Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

Tumor pada tulang dan jaringan lunak (benigna & maligna) serta tumor-
like condition sering dinilai sebagai hal yang sama, dikarenakan kondisi-kondisi
tersebut memiliki gambaran klinis, gambaran radiologis, serta gambaran patologis
yang mirip. Klasifikasi dan diagnosis lesi yang berasal dari jaringan mesenkimal
terus berkembang seiring dengan kemajuan dalam pencitraan, histopatologi, dan
genetika. Banyak tumor memiliki spektrum penyakit dari kelainan benigna laten
hingga kelainan destruktif, neoplasma maligna.1

Salah satu tumor pada tulang dan jaringan lunak adalah enchondroma.
Enchondroma merupakan neoplasma intramedularis yang terbentuk dari kartiloga
hyaline yang terdiferensiasi. Lesi ini sering timbul di tulang tubular pada tangan,
femur, dan humerus. Enchondroma memiliki ragam variasi dan kondisi terkait.
Beberapa contoh kondisi terkait enchondroma adalah Maffucci syndrome dan
Ollier’s disease.1

Pada clinical science session ini akan dibahas mengenai Ollier’s disease
dari segi defenisi, epidemiologi, patofisiologi, gambaran klinis, penegakkan
diagnosis, terapi dan prognosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Ollier’s disease pertama kali dideskripsikan oleh Louis Ollier, seorang


dokter bedah perancis pada awal 1800an.3 Kelainan ini didefenisikan sebagai
adanya enchondroma multipel dan dikarakteristikkan oleh lesi kartilago yang
terdistribusi secara asimetris dan sangat bervariasi (dalam hal ukuran, jumlah,
lokasi, progresi, onset, dan kebutuhan operasi). Kelainan ini bersifat non herediter
dan sporadic.4

Ollier disease merupakan salah satu variasi dari enchondromatosis.


Spranger et al membuat klasifikasi dari enchondromatosis berdasarkan gambaran
radiologis, lokasi anatomi, dan sifat terkait-keturunan.5

Tabel 1. Klasifikasi enchondromatosis

Kondisi Gambaran klinis


Spranger type 1 (Ollier disease) Enchondroma multipel pada tulang pipa dan
pipih, mayoritas unilateral
Spranger type 2 (Maffucci Syndrome) Ollier disease yang disertai hemangioma
Spranger type 3 (Metachondromatosis) Enchondroma dan eksositosis multipel
Spranger type 4 Enchondroma multipel dengan platyspondyly
(Spondyloenchondrodysplasia) berat
Spranger type 5 (Enchondromatosis dengan Enchondroma multipel dengan dysplasia
lesi spinal ireguler) corpus vertebral
Spranger type 6 Enchondroma multipel, keterlibatan tangan
(Ceirospondyloenchondromatosis) dan kaki yang berat, platyspondyly ringan,
erosi krista iliaka
Dysspondylochondromatosis Enchondroma apendikular multipel dengan
hemivertebrae, dwarfisme, dan
ketidaksesuaian lengan-tungkai
Genochondromatosis Perbesaran klavikular medial, lesi lusen pada
tulang Panjang
Spranger type IV tidak melibatkan tangan, sedangkan tipe yang lain (terutama I, II, III, dan VI)
melibatkan tangan.
Sumber: Ollier Disease: Pathogenesis, Diagnosis, and Management. 5

2.2 Epidemiologi
Ollier disease adalah kelainan skeletal yang jarang terjadi. Sejauh ini,
prevalensi yang diketahui ini adalah 1/100,000.6 Namun, insidensi sesungguhnya
dari penyakit ini bisa lebih tinggi dikarenakan kondisi ringan bersifat asimtomatik
dan tidak terdeteksi. Penyakit ini memiliki rasio jenis kelamin yang setara.1,5

Selain itu, kelainan ini sering terjadi dimasa kanak kanak. Laporan-laporan
sebelumnya menyatakan bahwa penyakit ini dapat berubah menjadi kondisi
sarcoma dengan kemungkinan sekitar 5-30%.1,6

2.3 Etiologi dan Patogenesis.

Penyebab utama ollier disease belum diketahui secara pasti. Namun diyakini,
kelainan ini disebabkan oleh mutase heterzigos pada gen PTHR1, IDH1
(tersering, dan IDH2. Mutasi dan gangguan pada jumlah penyalinan genomic
menyebabkan adanya kelainan pada banyak jalur pathway penting sehingga
menyebabkan timbulnya ollier disease.5

Sebelumnya, mutasi (P.R150C) pada PTHR1 (3p22-p21.1) dilaporkan


ditemukan pada 2 dari 6 pasien, namun studi elaboratif gagal menunjukkan
adanya mutase pada PTHR1 di 31 pasien. Sebelumnya, ditunjukkan bahwa
pensinyalan IHH sangat rendah pada pensinyalan PTHLH yang aktif pada Ollier
disease. Baru baru ini, 3 dari 14 pasien ollier disease menunjukkan 3 mutasi
heterozigos tambahan (p.G121E; p.A122T dan p.R255H) yang teridentifikasi
pada PTHR1. Mutasi p.G121E dan p.A122T secara heterozigos hanya ada pada
enchondroma bertipe Ollier disease, sedangkan p.T255H juga dapat ditemukan
pada tumor dan DNA leukosit. Mutasi-mutasi tersebut menyebabkan penurunan
fungsi reseptor PTHR1. Sehingga mutasi PTHR1 heterozigos menyebabkan Ollier
disease pada sekelompok kecil pasien. PTHR1 merupakan reseptor hormone
paratiroid dan hormone partiroid-terkait peptide yang aktivasinya dimediasi oleh
protein G yang mengaktifkan siklase adenilil serta phosphatidylinositol-calcium
second messenger system.3

Selain teori diatas, beberapa teori pathogenesis lain yang diajukan untuk Ollier
disease adalah:5

 Perpindahan sisa sel kartilago physeal normal


 Pertumbuhan hamartomatosa dari sel kartilago
 Kegagalan osifikasi endochondral
 Migrasi nidus displastik dari zona ploriferasi phyeal ke zona osifikasi
primer pada metafisis
 Kegagaran diferensiasi terminal pada kondrosit lempeng pertumbuhan
 Mutasi heterozygous pada gen IDH1 dan/atau IDH2
 Hilangnya kromosom (Chr 6 dan Chr 3), delesi, amplifikasi dan perubahan
struktur netral jumlah penyalinan genomic lainnya pada gen

2.4 Gambaran Klinis

Gambaran patognomonik Ollier disease adalah sebagai berikut:

1. onset pada masa kanak-kanak


2. Perubahan radiologis terbatas pada ujung tulang dengan pengelupasan area
longgar, keterlibatan sekunder pada epifises dan tampak bitnik-bintik pada
metafisis & epifises yang bertambah seiring pertumbuhan
3. Adanya gambaran histoologis kartilago pada bagian jaringan yang diambil
dari bagian yang tampak radiolusen pada pemeriksaan rontgen.

Selain gejala tersebut, terdapat beragam variasi gambaran klinis dari ollier
disease. Ollier disease biasanya menimbulkan manifestasi klinis pada decade
pertama kehidupan, namun pada beberapa kasus juga dapat ditemukan pada usia
dewasa muda maupun dewasa.6

Pasien biasanya dating dengan keluhan massa keras yang tidak nyeri. Lesi
dapat bersifat bilateral ataupun unilateral dengan distribusi asitemis. Area
predileksi biasanya adalah tulang apendikular, namun tulang aksial juga dapat
mengalami kondisi ini (pada kasus berat). Enchondromatosis paling sering terlihat
pada tulang phalang dan metacarpal, namun jarang ditemui di tulang carpal.

Kelainan ini juga sering ditemui pada area tulang panjang seperti femur
dan tibia. Trochanter femur adalah area yang sering terlibat, namun collum femur
biasanya tetap dalam keadaan normal. Jika keadaan ini dibiarkan dapat
menimbulkan deformitas seperti genu valgum, dan genu valrus. Pada kasus yang
berat, kelainan ini dapat mengenai tulang pada bagian dada. Jika hal ini terjadi,
dapat mengarah pada timbulnya scoliosis.5

Dalam kondisi yang langka, enchondroma dapat timbul pada tulang basis
cranii. Gejala yang timbul akan berkaitan dengan gangguan pada sistem saraf
pusat seperti ptosis kelopak mata, gangguan pengelihatan progresif disamping
adanya deformitas pada area tulang lainnya.7

Gejala lain yang sering muncul adalah deformitas kosmetik akibat dari
adanya pembengkakan multipel pada ekstremitas. Pembengkakan multipel dapat
dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Pembengkakak multipel pada (A) tangan, (B) kaki.


Sumber : Kumar A, et al. 2015

Pemendekan tulang juga dapat terjadi, namun hal tersebut jarang.


Pemendekan pada kasus ini disebabkan oleh gangguan pertumbuhan yang dapat
terjadi akibat enchondroma pada lempeng epifiseal atau penebalan periosteal yang
timbul akibat reaksi dari lesi enchondromatosa.5

Timbulnya nyeri, ukuran lesi yang semakin membesar, dan penipisan


lapisan korteks adalah gambaran klinis dan radiologis yang mengarah pada
malignansi.
2.5 Penegakkan Diagnosis

Selain gejala klinis, dibutuhkan pemeriksaan penunjang untuk membantu


menegakkan diagnosis ollier disease. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan
adalah pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan histopatologi.

2.5.1 Pemeriksaan Radiologis

Pada foto polos rontgen, enchondroma nampak sebagai lesi osteolitik


dengan bentuk margin yang sklerotik, erosi endosteal, dan ground glass
appearance pada matriks. Area radiolusen pada metaphysis dengan tampilan
“organ pipe appearance” pada tulang panjang tubular terlihat pada ollier’s
disease. Pada lesi terdapat titik kalsifikasi pada gambaran radiologi matrix
kartilago.5

Gambar 2. Gambaran radiologi pada ollier disease (A) jari, (B) pergelangan tangan, (C) tungkai,
(D) kaki, (E) lesi multipel yang tampak jelas
Sumber: Kumar A, et al. 2015
Tangan pada Gambar 2 menunjukkan lesi enchondroma dengan bentuk
globular. Selain itu tidak tampaj adanya reaksi periosteal pada gangguan ini.5

Selain pemeriksaan foto polos rontgen, pemeriksaan CT scan juga dapat


dilakukan untuk ollier disease. Pemeriksaan ini lebih superior karena lebih baik
dalam mendeteksi matriks mineralisasi, pola kalsifikasi, batas lesi lobulasi, dan
derajat serta luasnya endosteal scalloping. Selain itu pemeriksaan ini juga dapat
membantuk dalam memeriksa lesi pada area yang sulit dijangkau dengan
pemeriksaan foto polos rontgen.5

Gambar 3. Gambaran radiologis pada ollier disease (A) CT scan, (B) T2 weighted MRI
Sumber: Kumar A, et al. 2015

Pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan


Magnetic resonance imaging (MRI) pada kasus dimana adanya fraktur patologis
terjadi.5

2.5.2 Pemeriksaan Histopatologis

Gambaran makroskopik dari snchondroma biasanya menunjukkan adanya


gambaran kartilago dengan bentuk oval multiple atau bundar, terbatas pada tulang
woven atapun lamellar. Secara mikroskopik, terdapat gambaran lobus terpisah
dari kartilago hyaline hiposeluler dengan dobel nukleasi sel. Kalsifikasi dan
osifikasi sering terjadi, terutama pada lobus keartilago. Karakteristik ini disebut
dengan bone encasement.5

Gambar 4. Gambaran sitologi pada enchondroma (A) Pewarnaan giemsa, (B) Pewarnaan
Papanicolaou
Sumber: Kumar A, et al. 2015

2.6 Tatalaksana

Penataklaksanaan dari Ollier’s disease biasanya dilakukan secara


konservatif, walaupun komplikasi sudah terjadi. Lesi-lesi dapat tidak di terapi
karena kerusakan fungsional yang parah tidak terjadi. Operasi dilakukan pada
kasus-kasus deformitas, limb-length discrepancy, fraktur patologis, dan
transformasi menjadi keganasan. Tujuan-tujuan penting dari penatalaksanaan
adalah:5

1. Memperbaiki alignment mekanik


2. Memperbaiki equivalenitas dari panjang tulang untuk kenormalan berjalan
3. Mengobati nyeri akibat fraktur patologis
Terapi dilakukan lebih intensive pada organ yang terlibat, defrotmitas, dan adanya
komplikasi. Shapiro melaoprkan bahwa deformitas angular dengan sudut lebih
dari 25o yang tidak seimbang adalah indikasi untuk operasi.5

Hanya sedikit pilihan operasi yang tersedia untuk Ollier’s disease,


terutama untuk memperbaiki penampilan. Cara-cara tradisional yang sering
digunakan adalah kuretase dengan atau tanpa bone grafting dan artificial bone
substitute , osteotomy dan internal fixation. Tetapi terapi-terapi tersebut tidak
menyelesaikan masalah limb-length discrepancy yang sering timbul akibat
ollier’s disease. Adas et al menunjukan hasil yang baik dengan kuretase dan
cementing pada distal femur yang terkena Ollier’s disease. Osteotomy juga sudah
digunakan tetapi harus diulang bekali-kali. Selain itu, adanya weak bones adalah
suatu masalah yang membuat internal fixation menjadi sulit.5

Teknik Illizarof sulit tetapi sangat efektif dalam memberikan stabilisasi mekanik
pada pasien Ollier’s disease. Distraction osteogenesis mempertinggi perubahan
abnormal kartilago pada lesi menjadi tulang lamellar, tanpa kuretase atau bone
grafting, yang dibuktikan oleh Jesus-Gracia et al. Lebih banyak wire dibutuhkan
untuk stabilisasi karena tulang mengalami kelemahan dan banyaknya lesi
enchondroma.5

D’Angelo et al menggunakan Wagner dan Illizarof untuk mengoreksi


limb-length discrepancy. Cara ini dipercaya dalam menjaga dan mengoreksi
deformitas dan memproduksi regenerasi tulang. Metode Illizarof juga cocok
dalam pengoreksian malalignment dan menjaga tension dari jaringan lunak.8

Intramedullary nailing digunakan pada pasien-pasien dengan limb-length


discrepancy. Garcia-Cimbrelo et al menggunakan intramedullary elongation nail
untuk femoral shortening saat melakukan intramedullary osteotomy yang diikuti
intramedullary nailing. Hal ini mempersingkat waktu dan membuat removal dari
external fixator lebih awal untuk mencegah pin-tract infection dan intramedullary
infection, serta mencegah komplikasi seperti refraktur, deformitas, shortening, dan
nonunion . Baumgart et al juga melaporkan hasil yang baik pada 12 pasien yang
menggunakan intramedullary nailing. Popkov et al menggunakan elastic stable
intramedullary nailing yang dikombinasikan dengan circular external fixator
seperti illizarof. Hasilnya didapatkan keuntungan besar yaitu pada waktu proses
regenerasi penyembuhan tulang lebih singkat.5

Teknik lain berupa reseksi parsial tulang kortikal dengan kuretase


(corticoplasty) untuk deformitas tangan pada ollier’s disease telah dilakukan oleh
Kim et al. Mereka menyimpulkan bahwa corticoplasty menghasilkan peningkatan
secara kosmetik. Total/ sub total diaphysectomy dan rekonstruksi dengan
autograft atau allograft biasanya dilakukan untuk penatalaksanaan enchondroma
yang ekstensif pada jari-jari.5,8

Alternatif penatalaksanaan lainnya adalah dengan amputasi. Walaupun


amputasi dapat dilakukan pada ollier’s disease ptetapi tergantung dari keparahan
(saat adanya destruksi pada tulang kortikal). Limb salvage juga dapat dilakukan,
meskipun adanya deficit tulang setelah resesksi, pertumbuhan tulang tetap dapat
terjadi tanpa autograft.5,8

2.7 Komplikasi dan Prognosis

Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus ini adalah fraktur patologis.
Fraktur patologis yang terjadi tidak selalu berhubungan terhadap progresivitas
menjadi maligna.3

Resiko perubahan menjadi kondisi maligna adalah sekitar 5-30%, dan


kondisi tersebut dapat mengancam jiwa. Malignansi pada tulang yang dapat
terjadi adalah chondrosarcoma dan osteosarcoma.5 Pada chondromasarcoma,
kondisi ini sering terjadi di tulang panjang dan tulang pipih. Pasien dengan
chondrosarcoma memiliki angka kelangsungan hidup 5-tahun sebesar 90% (grade
I), 81% (grade II), dan 43% (Grade III). Sedangkan angka kelangsungan hidup
10-tahun adalah 83% (grade I), 64% (grade II), dan 29% (grade III). Selain itu,
perubahan menjadi bentuk maligna lebih sering terjadi pada pasien perempuan
dibandingkan pada pasien laki-laki.3
Keganasan lain yang berkaitan dengan ollier disease adalah glioma,
astrocytoma, oligoastrocytoma, oligodendroglioma, Sertoli-leydig cell tumor,
juvenile granulosa cell tumor, leukimia myeloid kronik, leukimia myeloid akut,
adenoma mamae, kanker paru non-small-cell, dan tumor desmoid
ekstraabdominal.5
BAB III

KESIMPULAN

Ollier disease merupakan salah satu bentuk enchondroma yang bersifat


multipel. Kelainan ini jarang terjadi dan sering mengenai anak-anak. Pengetahuan
dalam gejala, penegakkan diagnosis dan pemilihan tatalaksana yang baik dapat
memberikan prognosis yang baik terutama dalam memperbaiki deformitas pada
pasien ollier disease yang mayoritasnya adalah anak-anak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Stevenson J, Parry M. Tumours In APLEY & SOLOMON’S System of


Orthopaedics and Trauma Tenth Edition. CRC Press. USA. 2018.

2. Hori, K., et al. Diffuse gliomas in an adolescent with multiple


enchondromatosis (Ollier's disease). Oncology letters 1.4 (2010): 595-597.

3. Pansuriya TC, Bovee JV. Ollier Disease. Atlas Genet Cytogenet Oncol
Haematol. 2009; 13(8): 608-611.

4. Silve C, and Harald J. Ollier disease. Orphanet journal of rare diseases 1.1
(2006): 37.

5. Kumar A, et al. Ollier disease: pathogenesis, diagnosis, and management.


Orthopedics 38.6 (2015): e497-e506.

6. Wang JP, et al. Ollier disease: two case reports and a review of the literature.
American journal of translational research 10.11 (2018): 3818.

7. Sabeti S, Yousefi F, Toutkaboni MP. Enchondroma of the Skull Base in a Case


of Ollier’s Disease. Iranian Journal of Pathology. 2015;10(3):237-242.

Anda mungkin juga menyukai