Anda di halaman 1dari 15

PENERAPAN COGNITIF BEHAVIOR THERAPY PADA KLIEN HALUSINASI

DAN PERILAKU KEKERASAN DENGAN PENDEKATAN MODEL STRESS


ADAPTASI STUART DAN MODEL HUBUNGAN INTERPERSONAL PEPLAU
DI RS DR MARZOEKI MAHDI BOGOR

Firman Hidayat1), Budi Anna Keliat2), Mustikasari3)


1)
Jurusan Keperawatan, STIKES Bhakti Mandala Husada Slawi 52416, Tegal, Indonesia
2),3)
Departemen Keperawatan Jiwa, Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok16424,
Indonesia

Email: abiyayat@yahoo.com

ABSTRACT
Cognitive Behavior Therapy (CBT) was designed to improve kognitif and behaviour for people having
automatic negative thinking and negative behaviour. Application of CBT will change mind status and
behavior of client, therefore negative behavior will be positive behavior. The objective of the final
scientific paper was obtaining result description of Application of CBT on hallucinating clients and
violence behaviour by using approach model of Peplau interpersonal relation in Utari room RS Dr
Marzoeki Mahdi Bogor. CBT was applied on 28 clients in Utari room on 9 September-12 November
2013. CBT was appropriate therapy and can be applied to clients with hallucination and violence
behavior, in which all clients can do each session of CBT. Based on the research it is recommended that
CBT can be used as a therapy standard mental health nursing specialist, that can be applied on clients
with hallucination and violence behavior.

Key words: Cognitive Behavior Therapy, hallucination, Violence Risk, Peplau interpersonal model.

Latar Belakang dari aspek emosional, psikologis dan sosial


yang ditunjukkan melalui hubungan
Kesejahteraan Mental adalah komponen interpersonal, perilaku dan koping efektif,
fundamental dari definisi WHO tentang konsep diri positif, emosi stabil, produktif
kesehatan. Kesehatan mental yang baik dan mempunyai kontribusi dalam
memungkinkan orang untuk menyadari kehidupan bermasyarakat. Untuk mencapai
potensi mereka, mengatasi tekanan yang tingkat kesehatan jiwa secara optimal,
normal dalam kehidupan, mampu bekerja pemerintah Indonesia menegaskan perlunya
secara produktif , dan memberikan upaya peningkatan kesehatan jiwa, seperti
kontribusi kepada komunitas mereka yang dituangkan dalam Undang-undang
(WHO,2013). Kesehatan jiwa adalah suatu No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan Bab
kondisi sehat emosional, psikologis dan IX pasal 144 yang menyatakan bahwa
sosial yang terlihat dari hubungan upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk
interpersonal yang memuaskan, perilaku menjamin setiap orang dapat menikmati
dan koping yang efektif, konsep diri yang kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari
positif dan kestabilan emosional (Johnson, ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
1997, dalam Videbeck, 2008). World dapat mengganggu kesehatan jiwa.
Health Organization (WHO) (2001)
menyatakan kesehatan jiwa merupakan Penduduk Dunia sebanyak 450 juta orang
suatu kondisi sejahtera dimana individu diperkirakan WHO (2009) akan mengalami
menyadari kemampuan yang dimilikinya, gangguan mental, terdapat sekitar 10%
dapat mengatasi stres dalam kehidupannya, orang dewasa mengalami gangguan jiwa
dapat bekerja secara produktif, dan saat ini dan 25% penduduk diperkirakan
mempunyai kontribusi dalam kehidupan akan mengalami gangguan jiwa pada usia
bermasyarakat. Berdasarkan beberapa tertentu selama hidupnya. Gangguan jiwa
pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa mencapai 13% dari penyakit secara
kesehatan jiwa merupakan kondisi sehat keseluruhan dan kemungkinan akan

28 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42


berkembang menjadi 25% di tahun 2030, skizofrenia sebanyak 20% mengalami
gangguan jiwa juga berhubungan dengan halusinasi pendengaran dan penglihatan
bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta secara bersamaan, 70% mengalami
kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat halusinasi pendengaran, 20% mengalami
gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan halusinasi penglihatan, dan 10% mengalami
di semua negara, pada perempuan dan laki- halusinasi lainnya. Kejadian tersebut
laki, pada semua tahap kehidupan, orang menggambarkan bahwa 90% halusinasi
miskin maupun kaya baik di pedesaan pendengaran ditemukan pada klien
maupun perkotaan mulai dari yang ringan skizofrenia. Halusinasi yang dialami klien
sampai berat (Maramis, 2006). Masalah juga berkontribusi dalam perilaku
kesehatan jiwa sangat mempengaruhi kekerasan yang dilakukannya. Isi halusinasi
produktivitas dan kualitas kesehatan sering berupa perintah untuk melukai
perseorangan maupun masyarakat, dirinya sendiri atau orang lain (Rogers dkk,
menimbulkan penderitaan yang mendalam 1990 dalam Birchwood, 2009). Penjelasan
bagi individu dan beban berat bagi keluarga tersebut menggambarkan bahwa perilaku
baik mental maupun materi karena kekerasan sering berkaitan dengan
penderita menjadi tidak produktif. halusinasi yang dialami oleh klien, terutama
paling banyak ditemukan pada klien dengan
Penduduk Indonesia sebanyak 26 juta skizofrenia.
diungkapkan oleh WHO (2009) akan
mengalami gangguan jiwa, dimana panik Halusinasi merupakan persepsi sensori
dan cemas adalah gejala paling ringan. yang salah yang mungkin meliputi salah
Gambaran gangguan jiwa berat di Indonesia satu dari kelima panca indera (Townsend,
pada tahun 2007 memiliki prevalensi 2005). Halusinasi juga diartikan sebagai
sebesar 4.6 permil, artinya bahwa dari 1000 kejadian melihat, mendengar, menyentuh,
penduduk Indonesia terdapat empat sampai mencium, atau merasakan sesuatu tanpa
lima diantaranya menderita gangguan jiwa adanya rangsangan eksternal terhadap
berat (Puslitbang Depkes RI, 2008). organ sensori (Fontaine, 2009). Klien
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 skizofrenia yang umumnya mengalami
(Pusat Data dan Informasi Depkes RI, halusinasi dapat diamati dari gejala yang
2009) sebanyak 225.642.124 sehingga klien ditunjukkan ketika berinteraksi dengan
gangguan jiwa di Indonesia pada tahun mereka. Gejala yang tampak diantaranya:
2007 diperkirakan 1.037.454 orang. menggerak-gerakan mata ke belakang dan
Provinsi Jawa Barat didapatkan data depan seolah-olah melihat seseorang,
individu yang mengalami gangguan jiwa seolah-olah sedang mendengarkan
sebesar 0,22 % (Riskesdas, 2013). Angka seseorang sedang bicara secara seksama,
ini menunjukkan bahwa anggota terlibat pembicaraan dengan seseorang
masyarakat yang mengalami gangguan jiwa yang tidak kelihatan, menyeringai atau
berat cukup besar atau dapat dikatakan tertawa tanpa sebab yang jelas, respon
cukup banyak. Gangguan jiwa berat yang verbal lambat karena sedang asyik dengan
paling banyak adalah skizofrenia. sesuatu, tiba-tiba terkejut atau ketakutan
tanpa ada stimulus (Moller & Murphy,
American Association Psychiatric (2000) 1998 dalam Fontaine, 2009). Gejala
menyebutkan beberapa penelitian telah tersebut merupakan pedoman dalam
melaporkan bahwa kelompok individu yang menegakkan diagnosis keperawatan
didiagnosa skizofrenia mempunyai insiden halusinasi.
lebih tinggi untuk mengalami perilaku
kekerasan (APA, 2000 dalam Sadino, Perilaku kekerasan sesungguhnya
2007). Wahyuningsih (2009) menyatakan merupakan respon maladaptif dari marah.
bahwa klien skizofrenia memiliki riwayat Perasan marah biasa dialami oleh setiap
kekerasan baik sebagai pelaku, korban, atau individu dan merupakan respon yang
saksi sebanyak 62,5%. Stuart dan Laraia normal ketika mendapatkan stresor atau ada
(2005) menyatakan bahwa klien dengan kebutuhan yang tidak terpenuhi.

Penerapan Cognitif Behavior Therapy Pada Klien Halusinasi dan Perilaku Kekerasan Dengan 29
Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau
di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor
Firman Hidayat, Budi Anna Keliat, Mustikasari
Kemarahan adalah emosi yang normal pada pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
manusia yakni respon emosional yang kuat Upaya-upaya yang dilakukan di rumah sakit
dan tidak menyenangkan terhadap suatu baik medis maupun keperawatan
provokasi baik nyata maupun yang diharapkan mampu menurunkan perilaku
dipersepsikan oleh individu (Thomas, 1998 kekerasan yang dialami klien.
dalam Videbeck, 2008). Kemarahan
memang merupakan suatu respon yang Ketepatan dalam menegakan diagnosis
normal, namun apabila diungkapkan secara sangat menentukan dalam ketepatan
tidak tepat dapat menimbulkan permusuhan memberikan tindakan keperawatan.
dan agresi (Videbeck, 2008). Kemarahan Tindakan keperawatan yang diberikan pada
yang tidak mampu diungkapkan secara klien perilaku kekerasan maupun halusinasi
asertif dapat memanjang hingga respon harus disesuaikan dengan masalah yang
yang paling maladaptif yaitu perilaku terjadi. Perilaku kekerasan yang terjadi
kekerasan. Stuart dan Laraia (2005) secara aktual lebih ditekankan kepada
mengungkapkan bahwa perilaku kekerasan penyelamatan klien dan lingkungan
merupakan suatu bentuk perilaku untuk sekitarnya melalui manajemen krisis
melukai atau mencederai diri sendiri, orang dengan menggunakan psikofarmaka
lain, lingkungan secara verbal atau fisik. maupun secara fisik dengan seklusi atau
Perilaku kekerasan berfluktuasi dari tingkat restrain (Stuart, 2009). Tindakan
rendah sampai tinggi yaitu dari keperawatan pada klien risiko perilaku
memperlihatkan permusuhan pada tingkat kekerasan adalah mengajarkan klien
rendah sampai melukai pada tingkat serius mengenal dan memahami perilaku
dan membahayakan (Stuart, 2009). kekerasan yang dilakukannya serta
Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian mengajarkan cara mengendalikan
di atas yaitu perilaku kekerasan merupakan marah/perilaku kekerasan secara fisik,
respon kemarahan yang maladaptif dalam sosial/verbal, spiritual dan pemanfaatan
bentuk perilaku mencederai diri sendiri, obat. Tindakan keperawatan klien dengan
orang lain dan lingkungan sekitarnya baik halusinasi adalah membantu klien
secara verbal maupun nonverbal mulai dari mengenal halusinasi, melatih menghardik
tingkat rendah sampai tingkat tinggi. halusinasi, bercakap-cakap dengan orang
lain, melatih melakukan aktivitas yang
Klien dengan perilaku kekerasan dapat terjadwal, serta minum obat secara teratur
dikenali dari gejala-gejala yang ditunjukkan (Keliat dkk., 2010). Tindakan keperawatan
seperti mondar-mandir, gelisah, ekspresi pada klien perilaku kekerasan maupun
muka dan bahasa tubuh tegang, halusinasi seperti di atas dapat dilakukan
memberikan ancaman melakukan oleh seluruh perawat dengan latar belakang
pembunuhan atau ancaman bunuh diri, pendidikan D3 maupun S1. Hasil yang
agitasi meningkat, reaksi yang berlebihan dicapai akan lebih optimal jika tindakan
terhadap stimulus yang datang dari keperawatan generalis tersebut dipadukan
lingkungan, cemas hingga panik, kesulitan dengan tindakan keperawatan lanjut/
menginterpretasikan lingkungan, mudah spesialis.
curiga, kerusakan proses pikir, perasaan
marah, dan tidak mampu menanggapi Tindakan keperawatan spesialis pada klien
situasi secara proporsional (Townsend, halusinasi adalah cognitive remediation,
2009). Gejala agresif dan hostile menurut cognitive adaptation training, cognitive
Sinaga (2007) ditandai dengan: adanya behavior therapy, group therapy dan family
penyerangan secara fisik / verbal terhadap therapy (Varcarolis, Carson & Shoemaker,
orang lain dan lingkungan sekitarnya, 2006). Terapi tersebut sudah dilaksanakan
mencelakakan diri sendiri, merusak barang di RSMM Bogor terutama oleh mahasiswa
orang lain, atau seksual acting out. Respon Magister dan Spesialis Keperawatan Jiwa
perilaku yang sangat mengancam dan yang sedang melaksanakan praktik aplikasi
membahayakan bagi dirinya, keluarga dan maupun residensi. Tindakan keperawatan
masyarakat sehingga mereka memerlukan spesialis tersebut sebagian telah dilakukan

30 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42


penelitian, namun masih terbatas pada satu antara perawat dengan klien untuk dapat
terapi spesialis untuk satu diagnosis menjalin hubungan dengan orang lain di
keperawatan. luar dari perawat, hal inilah yang mendasari
penulis dalam menggabungkan antara
Tindakan keperawatan spesialis pada klien tindakan keperawatan dengan teori
dengan perilaku kekerasan adalah terapi keperawatan.
kognitif, logoterapi, terapi realita dan
psikoedukasi keluarga (Vedebeck, 2008). Tujuan Penelitian
Stuart dan Laraia (2005) menyebutkan Menganalisis manajemen asuhan
tindakan keperawatan spesialis untuk klien keperawatan diagnosis halusinasi dan
perilaku kekerasan adalah terapi asertif, resiko perilaku kekerasan yang mendapat
time outs, dan token economy. Tindakan CBT menggunakan pendekatan Stuart dan
keperawatan spesialis lainnya untuk model hubungan interpersonal Peplau di
mengurangi perilaku impulsif pada klien ruang Utari RSMM Bogor.
perilaku kekerasan adalah teknik
manajemen marah, terapi drama, terapi Hasil
musik dan terapi dansa (Cleven, 2006 Tabel 1
dalam Choi, 2008). Distribusi Karakteristik Klien Dengan
Masalah Halusinasi dan Resiko Perilaku
Karya tulis ilmiah ini menggabungkan Kekerasan di Ruang Utari Rumah Sakit
tindakan keperawatan dengan salah satu Marzoeki Mahdi Bogor
teori model keperawatan yang sesuai Periode 9 September-12 November 2013
dengan kondisi klien halusinasi dan resiko (n=28)
perilaku kekerasan yaitu teori keperawatan
No Karakteristik Jumlah %
Hildegard Peplau’s. Teori model ini
menjelaskan tentang kemampuan dalam 1 Usia
memahami diri sendiri dan orang lain a. 18 – 24 tahun 8 28,57
dengan menggunakan dasar hubungan antar b. 25 – 65 tahun 20 71,43
manusia untuk mencapai tujuan bersama 2 Jenis kelamin
(Peplau 1952 dalam Leddy & Pepper, Laki-laki 0 0
1993). Teori Peplau sangat tepat Perempuan 18 100,0
diaplikasikan pada klien yang mengalami 3 Pendidikan
halusinasi dan resiko perilaku kekerasan a. Menengah 17 60,71
karena menjelaskan proses hubungan antara (SMP-SMA) 11 39,29
perawat dan klien dimulai dari tahap b. Tinggi (PT)
orientasi dimana perawat merupakan orang 4 Pekerjaan
asing yang baru dikenal oleh klien, a. Bekerja 14 50,0
selanjutnya masuk ke dalam tahap b. Tidak bekerja 14 50,0
identifikasi dan eksploitasi dimana terjadi 5 Status perkawinan
proses hubungan terapeutik untuk a. Belum menikah 9 32,14
membantu menyelesaikan permasalahan b. Menikah 19 67,86
yang dihadapi oleh klien dan diakhiri 6 Penanggung jawab
dengan tahap resolusi dimana klien biaya 3 10,71
diupayakan untuk tidak tergantung kepada a. Umum 16 57,14
perawat karena telah dilakukan latihan b. Jamkesmas 9 32,14
mengatasi masalah oleh perawat. Tujuan c. Jamkesda
dari pemilihan teori ini adalah untuk
meningkatkan hubungan antara pasien dan Berdasarkat table 1 dapat dijelaskan bahwa
perawat yang bekerjasama sebagai sebuah mayoritas klien pada rentang usia 25-65
tim untuk meningkatkan kesadaran diri, tahun atau pada masa dewasa 71.43% dan
tingkat kematangan, dan pengetahuan berjenis kelamin perempuan (100%).
selama proses perawatan. Dasar teori Mayoritas klien memiliki latar belakang
hubungan interpersonal adalah hubungan pendidikan sekolah menengah (SMP-SMA

Penerapan Cognitif Behavior Therapy Pada Klien Halusinasi dan Perilaku Kekerasan Dengan 31
Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau
di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor
Firman Hidayat, Budi Anna Keliat, Mustikasari
(60,71%, 50% memiliki pekerjaan, 2 Psikologis
67,86%) sudah menikah dan 57,14% biaya a. Introvert 20 1,43
perawatan ditanggung oleh Jamkesmas. b. Riwayat 22 8,57
kegagalan/kehilang 14 50,0
Tabel 2 an
Distribusi Faktor Predisposisi Pada Klien c. Riwayat kekerasan
dengan masalah halusinasi dan resiko 3 Sosial cultural
perilaku kekerasan a. Pendidikan 17 0,71
di Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki menengah 17 0,71
Mahdi Bogor Periode 9 September-12 b. Status ekonomi 4 14,29
November 2012 (n=28) rendah
c. Jarang terlibat
No Faktor Predisposisi Jml % kegiatan sosial
1 Biologis
a. Trauma/penyakit 9 2,14 Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa
fisik 19 7,86 pada faktor predisposisi biologis terbanyak
b. Genetik 14 50,0 yaitu adanya riwayat genetik yaitu
c. Riwayat gangguan 5 7,86 sebanyak67,86%. Sebanyak 77,8%
jiwa sebelumya mengalami riwayat kegagalan, serta dari
d. Penyalahgunaan sosial ekonomi rendah sebanyak 60,71%
NAPZA merupakan faktor sosial budaya.

Tabel 3
Distribusi Faktor Presipitasi Pada Klien dengan masalah halusinasi dan resiko perilaku
kekerasan di Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor Periode 9 September-12
November 2013 (n=28)

No Faktor Presipitasi Jumlah Prosentase


1 Biologis
Putus obat 19 67,8
2 Psikologis
1. Keinginan tidak terpenuhi 22 78,57
2. Gagal membina hubungan dengan lawan jenis 14 50,0
3. Gagal bekerja 19 67,86
4. Merasa tak berguna 19 67,86
3 Sosial Kultural
1. Ekonomi 17 60,71
2. Masalah pekerjaan 19 67,86
3. Konflik keluarga 17 60,71
4 Asal stresor
1. Internal 28 100,0
2. Eksternal 22 78,57
5 Waktu stresor
1. < 6 bulan 9 32,14
2. > 6 bulan 19 67,86
6 Jumlah stresor
1. >1 stresor 28 100,0

Berdasarkan tabel 3 dapat dijelaskan bahwa keinginan yang tidak terpenuhi, pada faktor
pada faktor presipitasi aspek biologis yaitu sosial budaya didapatkan masalah
putus obat sebanyak 19 klien (67,86%), dan pekerjaan sebanyak 67,86%, asal stressor
secara psikologis 78,57% klien memiliki seluruhnya berasal dari internal tetapi ada

32 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42


juga stresor ekstrenal yang menyertainya >6 bulan sebanyak 19 klien (67,86%) dan
yang didapatkan pada 22 klien (78,57%). jumlah stresor seluruhnya lebih dari 1
Waktu stressor paling banyak pada waktu stresor.

Tabel 4.
Distribusi Penilaian Stressor terhadap masalah halusinasi dan resiko perilaku kekerasan di
Ruang Utari Rumah Sakit Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor Periode 09 September - 12
November 2013 (n=28)

Halusinasi Resiko Perilaku Kekerasan


Penilaian Terhadap
No Min-maks Min-
Stresor n Mean SD Mean SD
maks
1 Respon Kognitif 28 27,50 7,548 16-39 16,06 4,795 7-23
2 Respon Afektif 28 15,89 5,368 8-27 13,61 3,567 8-23
3 Respon Perilaku 28 14,94 2,711 9-19 17,61 5,248 10-27
4 Respon Sosial 28 19,61 3,109 13-24 13,44 4,162 8-20
5 Respon Fisiologis 28 15,17 3,536 9-21 7,94 1,305 6-10
Jumlah 28 93,11 16,970 69-130 60,92 15,579 46-99

Berdasarkan tabel 4 dapat dijelaskan bahwa h Jamkesmas atau Jamkesda, keluarga


rata-rata penilaian terhadap stressor pada 28 kan bersikap acuh karena tidak memiliki
klien halusinasi pada respon kognitif 27,50, tanggungan finansial terhadap perawatan
respon afektif sebesar 15,89, respon n.
perilaku sebesar 14,94, respon sosial pi CBT pada Klieespon sosial sebesar
sebesar 19,61, respon fisiologis sebesar respon fisik sebesar 7,94 dan secara
15,17 dan secara keseluruhan respon klien komposit didapatkan respon klien Resiko
erawatan klien. Terutama pada klien yang Perilaku Kekerasan sebesar 60,92.
yang biaya perawatannya ditanggung oleh

Tabel 5
Distribusi sumber koping pada klien dengan masalah halusinasi dan resiko perilaku kekerasan
di Ruang Utari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor
09 September - 12 November 2013 (n=28)
No Sumber Koping ∑ %
1 Kemampuan personal
a. Tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi halusinasi dan resiko perilaku 17 60,71
kekerasan 10 35,71
b. Tahu dan mampu cara mengatasi halusinasi dan resiko perilaku kekerasan
2 Dukungan sosial
a. Keluarga tidak tahu dan tidak mampu cara mengatasi halusinasi dan resiko 17 60,71
perilaku kekerasan
b. Keluarga tahu cara mengatasi halusinasi dan resiko perilaku kekerasan 5 17,86
c. Kader Kesehatan Jiwa aktif 3 10,71
3 Ketersediaan material asset
a. Memiliki penghasilan 12 42,86
b. Penghasilan keluarga mencukupi 6 21,43
c. Puskesmas terjangkau 6 21,43
d. Memiliki Jamkesmas/SKTM 25 89,29
4 Keyakinan positif
a. Yakin akan sembuh 20 71,43
b. Tidak yakin akan sembuh 8 28,57

Penerapan Cognitif Behavior Therapy Pada Klien Halusinasi dan Perilaku Kekerasan Dengan 33
Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau
di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor
Firman Hidayat, Budi Anna Keliat, Mustikasari
Berdasarkan tabel 3.7 di atas maka dapat gangguan jiwa dengan risiko frekuensi
dijelaskan bahwa 17 klien (60,71%) tidak tertinggi mengalami gangguan jiwa
tahu dan tidak mampu mengatasi halusinasi yaitu pada usia dewasa.
dan resiko perilaku kekerasan, demikian
juga dengan keluarganya sebanyak 60,71% Usia dewasa merupakan usia produktif
tidak memiliki pengetahuan dan dimana klien memiliki tuntutan untuk
kemampuan merawat anggota keluarga mengembangkan aktualisasi diri, baik
dengan halusinasi dan resiko perilaku dari diri sendiri, keluarga, maupun
kekerasan. Kader yang aktif hanya 10,71% lingkungan. Aktualisasi diri dapat
atau 3 kader. Klien yang memiliki dicapai dengan terlebih dulu mencapai
penghasilan sendiri sebanyak 42,86%, harga diri yang positif (Maslow, 1970
penghasilan keluarga yang mencukupi dalam Townsend, 2009). Individu
kebutuhan hidup sebanyak 21,43%. yang merasa gagal, merasa tidak
Keluarga dapat menjangkau puskesmas berguna ditambah lagi adanya stressor
hanya 21,43% serta sebanyak 89,29% klien lain seperti gagal menemukan
memiliki jamkesmas. Sebagian besar klien pasangan sehingga dampaknya klien
(71,43%) memiliki keyakinan bahwa menjadi malu untuk bersosialisasi
dirinya akan sembuh setelah menjalani merupakan akibat dari
perawatan di rumah sakit. ketidakmampuan klien dalam
mencapai aktualisasi diri. Menurut
PEMBAHASAN Erikson (2000 dalam Stuart & Laraia,
2005), pada usia ini individu mulai
Penerapan terapi spesialis CBT pada klien mempertahankan hubungan saling
halusinasi dan resiko perilaku kekerasan ketergantungan, memilih pekerjaan,
menggunakan pendekatan Model Stres memilih karir, melangsungkan
Adaptasi Stuart dan model hubungan perkawinan.
interpersonal Peplau. Model Stuart
digunakan dalam melakukan pengkajian Individu dalam kehidupannya
dalam bentuk scanning, sedangkan model memiliki tugas-tugas perkembangan
hubungan interpersonal Peplau digunakan sesuai tingkat usianya. Tugas
untuk melihat ketepatan penerapan terapi perkembangan yang tidak dapat
CBT pada klien halusinasi perilaku diselesaikan dengan baik dapat
kekerasan. menjadi stresor untuk perkembangan
berikutnya dan jika stresor tersebut
1. Karakteristik Klien menumpuk sangat berisiko mengalami
a. Usia gangguan jiwa. Kondisi tersebut akan
Klien yang dirawat dengan masalah menyebabkan individu merasa rendah
halusinasi dan resiko perilaku diri dan apabila berlangsung lama akan
kekerasan di ruang Utari sebagian menjadi resiko perilaku kekerasan
besar berada dalam rentang usia 25-65 kronis.
tahun atau pada masa dewasa yaitu 20
klien (71,43%). Masa dewasa b. Jenis Kelamin
merupakan masa kematangan dari Jenis kelamin merupakan bagian dari
aspek kognitif, emosi, dan perilaku. aspek sosial budaya faktor predisposisi
Kegagalan yang dialami seseorang dan presipitasi terjadinya gangguan
untuk mencapai tingkat kematangan jiwa. Seluruh klien adalah perempuan
tersebut akan sulit memenuhi tuntutan karena di ruangan Utari merupakan
perkembangan pada usia tersebut dapat ruang perawatan klien perempuan .
berdampak terjadinya gangguan jiwa Terlepas dari kondisi tersebut, Kaplan,
(Yusuf, 2010). Pendapat tersebut Sadock, dan Grebb (1999); Davison
didukung oleh Stuart (2009) yang dan Neale (2001), dalam Fauziah dan
menyatakan bahwa usia merupakan Widury, (2005) dalam penelitiannya
aspek sosial budaya terjadinya yang menunjukkan bahwa laki-laki

34 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42


lebih mungkin memunculkan gejala akan berkorelasi positif dengan
negatif dibandingkan wanita dan keterampilan koping yang dimiliki.
wanita tampaknya memiliki fungsi Pendidikan sebagai sumber koping
sosial yang lebih baik daripada laki- berhubungan dengan kemampuan
laki. Didukung pula oleh pendapat seseorang untuk menerima informasi
Sinaga (2007), yang menyatakan yang dapat membantu mengatasi
prevalensi Skizofrenia berdasarkan masalah yang dihadapi seseorang.
jenis kelamin, ras dan budaya adalah Pada klien kelolaan, pendidikan klien
sama. Dimana wanita cenderung termasuk dalam pendidikan menengah
mengalami gejala yang lebih ringan, sehingga mampu menerima informasi
lebih sedikit rawat inap dan fungsi pembelajaran yang disampaikan oleh
sosial yang lebih baik di komunitas perawat. Hal ini dapat diamati pada
dibandingkan dengan laki-laki. Laki- saat perawat melakukan terapi CBT,
laki lebih banyak mengalami resiko pasien mudah menangkap informasi
perilaku kekerasan dan halusinasi yang disampaikan mengenai
karena disebabkan tuntutan terhadap penjelasan terapi dan sesi-sesi yang
tanggung jawab atau peran yang harus akan dilakukan sebelum melakukan
dipenuhi seorang laki-laki didalam terapi.
keluarga lebih tinggi dibanding
perempuan, sehingga stresor yang d. Status Pekerjaan
dialami juga lebih banyak. Klien yang dirawat dengan masalah
halusinasi dan resiko perilaku
c. Pendidikan kekerasan sebagian besar memiliki
Klien yang dirawat dengan masalah pekerjaan sebelum dirawat yaitu
halusinasi dan resiko perilaku (50,0%). Hal ini memberikan
kekerasan sebagian besar memiliki gambaran bahwa klien sebelum masuk
latar belakang pendidikan sekolah ke rumah sakit, mampu terlibat aktif
menengah (SMP-SMA), yaitu 11 klien dan produktif dalam menjalankan
(61,1%). Hal ini menunjukkan bahwa peran sehari-hari di lingkungannya.
klien mempunyai latar belakang Pekerjaan juga mencerminkan
pendidikan yang cukup memenuhi produktivitas dan penghasilan
syarat dalam menerima informasi baru. seseorang. Hal ini sesuai dengan
Klien sebagian besar mampu fungsi ekonomi keluarga yang
memahami penjelasan, pengarahan, memberikan tugas anggota, terutama
melakukan latihan seperti yang kepala keluarga untuk mencari
disampaikan oleh perawat dalam sumber-sumber kehidupan dalam
pelaksanaan terapi CBT. Hal ini sesuai memenuhi fungsi-fungsi keluarga yang
dengan pendapat Siagian (1995) yang lain terutama memenuhi kebutuhan
menyatakan semakin tinggi pendidikan keluarga (WHO, 1978, dalam Effendy,
seseorang semakin besar untuk 1998). Pekerjaan merupakan salah satu
memanfaatkan pengetahuan dan faktor predisposisi dan presipitasi
keterampilan. Tingkat pendidikan sosial budaya proses terjadinya
sangat mempengaruhi cara individu gangguan jiwa. Faktor status social
berperilaku, membuat keputusan dan ekonomi yang rendah lebih banyak
memecahkan masalah, serta mengalami gangguan jiwa dibanding
mempengaruhi cara penilaian klien pada tingkat social ekonomi tinggi.
terhadap stresor. Faktor pendidikan Pendapat tersebut juga didukung oleh
mempengaruhi kemampuan seseorang Townsend (2009) yang menyatakan
dalam menyelesaikan masalah yang bahwa salah satu faktor sosial yang
dihadapinya. Hal ini senada dengan menyebabkan tingginya angka
pendapat Kopelowicz (2002) yang gangguan jiwa termasuk skizofrenia
menyatakan bahwa semakin tinggi adalah tingkat sosial ekonomi rendah.
pendidikan dan pengetahuan seseorang

Penerapan Cognitif Behavior Therapy Pada Klien Halusinasi dan Perilaku Kekerasan Dengan 35
Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau
di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor
Firman Hidayat, Budi Anna Keliat, Mustikasari
Penjelasan tersebut menjelaskan mengalami penurunan minat dan
bahwa seseorang yang berada dalam merasa tidak mampu menjalani
sosial ekonomi rendah dan tidak interaksi dengan orang lain karena
memiliki pekerjaan lebih berisiko merasa tidak percaya diri.
untuk mengalami berbagai masalah
terutama kurangnya rasa percaya diri 2. Faktor Predisposisi
dalam menjalankan aktivitas hidup a. Aspek Biologis
sehari-hari. Terapi CBT sangat tepat Sebagian besar faktor predisposisi
dilakukan terhadap individu yang pada klien yang diberikan terapi CBT
mengalami masalah kurang percaya adalah adanya riwayat genetik yaitu
diri sehingga klien memiliki sebanyak 67,86%. Factor genetik
pengetahuan bagaimana cara membina memiliki peran terjadinya gangguan
hubungan dengan orang lain, cara jiwa pada klien yang menderita
melakukan kerja sama dengan orang skizofrenia (Sadock dan Sadock,
lain yang dapat dijadikan sebagai 2007). Jika salah satu orang tua
mekanisme koping konstruktif. menderita gangguan jiwa,
keturunannya memiliki resiko 10%,
e. Status Perkawinan dan resiko sebesar 40% jika kedua
Klien halusinasi dan resiko perilaku orang tua memiliki riwayat gangguan
kekerasan yang dirawat sebagian besar jiwa. Pada klien halusinasi dan resiko
sudah menikah yaitu sebanyak 19 klien perilaku kekerasan yang dilakukan
(67,86,7%). Hal ini didukung dengan pengelolaan, dapat dilihat bahwa
pendapat Hawari (2001) dan Kintono faktor genetik merupakan faktor yang
(2010) yang menyatakan bahwa lebih besar dibandingkan dengan
berbagai masalah perkawinan dapat faktor predisposisi lainnya seperti
menjadi sumber stress bagi seseorang trauma fisik, riwayat napza, ataupun
dan merupakan salah satu penyebab riwayat gangguan jiwa sebelumnya.
umum gangguan jiwa. Masalah umum
yang sering terjadi selama menjalani Pemberian terapi CBT dapat
perkawinan adalah pertengkaran, membantu klien mengembangkan cara
ketidaksetiaan, kematian salah satu berpikir bahwa klien yang memiliki
pasangan, dan perceraian yang jika riwayat anggota keluarga yang
tidak dapat diatasi dapat menjadi mengalami gangguan jiwa akan dapat
sumber stres yang menyebabkan melangsungkan proses kehidupannya
masalah kejiwaan. Cara seseorang tanpa harus merasa minder, tidak
mengatasi permasalah yang muncul percaya diri serta masih tetap dapat
merupakan mekanisme koping dalam melakukan interaksi terhadap orang
menjalankan 5 (lima) fungsi dalam lain.
sebuah keluarga, yaitu fungsi afektif,
fungsi sosialisasi dan penempatan b. Aspek Psikologis
sosial, fungsi reproduksi, fungsi Faktor predisposisi pada aspek
ekonomi, serta memberikan pelayanan psikologis sebagian besar akibat
kesehatan bagi seluruh anggota adanya riwayat kegagalan/kehilangan
keluarga (Friedman, 1998). Beberapa (78,57%). Pengalaman kehilangan dan
fungsi keluarga tersebut merupakan kegagalan akan mempengaruhi respon
stresor bagi setiap orang yang sudah individu dalam mengatasi stresornya.
melangsungkan pernikahan sehingga Hal ini sesuai dengan teori
apabila salah satu atau beberapa fungsi psikoanalisa Freud (1994) yang
tersebut tidak terpenuhi dapat menyampaikan bahwa
menyebabkan terjadinya resiko ketidakmampuan menyelesaikan
perilaku kekerasan. Resiko perilaku masalah, konflik yang tidak disadari
kekerasanyang dialami seseorang antara impuls agresif atau kepuasan
dapat menyebabkan seseorang libido serta pengakuan terhadap ego

36 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42


dari kerusakan eksternal yang berasal kemampuan bagaimana
dari kepuasan. Hal ini senada dengan mengidentifikasi penyebab marah
yang disampaikan Erickson (1963, meningkatkan kemampuan asertif.
dalam Townsend, 2009) yang
menyatakan bahwa pengalaman 3. Faktor Presipitasi
penolakan orang tua pada masa bayi Rata-rata klien menyampaikan bahwa
akan membuat anak menjadi tidak mereka merasa bosan dan merasa sudah
percaya diri dalam berhubungan sembuh sehingga tidak perlu lagi
dengan orang lain. Kondisi ini akan minum obat, disamping itu klien juga
membuat individu lebih cenderung menyampaikan bahwa jika minum obat
merasa marah dan melakukan tindakan terus menerus menjadikan klien tidak
kekerasan. bisa bekerja seperti biasa karena mudah
ngantuk dan lemas.
Pemberian terapi CBT dapat
membantu klien mengembangkan Seluruh klien yang mengalami masalah
mekanisme koping dalam halusinasi dan resiko perilaku
memecahkan masalah terkait masa lalu kekerasan memiliki stresor berasal dari
yang tidak menyenangkan. Klien diri klien sendiri dan juga ditambah
dilatih untuk mengidentifikasi dengan stresor dari luar diri pasien. Hal
penyebab perilaku kekerasan sehingga ini sesuai dengan pendapat Stuart dan
tidak akan melakukan perilaku Laraia (2005) bahwa stresor dapat
kekerasan. berasal dari internal maupun eksternal.
Waktu terpaparnya stresor pada klien
c. Aspek Sosial Budaya sebagian besar sudah mengalami
Faktor predisposisi selanjutnya adalah gangguan jiwa > 6 bulan dan jumlah
aspek sosial budaya, dimana pada stresor yang dialami oleh klien lebih
klien kelolaan didapatkan aspek sosial dari 1 stresor. Kondisi ini menujukkan
budaya sebagian besar adalah bahwa rata-rata klien sudah mengalami
pendidikan menengah dan sosial gangguan jiwa kronis. Jumlah stresor
ekonomi rendah masing-masing lebih dari satu yang dialami oleh
sebanyak 17 klien (60,71%). Menurut individu dalam satu waktu yang
Townsend (2009) status sosioekonomi bersamaan akan lebih sulit diselesaikan
yang rendah lebih rentan mengalami dibandingkan dengan satu stresor dalam
gangguan jiwa dibanding pada tingkat satu waku. Setiap stresor atau masalah
sosioekonomi tinggi. Kemiskinan yang yang muncul membutuhkan
dialami oleh seseorang menjadikan penyelesaian sehingga semakin banyak
terjadinya keterbatasan dalam stresor yang dimiliki oleh individu
pemenuhan kebutuhan pokok seperti maka individu tersebut makin dituntut
nutrisi, pemenuhan kesehatan, untuk memiliki penyelesaian koping
kurangnya perhatian terhadap yang adekuat dan makin bervariasi
pemecahan masalah yang dapat dalam mengatasi stresornya (Stuart dan
menimbulkan munculnya stres. Laraia, 2005).

Klien dengan gangguan jiwa berat 4. Penilaian Terhadap Stresor


yang memiliki status ekonomi rendah Respon klien dengan halusinasi dan
sering mendapatkan stigma dari resiko perilaku kekerasan dalam
lingkungan sosialnya sehingga akan menghadapi stresor tersebut sesuai
membuat mereka lebih mudah emosi dengan pendapat Stuart dan Laraia
dan melakukan perilaku kekerasan. (2009) yang melihatnya dari aspek
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku,
Terapi CBT akan melatih klien dalam dan sosial. Kelima aspek tersebut
meningkatkan persepsi dengan cara dijadikan pedoman dalam penilaian
memberikan pengetahuan serta terhadap respon klien dengan halusinasi

Penerapan Cognitif Behavior Therapy Pada Klien Halusinasi dan Perilaku Kekerasan Dengan 37
Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau
di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor
Firman Hidayat, Budi Anna Keliat, Mustikasari
dan resiko perilaku kekerasan dalam koping bagi klien masih belum optimal.
karya ilmiah ini. Didapatkannya Hal ini sejalan dengan pendapat yang
penilaian terhadap stresor pada kelima diungkapkan oleh Videbeck (2008)
respon tersebut mendorong penulis yang menyatakan gangguan jiwa oleh
untuk memberikan terapi CBT yang sebagian besar orang dianggap sebagai
bertujuan untuk membantu penyakit yang membahayakan sehingga
meningkatkan respon kognitif, afektif, perlu diasingkan dari masyarakat dan
fisiologis, perilaku, dan sosialnya. dirawat di rumah sakit.

Terapi CBT merupakan proses Adanya keluarga yang belum dapat


pembelajaran dengan menggunakan memaksimalkan akses pelayanan
teknik perilaku bermain peran, praktik kesehatan jiwa merupakan salah satu
dan umpan balik untuk meningkatkan fungsi keluarga. Hal ini sesuai dengan
kemampuan menyelesaikan masalah konsep Friedman (1998) yang
(Kneisl, 2004). Proses pembelajaran menyebutkan bahwa salah satu fungsi
sosial mengacu kepada kekuatan keluarga adalah fungsi perawatan
berpikir tentang bagaimana belajar kesehatan. Sistem pendukung utama
memberikan pujian dan hukuman, yang dibutuhkan oleh klien adalah
termasuk beberapa pujian dan model orang terdekat dengan klien yaitu
yang akan diberikan. Pembelajaran keluarga, jadi dalam hal ini seharusnya
sosial meliputi motivasi, emosi, pikiran, keluarga dapat berperan sebagai care
penguatan sosial, penguatan diri. giver dengan syarat keluarga telah
Penguatan sosial bisa berbentuk mengetahui dan menguasai cara
perhatian, rekomendasi, perhatian dan perawatan klien. Hal ini sesuai dengan
lainnya yang dapat membuat individu yang disampaikan oleh Stuart dan
terus berperilaku ke arah yang lebih Laraia (2009) bahwa keluarga
baik. seharusnya menjadi tempat atau
lembaga pengasuhan (care giver) yang
3. Sumber Koping paling dapat memberi kasih sayang,
Sumber koping yang dimiliki oleh efektif, dan ekonomis.
pasien secara umum belum optimal.
Hal ini disebabkan minimnya Pada klien yang dilakukan perawatan di
pendidikan kesehatan tentang rumah sakit, keluarga tetap memiliki
perawatan klien gangguan jiwa serta peran penting dalam membantu proses
sistem pendukung yang masih terbatas. perawatan klien. Dukungan keluarga
Pemberian pendidikan kesehatan akan berpengaruh terhadap perawatan
terhadap klien dan keluarga gangguan klien, tetapi kenyataan yang didapatkan
jiwa selama ini sebagian besar hanya selama dilapangan adalah keluarga
dilakukan di tatanan rumah sakit saja, tidak secara rutin memberikan
sedangkan di puskesmas maupun pada dukungan terhadap perawatan klien.
tingkat kelurahan, masih terbatas pada Terutama pada klien yang biaya
wilayah-wilayah tertentu saja yang perawatannya ditanggung oleh
sudah menarapkan program kesehatan Jamkesmas atau Jamkesda, keluarga
jiwa. Masyarakat masih memberikan bahkan bersikap acuh karena tidak
stigma buruk terhadap keluarga yang memiliki tanggungan finansial terhadap
memiliki anggota keluarga yang perawatan klien.
mengalami gangguan jiwa, sehingga
anggota keluarga merasa terbebani 4. Ketepatan Penerapan Manajemen
untuk memberikan dukungan anggota Terapi CBT pada Klien Halusinasi dan
keluarga yang mengalami gangguan resiko perilaku kekerasan Kronis
jiwa untuk mendapatkan akses ke dengan Menggunakan Pendekatan
fasilitas pelayanan kesehata jiwa. Hal Model Hubungan Interpersonal Peplau
tersebut yang menjadikan sumber

38 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42


Penurunan respon tersebut perawat dengan melakukan pengkajian
menunjukkan bahwa terapi CBT secara mendalam terhadap masalah
memiliki pengaruh yang signifikan yang muncul pada klien. Pada tahap ini
setelah dilakukan pada klien yang hubungan perawat dan klien sudah
mengalami masalah halusinasi. Pada terbina dengan baik sehingga perawat
klien halusinasi, CBT diberikan dapat menggali permasalahan yang
berdasarkan hasil identifikasi masalah klien alami.
klien yang didapatkan adanya
ketidaktahuan dan ketidakmampuan Setelah mendapatkan berbagai data,
klien dalam identifikasi pikiran dan perawat dengan klien bersama-sama
perilaku negatif. Adanya CBT terbukti menentukan tujuan untuk membantu
dapat membantu meningkatkan mengatasi masalah yang termasuk
kemampuan kognitif dan perilaku klien dalam tahap eksploitasi. Pada tahap
yang dapat dilihat pada respon kognitif, eksploitasi ini perawat melatih klien
afektif, psikomotor, sosial dan fisik. tentang kemampuan untuk
meningkatkan kemampuan kognitif dan
Pada klien resiko perilaku kekerasan perilaku melalui terapi CBT. Terapi
juga didapatkan penurunan respon CBT terdiri dari 5 sesi dimana pada
kognitif, afektif, perilaku, sosial dan tiap-tiap sesi dilakukan rata-rata 3 kali
fisik. Hal ini diakibatkan karena pertemuan, dan masing-masing
sebelum diberikan terapi, klien suka pertemuan dilakukan selama 30-45
menyalahkan orang lain, perubahan menit. Tahap eksploitasi ini dilakukan
proses fikir, bicara kasar dan tidak bersama klien sampai klien benar-benar
mampu mengontrol perilaku kekerasan. menguasai baik secara kognitif maupun
Setelah diberikan terapi, didapatkan psikomotor untuk tiap-tiap sesi latihan
pengaruh yang signifikan terhadap terapi. Setelah perawat merasa yakin
kemampuan kognitif dan perilaku klien. bahwa klien telah mampu menguasai
terapi yang dilatihkan, selanjutnya
Penurunan respon pada masalah perawat melakukan identifikasi kembali
halusinasi dan resiko perilaku terhadap kemampuan klien dalam
kekerasan tersebut juga dipegaruhi oleh melaksanakan kemampuan yang telah
pemberian terapi generalis baik dilatihkan serta perawat membantu
individu maupun kelompok sehingga klien untuk mempersiapkan lepas dari
terdapat saling keterkaitan antara ketergantungan terhadap perawat dalam
pelaksanaan terapi generalis dengan mengontrol halusinasi dan mengontrol
terapi spesialis yang sama-sama perilaku kekerasan yang termasuk
memiliki tujuan untuk menurunkan dalam tahap akhir yaitu tahap resolusi.
respon pada masalah klien.
Simpulan
Pelaksanaan terapi CBT yang dilakukan 1. Karakteristik klien dengan masalah
dengan menggunakan pendekatan halusinasi dan resiko prilaku
model hubungan interpersonal Peplau kekerasandi Ruang Utari mayoritas
pada klien dengan masalah halusinasi pada rentang usia 25-65 tahun
dan resiko perilaku kekerasan. Model seluruhnya berjenis kelamin perempuan
interpersonal dapat dilakukan secara , mayoritas klien berpendidikan sekolah
efektif karena proses tahap pertama menengah (SMP-SMA, memiliki
dalam hubungan perawat dengan klien pekerjaan, menikah dan biaya
yang disebut tahap orientasi diawali perawatan mayoritas perawatan
dengan membina hubungan saling ditanggung oleh Jamkesmas.
percaya dimana perawat dan klien 2. Faktor predisposisi biologis terbanyak
belum saling mengenal dan perawat yaitu adanya riwayat genetik,
merupakan orang asing bagi klien. mengalami riwayat kegagalan, serta
Tahap identifikasi dilakukan oleh berpendidikan menengah dan dari

Penerapan Cognitif Behavior Therapy Pada Klien Halusinasi dan Perilaku Kekerasan Dengan 39
Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau
di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor
Firman Hidayat, Budi Anna Keliat, Mustikasari
sosial ekonomi rendah. Faktor memicu munculnya kembali tanda
presipitasi aspek biologis yaitu putus dan gejala gangguan jiwa pada
obat, psikologis memiliki keinginan klien yang telah kembali dari
yang tidak terpenuhi, pada faktor sosial rumah sakit.
budaya didapatkan masalah pekerjaan,
asal stresor seluruhnya berasal dari
internal. Waktu stresor paling banyak 2. Pelayanan Keperawatan
pada waktu >6 bulan dan jumlah stresor a. Direktur RSMM
seluruhnya lebih dari 1 stresor. 1) Perlunya penempatan ners
3. CBT dapat meningkatkan kemampuan spesialis di setiap ruang rawat
kognitif dan prilaku pada klien inap guna meningkatkan
halusinasi dan resiko prilaku kekerasan. kualitas pelayanan klien
Semua klien telah mampu melakukan terutama dalam pemberian
identifikasi pikiran negatif dan prilaku terapi spesialis.
negatif, dan dapat melawannya dengan 2) Menetapkan kebijakan terkait
tanggapan rasional dengan program pelayanan
4. CBT dapat menurunkan tanda dan keperawatan spesialistik untuk
gejala pada klien yang mengalami menetapkan standar asuhan
halusinasi dan resiko prilaku kekerasan. keperawatan jiwa terkait
5. Pendekatan model hubungan dengan manajemen penerapan
interpersonal Peplau dirasakan tepat terapi spesialis latihan CBT
diterapkan pada klien dengan masalah pada klien halusinasi dan
halusinasi dan prilaku kekerasan karena prilaku kekerasan.
tahapan-tahapan pemberian asuhan
keperawatan dalam model hubungan b. Kepala Bidang Keperawatan
interpersonal Peplau yang terdiri dari Memfasilitasi penerapan pelayanan
tahap orientasi, identifikasi, eksploitasi keperawatan yang bersifat
dan resolusi dapat diterapkan sesuai spesialistik melalui program
dengan karakteristik klien. perencanaan pengembangan tenaga
perawat spesialis jiwa dan
Saran membuat usulan penetapan standar
1. Kementrian Kesehatan asuhan keperawatan penerapan
a. Menyusun kebijakan terkait dengan latihan CBT pada klien halusinasi
program pelayanan keperawatan dan prilaku kekerasan.
jiwa spesialis bagi klien di tatanan
rumah sakit. c. Kepala Ruangan dan Perawat Utari
b. Menetapkan dan mengatur Mempertahankan dan
kebijakan terkait dengan meningkatkan peran perawat
pelaksanaan fungsi sebagai role model dalam
keberlangsungan proses perawatan menjalankan kegiatan pelayanan
klien gangguan jiwa yang telah MPKP dan dalam pelaksanaan
kembali ke rumah dengan manajemen asuhan keperawatan
memberdayakan fasilitas kesehatan jiwa khususnya penerapan terapi
Puskesmas sebagai sarana generalis baik individu maupun
kesehatan yang terdekat dengan kelompok untuk masalah halusinasi
tempat tinggal klien, sehingga dan prilaku kekerasan.
proses perawatan dan pengobatan
klien tidak berhenti. 3. Program Spesialis Keperawatan Jiwa
c. Pemanfaatan jenis terapi yang FIK UI dan Kolegium
memiliki efek long action untuk a. Melanjutkan kerjasama dengan
membantu klien dalam proses pihak rumah sakit, dalam
pengobatan dan mengurangi efek pelaksanaan praktik dan juga
bosan minum obat yang dapat pengembangan berbagai terapi

40 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42


keperawatan baik generalis maupun unduh 27 Desember 2013
spesialis yang bersifat individu http://cimonline.ca/index.php/cim/artic
maupun kelompok untuk le/viewFile/3140/1269
meningkatkan kemampuan perawat Cleven, G Smeijsters H. (2006). The
dalam menangani klien dengan treatment of aggression using arts
masalah keperawatan halusinasi therapies in forensic psychiatry:
dan prilaku kekerasan. Results of a qualitative inquiry. Arts in
b. Memfasilitasi praktik mandiri Psychotherapy 33(1):37-58.
keperawatan jiwa spesialis melalui http://cirrie.buffalo.edu/database/3055
program standarisasi dan lisensi 0/ diunduh 27 Desember 2013
praktik keperawatan jiwa spesialis Fauziah (2009). Pengaruh terapi perilaku
melalui strategi uji kompetensi. kognitif pada klien skizoprenia dengan
perilaku kekerasan, Tesis. Jakarta. FIK
4. Keluarga dan kader kesehatan jiwa UI. Tidak dipublikasikan.
Perlunya pemberdayaan keluarga dan Fontaine, K.L. (2009). Mental health
kader kesehatan jiwa yang telah nursing. new jersey. Pearson
dibekali dengan pengetahuan dan Education. Inc.
ketrampilan dalam melakukan Hamid, 2009, Bunga Rampai Asuhan
perawatan klien gangguan jiwa Keperawatan Jiwa, EGC, Jakarta
sehingga dapat memantau dan Hawari, Dadang. (2001), Manajemen Stres,
mengevaluasi perkembangan klien Cemas, dan Depresi . Jakarta :
selama di masyarakat. Fakultas Kedokteran Universitas
5. Riset Keperawatan Indonesia
a. Perlunya dikembangkan penelitian Kaplan & Sadock. (2007). Sinopsis
tentang ketepatan pemberian paket psikiatri: ilmu pengetahuan psikiatri
terapi spesialis pada diagnosis klinis.(Jilid 1). Jakarta: Bina Rupa
keperawatan halusinasi dan prilaku Aksara.
kekerasan pada klien yang lebih Keliat (2013), Kontribusi keperawatan
banyak. kesehatan jiwa dalam meningkatkan
b. Perlunya pengembangan instrumen pelayanan kesehatan jiwa di
penelitian yang tepat untuk menguji Indonesia, Pidato upacara pengukuhan
ketepatan pemberian terapi sebagai guru besar Tetap dalam bidang
spesialis terhadap peningkatan Keperawatan Universitas Indonesia.
kemampuan dan penurunan tanda Keliat, BA, Akemat (2010). Model Praktik
dan gejala. Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta : EGC.
DAFTAR PUSTAKA Kneisl, C.R., Wilson, H.S & Trigoboff, E.
(2004). Contemporary psychiatric
Birchwood. (2009). Cognitive behaviour mental health nursing, New Jersey:
therapy for commend hallucination. Pearson Prentice Hall.
Carson, V.B. (2000). Mental Health Masli m,Rus di. B uku sa ku
Nursing: The nurse-patient journey. Diag no sis g ang gu an ji wa
(2th ed.). Philadelphia: W.B. Sauders rujukan ringkas dari
Company. P P D G J - I I I . Jakarta: Bagian ilmu
Choi, Bernard C. K., Pak, Anita W.P, Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya,
(2008), Multidisciplinarity, 2001
interdisciplinarity, and Mohr D.C..(2006), The relationship
transdisciplinarity in health research, between stressful life events and
services, education and policy: 3. inflammation in patients with multiple
Discipline, inter-discipline distance, sclerosis. In: J. Welsh M. Meagher &
and selection of discipline, E. Sternberg, editor. 2006. Neural and
ORIGINAL ARTICLE Clin Invest neuroendocrine mechanisms in host
Med • Vol 31, no 1, February 2008, di defense and autoimmunity. New York:

Penerapan Cognitif Behavior Therapy Pada Klien Halusinasi dan Perilaku Kekerasan Dengan 41
Pendekatan Model Stress Adaptasi Stuart Dan Model Hubungan Interpersonal Peplau
di RS DR Marzoeki Mahdi Bogor
Firman Hidayat, Budi Anna Keliat, Mustikasari
Kluwer Academic/Plenum Publishers Care in Evidence-Based Practice. 6th
255-267. ed. Philadelphia: F.A. Davis Company
Oemarjoedi,A.K,.(2003). Pendekatan Varcarolis & Halter. (2009). Psychiatric
cognitive behavior dalam psikoterapi : nursing clinical guide; assesment tools
Penerbit Creative Media: Jakarta and diagnosis . Philadelphia: W.B
Putri, E.D. (2010). Pengaruh rational Saunders Co.
emotive behaviour therapy pada klien Videbeck, S.L.(2008). Buku ajar
dengan perilaku kekerasan di Rumah keperawatan jiwa. Jakarta. EGC.
Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Tesis. Wahyuni, S.E. (2010). Pengaruh cognitive
Tidak dipublikasikan. behaviour therapy terhadap halusinasi
RISKESDAS, Riset Kesehatan Dasar. pasien di Rumah Sakit Jiwa
2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pempropsu Medan. Tesis. Tidak
pengembangan Kesehatan Departemen dipublikasikan.
Kesehatan, Republik Indonesia Wahyuningsih, D. (2009). Pengaruh
Shiv es, R (20 08 ). Ba s ic conc ept assertive trainning terhadap perilaku
of p s ychiatr ic a nd M enta l kekerasan pada klien skizoprenia,
H ea l t h Nursing, Mosby, St Louis. Tesis. Jakarta. FIK UI. Tidak
Sinaga, B.R. (2007). Skizofrenia dan dipublikasikan.
Diagnosis Banding, Jakarta : Balai WHO (2013) Mental health action plan
Penerbit FKUI. 2013-2020.1.Mental health. 2.Mental
Stuart, G.W & Laraia, M.T (2005). disorders - prevention and control.
Principles and practice of psychiatric 3.Mental health services. 4.Health
nursing. (7th edition). St Louis: planning. I.World Health Organization
Mosby. Stuart, G.WT (2009). WHO. (2009). Improving health systems
Principles and practice of psychiatric and services for mental health (Mental
nursing. (9th edition). St Louis: health policy and service guidance
Mosby. package). Geneva 27, Switzerland :
Stuart, G.W., (2009). Principles and WHO Press. http//publications.cpa-
practice of psychiatric nursing, (8th apc.org/media,php?mid=503,
ed), St. Louis: Mosby. diperoleh tanggal 27 Desember 2013.
Tomey, M.A & Alligood, M. R (2010), Yusuf, S., (2010), Psikologi perkembangan
Nursing Theories and Their Work, (6th anak dan remaja, Bandung, PT
ed).
St. Louis: Mosby Elsevier. Remaja
Townsend, M.C. (2009). Psychiatric
Mental Health Nursing Concepts of

42 Jurnal Keperawatan Jiwa . Volume 3, No. 1, Mei 2015; 28-42

Anda mungkin juga menyukai