Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN STUDI KASUS

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA


PADA PASIEN DENGAN TUBERKULOSIS PARU

Oleh:

Dedy Murianto (207.121.0020)

Pembimbing:

dr. Farida Rusnianah, M.Kes. (MARS), Dipl.DK.

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
LABORATORIUM ILMU
KESEHATAN MASYARAKAT 2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, serta inayah-
Nya kepada penyusun sehingga Laporan Studi Kasus Ilmu Kesehatan Masyarakat yang
berjudul “Upaya Pendekatan Kedokteran Keluarga pada Pasien dengan Tuberkulosis Paru”
ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang diharapkan.

Tujuan penyusunan laporan ini adalah sebagai ujian kasus guna memenuhi tugas
kepaniteraan klinik madya serta melatih keterampilan klinis dan komunikasi dalam
menangani kasus kedokteran keluarga secara holistik dan komprehensif.

Penyusun menyadari bahwa laporan makalah ini belumlah sempurna. Untuk itu, saran dan
kritik dari para dosen dan pembaca sangat diharapkan demi perbaikan laporan ini. Atas saran
dan kritik dosen dan pembaca, penyusun ucapkan terima kasih.

Semoga Laporan Studi Kasus ini bermanfaat bagi dosen, penyusun, pembaca serta rekan-
rekan lain yang membutuhkan demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang
kedokteran.

Penyusun

Dedy Murianto, S.Ked.

1
DAFTAR ISI

Judul
Kata Pengantar .................................................................................................1
Daftar Isi ..........................................................................................................2
BAB I : Pendahuluan
Latar Belakang...........................................................................................3
Tujuan........................................................................................................4
Manfaat......................................................................................................4
BAB II : Laporan Kasus
Identitas Penderita......................................................................................5
Anamnesa...................................................................................................5
Pemeriksaan Fisik......................................................................................7
Pemeriksaan Penunjang.............................................................................9
Resume.......................................................................................................9
Diagnosis Holistik......................................................................................9
Penatalaksanaan Holistik.........................................................................10
Prognosis .................................................................................................11
Follow Up dan Flow Sheet.......................................................................12
BAB III : Pembahasan Aspek Kedokteran Keluarga
Identifikasi Keluarga................................................................................12
Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan....................19
Daftar Masalah.........................................................................................21
BAB IV : Tinjauan Pustaka
Tuberkulosis Paru....................................................................................22
BAB V : Pembahasan
Dasar Penegakan Diagnosa......................................................................27
Dasar Rencana Penatalaksanaan..............................................................33
BAB VI : Penutup
Kesimpulan Holistik................................................................................39
Daftar Pustaka.................................................................................................40

2
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Tuberkulosis (TB), yang merupakan suatu penyakit infeksi kronik menular oleh karena
Mycobacterium tuberculosis (MTB) (Amin, 2006), masih menjadi masalah utama kesehatan
di Indonesia dan sebagian besar negara-negara di dunia (GTNP TB, 2007). Pada tahun 1992
World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global
Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru
tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut regional WHO
jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia,
namun bila dilihat dari jumlah penduduk terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika
hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk. Diperkirakan
angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap tahun (Amin, 2006).
Laporan kasus TB di dunia oleh WHO tahun 2006, masih menempatkan Indonesia sebagai
penyumbang TB terbesar nomor 3 di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah kasus baru
sekitar 539.000 dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Survei Kesehatan Rumah
Tangga (SKRT) tahun 1995, menempatkan TB sebagai penyebab kematian ketiga terbesar
setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran pernafasan, dan merupakan nomor satu
terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (NN, 2009).
Penting bagi kita untuk memahami lebih lanjut karena tuberkulosis paru termasuk dalam
kasus dengan area kompetensi empat, dimana dokter umum atau dokter pada tingkat layanan
primer harus mampu membuat diagnosa klinik berdasarkan pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan tambahan serta mampu memutuskan dan menangani kasus tersebut secara
mandiri hingga tuntas.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat kasus ini sebagai
pembelajaran dalam upaya pendekatan kedokteran keluarga yang bersifat holistik,
komprehensif, terpadu dan berkesinambungan terhadap penanganan pasien dengan
permasalahan penyakit tuberkulosis paru.

1.2 TUJUAN

3
Tujuan penyusunan laporan ini adalah untuk melatih keterampilan klinis dan komunikasi
dalam menangani kasus penyakit dalam terutama tuberkulosis paru dengan upaya pendekatan
kedokteran keluarga yang bersifat holistik, komprehensif, terpadu dan berkesinambungan.

1.3 MANFAAT
Manfaat penyusunan laporan ini adalah sebagai media pembelajaran dan evaluasi terhadap
aspek kedokteran keluarga dalam penanganan serta pencegahan kasus penyakit dalam
khususnya tuberkulosis paru.

LAPORAN STUDI KASUS

4
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PENDERITA


Nama : Tn.S
Usia : 61 tahun
Status : Menikah
Pekerjaan : Swasta (Petani, Ternak)
Pendidikan : SMA
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Jatingui RT 04 RW 05
Nama istri : Ny.W
Usia istri : 55 tahun
Pekerjaan istri : Ibu Rumah Tangga
Tanggal periksa :15-01-2016
Nomor RM : 2248

2.2 ANAMNESA (Heteroanamnesa)


1. Keluhan Utama : batuk berdahak lama, sejak 9 bulan yang lalu.
Harapan : bisa sembuh dan penyakit tidak bertambah buruk.
Kekhawatiran : khawatir tidak jika penyakitnya semakin parah.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tn.G datang ke Puskesmas Sumberpucung diantar oleh istrinya untuk periksa kesehatan
rutin. Awalnya pasien mengeluh batuk berdahak yang sudah lama dialami yaitu sejak 9
bulan yang lalu. Batuk tetap kambuh walaupun sudah meminum obat-obatan batuk yang
dibelinya di Apotek. Beberapa bulan setelahnya, batuk juga disertai darah warna merah
dengan jumlah sedikit dan berupa bercak yang keluar bersama dengan dahak. Batuk
dirasakan sangat sering dan berat, terkadang terasa sesak jika batuk semakin memberat.
Pasien juga mengeluh sering keringat dingin malam hari, badan terasa lemas dan pusing
terutama jika melakukan pekerjaan sebagai petani. Kadang badan panas dan meriang serta
berat badan dan nasfu makan menurun sejak 3 bulan setelah batuk dirasakan.
Setelah 5 bulan merasakan keluhan, pasien memeriksakan diri ke Puskesmas
Sumberpucung dan didiagnosis tuberkulosis paru dengan pemeriksaan BTA (+). Saat ini,

5
keluhan yang dirasakan hanya batuk berdahak tetapi sudah jarang. Pasien juga merasakan
ada perbaikan selama proses pengobatan serta berat badan dan nafsu makan sudah mulai
naik.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien sering batuk sebelumnya sejak satu tahun yang lalu tetapi hilang timbul, ringan,
tidak berdahak dan sembuh sendiri dengan obat batuk yang dibelinya di Apotek. Pasien
menyangkal memiliki riwayat alergi.
3. Riwayat Penyakit Keluarga :
Pasien menyangkal adanya sakit serupa dan sakit yang lain pada anggota keluarga
lainnya serta tidak ada riwayat alergi makanan ataupun obat-obatan.
4. Riwayat Kebiasaan:
Tn.S memiliki riwayat merokok tetapi sudah berhenti sejak mengeluh batuk dan sesak
yaitu sekitar 9 bulan yang lalu. Riwayat minum alkohol disangkal. Tn.S dan keluarga
jarang berolah raga, jarang berekreasi dan berpergian.
5. Riwayat Pengobatan:
Sakit batuk yang dialami Tn.S sebelumnya tidak pernah diobatkan ke pelayanan
kesehatan, terkadang batuk diobati sendiri dengan obat-obatan yang dibeli di Apotek.
6. Riwayat Sosial Ekonomi
Aspek ekonomi keluarga Tn.S tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.S hanya
menanggung perekonomian istri, dan ibu. Pembiayaan kesehatan Tn.S dan keluarga
menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan kesehatan juga
terjangkau. Aspek sosial Tn.S dan keluarga cukup baik, sering berkumpul dengan tetangga
dan temannya, hal ini mencerminkan interaksi dengan tetangga tergolong baik.
7. Riwayat gizi
Tn.S dan keluarga makan sehari-hari biasanya 3 kali sehari dengan nasi, sayur, dan lauk
pauk beragam. Kadang mengkonsumsi buah-buahan. Kesan status gizi saat ini cukup.
8. Keadaan lingkungan
Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal ini terkait
dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi, kambing dan ayam. Terkadang
ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang terbiasa mengurus hewan ternak
sebelum sakit tidak pernah menggunakan penutup hidung atau masker.

2.3 PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 15 januari 2016)


1. Keadaan umum : tampak baik, kesadaran compos mentis (GCS E4V5M6)
2. Antropometri
 BB : 65kg
 TB : 160 cm
 BMI : BB/TB2 = 65/(1,60)2 = 20,31 à Normoweight
3. Tanda Vital
 Tensi : 130/90 mmHg

6
 Nadi : 80 x/menit, reguler, nadi kuat
 RR : 24 x/menit, tipe thorakoabdominal
 Suhu : 36,3 oC
4. Kulit : coklat, turgor baik, ikterik (-), sianosis (-), pucat (-)
5. Kepala : bentuk mesocephal, luka (-), nyeri (-), rambut tidak mudah dicabut, papul (-),
nodul (-), makula (-)
6. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), warna kelopak coklat, radang
(-/-), eksoftalmus (-), strabismus (-)
7. Hidung : nafas cuping hidung (-/-), rhinorrhea (-/-), epistaksis (-/-), deformitas hidung
(-/-), saddle nose(-/-)
8. Mulut : mukosa bibir pucat (-/-), sianosis (-/-), bibir kering (-/-)
9. Telinga : otorrhea (-/-), pendengaran berkurang (-/-), nyeri tekan mastoid (-/-), cuping
teling dbn
10. Tenggorokan : tonsil membesar (-/-), pharing hiperemis (-), sekret (-)
11. Leher : lesi kulit (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran KGB (-)
12. Thorax : normochest, simetris, pernafasan thoracoabdominal
Cor: Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas : ICS II Linea para sternalis sinistra
Batas kanan atas : ICS II Linea para sternalis dekstra
Batas kiri bawah : ICS V linea midclavicularis sinistra
Batas kanan bawah : ICS IV linea para sternalis dekstra
Auskultasi : bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, bunyi jantung
tambahan (-).
Pulmo : Inspeksi : bentuk normal, pengembangan dada kanan = dada kiri
Palpasi : fremitus raba kiri sama dengan kanan
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : ↓ ↓ - - + +
suara dasar vesikuler + wheezing - ronkhi -
+ + - - - -
13. Abdomen :
Inspeksi : sejajar dinding dada, massa (-)
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor baik
Perkusi : timpani seluruh lapangan perut
14. Sistem Collumna Vertebralis :
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
15. Ekstremitas:
Akral hangat Edema

- -

- -

L : deformitas (-), luka (-)

7
F : nyeri tekan (-), krepitasi (-)
M: normal

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium : BTA (+) (tanggal 21 September 2015)

Thorax Photo PA (disaran kan untuk malakukan foto)

2.5 RESUME
Tn.S datang untuk periksa kesehatan rutin. Awalnya mengeluh batuk berdahak sejak
9 bulan lalu. Beberapa bulan setelahnya, batuk juga disertai darah warna merah terang
berupa bercak yang keluar bersama dahak. Batuk dirasa sangat sering dan berat serta
mulut semakin barbau tidak enak. Kadang sesak jika batuk memberat. Mengeluh sering
keringat dingin malam hari, badan terasa lemas dan pusing terutama jika bekerja. Kadang
badan panas dan meriang serta berat badan dan nasfu makan menurun sejak 3 bulan
setelahnya. Saat ini, keluhan yang dirasakan hanya batuk berdahak tetapi sudah jarang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bibir tampak pucat, konjungtiva anemis dan terdapat
sekret pada tenggorokan. Pada pemeriksaan auskultasi paru suara dasar vesikuler
menurun pada lapang paru kanan dan kiri atas serta ronkhi. Pada pemeriksaan penunjang
tanggal 15 januari 2016 pemeriksaan laboratorium BTA (+) dan disarankan untuk
melakukan foto thorak ulang

2.6 DIAGNOSA HOLISTIK


1. Diagnosis dari segi biologis :
Tuberkulosis Paru Kategori I
2. Diagnosis dari segi psikologis :
Dari segi psikologis, Tn.S dan keluarga tidak terdapat masalah. Tn.S dan
keluarganya menyadari bahwa penyakit TB yang dialami meskipun menular tetapi

8
dapat disembuhkan. Tn.S dan keluarga juga sangat koopertif dan mengikuti segala
masukan dokter dalam proses terapi demi kesehatan dan kesembuhannya.
3. Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :
Perekonomian keluarga Tn.S tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.S hanya
menanggung istri, ibu, dan neneknya. Pembiayaan kesehatan Tn.S dan keluarga
menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan kesehatan juga
terjangkau. Aspek sosial Tn.S dan keluarga cukup baik, sering berkumpul dengan
tetangga dan temannya. Tn.S dan istri juga terbiasa berbagi masalah bersama. Selain
sebagai petani, Tn.S juga menjadi ketua RW, hal ini mencerminkan interaksi dengan
tetangga tergolong baik.

2.7 PENATALAKSANAAN HOLISTIK


2.7.1 Farmakoterapi
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
 Fase Intensif : Rifampisin (R), INH (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E) (dosis harian)
selama 2 bulan à BTA (-) à
 Fase Lanjutan : Rifampisin (R), INH (H) (dosis 3 kali dalam seminggu) selama 4 bulan

2.7.2 Non Farmakoterapi


KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
 Membuka pintu dan jendela setiap pagi agar terjadi
pertukaran udara.
 Membuka gorden jendela kamar agar sinar matahari dapat
masuk ke dalam ruangan yang dapat membunuh bakteri TB. Tindakan pasien untuk
memilih kamar tersendiri yang memiliki sirkulasi udara dan cahaya masuk yang
cukup sangat tepat terutama selama proses penyembuhan.
 Memakai masker saat bekerja atau saat berinteraksi untuk
mencegah penularan dan semakin buruknya kondisi.
 Motivasi agar kontrol dan minum OAT (obat anti TB)
secara teratur
 KIE kepada pasien dan keluarga tentang penyakit dan
kondisi pasien. Pentingnya pencegahan dan pengobatan serta bahaya komplikasi jika
pasien dan keluarga tidak patuh terhadap anjuran dokter.

9
 Istirahat serta asupan makanan yang cukup dan bergizi

2.8 PROGNOSIS
Prognosis kondisi Tn.S tergantung dari banyak aspek diantaranya tingkat kepatuhan serta
upaya pencegahan dan pengobatan penyakit, tetapi karena dalam proses pengobatan Tn.S
dan keluarga tergolong pasien yang patuh maka secara umum prognosisnya adalah:
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam

10
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

BAB III
PEMBAHASAN ASPEK KEDOKTERAN KELUARGA

3.1 IDENTIFIKASI KELUARGA


3.1.1 Profil Keluarga
A. Karakteristik Demografi Keluarga
Tanggal kunjungan pertama : 25 januari 2016
Nama kepala keluarga : Tn.S (pasien)
Alamat : RT.01 RW.08, Kec. Pagak, Kab. Malang
Bentuk Keluarga : extended family
Struktur Komposisi Keluarga :

Tabel 3.1. Daftar anggota keluarga

Pasien
No Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Ket.
Puskesmas
Petani, Tuberkulosis Paru
Kepala
1 Tn.S L 57 th SMA Ternak, Ya Riwayat Malaria
keluarga
Kepala RW
Ibu Rumah
2 Ny.W Istri P 55 th SMA Tidak -
Tangga
Tidak pernah
periksa kesehatan
3 Ny.T Ibu Pasien P 92 th SD Petani Tidak
& mengeluh sakit
yang berat
Sumber: data primer, 25 Januari 2015

Kesimpulan : Keluarga Tn.S adalah extended family yang terdiri atas 3 orang yang tinggal
dalam satu rumah. Terdapat satu orang yang sakit yaitu Tn.S usia 61 tahun dengan diagnosa
TB Paru. Sedangkan istri dan ibu pasien, mengaku tidak pernah menderita sakit yang berat
dan tidak pernah periksa kesehatan

11
B. Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup
 Denah rumah keluarga Tn.G :
H a l a m a n D e p a n

Hal
ama Teras Depan
n Hal
Kamar 1 (kamar ama
tidur + tepat Ruang Tamu n
setrika)
sam
Tempat Sholat ping
Tempat Sholat
sam Kamar Ibu
ping (Nenek )

Ruang TV Kamar 3
Dapur Kompor & (kamar Tn.S
Tempat Makan & Ny.W)

Kamar Mandi Kandang sapi dan Ayam Keterangan:


= Pintu
= Jendela

C. Penilaian Perilaku Kesehatan Keluarga


Jenis tempat berobat : Puskesmas Pagak dan RSUD Kanjuruhan Kepanjen
Asuransi / jaminan kesehatan : BPJS
Jarak layanan kesehatan tempat berobat : Jarak Puskesmas Pagak dengan rumah
pasien dekat dan terjangkau.
 Sarana Pelayanan Kesehatan
Tabel 3.2. Pelayanan kesehatan
Faktor Keterangan Kesimpulan
Cara mencapai pusat Jalan kaki Tn.S ke Puskesmas dengan
pelayanan kesehatan Angkot menggunakan kendaraan
Kendaraan pribadi pribadi.
Tarif pelayanan kesehatan Sangat mahal Tarif pelayanan kesehatan
Mahal terjangkau karena
Terjangkau menggunakan fasilitas
Murah jaminan kesehatan nasional
Gratis dan tergolong masyarakat
ekonomi menengah ke atas
serta akses pelayanan
kesehatan jaraknya dekat.
Kualitas pelayanan kesehatan Sangat Memuaskan
Memuaskan
Cukup Memuaskan
Tidak memuaskan

12
 Pola Konsumsi Makanan Keluarga
Kebiasaan makan dan penerapan pola gizi seimbang :
Tn.S dan keluarga makan sehari-hari biasanya 3 kali sehari dengan nasi, sayur, dan
lauk pauk beragam. Kadang mengkonsumsi buah-buahan. Penerapan pola gizi Tn.S
dan keluarga cukup baik dan seimbang.
 Pola Dukungan Keluarga
a. Faktor pendukung terselesaikannya masalah dalam keluarga:
Dalam menyelesaikan masalah, Tn.S dan istri terbiasa berbagi bersama. Tingkat
pendidikan dan pengetahuan Tn.S dan keluarga yang tergolong baik juga sangat
berpengaruh dalam pemecahan masalah khususnya mengenai kesehatan dan
penyakit yang dialami. Sehingga Tn.S sangat koopertif dan mengikuti segala
masukan dokter dalam proses terapi demi kesehatan dan kesembuhannya. Hal ini
juga didukung dengan tingkat ekonominya yang tergolong cukup dan akses
kesehaan yang terjangkau.
b. Faktor penghambat terselesaikannya masalah dalam keluarga:
Tidak ada faktor penghambat dalam pemecahan masalah di keluarga Tn.S yang
terlalu besar. Hanya saja jarak dan kondisi anak-anak Tn.S yang berjauhan dan
sudah berkeluarga membuat komunikasi sedikit terbatas. Tetapi hal ini dapat
diminimalkan dengan komunikasi melalui media elekronik.

3.1.2 Identifikasi Fungsi-Fungsi dalam Keluarga


A. Fungsi Holistik
1. Fungsi biologis
Keluarga Tn.S terdapat satu orang yang sakit yaitu Tn.S usia 61 tahun dengan diagnosa TB
Paru Kategori I. Sedangkan istri dan ibu pasien yang sudah lanjut usia, mengaku tidak
pernah menderita sakit yang berat dan tidak pernah periksa kesehatan.
2. Fungsi Psikologis
Fungsi psikologis Tn.S dan keluarga tidak terdapat masalah. Tn.S dan keluarganya
menyadari bahwa penyakit TB yang dialami meskipun menular tetapi dapat disembuhkan.
Tn.S dan keluarga juga sangat koopertif dan mengikuti segala masukan dokter dalam
proses terapi demi kesehatan dan kesembuhannya.
3. Fungsi Sosial dan Ekonomi
Aspek ekonomi keluarga Tn.S tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.S hanya
menanggung perekonomian istri, ibu. Pembiayaan kesehatan Tn.S dan keluarga
menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan kesehatan juga

13
terjangkau. Aspek sosial Tn.S dan keluarga cukup baik, sering berkumpul dengan tetangga
dan temannya. Tn.S dan istri juga terbiasa berbagi masalah bersama.
Fungsi Fisiologis dengan APGAR Score
 Adaptation : kemampuan anggota keluarga beradaptasi dengan anggota keluarga yang
lain, serta penerimaan, dukungan, dan saran dari anggota keluarga yang lain.
 Partnership : menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antara
anggota keluarga dalam segala masalah yang dialami oleh keluarga tersebut
 Growth : menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal-hal baru yang dilakukan
anggota keluarga lain
 Affection : menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota
 Resolve : menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan waktu
yang dihabiskan bersama anggota keluarga yang lain.
 Penilaian :
o Hampir selalu : 2 poin
o Kadang – kadang : 1 poin
o Hampir tak pernah : 0 poin
 Penyimpulan :
o Nilai rata-rata < 5 : kurang
o Nilai rata-rata 6-7 : cukup/sedang
o Nilai rata-rata 8-10 : baik
Tabel 3.3. APGAR score Tn.S (61 tahun)
APGAR Tn.G terhadap keluarga 2 1 0
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah √
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya √
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya √
untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan √
merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama √
Untuk Tn.G APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Adaptation : Tn.S puas terhadap dukungan dan saran yang diberikan keluarganya jika
menghadapi masalah. Meskipun ada beberapa anggota keluarga yang
berjauhan tetapi masih tetap saling mendukung dan memberikan saran
melalui media sosial.
2. Partnership : komunikasi Tn.S dengan keluarganya berjalan baik. Sanak saudara Tn.S
juga sesekali menjenguk, berkumpul dan berkomunikasi melalui telvon.

14
3. Growth : keluarga Tn.S, tidak terlalu memberi batasan terhadap segala aktifitas Tn.S
baik pekerjaan atau kegiatan-kegiatan, dan saling bekerjasama dalam
menjalani usaha.
4. Affection : Tn.S puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya,
terutama dari istri pasien.
5. Resolve : Tn.S merasa puas dengan waktu luang yang diberikan anggota
keluarganya, tetapi untuk waktu luang bersama anaknya terdapat
hambatan karena terkait lokasi yang berjauhan dan pekerjaan.
Total APGAR score Tn.S = 9

Tabel 3.4. APGAR score Ny.W (55 tahun)


APGAR Ny. W terhadap keluarga 2 1 0
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah √
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya √
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya √
untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan √
merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama √
Untuk Ny.S APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Adaptation : Ny.W puas terhadap dukungan dan saran yang diberikan keluarganya jika
menghadapi masalah. Meskipun ada beberapa anggota keluarga yang
berjauhan tetapi masih tetap saling mendukung dan memberikan saran
melalui media sosial.
2. Partnership : komunikasi Ny.W dengan keluarganya berjalan baik. Sanak saudara Ny.W
juga sesekali menjenguk, berkumpul dan berkomunikasi melalui telvon.
3. Growth : keluarga Ny.W, tidak terlalu memberi batasan terhadap segala aktifitas
Ny.W atau kegiatan-kegiatan, terutama suami.
4. Affection : Ny.W puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan
keluarganya, terutama dari suami.
5. Resolve : Ny.W merasa puas dengan waktu luang yang diberikan anggota
keluarganya, tetapi untuk waktu luang bersama anaknya terdapat
hambatan karena terkait lokasi yang berjauhan dan pekerjaan.
Total APGAR score Ny.W = 9

Tabel 3.5. APGAR score Ny.T (92 tahun)

15
APGAR Ny. T terhadap keluarga 2 1 0
A Saya puas bahwa saya dapat kembali ke keluarga bila menghadapi masalah √
P Saya puas dengan cara keluarga saya membahas dan membagi masalah dengan saya √
G Saya puas dengan cara keluarga saya menerima dan mendukung keinginan saya √
untuk melakukan kegiatan baru atau arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga saya mengekspresikan kasih sayangnya dan √
merespon emosi saya seperti kemarahan, perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga saya dan saya membagi waktu bersama-sama √
Untuk Ny.T APGAR score dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Adaptation : Ny.T puas terhadap dukungan dan saran yang diberikan keluarganya jika
menghadapi masalah.
2. Partnership : komunikasi Ny.T dengan keluarganya berjalan baik. Sanak saudara Ny.T
juga sesekali menjenguk, berkumpul dan berkomunikasi melalui telvon.
3. Growth : keluarga Ny.T, terkadang memberi batasan terhadap aktifitas Ny.T karena
terkait usia dan kesehatan Ny.T. Tetapi Ny.T menyadari keadaan tersebut.
4. Affection : Ny.T puas dengan kasih sayang dan perhatian yang diberikan keluarganya,
terutama anak-anaknya. Ny.T merasa sangat puas dan bersyukur dengan
apa yang dimilki dan dengan kondisi keluarganya yang tergolong sukses.
5. Resolve : Ny.T merasa puas dengan waktu luang yang diberikan anggota
keluarganya.
Total APGAR score Ny.T = 9

Total APGAR score keluarga Tn.S = 9


Kesimpulan : Fungsi fisiologis keluarga Tn.S baik
B. Fungsi Patologis dengan Alat SCREEM Score
Fungsi patologis keluarga Tn.S dinilai menggunakan alat S.C.R.E.E.M sebagai berikut:

Tabel 3.4. SCREEM keluarga Tn.S


Sumber Patologis
Social Tn.S dan keluarga sering berkumpul dengan tetangga dan temannya. Tn.S
dan istri juga terbiasa berbagi masalah bersama. ini mencerminkan
-
interaksi dengan tetangga tergolong baik.

Culture Menggunakan adat Jawa dan bahasa Jawa secara sopan dengan anggota
-
keluarga dan orang lain dalam kehidupan sehari-hari.
Religious Fungsi agama Tn.S dan keluarganya bagus dan sering mengikuti pengajian
serta istri yang juga meluangkan waktu untuk mengajar mengaji anak-anak -
penduduk dan tetangganya.
Economic Kondisi ekonomi keluarga Tn.S tergolong menengah keatas. Tn.S juga saat
-
ini hanya menanggung perekonomian istri, ibu, dan neneknya.

16
Educational Tingkat pendidikan dan pengetahuan Tn.S dan keluarga tergolong baik,
khususnya mengenai kesehatan dan penyakit yang dialaminya. Sehingga
-
Tn.S sangat koopertif dan mengikuti segala masukan dokter dalam proses
terapi demi kesehatan dan kesembuhannya.
Medical Dalam pembiayaan kesehatan Tn.S dan keluarga menggunakan BPJS
-
sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan kesehatan juga terjangkau.
Kesimpulan : Tidak ada fungsi patologis keluarga Tn.S yang menjadi hambatan.

C. Genogram dalam Keluarga


Ibu Tn.S, Ny.T usia 92 tahun memiliki 3
Ny.T saudara yang seluruhnya masih hidup

Tn. S Pasien, Tn.S dengan


Ny.
Tuberkulosis Paru Kategori I
W

Keterangan:

= laki-laki = tinggal dalam satu rumah

= perempuan = dengan Tuberkulosis

D. Informasi Pola Interaksi Keluarga

Tn.S Ny.
W

Tn.Y
Ny.
P

17
Keterangan:

: hubungan baik : laki-laki : pasien

: hubungan kurang baik : perempuan

Kesimpulan : Hubungan interaksi seluruh keluarga Tn.S berjalan baik.

3.2 IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KESEHATAN


3.2.1 Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga
3.2.1.1 Faktor Perilaku Keluarga
a. Pengetahuan
Tingkat pendidikan dan pengetahuan Tn.S dan keluarga tergolong baik, khususnya
mengenai kesehatan dan penyakit yang dialaminya. Sehingga Tn.S sangat koopertif dan
mengikuti segala masukan dokter dalam proses terapi demi kesehatan dan
kesembuhannya. Pasien dan keluarga juga memahami bagaimana potensi penularan serta
pencegahan penyakit TB.
b. Sikap
Sikap keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup baik, terutama istrinya. Keluarga
memahami keadaan kesehatan Tn.S, saling memberikan perhatian, dukungan dan
semangat serta saling mengingatkan dalam menjaga kesehatannya.
c. Tindakan
Tindakan keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup baik, terutama istri dan ibunya.
Selama proses penyembuhan, Tn.S tidur di kamar terpisah dengan istrinya dan Tn.S juga
sering menggunakan masker jika berkumpul dan bekomunikasi dengan keluarga
terutama saat sering mengeluh batuk.

3.2.1.2 Faktor Non Perilaku


a. Lingkungan
Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal ini terkait
dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi, kambing dan ayam. Terkadang
ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang terbiasa mengurus hewan ternak
sebelum sakit tidak pernah menggunakan penutup hidung atau masker.
b. Pelayanan kesehatan
Tarif pelayanan kesehatan terjangkau karena menggunakan fasilitas jaminan kesehatan
nasional dan tergolong masyarakat ekonomi menengah ke atas serta akses pelayanan
kesehatan jaraknya dekat.

c. Usia, Keturunan dan Jenis Kelamin

18
Pada penyakit TB yang dialami Tn.S tidak terkait dengan faktor usia, keturunan dan
jenis kelamin. Tetapi, karakteristik kesehatan dan usia dalam keluarga Tn.S tergolong
baik.
3.2.1.3 Diagram Faktor Perilaku dan Non Perilaku
Faktor NonPerilaku
Faktor Perilaku
Lingkungan: lingkungan sekitar rumah Tn.S
Pengetahuan: Tingkat pendidikan dan pengetahuan Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal ini terkait
dan keluarga tergolong baik, khususnya mengenai kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi,
kesehatan dan penyakit yang dialaminya. Sehingga Tn.S kambing dan ayam. Terkadang ayam dilepas
sangat koopertif dan mengikuti segala masukan dokter hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang terbiasa
dalam proses terapi demi kesehatan dan kesembuhannya. mengurus hewan ternak sebelum sakit tidak
Pasien dan keluarga juga memahami bagaimana potensi pernah menggunakan penutup hidung atau
Tn.S dan Pelayanan
masker. kesehatan: tarif pelayanan kesehatan
penularan serta pencegahan penyakit TB.
Sikap: Sikap keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup baik, Keluarga terjangkau karena menggunakan fasilitas jaminan
terutama istrinya. Keluarga memahami keadaan kesehatan kesehatan nasional dan tergolong masyarakat
Tn.S, saling memberikan perhatian, dukungan dan ekonomi menengah ke atas serta akses pelayanan
semangat serta saling mengingatkan dalam menjaga kesehatan jaraknya dekat.
kesehatannya.

Tindakan: Tindakan keluarga terhadap kondisi Tn.S cukup Usia, Keturunan, Jenis kelamin: penyakit TB yang
baik, terutama istri dan ibunya. Selama proses dialami Tn.S tidak terkait faktor usia, keturunan dan jenis
penyembuhan, Tn.S tidur di kamar terpisah dengan istrinya kelamin. Tetapi, karakteristik kesehatan dan usia dalam
dan Tn.S juga sering menggunakan masker jika berkumpul keluarga Tn.S tergolong baik..
dan bekomunikasi dengan keluarga terutama saat sering
mengeluh batuk.

3.3 DAFTAR MASALAH


3.3.1 Masalah Medis
Tuberkulosis Paru Kategori I

3.3.2 Masalah Non Medis


Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal ini terkait
dengan kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi, kambing dan ayam.
Terkadang ayam dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang terbiasa mengurus
hewan ternak sebelum sakit tidak pernah menggunakan penutup hidung atau masker.
Hal ini menjadi permasalahan lingkungan dan kebersihan yang secara tidak langsung
kemungkinan memiliki keterkaitan dengan penyakit yang dialami Tn.S.
Terdapat hambatan minimnya waktu luang bersama anaknya karena terkait lokasi
yang berjauhan, pekerjaan dan sudah berumah tangga sendiri.

3.3.3 Diagram Permasalahan Keluarga

Lingkungan sekitar rumah Tn.S tergolong rapi tetapi kurang bersih. Hal ini terkait dengan
kondisi rumah yang dekat dengan kandang sapi, kambing dan ayam. Terkadang ayam
dilepas hingga masuk ke dalam rumah. Tn.S yang terbiasa mengurus hewan ternak
sebelum sakit tidak pernah menggunakan penutup hidung atau masker. Hal ini menjadi
permasalahan lingkungan dan kebersihan yang secara tidak langsung kemungkinan
19yang dialami Tn.S.
memiliki keterkaitan dengan penyakit
Terdapat hambatan minimnya waktu luang bersama anaknya karena terkait lokasi yang
berjauhan, pekerjaan dan sudah berumah tangga sendiri.
Tn.S (61 tahun) dengan Tuberkulosis Paru Kategori I

20
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

4.1 TUBERKULOSIS
4.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri jenis
mycobacterium tuberculosis. Infeksi dapat bersifat lokal dan sistemik, namun sebagian besar
kasus infeksi bermanifestasi sebagai tuberkulosis pada organ paru (NN, 2010) dan biasanya
merupakan lokasi infeksi primer (Amin, 2006; GTNP TB, 2009; PDPI, 2006).
4.1.2 Etiologi
Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri berukuran
lebar 0,3 – 0,6 mm dan panjang 1 – 4/ um. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri
dari lapisan lemak (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah asam mikolat,
lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut cord factor, dan
mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi (PDPI, 2006).
Unsur lain yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti
arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan
tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam – alkohol.
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen lipid,
polisakarida dan protein (PDPI, 2006).
Sifat lain kuman M. tuberculosis adalah aerob. Dengan sifat tersebut tergambar bahwa
kuman lebih menyukai tempat yang banyak oksigennya. Didalam organ paru, daerah yang
banyak kandungan atau tinggi tekanan oksigennya adalah bagian apikal dari paru-paru,
sehingga pada tempat tersebut menjadi tempat predileksi dari kuman TB (Chandra, 2010).
4.1.3 Cara Penularan
Cara penularan kuman TB sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet
nuclei yang khususnya didapat dari penderita paru yang batuk berdahak atau batuk berdarah,
bersin, berbicara dengan memproduksi percikan yang sangat kecil pada BTA positif, sehingga
kepadatan penduduk dalam suatu wilayah sangat mempengaruhi penularan dan
mempermudah terjadinya penyebaran kuman secara cepat. Cara penularan ini (inhalasi)
mengakibatkan sebagian besar manifestasi klinis infeksi TB terdapat pada organ paru,

21
sedangkan Penularan TB kulit dan jaringan lunak dapat terjadi melalui inokulasi langsung.
Faktor utama dalam perjalanan infeksi adalah kedekatan dan durasi kontak serta derajat
infeksius penderita dimana semakin dekat seseorang berada dengan penderita, makin banyak
kuman TB yang mungkin akan dihirupnya (Kabo, 2010).
4.1.4 Patogenesis
Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru
sehingga akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan terlihat peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening
di hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer akan mengalami salah satu keadaan yaitu:
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya (biasanya bronkus lobus medius sehingga
menyebabkan epituberkulosis)
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru sebelahnya
atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan daya
tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh
secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat imunitas yang adekuat, penyebaran ini
akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis
tuberkulosa, Typhobacillosis Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan
tuberkulosis pada alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang pada
anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
 Meninggal (Amin, 2006).
Tuberkulosis Post-Primer
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem

22
kesehatan masyarakat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer
dimulai dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior
maupun lobus inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil.
Selanjutnya sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :
1. Diresopsi kembali, dan sembuh kembali dengan tidak meninggalkan cacat.
2. Sarang tadi mula mula meluas, tetapi segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan membungkus diri menjadi lebih keras,
terjadi perkapuran, dan akan sembuh dalam bentuk perkapuran. Sebaliknya dapat juga
sarang tersebut menjadi aktif kembali, membentuk jaringan keju dan menimbulkan kavitas
bila jaringan keju dibatukkan keluar.
3. Sarang pneumonik meluas, membentuk jaringan keju (jaringan kaseosa). Kavitas akan
muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar. Kavitas awalnya berdinding tipis,
kemudian dindingnya akan menjadi tebal (kavitas sklerotik). Nasib kaviti ini :
a. Mungkin meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonik baru. Sarang
pneumonik ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan diatas.
b. Dapat pula memadat dan membungkus diri (encapsulated), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif kembali,
mencair lagi dan menjadi kavitas lagi.
c. Kavitas bisa pula menjadi bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity atau
kavitas menyembuh dengan cara
mem-bungkus diri, akhirnya
mengecil. Kemungkinan berakhir
sebagai kavitas yang terbungkus,
dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped)
(Amin, 2006).

4.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis Gambar 4.1 Perkembangan sarang tuberkulosis post primer
A. Tuberkulosis Paru dan perjalanan penyembuhannya (Amin, 2006)

TB paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA), TB paru dibagi atas:
Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan kelainan radiologik
menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
Tuberkulosis paru BTA (-) adalah:

23
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan kelainan
radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis (+)
Berdasarkan tipe pasien, ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada
beberapa tipe pasien yaitu :
a. Kasus baru: pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps): pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif /
perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll). Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out : pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut
atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal : pasien BTA positif yang tetap positif atau kembali positif pada akhir bulan
ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau pasien dengan hasil BTA negatif
gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus kronik / persisten : pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah
selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
B. Tuberkulosis Ekstra Paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru,
misalnya pleura, kelenjar getah bening, selaput otak, perikard, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin dan lain-lain. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur
positif atau patologi anatomi. Untuk kasus-kasus yang tidak dapat dilakukan pengambilan
spesimen maka diperlukan bukti klinis yang kuat dan konsisten dengan TB ekstra paru aktif.
4.1.6 Progresifitas dan Komplikasi (Rasad, 2005)
Perburukan ( perluasan ) penyakit
1. Pleuritis : terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura atau melalui
penyebaran hematogen. Pada keadaan normal rongga pleura berisi cairan 10-15 ml. Efusi
pleura bisa terdeteksi dengan foto toraks PA dengan tanda meniscus sign/ellis line, apabila
jumlahnya 175 ml. Pada foto lateral dekubitus efusi pleura sudah bisa dilihat bila ada
penambahan 5 ml dari jumlah normal. Penebalan pleura di apikal relatif biasa pada TB

24
paru atau bekas TB paru. Pleuritis TB bisa terlokalisir dan membentuk empiema. CT
Toraks berguna dalam memperlihatkan aktifitas dari pleuritis TB dan empiema.
2. Penyebaran miliar : akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sebesar l-2mm
atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua belah paru. Pada foto
toraks, tuberkulosis miliaris ini menyerupai gambaran 'badai kabut’ (Snow storm
apperance). Penyebaran seperti ini juga dapat terjadi pada Ginjal, Tulang, Sendi, Selaput
otak atau meningen, dsb.
3. Stenosis bronkus : stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru
yang bersangkutan sering menempati lobus kanan (sindroma lobus medius)
4. Kavitas (lubang) : timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding lubang
sering tipis berbatas licin atau tebal berbatas tidak licin. Di dalamnya mungkin terlihat
cairan, yang biasanya sedikit. Lubang kecil dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat
tidak berubah-ubah pada pemeriksaan berkala (follow up) dinamakan lubang sisa
(residual cavity) dan berarti suatu proses lama yang sudah tenang.
Komplikasi yang dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah selesai pengobatan adalah :
batuk darah (profus), keadaan umum buruk, pneumotoraks, empiema, efusi pleura masif atau
bilateral, dan gagal nafas. Sedangkan pembagian komplikasi berdasarkan waktunya adalah :
o Komplikasi dini: pleuritis , efusi pleura, empiema, laryngitis
o Komplikasi lanjut: TB usus, Obstruksi jalan nafas , Fibrosis paru, kor pulmonal,
amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa, meningitis TB.

25
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

BAB V
PEMBAHASAN

5.1 DASAR PENEGAKAN DIAGNOSA TUBERKULOSIS (NN, 2010)


Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.
5.1.1 Gejala klinik
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. Batuk kering > 3 minggu
b. Batuk dengan dahak atau darah
c. Sesak napas
d. Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical check
up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin tidak ada
gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
a. Demam
b. Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru : gejala tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.
5.1.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtivitis,
anemis, kulit pucat karena anemia, demam subfebril, badan kurus atau berat badan menurun.
Pada pemeriksaan fisik kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ yang terlibat. Pada
tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan

26
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 & S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma & mediastinum. Pada
pleuritis tuberkulosa (efusi pleura), kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya
cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan. Pada limfadenitis
tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar
getah bening, tersering di daerah leher
(pikirkan kemungkinan metastasis tumor),
kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat Gambar 5.1 Letak TB pada paru : apeks lobus
superior dan apeks lobus inferior
menjadi “cold abscess”
5.1.3 Pemeriksaan Bakteriologik
b. Bahan pemeriksaan : Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis
mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus / BJH)
c. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
 Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-
turut.
Bahan pemeriksaan / spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan / ditampung dalam
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum
dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek
dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan
telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan

27
laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan
pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
 Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
 Kertas saring ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya
 Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas
saring sebanyak + 1 ml
 Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak
 Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat aman (dalam dus)
 Bahan dahak dalam kertas saring kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil
 Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
 Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
 Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
 Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain.
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar / BAL, urin, faeces
dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara mikroskopik dan biakan.
Pemeriksaan Mikroskopik :
- Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
- Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila :
 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif à BTA positif
 1 kali positif, 2 kali negatif àulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasiliti foto toraks,
kemudian bila 1 kali positif, 2 kali negatif àBTA positif
 bila 3 kali negatif à BTA negatif.
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi
WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif


 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst, Skala Bronkhorst (BR) :
 BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan
 BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang
 BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang
 BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang
 BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang

28
Pemeriksaan biakan kuman :
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :
 Egg base media : Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
 Agar base media : Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik
dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin
maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.
5.1.4 Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Namun dapat juga dilakukan fotolateral, top-
lordotik, oblik atau dengan menggunakan CT-Scan, hal ini dikarenakan foto toraks
tuberkulosis dapat memberikan gambaran yang mirip dengan pneumonia, karsinoma bronkus
atau mungkin abses paru sehingga dikatakan tuberculosis is the greatest imitator.
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :
 Fibrotik
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura
Luluh paru (Destroyed Lung) :
 Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis / multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktivitas proses penyakit
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan
sebagai berikut (terutama pada kasus BTA negatif) :
 Lesi minimal : Bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari

29
iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra
torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
 Lesi luas : Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Gambar 5.2. Rontgen paru pada pasien TB


5.1.5 Pemeriksaan Lain
1. Analisis Cairan Pleura : Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura
perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis.
Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif
dan kesan cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan
dan glukosa rendah.
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan : Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk
membantu menegakkan diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan
histologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu :
a. Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
b. Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
c. Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy / TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal biopsy / TTB, biopsi paru terbuka.
d. Otopsi : Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk
dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histologi.
3. Pemeriksaan darah : Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang
spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua dapat
digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses
aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfosit juga
kurang spesifik untuk menilai perjalanan infeksi TB.
4. Uji Tuberkulin : Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di
Indonesia dengan prevalensi tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu
diagnostik penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna

30
bila didapatkan konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali.
Pada malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
5.1.6 Alur Diagnosis

Gambar 5.3. Alur Diagnosis TB Paru (NN, 2010)

5.2 DASAR RENCANA PENATALAKSANAAN


Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.
5.2.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 Rifampisin (R)
 INH (H)
 Pirazinamid (Z)
 Streptomisin (S)
 Etambutol (E)
2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Amikasin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
 Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain :
 Kapreomisin

31
 Sikloserino PAS (dulu tersedia)
 Derivat rifampisin dan INH
 Thioamides (ethionamide dan prothionamide)

Tabel 5.1 Jenis dan Dosis Obat Anti Tuberculosis (OAT)

Tabel 5.2 Dosis OAT Kombinasi Tetap

Paduan terapi

Paduan obat yang dianjurkan


Kasus
Kategori Fase awal Fase lanjutan
I TB Paru BTA +, 2 RHZS (RHZE) 6 HE
TB extraparu (berat), 2 RHZS (RHZE) 4 HR
BTA negatif lesi luas. 2 RHZS (RHZE) 4H3R3
II Kambuh 2 RHZES /1 RHZE 5 HRE
Gagal pengobatan 2 RHZES /1 RHZE 5 H3R3E3

III TB paru BTA (-), lesi minimal 2 RHZ atau 2 R3H3Z 6 HE atau 2 HR/ 4 H
IV Kasus Kronik (BTA masih (+) Pertimbangkan untuk menggunakan OAT lini
setelah pengobatan ulang yang kedua, sesuai hasil uji resistensi kuman (minimal
disupervisi) 3 obat sensitif dengan H tetap diberikan), H dapat
diberikan seumur hidup (WHO).
Keterangan :
Kategori I : Apabila BTA tetap (+) selama 2 bulan, maka fase awal diperpanjang menjadi
4 minggu lagi.
Kategori II : apabila sputum BTA masih (+) pada minggu ke-12 minggu, maka 4 jenis obat
dilanjutkan 1 bulan lagi, bila pada akhir bulan ke – 4 BTA masih positif,
maka semua obat dihentikan 2 – 3 hari dan dilakukan uji resistensi obat.
Kategori III : Pasien TBP dengan BTA (-) dan lesi paru yang tidak luas (lesi minimal)
Kategori IV : TBC kronik. Pada pasien mungkin dijumpai resistensi ganda, sputumnya
harus diuji resistensi obat. Untuk seumur hidup diberikan INH saja atau
sesuai rekomendasi WHO untuk pengobatan multi drug resistance (MDR)
5.2.2 Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang

32
terjadi dapat ringan atau berat bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simtomatik maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
Efek samping Kemungkinan OAT Tatalaksana
penyebab
Minor / ringan OAT diteruskan
 Tidak nafsu makan, mual, sakit Rifampisin Obat diminum malam sebelum tidur.
perut Beri aspirin /allopurinol.
 Nyeri sendi Pyrazinamid Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100
 Kesemutan s/d rasa terbakar di INH mg/perhari.
kaki Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa.
 Warna kemerahan pada air seni Rifampisin
Mayor / berat Hentikan obat penyebab
 Gatal dan kemerahan Semua jenis OAT Beri antihistamin & dievaluasi ketat
pada kulit
 Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan ganti etambutol
 Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan ganti etambutol
(vertigo dan nistagmus)
 Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai ikterik hilang
(penyebab lain disingkirkan) & boleh diberikan hepatoprotektor
 Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi
(suspected drug-induced pre- hati
icteric hepatitis)
 Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
 Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan rifampisin
syok dan purpura
 Efek samping yang ringan seperti gangguan lambung dapat diatasi secara simptomatik
 Pasien dengan reaksi hipersensitif seperti timbulnya rash pada kulit, umumnya disebabkan
oleh INH dan rifampisin. Dalam hal ini dapat dilakukan pemberian dosis rendah dan
desensitsasi dengan pemberian dosis yang ditingkatkan perlahan-lahan dengan
pengawasan yang ketat. Desensitisasi ini tidak bisa dilakukan terhadap obat lainnya
 Kelainan yang harus dihentikan pengobatannya adalah trombositopenia, syok atau gagal
ginjal karena rifampisin, gangguan penglihatan karena etambutol, gangguan nervus VIll
karena streptomisin dan dermatitis exfoliative dan agranulositosis karena thiacetazon
 Bila suatu obat harus diganti, maka paduan obat harus diubah hingga jangka waktu
pengobatan perlu dipertimbangkan kembali dengan baik.
5.2.3 Pengobatan Suportif / Simptomatik
Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis
baik dan tidak ada indikasi rawat inap, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang
perlu pengobatan tambahan atau suportif / simtomatik untuk meningkatkan daya tahan tubuh
atau mengatasi gejala/keluhan.
Pasien rawat jalan :

33
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada
prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis, kecuali untuk penyakit
komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau keluhan lain.
Pasien rawat inap :
Indikasi rawat inap :
TB paru disertai keadaan/komplikasi sbb :
- Batuk darah (profus)
- Keadaan umum buruk
- Pneumotoraks
- Empiema
- Efusi pleura masif / bilateral
- Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)

TB di luar paru yang mengancam jiwa :


- TB paru milier
- Meningitis TB
5.2.4 Terapi Bedah
lndikasi operasi
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. lndikasi relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kavitas yang menetap.
5.2.5 Tindakan Invasif (Selain Pembedahan)
 Bronkoskopi
 Punksi pleura
 Pemasangan WSD (Water Sealed Drainage)
5.2.6 Kriteria Sembuh
 BTA mikroskopik negatif dua kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat.
 Pada foto toraks, gambaran radiologik serial tetap sama/ perbaikan.
 Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif.

34
5.2.7 Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat (PDPI, 2006; NN,2010;Chandra,2010).
Evaluasi klinik
 Pasien dievaluasi tiap 2 minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya tiap 1 bulan
 Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
 Evaluasi klinik meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik.

Evaluasi bakteriologik (0 - 2 - 6 /9 bulan pengobatan)


 Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
 Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
 Pada akhir pengobatan
 Bila ada fasiliti biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9 bulan pengobatan)
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
 Sebelum pengobatan
 Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga dipikirkan kemungkinan
keganasan dapat dilakukan 1 bulan pengobatan)
 Pada akhir pengobatan
Evaluasi efek samping secara klinik
 Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah lengkap
 Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah , serta
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
 Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
 Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
 Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri (bila
ada keluhan)
 Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Yang
paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat. Bila pada
evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.
Evalusi keteraturan berobat (PDPI,2006)
 Evaluasi keteraturan berobat dan diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka
sangat penting penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat.
Penyuluhan atau pendidikan dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya.

35
 Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi.
Evaluasi pasien yang telah sembuh (Djohan, 2009)
Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh tetap dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama
setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal yang dievaluasi
adalah mikroskopik BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopik BTA dahak 3,6,12 dan 24 bulan
(sesuai indikasi/bila ada gejala) setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi foto toraks 6, 12, 24
bulan setelah dinyatakan sembuh.
5.2.8 Pencegahan (Mansjoer, 2005)
1. Pencegahan Primer
a. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan cara:
b. Kebersihan Lingkungan
2. Pencegahan Sekunder
a. Case finding
b. Perawatan khusus penderita dan mengobati penderita.
3. Pencegahan Tertier
a. Membuat stategi menyembuhkan penderita TB Paru yaitu pemberian paduan obat
efektif dengan konsep Directly Observed Treatment Short-course (DOTS).
b. Penderita dengan initial drug resitance yang tinggi terhadap INH diberi obat etambutol
karena jarang initial resitance terhadap INH. Streptomisin dapat dipakai pada populasi
tertentu untuk meningkatkan complance pengobatan.
c. Memberi pengobatan secara teratur dan supervisi yang ketat dalam jangka waktu 9-12
bulan pada acquired resistance (penderita kambuh setelah pengobatan).

36
LAPORAN STUDI KASUS
LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

BAB VI
PENUTUP

KESIMPULAN HOLISTIK

Diagnosis dari segi biologis :


Tuberkulosis Paru Kategori I
Diagnosis dari segi psikologis :
Dari segi psikologis, Tn.G dan keluarga tidak terdapat masalah. Tn.G dan keluarganya
menyadari bahwa penyakit TB yang dialami meskipun menular tetapi dapat disembuhkan.
Tn.G dan keluarga juga sangat koopertif dan mengikuti segala masukan dokter dalam
proses terapi demi kesehatan dan kesembuhannya.
Diagnosis dari segi sosial dan ekonomi :
Perekonomian keluarga Tn.G tergolong menengah keatas. Saat ini Tn.G hanya
menanggung istri, ibu, dan neneknya. Pembiayaan kesehatan Tn.G dan keluarga
menggunakan BPJS sehingga dapat dijangkau. Akses pelayanan kesehatan juga
terjangkau. Aspek sosial Tn.G dan keluarga cukup baik, sering berkumpul dengan tetangga
dan temannya. Tn.G dan istri juga terbiasa berbagi masalah bersama. Selain sebagai
petani, Tn.G juga menjadi ketua RW, hal ini mencerminkan interaksi dengan tetangga
tergolong baik.

37
DAFTAR PUSTAKA

Amin Z, Bahar S. 2006. Tuberkulosis paru. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata KM, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II, Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 998-1005, 1045-9.
Anonym. 2003. Prevalence and Incidence of Tuberculosis, (Cureresearch), Available:
http://www.Cureresearch.com/Tuberculosis/Prevalence.htm
Chandra P, Evelyn P. 2010. Tuberculosis. Available from:
http://www.en.wikipedia.org/wiki/Tuberculosis
Djohan PA. 2009. Epidemiologi TBC di Indonesia. 22 Juli 2009. Available from
http://www.tbcindonesia_or_Id.html.
Gerakan Terpadu Nasional Penanganan TB (GTNP TB). 2007. Buku Pedoman Nasional
Penanggulangan TB. edisi 2. cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Joshua Burrill, FRCR, Christopher J. Williams, FRCR, Gillian Bain, FRCR, et all . 2007.
Tuberculosis ; Radiological Review. Radiographics Vol 27 No.5 Pg.1255-1265.
Kabo P. 2010. Pengobatan TBC. Available from http://www.medicastore.com/med/index.php
Mansjoer.A, dkk. 2005. Tuberkulosis Paru. Dalam : Kapita selekta kedokteran, cetakan ke-7,
Jakarta : Media Aesculapius: 427-476.
NN. 2009. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Diunduh dari:
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/BPN_2007.pdf.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia, Citra Grafika, Jakarta.
Price. A,Wilson. L. M. 2004. Tuberkulosis Paru. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit, bab 4, Edisi VI. Jakarta: EGC : 852-64.
Rasad, Sjahriar. 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI. Jakarta..

38

Anda mungkin juga menyukai