleh anak dalam usia dini ini. Jadi utamanya orang tua, terutama sang
ibu jangan sampai merusak perkembangan kecerdasan dan mental anak hanya karena
kesalahan prilaku dan sikap yang mungkin tidak disadarinya. Jika anak melihat
perbuatan orang tuanya, ibu-bapaknya sedang membaca buku, sembahnyang, dan
bertutur kata yang baik, maka itu akan selalu diingat dan dicontohnya bahkan
dipraktikkannya dalam aktifitas hidupnya sehari-hari. Begitupun sebaliknya, apabila
orang tua, ibu dan bapaknya sering bertengkar mengucapkan kata yang kasar dan tidak
pantas, maka semua itu akan terserap dalam memorinya yang kemudian anak pun akan
berprilaku dan berkata-kata seperti apa yang ada dalam ingatannya dan pernah
disaksikannya itu. Nah, bagi para orang tua yang mengasihi anak-anaknya tentu akan
selalu memperhatikan perkembangan kecerdasan dan mental serta pertumbuhan fisik
anak pada usia dini. Oleh karena itu berikanlah kasih sayang serta perhatian yang penuh
dalam mendidik, mengasuh, membimbing anak dengan cara selain dengan kata-kata
yang lemah lembut, juga utamanya adalah dengan memberikan contoh suri tauladan
serta sikap dan prilaku yang baik. Dengan harapan semuanya itu akan tersimpan dalam
diri anak jiwa yang bersih hingga mencapai usia dewasa. Karena manusia terbaik
adalah manusia yang berbudi pekerti luhur. Tugas seorang ayah adalah mencari nafkah,
menjadi pemimpin yang berwibawa, dan menjadi panutan untuk keluarganya sedangkan
tugas seorang ibu adalah  layaknya seorang menejer dalam keluarga yaitu membantu
keluarga dalam mengurus pekerjaan rumah dan merawat anaknya.Seorang anak dalam
sebuah keluarga menjadi sangat beragam ketika kita melihat perannya dari sudut
pandang usia. Ketika kita masih berumur balita, kita tidak memang tidak mempunyai
peran apa-apa didalam keluarga karena kita  mempunyai hak untuk diasuh dan dirawat
oleh kedua orang tua kita. Menginjak umur remaja sudah sepatutnya kita dapat
meringankan beban kedua orang tua kita dengan cara membantu mengurus pekerjaan
yang berhubungan dengan pribadi kita seperti mencuci sepatu, mencuci piring, mencuci
baju, membereskan kamar kita.Jadi sudah seharusnya kita sebagai anak dalam keluarga
sudah tahu persis bagaimana dalam mengambil tindakan dan peranan kita didalam
keluarga kita sendiri. Jangan sampai kita terlalu menjadi beban atau terlalu tergantung
pada keluarga kita sendiri. Karena suatu saat nanti kita akan beranjak dewasa dan
terlepas dari tanggung jawab kedua orang tua kita.Setiap orang tua pasti menginginkan
anak yang berbakti, bersikap yang baik kepada semua orang. Tak lepas dari itu sikap
orang tua yang sangat berperan dalam perilaku anak kelak.

Aksara Dharma, Maret 2016 34


5) Manfaat Pendidikan Anak Usia Usia Dini dalam Ajaran Agama Hindu
 
Pendidikan merupakan aset yang penting untuk kemajuan sebuah bangsa. Oleh sebab
itu, setiap warga negara wajib untuk mengikuti jenjang pendidikan mulai dari pendidikan
anak usida dini (PAUD), pendidikan di rumah, social, dan sekolah.
Sebenarnya mendidik anak sudah bisa distimulasi dan diasah sejak dini. Oleh karena
itu selagi masah ada kesempatan, sebagai orang tua kita harus semaksimal mungkin
membantu mengasah potensi yang dimilikinya.
Usia emas anak adalah pada usia 3 tahun dimana pada usia ini anak mampu
menyerap informasi  yang diperoleh sebanyak – banyaknya. Setiap anak dilahirkan
dengan bakat dan kelebihannya masing – masing. Tidak ada anak yang bodoh, namun
orang tualah yang seringkali kurang mampu mengintensifkan dan menstimulasi
kecerdasan anak sehingga rasa ingin tahu dan kepercayaan dirinya kurang terasah. Anak
akan cerdas sesuai dengan umur dan kemampuan. Para orang tua harus lebih rajin dan
peka untuk memberikan hal – hal baru untuk si kecil agar membuat otak anak dapat
mengetahui lebih banyak hal.
Jika Anda ingin mencoba mengembangkan kecerdasan buah hati Anda sejak kecil,
berikut ini beberapa tips yang dapat Anda coba untuk diterapkan. Buat Anak Percaya
Diri buatlah si kecil selalu percaya diri dan optimis bahwa ia bisa melakukan sesuatu.
Anak memiliki rasa percaya diri ketia ia memiliki banyak pengalaman keberhasilan dan
berhasil memenuhi kebutuhannya sendiri. Anda dapat melibatkan anak dalam berbagai
kegiatan berkelompok seperti kesenian, kegiatan olahraga, kelas memasak, dll.Banyak
yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. Dengan membaca, kita bisa
mengetahui banyak hal. Oleh sebab itu, biasakan si kecil untuk gemar membaca sejak
kecil. Kebiasaan memeca ini akan membuat anak memiliki rasa ingin tahu yang lebih
besar. Jika si kecil memiliki rasa ingin tahu yang besar, maka ia pun akan mempelajari
berbagai hal dan bisa mendapatkan banyak pengetahuan baru.
Dalam hal ini pendidikan meiliki banyak manfaat yaitu.  Ada beberapa keuntungan
yang diperoleh anak ketika melakukan pengamatan, antara lain :

(a) Mempelajari hal-hal berguna di masa depan


Seorang anak usia dini akan mampu berlatih dan belajar banyak hal ditempat
mereka mendapatkan pendidikan. Di tempat pendidikan tersebut, mereka belajar
mengenal angka, huruf, berhitung, dan membaca. Notabene, semua kemampuan
tersebut akan sangat berguna bagi masa depan yang mereka miliki. Ketika anak
mendapatkan pijakan pengetahuan yang baik, maka tahap selanjutnya anak akan
dengan mudah dalam mengorganisir atau mempelajari step berikutnya.

(b) Membangun kecerdasan sosial anak


Seorang anak yang masih berusia belia, tentu harus diajari bagaimana bergaul
dengan sesama, dan ditumbuhkan rasa kesetiakawanan sosialnya. Ketika seorang anak
mampu bergaul dan mempunyai jiwa sosial yang tinggi, tentu anak akan mudah
masuk ke dalam dunia masyarakat ketika mereka dewasa nanti. Sebaliknya, banyak
anak yang menjadi penyendiri, sulit bergaul, dan tidak percaya diri apabila ia terus
berada di rumah, dan dikekang pergaulannya.

(c) Mampu menyelesaikan masalah dengan baik


Manfaat pendidikan anak usia dini selanjutnya adalah mampu menyelesaikan
masalah dengan baik. Anak akan mendapatkan pergaulan yang lebih luas dimana
mereka selalu menemukan masalahmasalah baru setiap harinya. Hal itu membuat otak

Aksara Dharma, Maret 2016 35


anak dalam menyelesaikan masalah akan semakin terlatih dan mereka semakin cerdas
dalam mengatasi masalah kedepanya.

(d) Kemungkinan sukses lebih besar


Memang, pendidikan tidak selalu menjamin anak untuk sukses di masa
mendatang. Kendati demikian, dengan adanya pendidikan anak usia dini yang tepat,
mereka mampu menemukan hal-hal baru yang berdampak positif bagi kesuksesan
mereka di masa depan. Masalah, teman, pelajaran, dan pengalaman yang semakin luas
membawa mereka menuju gerbang kemudahan dalam sukses.
Hal-hal yang dilihat dan/atau didengar oleh anak kemudian dipersepsi, diproses
dan dicopi dalam otak anak, kemudian dilakukan oleh anak, sama persis dengan
perilaku yang ditiru. Oleh karena itu, pendidik hendaknya berhati-hati dalam
berpenampilan, bersikap, bertindak dan bertutur kata, terutama ketika sedang
bersama-sama dengan anak.
Proses mempelajari perilaku dan kemudian meniru perilaku tertentu tersebut
memerlukan kemampuan belajar anak, yang sangat tergantung pada tahap
perkembangan anak, terutama perkembangan sistem saraf. Semakin berkembang
persarafan anak, makin besar kapasitas anak untuk mempelajari dan meniru perilaku
tertentu. Oleh karena itu, pada anak dengan tingkat kecerdasan yang tinggi, proses
peniruan perilaku berlangsung sangat cepat dan mudah.Mempelajari perilaku tertentu
tertentu sesungguhnya juga merupakan sebuah proses yang mendasari perubahan
perilaku, yang tergantung juga pada pengalaman yang didapatkan oleh anak. Dengan
demikian, pendidik pada lembaga pendidikan anak usia dini diharapkan memberikan
pengalaman yang menarik dan menyenangkan.

Simpulan

Berdasarkan uraian-uraian serta analisis data sebagaimana yang telah disajikan diatas,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
Pendidikan keagamaan bagi anak-anak dalam keluarga kiranya dapat menjadikan ajaran
moral, dalam Kitab Bhagavad sebagai pedoman. Adapun sifat-sifat yang harus ditanamkan
dan cara orang tua mendidiknyaadalah sebagai berikut:

1. Cara Orang Tua Mendidik Anak Usia Dini Dalam Memahami Ajaran Agama
Hindu.Anak usia dini merupakan generasi penerus bangsa yang perlu mendapatkan
perhatian serius. Sejak lahir, anak memiliki berbagai potensi yang dikaruniakan
Tuhan.Potensi tersebut perlu dirangsang dan difasilitasi agar dapat berkembang
dengan optimal. Banyak ahli menyatakan bahwa masa anak usia dini merupakan masa
peka dan amat penting bagi perkembangan anak. 
2. Ajaran Agama Hindu Dalam Mendidik Anak Usia Dini.Pendidikan Anak dalam
Kandungan Versi Hindu.Pendidikan Anak Menurut Agama HinduKelahiran anak
pada suatu keluarga patut disyukuri karena anak merupakan titipan tuhan yang sangat
berharga dan wajib bagi orang tua untuk menjaga serta memberikan pendidikan
kepada anak.
3. Manfaat PendidikanAnak Usia Dini Dalam Ajaran Hindu.
(a) Mempelajari hal-hal berguna di masa depan.
Seorang anak usia dini akan mampu berlatih dan belajar banyak hal ditempat
mereka mendapatkan pendidikan.
(b) Membangun kecerdasan sosial anak.

Aksara Dharma, Maret 2016 36


Seorang anak yang masih berusia belia, tentu harus diajari bagaimana bergaul
dengan sesama, dan ditumbuhkan rasa kesetiakawanan sosialnya.
(c) Mampu menyelesaikan masalah dengan baik. Manfaat pendidikan anak usia dini
selanjutnya adalah mampu menyelesaikan masalah dengan baik.
(d) Kemungkinan sukses lebih besar. Memang, pendidikan tidak selalu menjamin
anak untuk sukses di masa mendatang.

Daftar Pustaka

1. Hiriyana, M. (1993). Outline of Indian philosophy. New Delhi: Motilal Banarsidass.


2. I Gusti Made Ngurah. (1999). Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan
Tinggi. Surabaya. Paramita.
3. Jones, O. (2009). Pengantar Teori-teori Sosial. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
4. Moleong, L. J. (2006). Metode Pendidikan Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosda
Karya.
5. Radharkrishnan, S (2003). Agama agama Timur dan Pemikiran Barat. Denpasar.
Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia
bekerjasama dengan penerbit Widya Dharma.
6. Sarmah, J. (1978). Philosophy of Education in the Upanisads. India: gauhaty
University.
7. Sivananda Swami. (2003). Inti Sari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita.
8. Tim Penyusun. (2003). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
9. Titib. I. M. (1996). Pengantar Weda untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Hanorama
Sakti.
10. Titib, I. M. (2004). Purana Sumber Ajaran Hindu Komprehensif. Surabaya: Paramita.
11. Mansyur (2005). Pendidikan Anak Usia Dini.

UPACARA SADRANAN DI MAKAM BLIMBING KARANGDOWO


KABUPATEN KLATEN
(Kajian : Bentuk, Fungsi Dan Makna)

SUDJIMAN
Email: sudjimanrusjiyanto@gimail.com
ABSTRAK

Aksara Dharma, Maret 2016 37


Upacara Sadranan di Makam Blimbing Karangdowo Kabupaten Klaten dilaksanakan
secara turun temurun yang merupakan warisan budaya yang tata adhi luhung nenek moyang
kita. Upacara Sadranan adalah permohonan pengampunan kepada leluhurnya dengan
menggunakan sarana dupa (api), bunga dan doa, dengan tujuan agar dosa-dosa leluhurnya
diberi pengampunan dan jiwatmannya dapat menyatu dengan Sang Hyang Widhi serta
keluarga atau keturunannya dapat melangsungkan hidup dan cita-citanya sehingga arwahnya
mendapatkan kebahagiaan dan ketentraman lahir dan batin. Fungsi Upacara Sadranan adalah
a) Dapat menghubungkan diri dengan para leluhur dan Sang Hyang Widhi, b) Memuja roh
leluhur dan menghargai jasa-jasa beliau kepada anak dan keturunannya, c) Agar jiwanya
mendapatkan tempat yang layak dan mendapatkan kebahagiaan abadi, d) Memohon agar dosa
para leluhur mendapatkan ampunan sehingga mendapatkan swarga. Upacara Sadranan
pelaksanaannya dengan mengaplikasikan ajaran Agama Hindu dalam konsep Panca Yadnya.
Kajian Upacara Sadranan di Makam Blimbing Karangdowo Kabupaten Klaten menggunakan
pendekatan dan orientasi teori fungsional structural dan teori simbolik. Nilai yang terdapat
dalam upacara Sadranan adalah Nilai pendidikan dan nilai social..

Kata Kunci : Upacara Sadranan, fungsi, bentuk.

PENDAHULUAN

Upacara Sadranan adalah bukti nyata bahwa masyarakat tetap menjunjung tinggi nilai
budaya yang diyakinnya, dan sekaligus sebagai bukti nyata bahwa mereka tetap menjalin
hubungan erat dengan leluhur. Upacara ini masih dilakukan sejak nenek moyang secara turun
temurun dan terjadi karena ada ikatan batin yang kuat antara masyarakat setempat dengan
leluhur mereka. Secara pasti memang tidak ada yang mengetahui kapan upacara Sadranan ini
pertama kali dilakukan. Menurut tokoh dan sesepuh masyarakat Blimbing bahwa upacara
Sadranan dilaksanakan masyarakat Kabupaten Klaten secara turun temurun sejak nenek
moyang mereka.
Pelaksanaan upacara ini dilakukan di makam dengan membawa sarana sesaji yang
ditempatkan di sebuah wadah yang dinamakan tenong (anyaman dari bambu yang berbentuk
bulat seperti tampah dan memiliki tutup), waktu pelaksanaan di mulai pukul 11.00 siang
sampai selesai, peserta kendurian ± 365 keluarga dan semua warga antusias dalam mengikuti
upacara ini karena mereka mempunyai tujuan yang sama untuk mendoakan leluhurnya agar
jiwatman dapat mapan, kamulyan jati dan anak keturunannya yang di dunia mendapatkan
kebahagiaan lahir dan batin.
Sesuatu yang sangat menarik dan unik dari upacara ini adalah bahwa semua warga
masyarakat ikut melakukannya tanpa memandang perbedaan agama yang ada. Namun semua
warga dengan iklas dan tanpa paksaan melakukan upacara ini karena sudah menjadi tradisi
yang tidak bisa ditinggalkan lagi dan perlu untuk dilestarikan keberadaannya.
Upacara Sadranan ini dilaksanakan oleh masyarakat setiap tahun sekali tepatnya pada
tanggal 25 Ruwah (kalender bulan Jawa Abangan) atau istilah Jawa disebut selawenan bulan
Ruwah. Sebab bulan Ruwah diyakini menjadi panutan dan kesepakatan para leluhurnya.
Tanggal 25 itu hanya berlaku untuk dukuh Tricik saja. Sedangkan di tempat yang lain
mempunyai tradisi sendiri seperti tanggal 15, 17, 20, 23, 24 pada bulan yang sama.
Upacara Sadranan ini dilaksanakan di makam Dukuh Blimbing, mereka beranggapan
bahwa makam merupakan suatu tempat yang keramat dan disucikan dan sangat dihormati.
Dari sinilah keyakinan dan kepercayaan orang Jawa terhadap pemujaan leluhur sampai
sekarang masih dipercayai dan dilaksanakan.

Aksara Dharma, Maret 2016 38


PEMBAHASAN

a. Bentuk Sarana / Sesaji Upacara Sadranan


Dalam tradisi Sadranan ini memiliki perlengkapan sebagai berikut :
1. Sajen di rumah disebut pancenan yang terdiri dari nasi golong, air teh, dua takir lauk
pauk, bunga dan kinang untuk memberi hormat kepada orang tua yang telah meninggal.
2. Sajen kendurian berupa sego asahan dan lauk lengkap dengan tujuan untuk
mengesahkan dalam upacara pemujaan leluhur (ruwahan).
3. Sajen untuk kendurian di makam berupa sekul waduk, ulam sari, pisang suci, ingkung,
jenag abang, putih, baro-baro, merupakan ungkapan terima kasih kepada leluhur yang
menjadikan hidup sebagai penerus dan jajan pasar ungkapan terima kasih kepada Tuhan
atas segala karunia yang dilimpahkannya.
4. Nasi golong ditaruh dalam nacak berjumlah 10 dan beri lauk sambal ayam, yang
bermakna kebulatan tekad dalam pemujaan kepada leluhurnya, jumlah 10 berarti hanya
satu Tuhan Yang Maha Suci itu.
5. Sego adem-adem nasi yang berbentuk kerucut dan sekelilingnya diberi gudangan serta
telur ayam dan kacang panjang (nasi robyong), maksudnya adalah persembahan kepada
leluhurnya dapat menyatukan cipta, rasa dan karsa menuju kepada yang dipuja dan
merupakan ungkpan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan anugerahnya yaitu rejeki yang agung.
Macam-macam sesajen tersebut harus disediakan dalam melaksanakan sadranan.
Dengan adanya bermacam-macam sesajen tersebut maka pelaksanaan upacara ini akan
lebih mantap dan diyakini. Oleh karena itu bentuk persembahan ini didasarkan atas hati
yang tulus ikhlas baik yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa ataupun para
leluhurnya.

b. Tujuan Upacara Sadranan


Pelaksanaan upacara Sadranan dilaksanakan ini memiliki tujuan mencari
keselamatan baik pada diri sendiri maupun semua warga masyarakat desa dengan
melakukan upacara itu, yaitu :
1. Upacara Sadranan dilakukan dimakam leluhur pada siang hari sampai selesai
membawa sesaji/banten yang ditempatkan pada tenongnya masing-masing.
2. Upacara Sadranan berkumpul bersama di makam leluhurnya dengan tujuan
mendoakan leluhurnya agar semua dosa diampuni dan jiwatman dapat menyatu
dengan Tuhan dan badan wadag yang berasal dari bumi, puri arta, angin dan ether
kembali ke asaling dumadi.
3. Dalam upacara ini (kenduri) dipimpin oleh rokhaniawan agama yang ada secara
bergilir yaitu dengan doa/mantra.
Mengenai tujuan masing-masing upacara tersebut pada prinsipnya sama yitu
merupakan pemujaan kepada leluhur. Upacara Sadranan ini juga memiliki tujuan yang
universal dan sakral dengan harapan kehidupan masyarakat dapat hidup rukun, selamat
dan sejahtera lahir batin.
c. Fungsi Upacara Sadranan untuk dapat :
1. Menghubungkan diri dengan para leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi agar roh
mendapat tempat yang layak dan kedamaian.
2. Memuji roh leluhur dan menghargai jasa-jasa beliau kepada anak dan keturunannya.
3. Supaya jiwanya mendapatkan tempat yang layak dan mendapatkan kebahagiaan
abadi

Aksara Dharma, Maret 2016 39


4. Memohon agar dosa para leluhur mendapatkan ampunan sehingga mendapatkan
swarga.
Menurut konsep ajaran agama Hindu upacara Sadranan merupakan upacara pitra
yadnya. Adapun pitra yadnya dimaksud adalah yadnya yang ditujukan kepada pitra.
Pitara adalah roh-roh suci leluhur, orang tua atau keluarga yang telah meninggal dan
telah disucikan.
Arwah para orang tua, leluhur atau sanak saudara yang belum disucikan disebut
“preta” bukan pitara. Selama bulan disucikan disempurnakan dianggap sering
gentayangan dan mengganggu. Adapun gangguan itu sifatnya member peringatan
kepada para santananya agar mereka melakukan balas budi dengan melakukan upacara
Sadranan atau pitra yajna. Apabila upacara itu telah dilakukan maka berubahlah status
preta menjadi “pitara”.

d. Nilai upacara Sadranan


1. Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Upacara Sadranan
Nilai yang terkandung dalam upacara Sadranan ini antara lain nilai pendidikan
sradha yang meliputi Ajaran Panca Sradha. Kelima Sradha tersebut antara lain :
a) Percaya adanya Sang Hyang Widhi Wasa. Sadranan merupakan ungkapan syukur
kepada Tuhan yang telah memberikan waranugraha kepada kita semua.
b) Percaya adanya Atman, Atman sering disebut dengan roh, dalam Sadranan
merupakan suatu sarana untuk pemujaan kepada roh para leluhur.
c) Percaya adanya Karmaphala. Hal ini tercermin dalam keikhlasan warga dalam
melakukan yadnya. Hal ini merupakan sebuah pemikiran dengan melakukan
yadnya warga berharap akan mendapat nilai hasil dari perbuatannya itu.
d) Percaya adanya Punarbhawa. Punarbhawa adalah bentuk kelahiran kembali
manusia. Bersih Desa merupakan kesempatan untuk memperbaiki diri. Dengan
pengertian bahwa roh leluhur yang akan menjelma kembali ke dunia menjadi lebih
baik dari kehidupan yang dahulu.
e) Percaya adanya Moksa. Moksa adalah salah satu tujuan akhir umat Hindu yaitu
kelepasan roh dan tidak akan lahir kembali ke dunia ini. Dengan melakukan
sadranan kita berdoa semoga roh leluhur dapat mencapai Moksa.
Selain nilai Sradha yang telah disampaikan diatas, Sadranan memiliki nilai etika.
Nilai ini tercermin dalam kerukunan masyarakat dalam menjalankan upacara tersebut
tanpa membedakan agama yang satu dengan yang lainnya. Nilai ritual juga dapat kita
temukan dalam Sadranan ini berupa pelaksanaan upacara Pitra Yadnya.

2. Nilai Sosial
Dalam melaksanakan upacara sadranan sebagai sarana pemersatu umat
beragama dan masyarakat yang melakukannya. Karena dalam pelaksanaan tersebut
hanya satu tujuan yaitu penghormatan leluhur. Maka dalam pelaksanaan upacara
Sadranan tidak perbedaan antara etnis, agama, kaya dan miskin.
Sehingga upacara ini kami aumsikan sebagai perekat “Pemersatu bangsa”.
Oleh karena itu upacara tradisional yang adhi luhung perlu dilestarikan.

KESIMPULAN

1. Upacara Sadranan dilakukan dimakam leluhur pada siang hari sampai selesai membawa
sesaji/banten yang ditempatkan pada tenongnya masing-masing.
2. Upacara Sadranan berkumpul bersama di makam leluhurnya dengan tujuan mendoakan
leluhurnya agar semua dosa diampuni dan jiwatman dapat menyatu dengan Tuhan dan

Aksara Dharma, Maret 2016 40


badan wadag yang berasal dari bumi, puri arta, angin dan ether kembali ke asaling
dumadi.
3. Dalam upacara ini (kenduri) di pimpin oleh rohaniawan agama yang ada secara bergilir
yaitu dengan doa/mantra.
4. Menghubungkan diri dengan para leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi agar roh mendapat
tempat yang layak dan kedamaian.
5. Memuja roh leluhur dan menghargai jasa-jasa beliau kepada anak dan keturunannya.
6. Supaya jiwanya mendapatkan tempat yang layak dan mendapatkan kebahagiaan abadi.
7. Memohon agar dosa para leluhur mendapatkan ampunan sehingga mendapatkan swarga.

DAFTAR PUSTAKA

1. Budiono Herusatoto. 1984. Simbolisme Dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : PT


Flanindita.
2. Endraswara, Drs. Suwardi, M. Hum. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan.
Yogyakarta : Gadjah Mada University.
3. Koentjaraningrat. 1966. Pengantar Antropolog. Jakarta : Universitas Djakarta.
4. _____________. 1971. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan
5. _____________. 1994. Metode-Metode Penelitian Mayarakat Edisi Ketiga. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
6. Mantra, IB, Prof. Dr. 1983. Tata Susila Hindu Dharma. Dharma Sarathi.
7. Marzoeki, Djohansjah. 2000. Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu. Jakarta : Grasindo.
8. Moleong, Lexy J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
9. Punyatmadja, I.B. Oka, Drs. 1987. Panca Sradha. Jakarta : Yayman Wisma.
10. Karma Putra, T.G.A. Mas Mt. 1993. Panca Yadnya. Jakarta : Yayasan Dharma
Sarathi.
11. Sadya, Wayan. 1990. Kata-kata Mutiara Hindu. Jakarta : Yayasan Dharma Sarathi.
12. Sri Prihatini, Nanik, S.Kar, M.Si. Budaya Lokal dalam Globalisasi. Surakarta.
13. Sudharta, Drs. M.A. 2000. Materi Sarasehan Sehari Pendidikan Budi Pekerti.
Surakarta.
14. Soedarmono, Drs. SU. 2005. Budaya Desa dan Persepsi Tuhan Alam Leluhur.
Surakarta.
15. Sudiati, Widyanarta Veronica. 1997. Dasar-dasar Menulis Karya Ilmiah. Jakarta :
Grasindo.
16. Suendi, I Nyoman, Drs. 1998. Antropologi Budaya. Klaten
17. Surayin, Ida Ayu Putu. 2004. Pitra Yadnya. Surabaya : Paramita.
18. __________________. 2001. Teologi Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya :
Paramita.
19. Triguna, Prof. Dr. Ida Bagus Gede Yudha, M.Si. 2000. Teori tentang Simbol.
Denpasar : Widya Dharma Universitas Hindu Indonesia.
20. _________________. 2003. Religion and Society. Denpasar : Widya Dharma
Universitas Hindu Indonesia.
MAKNA DAN FUNGSI FILOSOFI YADNYA
MENUJU KEHIDUPAN SATYAM SIVAM DAN SUNDHARAM

I Nyoman Warta
Email: nyomanwarta_yogya@yahoo.com

Aksara Dharma, Maret 2016 41


ABSTRAK

Filosofi yadnya sesungguhnya memiliki kekuatan saling ketergantungan dengan


Puja,Weda, Sehe dan Atmanastuti. Karena upakara memiliki kekuatan Prawrti Jnana,
sedangkan Puja, Weda, Mantram, Sehe dan Attmanastuti memiliki Nirwrti Jnana dan Prawrti
Jenana. Kedua kekuatan itu sebagai kekuatan Lingga (Puja Weda, Mantra, Sehe dan
Attmanastuti) dan kekuatan Yoni (upakara), atau kekuatan Bhakti dan Sradha umat Hindu
kehadapan Sang Hyang Widhi. Dalam kehidupan masyarakat Hindu, upakara yadnya
merupakan salah satu sarana dalam menjalankan bakti. Yadnya merupakan salah satu
penyangga bumi agar kehidupan di dunia ini dapat berlangsung terus sepanjang masa.
Upakara Yadnya merupakan wahana untuk menggerakkan semua isi alam dan termasuk
manusianya untuk ditingkatkan menuju kehidupan yang semakin meningkat baik dalam
kehidupan phisik material maupun kehidupan mental spiritual. Upakara yadnya mengandung
berbagai makna dan filosofi serta sebagai alat kosentrasi, mengandung nilai pembersihan,
mengandung nilai kesucian, mengandung nilai seni dan estetika. Secara simbolis dalam
proses pembuatan banten/ sesaji dijiwai oleh kesucian hati, dikerjakan dengan tangan-tangan
trampil dilandasi filosofis bhakti yang tulus dan iklas, serta dijiwai oleh ketulusan, membuat
tetandingan untuk yadnya hendaknya berdasarkan pada: Kuno Dresta (purwa dresta), Desa
Dresta, dan Sastra Dresta. Upakara adalah bagian dari yadnya yang secara nyata (sekala)
dapat disaksikan oleh mata, merupakan manifestasi dari perbuatan kebajikan (subhakarma).

Kata Kunci: ”Makna, filosofis, upakara yadnya”

PENDAHULUAN

Upakara yadnya sesungguhnya memiliki kekuatan saling ketergantungan dengan


Puja,Weda, Sehe dan Attmanastuti. Karena upakara memiliki kekuatan Prawrti Jnana,
sedangkan Puja Weda, Mantram, Sehe dan Attmanastuti memiliki Nirwrti Jnana dan Prawrti
Jenana. Kedua kekuatan itu sebagai kekuatan Lingga (Puja Weda, Mantra, Sehe dan
Attmanastuti) dan kekuatan Yoni (upakara), atau kekuatan Bhakti dan Sradhanya umat
Hindu kehadapan Sang Hyang Widhi. Kehidupan Rwa Bhineda tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan keseharian. Upacara dan upakara dalam Hindu merupakan wujud, bentuk dan
fungsi. Tetandingan Upakara Yadnya hendaknya berdasarkan pada: Kuno Dresta (purwa
dresta), Desa Dresta, dan yang terpenting justru Sastra Dresta yang merupakan inti pokok
dari filsafat upakara agama Hindu, bentuknya boleh berbeda-beda sesuai dengan Desa Dresta
namun isinya atau esensinya sesuai dengan Weda atau sastra Drsesta ( Ida Bagus Putu
Dharsana,2010).
Upakara adalah bagian dari yadnya yang secara nyata (sekala) dapat disaksikan oleh
mata, merupakan manifestasi dari perbuatan kebajikan (subhakarma). Di Dalam Lontar “
Tutur Tapeni” menyebutkan bahwa, upakara tersebut merupakan simbol-simbol yang
mengandung kekuatan magis dan memiliki bagian-bagian seperti adanya” Tri Angga
Sarira” dan dalam petikan Lontar disebutkan sebbagai berikut:
“Iki paribasa widhining yadnya luir ipun, yadnya adruwe prabu, tangan , dada muah suku
manut manista, madya motama, daksina pinaka hulunia, jerimpen karopinaka asta karo
sehananing banten ring areping Widhine pinaka angga sahananing palelabanan pinaka
suku”
Melihat dari isi lontar tesebut, maka dapat diambil maknanya bahwa adanya upakara
sangat penting, karena sangat membantu kehidupan spiritual sehari-hari manusia masyarakat
Hindu yang berbudaya agar mencapai kehidupan keseimbangan antara diri dengan Hyang

Aksara Dharma, Maret 2016 42


Widhi Wasa, disamping sebagai wahana pendidikan dalam hal membangkitkan bhudi
pekereti, etika untuk mendorong spiritualitas keyakinan kebesaran Sang Hyang Widhi.

PEMBAHASAN

A. MENGAPA BERYADNYA

Mengapa kita perlu beryadnya?. Apakah lantaran mengikuti tradisi kebiasana yang
turun tumurun?. Sebelum membahas tersbut alangkah baiknya kita lihat makna yadnya
yang sesungguhnya. Dalam Kamus kata yadnya diartikan beraneka ragam sesuai dengan
tingkat perkembangan bhatin spiritual seseorang. Dalam yadnya mutlak mengandung
unsure: perbuatan, ketulus iklasan, kesadaran, persembahan atau karya, sreya, budhi dan
bhakti. Jadi semua perbuatan yang berdasarkan dharma dan dilakukan dengan tulus iklas
bisa disebut yadnya. Dalam bhagawad Gita disebutkan bahwa belajar dan mengajar
dilaksanakan dengan keiklasan dan dharma guna memuja Tuhan, juga tergolong yadnya.
Memelihara lingkungan, mengendalikan nafsu, mengendalikan panca indrya,
menghormati orang lain, menyayangi kehidupan juga termasuk yadnya. Menolong orang
sakit, memberikan donor darah dan sebagainya adalah tergolong yadnya. Dalam Bagawad
Gita menyebutkan:
”Yajnarthat karmano nyatra, loko yam karma-bandhanah, tad-artham karma
kaunteya, mukta-sangah semacara” Artinya; Dari tujuan berbuat yajna itu menyebabkan
dunia ini terikat, oleh hukum karma, karena itu wahai Arjuna, bekerjalah tanpa pamrih,
tanpa kepentingan pribadi, wahai kunti putra (Bgt.III.9).
Bahwa setiap melakukan pekerjaan hendaknya dilakukan sebagai yadnya dan untuk
yadnya. Dan selanjutya dinyatakan, Tuhan memelihara manusia dan segala ciptaan Nya.
Dan manusiapun harus memelihara hubungannya dengan Tuhan dalam bentuk bhakti.
Saling memelihara ini merupakan dharma yang mulia. Disisi yang lain dikatakan Para
Dewa memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan, manusiapun harus yang
memperoleh kebahagiaan harus melakkukan yadnya sebagai wujud yadnya yang
dituangkan dalam bentuk dana punia. Maka yang sudah mengakar dalam kehidupan kita
sehabis memperoleh keabagiaan, melakukan yanya sesa ini sehabis memasak. Maka
masakan dan kebahagiaan akan menjadi Prasadham.
Prasadham adalah anugrah Tuhan, jadi apun yang kita nikmati adalah anugrah dari
Tuhan, bukan semata-mata dari hasil keringat kita. Sedangkan kata lungsuran /pradham
dalam Bahasa Bali artinya hasil dari memohon kepada Tuhan. Bahan makanan yang
dimakan oleh manusia berasal dari isi alam ini. Alampun merupakan ciptaan Tuhan.
Maka manusiapun mendapatkan yadnya dari alam, dengan demikian manusia harus
beryadnya kepada alam semesta dalam hal ini, memelihara alam dengan Tri Hita Karana
yang didasari dengan upacara Bhuta yadnya. Dalam Bhagawadgita inilah dinyatakan
dengan Cakra Yadnya yakni perputaran roda yadnya yang sifatnya timbal balik.
Keagungan yadnya dalam bentuk persembahan bukan diukur dari besar dan
megahnya bentuk upakara, atau bukan yang melakukan upakara itu mempunyai
kedudukkan tinggi, bukan untuk mencari pengakuan ,tetapi yang paling penting adalah
kesucian dan ketulusan dari orang yang terlibat melakukan yadnya. Bila perlu dalam
melakukan yadnya dilandasi dengan Tapa, Brata ,Yoga dan Semadi yang dilakukan
dengan penuh keiklasan apa lagi diikuti dengan upawasa dari mulai sampai pada puncak
yadnya akan memberikan hasil yang luar biasa.

Aksara Dharma, Maret 2016 43


Pembuatan upakara pada suatu upakara agama, sudah jelas dilihat dari Tattwa
agamanya, agar fungsi dan tujuan dari upacaranya tidak lepas dari tujuan si
pelaksananya, dalam Tattwa diketemukan tentang pemujaan berupa Puja Weda, mantra,
sehe, dan dari mantra pemujaan itu terlukis upakara yang harus dibuat pada pelaksanaan
suatu upacara agama, maka Puja weda, mantra, sehe, atau attmanastutinya.
Melakukan Upakara Yadnya merupakan kewajiban yang diyakini sebagai kegiatan
beragama Hindu. Karena yadnya merupakan salah satu penyangga bumi. Kehidupan
didunia ini dapat berlangsung terus sepanjang Yadnya dapat dilaksanakan oleh umat
manusia. Karena Yadnya merupakan pusat terciptanya alam semesta beserta isinya,
disamping tersebut Yadnya juga merupakan pusat perputaran kehidupan dalam
Bhagawad Gita disebut dengan Cakra Yadnya:
“Anand bhavanti bhutani, parjanyad anna-sambhavah, Yajnad bhavati parjanyo,
yajnah karma samudbhavah.” Artinya : Adanya mahluk hidup karena makanan, adanya
makanan karena hujan, Adanya hujan karena yadnya, ada yadnya karena karma.
(Bhg.III.14 )
Sesuai dengan sloka tersebut, Upakara Yadnya merupakan wahana untuk
menggerakkan semua isi alam dan termasuk manusianya untuk ditingkatkan menuju
kehidupan yang semakin meningkat baik dalam kehidupan phisik material maupun
kehidupan mental spiritual. Sehingga kehidupan menjadi seimbang berdasarkan hukum
kesemestaan, hukum yang kekal abadi yang sering disebut dengan ”Sana Tana
Dharma”. Apapun siapaun yang hidup dibumi ibu pertiwi ini tidak bisa lepas dari hukum
kesemestaan tersebut.
Upakara/banten merupakan salah satu unsur yang dapat mewakili pengertian
tersebut. Hal ini merupakan penyikapan bhatin yang mendalam dan pada hakikatnya
sesaji/banten merupakan banyak hal. Bisa melambangkan sifat-sifat Tuhan seperti banten
Dewa-dewi, Lis Senjata, Banten Guru piduka, Banten Daksina Pejati, Banten Pagembal,
Banten Bebangkit dan sebagainya. Disamping tersebut banten juga melambangkan
kreatifitas manusia dalam perjalnan hidupnya mencari hakikat kebenaran. Banten juga
merupakan wujud cinta kasih dan pelepasan ikatan duniawi yang menjerat kehidupan
manusia. Sebagai wakil ketinggian daya nalar manusia, untuk menyampaikan gagasan
dan ide-ide dalam melakukan komunikasi, baik diantara manusia, dengan alam
lingkungan, maupun yang bersikap transenden. Secara filsafat dinyatakan semakin tinggi
daya nalar manusia, semakin mampu menampilkan gagasannya dan ide-idenya yang lahir
dari penyikapan pengalaman rohani yang lebih komunikatif, baik dilihat dari
keanekaragaman bentuk, simbolis maupun keluasaan ataupun kedalaman makna.
Jadi upakara yadnya merupakan kriteria sebagai makna simbolis harus disadari,
bahwa tidak semua ungkapan atau tindakan bisa dinyatakan simbolis. Agama Hindu
mengajarkan bahwa tindakan kerja bukan merupakan tindakan kerendahan seseorang
atau sebagai sekedar mengisi waktu, melainkan proses penyempurnaan hidup manusia itu
sendiri. Dalam tindakan kerja tercermin martabat manusia yang dilandasi oleh nilai-nilai
ajaran agama. Pengalaman ini menjadi inspirator pendorong moril bagi lahirnya
simbolisme dalam agama Hindu tidak hanya dibidang upakara yadnya saja, tetapi
dibidang yang lain.

Upakara Yadnya pada hakekatnya mengandung berbagai demensi spiritual antara


lain;

1) Sebagai alat Kosentrasi

Aksara Dharma, Maret 2016 44


Adanya peralatan dan bentuk-bentuk upakara yang melambangkan perwujudan
Tuhan, sepeti banten Dewa dewi, Gayah, Banten Catur, Banten Sarad dan
sebagainya, semuanya itu melambangkan alat kosentrasi pikiran manusia. Dalam
menghayati ke-Tuhan-an dalam Weda bersifat Imanen dan Trancendental. Kita
sebagai umat awam memerlukan berbagai Nyasa atau simbul-simbul keagamaan
yang sarat dengan nilai kebenaran mutlak dalam upanisad dinyatakan “ satyasya
satya “.
Simbul keagamaan yang sarat dengan makna kehidupan, dari jaman kejaman
telah membuktikan kebenarannya, serta selalu memberikan inspirasi bhatin sebagai
media penghubung pikiran dan hati setiap insan. Misalnya yang tidak pernah lepas
dalam kehidupan beragama : Huruf Om Kara, Swastika, Senjata Nawa Sanga,
simbul-simbul upakara keagamaan menggambarkan ke-Tuhan-an, sastra-sastra
agama, budaya agama dan sebagainya. Semua ini merupakan realisasi dari ajaran
agama dalam rangka menghubungkan diri dengan Sang Pencipta. Karena terbatasnya
pikiran manusia, serta tidak bisa menjangkau yang maha gaib dan tidak terbasnya
kemaha kuasaan Tuhan.
Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara dan Pemralina secara pikiran biasa sulit
untuk dimengerti karena Tuhan Maha Suksma, sedangkan pikiran manusia sangat
terbatas yang diwarnai dengan cinta, sedih, benci dan sebagainya. Dalam Upanisad
dinyatakan sebagai berikut telinganya dari semua telinga, pikiran dari semua
pikiran, ucapan dari semua ucapan, nafas dari semua nafas, mata dari semua mata.
Dalam Bhagawad Gita dinyatakan sebagai berikut :
”Etad-yonini bhutani, Sarvanity upadharaya, Aham krtsnasya jagatah,
Prabhavah pralayas tathat” Artinya; Ketahuilah bahwa semua insan mempunyai
sumber kelahiran disini, dan Aku adalah jiwa yang bersemayam dihati setiap
mahluk, Aku adalah asal mula alam semesta ini demikian pula pralaya (Bgt. VII
sloka 6)
Bijam mam sarva-bhutanam, Viddhi partha sanatanam, Bhuddhir buddhimatam
asmi, Tejas tejassvinam aham”. Artinya; Ketahuilah, oh Parta, Aku ini adalah benih
abadi dari semua insani, Aku adalah budipekerti dari kaum intelektual, Aku adalah
cemerlangnya keindahan ( Bgt.VII sloka 10).
Disamping tersebut diatas masih banyak yang lain sebagai simbolis alat
kosentrasi, sebagai mediator umat manusia kepada Sang Peniptanya. Berbagai
bentuk jejahitan yang terbuat dari janur semuanya melambngkan ke Tuhanan yang
agung dan suci.

2) Mengandung Nilai Pembersihan

Kita sebagai hamba Tuhan tidak diajarkan untuk menerima saja berbagai benda-
benda dari Tuhan. Melainkan disamping kita menerima kita wajib
mempersembahkan terlebih dahulu, apa yang dapat kita persembahkan sebagai rasa
angayubagia kehadapannya. Kita menerima banyak cahaya, oksigen, makanan
,minuman sebagainya. Kalau benda-benda tidak disediakan oleh Tuhan, maka tidak
seorangpun akan dapat hidup. Kalau kita hanya menerima saja, tanpa
mempersembahkan sesuatu sebagai balasan akapah itu merupakan cinta kasih, maka
akan terjadi ketimpangan dialam semesta ini. Dalam kehidupan sebagai manusia
terutama dalam hal bhakti . Apun yang kita dapatkan sebagai langkah awal harus
dipersembahkan, tidak terpikir apakah itu diterima atau tidak, tetapi ini merupakan
ketulusan hati. Seseorang yang menikmati segala sesuatu yang disediakan oleh

Aksara Dharma, Maret 2016 45


Tuhan tanpa mempersembahkan kehadapan Sang Pencipta adalah merupakan pencuri
yang sangat berdosa. Seperti yang dinyatakan dalam Bhagawag Gita sebagai berikut:
“Yajna-sistasinah santo, mucyante sarva-kilbisaih, bhunjate te tv agham papa,
ye pacanty atma-karanat” Artinya; Ia yang memakan sisa yajna akan terlepas dari
segala dosa, (tetapi) Ia yang memasak makanan hanya bagi diri sendiri sesugguhnya
makan dosa ( Bhagawad Gita. III.13)
Weda mengajarkan kedapa umat manusia agar senantiasa selalu ingat kepada
kebesaran Tuhan. Segala sesuatu yang ada di alam semesta ini sesungguhnya adalah
milik Tuhan. Sedangkan kita hanya mempunyai hak pakai sementara, semasih kita
hidup. Dengan demikian segala sesuatu harus dilandasi dengan kebersihan dan
kesucian jiwa sihingga apapun yang kita dapatkan sesungguhnya itu dari Tuhan.

3) Mengandung Nilai Kesucian

Adanya unsur air dalam upakara yadnya, seperti Tirta Sanjiwani, Kamandalu
Tirta Kundalini, Tirta Pawitra, Tirta Amerta, Tirta pembersihan ,Tirta Penyucian dan
sebagainya, menyebabkan upakara yadnya berfungsi sebagai penyucian diri seperti:
Upakara Byokawonan, Durmanggala dan Prayascita sebagai penyucian bhuawa
alit( Mikrokosmos ) dan bhuana agung ( Makrocosmos ). Demikia juga adanya banten
pemelaspas, banten Tawur dan sebagainya, semuanya berfungsi sebagai penyucian.
Penyucian bisa diterima secara logis ialah keiklasan melandasi pengorbana umat
Hindu untuk melepaskan sebagain miliknya untuk dijadikan materi upakara. Disini
Terkandung pelepasan ikatan atau Tyaga. Dalam Bhagawad Gita Bab.XVIII:49)
menyatakan sebagai berikut:
“Asakta-buddhih sarvatra, jitatma vigata-sprhah, naiskarmya-siddhim paramam,
saannyasena adhigacchati” Artinya; Orang yang kecerdasannya tidak terikat dimana
saja telah menguasai dirinya dan melepaskan keinginannya, dengan penyangkalan ia
mencapai tingkat tertinggi dari kebebasan akan kegiatan kerja (Bgt.XVIII:49).

4) Mengandung Nilai Estetika

Mengerti ajaran kerohanian melalui cara berfilsafat saja, adalah sangat sulit bagi
orang awam. Dengan demikian sejak awal leluhur kita menyadari pentingnya sebuah
metode yang tepat untuk bisa menjalankan kerohanian secara mudah dan gamblang
kepada umat. Maka dituangkan ajaran agama lewat seni dan kerohanian sehingga
sangat mudah memahaminya. Seperti simbol upakaran banten/ sesaji, adalah
merupakan salah satu metoda pengajaran agama yang mengandung nilai teoritis,
teologis dan praktis. Unsur seni ( estetika ) dimaksudkan agar manusia tertarik pada
bidang itu, karena membutuhkan cetusan hati yang paling mendalam serta dilandasi
dengan filsafat kehidupan “Ramai Ing gawe Sepi Ing Pamerih “ (giat/rajin bekerja
tanpa mengharapkan balasan).
Dengan dipilihnya upakara yadnya sebagai metoda pengajaran keagamaan
( pengetahuan kerohanian) oleh masyarakat kebanyakan, diharapkan supaya semakin
maraknya kehidupan upakara yadnya, sehingga ajaran kerohanian dapat dihayati dan
tidak berhenti pada pengetahuan belaka. Mengingat ajaran agama tidak saja bersifat
imformatif atau mengerti agama secara teoritis saja, melainkan juga bersifat
transpormatif atau mengubah prilaku manusia menjadi lebih spiritualitas mekar
dalam bhatin dan intuisi keagamaan. Misalnya dalam pembuatan berbagai alat

Aksara Dharma, Maret 2016 46


upakara yadnya oleh serati banten, sang pemuput upakara yadnya dan yang
mempunyai karja itu selalu dilandasi dengan kesucian dan ketulusan bahtin terpaut
pada Ida Sang yang Widhi dapat diwujudkan lewat sarana upakara yadnya tersebut.
Mengembangkan peradaban rohani dalam ajaran Hindu sangat beragam salah
satunya melalui jalur Catur Marga yang sudah pasti dalam Weda dinyatakan, didalam
mencari Tuhan / Ida Sang Hyang Widhi Wasa ada beragam cara salah satunya dengan
jalan Catur Marga adalah empat jalan menuju Tuhan. Pertama adanya nilai
kreaktifitas yang tinggi ( Karma ) dituangkan dalam berbagai bentuk sarana upakara
yadnya, adanya rasa penuangan rasa cinta dan kasih ( Bhakti ), penuangan adanya
ilmu pengetahuan yang tinggi ( Jnana ) dan adanya rasa kontenplasi kepada Ida Sang
Hyang Widhi ( Raja Marga ). Jadi upakara yadnya dilihat dari proses pembuatanya
sampai saip dipersembahkan /diaturkan, secara langsung mengingatkan manusia
supaya berpikir secara terus menerus kepada Sang Pencipta.
Dengan demikian manusia dapat terlepas dari berbagai gelombang pikiran yang
dapat menyeret kepada hal-hal yang dapat bertentangan dengan dharma, dan prilaku
yang menyimpang. Dalam weda pikiran dianologikan dengan kuda liar yang sulit
dikendalikan, sering mengarah kepada kenikmatan duniawi dan pikiran menyebabkan
kesengsaraan yang berkepanjangan. Dalam Yoga Sutra Pantanjali menyatakan :
Yogacitta Vrtti Niroda; yoga adalah pengendalian gelombang-gelombang pikiran.
Jadi dengan Upakara yadnya yang ditetapkan dalam sastra Weda nampaknya telah
dipikirkan berdasarkan konsep keagamaan khususnya tentang konsep bhakti. Dengan
demikian hal ini memungkinkan umat Hindu senantiasa ingat kepada Tuhan kapan
saja dan dimana saja.

B. Tujuan Melakukan Yadnya

Semua perbuatan mempunyai tujuan, tanpa tujuan ibaratnya perahu tanpa kendali
sehingga terombang-ambing tidak menentu. Begitu pula kita beryadnya mempuyai
tujuan yang muliya dalam rangka menuju kehidupan yang harmonis dan kelepasan.
Kelepasan akan terwujud jika kita telah membayar hutang kita yang disebut dengan Tri
Rnam yakni: Utang kehidupan kepada Tuhan ( Dewa Rena), utang kepada orang tua,
leluhur yang telah beryadnya menurunkan , memelihara, mendidik dari dalam
kandungan sampai kita bisa berdiri sendiri ( Pitra Rena ), dan Rsi rena adalah utang
kepada orang-orang suci dan bijaksana yang menyababkannya berbagai ilmu
pengetahuan kepada umat manusia.
Sesungguhnya melakasanakan Panca Yadnya tidaklah semata-mata berupa upacara
agama ( ritual dan serimonial ). Panca Yadnya dapat diwujudkan dengan berbagai
perbuatan nyata, bermakna bagi kehidupan sehari-hari. Misalnya menyekolahkan anak
dengan penuh dedikasi, sehingga anak nantinya menjadi anak yang berbakti,
berkualitas berdedikasi mempunyai pengetahuan dan bijaksana. Bisa juga dengan
memelihara lingkungan adalah salah satu melakukan bhuta yadnya. Mendengarkan
nasehat orang tua, mengabdi kepadanya merupakan rialisasi pitra yadnya.
Dalam melaksanakan Panca Yadnya sering dianggap sebagai beban hidup. Selain itu
ada pula umat melakukan Panca Yadnya dengan maksud jor-joran, pamer kemewahan,
ingin mendapatkan pujian dan maksud-maksud tertentu lainnya. Disisi yang lain umat
awam sering beranggapan kalau belum melaksanakan upacara besar akan mendapatkan
saksi moral dari Tuhan. Dari keyakinan yang keliru ini, timbullah pelaksanaan adnya
yang dipaksakan dengan mencari hutang atau menjual arta warisan agar dapat
melaksanakan upacara yang besar, anggapan seperti ini sangat keliru. Bahkan sering

Aksara Dharma, Maret 2016 47


menimbulkan berbgai komplik bhatin, biaya, tenaga, pikiran yang sangat besar, tetapi
gagal. Karena makna dan filosifi yadnya adalah keiklasan dan bhakti bukan untuk
mencari pengakuan. Orang beryadnya bukan untuk mencari pujian melainkan demi
yadnya itu sendiri.
Ada lima macam unsure penyucian yang terkandung dalam upacara yadnya antara
lain:
a. Mantram yakni : Doa-doa yang harus diucapkan oleh umat kebanyakan, Pinandita dan
Pendeta sesuai dengan tingkatanya.
b. Yantra yakni alat atau symbol-simbol keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan
spiritual untuk meningkatkan kesucian spiritual.
c. Tantra kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan dengan cara-cara yang ditetapkan
dalam kitab suci.
d. Yadnya yakni pengabdian yang tulus iklas atas dasar kesadaran untuk
dipersembahkan. Dengan ketulusan akan mendapatkan kesucian.
e. Yoga artinya mengendalikan gelombang-gelombang pikiran guna menuju Tuhan.
Pengendalian dalam yoga ada delapan tahapan yang disebut Astangga Yoga yang
meliputi: Yama, Niyama, Asana, Pranayama, Darana, Dhyana dan Semadhi. Dapat
ditegaskan dalam weda upacara yadnya yang benar adalah mengandung lima unsure
penyucian. Jadi kesimpulannya tujuan menyadnya adalah untuk melakukan penebusan
utang atau Rna, sedangkan penyucian dilakukan agar Atman kembali menyatu dengan
Brahman.

C. Kualitas Yadnya

Dalam Bhagawad Gita XVII, 11,12 dan 13 menyebutkan ada tiga tingkatan yadnya
dilihat dari segi kualitasnya yakni:
a. Tamasika yadnya yang dilakukan tanpa mengindahkan petunjuk-petunjuk sastranya,
tanpa mantra,tanpa ada kidung kidung suci tanpa ada daksina tanpa disadari oleh
kepercayaan.
b. Rajasika yadnya adalah dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya serta
dilakukan dengan motivasi pamer dan sebagainya.
c. Satwika yadnya yakni yadnya yang dilakukan dengan penuh keiklasan dan bhakti
sesusi dengan sastra weda.
Dari urain tersebut ada tujuh syarat yadnya yang disebut Satwika yadnya yakni:
Sradha, Lascarya, Sastra, Daksina, mantra Gita, Annasewa dan Nasmita. (Yadnya Widhi).
Yadnya tidak akan ada maknanya jika tidak diyakinan
a. Sradha pelaksanaan yadnya dilakukan dengan penuh keyakinan yang digariskan dalam
yadnya dengan sepunuh hati. Dengan rasa keyakinan maka semua simbol dalam
upakara yadnya bermakna spiritual dan mempunyai makna rohani. Contohnya dalam
Ramayana dan Mahabrata.
b. Lascarya yadnya yang dilakukan dengan penuh keiklasan, dan cinta kasih yang tulus.
Contoh Dewi Kunti melakukan Dewa Sraya dihapan Durga.
c. Sastra yakni hukum yang diberlakukan dalam melaksanakan yadnya yang disebut
dengan yadnya Widhi. Beryadnya harus berdasarkan petunjuk sastra Misalnya:
Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti.
d. Daksina yakni suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan benda atau uang yang
dihaturkan secara iklas kepada pendeta yang memimpin upacara. Ini penting
bahkan merupakan salah satu unsure sukses upacara.
e. Mantra dan Gita setiap upacara yang berkualitas harus ada mantra dan gita, yang
diucapkan oleh umat, Pendeta sesuai dengan aturannya.

Aksara Dharma, Maret 2016 48


f. Annasewa yakni jamuan makan kepada tamu upacara ( attiyadnya ) sesuai dengan
kemampuan masing-masing.
g. Nasmita yakni upakara yadnya yang mewah dan indah hanya pantas dilangsungkan
dengan tujuan mengagungkan nama Tuhan.

D. Arti dan Lambang Bahan Banten

Bahwa bebanten adalah merupakan cetusan hati manusia/umat Hindu, sebagai


pernyataan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi atas karunia dan
kehidupan yang diberikanNya. Sesungguhnya Ida Sang Hyang Widhi maha pemurah
memberikan segala yang kita butuhkan, asalkan kita mau bekerja dan mengolah
kekayaan alam yang tidak habis-habisnya memberikan kebahagiaan umat manusia. Satu
biji yang sangat kecil bisa menjadi pohon yang amat besar dan kemudian dapat
berbunga dan berbuah. Dari buah-buah tersebut mampu mengidupi generasi kegenerasi
seterusnya.
Maka atas semua anugrah ini kita haturkan kehadapannya bebanten atau sesaji yang
melambangkan cetusan hati dengan penuh ketulusan, rasa kedamian dan keindahan bhakti
suci. Dengan demikian nampak bebanten /upakara tersebut bernilai Seni Budaya yang
agung dan tinggi inilah yang membuat Bali terkenal di seluruh dunia. Sebagai salah satu
contoh seperti : Banten Pulegembal. Dalam banten tersebut berisi jajan-jajan cacalan
yang merupakan gambaran isi dunia ini seperti :
1) Empas-mini menggambarkan isi laut
2) Gelar- gemulung menggambarkan air
3) Ancak Bingin menggambarkan pohon-pohom
4) Ubi keladi melambangkan adanya umbi-umbian didunia
5) Tingkih, klongkang menggambarkan buah-buahan
6) Gunung, Taman, Pengganggo Sarad, Lingga dalan sebagainya menggambarkan
adanya isi dunia.

Bahan-bahan sesaji antara lain:


a.Pelawa menggambarkan ketenangan dan kesucian hati
b. Sirih menggambarkan Dewa Wisnu
c.Kapur melambangkan Dewa Siwa
d. Buah/pinang melambangkan Dewa Brahma
e.Tali porosan yang ujungnya runcing menggambarkan penunggalan Ida Sang Hyang
Widhi
f. Bunga melambangkan keharuman dan kesucian hati yang tulus
g. Pandan harum sebagai perangsang memusatkan pikiran kearah kesucian
h. Menyan melambangkan Dewa Siwa
i. Majagau melambangkan Dewa Siwa
j. Cendana melambangkan Dewa Siwa
k. Beras melambangkan kehidupan
l. Warna kuning melambangkan kemakmuran
m. Uang kepeng melambangkan sarining manah/pikiran
n. Kelapa merupakan bhuana agung, kelapa juga merupakan buah yang serba guna
o. Telur itik merupakan jiwa yang suci, karena itik mempunyai wiweka yang baik/
Wiweka jnana.
p. Tingkih/kemiri melambangkan putih yang suci
q. Pangi /kluwak dari segi warna merah melambangkan Dewa Brahma.

Aksara Dharma, Maret 2016 49


r. Pisang mentah melambngkan jari- jari
s. Sirih tampel melambangkan orang sedang sembanhyang
t. Gegantusan melambangkan isi daratan dan lautan
u. Bija ratus merupakan campuran biji-bijian.
v. Benang merupakan tali pengikat melambangkan usus/ perut
w. Peselan dibut dari lima jenis daun. Dan masih banyak yang lain
x. Kembang ramape: melambangkan keharuman rambut Siwa

Dan masih ribuan lagi bahan sesaji yang dipergunakan sebagai bahan yadnya oleh
umat manusia. Semua bahan tersebut diciptakan oleh Tuhan, maka kita wajib
mengembalikan kepada Sang Penciptanya. Semua bahan tersebut menyimboliskan
tingginya nilai Etika, Ritual dan makna filsafati yang tinggi. Sebagai manipestasi Ida
Sang Hyang Widhi. Semua yadnya bhakti yang dilaksanakan sebagai peradaban hidup
suci dan harmonis. Keharmonisan ini akan menimbulkan berbagai nalia seni, budaya
dan tradisi menjadi akulturasi kehidupan dialektika agama dan budaya yang mengakar
dalam masyarakat.

SIMPULAN

Upakara yadnya mengandung berbagai makna dan filosofi serta sebagai alat kosentrasi,
mengandung nilai pembersihan, mengandung nilai kesucian, mengandung nilai seni dan
estetika. Secara simbolis dalam proses pembuatan banten/ sesaji dijiwai oleh kesucian hati,
dikerjakan dengan tangan-tangan trampil dilandasi filosofis bhakti yang tulus dan iklas, serta
dijiwai oleh ketulusan.
Upakara Yadnya pada hakekatnya mengandung berbagai demensi spiritual antara lain;
1. Sebagai alat kosentrasi
2. Mengandung nila pembersihan
3. Mengandung nilai kesucian
4. Mengadung nilai estetika

DAFTAR PUSTAKA

1. Cudamani.1992. Pengantar Agama Hindu, Hanoman Sakti Jakarta


2. Pudja, Gede.2005. Bhagawad Gita (Pancama Veda. Paramita Surabaya
3. Sudarsana, Ida Bagus Putu.2010. Himpunan Tetandingan Upakara Yadnya, Dharma
Acarya Bali.
4. Ngurah, I Gusti Made.1998. Buku Pendidikan Agama Hindu untuk perguruan Tinggi,
Paramita Surabaya.

Aksara Dharma, Maret 2016 50


PENANAMAN NILAI AGAMA HINDU PADA ANAK DI BANJAR SOLO
KOTA SURAKARTA

Setyaningsih
Prodi Penerangan Agama Hindu
STHD Klaten
ABSTRACT

The kinship ties of the balinese in Solo City shows in centre Solo’s banjar membership.
As a small community in Solo, the way to conserve culture proven by the nurture pattern of
chlidren that has their own differences. This research is to understand about the value of
hinduist in nurture pattern of children that applied by Banjar’s member in Solo and about the
way of the member to face the problem in this nurture of Hinduist value. Ethnography
method used to descipe the Hinduist value planting for chlidren by Banjar’s member in Solo.
Data collected with observation and interview. The Hinduist value planting in nurture pattern
of chlidren bj banjar’s member in Solo includes religion education in the family, in the
school, and the community. The nurture pattern of children that used by Banjar’s member get
by the equalities of faith, general habit, value, norm, and rules from the community of
Hinduist. The Hinduist value planting that given to children, then accepted by chlidren as a
controller for themselves. Dharma lesson and cultural’s value as controle make children as
the next generation can interpretat and accept the differences between them and the other
people around them, so that they can co
nserve the existence of their culture.

Keyword: Banjar’s member, nurture pattern of children, dharma, cultural value.

PENDAHULUAN

Di Surakarta, suku bangsa yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia hidup
berdampingan di tengah segala perbedaan pola pemikiran, sistem nilai, norma, kebiasaan,
adat dan sejarah antara satu dengan yang lain. Dari berbagai suku bangsa yang ada di
Surakarta, salah satu yang melakukan upaya pelestarian eksistensi kebuadayannya adalah
suku bangsa Bali. Mayoritas umat Hindu di Surakarta merupakan urban dari Bali. Komunitas
ini memiliki ikatan kekerabatan yang kuat berdasarkan sistem banjar. Keanggotaannya
bersifat terbuka, dimana anggota banjar bukan hanya mereka yang lahir di desa tersebut,
tetapi warga dari luar desa juga diperbolehkan bergabung menjadi warga anggota banjar.
Komunitas Hindu-Bali yang tinggal di Surakarta dan sekitarnya tergabung dalam Banjar
Solo. Banjar Solo diketuai oleh seorang ketua banjar yang terbagi ke dalam 3 sektor wilayah
berdasarkan wilayah kecamatan yang masing-masing wilayah diketuai oleh ketua banjar.
Yang menarik khas dari kebudayaan Bali pada anggota Banjar Solo adalah pola asuh
anak yang meliputi rangkaian tradisi sejak anak berada di dalam kandungan, kelahiran anak,
(upacara otonan), saat anak beranjak dewasa, mesangih / metatah / mepandes. Terkait dengan
pola pengasuhan anak yang di dalamnya mengandung pembelajaran nilai kebudayaan,
anggota banjar Solo lebih mengutamakan dari sisi keagamaan. Agama Hindu telah terjalin ke
dalam berbagai unsur-unsur dan nilai-nilai kebudayaan .
Dalam tulisan ini permasalahan yang diangkat adalah pertama bagaimana penanaman
nilai agama Hindu dalam pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh anggota banjar Solo.
Kedua apa saja kendala dalam penanaman nilai agama Hindu pada anak dan bagaimana
upaya anggota banjar Solo menyikapinya.

Aksara Dharma, Maret 2016 51


PEMBAHASAN

Anak dalam keluarga akan tumbuh sesuai dengan referensi budaya terdekat dalam
kehidupannya. Keluarga menurut A.M. Rose merupakan sebuah kelompok yang ada di
dalamnya terdapat suatu interaksi dari orang-orang yang memiliki hubungan darah, hasil
adopsi, maupun berdasarkan ikatan perkawinan. Keluarga sebagai kelompok sosial paling
awal pada diri setiap anak dianggap penting bagi tumbuh kembang pola pemikiran dan
perilaku anak nkarena interaksi paling awal dengan orang-orang di sekitarnya terjadi disini
(Ahmadi, 2004:108). Proses sosialisasi merupakan permulaan dari proses bagaimana diri atau
self seseorang berkembang yang terjadi selama kehidupannya. Periode sosialisasi selama
seseorang hidup terbagi ke dalam dua tahap, yaitu sosialisasi primer dimana anak untuk
pertama kali mendapatkan identitasnya sebagai person atau pribadi, dan sosialisasi sekunder
di mana anak telah menjadi anggota masyarakat (Robinson, 1986:58).
Dalam proses sosialisasi, terjadi netralisasi nilai-nilai dan seorang anak akan
memberikan respon pada tekanan yang ada di sekitarnya. Respon ditunjukkkan sesuai dengan
kepribadian yang dimilikinya. Seorang anak akan menerima perannya, dia tidak akan diberi
kesempatan untuk menciptakan dunianya sendiri disini berbagai harapan akan prestasi,
ditujukan pada bagaimana peran tersebut dijalankan. Inkulturasi dan enkulturasi sebagai
pembelajaran kebudayaan oleh seorang individu dilakukan sejak ia dilahirkan, di mana
individu menyerap dan mempelajari berbagai cara berpikir, bertindak, dan merasakan apapun
yang mencerminkan kebudayannya. Proses tersebut diawali dari dalam lingkungan keluarga,
sehingga bagaimana bentuk pola pengasuhan yang diterapkan orang tua pada anak sangat
menentukan. Baik atau buruk hasil pembelajaran kebudayaan yang dilakukan seorang anak
sangat ditentukan oleh pola pengasuhan yang diberikan pada anak tersebut. Keluarga sebagai
media perantara awal, harus berperan secara maksimal (Manan, 1989:33).
Bonner(2007) menyatakan bahwa pola asuh sangat menentukan kualitas anak kelak,
baik prestasi, keberhasilan, dapat menghadapi tantangan, maupun dapat menyikapi berbagai
masalah dalam hidup. Pola pengasuhan anak menurut Kohn (2007) adalah setiap tindakan
akan membawa konsekuensi pada pengembangan kognitif dan perilaku remaja. Oleh karena
itu, pola asuh yang diterapkan orang tua harus disesuaikan dengan usia maupun kebutuhan
anak (Sopidi,2007:53).
Mendidik adalah memberikan latihan dan di dalamnya terdapat ajaran, tuntunan, serta
pimpinan berkaitan dengan kecerdasan pikiran. Sedangkan pengertian pendidikan adalah
proses pengajaran atau pelatihan dengan menggunakan metode tertentu untuk mengubah
sikap dan perilaku seseorang ataupun kelompok sebagai usaha agar seseorang atau kelompok
tersebut mendapatkan pengetahuan ataupun pemahaman sesuai dengan kebutuhan tertentu.
Dari pengertian ini, maka pendidikan sebagai proses pengajaran memerlukan pengajar, baik
guru maupun orang tua (Syah, 95:10-11). Dalam pendidikan anak, terdapat Tri Pusat
Pendidikan sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003. Tempat pergaulan atau pendidikan yang
berpengaruh dalam membentuk kepribadian dan tingkah laku anak, yaitu meliputi pendidikan
keluarga. Di sini pendidikan bersifat alami, pendidikan didapatkan melalui pengalaman
sehari-hari secara informal. Kedua adalah pendidikan sekolah yang merupakan pusat
pendidikan formal. Pendidikan masyarakat atau komunitas, dimana pendidikan non formal
diberikan secara sengaja, terencana dan terarah, tetapi tidak berjenjang.
Kebudayaan yang merupakan berbagai pengetahuan, yang berupa ide, gagasan, nilai
yang didapatkan melalui pembelajaran, baik learning cultures maupun teaching cultures.
Margaret Mead (Koentjraningrat, 2007:228-230) memaparkan bahwa learning cultures atau
kebudayaan belajar adalah dimana seseorang mendapatkan pembelajaran secara informal.
Pembelajaran yang dimaksud adalah dengan mendapatkan berbagai pengetahuan dan

Aksara Dharma, Maret 2016 52


ketrampilan, serta kemampuan diri pada saat berperan dalam kehidupan sehari-hari.
Sedangkan teaching cultures atau kebudayaan menagjar merupakan pembelajaran masyarakat
yang diperoleh dari orang-orang yang lebih tahu tentang materi yang bersangkutan.
Berkaitan dengan pendidikan agama anak, keluarga berfungsi memelihara, merawat
dan melindungi dalam proses pengasuhannya pada anak. Di dalam sebuah keluarga, fungsi
keagamaan sangat mengutamakan pendidikan agama bagi setiap anggotanya. Sedangkan
pada keluarga yang menganut minoritas di lingkungan masyarakatnya, maka rentan
terjadinya kemunduran pendidikan keagamaan pada anak tersebut. Lebih lanjut dalam ini,
pendidikan agama anak akan dikaitkan dengan bagaimana unit pergaulan hidupnya. Pertama
adalah dari lingkup keluarga, keluarga luas, serta komunitasnya. Keluarga inti merupakan
yang paling utama karena disinilah seorang individu mulai terbentuk pribadinya. Keluarga
berperan sebagai pelindung untuk ketentraman dan ketertiban setiap anggotanya, merupakan
wadah tumbuhnya dasar-dasar bagi kaidah pergaulan hidup, serta merupakan wadah di mana
manusia mengalami proses sosialisasi paling awal (Soekanto, 2004:22-23).
Kartono (1991) mendefinisikan pendidikan religius sebagai proses melatih dan
mengajar anak, orang muda, ataupun tua untuk hidup beragama di jalan Tuhan. Pendidikan
religius dapat mendorong manusia untuk berttingkah laku kreatif, konstruktif, dan berguna
bagi masyarakat dan lingkungan hidup. Problema keimanan anak yang terjadi (Yusuf,
2994:143), yaitu di mana perkembangan dan konflik keyakinan dipengaruhi oleh bagaimana
kondisi kehidupan sosial budaya yang dihadapi. Seorang manusia selalu dihadapkan pada dua
kemungkinan, antara yang baik dan yang buruk. Apabila keduanya dapat kita pilah dan kita
mampu bertindak atas nama yang baik, maka itu akan memupuk keyakinan dan kepercayaan
kita pada Tuhan. Sehingga di sini, pendidikan agama sangat berperan penting, yaitu agar
seorang anak mampu tumbuh dan berkembang menjadi seseorang yang beriman dan
beragama sesuai dambaan orang tua. Dengan pendidikan agama yang baik, anak akan mampu
tumbuh menjadi pribadi yang budiman dan bertanggung jawab sesuai perintah agama.
Perasaan Ketuhanan sudah mulai dirasakan seorang anak sejak bayi menurut Arnnold
Gessel. Perkembangan beragama pada anak berlangsung sejalan dengan perkembangan
kognisi, bahasa, maupun emosi. Bagaiaman orang tua memberikan contoh di setiap
kesempatan merupakan pembelajaran yang paling nyata dan paling mudah diserap oleh anak.
Dalam kehidupan anggota banjar Solo sendiri, penerapan konsep ataupun nilai agama dapat
diberikan melalui kegiatan sehari-hari, misalnya pada saat menyusui, memandikan,
menggendong anak atau lainnya dengan membacakan doa. Selain itu, anak juga dapat
dibiasakan mengucapkan salam. Memperlakukan anak dengan penuh rasa kasih merupakan
pemahaman agama yang paling mudah tersampaikan (Yusuf, 2004:161-162).

Penanaman nilai agama Hindu pada anak melalui Tri Pusat Pendidikan Agama, yaitu:
1. Pendidikan Agama di Pasraman Indraprastha
Di Pasraman, anak diberikan pembelajaran Weda sesuai dengan tingkatan
pemahaman anak. Ajaran agama tidak mudah diartikan dan dipahami oleh seorang
umat manusia. Oleh karena itu Weda diajarkan, khususnya kepada murid dengan
menggunakan metod pembelajaran yang telah sesuai dengan kurikulum pendidikan
agama. Pembelajaran diberikan mulai dari tingkatan PAUD, SD, SMP sampai dengan
SMA.
Metode pembelajaran yang digunakan di Pasraman Indraprastha Solo adalah metode
tugas, diskusi, latihan, tanya jawab dan karya wisata. Ajaran dharma ditanamkan pada
anak melalui berbagai pendekatan rasional, makna dan sebagainya. Materi ilmu tafsir
dan analisis Weda di tingkatan sekolah menengah atas. Setiap materi diberikan sesuai
dengan kemampuan nalar. Maka analisis Weda yang merupakan materi tersulit di

Aksara Dharma, Maret 2016 53


dalam kurikulum pendidikan agama Hindu, barula diberikan saat siswa ampu
bmembandingkan melalui studi komparatif di jenjang SMA.

2. Pendidikan Agama di dalam Komunitas


Pendidikan agama anak diberikan secara non formal dengan cara terencana dan us
anak untuk ikut serta merayakan hari suci keagamaan, disinilah anggota komunitas
menerapkan penanaman nilai agama Hindu pada anak. Hari suci keagamaan
merupakan sarana pendidikan bagi anak melalui adanya dharma wacana dan
rangkaian ritual upacara keagamaan, serta berbagai kebutuhan upakara.

3. Pendidikan agama di Dalam Keluarga


Pendidikan agama anak, khususnya di dalam lingkup keluarga pada anggota banjar
Solo diberikan melalui berbagai macam cara. Penanaman nilai-nilai agama hindu
yang diajarkan oleh orang tua kepada anal meliputi: yadnya (korban suci). Beryadnya
adalah kewajiban umat Hindu seabgai bentuk hutang kepada Sang Hyang widhi yang
telah menciptakan manusia. Yang harus diperhatikan juga dalam pelaksanaan yadnya
adalah di mana anak harus diajarkan tentang kebersihan, keseragaman dan ketertiban
dari peralatan upakara, bahan-bahan sajen pun juga harus baru, serta anak harus
menjaga sikap selama jalannya ritual upacara. Selain itu anak juga diberikan
pembelajaran tentang berdana punia, yaitu mengenalkan kepada anak-anak dengan
membiasakan untuk bersedekah sebagai pembelajaran agar anak mau berkorban
dengan hati yang ikhlas.
Tri Sandhya yaitu ritual persembahyangan yang dilakukan sebanyak tiga kali
sehari, yaitu pagi, siang dan malam hari. Pelaksanaan bisa di pura ataupun dapat
dilakukan di mana saja sesuai dengan etika ritual yang berlaku. Secara umum, dari
hasil temuan data, sembahyang Tri Sandhya adalah cara pembelajaran agama yang
diutamakan di dalam lingkup keluarga. Yadnya sesa atau sajian yang dihaturkan
kepada Bhatara-Bhatari (dewa pelindung) di pamerajan ataupun persembahan untuk
arwah leluhur diajarkan pada anak sebagai suatu bentuk pembelajaran tentang
pentingnya mendahulukan kepentingan yang lain daripada kepentingan diri sendiri.
Anak diajarkan untuk mendahulukan kewajiban sebagai bentuk dharmanya di atas hal
yang lain. Orang tua harus memberikan pemahaman agar anak mengerti arti penting
sesaji tersebut. Dari sini, anak akan memaknai sesaji sebagai bentuk bahwa dirinya
tidak pernah melupakan leluhurnya yang telah tiada. Pembelajaran nilai agama pada
anak di dalam keluarga juga dibiasakan dengan melatih anak melafalkan doa maupun
mantram. Hal ini sangat baik, apabila dibiasakan sejak usia dini. Ini dilakukan agar
anak terbiasa dan terlatih untuk melafalkan mantra yang berbahasa sansekerta maupun
jawa kuno.

Pola Pengasuhan Anak pada anggota Banjar Solo

Perkawinan adalah peristiwa yang suci bagi seorang penganut Hindu. Di dalam suatu
perkawinan, seorang istri merupakan rekan dalam kehidupan seorang pria. Di dalam rumah
tangga, tujuan utama dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga dan melahirkan
keturunan. Tujuan utama perkawinan untuk menghasilkan keturunan merupakan sebuah
wujud amalan dharma, kemudian melahirkan pemaknaan akan pentingnya kehadiraan
pelanjut keturunan di dalam kebudayaan Bali yang saat ini masih digunakan dan dilestarikan
pada anggota Banjar Solo. Di dalam kehidupan anggota banjar Solo, pemaknaan purusa
masih dipegang teguh. Anak sebagai purusa adalah dimana anak laki-laki bertanggung jawab
penuh sebagai penerus keluarga. Sebagai perantau yang jauh dari keluarga besarnya, seorang

Aksara Dharma, Maret 2016 54


purusa masih menjalankan segala kewajiban yang ditanggungnya. Sejak lahir, dimana anak
telah menyandang predikat sebagai purusa, maka seorang anak mulai diajarkan orang tua
tentang bagaimana ia berprilaku, proses pembudayaan dan sosialisasi terjadi disini. Proses
sosialisasi terjadi di mana seorang purusa selalu mendapatkan berbagai pembelajaran dari
orang tuanya tentang bagaimana cara-cara bersikap dan bertanggung jawab selama ia hidup
dengan mempelajari berbagai peraturan, ketentuan, serta nilai-nilai budaya yang mengatur
peranannya. Proses enkulturasi atau pembudayaan yang terjadi adalah di mana anak
mempelajari bagaimana caranya bersikap dan berprilaku sesuai apa yang yang diajarkan dan
diturunkan orang tua kepada dirinya berdasarkan dengan peraturan dan nilai yang ada dalam
kebudayannya.
Pengasuhan dilakukan sebelum bayi dilahirkan ke dunia. Pola pengasuhan anak
dicerminkan melalui tradisi yang diawali dengan tradisi upacara gedong-gedongan, yang
merupakan upacara enam bulanan, dilakukan saat bayi sudah sempurna, di mana bayi telah
memiliki roh, tangan dan kaki. Upacara dilakukan sebagai harapan agar bayi yang dilahirkan
menjadi suputra, yaitu putra yang baik. Bayi yang lahir didoakan agar menjadi manusia yang
berbudi luhur dan berguna bagi keluarga. Upacara dilakukan juga untuk memohon
keselamatan pada Sang Hyang Widhi agar ibu dan bayi sehat dan selamat saat proses
kelahiran. Di dalam kandungan, bayi telah diberikan pendidikan secara spiritual, yaitu
melalui rangsangan dengan membacakan doa, maupun mendengarkan kidung suci. Setelah
bayi itu lahir, terdapat banten dapetan, yaitu sesaji dapetan yang berarti bahwa orang tua
menghargai, memuji dan mensyukuri kepada tuhan atas kelahiran jabang bayi. Orang tua
memberi persembahan berupa bunga, buah, air, telor dan kelapa. Yang bermakna, “Ya
Tuhan, Engkau memberikan seorang jabang bayi yang sempurna, hamba mohon anugrah
semoga anak sehat.”
Setelah tali pusar bayi lepas selama 42 hari, terdapat upacara agar sang jabang bayi ini
panjang umur dan sehat lahir dan batin. Setelah bayi umur tiga bulan, 3 x 35 hari atau 105
hari ada yang disebut upacara tiga bulanan. Upacara tiga bulanan memiliki arti bahwa ketika
anak lahir ada sebuah kekuatan yang menjaga. Sang penjaga adalah Tuhan dalam wujud
Dewi Ratih yang disebut dengang Sang Hyang Kumara, dimana beliau mengasuh bayi sejak
lahir sampai umur tiga bulan. Setelah bayi berumur tiga bulan, yang mengasuh dimaknai
dengan pengalihan tugas kepada kandapat. Kandapat adalah kanda empat yang juga terdapat
dalam budaya jawa, yaitu kakang, kawah, adi ari-ari. Jadi disini Sang Hyang Kumara
menyerahkan kepada kandapat untuk mengasuh anak sampai dewasa. Upacara ini merupakan
pendidikan pada anak. Di dalam upacara tiga bulanan terdapat tradisi pemberian nama anak.
Upacara wetonan atau satu oton, yaitu setelah hari kelahirannya 210 hari dengan terlebih
dahulu melakukan penyucian lahir dan batin. Kendatipun masih bayi, diajarkan memuja sang
Hyang Widhi dalam posisi tangan dicakupkan. Inilah salah satu bentuk pendidikan atau
penanaman nilai-nilai keagamaan awal pada anak.
Tradisi di dalam pola pengasuhan anak yang selanjutnya dilakukan saat anak menginjak
usia remaja. Saat anak berusia 14 tahun ke atas atau saat anak menuju ke pendewasaan,
tradisi upacara potong gigi pun dilakukan. Upacara potong gigi biasa disebut dengan pangur,
mesangih dan metatah. Upacara dilakukan dengan mengasah enam gigi secara simbolis. Pola
asuh dan pembelajaran pada anak disini adalah melalui pengendalian diri. Pengendalian diri
yang dimaksud adalah simbol penyucian diri terhadap sadripu yang merupakan enam musuh
di dalam diri seorang manusia. Untuk melenyapkan musuh yang berupa keburukan di dalam
diri, dalam upacara mesangih disimbolkan dengan menggigit enam rasa yang ada di semesta,
yaitu pahit, manis, asam, kecut, sepet dan asin yang melambangkan rasa dari kehidupan yang
dijalani. Rangkaian tradisi kelahiran maupun upacara potong gigi yang dilakukan oleh
anggota banjar Solo merupakan perwujudan dari upaya orang tua dalam menanamkan nilai-
nilai kebudayaan kepada anak melalui pengasuhan anak.

Aksara Dharma, Maret 2016 55


Etika salam telah dibiasakan pada anak, yaitu melalui pengucapan salam “ Om
Swastyastu”. Orang tua membiasakan seorang anak mengucapkan salam sebagai bentuk pola
pengasuhannya. Etika salam “ Om Swastyastu” merupakan kebiasaan orang tua di dalam
keseharian, baik di lingkungan keluarga, maupun di lingkungan anggota banjar.
Kejujuran, pemahaman awal agama pada anak melalui kejujuran merupakan bukti bahwa
orang tua sejak awal telah menuntun anak untuk mengenal dharma. Orang tua mengenalkan
perwujudan satya atau kejujuran karena merupakan ketentuan paling awal di dalam ajaran
dharma. Di dalam mengajarkan kejujuran pada anak, terdapat proses internalisasi dan
sosialisasi. Proses internalisasi, dimana anak mempelajari budaya kejujuran yang merupakan
kepribadian dari komunitas Hindu. Sedangkan proses sosialisasi yang terjadi adalah di mana
anak telah dibiasakan untuk bersikap jujur oleh orang tua, maupun komunitasnya melalui
kegiatan keseharian.
Toleransi dalam etika pergaulan. Etika pergaulan anak di dalam pola pengasuhan
anggota banjar Solo dianggap sebagai satu pengajaran yang penting bagi komunitas di tengah
kehidupan masyarakat. Sejak kecil, anak sudah dibiasakan dengan toleransi antara sesama
manusia. Di dalam pergaulan anak, orang tua telah mengajarkan dan memberi kebebasan
kepada anak untuk bergaul dengan siapapun, tanpa pengecualian tertentu. Justru anak telah
diberikan pemahaman tentang pentingnya berteman dengan yang berasal dari agama lain.
Etika toleransi dalam pergaulan yang diajarkan pada anak merupakan wujud dari salah satu
ajaran dharma tat twa asi, yaitu cerminan dari rasa cinta kasih pada perbedaan.
Tindak kebaikan, pembelajaran tindak kebaikan oleh orang tua kepada anak, terutama
agar orang tua merasakan rasa aman melalui pembelajaran Tri Kaya Parisudha. Orang tua
mengajarkan kebaikan dengan terlebih dahulu memberikan pengertian tentang bagaimana
berbuat kebaikan, berprilaku kebaikan dan berbicara kebaikan di segala kondisi adalah salah
satu cara mengamalkan ajaran Hindu. Tri Kaya Parisudha diajarkan pada anak mulai usia dini
agar konsep ini dapat tertanam dan menjadi pedoman bagi jiwa dan selalu menyertai langkah
sang anak.
Kesucian. Kesucian sebagai salah satu kepribadian pada anggota banjar Solo yang
berasal dari nilai hindu. Di dalam etika ritual Hindu yang paling pokok adalah masalah
kesucian. Nilai ini, kemudian merasuk ke dalam kebudayaan orang Bali. Seorang anak
melalui pembelajaran tentang makna kesucian dan kemudian belajar menyesuaikan pola
pemikirannya tentang pentingnya kesucian di setiap aspeknya. Proses inkulturasi dab
enkulturasi terjadi disini.
Disiplin diri. Dalam pola asuh anak pada anggota banjar Solo terdapat pembelajaran
disiplin dan kerja keras. Pembelajaran kebudayaan ini berkaitan erat dengan tujuan kehidupan
manusia untuk mencapai kama dan artha yang tentunya dilakukan berdasarkan dharma. Kerja
keras dan disiplin ditanamkan pada anak usia remaja dengan cara mengenalkan anak pada
satu tanggung jawab pekerjaan. Ini bukan semata-mata untuk tujuan penghasilan. Disini anak
diajarkan bertanggung jawab pada dirinya sendiri dan agar anak tidak berbuat yang tidak
seharusnya. Anggota banjar solo sangat menganjurkan untuk berhemat. Pemikiran ini berasal
dari ajaran Hindu yang menyatakan bahwa manusia hidup di dunia untuk tujuan artha. Untuk
mencapai artha di dunia, yaitu dengan mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya sesuai
dengan ajaran dharma. Jadi kekayaan juga disedekahkan untuk kepentingan sosial ataupun
kepentingan umat. Begitu pula dengan tujuan manusia di dunia untuk mencapai kama.
Manusia berkewajiban mencapai kama, yaitu kesenangan bekerja dan belajar. Agar
mendapatkan hasil yang maksimal, maka seseorang wajib bekerja kera dan memiliki disiplin
yang tinggi.
Teori kebudayaan E.B. Tylor terbuktib dapat diterapkan dalam ini. Anggota banjar solo
hidup sebagai komunitas kecil di Solo melakukan berbagai upaya untuk menjaga eksistensi
kebudayaan asal mereka. Anggota banjar Solo terus menjaga agar kebudayaan tetap ada di

Aksara Dharma, Maret 2016 56


tengah eksistensi budaya lainnya di Solo. Pelestarian eksistensi diwujudkan melalui pola
pengasuhan anak yang meliputi penanaman nilai agama Hindu, baik pendidikan yang
diberikan di dalam keluarga, pasraman, maupun di dalam komunitas, serta pembelajaran dan
pewarisan kebudayan pada anak sebagai generasi penerus melalui proses inkulturasi,
sosialisasi dan enkulturasi.
Pembelajaran agama di dalam pola pengasuhan anak pada anggota banjar solo di dalam
keluarga, yakni learning cultures di mana pembelajaran agama Hindu pada anak berupa
pemahaman dan pembiasaan ya meliputi pengamalan dharma. Pengamalan dharma hanya
meliputi ritual keseharian di dalam keluarga. Pemahaman dharma yang diberikan pada anak
berupa pentingnya kejujuran, memberikan salam om swastyastu, berbuat kebaikan, serta
melaksanakan yadnya dalam keseharian melalui ketidaksengajaan dalam keseharian keluarga.
Sedangkan pendidikan melalui pasraman Indraprastha, yakni teaching cultures yang
didapatkan anak adalah pembelajaran agama secara formal, terstruktur dan terperinsi.
Pembelajaran agama di pasraman diberikan pada anak sesuai dengan kurikulum yang telah
ditetapkan oleh Dinas Pendidikan. Di dalam pembelajaran, anak dituntut untuk mendapatkan
hasil belajar yang baik serta mampu melaksanakan amalan dharma yang selama ini telah
diajarkan guru. Penanaman nilai agama melalui learning dan teaching cultures serta
pewarisan kebudayaan pada anak untuk tujuan menjaga eksistensi kebudayaan banjar Solo
merupakan pembuktian bahwa teori kebudayaan Tylor, di mana kebudayaan yang berupa
keseluruhan kompleks pengetahuan, kepercayaan, adat istiadat, dan kebiasaan yang dimiliki
anggota banjar solo yang di dalamnya terdapat visi untuk mewujudkan eksistensi kebudayaan
banjar Solo.

Kendala dalam Penanaman Nilai Agama Hindu pada Anak dan Upaya yang dilakukan
Anggota Banjar Solo

Kurangnya sarana dan prasarana pendidikan agama Hindu di pasraman Indraprastha.


Adanya bantuan operasional dari Dirjen Kementrian Agama Hindu. Kendala kedua adalah
anak lebih menomorduakan pendidikan agama. Kendala ini dapat diatasi melalui kerjasama
antara pihak orang tua dan pengajar di pasraman. Kedua pihak dapat memberikan
pemahaman pada anak akan arti pentingnya mendahulukan kepentingan agama di atas
kepentingan yang lainnya.
Kurangnya sarana prasarana ibadah bagi umat Hindu, kendala ini bisa dihadapi dengan
cara memberikan pemahaman kepada anak bahwa ibadah sembahyang bisa dilakukan di
manapun, sekaligus menanamkan rasa toleransi pada anak. Hal ini agar anak tidak merasa
tersisihkan dari lingkungan di luar komunitasnya. Pembelajaran nilai-nilai agama di dlam
keluarga yang tidak maksimal akibat oirang tua awalnya berasal dari agama lin. Pendekatan
pembiasaan merupakan pendekatan yang paling mudah dan paling sesuai untuk diterapkan di
dalam proses pembelajaran agama.

SIMPULAN

Penanaman nilai agama Hindu dalam pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh
anggota banjar Solo meliputi pendidikan agama anak dalam keluarga, pendidikan agama anak
di sekolah agama dan pendidikan agama anak di dalam komunitas Hindu. Penanaman nilai
agama anak di dalam keluarga yang meliputi pembelajaran yadnya, tri sandhya, yadnya sesa,
pelafalan doa dan mantram, serta etika Hindu yang lainnya. Pendidikan agama di pasraman
meliputi pembelajaran Weda dengan menggunakan pendekatan rasional dan kebermaknaan
sesuai tingkatan kelas murid. Sedangkan pendidikan dalam komunitas meliputi keikutsertaan

Aksara Dharma, Maret 2016 57


anak dalam upacara hari suci keagamaan dan kegiatan banjar, di mana anak mendapatkan
pembelajaran melalui dharma wacana, maupun rangkaian upacara ritual yang dilaksanakan.
Pola pengasuhan anak yang diterapkan oleh anggota banjar Solo berdasarkan ajaran
dharma dan nilai luhur budaya agar anak dapat mencerna dan menerima perbedaan dirinya
dengan orang-orang yang ada disekitarnya.
Kendala dalam penanaman nilai agama Hindu pada anak di Solo meliputi lima
masalah. Yaitu kurangnya sarana pendidikan agama dan sarana prasarana ibadah penganut
agama Hindu di sekolah umum, anak-anak menomorduakan pendidikan agama, sosialisasi
dan pembudayaan kurang maksimal, dan pergaulan dengan lawan jenis yang kemudian
mendorong anak berpindah agama. Upaya anggota banjar Solo menyikapinya kendala
tersebut adalah melalui penanaman dan pembelajaran kebudayaan dengan lebih maksimal.

Daftar Pustaka

1. Ahmadi, Abu.(2004), Sosiologi Pendidikan. Jakarta:Rineka Cipta


2. Fedyani, Achmad Syarifuddin.(2005), Antropologi Kontemporer Suatu Pengantar
Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana Prenada Medua Group
3. Kartono, Kartini.(1991), Quo Vadis Tujuan Pendidikan Harus Sinkron Dengan tujuan
Manusia. Bandung: Mandar Maju
4. Koentjaraningrat.(2001), Pengantar Antropologi I. Jakarta: Rineka Cipta
5. Koentjaraningrat.(2007), Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia
6. Manan, Imran. (1989), Antropologi Pendidikan Suatu Pengantar. Jakarta: Depdikbud
7. Purwita, Ida Bagus Putu.(1992), Upacara Potong Gigi. Denpasar:Upada Sastra
8. Robinson, Philip. (1986), Beberapa Perspektif Sosiologi Pendidikan. Jakarta: CV.
Rajawali
9. Tilaar, H.A.R. (2000), Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
10. Yusuf, Syamsu. (2004), Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung:PT.
Remaja Rosdakarya

Aksara Dharma, Maret 2016 58


MOTIF SURYA MAJAPAHIT CANDI CETO DESA GUMENG KECAMATAN
JENAWI KABUPATEN KARANGANYAR DAN APLIKASINYA PADA
MASASEKARANG

I Nyoman Suendi

ABSTRACT

Surya Majapahit yang terdapat di candi Ceto Desa Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten
Karanganyar merupakan peninggalan Majapahit sekitar tahun 1293 M. Terkait dengan nilai
budaya agama Hindu khususnya seni kriya. Tulisan ini menggunakan metode kualitatif
deskriptif melalui wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan Motif Surya
Majapahit terdapat lingkaran paling tengah agak besar dikelilingi garis-garis seperti sinar
yang membentuk segitiga berjumlah delapan buah, sebagai simbol delapan dewa penjuru
mata angin. Di bagian tengah Surya Majapahit terdapat lingkaran kosong yang merupakan
dewa Siwa dilambangkan sebagai pusat. Motif Surya Majapahit berfungsi sebagai politik dan
lambang kebesaran dan bermakna religius. Aplikasi Motif Surya Majapahit sekarang
mengalami perubahan demi kepentingan ekonomi menjadi seni kerajinan yang bersifat
profan.

Kata Kunci : bentuk, fungsi, makna Motif Surya Majapahit

Pendahuluan

Kerajaan Majapahit adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia yang berdiri
bersamaan dengan runtuhnya kerajaan Singosari (1222-1292). Kerajaan yang terletak
didaerah Nusantara ini pada masa dulu termasyur dengan wilayahnya yang luas serta makmur
dan maju kebudayaannya. Majapahit merupakan kerajaan Hindu yang berada pada masa
1293-1522. Majapahit memiliki peninggalan yang beraneka ragam, diantaranya berupa
candi, dan juga benda-benda seni. Salah satu peninggalan masa kerajaan Majapahit yaitu
produk seni berupa motif yang disebut motif Surya Majapahit. Motif Surya Majapahit
merupakan salah satu peninggalan seni kriya berbahan batu dengan teknik pahat (ukir).
terdapat di Candi Ceto yang terletak di lereng gunung Lawu, di Kecamatan Jenawi
Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Surya Majapahit berbentuk lingkaran dengan sinar
berupa garis-garis yang memancar yang mengelilinginya .
Motif Surya Majapahit yang dilukiskan di candi ceto periode tahun 1448 – 1456 Masehi,
kini keberadaannya semakin jelas seraya mengisyaratkan dinamika kehidupan sosio-kultural ,
dan sosio-religius bernafaskan agama Hindu.
Dalam kaitannya membicarakan Motif Surya Majapahit di candi Ceto, yang terbayang
dipikiran kita adalah peristiwa yang terjadi pada masa lampau, yakni pada jaman Majapahit
yang pernah mengalami kejayaan pada abad-14 pada masa pemerintahan Prabu Hayam
Wuruk (1350-1380). Sartono Kartodirdjo (1998:38) mengungkapkan bahwa pada masa
Majapahit basis kekuasaan sebagian besar berada ditangan birokrasi sekuler, politik dan
militer, para pandita dari berbagai aliran dimasukkan birokrasi kerajaan dan pemerintah
menjamin birokrasi tersebut. Penguasa dan birokrasi mendominasi secara politis dan kultural
masyarakat Majapahit. Selanjutnya dijelaskan bahwa hampir seluruh kebudayaan Majapahit
adalah kebudayaan istana atau dapat dikatakan kebudayaan pada masa itu adalah ciptaan para
penguasa, milik serta hasil karya yang eksklusif dari para birokrasi seperti monumen,
kesusasteraan, tulisan-tulisan teokratis dan ajaran-ajaran hukum. Kebudayaan para

Aksara Dharma, Maret 2016 59


bangsawan dan para rohaniwan menjulang tinggi dan kebudayaan bukanlah harta benda
kultural rakyat.
Dari uraian tersebut dapat digaris bawahi bahwa pada masa Majapahit hasil benda kultural
adalah milik penguasa dan rohaniwan, sehingga salah satu hasil benda kultural berupa benda
seni, ide dasar pembuatan dan modal dasar pembuatannya memang dikuasai oleh para
penguasa dan rohaniwan. Sehingga sistem politik yang ada pada masa itu yang mana raja
dianggap dewa, maka raja memperkuat posisinya dengan lambang-lambang yang akan
menjadi simbol kekuasaan dan kebesarannya. Terkait adanya Motif Surya Majapahit
pemaknaannya pada saat ini masyarakat sekitar dan bahwa motif surya Majapahit adalah
lambang kebesaran kerajaan Majapahit.
Dalam hal ini keberadaan peninggalan-peninggalan budaya Hindu perlu dilestarikan serta
dikembangkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Bentuk, Fungsi dan Makna Motif Surya Majapahit di Candi Ceto Desa
Gumeng Kecamatan Jenawi Kabupaten Karanganyar?
2. Adakah perubahan aplikasi Motif Surya Majapahit pada masa sekarang ?

Pembahasan

A. Bentuk Motif Surya Majapahit Di Candi Ceto

Motif Surya Majapahit di Candi Ceto, terdapat pada madya mandala candi ceto,
berbentuk dua lapis yaitu lingkaran paling tengah agak besar, kemudian garis-garis sinar.
Lingkaran paling tengah dikelilingi garis-garis seperti sinar yang membentuk segitiga,
sejumlah delapan buah. Sebagai simbol Dewata Nawa sanga dalam agama Hindu, terdiri
dari Dewa Utama Iswara (Timur), Mahadewa (Barat), Wisnu (Utara), Brahma (Selatan),
Sambhu (Timur Laut), Rudra (Barat Daya), Mahesora (Tenggara), dan Sangkara (Barat
laut). Sedangkan bagian tengah berupa lingkaran kosong merupakan dewa Siwa yang
hanya dilambangkan dengan lingkaran sebagai pusat.

(Motif Surya Majapahit di Candi Ceto)

ANALISIS FUNGSI MOTIF SURYA MAJAPAHIT CANDI CETO

Aksara Dharma, Maret 2016 60


1. Motif Surya Majapahit Berfungsi Sebagai Sistem Politik dan Lambang
Kebesaran

Pada masa Majapahit mata pencaharian penduduk adalah bertani sehingga


persawahan merupakan tulang punggung perekonomian pada masa tersebut. Masyarakat
diharuskan memberikan hasil upeti maupun pajak untuk para pembesar yang berkuasa.
Adapun raja-raja yang memerintah masa Majapahit yaitu :
1) Raden Wijaya Kertarajasa Jayawardhana (1293-1309 M)
2) Jayanegara (1309-1328 M)
3) Tribuwanatunggadewi Jayawisnuwardhani (1328-1350 M)
4) Hayam Wuruk (1350-1389 M)
5) Wikramawardhana (1389-1429 M)
6) Suhita (1429-1447 M)
7) Dyah Kertawijaya (1447-1451)
8) Rajasawardhana (1451-1453)
9) Kekosongan Pemerintah (1453-1456)
10) Raja-raja lain(Runtuh 1500)
Dari sekian raja yang memerintah Majapahit mengalami masa jaya abad XIV, pada
pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) dengan patihnya Gajah Mada. Kemashyuran
Majapahit meninggalkan kebesaran berwujud benda yang sampai saat ini masih bisa
ditelusuri sisa-sisa kejayaan tersebut. Raja dan keluarganya juga mempunyai daerah
tanah dan persawahan tersendiri untuk diolah oleh para hamba-hamba raja. Untuk
perdagangan, istana mempunyai kekuasaan untuk mengawasi dan mengorganisasi sistem
perdagangan. Raja memiliki kekuasaan tertinggi dan memegang pengawasan tertinggi
atas kekuatan militer dan administratif.
Sartono Kartodirdjo juga mengungkapkan bahwa pada masa Majapahit basis
kekuasaan sebagian besar berada di tangan birokrasi sekuler, politik dan militer, para
pendeta dari berbagai aliran dimasukkan birokrasi kerajaan dan pemerintah menjamin
birokrasi tersebut. Penguasa dan birokrasi mendominasi secara politis dan kultural
masyarakat Majapahit.
"Tumbuhnya kekuasaan pusat di tangan raja yang dianggap sebagai dewa, memperkuat
posisi sekulernya dengan jalan mengikatkan diri pada suatu bentuk atau lambang-
lambang kekuasaan religius yang tertinggi, tidak memberi kesempatan kepada agama
untuk berkembang menjadi agama yang dominan dan bebas, baik politis maupun
ekonomis". (Sartono Kartodirdjo 1998:38)
Selanjutnya dijelaskan bahwa hampir seluruh kebudayaan Majapahit adalah
kebudayaan istana atau dapat dikatakan kebudayaan pada masa itu adalah ciptaan para
penguasa, milik séne hasil karya yang eksklusif dari para birokrasi, seperti: monumen,
kesusasteraan, tulisan-tulisan teokratis, dan ajaran-ajaran hukum. Kebudayaan para
bangsawan dan para rohaniwan menjulang tinggi dan kebudayaan bukanlah harta benda
kultural rakyat.
Dari uraian tersebut dapat digaris bawahi bahwa pada masa Majapahit hasil benda
kultural adalah milik para penguasa dan rohaniwan, sehingga salah satu hasil benda
kultural berupa benda seni, bisa dikatakan ide dasar pembuatan dan modal dasar
pembuatannya memang dikuasai oleh para penguasa dan rohaniwan.
Agama dan pemerintahan pada masyarakat Majapahit memegang peranan yang unik dan
tak dapat diabaikan. Agama dan pemerintahan itu menyebabkan terjadinya integrasi;
agama integrasi dalam kepercayaan dan ritual, dan pemerintahan integrasi dalam hal
hukum dan kekuasaan. Posisi politik disatukan dengan agama, dan ada tendensi untuk
membatasi spesialisasi (Sartono Kartodirdjo 1998:38-39)

Aksara Dharma, Maret 2016 61


Sehingga sistem politik yang ada pada masa itu yang mana raja dianggap sebagai
dewa maka raja memperkuat posisinya dengan lambang-lambang yang akan menjadi
simbol kekuasaan dan kebesarannya. Terkait adanya motif Surya Majapahit, saat ini
dapat difungsikan sebagai lambang kebesaran kerajaan Majapahit. Pemunculan motif
Surya Majapahitmenjadi lambang kekuasaan dan kebesaran raja (Sri Marwati, 2010 :
132).

Fungsi Sosial Ekonomi Motif Surya Majapahit

Pada masa sekarang motif Surya Majapahit banyak digunakan masyarakat Jawa Timur
untuk motif batik Mojokerto seabgai tanah kelahiran motif Surya Majapahit pada masa
kerajaan Majapahit.
Motif Surya Majapahit yang bernilai ekonomi dapat dijumpai pada hiasan interior
balai pelestarian purbakala (BP3) dan seni kerajinan sarung bantal sebuah seni klasik
lambang kerajaan terbesar di negeri ini. Surya Majapahit memberi inspirasi sebuah karya
seni yang menunjukan simbol kerajaan nusantara.

B. Makna Motif Surya Majapahit

a. Motif Surya Majapahit Candi Ceto Bermakna Keagamaan

Terkait dengan relief surya Majapahit di Candi Cetho Desa Gumeng Jenang
Karanganyar, disimbolkan sebagai Dewata Sanga oleh masyarakat Hindu dipercaya
sebagai dewa penjaga penjuru mata angin, sehingga keseimbangan dan ketentrama alam
semesta terjaga, makna Surya Majapahit juga merupakan wujud dari kepercayaan pada
Dzat Yang Maha Tnggi.

C. APLIKASI PERUBAHAN MOTIF SURYA MAJAPAHIT PADA MASA


SEKARANG

Aplikasi motif Surya Majapahit pada masa sekarang mengalami perubahan disebabkan
pada masa Majapahit pada kurun waktu abad 13-15 ditandai dengan masyarakat
agraris. Motif surya majapahit dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu masih sangat kuat.
Tetapi pada masa sekarang bangsa Indonesia menginjak kepada masyarakat industri
morif surya majapahit mengalami perubahan demi kepentingan ekonomi yakni
menjadi seni kerajinan yang bersifat profan, namun rohnya tetap bersifat religius.
Dalam hal ini seperti munculnya seni kerajinan batik motif surya majapahit Mojokerto
dan industri kerajinan bantal kursi surya majapahit seperti berikut ini :

a. Motif Batik Surya Majapahit Mojokerto

Saat ini motif Surya Majapahit sudah mengalami perubahan masih banyak
digunakan oleh masyarakat Jawa Timur antara lain untuk motif batik Mojokerto
maupun sebagai motif hiasan interior.

Aksara Dharma, Maret 2016 62


(Motif batik Surya Majapahit)

Seni membatik di pulau Jawa sudah berusia ratusan tahun. Sejarahnya dapat
diamati dari motif batik itu sendiri antara lain lukisan tanaman, binatang dan cerita
jaman dahulu dari menitik, menetes. Sebaliknya perkataan 'batik' dalam bahasa
krama 'serat' dan dalam bahasa ngoko 'tulis', atau melukis dengan lilin.
Pekerjaan membatik di zaman dahulu merupakan suatu pekerjaan kebanyakan
wanita dari kalangan bangsawan dan hasilnya hanya dipakai untuk kebutuhan
keluarga sendiri. Juga ada peraturan keras bahwa seseorang hanya boleh memakai
lukisan batik yang diijinkan. Dari beberapa macam lukisan batik, diantaranya
'parang rusak' hanya boleh dipakai oleh raja dan dilarang keras dipakai oleh orang
biasa. Oleh sebab itu batik dengan lukisan ini dinamakan juga 'larangan'. Semakin
lama batik semakin berkembang dan kini sudah banyak berdiri industri-industri batik
seperti batik motif Surya Majapahit M ojokerto.

b. Motif Surya Majapahit Hiasan Interior BP3 Trowulan

Untuk hiasan interior antara lain digunakan oleh Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP 3) Trowulan. Adapun motif Surya Majapahit yang ada di Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP 3) Trowulan dengan motif teratai.

(Surya Majapahit dengan motif bunga teratai

Surya Majapahit di atas terdapat pada ukiran meja berbahan kayu di Museum
Trowulan. Berbeda dengan Surya Majapahit pada masa dulu yang diukir dengan
tokoh dewa-dewa Hindu, Surya Majapahit di atas berbentuk lingkaran yang tersusun
atas dua lapis yaitu lingkaran kecil di bagian tengah kemudian lingkaran yang lebih
besar. Pada bagian lingkaran kecil di ukir motif bunga teratai, yang mana dalam
kepercayaan Hindu motif bunga teratai melambangkan kesucian. Bagian lingkaran
yang lebih besar terdiri dari delapan bagian, juga di ukir motif bunga teratai tetapi
hanya bagian kelopak saja yang mengisi ke delapan bidang bagian tersebut.
Aksara Dharma, Maret 2016 63
Sedangkan bagian yang mengelilingi lingkaran tersebut berupa garis-garis yang
membentuk segitiga sejumlah delapan buah. Masing-masing bidang segitiga tersebut
juga diukir garis berbentuk setengah lingkaran dan dikelilingi motif potongan
kelopak bunga teratai yang tersusun membentuk segitiga dan bagian ujungnya
berbentuk lingkaran kecil.
Bentuk motif ini merupakan pengembangan bentuk motif Surya Majapahit yang
mana pada masa sekarang kehidupan beragama di wilayah Trowulan lebih banyak
didominasi oleh masyarakat yang beragama muslim sehingga perwujudan dewa-
dewa Hindu diganti dengan motif bunga teratai yang melambangkan kesucian.
Unsur sinkretisme antara islam dan hindu juga berperan dalam perwujudan Surya
Majapahit di atas.
Bentuk lingkaran yang dibagi delapan dalam motif ini berkaitan dengan bilangan
8+1, dalam kepercayaan Jawa melambangkan ajaran "Astabhrata". Ajaran Astabrata
yaitu ajaran keutamaan sifat baik yang mencerminkan ekspresi budaya Jawa
(Dharsono 2007:38). Sedangkan lingkaran bagian tengah sebagai pusat yaitu
manusia sebagai pusat pengendali. Menurut Edi Sedyawati dalam Sri Marwati (2010
: 145) dan sifat-sifat baik sesuai Astabhrata yaitu :

1) Dewa Indra, bratanya ialah sifat dan watak angkasa, intinya pemimpin
hendaknya mempunyai keluasan batin dan mengendalikan diri sehingga mampu
bersifat sabar
2) Dewa Surya, bratanya ialah sifat dan watak matahari, intinya pemimpin harus
memiliki sifat mendorong dan menumbuhkan daya hidup baik bagi dirinya
maupun rakyatnya ,
3) Dewa Bayu, bratanya ialah sifat dan watak angin, intinya pemimpin hendaknya
dekat dengan rakyatnya tidak membedakan derajat
4) Dewa Kuwera, bratanya ialah sifat dan watak bintang, intinya pemimpin
hendalmya menjadi teladan bagi rakyatnya
5) Dewa Baruna, bratanya ialah sifat dan watak samudra, intinya pemimpin harus
berlaku adil dan bijaksana
6) Dewa Agni, bratanya ialah sifat dan watak api, intinya pemimpin hendaknya
berwibawa dan berlaku adil
7) Dewa Yama, bratanya ialah sifat dan watak bumi, intinya pemimpi, hendaknya
murah hati dan pemberi
8) Dewi Candra, bratanya ialah sifat dan watak Bulan, intinya hendaknya mampu
menerangi dengan mendorong rakyatnya ketika sedang kesulitan

c. Sarung Bantal Motif Surya Majapahit

Untuk satu-satunya di Indonesia yang unik seni kerajinan tangan sarung bantal,
ornamen kulit yang menghiasi sarung (serehan) yang menghiasi sarung bantal
sebuah seni klasik lambang kerajaan terbesar di negeri ini surya majapahit
memberikan inspirasi sebuah karya seni yang menunjukkan simbol kerajaan
nusantara (id.wikipidia.org).

Aksara Dharma, Maret 2016 64


(Seni kerajinan sarung bantal motif Surya Majapahit)

SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang berjudul Bentuk, Fungsi dan Makna Motif Surya
Majapahit Candi Ceto di Kabupaten Karanganyar dan aplikasinya pada masa sekarang dapat
diambil beberapa simpulan seperti berikut ini :
Motif Surya Majapahit yang terdapat di candi Sukuh dan candi Ceto diciptakan bukan
karena tanpa tujuan, motif Surya Majapahit diciptakan terkait kehidupan masyarakat kerajaan
Majapahit. Penciptaan motif Surya Majapahit ini mempunyai masyarakat pendukungnya
sendiri yaitu masyarakat pada masa itu sebagai lambang kebesaran kerajaan Majapahit atau
lambang kebesaran kuasaan raja. Terkait keyakinan pada agama Hindu saat itu tercipta relasi
antara motif Surya Majapahit dan masyarakat Majapahit sehingga terdapat relasi nilai
keagamaan. Penciptaan motif Surya Majapahit digerakkan oleh adanya kebutuhan religius,
ada kebutuhan untuk mengekspresikan nilai-nilai religinya.
Pengetahuannya tentang nilai-nilai keagamaan Hindu tentang kepercayaan pada Dewa
penjaga arah mata angin menjadi pendorong terciptanya motif yang melambangkan
kedudukan dewa-dewa penjaga mata angin tersebut. Benda seni motif Surya Majapahit ini
mempunyai nilai bagi masyarakat pendukungnya sehingga benda seni ini bernilai spiritual.
Terkait konsep mandala, motif Surya Majapahit merupakan lambang kesatuan makrokosmos
dan mikrokosmos.
Perwujudan motif Surya Majapahit pada masa sekarang merupakan perwujudan yang
dipengaruhi oleh lingkungan sosial masyarakat setempat yaitu masyarakat Trowulan yang
sudah terkondisikan berada dalam wilayah di mana dulu kerajaan Majapahit berada.
Keberadaan motif Surya Majapahit berbeda penggunaan dan pemanfaatnya dengan fungsi
motif Surya Majapahit pada masa dulu karena memang masyarakat pendukungnya sudah
berbeda. Saat ini masyarakat Trowulan atau Mojokerto menggunakan motif Surya Majapahit
ini hanya berfungsi sebagai hiasan seperti untuk motif hiasan interior sehingga
pemaknaannya pun sudah berbeda dengan pemaknaan motif Surya Majapahit pada masa
kerajaan Majapahit dulu.

SARAN

Dalam membangun kehidupan beragama dan seni perlu dikembangkan pola pemikiran yang
luas, karena bangsa Indonesia secara realitas terdiri dari beraneka suku, budaya, tradisi dan
agama.
Perkembangan seni dan agama tergantung tingkat kepengaruhan budaya yang
beragam (multi culture) oleh pengaruh agama, kepercayaan, pendidikan yang memberi warna
setiap daerah. Seni dan agama yang ada di Indonesia merupakan kebudayaan masyarakat
dengan segala falsafah yang melatarbelakanginya. Dengan pemahaman ini diharapkan kepada
pemerintah khususnya kementerian agama untuk lebih memperhatikan kearifan lokal yang

Aksara Dharma, Maret 2016 65


ada dalam masyarakat. Dalam konteks ini pula diharapkan kepada pemerintah untuk ikut
berperan aktif dalam menjaga dan melestarikan budaya adiluhung berupa candi-candi. Dalam
proses penjagaan budaya diharapkan untuk menghindari praktek-praktek klaim budaya
kepada para budayawan dan tokoh agama agar selalu memberi ketauladanan kepada umatnya
dalam proses interaksi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Baskoro Danu Thahjono dan Nurhadi Rangkuti. 2000. CandiSawentar II di Blitar.


Penerbit : Balai Arkeologi Yogyakarta.
2. Hasan, 2012. MasaAkhirMajapahitGrindrawarddhanadanMasalahnya. Universitas
Indraprasta PGRI Jakarta.
3. Harbono, Harmanu. 1994. MetodologiPenelitianSejarah. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Herimanto, 2008. MengenalBangunanBersejarah di Indonesia. PT. Tiga Serangkai.
Pustaka Mandiri Solo.
5. Kajian Atas Data Hasil Ekskavasi. 1985. Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta
6. Koentjaraningrat. 1977. MetodePenelitianMasyarakat. Jakarta : Gramedia.
7. Marwati, Jakob Sumardjodkk. 2010. Prosiding Seminar NasionalEstetika Nusantara, ISI
Surakarta.
8. Sajid, R.M. 1958. Bauwarna Wayang (Jilid 1). KeteranganlanRinenggoingGambar-
gambar. Surakarta :Widya Duta.
9. Soeyono Wisnoe Whardono. 1995. KomplekPercandianPanataran di Blitar. Penerbit :
KPN. Purbakala, Mojokerto.
10. Sutopo, HB. 2006. PenelitianMetodologiKualitatif. Surakarta :Universitas Sebelas Maret.
11. Soekamto, 1994. PengantarSejarahKebudayaanIndonensia II. Yogyakarta. Kanisius.
12. Suparta Ardhana Ida Bagus. SejarahPerkembangan Agama Hindu di Indonesia.
Surabaya. Paramitha.
13. Trubus. 1993. CandiKeboireng, PasuruandanBeberapaPermasalahannya :
14. Tim Penyusun. 1997. BukuPendidikan Agama Hindu UntukPerguruanTinggi. Hanoman
Sakti. Jakarta.
15. Tri Guna Ida Bagus,Mengenal Teori-teori Pembangunan, Widya Dharma, Denpasar
timur Bali.
16. Tri Guna Ida Bagus, 1996, Sosiologi Hindu, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Hindu dan Budha, Departemen RI, Jakarta
17. Wulansari Dewi. 2009. SosiologidanTeori.PT. Refika Aditama. Bandung.
18. Yudhoseputro, Wiyoso. 1983. MengenalRagamHiasJawa (Jilid 1b). Jakarta. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.

Aksara Dharma, Maret 2016 66


NILAI - NILAI PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM TARI BEDHAYA
KETAWANG

Widhi Astuti
Prodi Penerangan Agama Hindu
STHD Klaten

Abstrak

Tari Bedhaya Ketawang merupakan salah satu tarian tertua diantara tari bedhaya yang
lain. Didalam pemikiran masyarakat jawa, kenyataan budaya dan kenyataan dari alam lahir
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat Jawa adalah figur yang
akrab dari tradisi leluhurnya. Masyarakat Hindu, sangat kental dengan adat yang serba
dengan sesaji, sehingga kebudayaan, budaya, norma, dan etikanya senantiasa tetap ingin
dipertahankan dan dihormati dan diyakini. Dalam ajaran agama Hindu diajarkan tiga bentuk
hubungan yang baik dalam hidup, yakni yang disebut dengan trihita karana, hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan
alam. Tiga hubungan tersebut dapat kita temui didalam tari Bedhaya Ketawang. Nilai-nilai
pendidikan religiulitas dalam tari Bedhaya Ketawan tercermin dalam pola dan tingkah laku
yang serba susila, teratur, sopan, berbudi luhur, halus, pada hakikatnya merupakan usaha
untuk mengendalikan hawa nafsu. Perilaku tersebut tidak hanya tercermin dari kehidupan
sehari- hari, melainkan bisa tercermin dari bentuk kesenian, baik dari segi konsep ataupun
dari wujudnya. Tari Bedhaya Ketawang dijadikan sarana jumenengan raja dan tinggalan
jumenengan raja. Sifat kesakralan dan kekeramatan tari ini menyebabkan tari Bedhaya
Ketawang menjadi satu- satunya tari keraton yang masih tetap bertahan didalam keraton.
Fungsi tari Bedhaya Ketawang sebagai sarana upacara jumenengan raja dan tinggalan
jumenengan raja, menempatkan tari Bedhaya Ketawang sebagai sarana ritual dan bersifat
sangat sakral. Kesakralan dalam tari Bedhaya Ketawang ini disebabkan masih kuatnya
keyakinan masyarakat jawa kepada makhluk- makhluk halus dan hal- hal yang bersifat gaib
yaitu datangnya Kanjeng Ratu Kencana Sari, penguasa Laut Selatan yang diyakini
berkunjung pada saat tari Bedhaya Ketawang ditampilkan dan terkadang beliau
membenarkan jika ada gerakan penari yang salah.

Kata kunci; Tari Bedaya Ketawang, Nilai Religius

Pendahuluan

Keraton Surakarta merupakan salah satu aset kebudayaan yang masih ada sampai
sekarang yang memang harus di lestarikan. Pada dasarnya keraton Surakarta memiliki banyak
keunikan dengan nilai- nilai budayanya. Salah satu budaya atau keunikan tersebut bisa kita
lihat dari bentuk keseniannya yang masih sangat tradisional dan masih terpatok oleh pakem-
pakem tertentu, yang salah satunya adalah Tari Bedhaya Ketawang. Dalam Keraton
Surakarta memiliki banyak sekali tari- tarian tradisi yang dalam penyajiannya digunakan
untuk keperluan- keperluan tertentu, yang salah satunya adalah tari Bedhaya ketawang. Tari
Bedhaya Ketawang merupakan salah satu tarian yang dianggap sebagai induk dari tari
bedhaya lainnya disamping tari yang paling tua , juga tari bedhaya ketawang ini merupakan
tarian yang sangat istimewa. Sehubungan dengan pembahasan tersebut maka dalam
pelaksanaan ataupun penyajian tari Bedhaya Ketawang itupun banyak memakai sesaji, karena

Aksara Dharma, Maret 2016 67


dipercaya sebagai tarian sakral, dan bersifat teosentris baik dalam pembuatan ataupun
penyajian dari pada tarian itu sendiri semua serba mengandung sakral.

Pembahasan

Berawal dari sebuah cerita terciptanya Tari Bedhaya Ketawang adalah karena
pertemuan antara Panembahan senopati masa mudanya bernama Danang Suto Wijayo
dengan Kanjeng Ratu Kidul (Kanjeng Ratu Kencana Sari). Kangjeng Ratu Kidul pada masa
mudanya bernama Dewi Retna Suwida, seorang putri dari Pajajaran, anak Prabu
Mundhingsari, dari istri yang bernama Dewi Sarwedi, cucu Sang Hyang Suranadi, cicit Raja
Siluman di Sigaluh. Layaklah bila sang putri ini menderita sakit budhug (lepra/ kulit)
kemudian melarikan diri dari kraton dan bertapa di pantai selatan. Selama bertapa Sang putri
sering nampak kekuatan gaibnya, dapat berganti rupa dari wanita menjadi pria atau
sebaliknya. Sang putri tidak bersuami (wadat) dan menjadi ratu di antara mahluk seluruh
pulau Jawa. Istananya di dasar samudera Indonesia. Masalah ini tidak mengherankan, karena
sang putri memang mempunyai darah keturunan dari mahluk halus. setelah menjadi ratu sang
putri lalu mendapat julukan Kangjeng Ratu Kidul ( Kanjeng Ratu Kencana Sari).
Di tengah- tengah persemediannya Panembahan Senopati juga bertapa di pantai
selatan, yang mengakibatkan Kanjeng Ratu Kidul Merasa Terganggu dengan kehadiran
Panembahan Senopati akhirnya terjadilah perang batin antara Panembahan Senopati dengan
Kanjeng Ratu Kencana Sari. Karena Kekuatan yang dimiliki oleh Panembahan Senopati
terlalu besar akirnya dalam peperangan tersebut Kanjeng Ratu Kidul kalah dan akhirnya
mengabdi dan bersedia menjadi permaisuri Panembahan Senopati. Berawal dari situlah Tari
Bedhaya Ketawang tercipta karena tarian tersebut menggambarkan kisah percintaan Kanjeng
Ratu Kidul dengan Panembahan Senopati maka tarian tersebut juga disebut tari kesuburan.
Sargini yang merupakan salah satu abdi dalem Keraton Surakarta manambahkan
bawasanya Tari Bedhaya merupakan salah satu tarian yang terbentuk dan berkembang di
lingkungan tembok keraton. Tarian ini konon berasal dari tarian candi yang dalam
penyajiannya dengan memakai gerakan halus dan lentur dalam teknik sajian koreografi yang
sangat rumit. Sebagai salah satu tarian yang berasal dari candi maka Tari Bedhaya banyak
mengandung unsur simbolik dan mempunyai makna tertentu entah itu dari rias busana,
kostum, gerak, gendhing, pola lantai, semuanya yang merupakan rangkaian yang digunakan
dalam penyajian tari Bedhaya tersebut.
Mengingat Tari Bedhaya Ketawang dianggap sangat rumit, istimewa dan mempunyai
kedudukan tertinggi menyangkut agama dan kepercayaan, adat upacara(seremoni), sakral,
religius,tarian percintaan atau perkawinan, maka pembinaan Tari Bedhaya Ketawang
mendapat prioritas istimewa :
3
a) Pengayom dan perhatian langsung dari raja ( Sunan)
b) Dalam lembaga khusus (abdi dalem bedhaya)
c) Tempat latihan cukup luas dan terhormat (Pendapa Ageng Parsedya)
d) Semua fasilitas dicukupi (latihan dan pagelaranya)
e) Terhormat (dekat sunan dan mungkin bisa menjadi permaisuri)
f) Kedudukan dan gaji (pangkat dan biaya)
g) Sangat intensif (dua kali seminggu dengan banyak pelatih)
h) Iringan langsung dengan karawitan (karawitan lengkap)

Komponen-komponen Tari Bedhaya Ketawang

1. Adat upacara

Aksara Dharma, Maret 2016 68


Dalam keraton surakarta tari Bedhaya Ketawang jelas bukan merupakan tarian yang
untuk dipertontonkan atau bersifat profan, karena tari Bedhaya Ketawang tersebut hanya
ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh
suasana menjadi sangat khusuk, sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan
dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Tarian ini hanya dipergelarkan
setahun sekali. Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidak dibenarkan
orang merokok. Makanan, minuman atau pun merokok dianggap hanya akan
mengurangi kekihmatan jalannya upacara adat yang suci ini. (K.G.P.H. Hadiwijaja,
1974:12)

2. Sakral

Tari bedhaya ketawang dipandang sebagai tarian ciptaan panembahan senopati


dengan Kanjeng Ratu Kencana sari / Kanjeng Ratu Kidul yaitu Ratu diantara seluruh
makhluk halus. Bahkan orang percaya setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang
pencipta selalu hadir juga ikut menari. Tidak semua orang dapat melihatnya, hanya pada
mereka yang peka saja sang pencipta ini menampakkan diri (K.G.P.H. Hadiwijaja,
1974:13). Dalam hal ini ada dugaan, bahwa semula Bedhaya Ketawang itu adalah tarian
dicandi- candi. Seperti yang telah diungkapkan oleh Bp. Wahyu Santoso Prabowo yang
merupakan empu Tari sekaligus dosen ISI Surakarta ini bahwa Sifat teosentris didalam
tari tradisi keraton tampaknya sangat melekat sejak jaman prasejarah, dimana manusia
masih terkungkung dengan kekuatan- kekuatan supranatural yang berada diluar dirinya.
Ketidak berdayaan manusia membuat ia sangat tergantung pada kekuatan supranatural
itu. Hal ini ditandai dengan berbagai kegiatan tari untuk upacara pemujaan kepada
sesuatu yang tidak tampak (dewa- dewa, alam raya, penguasa jagad, kang mbaureksa)
yang pada intinya bahwa sifat teosentris ini menunjukan hubungan manusia dengan hal-
hal yang bersifat gaib. Seperti dalam ajaran agama manusia dengan manusia, manusia
dengan alam dan yang terakir adalah manusia dengan Tuhan.

3. Religius

Tari Bedhaya Ketawang memang sudah sangat jelas sekali ada hubungan religius
yang dapat dilihat mulai dari latihannya yang menggunakan uborampe atau banten sesaji
yang sangat rumit, dan juga masalah penarinya harus melakukan makemit terlebih
dahulu. Dari segi religi juga dapat diketahui dari kata- kata yang dinyanyikan oleh
suarawati atau pesinden tari Bedhaya Ketawang. Antara lain yang berbunyi :....tanu
astra kadya agni urupe, kantar- kantar kyai,....yen mati ngendi surupe, kyai?“ (
.........kalau mati kemana tujuannya, kyai?). Dalam istilah jawa “Manunggaling Kawula
Gusti“ semua yang ada akan kembali ke asalnya, menyatu dengan Tuhan atau Ida
Hyang Widhi Wasa. Dalam hindu juga disebutkan “Moksartam jagaditta ya ca iti
dharma“ yang berarti tujuan akhir dalam hidup adalah moksa, menyatu dengan Tuhan.
Dalam arti,dapat membebaskan dirinya (pikiran dan perasaannya) dari ikatan
keduniawian serta pengaruh suka dan duka yang muncul dari Tri Guna akan dapat
mencapai kelepasan itu, sebagaimana diungkap dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
“Brahabhutah prasanatma,na sochati na kankshanti,samah sarveshu
bhuteshu,madbhaktim labhate param“
Artinya: Setelah menjadi satu dengan Brahman jiwanya tentram, tiada dhuka tiada nafsu-
birahi, memandang semua makhluk-insani sama, ia mencapai pengabdian kepada-Ku
yang tertinggi. (Bhagawadgita, XVIII.54)

Aksara Dharma, Maret 2016 69


4. Tarian Percintaan atau Tarian Perkawinan.

Tarian Bedhaya Ketawang Melambangkan curahan cinta antara Panembahan


Senopati dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari/ Kanjeng Ratu Kidul. Salah satu yang jelas
dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawinan ialah ,
bahwa semua penarinya diiris sebagai lazimnya mempelai akan dipertemukan. Hal lain
tercantum dalam hafalan nyanyian yang mengiringi tarian , jelas sekali menunjukkan
gambaran curahan asmara Kanjeng Ratu yang merayu dan bercumbu.

5. Penari Bedhaya Ketawang

Tarian upacara dengan latar belakang keramat terutama merupakan tarian wanita.
Tidak lebih dari 50 tahun yang lalu tarian ini hanya boleh dipentaskan dikeraton saja. Di
keraton tarian ini hanya boleh ditarikan pada hari- hari besar tertentu, sedangkan para
penari sudah sejak berhari- hari sebelum pementasan harus mematuhi berbagai
kewajiban serta pantangan tertentu, agar dapat tercipta suatu suasana yang keramat.
Penari tarian seperti itu adalah biasanya gadis- gadis kecil, tetapi ada juga beberapa
tarian yang ditarikan oleh anak- anak pria berpakaian wanita. Beberapa tarian suci
ditarikan oleh wanita- wanita dewasa, dan ada tarian yang agak baru dan dianggap tidak
begitu keramat yang ditarikan oleh gadis- gadis remaja. Ada dua jenis tarian upacara
keramat, yaitu Bedhaya dan Srimpi (Koentjaraningrat, 1994: 298.)
Tarian Bedhaya Ketawang adalah sebuah tarian 'mistik' hubungan batin antara
raja-raja dinasti Mataram dan penerusnya dengan penguasa laut selatan atau yang lebih
dikenal dengan Kanjeng Ratu Kidul (Budiyanto, 2013). Tari Bedhaya Ketawang ini
diperagakan oleh Sembilan penari putri yang belum menikah atau yang masih perawan,
masih gadis. Yang boleh menarikan tari Bedhaya Ketawang ini pada jaman dahulu
adalah orang yang masih ada darah keturunan raja, dan orang- orang yang hidup di
lingkungan dalam tembok keraton, mengingat sangat sacral dan keramatnya tarian ini,
maka sebelum menarikan para penari menjalani berbagai aturan. Yakni sebelum mbeksa/
menarikan sehari sebelum menari para penari di pingit artinya para penari tidak boleh
keluar ruangan yang telah di tentukan secara sembarangan. Selama dipingit para penari
memakai jarit dan kemben, dan sudah memakai sanggul dengan dirias memakai
kerangka paes agung. Penari ini harus yang masih gadis dan dalam menarikan tidak
diperkenankan penari yang sedang mengalami mensturasi, karena itu juga dapat
mengurangi kesakralan dari pada tari Bedhaya Ketawang tersebut (wawancara, R.T.
Pamardi Bedhaya, 07 maret 2014)

6. Komposisi Tari– Pola Lantai Bedhaya Ketawang

Komposisi merupakan paduan atau percampuran dari berbagai unsure untuk


membuat suatu keutuhan dari suatu bentuk garap tari. Dalam Tari Bedhaya Ketawang ini
menggunakan komposisi tari putri tradisional keraton yang ditarikan oleh sembilan
orang penari putri. Dari Sembilan penari putri tersebut digunakanlah untuk menyusun
beberapa pola lantai yang dibutuhkan. Pola lantai merupakan garis-garis yang dibuat
oleh seorang penari dalam sebuah pertunjukan. Pola lantai dalam Tari Bedhaya
Ketawang menggunakan beberapa macam atau ragam pola lantai seperti gawang jejer
wayang, gawang motor mabur, gawang tiga- tiga, gawang urut kacang, gawang
kalajengking, dan gawang perang.

Aksara Dharma, Maret 2016 70


Menurut Raden Tumenggung Pamardi Bedhaya pola lantai tari bedhaya ketawang
memiliki makna pendidikan tersendiri, missal pola gawang montor mabur memiliki arti
bahwa dalam hidup manusia harus mempunyai keseimbangan. Konsep keseimbangan
antara makrokosmos dan mikrocosmos. Berdasarkan observasi perpindahan pola lantai
ini dilakukan ketika ada perubahan suasana atau perubahan bentuk gerak penari dengan
melakukan berbagai pertimbangan dan pengaturan sehingga pola lantai dapat menjadi
bagian dari kesatuan utuh garap Tari Bedhaya Ketawang ini.

7. Gerakan Tari Bedhaya Ketawang

Gerak sebagai medium pokok dalam tari menjadi bagian yang terpenting untuk
dijabarkan dalam tulisan ini. Gerak terkandung dalam strukturnya, mengalir secara
alamiah dari berbagai sumber dan tingkah laku manusia sehingga tak akan kekeringan
atau harus mencari-cari agar komposisi tetap hidup. Penggunaan ragam gerak serta alasan
memilihnya dalam implementasi setiap komposisi tari memerlukan kejelian dan
ketajaman rasa untuk menciptakan imajinasi yang selaras dengan tema. Begitu juga gerak
yang digunakan dalam menyajikan Tari Badhaya Ketawang ini. Bedhaya ketawang dalam
geraknya merupakan salah satu bentuk gerak yang memiliki unsure – unsure tertentu yang
berhubungan dengan alam, gaib dan begitu juga Tuhan. Kita dapat melihat bahwa dari
setiap gerakanya memiliki symbol dan makna, missal leyekan yaitu gerak penari meliuk-
liuk itu seperti halnya pohon yang tertiup angin atau mucang kanginan, ada juga gerak
awal yaitu gerakan sembah atau manembah sebelum menari yang di artikan sebelum kita
menari kita manembah dulu pada Hyang Esa. Apabila dikaitkan dalam agama hindu,
seperti halnya kita sembahyang, yaitu menyembah pada Hyang Maha Agung karena pada
dasarnya alam semesta itu akan mengalami proses awal (penciptaan) dan pralaya
(kembali keasalnya) seperti yang tercantum dalam Kitab Bhagawadgita sebagai berikut:
“Etadyonini bhutani sarvani ‘ty upadharaya, aham kritamasyajagatah prabhavah
pralayas tatha”
Artinya:
Ketahuilah bahwa semua insane mempunyai sumber kelahiran disini, aku adalah asal
mula alam semesta alam semesta ini demikian pula kiamat kelaknya ini”
(Bhagawadgita, VII.6)
Didalam menarikan tari Bedhaya Ketawang ini memang melatih kesabaran. Seperti
yang diutarakan oleh Kanjeng Gusti Pangeran Harya Poeger yang merupakan pengageng
sasono pustoko keraton Surakarta beliau menyebutkan bahwa untuk menarikan tari
Bedhaya Ketawang memang harus sareh, karena dalam menarikan bedhaya melatih
kesabaran. Disini kesabaran yang dapat di artikan bahwa dalam hidup kita tidak boleh
tergesa- gesa dalam mengambil suatu keputusan, seperti halnya dalam menjalani hidup
orang jawa sering menyebutkan “ alon- alon waton kelakon” jadi seadainya dalam
perjalanan hidup sekarang ini kita belum bisa meraih apa yang kita inginkan, pasti kita
akan mendapatkannya kesempatan dilain waktu asal kita mau berusaha dan bekerja keras.
(Wawancara, 25 Februari 2014)

8. Tata Rias dan Tata Busana Tari Bedhaya Ketawang

Kostum merupakan salah satu adribud yang digunakan dalam mbeksa atau menari.
Dalam tari Bedhaya Ketawang yang ada di keraton Surakarta yakni memakai busana
dodot ageng, dengan cirri kas seperti temanten jawa basahan. Kostum yang dikenakan
pada tari Bedhaya Ketawang ini memang sangat rumit. Baik dari tata riasnya maupun
tata busananya. Dodot memiliki dua jenis, jenis yang pertama adalah dinamakan dodot

Aksara Dharma, Maret 2016 71


“Gadung Melati” dan “Bango Buthak” dodot ini digunakan untuk kalangan keraton,
sedangkan dodot “ cuwiri” itu digunakan untuk masyarakat umum. Tari Bedhaya
Ketawang disini dalam pementasanya menggunakan dodot “ Ageng Ngumbar Kunco’
yaitu dodot alas- alasan berwarna hijau dengan blumbangan warna putih. Adapun rias
dan busana yang di gunakan penari Bedhaya Ketawang antara lain : Dodot ageng
Ngumbar Kunco, Cunduk Mentul, Subang / Suweng, Cunduk Jungkat, centhung,
penetep, bros, gelang, kalung, slepe, buntal, kembang tibo dodo, cincin. Sampur, rajut
melati.

9. Gending- Iringan Tari Bedhaya Ketawang

Musik merupakan suatu bagian yang terkadang tidak bisa ditinggalkan, karena musik
merupakan suatu pasangan atau sebagai pelengkap dari tari. Dalam penyusunan dan juga
untuk menambah sebuah kwalitas dari sebuah karya atau pertunjukannya yang
menggabungkan adanya iringan musik yang menjadi bagian dari susunan koreografinya.
Keberadaan musik dalam karya ini tidak hanya sebagai pengiring ataupun sebagai
ilustrasi, namun menjadi satu kesatuan yang utuh antara musik dan tari. Sebagai medium
yang sangat penting keberadaannya musik dapat memunculkan warna koreografi dan
mendukung kekuatan pada bagian- bagian penting dalam seluruh sajian. Pengolahan
beberapa unsur bunyi diharapkan dapat menimbulkan efek surprise, artinya pada bagian
tertentu secara terencana terdapat suara serta momen gerak yang dilakukan secara tiba-
tiba sehingga dapat membawa dan memancing penonton ke dalam suasana yang akan
dihadirkan dalam garapan atau karya tersebut.

10. Sesaji yang digunakan dalam tari Bedhaya Ketawang

Jawa merupakan salah satu daerah yang sangat luas yang meliputi seluruh bagian
tengah dan timur. Jawa sering disebut dengan istilah kejawen. Dalam hal sesaji jawa
sangat kental dengan hal- hal tersebut karena merupakan salah satu unsure dari budaya.
Bersama- sama dengan pandangan alam pikiran partisipasi tersebut, orang Jawa percaya
kepada suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan dimana saja yang pernah dikenal,
yaitu kasekten, kemudian arwah atau ruh leluhur dan makhluk- makhluk halus seperti
misalnya memedi, lelembut, tuyul, demit, serta jin dan lainnya yang menempati alam
sekitar tempat tinggal mereka. Menurut kepercayaan masing- masing makhluk haluus
tersebut dapat mendatangkan sukses- sukses, kebahagiaan, ketentraman ataupun
keselamatan, tetapi sebaliknya bisa pula mendatangkan gangguan pikiran, kesehatan,
bahkan kematian. Maka bila mana seseorang ingin hidup tanpa menderita gangguan itu,
ia harus berbuat sesuatu untuk mempengaruhi alam semesta dengan misalnya berbatin,
berpuasa, berpantang, melakukan perbuatan serta makan- makanan tertentu,
berselamatan, bersesaji.( Prof.Dr. Koentjaraningrat.1997. 347). Maka di lingkungan
keraton tak lepas dari unsure budaya yang ada dan masih sangat melekat. Sehingga
dalam segala kegiatan di lingkungan keraton masih sangat erat sekali hubunganya
dengan hal- hal yang magis dan mistis. Seperti Tari Bedhaya Ketawang. Dalam latihan
sampai dengan pementasannya Tari Bedhaya Ketawang tidak lepas dari unsure
magisnya. Tari Bedhaya Ketawang memang baik dikalangan keraton dan diluar tembok
keraton masih sangat terkenal dengan kesakralannya, karena tidak semua orang dapat
melihatnya. Kesakralan itu terjadi dibuktikannya dengan beberapa kejadian aneh seperti
yang diungkapkan oleh sari seorang penari bedhaya ketawang:
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian yang amat sakral, selain itu merupakan
pusaka Keraton Surakarata. Maka tidak semua orang tidak diperbolehkan untuk melihat

Aksara Dharma, Maret 2016 72


apalagi mengambil gambar atau dokumentasinya baik dalam waktu latihan apalagi
waktu jumenengan raja, karena itu bisa mengurangi kesakralannya.

Nilai- nilai pendidikan yang terkandung dalam Tari Bedhaya Ketawang

Pendidikan adalah suatu proses panjang dalam rangka mengantarkan manusia menjadi
seseorang yang kaya spiritual dan intelektual, sehingga dia dapat meningkatkan kualitas
hidupnya di segala aspek dan menajalani kehidupan dengan cita-cita dan tujuan yang pasti
(Maarif, 1996: 6). Sudah kita pelajari bawasanya Tari Bedhaya Ketawang merupakan simbol
dari kekuasaan raja, yang merupakan salah satu aset keraton surakarta. Pada jaman dahulu
orang menciptakan sebuah karya pastinya melalui perhitungan yang sangat matang. Dahulu
leluhur kita menggunakan akal sehat untuk tetap bertahan hidup dan membuat karya-
karyanya. Raja sebagai penghubung antara manusia, alam dengan Tuhan. Raja dipercaya
memiliki kekuatan yang sangat dasyat, oleh sebab itu banyak orang yang berbondong-
bondong untuk mengabdikan diri untuk- Nya. Tari Bedhaya Ketawang merupakan Tari
ciptaan Kanjeng Ratu Kencana Sari dengan Panembahan Senopati. Dalam penciptaannya
beliau bertapa, maka hasil dari ciptaanya pun juga bagus. Tari bedhaya Ketawang ini
memang sangat rumit dipandang dari sudut manapun serba rumit. Dilihat dari makna, simbol
yang ada pada Tari Bedhaya Ketawang sangat bagus berisi tentang ke- Tuhanan dan ajaran-
ajaran kebaikan / ajaran dharma. Maka tak heran jika penulis penasaran untuk meneliti Tari
Bedhaya Ketawang ini. Tari Bedhaya Ketawang selain berisikan tentang ke- Tuhanan juga
berisikan tentang pendidikan etika, budi pekerti dan kedisiplinan.

a. Pendidikan Etika

Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter,
watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep
yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan
yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Menurut Martin (1993),
etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or
reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam
batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya.
Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia,
etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik
sengaja dibuat berdasarkan prinsip- prinsip moral yang ada dan pada saat yang
dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam
tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari
kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self
control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan
kelompok sosial (profesi) itu sendiri. Seperti yang kita ketahui bawasanya banyak sekali
nilai etika yang terdapat pada tari Bedhaya Ketawang. (Lindsay , 1991 : 436 )
mengatakan :
Kesenian tradisional adalah suatu ekspresi hasrat manusia akan keindahan dengan
latar belakang tradisi/ sistem budaya masyarakat pemilik kesenian tersebut. Dalam karya
seni tradisional tersirat pesanan dari masyarakatnya yang berupa pengetahuan, gagasan,
kepercayaan, nilai, moral, dan sebagainya. Melalui sang seniman dan karya seninya ,
masyarakat berusaha memahami, menginterprestasikan atau menjawab masalah –
masalah lingkungannya, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialnya. Kesenian
merupakan salah satu sarana untuk mencapai tujuan bersama misalnya kemakmuran,

Aksara Dharma, Maret 2016 73


persatuan, kemuliaan, kebahagiaan, rasa aman, komunikasi dengan yang gaib
( supranatural), dan lain- lain. Ekspresi tentang keindahan tentang pesan budaya tersebut
terwujud dalam seni lukis, seni ukir, seni rias, seni patung, seni sastra, seni tari, seni
vokal, seni instrumen, dan seni drama.
Tari Bedhaya Ketawang memberikan banyak sekali pembelajaran seperti pendapat
diatas bahwa dalam suatu garap tari seorang seniman akan memberikan nilai- nilai pada
hasil karyanya. Dalam Tari Bedhaya ketawang bisa kita petik nilai etika mulai dari
gerakannya, kostum, gendhing, semua memiliki symbol tersendiri. (1) etika dalam
gerak : Dalam gerak tari putri, atau tari wanita, menggambarkan berbagai kepribadian
wanita dan sifat- sifat ideal wanita jawa, yaitu bersopan- santun, bergerak lemah-
gemulai, bertingkah-laku halus, dan berperilaku pemalu terkendali. Oleh karena kaki
tidak boleh diangkat lebih dari tinggi lutut, serta lengan tidak boleh menyebabkan sikut
terangkat lebih tinggi dari bahu, maka ruang gerak dalam tarian ini sangat terbatas.
Demikian juga tubuh selalu harus berada dalam posisi tegak, kecuali dalam beberapa hal,
seperti misalnya sewaktu membuat gerakan bersujud. Kepala juga digerakkan sedikit
mungkin untuk meminimalkan gerakkan mata, yang berlawanan dalam tari Bali, yang
tidak sesuai dengan lirikan mata ideal wanita jawa. Iringan gamelan pun hanya
membawakan irama- irama yang lembut tenang saja. (Koentjaraningrat, 1994: 302).
Dalam gerak seorang penari bedhaya akan memulai awal beksa pasti ada gerakan
sembahan, dalam kontek jawa sembah berarti menyembah mengaturkan bhakti kepada
yang maha tinggi agar dalam mbeksa nanti dapat berjalan lancar. Dalam ajaran agama
hindu, juga sama yaitu menghaturkan puji syukur kepada Ida Hyang Widhi Wasa.
Seperti halnya dalam tari Bedhaya Ketawang sebelum menarikan mereka sembah berarti
menghormati dengan yang lebih tinggi. Gerak tari Bedhaya ketawangpun dalam
penggarapan / struktur geraknya cenderung pelan, itu melambangkan bawasanya orang
itu dalam hidup harus sabar dan harus bisa menyaring yang baik dan buruk. Saat menari
tatapan mata juga tidak boleh melotot jaraknya 3m kebawah dari penari berdiri, karena
ketika orang jawa itu melotot dalam etika itu bisa dikatakan menentang raja. (2) etika
dalam kostum atau berpakaian : Dalam hal dapat kita ketahui bahwa dalam
berpakaianpun memiliki etika masing- masing dan tidak bisa disamakan dengan yg lain.
Missal: pakaian abdi dalem bedhaya berbeda dengan raja. Ini menandakan bahwa
kedudukan juga mempengaruhi cara kita berpakaian. Dalam segi berpakaian walaupun
berbeda tetapi masih mengacu pada tahapan-tahapan kebenaran agama, yaitu weda
(srutti), smrti, sada cara, sila, dan atmanastuti. Mengingat kebenaran tersebut telah
diterima oleh masyarakat sebagai etika tertinggi dalam berbagai jenjangnya dari semua
macam etika Hindu. Agar kebenaran agama yang disajikan dalam bentuk seni tari dapat
dinikmati sebagai suatu nilai hidup yang berguna.
Seni tari, dalam pembahasannya, baik dalam bentuk teori dan prakteknya sangat
diperlukan etika berbicara agar lebih mudah dimengerti dan dipahami serta
menyenangkan. Seseorang yang aktip dalam kegiatan seni biasanya memiliki
kecendrungan lembut dalam berbicara dan menguasai ilmu pengetahuan yang lebih baik.
Sesungguhnya ilmu pengetahuan itu adalah kebijaksanaan, seperti banyak diuraikan
dalam Bhagavadgita, dan hakikat dari kebijaksanaan adalah etik moralis yang terpancar
dalam sikap dan segala bentuk perilakunya. Bila dicermati dari Trikaya Parisuda maka
dari seni sepantasnya lahir generasi yang sopan dalam berpikir, santun dalam
berbicara, dan etik dalam berperilaku.
Sehubungan dengan etika seni, Sarasamusccaya lebih rinci menjelaskan dari perspektif
Trikaya Parisuda sebagai berikut. Yang pertama adalah berfikir yang baik. Berfikir yang
baik disini adalah tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal, tidak berfikir buruk

Aksara Dharma, Maret 2016 74


terhadap makhluk lain, tidak mengingkari karma phala. Seperti yang tercantum dalam
kitab Sarasamucaya sebagai berikut:
Prawrttyaning manah rumuhun ajarakena, telu kwehnya,pratyekanya, si tanengin
adengkya ri drbyaning len, si tan krodha, ring sarwa sattwa, si mamituhwa ri hana ning
karmaphala, nahan tan tiga ulahaning manah, kahrtaning indria ika.
Artinya:
‘Tindakan dari gerak pikiran terlebih dahulu akan dibicarakan, tiga banyaknya,
perinciannya tidak ingin dan dengki pada kepunyaan orang lain, tidak bersikap gemas
kepada segala makhluk, percaya akan kebenaran ajaran hokum karmaphala, itulah
ketiganya perilaku pikiran yang merupakan pengendali hawa nafsu.
(Sarasamucaya, 74)

Yang kedua adalah berkata yang baik dan suci, seperti tidak suka mencaci maki,
tidak berbicara kasar kepada makhluk lain, tidak ingkar janji, tidak memfitnah. Yang
ketiga yaitu berbuat yang baik seperti tidak menyiksa makhluk lain, tidak berzina, tidak
mencuri. Bertingkah laku yang baik, terlebih-lebih lagi pada seni tari merupakan hal
yang patut dan wajib diperhatikan karena hal itu adalah hal yang sangat penting, seperti
diuraikan dalam Sarasamuschaya, sloka 125 sebagai berikut:

Pratyaksam gunawadi yah, Parokse tu winindayah, Sa manawah cwawalloke,


Nastalokaparanayah
Artinya:
“Maksud yang baik dan baik pula dalam pengucapannya, menyebabkan banyak
orang merasa senang. Meskipun maksudnya baik tetapi tidak baik caranya mengatakan,
bukannya menyebabkan sakit hatinya si pendengar saja, tetapi malah juga membikin
malapetaka pada yang mengatakan. ( Sarasamucaya, sloka : 125)

Etika percakaapan juga bisa kita lihat dari bentuk sindenan dari tari Bedhaya
Ketawang. Maka dapat kita simpulkan bahwa dalam tari Bedhaya Ketawang mempunyai
pendidikan etika yang sangat kental.

b. Pendidikan Kedisiplinan.

Dalam tari Bedhaya Ketawang kedisiplinan juga diterapkan hal itu terurai dalam
beksan. Seorang penari pada dasarnya dituntut 3 hal yaitu wirasa, wiraga, wirama.
Kedisiplinan dalam wirasa yaitu kedisiplinan dalam hal rasa. Seorang penari dituntut
peka dalam hal rasa saat menari, dapat merasakan apa yang ia lakukan/ sadar dengan
apa yang ia lakukan disini dalam kehidupan bahwa seseorang dituntut untuk disiplin
dalam hal rasa yaitu ngolah rasa, tegas dalam segala hal, peka terhadap lingkungan.
Wiraga yaitu seseorang dalam hal pekerjaan apapun harus disiplin sesuai dengan bakat
dan kemampuan yang dia miliki. Dalam lingkungan ia hiduppun manusia diharapkan
untuk bisa beradaptasi. Wirama yaitu ketepatan dalam gendhing. Jika dalam kehidupan
bisa diartikan tepat dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
Kesadaran akan sikap dan perilaku yang sudah tertanam dalam diri, sesuai
dengan tata tertib yang berlaku dalam suatu keteraturan secara berkesinambungan yang
diarahkan pada suatu tujuan atau sasaran yang telah ditentukan. Sikap dan perilaku ini
diwujudkan dengan perilaku yang konsisten, taat asas menuju tujuan tanpa perlu
pengawasan dan dorongan secara terus- menerus. Perilaku ini diwujudkann dalam
hubungannya dengan Tuhan dan diri sendiri. Seperti yang dapat kita liat dalam seloka
sebagai berikut :

Aksara Dharma, Maret 2016 75


Yajnena yajnamayanta dewastani dharmani prathamanyasan, te ha nakam
mahimanah sacanta yatra purve sadhyah santi devah.
Artinya:
Para sarjana melalui ‘Jnanayajna’ memuja Tuhan Yang Maha Esa, mereka
mendapatkan tempat yang utama dengan dharma dan karmanya. Mereka pasti dengan
penuh keagungan mencapai ‘Moksa’. Melalui ‘yogasadhana’ ( menghubungkan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan disiplin yang ketat) menikmati kebahagiaan
sejati berupa ‘ moksa’, bebas dari duka cita. Demikian agar engkau berusaha seperti itu.
( Yajurveda XXXI.16 )

Kesimpulan

Tari Bedhaya Ketawang merupakan tarian tertua diantara tari bedhaya yang lain. Tari
Bedhaya Ketawang merupakan salah satu aset yang dimiliki oleh Keraton Surakarta. Didalam
pemikiran masyarakat jawa, kenyataan budaya dan kenyataan dari alam lahir merupakan
suatu kenyataan yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat Jawa adalah figur yang akrab dari
tradisi leluhurnya. Begitu juga masyarakat penganut ajaran agama hindu, sangat kental
dengan adat yang serba dengan sarana upakara. Sehingga kebudayaan budaya, norma, dan
etikanya senantiasa tetap ingin dipertahankan dan dihormati dan diyakini.
Dalam ajaran agama hindu diajarkan tiga bentuk hubungan yang baik dalam hidup,
yakni yang disebut dengan trihita karana, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alam. Tiga hubungan tersebut dapat
kita temui didalam tari Bedhaya Ketawang. Selain itu ada juga tentang ajaran hidup yang
dapat kita ungkap yaitu berfikir, berkata, dan berbuat yang baik.
Tari Bedhaya Ketawang merupakan tari yang menggambarkan hubungan mistis
antara Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul ( Kanjeng Ratu Kencana Sari) yang
bersifat sakral. Konsep tentang ratu gung binathara menentukan bahwa Tari Bedhaya
Ketawang mempunyai fungsi khusus yaitu konsepsi tentang kekuasaan raja, yang
menempatkan raja sebagai penjelmaan dewa, yang mempunyai kekuasaan mutlak.
Tari Bedhaya Ketawang dijadikan sarana jumenengan raja dan tinggalan jumenengan
raja. Sifat kesakralan dan kekeramatan tari ini menyebabkan tari Bedhaya Ketawang menjadi
satu- satunya tari keraton yang masih tetap bertahan didalam keraton. Fungsi tari Bedhaya
Ketawang sebagai sarana upacara jumenengan raja dan tinggalan jumenengan raja,
menempatkan tari Bedhaya Ketawang sebagai sarana ritual dan bersifat sangat sakral.
Kesakralan dalam tari Bedhaya Ketawang ini disebabkan masih kuatnya keyakinan
masyarakat jawa kepada makhluk- makhluk halus dan hal- hal yang bersifat gaib yaitu
datangnya Kanjeng Ratu Kencana Sari, penguasa Laut Selatan yang diyakini berkunjung
pada saat tari Bedhaya Ketawang di pagelarkan.
Dalam tari Bedhaya Ketawang juga mengandung unsur- unsur pendidikan, terutama
pendidikan tentang ke-Tuhanan. Sebagai contoh pola dan tingkah laku yang serba susila,
teratur, sopan, berbudi luhur, halus, pada hakikatnya merupakan usaha untuk mengendalikan
hawa nafsu. Perilaku tersebut tidak hanya tercermin dari kehidupan sehari- hari, melainkan
bisa tercermin dari bentuk kesenian, baik dari segi konsep ataupun dari wujudnya.

Kepustakaan
8
Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Pustaka

Aksara Dharma, Maret 2016 76


Astuti, Widhi. 2014. Tari Bedhaya Ketawang Perspektip Pendidikan Agama
Hindu.Denpasar: Program Pascasarjana UNHI

Brakel, Clara & Papenhuijzen. 1992. The Bedhaya Court Dences of Central
Java.Netherland : E.J.Brill

Budiyanto, Eko Wahyu. 2013. Estetika Tari Bedhaya Ketawang. Suara Merdeka.

Geertz, Clifford. 1973. ‘Religion as a Cultural System.’ dalam The Interpretation of


Cultures. New York: Basic Books

Dewi, Nora Kustantina. 2001.” Tari Bedhoyo Ketawang Legimitasi Kekuasaan Raja
Surakarta”.2001: Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

Dewi, Nora Kustantina. 1994.“Tari Bedhoyo Ketawang reaktualisasi hubungan mistis


panembahan senopati dengan Kanjeng Ratu Kencana Sari dan
Perkembangannya”.Tesis (tidak diterbitkan).Yogyakarta: Program Pascasarjana UGM.

Hadiwijaja, K.G.P.H.1971. Bedhaya Ketawang. Jakarta: Penerbit Buku Bacaan dan


sastra Indonesia dan daerah.

Hadiwijaja, K.G.P.H.1974. Bedhaya Ketawang. Surakarta: urip- urip radya pustaka

Hawkins M Alma, I Wayan Dibia (terjemahan), Bergerak Menurut Kata Hati Metode
Baru daam Menciptakan Tari, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Herusatoto, Budiono.1987. Simbolisme dalam budaya Jawa. Yogyakarta :


PT.Hanindita.

Humphrey Doris, Sal Murgiyanto (terjemahan),1983, Seni Menata Tari, Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta.

Kartika, Bayu. 2011. Bedhoyo ketawang dan segala ceritanya. URL :


http://learningmacapat.wordpress.com/2011/07/09/bedhaya-ketawang-dan-segala-
ceritanya/.
Koentjaraningrat,dkk. 1997. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa . Jakarta: Balai Pustaka.
Linsay,J. 1991. Klasik Kitsch Kontempores Sebuah Studi Tentang Seni Pertunjukan
Jawa. Yogyakarta: UGM.

Meri La. 1986. Elemen-Elemen Dasar Komposisi Tari, Soedarsono (terjemahan),


Yogyakarta: La Galigo (Fakultas Pertunjukan ISI Yogyakarta).

Nitinagoro, K.R.A. Hamaminata. 2013.” Sejarah Karaton Mataram”. Semarang :


Grafika Citra Mahkota.

Prdjapangrawit, R.Ng. 1990. Wedhapradangga. Surakarta: kerjasama STSI Surakarta


dengan The Word Foundation

Aksara Dharma, Maret 2016 77


Purwadi, Djoko Dwiyanto. 2008. Kraton Surakarta. Cetakan 1.Yogyakarta: Panji
Pustaka.

KEDEWASAAN BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT PLURAL


PERSPEKTIF HINDU

SUGIMAN
sugimaklaten@yahoo.co.id
ABSTRAK

Dinegara Republik Indonesia yang kita cintai ini kehidupan masyarakat yang sangat
Plural, beraneka suku bangsa, beragam adat istiadat, kepercayaan dan Agama. Berbagai
Agama masuk atau ke Indonesia. Berbicara tentang kerukunan umat beragama , tampaknya
sudah tidak asing lagi hanya biasa saja. Karena kerukunan ini sudah menjadi warisan leluhur
kita. Kondisi kelihatan baik-baik saja namun ternyata muncul berbagai isu, muncul
permasalahan entah itu muncul diantara internal ataupun eksternal. Secara historical sejak
zaman Kerajaan , para pemimpin dari setiap suku bangsa Di Indonesia sudah mencanangkan
bagaimana hidup dalam Kedamaian dan hidup rukun. Sesuai dengan dasar Negara kita
Pancasila dan UUD 1945 ini merupakan pengikat bangsa indonesia dari berbagai majemuk
suku, agama dan bahasa . Dengan kemajemukan ini dan sikap-sikap kerukunan sudah
merupakan warna jati diri bangsa yang telah tumbuh kuat sejak menjadi jaman kerajaan.
Dengan konsep kerukunan antar umat beragama dalam ajaran agama hindu sudah tidak asing
lagi yang menjadi rajutnya adalah ajaran Tat Twan Asi dan ajaran Catur Guru karena ajaran
yang teruraikan merupakan ajaran cinta kasih, saling hormat menghormati sehingga tercipta
kehidupan yang serasi, selaras rukun damai.

Kata Kunci :

I. PENDAHULUAN

Kerukunan sebagai konsep merupakan gambaran yang di dalamnya terdapat


kesimbangan , semua pihak berada dalam keadaan damai, saling menerima , saling
menghargai dan menjalin kerjasama kemasyarakatan dengan suasana tenang (Magnis
Suseno 1993 : 39 ). Fenomena kerukunan umat beragama di Indonesia saat ini dinilai
positif, artinya dalam katagori kondisi baik. Kerukunan umat beragama yang dianggap
baik ini , sebaiknya tidak disikapi secara hitam putih, atau dianggap statis. Sikap dan
perilaku rukun ini dipandang sebagai Suatu kondisi yang ditunjukan oleh masyarakat
setelah melalui proses interaksi satu sama lain. Dalam proses interaksi mengalami
dinamika, dan perubahan-perubahan , artinya kerukunan umat beragama berada pada
kondisi yang dinamis dan bergerak terus setiap saat. Karena itulah masyarakat
Indonesia dikenal sebagai masyarakat Pluralis Multikultural dengan sesanti “Bhineka
Tunggal Ika “. Sejak berabad-abad bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang guyub
Aksara Dharma, Maret 2016 78
Rukun dan toleran dalam kehidupan beragama. Kita tahu bahwa manusia ciptaan Tuhan
memiliki dua dimensi yaitu manusia makluk Individu dan manusia makluk sosial.
Setiap manusia memiliki hak-hak asasi yang harus dihormati oleh orang lain. Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan
manusia sebagai makluk Tuhan. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak asasi
yang melekat pada diri pribadi manusia. Dasar hukum yang menjamin kebebasan
beragama di Indonesia ada pada konstitusi yaitu pasal 28 E ayat (1) UUD 1945( hasil
amandemen 1945 /perubahan kedua tanggal 18 agustus 2000 Bab X UUD ditambah satu
Bab X A tentang hak asasi manusia dengan 10 pasal :
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan pengajaran , memilih pekerjaan memilih kewarganegaraan,memilih tempat
tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.” Selanjutnya
pasal 29 (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduknya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agama dan kepercayaannya itu”.
Kebebasan beragama mungkin Semua orang untuk mencari, menemukan dan
mengembangkan landasan moral bersama dalam suasana aman, damai dan tentram.
Dengan demikian agama yang dipeluknya menjiwai, mengarahkan dan mendorong
manusia membangun komitmen untuk membangun dunia yang lebih adil dan sejahtera
bagi semua orang.

II. PEMBAHASAN

Pluralitas sebagai suatu keadaan nyata dalam kehidupan ini harus dikelola dengan
baik agar setiap komunitas dapat berkembang secara wajar sesuai dengan hukum alam
(Rta). Kehidupan di dunia ini harus diupayakan agar berjalan dengan harmonis . Upaya
ini dilakukan oleh manusia karena manusia diberi kelebihan akal budi (Vijnana) yang
tidak dimiliki oleh makluk lain. Kemajuan dibidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
akhir-akhir ini tak selamanya memberikan kemudahan hidup kepada manusia. Tak
disangkal bahwa kemajuan itu pun dalam beberapa hal membawa dampak negatif bagi
kehidupan ini. Terlepas dari itu semua, fenomena pluralitas agama telah menjadi fakta
sosial nyata yang harus dihadapi masyarakat modern. Sementara itu dalam konteks yang
mana unsur pembentukannya adalah multi-agama, multi-budaya, muti ras dan sebagainya.
Perspektik Hindu dalam masalah pluralitas agama ini menjadi tampak jelas melalui
penjabaran , Pertama di dalam ajaran agama Hindu dikenal ajaran “Tri Hita Karana”
yang artinya Tiga hubungan yang harmonis untuk memperoleh kebahagiaan, Kedua
dalam ajaran Tat Twam Asi implementasinya dalam realitas praktis dalam masyarakat
Hindu . Masalah kehidupan bersama antar agama didalam masyarakat Hindu yang
merupakan masalah sosial yang sangat penting dan serius sekaligus sensitif, jelas
mendapat perhatian cukup besar. Maka marilah kita bicarakan satu persatu mengenai
ajaran agama Hindu tersebut diatas .

1. Hubungan Manusia dengan Tuhan ( Parahyangan)

Hubungan manusia dengan Tuhan ini diterapkan oleh semua pemeluk agama yang ada di
indonesia. Dalam agama Hindu Konsep Parahyangan adalah Wujud Pura dan Sanggah
dengan Pralingganya merupakan simbol Tuhan sebagai produk pikiran. Setiap umat
beragama tentu memiliki tujuan untuk mengetahui, memuliakan, menghubungkan diri
Kepada Tuhan dan Konsep ini dilandasi oleh pemikiran bahwa untuk memuja Brahman
yang tanpa wujud sangat sulit dilaksanakan tanpa didahului dengan pemujaan dengan

Aksara Dharma, Maret 2016 79


wujud yang diciptakan sendiri oleh umat manusia. Dalam Agama Hindu Konsep
Parahyangan ini merupakan langkah untuk menciptakan agar pikiran manusia diarahkan
kepada Hyang maha Kuasa tujuannya untuk menciptakan kondisi spiritual /Rohani benar-
benar dapat tenang, damai. Oleh karena itu setiap agama menekankan kepada umatnya
diminta selalu melaksanakan Bhakti (Sembahyang) dan diharapkan selalu menunaikan
ibadah sesuai dengan ketentuan yang ditentukan masing-masing agamnya.. Hubungan
manusia dengan Tuhan hendaknya dilandasi oleh kesadaran bahwa Tuhan adalah
kebenaran mutlak, pengetahuan tak terbatas dan kebahagiaan sejati (Sat Cit Ananda
Brahma) Seperti diungkapkan dalam kitab Maha Nirwana Tantra dan Brahma Sutra.
Dalam agama Hindu untuk mendekatkan/menghubungkan diri dengan Tuhan
menggunakan beberapa cara yang sering disebut Catur Marga Yoga ini disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing orang. Catur Marga Yoga tersebut merupakan empat
cara atau jalan untuk menghubungkan diri/mendekatkan diri dengan Tuhan melalui :

a. Bhakti Marga yang artinya suatu cara / jalan untuk mengubungkan diri antara manusia
dengan Tuhan melalui Bhakti / sembahyang didasari ketulusan hati baik lahir maupun
batin. Bhakti merupakan cetusan hati yang tulus iklas kepada Tuhan. Dapat di artikan
juga menyatukan antara Atrman dengan Brahman melalui Bhakti, Bhakti manusia
pada umumnya masih dalam tingkatan yang disebut Aparabhakti yaitu pemujaan dan
bhakti dengan berbagai pemohon atau permohonan walaupun dipandang wajar
mengingat adanya keterbatasan kemampuan seseorang.
b. Karma Marga Yoga : adalah suatu usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan
Yang Maha Esa. Karma Marga Yoga menekankan kerja sebagai bentuk pengabdian
dan bhakti Kepada Tuhan Yang Maha Esa . Ajaran karma Marga Yoga merupakan
etos kerja atau budaya kerja bagi umat Hindu didalam usaha mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin.
c. Jnana Marga Yoga : Suatu cara / usaha untuk menghubungkan diri dengan Tuhan
melalui pengetahuan. Jadi Jnana Marga Yoga adalah jalan dan usaha untuk
menghubungkan diri dengan Tuhan untuk mencapai kebahagiaan sejati melului
pengetahuan. Jnana atau ilmu pengetahuan suci menuntun manusia untuk bekerja
tidak terikat oleh hawa napsu , tanpa motif, tanpa kepentingan pribadi, rela
melepaskan,rela melepaskan keterikatan duniawi.
d. Raja Marga Yoga : yaitu jalan atau usaha tertinggi untuk menghubungkan diri dengan
Tuhan melalui jalan Yoga yang tertinggi.
Apapun Ajaran agama atau Yoga bila tidak direalisasikan/dipraktekan langsung tidak
akan seseorang dapat merasakan keutamaan ajaran itu. Karena Yoga merupakan
bentuk pengendalian diri seseorang sehingga harus dikhususkan Raja marga yoga
dapat tercapai bila mana benar-benar mampu mengendalikan dirinya.

2. Hubungan Manusia dengan Manusia (Pawongan)

Pawongan ini merupakan hubungan manusia dengan sesama manusia, kita merasa
tidak bisa hidup sendiri setiap manusia menyadari akan hakekat hidupnya perlu
membutuhkan bantuan orang lain. Dalam ajaran agama Hindu Pawongan ini kebanyakan
umat Hindu. Belum mengenal diri sejatinya yang disebut Purusa, kebanyakan orang
merasakan bahwa dirinya ini adalah badan yang disebut Prakerti. Untuk menjalin
hubungan yang harmonis antara sesama umat manusia tidak memandang Suku Ras atau
agama namun rasa tenggang Rasa, Cinta Kasih, Tatwam Asi ini harus dikedepankan agar
rasa kebersamaan, kegotongroyongan, saling asah, asih dan asuh. Dalam Kitab Reg Weda
Samhita , Mandala X, sukta 191 sloka 2 dan 3 :

Aksara Dharma, Maret 2016 80


“Wahai manusia, berjalanlah kamu seiring, berbicara,berfikir kearah samaseperti para
Dewa dahulu membagi tugas mereka begitulah semestinya engkau menggunakan hak.
Dalam kehidupan manusia pluralitas masyarakat sangat dominan,
mengembangkan hidup kebersamaan. Untuk menjalin kehidupan bersama perlu
mengembangkan sikap toleransi”.

3. Hubungan Manusia dengan Lingkungan (Palemahan)

Palemahan ini merupakan hubungan manusia dengan alam lingkungan, bahwa


manusia harus dapat melestarikan menjaga memperbaiki alam lingkungan atau lingkungan
kita agar alam lingkungan tetap bersahabat memberikan kesejukan kenyamanan dan bisa
membantu kehidupan kita. Apabila manusia tidak dapat bersahabat dengan alam
lingkungan maka alam akan menghukum kepada manusia yang tidak tahu diri maka akan
menderita dihukum oleh alam.
Contoh : manusia membakari hutan apa dampak jadinya banyak orang menderita sakit
mengganggu aktifitas kehidupan manusia, Hutan ditebangi akhirnya gundul dan
mengakibatkan banjir.
Kedewasaan Beragama dalam kehidupan masyarakat Plural ini sesuai dengan apa yang
telah dijelaskan dalam kitab ( Bhagawadgita IV,-II) Jalan manapun yang ditempuh
manusia kearahku semuanya ku terima, karena dari mana-mana mereka semua menujuku.
Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut agama , aku perlakukan
kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh pada keyakinannya dan sejahtera. Ajaran
agama Hindu tetap dapat memberikan dukungan positif terhadap Kedewasaan Beragama
dalam kehidupan masyarakat Plural karena ajaran weda dapat merajut langkah
sehinggakehidupan manusia misalnya ajaran Tat Twam Asi ini memiliki makna bahwa
Atman/Roh/Jiwa yang bersemayam pada diri manusia sesungguhnya sama dan berasal dari
Tuhan , sesungguhnya manuisia adalah bersaudara satu sama lainnya sehingga
kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku dan Penderitaanku juga penderitaanmu .

III. PENUTUP

Sebagai pemeluk agama yang arif tentunya dapat menerima kenyataan bahwa
kebhinekaan adalah kodrat yang diciptakan oleh Tuhan, maka kita sebagai manusia harus
siap mensikapi keanekaragaman baik suku Ras Bahasa budaya dan Agama karena
semuanya ini untuk menciptakan situasi dan kondisi yang sejuk, aman, tentram dan
damai tanpa ada gejolak dalam kehidupan masyarakat gara-gara perbedaan agama.
Agama Hindu dapat membawa umatnya menuju kedaamaian, ketentraman, kebahagiaan,
sehingga tujuan hidup manusia yang sudah dirumuskan benar-benar tercapai.

DAFTAR PUSTAKA
I Ketut Regid , Saraswat Agung dewi, 2005 Lalita Hita Karana Sadhana Tri Hita
Karana, Gianyar Bali.
Gede Oka Netra. Anak Agung . 1994 Tuntunan dasar Agama Hindu.
G. Pudja , Teologi Hindu
IB. Mantra 2009 Tata Susila Hindu Dharma, Widya Dharma, denpasar

Aksara Dharma, Maret 2016 81


Aksara Dharma, Maret 2016 82

Anda mungkin juga menyukai