Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan fisik dapat mempengaruhi jiwa, dan sebaliknya gangguan jiwa


dapat mempengaruhi atau menimbulkan gangguan fisik. Keadaan ini dapat
menimbulkan kesulitan diagnosis bahkan tidak jarang menimbulkan doctor
shopping, rujukan ke berbagai disiplin hingga akhirnya baru dipikirkan
pendekatan secara psikiatri.1

Menurut data di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto


Mangunkusumo (RSUPNCM) tahun 1996, rujukan ke bangsal psikiatri terbanyak
berasal dari bangsal penyakit dalam (39,1%), bedah (18,1%), saraf (17,4%), dan
ortopedi (9,4%). Gangguan penyesuaian dengan afek depresi merupakan diagnosis
ketiga terbanyak setelah skizofrenia dan delirium akibat kondisi medik. Data lain
menyebutkan 21-26% pasien rawat jalan di masyarakat memiliki gangguan
psikiatri. Dari data tersebut, terlihat bahwa penyakit-penyakit di bidang penyakit
dalam paling banyak berhubungan dengan gangguan psikiatri. Adapun penyakit
fisik yang sering terjadi bersama depresi antara lain penyakit jantung koroner,
infark miokard, stroke, diabetes melitus, parkinson, HIV, arthritis rheumatoid, dan
kanker.1

Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan


dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubahan
pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan,
rasa putus asa dan tak berdaya, serta gagasan bunuh diri.2

Nyeri pada penyakit kronis dan depresi berhubungan pada beberapa


tingkatan: neurobiologis, psikologis, dan perilaku. Pada tingkatan neurobiologis,
neurotransmitter seperti serotonin, norepinefrin berperan pada gangguan depresif.
Hal ini memungkinkan perpindahan nyeri menjadi gangguan afektif, selain itu
keterkaitan nosiseptor mungkin juga memicu eksaserbasi keadaan afek disforik.
Pada tingkatan psikilogis, terdapat hipotesis bahwa nyeri kronis termasuk dalam

1
bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen
tubuh, termasuk nyeri. Sebuah konsep yang sesuai, penekanan somatosensori yang
didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan
gejala disforik termasuk nyeri. Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan
somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik, dan
merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress
psikologis. Pada tingkatan perilaku, terdapat hipotesis bahwa depresi terjadi
sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai
sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari.3

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi

Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas


untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama
yang terjadi.4

Depresi adalah gangguan psikiatri yang menonjolkan mood sebagai


masalahnya, dengan berbagai gambaran klinis yakni gangguan episode depresif,
gangguan distimik, gangguan depresif mayor dan gangguan depresif unipolar serta
bipolar.2

2.1.1 Angka Kejadian

1. Jenis Kelamin

Angka kejadian pada perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-
laki. Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan
stresor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku
yang dipelajari tentang ketidakberdayaan.5

Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur dan negara,
terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada
wanita dibandingkan dengan laki-laki.2 Pada penelitian lain disebutkan
bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan
laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,
alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari
perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stresor psikososial dan
model perilaku keputusasaan yang dipelajari.2

Pada penelitian yang dilakukan NIMH ditemukan bahwa prevalensi yang


tinggi pada wanita dibandingkan pria kemungkinan dikarenakan adanya
ketidakseimbangan regulasi hormon yang langsung mempengaruhi

3
substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat
pada situasi Pre Menstrual Syndrome (PMS). Untuk wanita yang telah
menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan
pekerjaan, merawat anak dan orang tua lanjut usia, kekerasan dalam rumah
tangga dan kemiskinan.

2. Usia

Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut
usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari
20 tahun. Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol
dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.5

Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah
kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara
usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama
masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis
menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat
pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun.2 Pada penelitian lain
yang dilakukan oleh Akhtar didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi
terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada
kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari
NIMH menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada
kelompok usia >18 tahun (10%).

3. Status Perkawinan

Paling sering terjadi pada orang yang tidak mempunyai hubungan


interpersonal yang erat atau pada mereka yang bercerai atau berpisah.
Wanita yang tidak menikah memiliki kecenderungan lebih rendah untuk
menderita depresi dibandingkan dengan wanita yang menikah namun hal
ini berbanding terbalik untuk laki-laki.5

4
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang
yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang
bercerai atau berpisah.3 Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar
memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada
pasangan yang bercerai atau berpisah.

4. Faktor Sosioekonomi dan Budaya

Tidak ditemukan korelasi antara status sosioekonomi dan gangguan


depresi berat. Depresi lebih sering terjadi di daerah pedesaan dibanding
daerah perkotaan.5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Academy on An


Aging Society (2000) didapatkan data bahwa pada kelompok responden
dengan pendapatan rendah ditemukan tingkat depresi yang cukup tinggi
yaitu sebesar 51%. Pada penelitian Akhtar ditemukan tingkat depresi
terendah pada kelompok pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA)
sebesar (9,1%) dan sebaliknya tingkat depresi yang tertinggi ditemukan
pada responden dengan kelompok pendidikan yang lebih tinggi sebesar
(13,4%). Walaupun hasil ini dapat menjadi indikasi adanya perbedaan
tingkat depresi pada tingkat pendidikan, namun hal tersebut tidak memiliki
korelasi positif dengan terjadinya gangguan depresif.2

2.1.2 Etiologi

Etiologi depresi terdiri dari:

1. Faktor genetik

Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan


gangguan bipolar terkait erat dengan hubungan saudara, juga pada anak
kembar, suatu bukti adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga
tersebut.

5
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan
genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak
mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik
kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan
mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan
bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif
berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada sanak saudara
derajat pertama.2

2. Faktor Biokimia

Sejumlah besar penelitian telah melaporkan berbagai kelainan di dalam


metabolit amin biogenik yang mencakup neurotransmitter norepinefrin,
serotonin dan dopamin (Gambar 2.1.1) berperan dalam patofisiologi
gangguan mood.
Penelitian ilmiah dasar antara regulasi turun (down regulation) reseptor ß
adrenergik dan respon antidepresan meyatakan adanya peranan langsung
sistem noradrenergik dalam depresi. Bukti lain bahwa aktivasi ɑ2
adrenergik menyebabkan penurunan jumlah norepinefrin yang dilepaskan.
Penurunan serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin didalam cairan
serebrospinal yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan serotonin yang
rendah di trombosit.2
Aktivitas dopamine diperkirakan juga memiliki peranan dalam depresi.
Data menyatakan bahwa aktifitas dopamine mungkin menurun pada
depresi dan meningkat pada mania. Dua teori terakhir tentang dopamine
dan depresi adalah bahwa jalur dopamine mesolimbik mungkin mengalami
disfungsi pada depresi dan bahwa reseptor dopamine tipe 1 (D1) mungkin
hipoaktif pada depresi.2
Dalam penelitian lain juga disebutkan bahwa selain faktor neurotransmitter
yang telah disebutkan di atas, ada beberapa penyebab lain yang dapat

6
mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif
(vasopressin dan opiate endogen), regulasi neuroendokrin dan
neuroanatomis.2
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama
oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien
dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan
kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing
Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).
Penelitian dasar dan klinis tentang hubungan depresi dan hipersekresi
kortisol menyatakan bahwa pelepasan kortisol berawal dari neuron di PVN
(paraventricular nucleus) melepaskan CRH (corticotropin releasing
hormone) yang menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH selanjutnya menstimulasi pelepasan
kortisol dari korteks adrenal.
Gangguan tiroid seringkali disertai disertai dengan gangguan afektif. Suatu
temuan pada penelitian menyatakan bahwa sepertiga dari semua pasien
dengan gangguan depresif berat memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul
yaitu TSH (thyroid stimulating hormone) terhadap infus TRH (thyrotopine
releasing hormone).

7
Gambar 2.1.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin
pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui
kadang-kadang menimbulkan depresi lambat.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun
dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi
dan meningkat di saat mereka gembira.

b. Hipotesis Indolamin

Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-


hidroxitriptamin (5 HT). metabolit utamanya asam 5-hidroksi
indolasetat (5HIAA) menurun dalam LCS pasien depresi, dan 5 HIAA
rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-Triptofan, yang
mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak.

8
3. Faktor Hormonal

Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan


kegagalan menekan sekresi kortisol sesudah pemberian dexametason.
Pasien depresi resisten terhadap penekanan dexametason dan hasil
abnormal ini didapatkan pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien
dengan depresi bipolar, waham dan ada riwayat penyakit ini dalam
keluarga.

Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan puerperium atau


menopause. Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum
menstruasi. Selama penyakit afektif berlangsung sering timbul amenore.
Hal ini menggambarkan bahwa gangguan endokrin mungkin merupakan
faktor penting dalam menentukan etiologi.

4. Faktor Kepribadian Premorbid

Personalitas siklotimik menjadi sasaran gangguan afek ringan selama


hidupnya, keadaan ini tidak berhubungan dengan penyebab eksterna.
Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan
kurang bersemangat. Personalitas hipomania berperilaku lebih riang,
energetik dan lebih ramah dari rata-rata.5

Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan
dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar,
mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan
bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat
pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka
belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi
masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan
perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan
maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan

9
mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi
masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita
mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada
anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam
suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak
biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan
tinggi terhadap gangguan depresif.5

5. Faktor Lingkungan

Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak


peristiwa dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan
dan mereka keluar dari lingkungan sosial. 80% serangan pertama depresi
didahului oleh stress, tetapi angka ini akan jatuh menjadi hanya 50% pada
serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga lebih sering pada anak
yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan dengan
populasi lainnya.

Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai,


pekerjaan tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal,
sakit kronis dan krisis dalam keluarga merupakan pemicu episode
gangguan depresif. Seringkali kombinasi faktor biologik, psikologik dan
lingkungan merupakan campuran yang membuat gangguan depresif
muncul.5

Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode
pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya.2 Satu teori yang
diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang
menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem
pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan

10
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya
stresor eksternal.2

2.1.3 Klasifikasi

1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di
bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana
perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah :6
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke
hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu.
Sebagaimana pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan
variasi individual yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah,
terutama di masa remaja. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan
agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol
daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood) mungkin
juga terselubung oleh ciri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol
berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang
sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode

11
depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.6
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas mempunyai
makna klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah
kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat
dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa
yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih
daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi hari, bukti objektif
dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau
dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara mencolok,
penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat
badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,
sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala
itu pasti dijumpai.6

F32.0 Episode depresif ringan


Suasana perasaan mood yang depresif, kehilangan minat dan kesenangan,
dan mudah menjadi lelah biasanya dipandang sebagai gejala depresi yang
paling khas; sekurang-kurangnya dua dari ini, ditambah sekurang-
kurangnya dua gejala lazim di atas harus ada untuk menegakkan diagnosis
pasti. Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya. Lamanya seluruh
episode berlansung ialah sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu.6
Individu yang mengalami episode depresif ringan biasanya resah tentang
gejalanya dan agak sukar baginya untuk meneruskan pekerjaan biasa dan
kegiatan sosial, namun mungkin ia tidak akan berhenti berfungsi sama
sekali.6

12
F32.1 Episode depresif sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang
ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya
tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil
amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada
cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung
minimal sekitar 2 minggu.6
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan
rumah tangga.6

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik


Pada episode depresif berat, penderita biasanya menunjukkan ketegangan
atau kegelisahan yang amat nyata, kecuali apabila retardasi merupakan ciri
terkemuka. Kehilangan harga diri dan perasaan dirinya tak berguna
mungkin mencolok, dan bunuh diri merupakan bahaya nyata terutama pada
beberapa kasus berat. Anggapan di sini ialah bahwa sindrom somatik
hampir selalu ada pada episode dpresif berat.
Semua tiga gejala khas yang ditentukan untuk episode depresif ringan dan
sedang harus ada, ditambah sekurang-kurangnya empat gejala lainnya, dan
beberapa diantaranya harus berintensitas berat. Namun, apabila gejala
penting (misalnya agitasi atau retardasi) menyolok, maka pasien mungkin
tidak mau atau tidak mampu untuk melaporkan banyak gejalanya secara
terinci. Dalam hal demikian, penentuan menyeluruh dalam subkategori
episode berat masih dapat dibenarkan. Episode depresif biasanya
seharusnya berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu, akan tetapi jika
gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka mungkin dibenarkan
untuk menegakkan diagnosis dalam waktu kurang dari 2 minggu.
Selama episode depresif berat, sangat tidak mungkin penderita akan
mampu meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan atau urusan rumah tangga,
kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

13
Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat
tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan
subkategori dari gangguan depresif berulang.

F32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik


Episode depresif berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut di
atas, disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Wahamnya biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien dapat merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina
atau menuduh atau bau kotoran atau daging membusuk. Retardasi
psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan, waham
atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan
suasana perasaan (mood).
Diagnosis banding. Stupor depresif perlu dibedakan dari skizofrenia
katatonik, stupor disosiatif, dan bentuk stupor organik lainnya. Kategori ini
hendaknya hanya digunakan untuk episode depresif berat tunggal dengan
gejala psikotik; untuk episode selanjutnya harus digunakan subkategori
gangguan depresif berulang.

F32.8 Episode depresif lainnya


Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan gambaran
yang diberikan untuk episode deprresif pada F32.0-F32.3, meskipun kesan
diagnostik menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi. Contohnya
termasuk campuran gejala depresif (khususnya jenis somatik) yang
berfluktuasi dengan gejala non diagnostik seperti ketegangan, keresahan
dan penderitaan; dan campuran gejala depresif somatik dengan nyeri atau
keletihan menetap yang bukan akibat penyebab organik (seperti yang
kadang-kadang terlihat pada pelayanan rumah sakit umum).

F32.9 Episode depresif YTT

14
F33 Gangguan Depresif Berulang
Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi sebagaimana
dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa riwayat
adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan
yang memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
Usia dari onset, keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode
dari depresi, semuanya sangat bervariasi. Umumnya episode pertama
terjadi pada usia lebih tua dibanding dengan gangguan bipolar, dengan usia
onset rata-rata lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara
3 dan 12 bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya
lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara episode,
namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya
menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus
tetap digunakan). Episode masing-masing dalam berbagai tingkat
keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh
sters; dalam berbagai budaya, baik episode tersendiri maupun depresi
menetap dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang
mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya
akan mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik, maka
diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.

2.1.4 Gambaran Klinik

Episode depresi. Mood terdepresi, kehilangan minat dan berkurangnya


energy adalah gejala utama dari depresi. Pasien mungkin mengatakan perasaannya
sedih, tidak mempunyai harapan, dicampakkan, atau tidak berharga. Emosi pada
mood depresi kualitasnya berbeda dengan emosi duka cita atau kesedihan yang
normal.

15
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi
dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir
mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat
aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur,
aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.5

Adapun gambaran klinik dari pasien depresi ini antara lain :

1. Adanya gejala psikologis berupa penurunan vitalitas umum, yang


mungkin dinyatakan pasien sebagai suatu kehilangan dan sedih.
Biasanya dia menarik diri dari kehidupan sosialnya. Segala sesuatu
kelihatannya tanpa harapan, selalu murung, ansietas mungkin ada atau
pasien mungkin mencoba untuk menyembunyikan keluhannya (depresi
senyum).

2. Variasi diurnal, dimana semua gejala cenderung memburuk pada dini


hari dan membaik di siang hari.

3. Bunuh diri, dapat menjadi tanda awal penyakit. Kemungkinan bunuh


diri sulit diduga sebelumnya, tetapi selalu harus diperhitungkan.
Pikiran bunuh diri seharusnya selalu ditanyakan dan jika ada harus
dianggap serius. Penderita depresi jarang membunuh keluarganya,
tetapi kalau terjadi biasanya karena dia merasa harus menyelamatkan
keluarganya dari kehidupan yang sengsara.

4. Retardasi atau perlambatan berpikir biasa ditemukan dan dicerminkan


dalam pembicaraan serta pergerakannya. Ada kemiskinan pikiran dan
kesulitan berkonsentrasi. Pada kasus lain agitasi mungkin menjadi
gejala dominan, disertai dengan adanya kegelisahan motorik yang
nyata.

5. Perasaan bersalah sering ditemukan disertai mengomeli diri sendiri dan


turunnya penilaian diri. Dalam kasus berat, bisa timbul waham dimana

16
penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di
masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa
bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.
Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.

6. Halusinasi jarang ditemukan, tetapi dapat timbul pada kasus berat.

7. Depersonalisasi dan derealisasi tidak jarang terjadi. Pasien menyatakan


bahwa dia kehilangan perasaan dan mempunyai sensasi asing. Dia
merasa tidak nyata dan baginya benda-benda terlihat tidak nyata.

8. Pikiran dan tindakan berisi perasaan bersalah atau menyalahkan diri


sendiri mungkin ditemukan.

9. Insomnia sering ditemukan. Gejala khasnya pasien mula-mula bangun


dini hari, kemudian semakin lama semakin pagi dan bahkan akhirnya
dapat menjadi insomnia total.

10. Anoreksia, konstipasi, gangguan pencernaan, penurunan berat badan,


amenore dan kehilangan libido biasa ditemukan. Mungkin terjadi
kelelahan dan letargi, atau tanda autonom ansietas.

Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga
pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah
sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup
lebih panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang
tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan
mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang
sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh
tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan
tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi

17
untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur,
khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari
karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan
peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan
menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa.6

2.1.5 Diagnosis

Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada
DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental
and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa
depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang,
dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang,
dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang
episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik,
episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.

DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat


diidentifikasi (meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria
diagnostik yang spesifik untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan
kenyataan dari riwayat pasien yang khas dan tampilan klinis yang cocok dan
memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang ditentukan (suatu diagnostik
politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk membuat diagnosa).

DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang


berbeda akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya
mempunyai dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena
DSM-IV telah memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian
dan setiap bagian tidak mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV
dapat dipergunakan lintas kultural, penggunaannya pada situasi tertentu
memerlukan kehati-hatian dalam menginterpretasikan gejala-gejala.

18
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting
lainnya, yaitu:

1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.


2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak
punya pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran
anak dan lain-lain.

DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan


teks dan didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang
berhubungan dengan depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive
diorder), gangguan depresif singkat rekuren, dan gangguan disforik
pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan keparahan gejala tidak mencapai
keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat. Pada
gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif memang mencapai
keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat tetapi
hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang tidak memenuhi kriteria
diagnostik untuk gangguan depresif berat.
DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat
secara terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan
depresi, dan juga menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif berat.
a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik
Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit
yang parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk

19
b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari
gangguan depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok
pasien yang dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive
terhadap terapi farmakologi dari pada pasien nonmelankolik.
c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal
Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan
secara resmi adalah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis
yang menyatakan bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang
spesifik dan dapat diramalkan. Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan
dan tidur berlebihan.

2.2 Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang


dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Menurut
International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif
dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan
jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya
kerusakan. Dari definisi dan konsep nyeri di atas dapat di tarik dua kesimpulan.
Yang pertama, bahwa persepsi nyeri merupakan sensasi yang tidak menyenangkan
dan pengalaman emosional menyusul adanya kerusakan jaringan yang nyata. Jadi
nyeri terjadi karena adanya kerusakan jaringan yang nyata (pain with nociception).
Yang kedua, perasaan yang sama juga dapat timbul tanpa adanya kerusakan
jaringan yang nyata. Jadi nyeri dapat terjadi tanpa adanya kerusakan jaringan yang
nyata (pain without nociception).

2.2.1 Klasifikasi Nyeri


Nyeri dapat digolongkan dalam berbagai cara, yaitu :
1. Menurut Jenisnya : nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri
psikogenik.

20
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.

Perbedaan karakteristik nyeri akut dan kronik


Nyeri akut Nyeri kronik
- Lamanya dalam hitungan - Lamannya sampai hitungan
menit bulan
- Sensasi tajam menusuk - Sensasi terbakar, tumpul, pegal
- Dibawa oleh serat A-delta - Dibawa oleh serat C
- Ditandai peningkatan BP, - Fungsi fisiologi bersifat normal
nadi, dan respirasi
- Kausanya spesifik, dapat - Kausanya mungkin jelas
diidentifikasi secara biologis mungkin tidak
- Respon pasien : Fokus pada - Tidak ada keluhan nyeri, depresi
nyeri, menangis dan dan kelelahan
mengerang, cemas - Tidak ada aktifitas fisik sebagai
- Tingkah laku menggosok respon terhadap nyeri
bagian yang nyeri - Respon terhadap analgesik :
- Respon terhadap analgesik : sering kurang meredakan nyeri
meredakan nyeri secara efektif

Menurut derajat nyerinya diklasifikasikan menjadi 3 kriteria, yaitu :


1. Nyeri ringan : adalah nyeri yang hilang timbul, terutama sewaktu
melakukan aktifitas sehari-hari dan hilang pada waktu tidur.
2. Nyeri sedang : adalah nyeri yang terus menerus, aktifitas terganggu, yang
hanya hilang jika penderita tidur.
3. Nyeri berat : adalah nyeri yang berlangsung terus menerus sepanjang hari,
penderita tak dapat tidur atau sering terjaga oleh gangguan nyeri sewaktu
tidur.

21
2.2.2 Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor
nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.

22
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri
dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi
stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut
sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum
dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik
(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut
saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C). Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor
saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan
serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana
impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya
impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui
neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.

23
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.

2.3 Hubungan Nyeri dan Depresi


Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas
untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama
yang terjadi.4

Kombinasi dari nyeri kronis dan depresi mungkin mengakibatkan


kemerosotan yang progresif. Tidak bergairah, menurunnya energi, gangguan tidur,
afek yang negatif, dan menurunnya hubungan sosial mungkin secara progresif
akhirnya berubah menjadi keterbatasan yang berat dan depresi.

Richard Sternbach menjelaskan bahwa beratnya keterbatasan akibat nyeri


termasuk dalam; sindrom nyeri kronis yang dikarekteristikkan dengan tanda
vegetatif dari depresi. Perilaku termasuk menurunnya tingkat aktivitas, banyaknya
penggunaan obat, banyaknya tindakan bedah, dan penurunan pada tingkat
pendapatan serta menurunnya keharmonisan keluarga. Konflik mental dan
interpersonal menjadi pemicu timbulnya keluhan nyeri, yang kemudian menjadi
sukar untuk diubah.
Pemahaman kita atas kompleksnya mekanisme depresi bahwa tidak hanya
masalah defisit biokimia pada jalur neurotransmitter sebagai pemicu depresi.
Genetik, biokimia, sosioekonomi, psikologis, lingkungan, dan faktor pengalaman
hidup semuanya memiliki peranan dalam kejadian depresi. Bagaimanapun juga
faktor resiko terbesar adalah stress yang kronis, yang diartikan sebagai kelebihan
kejadian negatif pada 6 bulan sebelum onset depresi.

24
2.3.1 Sumbu Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA) dan Stres
Stressor dapat didefinisakan sebagai semua jenis stimulus yang
mengganggu mekanisme homeostasis normal. Stressor dapat juga berupa
perubahan yang cepat pada temperatur tubuh atau tekanan darah, sedikitnya intake
makanan dalam waktu yang lama, penyakit, infeksi, dan nyeri. Selanjutnya
terdapat stressor yang sering kita jumpai, rasa takut, khawatir, kehilangan
pekerjaan. Pertahanan tubuh pertama dalam melawan perubahan homeostatik
adalah respon simpatis. Neuroendokrin pada sumbu stress hypothalamo-pituitary-
adrenal (HPA) secara tradisional dianggap makin lambat, perlindungan terhadap
stress. Walaupun demikian, seperti penyediaan substrat energi yang digunakan
untuk menyokong respon simpatis, sumbu stress HPA berpengaruh untuk semua
penilaian situasi stress, seperti perilaku dan adaptasi endokrin pada stress.4

2.3.2 Sumbu HPA pada Stres Kronis dan Depresi


Semua penelitaian pada manusia dan hewan, kelangsungan hidup selama
menerima stress kronis tidak hanya pada peningkatan sekresi hormone
kortikosteroid untuk pemeliharaan pada wajah dari kontrol umpan balik negatif,
tetapi juga bahwa penambahan respon kortikosteroid bisa mempercepat datangnya
stressor jika dibutuhkan. seperti kebutuhan dikte respon adaptif pada semua
tingkatan sumbu HPA. Namun kelanjutan dan lamanya stress mungkin
mengganggu sumbu HPA seperti pada luasnya mekanisme umpan balik negatif
yang terganggu; respon adaptif pada sumbu HPA mungkin menjadi maladaptif.
Selama stress kronis terdapat perubahan fungsi sumbu HPA yang menetap.
Terdapat persamaan yang mencolok antara perubahan tersebut dan itu terlihat
pada klinis depresi.
Dibawah ini terdapa skema yang menampilkan modulasi sumbu HPA pada
respon stress, jalur stimulasi pada sumbu HPA (kuning) ditampilkan dengan
warna hijau, dan jalur penghambat ditampilkan dengan warna merah. Stressor
yang berasal dari berbagai macam sumber mengaktifkan neuron pada sel parvo di
nucleus paraventrikularis yang mengandung salah satu dari CRH, vasopresin
arginin (AVP) atau keduanya. Peptida tersebut kemudian dilepaskan kedalam

25
system porta hipofisis dan ditransport ke kelenjar hipofisis anterior. CRH bekerja
pada kortikotropin kelenjar hipofisis sebagai sekretagok yang bersinergi dengan
sekretagok vasopressin yang lebih lemah untuk melepaskan hormone ACTH
kedalam sirkulasi sistemik. ACTH bekerja pada reseptor khusus di zona fasikulata
di korteks adrenal untuk sintesis awal dan melepaskan hormone glukokortikoid
kortisol. Glukokortikoid berfungsi terutama pada reseptor glukokortikoid (GR),
menekan umpan balik untuk mempengaruhi hipofisis agar mencegah pelepasan
ACTH lebih lanjut pada nucleus paraventrikularis untuk mencegah CRH lebih
lanjut dan pelepasan vasopressin, serta pada korteks adrenal untuk mencegah
pelepasan glukokortikoid lebih lanjut. Penambahan umpan balik mungkin
disediakan melalui reseptor glukokortikoid (GR) dan afinitas tinggi pada kerja
reseptor mineral kortikoid dalam hipokampus untuk memodulasi glutamate,
aktivasi stumulus dari penghambat GABAergik dalam bantalan nukleus dari stria
terminalis (BNST). Sumbu HPA mungkin juga diregulasi dengan penambahan
masukan stimulus serotonergik stemotak (5-HT) dan neuron noradrenergic (NA),
dari amigdala (A), dan dengan sitokin inflamasi interleukin-1ß (IL-1ß), semuanya
mungkin mengubah subjek menjadi umpan balik glukokortikoid negative.
Penambahan dalil masukan penghambat disediakan oleh glandula pinealis dan
substansi P neurokinin (SP).4

26
2.3.3 Sumbu HPA dan Nyeri Kronis
Nosiseptor dan interaksi sumbu HPA yang mungkin mendasari
komorbiditas dari nyeri kronis dan depresi di tampilkan dalam skema di bawah
ini. Pusat dari hipotesis akhir adalah konsep dari stress kronis yang ditimbulkan
oleh peran nyeri kronis untuk menghilangkan umpan balik negatif glukokortikoid
pada sumbu HPA, menghasilkan sebuah kontrol positif pada sumbu, dan regulasi
bawah dari reseptor glukokortikoid dalam otak dan perifer. Inflamasi dan cedera
saraf menstimulasi neuron yang nosiresponsif dalam tanduk belakang medulla
spinalis, dan menyampaikan informasi nosiseptif asenden pada brain stem untuk
menjadi gerbang dalam thalamus terdahulu untuk tafsiran kognitif dalam korteks
somatosensoris. Neuron monoaminergik pada brainstem normalnya menurun ke
medulaspinalis untuk bekerja sebagai sebuah “kerusakan” pada transmisi
nosiseptif. Selama nyeri kronis, hilangnya irama monoaminergik berespon
terhadap induksi glukokortikoid, penurunan monoamine mungkin memicu
penurunan impuls penghambat desenden ke medulla spinalis untuk efek
peningkatan sensasi nyeri, hilangnya penghambat glukokortikoid pada irama
sitokin proinflamasi untuk kejadian inflamasi perifer berkontribusi pada sensasi
nyeri. Meskipun stress akut adalah analgetik, mengisaratkan bahwa sirkuit
penghambat antara limbik dan korteks somatosensoris, stress kronis yang dipicu
oleh nyeri kronis mungkin ditujukan untuk regulasi bawah dari aktivitas
glukokortikoid termediasi dari hubungan penghambat ini, mengawali persepsi
nyeri yang telah ditingkatkan. Sama halnya, meskipun nyeri akut meningkatkan
mood melalui jalur simpatis dan jalur glukokortikoid (mengisaratkan eksitasi jalur
resiprokal antara somatosensoris dan korteks limbik), nyeri kronis yang diinduksi
regulasi bawah dari modulasi glukokortikoid pada jalur ini mungkin mengawali
mood terdepresi.4

27
2.3.4 Nyeri Kronis dan Depresi
Diperkirakan lebih dari 50 % pasien yang menderita nyeri kronis
menunjukkan diagnosa klinis gejala dari depresi. Namun nyeri kronis seperti
depresi bukanlah sebuah penyakit tersendiri. Pada ketentuan medis, hal ini
didefinisikan bahwa rentang waktu sebuah spektrum luas dari patofisiologi dan
etiologi psikoligis. Secara umum hal ini bisa dikategorikan dalam empat kelas
berdasarkan penyebabnya:
1. Tidak terdiagnosa secara medis atau penyakit bedah
2. Gangguan psikiatrik
3. Lesi neurologis (contoh: sklerosis multipel), atau
4. Lesi somatik (kanker, nyeri tulang belakang, nyeri kepala, HIV, dan
arthritis rheumatoid).
Pengobatan nyeri kronis terlihat sebagai tantangan yang sulit, hal ini
membutuhkan sebuah pendekatan multidisipliner termasuk farmakoterapi, terapi
kognitif, psikoterapi, dan bedah saraf.4

28
2.3.4 CRH dan Vasopressin
Disamping peran sebagai sekretagok sentral utama dari sumbu HPA, CRH
berperan suntuk memicu analgesik dengan aksi perifer maupun sentral. Aksi
analgetik perifer terlihat terhubung pada respon inflamasi lokal, bekerja pada
reseptor CRH pada sel imun menimbulkan pelepasan peptida opioid, dimana
mengubah penghambat aktivitas neuron aferen. Walaupun efek analgetik sentral
dari CRH sedikit dipublikasikan, Larivierre dan Melzack menyatakan bahwa
CRH pada rentang dosis yang sempit dapat bekerja sebagai antinosiseptif dalam
sistem saraf pusat. Aksi analgetik pada CRH terlihat dalam melawan keterlibatan
sumbu HPA yang hiperaktif dalam membentuk nyeri kronis, namun banyak kasus
klinis pada nyeri kronis berhubungan dengan penurunan ekspresi CRH pusat dan
penurunan pelepasannya.4

2.3.5 Sitokin
Potensi elemen inflamasi untuk memerankan regulasi pada sumbu HPA
independen dan mendasari kejadian imunologis, ini merupakan konsep baru, dan
terus didukung sejalan dilaporkan depresi pada kanker yang mendapat terapi
sitokin termasuk interferon. Kebanyakan bukti ilmiah pada penelitian untuk
interaksi sitokin dan HPA berkenaan dengan sitokinpleitropik proinflamasi, IL-1ß.
Injeksi sentral dai IL-1ß menghasilkan efek perilaku pada mimik berbagai gejala
penyakit depresi, termasuk supresi intake makanan, depresi aktivitas lokomotorik,
penurunan eksplorasi social, merubah persepsi ruang, menurunkan atensi, defisit
memori, hiperalgesia, dan peningkatan gelombang tidur lambat.4

2.3.6 Monoamin
Peran noradrenalin otak dan serotonin pada depresi telah dibuktikan,
namun bukti yang menyebutkan sebuah hubungan antara monoamine dan sumbu
HPA sering dilupakan. Data mengindikasikan bahwa efek utama dari noradrenalin
adalah sebuah fasilitas, dihubungkan melalui reseptor ɑ adrenergik. Noradrenergik
mempersarafi sel parvo pada nucleus paraventrikularis terutama muncul pada
kelompok sel A2 pada brain stem, dan berjalan melalui bundel adrenergik ventral

29
(VNAB) untuk mengenai sel CRH. Stimulasi elektris dari VNAB meningkatkan
sekresi kortisol plasma dan melepaskan CRH kedalam portal darah hipofisis.
ACTH yang dipicu stress dan pelepasan kortikosteron dilemahkan setelah lesi
pada serat noradrenergik di VNAB atau nucleus paraventrikularis dengan 6-
hidroksidopamin. Penurunan noradrenalin juga memblok transmisi impuls dari
subikulum ventral pada hipokampus hingga hipotalamus. Sinapsis neuron
glutamatergik tersebut dengan neuron GABA pada bantalan nukleus stria
terminalis (BNST), spekulasi yang menggembirakan bahwa penurunan irama
noradrenergik selama gangguan depresif mungkin menghasilkna peningkatan
aktivitas pada nukleus paraventrikularis melalui hilangnya penghambat irama
GABA. Penambahan jaringan untuk aktivasi HPA mungkin disediakan oleh
amigdala dimana diterima sebuah densitas input noradrenergik dari lokus soreolus
yang mempersarafi nukleus paraventrikularis. Lesi yang diperbaiki pada amigdala
dicetuskan oleh stress dengan melepas hormone HPA ke berbagai stressor. Peran
dari serotonin (5-HT) pada regulasi sumbu HPA telah dilaporkan terutama juga
stimulasinya. Obat yang menungkatkan pembuangan 5-HT seperti fenfluramine
menghambat ambilan 5-HT, termasuk menghambat pengambilan kembali
serotonin selektif. Nukleus paraventrikularis (PVN) menerima masukan
serotonergik dari nukleus raphe otak tengah melalui bundel otak depan, lebih
lanjut penurunan 5-HT dalam raphe atau PVN dengan neurotoksin 57-
dihidrotriptamin menyebabkan penurunan 5-HT di hipotalamus dan menghambat
stimulasi pelepasan kortikosteron. Tingginya konsentrasi kortikosteron
berhubungan dengan regulasi bawah pada reseptor 5-HT1A post sinaptik. Hal ini
menghasilkan perilaku anxiogenik, yang sering terlihat pada gangguan depresif.4

2.3.7 Substansi P
Aksi cepat substansi P pada sumbu HPA sedikit banyak dihambat, dimana
agonis NK2 dan NK3 terlihat di stimulasi. Namun penelitian dari efek substansi P
kronis sangat sedikit dilaporkan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa substansi
P langsung distimulasi korteks adrenal untuk melepas glukokortikoid, secara tidak
langsung menstimulasi medula adrenal untuk melepas katekolamin dan stimulasi

30
substansi P tersebut. Sel kromatin medulla adrenal mungkin berubah melalui
kontrol parakrin pada sel adrenokortikal. Lebih lanjut aktivasi jalur substansi P
sentral terjadi pada respon stress akut dan stimulus nyeri yang berbahaya, dan
pengulangan pemberian antidepresan menyebabkan sebuah regulasi bawah dari
substansi P pada berbagai area otak pada hewan percobaan. Peranan potensial
antidepresan pada antagonis substansi P masih dalam penelitian.4

31
BAB III
KESIMPULAN

Depresi bukanlah penyakit tersendiri, istilah tersebut digunakan secara luas


untuk mendeskripsikan banyaknya penyakit yang memiliki beberapa gejala utama
yang terjadi. Nyeri pada penyakit kronis dan depresi berhubungan pada beberapa
tingkatan yaitu neurobiologis, psikologis, dan perilaku.

Angka kejadian depresi dipengaruhi oleh jenis kelamin, usia, status


perkawinan, riwayat sosioekonomi dan budaya. Etiologinya berupa faktor genetik,
biokimia, hormonal, faktor kepribadian premorbid, dan faktor lingkungan. Adapun
klasifikasinya di bagi atas episode depresi ringan, depresi sedang, depresi berat
(dengan atau tanpa gejala psikotik), episode depresif lain, depresi yang tidak
tergolongkan, dan depresi berulang. Diagnosa depresi menggunakan konsep
gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada DSM-IV dan
konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioral Disorders.

Nyeri merupakan sensori subyektif dan emosional yang tidak


menyenangkan yang didapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun
potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut jenisnya
nyeri dibagi atas nyeri nosiseptik, nyeri neurogenik, dan nyeri psikogenik.
Berdasarkan onsetnya dibagi menjad nyeri akut dan nyeri kronis. Berdasarkan
etiologinya dibagi atas nyeri onkologik dan nyeri non onkologik. Dan menurut
derajatnya dibagi menjadi nyeri ringan, sedang dan berat.

Mekanisme depresi pada nyeri kronis tidak hanya masalah defisit


biokimia pada jalur neurotransmitte. Genetika, biokimia, sosioekonomi,
psikologis, lingkungan, dan faktor pengalaman hidup semuanya memiliki peranan
dalam kejadian depresi. Bagaimanapun juga faktor resiko terbesar adalah stress
yang kronis, yang diartikan sebagai kelebihan kejadian negatif pada 6 bulan
sebelum onset depresi.

32
Mekanisme nyeri melibatkan sumbu hipotalamo-pituitari adrenal (HPA).
secara ringkas mekanisme nyeri dimulai dari stressor yang mengaktifkan neuron
sel parvo pada nukleus paraventrikularis yang mengandung corticotropine
releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP) yang dilepaskan ke
hipofisis anterior, hal ini mengaktifkan CRH untuk melepaskan
adrenocorticotropine hormone (ACTH) ke sirkulasi sitemik, ACTH
mempengaruhi zona fasikulata di korteks adrenal untuk mensintesis
glukokortikoid (kortisol), kortisol menekan umpan balik untuk mencegah
pelepasan ACTH yang memicu sintesis kortisol. Selain itu mekanisme nyeri juga
dipengaruhi serotonin, noradrenalin dan sitokin serta neurokinin di glandula
pinealis yang mempengaruhi umpan balik negatif sehingga pelepasan kortisol
meningkat.

33
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Idaiani S, Bisara D. Komorbiditas Depresi dengan Penyakit Fisik


Menahun. Jurnal Penyakit Tidak Menular Indonesia Vol 1. Pulitbang
Biomedis dan Farmasi, Badan Litbang Kesehatan Depkes RI. Jakarta;
2009; hal 19-29
2. Kaplan, HI, Sadock BJ, Grebb JA, Sinopsis Psikiatri “Ilmu Pengetahuan
Perilaku Psikiatri Klinis”, Jilid I. Binarupa Aksara Publisher. Jakarta;
2010; hal 791-878
3. Von KM, Gregory S. The Relationship Between Pain and Depression. The
British Journal of Psychiatry. Vol 168. The Royal Collage of Psychiatrist.
Seattle, Washington; 1996; p 101-108
4. Munro GB, Munro REB. Chronic Pain, Chronic Stress, and Depression.
Journal of Neuroendocrinology Vol 13. Laboratory of
Neuroendocrinology, Departemant of Biomedical Science. University of
Edinburgh. Copenhagen, Denamark; 2001; p 1009-1023.
5. Ismail RI, Siste K. Gangguan depresi. Dalam : Elvira SD, Hadisukanto G.
Buku ajar psikiatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta; 2010.hal.209 – 222
6. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan I.
Departemen Kesehatan RI; Jakarta; 2003

34

Anda mungkin juga menyukai