PENDAHULUAN
1
bentuk somatisasi pada emosi negatif yang diekspresikan melalui komponen
tubuh, termasuk nyeri. Sebuah konsep yang sesuai, penekanan somatosensori yang
didefinisikan sebagai sebuah peningkatan kecenderungan pada pengalaman dan
gejala disforik termasuk nyeri. Hal ini memperlihatkan bahwa penekanan
somatosensori merupakan sebuah komponen sifat yang sama dengan neurotik, dan
merupakan sebuah komponen yang menghubungkan penekanan dengan distress
psikologis. Pada tingkatan perilaku, terdapat hipotesis bahwa depresi terjadi
sekunder dari ketidaksesuaian peran sosial dan penurunan tingkat aktifitas sebagai
sebuah bentuk yang sangat sedikit dipelajari.3
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Depresi
1. Jenis Kelamin
Angka kejadian pada perempuan dua kali lipat lebih besar dibanding laki-
laki. Diduga adanya perbedaan hormon, pengaruh melahirkan, perbedaan
stresor psikososial antara laki-laki dan perempuan, dan model perilaku
yang dipelajari tentang ketidakberdayaan.5
Pada pengamatan yang hampir universal, terlepas dari kultur dan negara,
terdapat prevalensi gangguan depresif berat yang dua kali lebih besar ada
wanita dibandingkan dengan laki-laki.2 Pada penelitian lain disebutkan
bahwa wanita 2 hingga 3 kali lebih rentan terkena depresi dibandingkan
laki-laki. Walaupun alasan adanya perbedaan tersebut tidak diketahui,
alasan untuk perbedaan tersebut didalilkan sebagai keterlibatan dari
perbedaan hormonal, efek kelahiran, perbedaan stresor psikososial dan
model perilaku keputusasaan yang dipelajari.2
3
substansi otak yang mengatur emosi dan mood contohnya dapat dilihat
pada situasi Pre Menstrual Syndrome (PMS). Untuk wanita yang telah
menikah, depresi dapat diperparah dengan masalah keluarga dan
pekerjaan, merawat anak dan orang tua lanjut usia, kekerasan dalam rumah
tangga dan kemiskinan.
2. Usia
Rata-rata usia sekitar 40 tahun-an. Hampir 50% onset diantara usia 20-50
tahun. Gangguan depresi berat dapat timbul pada masa anak atau lanjut
usia. Data terkini menunjukkan gangguan depresi berat diusia kurang dari
20 tahun. Mungkin berhubungan dengan meningkatnya pengguna alkohol
dan penyalahgunaan zat dalam kelompok usia tersebut.5
Pada umumnya, rata-rata usia onset untuk gangguan depresif berat adalah
kira-kira 40 tahun, dimana 50% dari semua pasien mempunyai onset antara
usia 20 dan 50 tahun. Gangguan depresif berat juga memiliki onset selama
masa anak-anak atau pada lanjut usia. Beberapa data epidemiologis
menyatakan bahwa insidensi gangguan depresif berat mungkin meningkat
pada orang-orang yang berusia kurang dari 20 tahun.2 Pada penelitian lain
yang dilakukan oleh Akhtar didapatkan bahwa tingkat prevalensi tertinggi
terjadi pada kelompok usia 20-24 tahun (14,3%) dan yang terendah pada
kelompok usia >75 tahun (4,3%), sementara data yang didapatkan dari
NIMH menyebutkan bahwa tingkat depresi terbanyak ditemukan pada
kelompok usia >18 tahun (10%).
3. Status Perkawinan
4
Pada umumnya, gangguan depresif berat terjadi paling sering pada orang
yang tidak memiliki hubungan interpersonal yang erat, pasangan yang
bercerai atau berpisah.3 Penelitian yang dilakukan oleh Akhtar
memperlihatkan bahwa prevalensi tertinggi dari depresi didapatkan pada
pasangan yang bercerai atau berpisah.
2.1.2 Etiologi
1. Faktor genetik
5
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di dalam
perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola penurunan
genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks. Bukan saja tidak
mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik
kemungkinan memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan
mood pada sekurangnya beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan
bahwa sanak saudara derajat pertama dari penderita gangguan depresif
berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar dari pada sanak saudara
derajat pertama.2
2. Faktor Biokimia
6
mencetuskan timbulnya depresi yaitu neurotransmitter asam amino
khususnya GABA (Gamma-Aminobutyric Acid) dan peptida neuroaktif
(vasopressin dan opiate endogen), regulasi neuroendokrin dan
neuroanatomis.2
Pada regulasi neuroendokrin, gangguan mood dapat disebabkan terutama
oleh adanya kelainan pada sumbu adrenal, tiroid dan hormon
pertumbuhan. Selain itu kelainan lain yang telah digambarkan pada pasien
dengan gangguan mood adalah penurunan sekresi nocturnal melantonin,
penurunan pelepasan prolaktin terhadap pemberian tryptophan, penurunan
kadar dasar FSH (Follicle Stimullating Hormon) dan LH (Luteinizing
Hormon), dan penurunan kadar testosteron pada laki-laki (Trisdale, 2003).
Penelitian dasar dan klinis tentang hubungan depresi dan hipersekresi
kortisol menyatakan bahwa pelepasan kortisol berawal dari neuron di PVN
(paraventricular nucleus) melepaskan CRH (corticotropin releasing
hormone) yang menstimulasi pelepasan hormon adrenokortikotropik
(ACTH) dari hipofisis anterior. ACTH selanjutnya menstimulasi pelepasan
kortisol dari korteks adrenal.
Gangguan tiroid seringkali disertai disertai dengan gangguan afektif. Suatu
temuan pada penelitian menyatakan bahwa sepertiga dari semua pasien
dengan gangguan depresif berat memiliki pelepasan tirotropin yang tumpul
yaitu TSH (thyroid stimulating hormone) terhadap infus TRH (thyrotopine
releasing hormone).
7
Gambar 2.1.1. Mekanisme terjadinya depresi dengan etiologi neurotransmitter
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin
pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui
kadang-kadang menimbulkan depresi lambat.
Disamping itu, MHPG (Metabolit primer noradrenalin otak) menurun
dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami episode depresi
dan meningkat di saat mereka gembira.
b. Hipotesis Indolamin
8
3. Faktor Hormonal
Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan
dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar,
mereka cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan
bahwa mereka yang mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat
pembelajaran depresi dalam pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka
belajar seperti model yang mereka tiru dalam keluarga, ketika menghadapi
masalah psikologik maka respon mereka meniru perasaan, pikiran dan
perilaku gangguan depresif. Orang belajar dengan proses adaptif dan
maladaptif ketika menghadapi stres kehidupan dalam kehidupannya di
keluarga, sekolah, sosial dan lingkungan kerjanya. Faktor lingkungan
9
mempengaruhi perkembangan psikologik dan usaha seseorang mengatasi
masalah. Faktor pembelajaran sosial juga menerangkan kepada kita
mengapa masalah psikologik kejadiannya lebih sering muncul pada
anggota keluarga dari generasi ke generasi. Jika anak dibesarkan dalam
suasana pesimistik, dimana dorongan untuk keberhasilan jarang atau tidak
biasa, maka anak itu akan tumbuh dan berkembang dengan kerentanan
tinggi terhadap gangguan depresif.5
5. Faktor Lingkungan
Satu pengamatan klinis yang telah lama direplikasi adalah bahwa peristiwa
kehidupan yang menyebabkan stress lebih sering mendahului episode
pertama gangguan mood daripada episode selanjutnya.2 Satu teori yang
diajukan untuk menjelaskan pengamatan tersebut adalah bahwa stress yang
menyertai episode pertama menyebabkan perubahan biologi otak yang
bertahan lama. Perubahan yang bertahan lama tersebut dapat meyebabkan
perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmitter dan sistem
pemberi sinyal intraneuronal. Hasil akhir dari perubahan tersebut akan
10
menyebabkan seseorang berada pada resiko yang lebih tinggi untuk
menderita episode gangguan mood selanjutnya, bahkan tanpa adanya
stresor eksternal.2
2.1.3 Klasifikasi
1. Episode Depresif
Pada semua tiga variasi dari episode depresif khas yang tercantum di
bawah ini: ringan, sedang dan berat, individu biasanya menderita suasana
perasaan (mood) yang depresif, kehilangan minat dan kegembiraan, dan
berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan
berkurangnya aktivitas. Biasanya ada rasa lelah yang nyata sesudah kerja
sedikit saja. Gejala lazim lainnya adalah :6
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c. Gagasan tentang perasaan bersalah dan tidak berguna (bahkan pada
episode tipe ringan sekalipun)
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e. Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f. Tidur terganggu
g. Nafsu makan berkurang
Suasana perasaan (mood) yang menurun itu berubah sedikit dari hari ke
hari, dan sering kali tak terpengaruh oleh keadaan sekitarnya, namun dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berlalunya waktu.
Sebagaimana pada episode manik, gambaran klinisnya juga menunjukkan
variasi individual yang mencolok, dan gambaran tak khas adalah lumrah,
terutama di masa remaja. Pada beberapa kasus, anxietas, kegelisahan dan
agitasi motorik mungkin pada waktu-waktu tertentu lebih menonjol
daripada depresinya, dan perubahan suasana perasaan (mood) mungkin
juga terselubung oleh ciri tambahan seperti iritabilitas, minum alkohol
berlebih, perilaku histrionik, dan eksaserbasi gejala fobik atau obsesif yang
sudah ada sebelumnya, atau oleh preokupasi hipokondrik. Untuk episode
11
depresif dari ketiga-tiganya tingkat keparahan, biasanya diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi
periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan
berlangsung cepat.6
Beberapa di antara gejala tersebut di atas mungkin mencolok dan
memperkembangkan ciri khas yang dipandang secara luas mempunyai
makna klinis khusus. Contoh paling khas dari gejala somatik ialah
kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat
dinikmati, tiadanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa
yang biasanya menyenangkan, bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih
daripada biasanya, depresi yang lebih parah pada pagi hari, bukti objektif
dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata (disebutkan atau
dilaporkan oleh orang lain), kehilangan nafsu makan secara mencolok,
penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat
badan bulan terakhir), kehilangan libido secara mencolok. Biasanya,
sindrom somatik ini hanya dianggapp ada apabila sekitar empat dari gejala
itu pasti dijumpai.6
12
F32.1 Episode depresif sedang
Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala yang paling khas yang
ditentukan untuk episode depresif ringan, ditambah sekurang-kurangnya
tiga (dan sebaiknya empat) gejala lainnya. Beberapa gejala mungkin tampil
amat menyolok, namun ini tidak esensial apabila secara keseluruhan ada
cukup banyak variasi gejalanya. Lamanya seluruh episode berlangsung
minimal sekitar 2 minggu.6
Individu dengan episode depresif taraf; sedang biasanya menghadapi
kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan dan urusan
rumah tangga.6
13
Kategori ini hendaknya digunakan hanya untuk episode depresif berat
tunggal tanpa gejala psikotik; untuk episode selanjutnya, harus digunakan
subkategori dari gangguan depresif berulang.
14
F33 Gangguan Depresif Berulang
Gangguan ini tersifat dengan episode berulang dari depresi sebagaimana
dijabarkan dalam episode depresif ringan, sedang, atau berat, tanpa riwayat
adanya episode tersendiri dari peninggian suasana perasaan dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania dan hiperaktivitas ringan
yang memenuhi kriteria hipomania segera sesudah suatu episode depresif
(kadang-kadang tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
Usia dari onset, keparahan, lamanya berlangsung, dan frekuensi episode
dari depresi, semuanya sangat bervariasi. Umumnya episode pertama
terjadi pada usia lebih tua dibanding dengan gangguan bipolar, dengan usia
onset rata-rata lima puluhan. Episode masing-masing juga lamanya antara
3 dan 12 bulan (rata-rata lamanya sekitar 6 bulan) akan tetapi frekuensinya
lebih jarang. Pemulihan keadaaan biasanya sempurna di antara episode,
namun sebagian kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya
menetap, terutama pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus
tetap digunakan). Episode masing-masing dalam berbagai tingkat
keparahan, seringkali dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh
sters; dalam berbagai budaya, baik episode tersendiri maupun depresi
menetap dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria.
Bagaimanapun seringnya seseorang pasien gangguan depresif berulang
mengalami episode depresif sebagai penderitaan, tidak mustahil baginya
akan mengalami episode manik. Jika ternyata terjadi episode manik, maka
diagnosisnya harus diubahmenjadi gangguan afektif bipolar.
15
Pasien dalam keadaan mood terdepresi memperlihatkan kehilangan energi
dan minat, merasa bersalah, sulit berkonsentrasi, hilangnya nafsu makan, berpikir
mati atau bunuh diri. Tanda dan gejala lain termasuk perubahan dalam tingkat
aktivitas, kemampuan kognitif, bicara dan fungsi vegetative (termasuk tidur,
aktivitas seksual dan ritme biologik yang lain). Gangguan ini hampir selalu
menghasilkan hendaya interpersonal, sosial dan fungsi pekerjaan.5
16
penyakit yang dideritanya merupakan suatu hukuman untuk dosanya di
masa lampau, baik itu dosa yang dikhayalkannya maupun kesalahan
yang memang benar-benar pernah ia lakukan. Pasien juga bisa merasa
bahwa dia dipandang rendah dan dituduh bejad oleh orang lain.
Kemungkinan ada keasyikan sendiri, hipokondriasis dan waham
hipokondria. Mungkin juga ada waham kemiskinan atau waham
nihilistik.
Pikiran untuk melakukan bunuh diri dapat timbul pada sekitar dua pertiga
pasien depresi, dan 10-15% melakukan bunuh diri. Mereka yang dirawat dirumah
sakit dengan percobaan bunuh diri dan ide bunuh diri mempunyai umur hidup
lebih panjang disbanding yang tidak dirawat. Beberapa pasien depresi terkadang
tidak menyadari ia mengalami depresi dan tidak mengeluh tentang gangguan
mood meskipun mereka menarik diri dari keluarga, teman dan aktifitas yang
sebelumnya menarik bagi dirinya. Hampir semua pasien depresi (97%) mengeluh
tentang penurunan energi dimana mereka mengalami kesulitan menyelesikan
tugas, mengalami kendala disekolah dan pekerjaan, dan menurunnya motivasi
17
untuk terlibat dalam kegiatan baru. Sekitar 80% pasien mengeluh masalah tidur,
khusunya terjaga dini hari (terminal insomnia) dan sering terbangun dimalam hari
karena memikirkan masalh yang dihadapi. Kebanyakan pasien menunjukkan
peningkatan atau penurunan nafsu makan, demikian pula dengan bertambah dan
menurunnya berat badan serta mengalami tidur lebih lama dari yang biasa.6
2.1.5 Diagnosis
Konsep gangguan jiwa yang terdapat dalam PPDGJ III ini merujuk kepada
DSM-IV dan konsep disability berasal dari The ICD-10 Classification of Mental
and Behavioral Disorders. Menurut PPDGJ (2003), gangguan afektif berupa
depresi dapat terbagi menjadi episode depresif dan episode depresif berulang,
dimana episode depresif sendiri terbagi menjadi episode depresif ringan, sedang,
dan berat. Sedangkan untuk episode berulang terbagi menjadi episode berulang
episode kini ringan, episode kini sedang, episode kini berat tanpa gejala psikotik,
episode kini berat dengan gejala psikotik dan episode kini dalam remisi.
18
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga
menggunakan sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting
lainnya, yaitu:
19
b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik
Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari
gangguan depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok
pasien yang dinyatakan oleh beberapa data adalah lebih responsive
terhadap terapi farmakologi dari pada pasien nonmelankolik.
c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal
Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan
secara resmi adalah sebagai respons terhadap penelitian dan data klinis
yang menyatakan bahwa pasien atipikal memiliki karakteristik yang
spesifik dan dapat diramalkan. Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan
dan tidur berlebihan.
2.2 Nyeri
20
2. Menurut timbulnya nyeri : nyeri akut dan nyeri kronis.
3. Menurut penyebabnya : nyeri onkologik dan nyeri non onkologik.
4. Menurut derajat nyerinya : nyeri ringan, sedang dan berat.
21
2.2.2 Fisiologi Nyeri
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang secara
potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang tidak
bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan pada
daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang timbul juga
memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
1. Serabut A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30 m/det) yang
memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan
2. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det) yang
terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat tumpul dan
sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik (deep somatic) dalam meliputi reseptor
nyeri yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan
penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul
merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri yang
timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan organ, tetapi
sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
22
Seperti halnya berbagai stimulus yang disadari lainnya, persepsi nyeri
dihantarkan oleh neuron khusus yang bertindak sebagai reseptor, pendeteksi
stimulus, penguat dan penghantar menuju sistem saraf pusat. Sensasi tersebut
sering didekripsikan sebagai protopatik (noxious) dan epikritik (non-noxious).
Sensasi epiritik (sentuhan ringan, tekanan, propriosepsi, dan perbedaan
temperatur) ditandai dengan reseptor ambang rendah yang secara umum
dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin. Sebaliknya, sensasi protopatik
(nyeri) ditandai dengan reseptor ambang tinggi yang dihantarkan oleh serabut
saraf bermielin yang lebih kecil (A delta) serta serabut saraf tak bermielin
(serabut C). Stimulus ini melalui empat proses tersendiri yaitu :
1. Transduksi
Proses rangsangan yang mengganggu sehingga menimbulkan aktivitas
listrik di reseptor nyeri. Terjadi karena pelepasan mediator kimia seperti
prostaglandin dari sel rusak, bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast,
serotonin dari trombosit dan substansi P dari ujung saraf. Stimuli ini dapat
berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri).
2. Transmisi
Proses penerusan impuls nyeri dari tempat transduksi melalui nosiseptor
saraf perifer. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan
serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana
impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh
traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya
impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui
neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan
sebagai persepsi nyeri.
3. Modulasi
Melibatkan aktivitas saraf melalui jalur-jalur saraf desenden dari otak yang
dapat mempengaruhi transmisi nyeri setinggi medula spinalis. Modulasi ini
juga melibatkan faktor-faktor kimiawi yang menimbulkan atau
meningkatkan aktifitas di reseptor nyeri.
23
4. Persepsi
Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari
proses transduksi, transmisi, dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi
nyeri.
24
2.3.1 Sumbu Hypothalamo-Pituitary-Adrenal (HPA) dan Stres
Stressor dapat didefinisakan sebagai semua jenis stimulus yang
mengganggu mekanisme homeostasis normal. Stressor dapat juga berupa
perubahan yang cepat pada temperatur tubuh atau tekanan darah, sedikitnya intake
makanan dalam waktu yang lama, penyakit, infeksi, dan nyeri. Selanjutnya
terdapat stressor yang sering kita jumpai, rasa takut, khawatir, kehilangan
pekerjaan. Pertahanan tubuh pertama dalam melawan perubahan homeostatik
adalah respon simpatis. Neuroendokrin pada sumbu stress hypothalamo-pituitary-
adrenal (HPA) secara tradisional dianggap makin lambat, perlindungan terhadap
stress. Walaupun demikian, seperti penyediaan substrat energi yang digunakan
untuk menyokong respon simpatis, sumbu stress HPA berpengaruh untuk semua
penilaian situasi stress, seperti perilaku dan adaptasi endokrin pada stress.4
25
system porta hipofisis dan ditransport ke kelenjar hipofisis anterior. CRH bekerja
pada kortikotropin kelenjar hipofisis sebagai sekretagok yang bersinergi dengan
sekretagok vasopressin yang lebih lemah untuk melepaskan hormone ACTH
kedalam sirkulasi sistemik. ACTH bekerja pada reseptor khusus di zona fasikulata
di korteks adrenal untuk sintesis awal dan melepaskan hormone glukokortikoid
kortisol. Glukokortikoid berfungsi terutama pada reseptor glukokortikoid (GR),
menekan umpan balik untuk mempengaruhi hipofisis agar mencegah pelepasan
ACTH lebih lanjut pada nucleus paraventrikularis untuk mencegah CRH lebih
lanjut dan pelepasan vasopressin, serta pada korteks adrenal untuk mencegah
pelepasan glukokortikoid lebih lanjut. Penambahan umpan balik mungkin
disediakan melalui reseptor glukokortikoid (GR) dan afinitas tinggi pada kerja
reseptor mineral kortikoid dalam hipokampus untuk memodulasi glutamate,
aktivasi stumulus dari penghambat GABAergik dalam bantalan nukleus dari stria
terminalis (BNST). Sumbu HPA mungkin juga diregulasi dengan penambahan
masukan stimulus serotonergik stemotak (5-HT) dan neuron noradrenergic (NA),
dari amigdala (A), dan dengan sitokin inflamasi interleukin-1ß (IL-1ß), semuanya
mungkin mengubah subjek menjadi umpan balik glukokortikoid negative.
Penambahan dalil masukan penghambat disediakan oleh glandula pinealis dan
substansi P neurokinin (SP).4
26
2.3.3 Sumbu HPA dan Nyeri Kronis
Nosiseptor dan interaksi sumbu HPA yang mungkin mendasari
komorbiditas dari nyeri kronis dan depresi di tampilkan dalam skema di bawah
ini. Pusat dari hipotesis akhir adalah konsep dari stress kronis yang ditimbulkan
oleh peran nyeri kronis untuk menghilangkan umpan balik negatif glukokortikoid
pada sumbu HPA, menghasilkan sebuah kontrol positif pada sumbu, dan regulasi
bawah dari reseptor glukokortikoid dalam otak dan perifer. Inflamasi dan cedera
saraf menstimulasi neuron yang nosiresponsif dalam tanduk belakang medulla
spinalis, dan menyampaikan informasi nosiseptif asenden pada brain stem untuk
menjadi gerbang dalam thalamus terdahulu untuk tafsiran kognitif dalam korteks
somatosensoris. Neuron monoaminergik pada brainstem normalnya menurun ke
medulaspinalis untuk bekerja sebagai sebuah “kerusakan” pada transmisi
nosiseptif. Selama nyeri kronis, hilangnya irama monoaminergik berespon
terhadap induksi glukokortikoid, penurunan monoamine mungkin memicu
penurunan impuls penghambat desenden ke medulla spinalis untuk efek
peningkatan sensasi nyeri, hilangnya penghambat glukokortikoid pada irama
sitokin proinflamasi untuk kejadian inflamasi perifer berkontribusi pada sensasi
nyeri. Meskipun stress akut adalah analgetik, mengisaratkan bahwa sirkuit
penghambat antara limbik dan korteks somatosensoris, stress kronis yang dipicu
oleh nyeri kronis mungkin ditujukan untuk regulasi bawah dari aktivitas
glukokortikoid termediasi dari hubungan penghambat ini, mengawali persepsi
nyeri yang telah ditingkatkan. Sama halnya, meskipun nyeri akut meningkatkan
mood melalui jalur simpatis dan jalur glukokortikoid (mengisaratkan eksitasi jalur
resiprokal antara somatosensoris dan korteks limbik), nyeri kronis yang diinduksi
regulasi bawah dari modulasi glukokortikoid pada jalur ini mungkin mengawali
mood terdepresi.4
27
2.3.4 Nyeri Kronis dan Depresi
Diperkirakan lebih dari 50 % pasien yang menderita nyeri kronis
menunjukkan diagnosa klinis gejala dari depresi. Namun nyeri kronis seperti
depresi bukanlah sebuah penyakit tersendiri. Pada ketentuan medis, hal ini
didefinisikan bahwa rentang waktu sebuah spektrum luas dari patofisiologi dan
etiologi psikoligis. Secara umum hal ini bisa dikategorikan dalam empat kelas
berdasarkan penyebabnya:
1. Tidak terdiagnosa secara medis atau penyakit bedah
2. Gangguan psikiatrik
3. Lesi neurologis (contoh: sklerosis multipel), atau
4. Lesi somatik (kanker, nyeri tulang belakang, nyeri kepala, HIV, dan
arthritis rheumatoid).
Pengobatan nyeri kronis terlihat sebagai tantangan yang sulit, hal ini
membutuhkan sebuah pendekatan multidisipliner termasuk farmakoterapi, terapi
kognitif, psikoterapi, dan bedah saraf.4
28
2.3.4 CRH dan Vasopressin
Disamping peran sebagai sekretagok sentral utama dari sumbu HPA, CRH
berperan suntuk memicu analgesik dengan aksi perifer maupun sentral. Aksi
analgetik perifer terlihat terhubung pada respon inflamasi lokal, bekerja pada
reseptor CRH pada sel imun menimbulkan pelepasan peptida opioid, dimana
mengubah penghambat aktivitas neuron aferen. Walaupun efek analgetik sentral
dari CRH sedikit dipublikasikan, Larivierre dan Melzack menyatakan bahwa
CRH pada rentang dosis yang sempit dapat bekerja sebagai antinosiseptif dalam
sistem saraf pusat. Aksi analgetik pada CRH terlihat dalam melawan keterlibatan
sumbu HPA yang hiperaktif dalam membentuk nyeri kronis, namun banyak kasus
klinis pada nyeri kronis berhubungan dengan penurunan ekspresi CRH pusat dan
penurunan pelepasannya.4
2.3.5 Sitokin
Potensi elemen inflamasi untuk memerankan regulasi pada sumbu HPA
independen dan mendasari kejadian imunologis, ini merupakan konsep baru, dan
terus didukung sejalan dilaporkan depresi pada kanker yang mendapat terapi
sitokin termasuk interferon. Kebanyakan bukti ilmiah pada penelitian untuk
interaksi sitokin dan HPA berkenaan dengan sitokinpleitropik proinflamasi, IL-1ß.
Injeksi sentral dai IL-1ß menghasilkan efek perilaku pada mimik berbagai gejala
penyakit depresi, termasuk supresi intake makanan, depresi aktivitas lokomotorik,
penurunan eksplorasi social, merubah persepsi ruang, menurunkan atensi, defisit
memori, hiperalgesia, dan peningkatan gelombang tidur lambat.4
2.3.6 Monoamin
Peran noradrenalin otak dan serotonin pada depresi telah dibuktikan,
namun bukti yang menyebutkan sebuah hubungan antara monoamine dan sumbu
HPA sering dilupakan. Data mengindikasikan bahwa efek utama dari noradrenalin
adalah sebuah fasilitas, dihubungkan melalui reseptor ɑ adrenergik. Noradrenergik
mempersarafi sel parvo pada nucleus paraventrikularis terutama muncul pada
kelompok sel A2 pada brain stem, dan berjalan melalui bundel adrenergik ventral
29
(VNAB) untuk mengenai sel CRH. Stimulasi elektris dari VNAB meningkatkan
sekresi kortisol plasma dan melepaskan CRH kedalam portal darah hipofisis.
ACTH yang dipicu stress dan pelepasan kortikosteron dilemahkan setelah lesi
pada serat noradrenergik di VNAB atau nucleus paraventrikularis dengan 6-
hidroksidopamin. Penurunan noradrenalin juga memblok transmisi impuls dari
subikulum ventral pada hipokampus hingga hipotalamus. Sinapsis neuron
glutamatergik tersebut dengan neuron GABA pada bantalan nukleus stria
terminalis (BNST), spekulasi yang menggembirakan bahwa penurunan irama
noradrenergik selama gangguan depresif mungkin menghasilkna peningkatan
aktivitas pada nukleus paraventrikularis melalui hilangnya penghambat irama
GABA. Penambahan jaringan untuk aktivasi HPA mungkin disediakan oleh
amigdala dimana diterima sebuah densitas input noradrenergik dari lokus soreolus
yang mempersarafi nukleus paraventrikularis. Lesi yang diperbaiki pada amigdala
dicetuskan oleh stress dengan melepas hormone HPA ke berbagai stressor. Peran
dari serotonin (5-HT) pada regulasi sumbu HPA telah dilaporkan terutama juga
stimulasinya. Obat yang menungkatkan pembuangan 5-HT seperti fenfluramine
menghambat ambilan 5-HT, termasuk menghambat pengambilan kembali
serotonin selektif. Nukleus paraventrikularis (PVN) menerima masukan
serotonergik dari nukleus raphe otak tengah melalui bundel otak depan, lebih
lanjut penurunan 5-HT dalam raphe atau PVN dengan neurotoksin 57-
dihidrotriptamin menyebabkan penurunan 5-HT di hipotalamus dan menghambat
stimulasi pelepasan kortikosteron. Tingginya konsentrasi kortikosteron
berhubungan dengan regulasi bawah pada reseptor 5-HT1A post sinaptik. Hal ini
menghasilkan perilaku anxiogenik, yang sering terlihat pada gangguan depresif.4
2.3.7 Substansi P
Aksi cepat substansi P pada sumbu HPA sedikit banyak dihambat, dimana
agonis NK2 dan NK3 terlihat di stimulasi. Namun penelitian dari efek substansi P
kronis sangat sedikit dilaporkan. Beberapa penelitian menyatakan bahwa substansi
P langsung distimulasi korteks adrenal untuk melepas glukokortikoid, secara tidak
langsung menstimulasi medula adrenal untuk melepas katekolamin dan stimulasi
30
substansi P tersebut. Sel kromatin medulla adrenal mungkin berubah melalui
kontrol parakrin pada sel adrenokortikal. Lebih lanjut aktivasi jalur substansi P
sentral terjadi pada respon stress akut dan stimulus nyeri yang berbahaya, dan
pengulangan pemberian antidepresan menyebabkan sebuah regulasi bawah dari
substansi P pada berbagai area otak pada hewan percobaan. Peranan potensial
antidepresan pada antagonis substansi P masih dalam penelitian.4
31
BAB III
KESIMPULAN
32
Mekanisme nyeri melibatkan sumbu hipotalamo-pituitari adrenal (HPA).
secara ringkas mekanisme nyeri dimulai dari stressor yang mengaktifkan neuron
sel parvo pada nukleus paraventrikularis yang mengandung corticotropine
releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP) yang dilepaskan ke
hipofisis anterior, hal ini mengaktifkan CRH untuk melepaskan
adrenocorticotropine hormone (ACTH) ke sirkulasi sitemik, ACTH
mempengaruhi zona fasikulata di korteks adrenal untuk mensintesis
glukokortikoid (kortisol), kortisol menekan umpan balik untuk mencegah
pelepasan ACTH yang memicu sintesis kortisol. Selain itu mekanisme nyeri juga
dipengaruhi serotonin, noradrenalin dan sitokin serta neurokinin di glandula
pinealis yang mempengaruhi umpan balik negatif sehingga pelepasan kortisol
meningkat.
33
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
34