Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

HOARSENESS

Penyusun :
NI LUH MADE ATIA KORNITA SARI
NIM : 030.15.136

Pembimbing :
dr. M. Bima Mandraguna, Sp, THT-KL
dr. Aditya Arifianto, Sp, THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 15 JULI 2019 – 16 AGUSTUS 2019
LEMBAH PENGESAHAN

Makalah referat yang berjudul:

HOARSENESS

Yang disusun oleh:


NI LUH MADE ATIA KORNITA SARI
030.15.136

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing:


dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL
dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

Sebagai salah satu syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu THT
Rumah Sakit Umum Daerah Karawang
Periode 15 Juli 2019 – 16 Agustus 2019

Karawang, 12 Agustus 2019

Pembimbing I Pembimbing II

dr. M. Bima Mandraguna, Sp. THT-KL dr. Aditya Arifianto, Sp. THT-KL

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
saya mampu menyelesaikan referat ini yang berjudulu “HOARSENESS”.
Penlisan referat ini merupakan salah satu persyaratan untuk memenuhi tugas
Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Studi
Pendidikan Dokter Universitas Trisakti di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.
Penulis menyadari dalam penyusunan referat ini tidak luput dari bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini saya memberikan
rasa hormat dan ucapan terima-kasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu menyelesaikan referat ini terumata kepada :
1. Dr. M. Bima Mandraguna, Sp THT-KL dan dr. Aditya Arifianto, Sp.THT-
KL selaku pembimbing yang telah memberi masukan dan saran dalam
penyusunan referat.
2. Teman-teman yang turut membantu penyelesaian referat ini.
Kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat dibutuhkan untuk perbaikan di waktu yang
akan datang.
Akhir kata dari penulis berharap referat inidapat bermanfaat bagi pembaca.

Karawang, 12 Agustus 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN
HALAMAN LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………..iv

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang ...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi laring ..............................................................................2
2.2.1 Aanatomi rongga laring........................................................4
2.2.2 Persarafan laring...................................................................6
2.2.3 Vaskularisasi laring ..............................................................7
2.2.3 Pembuluh limfe laring ..........................................................8
2.2 Fisiologi laring ..............................................................................9
2.3 Hoarseness...................................................................................12
2.3.1 Definisi ...............................................................................12
2.3.2 Epidemiologi ......................................................................12
2.3.3 Etiologi ...............................................................................13
2.3.4 Patofisiologi ......................................................................20
2.3.5 Diagnosis ...........................................................................21
2.3.6 Tatalaksana........................................................................23
BAB III KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan ........................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................26

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Anatomi laring...………………………………………………..3


Gambar 2 Anatomi rongga laring……………………………………….....4
Gambar 3 Persarafan laring……...………………………………………...7
Gambar 4 Vakularisasi laring……………………………………………...8
Gambar 5 Laringomalasi………………….……………………………...14
Gambar 6 Laryngeal web………..……………………………………….14
Gambar 7 Nodul pita suara.………………………………………………18
Gambar 8 Pemeriksaan menggunakan fibreoptik………………………...22

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Suatu keadaan dimana terdapat kesulitan dalam memproduksi suara ketika
mencoba berbicara, atau perubahan suara pada nada dan kualitasnya. Suara
tersebut mungkin terdengar lemah, berat, kasar atau parau. atau terjadi perubahan
volume atau pitch (tinggi rendah suara). Suara serak bukan merupakan suatu
penyakit, tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit.1 Prevalensi tertinggi
tercatat pada laki-laki dibanding perempuan pada usia 0-9 tahun, diikuti dengan
prevalensi tertinggi tercatat pada perempuan dibanding laki-laki mulai pubertas
sampai usia >70 tahun.5 Penelitian pada tahun 2009 mendapatkan bahwa
keganasan laring adalah yang paling banyak dijumpai, yaitu 21 penderita (19,6%),
diikuti oleh parese/paralisa pita suara pada 18 penderita (16,8%), dan nodul pita
suara pada 13 penderita (12,1%). Roy et al (2007) mendapatkan variasi keluhan
penderita gangguan suara, antara lain suara serak, suara desah, suara goyah atau
gemetar, suara hilang atau afonia, seperti ada cairan saat bersuara, sering
mendehem, tidak nyaman dalam menggunakan suara, hanya bisa mengeluarkan
suara pada satu frekuensi saja atau monoton, ada upaya berlebih untuk berbicara,
sulit menelan, tenggorok terasa kering yang kronis, dan sakit tenggorok.7
Gangguan dalam bersuara seperti suara serak, biasanya
disebabkan berbagai macam faktor yang prinsipnya menimpa laring dan
sekitarnya. Penyebabnya dapat berupa radang, tumor, paralisis otot-otot laring,
kelinan laring sepserti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada sendi krikoaritenoid
dan lain-lain. Serta dikarenakan penggunaan suara yang berlebihan.8 Banyak
faktor yang dapat menyebabkan suara serak. Sebagian besar bukan masalah yang
serius dan dapat hilang dalam waktu yang singkat. Penyebab yang paling sering
adalah laringitis akut yang biasanya muncul karena common cold, infeksi saluran
pernapasan atas, atau iritasi saat bersuara keras seperti berteriak saat olah raga
atau konser musik rock

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Laring


Terdapat 3 sistem organ pembentuk suara yang saling berintegrasi untuk
menghasilkan kualitas suara yang baik, yaitu: sistem pernapasan, laring, dan
traktus vokalis supraglotis.
Sistem respirasi berfungsi sebagai pompa yang menghasilkan aliran udara
spontan dan terus-menerus melalui glotis. Hal ini didukung oleh otot-otot dada,
perut, diafragma yang berperan dalam pernapasan. Selama bersuara, udara yang
terpompa menghasilkan perbedaan takanan melalui celah glottis yang sempit yang
menandai suatu efek Bernaulli. Mengikuti inhalasi, otot dinding perut berkontrasi
untuk memudahkan aliran udara yang tetap melalui glottis. Sistem pernapasan
menghasilkan sebuah aliran udara tetap yang mendukung sebuah nada suara biasa
dan ketika meningkat akan mengahasilkan volume suara yang lebih keras.
Lemahnya otot dinding perut, penyakit pada paru atau sebab umum lain dapat
mempengaruhi pengaturan kapasitas sistem pernapasan yang nantinya akan
mempengaruhi kualitas dari suara yang dihasilkan.1,2
Laring merupakan organ pembentuk suara yang kompleks yang terdiri dari
beberapa tulang rawan serta jaringan otot yang dapat menggerakan pita suara.
Laring merupakan bagian terbawah dari saluran napas bagian atas. Bentuknya
menyerupai limas segitiga terpancung, dengan bagian atas lebih besar daripada
bagian bawah. Batas atas laring adalah aditus laring, batas bawah adalah kaudal
kartilago krikoid. Bangunan kerangka laring tersusun dari satu tulang, yaitu tulang
hioid, dan beberapa buah tulang rawan. Tulang hioid berbentuk seperti huruf U,
permukaan atas dihubungkan dengan lidah, mandibula, dan tengkorak oleh otot
dan tendo. Sewaktu menelan, kontraksi otot-otot ini menarik laring keatas,
sedangkan jika diam, maka otot ini bekerja membuka mulut dan membantu
menggerakan lidah.2,3

2
Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago
krikoid, kartilago aritaenoid, kartilago kornikulata, dan kartilago tyroid. Kartilago
krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid dengan ligamentum krikotiroid.
Bentuk kartilago krikoid berupa lingkaran membentuk sendi dengan kartilago
tiroid membentuk artikulasi krikotiroid. Terdapat 2 buah (sepasang) kartilago
aritenoid yang terletak dekat permukaan belakang laring, dan membentuk sendi
dengan kartilado krikoid, disebut artikulasi krikoaritenoid. Sepasang kartilago
kornikulata (kiri dan kanan) melekat pada kartilago aritenoid di daerah apeks,
sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan ariepiglotik,
dan kartilago triticea terletak di dalam ligamentum hiotiroid lateral. 2,3

Gambar 1. Anatomi laring

Ligamentum yang membentuk susunan laring adalah ligamentum


seratokrikoid (anterior, lateral, dan posterior), ligamentum krikotiroid medial,
ligamentum krikotiroid posterior, ligamentum kornikulofaringeal, ligamentum
hiotiroid lateral, ligamentum hiotiroid medial, ligamentum hioepiglotika,
ligamentum ventrikularis, ligamentum vokale yang menghubungkan kartilago
aritenoid dengan kartilago tiroid, dan ligamentum tiroepiglotika.
Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot ekstrinsik dan intrinsik. Otot-
otot ekstrinsik terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sedangkan otot-
otot intrinsik menyebabkan gerak bagian-bagian laring sendiri. Otot-otot

3
ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid (suprahioid) dan ada yang
terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot ekstrinsik yang suprahioid
adalah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid, m.milohioid. Otot-otot yang
infrahioid adalah m. sternohioid, m.omohioid, m.tirohioid. Otot-otot ekstrinsik
laring yang suprahioid berfungsi menarik laring ke bawah, sedangkan yang
infrahioid berfungsi menarik laring keatas. Otot-otot intrinsik laring adalah
m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika, m.vokalis, m.tiroaritenoid,
m.ariepiglotika, dan m.krikotiroid. otot-otot ini terletak pada bagian lateral laring.
Otot-otot intrinsik laring yang terletak di posterior, adalah m.aritenoid
transversum, m.aritenoid oblik, m.krikoaritenoid posterior. 2,3

Gambar 2. Anatomi Rongga Laring

2.1.1 Rongga laring


Batas atas rongga laring (cavum laringeus) adalah aditus laringeus, batas
bawahnya adalah bidang yang melalui pinggir bawah kartilago krikoid. Batas
depannya adalah permukaan belakang epiglotis, tuberkulum epiglotik,
ligamentum tiroepiglotik, sudut antara kedua belah lamina kartilago tiroid dan
arkus kartilago krikoid. Batas lateralnya adalah membrana kuadrangularis,
kartilago aritenoid, konus elastikus, dan arkus kartilago krikoid, sedangkan batas

4
belakangnya adalah M.Aritenoid transversus dan lamina kartilago krikoid.
Dengan adanya lipatan mukosa pada ligamentum vokale dan ligamentum
ventrikulare, maka terbentuklah plika vokalis (pita suara asli) dan plika
ventrikularis (pita suara palsu). 2,3
Dalam menilai tingkat pembukaan rima glotis dibedakan dalam 5 posisi pita
suara, yaitu posisi median, posisi paramedian, intermedian, abduksi ringan dan
abduksi penuh. Pada posisi median kedua pita suara terdapat di garis tengah, pada
posisi paramedian pembukaan pita suara berkisar 3-5 mm dan pada posisi
intermedian 7 mm. Pada posisi abduksi ringan pembukaan pita suara kira-kira 14
mm dan pada abduksi penuh kira-kira 18-19 mm. 2,3
Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan, disebut rima glotidis, sedangkan
antara plika ventrikularis, disebut rima vestibuli. Plika vokalis dan plika
ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu vestibulum laring,
glotik dan subglotik. Vestibulum laring adalah rongga laring yang terdapat di atas
plika ventrikularis. Daerah ini disebut daerah supraglotik. Antara plika vokalis
dan plika ventrikularis, pada tiap sisinya disebut ventrikulus laring morgagni.
Rima glottis terdiri dari 2 bagian, yaitu bagian intermembran dan bagian
interkartilago. Bagian intermembran adalah ruang antara kedua plika vokalis, dan
terletak di bagian anterior, sedangkan bagian interkartilago terletak antara kedua
puncak kartilago aritenoid, dan terletak di bagian posterior. Daerah subglotik
adalah rongga laring yang terletak di bawah pita suara (plika vokalis).2 Pada
orang dewasa dua pertiga bagian pita suara adalah membran sedangkan pada
anak-anak bagian membran ini hanya setengahnya. Membran pada pita suara
terlibat dalam pembentukan suara dan bagian kartilago terlibat dalam proses
penapasan. Jadi kelainan pada pita suara akan berefek pada proses bersuara dan
atau pernapasan, tergantung lokasi kelainannya. 12
Traktus vokalis supraglotis merupakan organ pelengkap yang sangat penting
karena suara yang dibentuk pada tingkat pita suara akan diteruskan melewati
traktus vokalis supraglotis. Di daerah ini suara dimodifikasi oleh beberapa
struktur oral faringeal (seperti lidah, bibir, palatum dan dinding faring), hidung
dan sinus. Organ tersebut berfungsi sebagai articulator dan resonator.2 Perubahan

5
pada posisi, bentuk, atau kekakuan pada dinding faring, lidah, palatum, bibir dan
laring akan merubah dari produksi kualitas suara.12

2.2.2 Persarafan laring


Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringis superior
dan n. laringis inferior. Kedua saraf ini merupakan campuran saraf motorik dan
sensorik. Nervus laringis superior mempersarafi m. krikotiroid, memberikan
sensasi pada mukosa laring di bawah pita suara.2
Saraf ini mula-mula terletak di atas m. konstriktor faring medial, di sebelah
medial a. karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang
hioid, dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,
membagi diri menjadi 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Ramus
eksternus berjalan pada permukaan luar m. konstriktor faring inferior dan menuju
ke m. krikotiroid, sedangkan ramus internus tertutup oleh m. tirohioid terletak di
sebelah medial a. tiroid superior, menembus membrane hiotiroid dan bersama-
sama a. laringis superior menuju ke mukosa laring.2
Nervus laringis inferior merupakan lanjutan dari n. rekuren setelah saraf
itu memberikan cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren
merupakan cabang dari n. vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a.
subklavia kanan di bawahnya, sedangkan n. rekuren kiri akan menyilang arkus
aorta. Nervus laringis inferior berjalan di antara cabang-cabang a. tiroid inferior,
dan melalui permukaan mediodorsal kelenjar tiroid akan sampai pada permukaan
medial m. krikofaring. Di sebelah posterior dari sendi krikoaritenoid, saraf ini
bercabang 2 menjadi ramus anterior dan ramus posterior. Ramus anterior akan
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian lateral, sedangkan ramus posterior
mempersarafi otot-otot intrinsik laring bagian superior dan mengadakan
anastomose dengan n. laringis superior ramus internus.2

6
Gambar 3. Persarafan Laring

2.2.3 Vaskularisasi laring

Pendarahan untuk laring terdiri dari 2 cabang, yaitu a.laringis superior dan a.
laringis inferior. Arteri laringis superior merupakan cabang dari a. tiroid superior.
Arteri laringis superior berjalan agak mendatar melewati bagian belakang
membrana tirohioid bersama-sama dengan cabang internus dari n.laringis superior
kemudian menembus membrana ini untuk berjalan ke bawah di submukosa dari
dinding lateral dan lantai dari sinus pirifomis, untuk mempendarahi mukosa dan
otot-otot laring. Arteri laringis inferior merupakan cabang dari a.tiroid inferior dan
bersama-sama dengan n. laringis inferior berjalan ke belakang sendi krikotiroid,
masuk laring melalui daerah pinggir bawah dari m.konstriktor faring inferior. 2,3
Di dalam laring arteri itu bercabang-cabang, mempendarahi mukosa dan otot
serta beranastomosis dengan a.laringis superior. Pada daerah setinggi membran
krikotiroid a.tiroid superior juga memberikan cabang yang berjalan mendatari
sepanjang membrane itu sebagai sapai mendekati tiroid. Kadang-kadang arteri ini

7
mengirimkan cabang yang kecil melalui membrane krikotiroid untuk mengadakan
anastomosis dengan a.laringis superior. Vena laringis superior dan vena laringis
inferior letaknya sejajar dengan a.laringis superior dan inferior dan kemudian
bergabung dengan vena tiroid superior dan inferior. 2,3

Gambar 4. Vaskularisasi Laring

2.1.4 Pembuluh limfe laring

Pembuluh limfe untuk laring banyak, kecuali di daerah lipatan vocal. Di sini
mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum vokale. Di daerah lipatan
vocal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior dan inferior. Pembuluh
eferen dari golongan superior berjalan lewat lantai sinus piriformis dan a.laringis
superior, kemudian ke atas, dan bergabung dengan kelenjar dari bagian superior
rantai servikal dalam. Pembuluh eferen dari golongan inferior berjalan ke bawah
dengan a.laringis inferior dan bergabung dengan kelenjar servikal dalam, dan
beberapa di antaranya menjalar sampai sejauh kelenjar supraklavikular.2-4

8
2.2 Fisiologi Laring
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi dan proteksi
disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada uraian berikut 5,6,7

1. Fungsi Fonasi.

Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling kompleks. Suara


dibentuk karena adanya aliran udara respirasi yang konstan dan adanya interaksi
antara udara dan pita suara. Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan
udara pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan resonansi
seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea, faring, dan hidung. Nada
dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik
laring berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk
dan massa ujungujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang
mengemukakan bagaimana suara terbentuk

a. Teori Myoelastik – Aerodinamik.

Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan secara tidak
langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat kejadian tersebut, otot-otot laring
akan memposisikan plika vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan
menegangkan plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan
tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan tekanan udara ruang
subglotis meningkat, dan mencapai puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga
celah glotis terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari posterior ke
anterior. Secara otomatis bagian posterior dari ruang glotis yang pertama kali
membuka dan yang pertama kali pula kontak kembali pada akhir siklus getaran.
Setelah terjadi pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan berkurang dan
plika vokalis akan kembali ke posisi saling mendekat (kekuatan myoelastik plika
vokalis melebihi kekuatan aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat
aliran udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan negatif pada
dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan kembali ke posisi semula

9
(adduksi) sampai tekanan udara ruang subglotis meningkat dan proses seperti di
atas akan terulang kembali.

b. Teori Neuromuskular.

Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan bahwa awal dari
getaran plika vokalis adalah saat adanya impuls dari sistem saraf pusat melalui N.
Vagus, untuk mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls yang
dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya / frekuensi getaran plika vokalis.
Analisis secara fisiologi dan audiometri menunjukkan bahwa teori ini tidaklah
benar (suara masih bisa diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis
bilateral).

2. Fungsi Proteksi.

Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan adanya reflek otot-
otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis tertutup. Pada waktu menelan,
pernafasan berhenti sejenak akibat adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada
pada epiglotis, plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai jawabannya, sfingter dan
epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas dan ke depan menyebabkan celah
proksimal laring tertutup oleh dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke
lateral menjauhi aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

3. Fungsi Respirasi.

Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk memperbesar


rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior terangsang sehingga
kontraksinya menyebabkan rima glotis terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh
tekanan parsial CO2 dan O2 arteri serta pH darah. Bila pO2 tinggi akan
menghambat pembukaan rima glotis, sedangkan bila pCO2 tinggi akan
merangsang pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan peningkatan pO2
arterial dan hiperventilasi akan menghambat pembukaan laring. Tekanan parsial
CO2 darah dan pH darah berperan dalam mengontrol posisi pita suara.6

10
4. Fungsi Sirkulasi.

Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan dan peninggian


tekanan intratorakal yang berpengaruh pada venous return. Perangsangan dinding
laring terutama pada bayi dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti
jantung. Hal ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls dikirim melalui
N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N. Laringeus Superior. Bila
serabut ini terangsang terutama bila laring dilatasi, maka terjadi penurunan denyut
jantung.5

5. Fungsi Menelan.

Terdapat 3 (tiga) kejadian yang berhubungan dengan laring pada saat


berlangsungnya proses menelan, yaitu :

Pada waktu menelan faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi sepanjang kartilago
krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik laring ke atas menuju basis lidah,
kemudian makanan terdorong ke bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal.
Laring menutup untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan laring oleh
epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk semacam papan penutup
aditus laringeus, sehingga makanan atau minuman terdorong ke lateral menjauhi
aditus laring dan maduk ke sinus piriformis lalu ke hiatus esofagus

6. Fungsi Batuk.

Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi sebagai katup,


sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan tekanan secara mendadak
menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan laring dari ekspansi
benda asing atau membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.5

11
7. Fungsi Emosi.

Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring, misalnya


pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan ketakutan.5

2.3 Hoarseness
2.3.1 Definisi Hoarseness
Suatu keadaan dimana terdapat kesulitan dalam memproduksi suara ketika
mencoba berbicara, atau perubahan suara pada nada dan kualitasnya. Suara
tersebut mungkin terdengar lemah, berat, kasar atau parau. atau terjadi perubahan
volume atau pitch (tinggi rendah suara). Suara serak bukan merupakan suatu
penyakit, tetapi merupakan gejala dari suatu penyakit.1 Istilah hoarseness atau
suara serak sendiri dapat merefleksikan kelainan (abnormalitas) yang letaknya
bisa di berbagai tempat di sepanjang saluran vokalis, mulai dari rongga mulut
hingga paru.

2.3.2 Epidemiologi Hoarseness


Studi epidemiologi mendapatkan bahwa di Inggris sekitar 40.000 pasien
dengan suara serak dirujuk ke pusat terapi suara tiap tahunnya.6 Cohen et al pada
tahun 2012 mendapatkan prevalensi keseluruhan dari objek yang diteliti adalah
sebesar 0,98% dengan populasi perempuan 63,4% dan laki-laki 36,5%. Prevalensi
tertinggi tercatat pada laki-laki dibanding perempuan pada usia 0-9 tahun, diikuti
dengan prevalensi tertinggi tercatat pada perempuan dibanding laki-laki mulai
pubertas sampai usia >70 tahun.7 Penelitia pada tahun 2009 mendapatkan bahwa
keganasan laring adalah yang paling banyak dijumpai, yaitu 21 penderita (19,6%),
diikuti oleh parese/paralisa pita suara pada 18 penderita (16,8%), dan nodul pita
suara pada 13 penderita (12,1%). Roy et al (2007) mendapatkan variasi keluhan
penderita gangguan suara, antara lain suara serak, suara desah, suara goyah atau
gemetar, suara hilang atau afonia, seperti ada cairan saat bersuara, sering
mendehem, tidak nyaman dalam menggunakan suara, hanya bisa mengeluarkan

12
suara pada satu frekuensi saja atau monoton, ada upaya berlebih untuk berbicara,
sulit menelan, tenggorok terasa kering yang kronis, dan sakit tenggorok.8

2.3.3 Etiologi Hoarseness


Setiap keadaan yang menimbulkan gangguan getaran, ketegangan
dan pendekatan kedua pita suara kiri dan kanan akan menimbulkan suara serak.
Gangguan dalam bersuara seperti suara serak, biasanya disebabkan berbagai
macam faktor yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya. Penyebabnya dapat
berupa radang, tumor, paralisis otot-otot laring, kelinan laring sepserti sikatriks
akibat operasi, fiksasi pada sendi krikoaritenoid dan lain-lain. Serta dikarenakan
penggunaan suara yang berlebihan.9
Banyak faktor yang dapat menyebabkan suara serak. Sebagian
besar bukan masalah yang serius dan dapat hilang dalam waktu yang singkat.
Penyebab yang paling sering adalah laringitis akut yang biasanya muncul karena
common cold, infeksi saluran pernapasan atas, atau iritasi saat bersuara keras
seperti berteriak saat olah raga atau konser musik rock. Kebiasaan menggunakan
suara berlebihan mengakibatkan timbulnya vocal nodule atau polip pada pita
suara. Vocal nodule sering terjadi pada anak-anak dan dewasa yang berteriak saat
bermain atau bekerja. Polip dan nodul dapat merupakan suatu keganasan akan
tetapi hal ini jarang terjadi.9
Ketidakseimbangan hormon mempengaruhi produksi vokal karena adanya
akumulasi cairan di lapisan superficial dari lamina propria, yang mengubah
kemampuan getaran, hal ini juga terjadi pada beberapa pasien wanita yang sedang
menstruasi, begitu juga dengan perubahan hormone yang terjadi selama
menopause juga dapat menurunkan nada. Pasien dengan hipotiroidisme ada
dengan nada suara yang rendah. Masa yang semakin membesar akan
menyebabkan plika vokalis menjadi sulit untuk bergetar sehingga menghasilkan
nada atau suara yang rendah. Peningkatan dari penggunanan obat antiinflamasi
nonsteroid saat menstruasi juga dapat menjadi predisposisi pasien dengan
perdarahan plika vokalis. 10

13
Penyebab suara serak yang biasa terjadi pada orang dewasa adalah refluk
gastroesofageal ketika asam lambung naik ke esofagus dan mengiritasi pita suara.
Beberapa pasien dengan refluk gastroesofageal yang mengalami perubahan suara,
tidak menunjukkan gejala lain seperti rasa terbakar pada uluhati. Biasanya, suara
memburuk di pagi hari dan membaik di siang hari. Pasien ini merasakan ada
sesuatu yang mengganjal di tenggorokan, stagnasi mukus atau keinginan
berdehem untuk membersihkan tenggorokan. Penyebab suara parau dapat
bermacam macam yang prinsipnya menimpa laring dan sekitarnya. Penyebab ini
dapat berupa:

1. Kelainan Kongenital
a. Laringomalasi
Kelainan ini paling sering ditemukan. Pada stadium awal ditemukan
epiglottis lemah, sehingga pada waktu inspirasi epiglottis tertarik ke bawah dan
menutup rima glottis. Dengan demikian bila pasien bernapas, napasnya berbunyi
(stridor). Stridor ini merupakan gejala awal, dapat menetap dan mungkin pula
hilang timbul, ini disebabkan lemahnya rangka laring. Tanda sumbatan jalan
napas dapat terlihat dengan adanya cekungan (retraksi) di daerah suprasternal,
epigastrium, intercostal, dan supraklavikular. Bila sumbatan laring makin hebat,
sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea. Jangan dilakukan trakeostomi sebab
seringkali laringomalasi disertai dengan trakeomalasi.11

Gambar 5. Laringomalasi

14
b. Stenosis Subglotik
Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis sublotis ialah: penebalan
jaringan mukosa dengan hyperplasia kelenjar mucus dan fibrosis, kelainan bentuk
tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil, bentuk tulang rawan krikoid
normal dengan ukuran lebih kecil, pergeseran cincin trakea pertama kea rah atas
belakang ke dalam lumen krikoid. Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dyspnea,
retraksi di suprasternal, epigastrium, intercostal serta subklavikula. Terapi stenosis
subglotik yang disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan krikoid dilakukan
terapi pembedahan dengan melakukan rekonstruksi, dan stenosis subglotik yang
disebebkan oleh kelainan submukosa ialah dilatasi atau dengan lasar CO2.11

c. Laryngeal Web
Suatu selaput yang transparan (web) dapat tumbuh di daerah glottis,
supraglotik atau subglotik. Terdapat gejala sumbatan laring, dan untuk terapinya
dilakukan bedah mikro laring untuk membuang selaput itu dengan memakai
laringoskop suspensi.11

Gambar 6. Laryngeal Web

d. Hemangioma
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotik. Sering pula disertai
dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher. Gejalanya ialah terdapat

15
hemoptisis, dan bila tumor itu besar, terdapat juga gejala sumbatan laring.
Terapinya ialah dengan bedah laser, kortikosteroid atau dengan obat-obat
skleroting.11

f. Fistel Laringotrakea-Esofagal
Kelainan ini terjadi karena kegagalan penutupan dinding posterior
kartilago krikoid. Terdapat gejala pneumonia, oleh karena aspirasi cairan dan
esofagus dan kadang-kadang terdapat juga gejala sumbatan laring.11

2. Peradangan Laring
Dapat berupa laringitis akut atau laringitis kronis.
Radang akut laring pada umumnya merupakan kelajutan dari infeksi
saluran nafas seperti influenza atau common cold. Penyebab radang ini ialah
bakteri, yang menyebabkan radang lokal atau virus yang menyebabkan
peradangan sistemik. Pada larinigtis akut terdapat gejala radang umum, seperti
demam,dedar (malaise), serta gejala lokal, seperti suara parau sampai tidak
bersuara sama sekali (afoni), nyeri ketika menelan atau berbicara serta gejala
sumbatan laring. Selain itu terdapat batuk kering dan lama kelamaan disertai
dengan dahak kental.
Ketidaksempurnaan produksi suara pada pasien dengan laringitis akut
dapat diakibatkan oleh penggunaan kekuatan aduksi yang besar atau tekanan
untuk mengimbangi penutupan yang tidak sempurna dari glottis selama episode
laringitis akut. Tekanan ini selanjutnya menegangkan lipatan-lipatan (plika) vocal
dan mengurangi produsi suara. Pada akhirnya menunda kembalinya fonasi
normal. Terapi pada laryngitis akut sebaiknya istirahat berbicara dan bersuara
selama 2-3 hari, menghirup udara lembab, menghindari iritasi pada faring dan
laring, misalnya merokok, makanan pedas atau minum es
Pada laringitis kronis beberapa hal bisa mendasari kondisi ini yang
biasanya akibat paparan dari iritan (zat yang bisa mengiritasi) seperti tekanan
yang terus menerus pada pita suara, sinusitis kronis, infeksi ragi (akibat sistem
kekebalan tubuh yang lemah) serta terpapar asap atau gas yang mengandung zat

16
kimia. Dalam keadaan laryngitis, pita suara mengalami peradangan sehingga
tekanan yang diperlukan untuk memproduksi suara meningkat. Hal ini
menyebabkan kesulitan dalam memproduksi tekanan yang adekuat. Udara yang
melewati pita suara yang mengalami peradangan ini justru menyebabkan suara
yang dihasilkan menjadi parau. Bahkan pada beberapa kasus suara dapat menjadi
lemah atau bahkan tak terdengar. Semakin tebal dan semakin kecil ukuran pita
suara, getaran yang dihasilkan semakin cepat. Semakin cepat getaran suara yang
dihasilkan semakin tinggi. Pembengkakan pada pita suara dapat mengakibatkan
tidak menyatunya kedua pita suara sehingga dapat terjadi perubahan pada suara.
Terapi berupa mengistirahatkan pita suara, antibiotik, menambah
kelembapan dan menekan batuk. Obat-obatan dengan efek samping yang
menyebabkan pengeringan harus dihindari pada terapi laring. Penyanyi dan para
professional yang mengandalan suara perlu dinasehati agar membiarkan proses
radang mereda sebelum melanjutkan karir mereka. Usaha menyanyi selama
infeksi masih berlangsung dapat mengakibatkan perdarahan laring dan
berkembang menjadi nodul korda vokalis.11

3. Lesi Jinak Laring


a. Nodul Pita Suara
Kelainan ini biasanya disebabkan oleh penyalahgunaan suara dalam waktu
lama. Terdapat suara parau, kadang-kadang disertai suara batuk. Pada
pemeriksaan terdapat nodul di pita suara sebesar kacang hijau atau lebih kecil,
berwarna keputihan. Predileksi nodul terletak di sepertiga anterior pita suara dan
sepertiga medial. Nodul biasanya bilateral banyak dijumpai pada wanita dewasa
muda. Nodul tersebut terjadi akibat trauma pada mukosa pita suara karena
pemakaian suara berlebihan dan dipaksakan. Penanggulangan awal adalah
istirahat bicara dan terapi suara. Tindakan bedah mikro laring dilakukan apabila
ada kecurigaan keganasan atau lesi fibrotik. Nodul kemudian diperiksa patologi
anatomik. Gambaran patologiknya ialah epitel gepeng berlapis yang mengalami
proliferasi dan di sekitarnya terdapat jaringan yang mengalami kongesti.

17
Gambar 7. Nodul Pita Suara

b. Polip Pita Suara


Polip pita suara biasanya bertangkai. Lesi biasa terletak di sepertiga
anterior, sepertiga tengah bahkan seluruh pita suara. Lesi biasanya unilateral,
dapat terjadi pada segala usia umumnya orang dewasa. Gejalanya sama seperti
nodul yaitu suara parau. Terdapat 2 jenis polip yaitu mukoid dan angiomatosa.
Polip terjadi akibat proses peradangan menahun dari lapisan subepitel. Faktor
merokok dan penggunaan suara berlebihan diduga turut berperan. Polip mukoid
berwarna keabu-abuan dan jernih sedangkan polip angiomatosa berwarna merah
tua karena perbedaan tingkat vaskularisasinya. Penatalaksanaan standar adalah
tindakan bedah mikro laring dan pemeriksaan patologi anatomi.

c. Kista Pita Suara


Kista pita suara pada umumnya termasuk kista retensi kelenjar liur minor
laring, terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar tersebut. Faktor iritasi kronis,
refluks gastroesofageal dan infeksi diduga berperan sebagai faktor predisposisi.
Kista terletak di dalam lamina propia superfisialis, menempel pada membrane
basal epitel atau ligamentum vokalis. Ukurannya biasanya tidak besar sehingga
jarang menyebabkan sumbatan jalan napas atas. Gejala utama adalah suara parau.
Pengobatannya dengan tindakan bedah mikro laring.

18
4. Trauma
a. Kontusio laring
Kontusio laring yang ringan bermanifestasi sebagai hematoma internal dan
terkadang sebagai dislokasi kartilago ariteoidea. Trauma biasanya disebabkan oleh
benda tumpul yang menghantam leher dalam keadaan ekstensi. Kunci pada terapi
cedera laring adalah dengan diagnosis segera. Kontusio laring dapat diobservasi
sementara persiapan untuk trakeostomi tetap dilakukan, keadaan ini perlu
dibedakan dengan fraktur kartilago yang lebih berat serta avulse laringtrakea
dengan pemeriksaan memakai cermin atau serat optic dan radiogram lateral.
Hetoma biasanya dapat terlihat dan laringoskopi direk biasanya dapat mereduksi
dislokasi kartilago aritenoidea.12

b. Fraktur laring
Tanda-tanda fraktur laring adalah suara serak, stridor, hemoptisis,
emfisema subkutan. Terlepasnya kartilago tiroidea dari kartilago krikoidea dan
trakea juga dapat terjadi. Obstruksi jalan napas dapat terjadi tiba-tiba, jika terjadi
pemisahan laringotrakea, trakea akan tertarik ke dalam leher bawah, maka perlu
dilakukan trakeostomi darurat. Jika pasien tidak sadar, maka hampir tidak
mungkin untuk melakukan pemeriksaan memakai cermin oleh karna nyeri dan
hematoma yang sangat hebat. 12
Fraktur laring seringkali disertai dengan cedera servikal. Pemeriksaan foto
rontgen servikal dan pemeriksaan neurologis perlu dilakukan pada setiap orang
dengan fraktur laring. Cedera saraf laringeus rekurens seringkali terjadi akibat
terlepas. Pembedahan segera cenderung mencegah perkembangan stenosis fibrotic
yang kaku. Karena kartilago yang patah tanpa suplai darah cukup rentan terhadap
absopsi, maka reposisi perlu dilakukan secepatnya.12

d. Granuloma intubasi
Pasien biasanya tidak terlalu serak, namun pasien menyadari adanya
perubahan suara. Granuloma seringkali bilateral dan dapat terjadi selama

19
penggunaan tuba endotrakea. Tindakan terdiri dari pengangkatan bedah secara
endoskopis, seringkali menggunakan laser CO2.12

4. Laryngopharyngeal Reflux (LPR)


Refluks asam lambung ke bagian laring atau Laryngopharyngeal Reflux
(LPR) adalah salah satu manifestasi dari Gastroesophageal Reflux (GERD). LPR
merupakan salah satu diagnosis yang sering ditetapkan dan sekaligus menjadi
kontroversi sebagai penyebab suara serak. Walaupun demikian, LPR harus selalu
dipertimbangkan dalam setiap pasien dengan keluhan tenggorok, termasuk suara
serak.13 LPR sebagai penyakit kronis dengan tampilan yang bervariasi harus
diberikan tatalaksana simptomatik yang tepat sampai tereksklusi dari diagnosis.
Obat antirefluks yang telah banyak digunakan dalam pengobatan LPR adalah
golongan Proton Pump Inhibitor (PPI), seperti omeprazole, lansoprazole, dll.14,15

2.3.4 Patofisiologi Hoarseness


Fungsi laring adalah sebagai proteksi jalan nafas, respirasi dan fonasi. Saat
inspirasi pita suara abduksi dan saar ekspirasi pita suara aduksi. Sebelum fonasi,
pita suara abduksi secara cepat agar udara masuk ke saluran nafas (fase inspirasi
sebelum fonasi) selanjutnya pita suara aduksi karena berkontraksinya otot
krikoaritenoid lateral. Suara dihasilkan mulai dari udara paru-paru yang
dikeluarkan melewati pita suara yang aduksi sampai menimbulkan vibrasi
berulang dari pita suara. Saat pita suara menutup, udara dari paru melewati daerah
yang sempit, akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya,
sehingga mukosa pita suara menarik satu sama lain, saat tekanan udara subglotis
meningkat hingga mencapai tingkat penekanan pada tahanan pada pita suara
menyebabkan pita suara terpisah lalu merangsang terjadinya siklus vibrasi pita
suara, terjadinya vibrasi ini yang menimbulkan terbentuknya suara.16,17
Vibrasi pita suara terdiri dari gerakan dasar dan rekatif. Gerakan dasar
yaitu gerakan mediolateral dari otot vokalis dan ligament vokalis. Gerakan relatif
yaitu gerakan dari mukosa superfisial terhadap otot vokalis selama fonasi.
Gerakan relative ini menghasilkan gelombang pada permukaan epitel yang

20
disebut “travelling wave motion”. Kelainan yang menimbulkan vibrasi pita suara,
abnormalitas tonus otot, penutupan pita suara yang tidak komplit, paralisis pita
suara, atrofi pita suara dapat menimbulkan suara serak.17,18

2.3.5 Diagnosis Hoarseness


Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. 19,20,21

1. Anamnesis
 Setiap pasien dengan suara parau yang menetap lebih dari 2 minggu
tanpa adanya infeksi saluran napas atas memerlukan pemeriksaan.
Sangat penting untuk mengetahui durasi dan karakter perubahan suara.
 Riwayat merokok dan minum alkohol, dimana dapat mengiritasi
mukosa mulut dan laring dan beresiko kanker kepala leher ·
 Riwayat pekerjaan, pola/ tipe pemakaian suara seperti menyanyi
berteriak
 Riwayat penyalahgunaan suara (voice abuse)
 Keluhan yang berhubungan meliputi nyeri, disfagia, batuk, susah
bernapas
 Keluhan refluks gastroesofageal seperti merasakan asam di mulut pada
pagi hari
 Penyakit sinonasal (rhinitis alergi atau sinusitis kronik)
 Kelainan neurologis
 Riwayat trauma atau pembedahan
 Riwayat pemakaian obat-obatan seperti ACE inhibitor
·
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan kepala dan leher secara keseluruhan, meliputi penilaian
pendengaran, mukosa saluran napas atas, mobilitas lidah dan fungsi saraf kranial.
Pemeriksaan kelenjar getah bening juga diperlukan hal ini menandakan apakah
adanya infeksi atau mungkin metastasis dari karsinoma.

21
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laringoskopi fibreoptik
Untuk mengidentifikasi setiap lesi dari pita suara seperti kanker, singer’s
node, polip dan lain-lain. Selain itu dapat menilai adanya paralisis pita suara, yang
berhubungan dengan kanker paru, aneurisma aorta dan lain-lain.

Gambar 8. Pemeriksaan Menggunakan Fibreoptik

b. Stroboskopi (videolaryngostroboscopy)
Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan gambaran dari pergerakan laring.

c. Pemeriksaan darah
Meliputi hitung jenis dan LED, fungsi tiroid, nilai C1 esterase inhibitor untuk
pembengkakan pita suara dan diduga angioedema, serta pemeriksaan reseptor
asetilkolin untuk suara parau yang diduga disebabkan miastenia gravis.

d. Pemeriksaan radiologi
Ct scan dan MRI jika ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologis. USG
tiroid untuk mendeteksi kanker tiroid yang menyebabkan paralisis pita suara.

22
2.3.6 Tatalaksana Hoarseness
Pengobatan suara serak sesuai dengan kelainan atau penyakit yang mejadi
etiologinya. Faktor-faktor lain yang menjadi faktor risiko terjadinya kelelahan
bersuara juga harus diperhatikan. Penggunaan alkohol, merokok, dan obat-obatan
tertentu sebaiknya dihindari karena dapat mempengaruhi kondisi permukaan
plikavokalis. Salah satu penyebab iritasi laring adalah refkuks dari esofagus. Hal
ini dapat mempercepat kelelahan bersuara karena akan mengakibatkan hilangnya
lapisan mukus permukaan pita suara serta terkelupasnya epitel. Beberapa hal yang
dianjurkan untuk mencegah refluks antara lain, pertama menghindari konsumsi
kafein dan coklat karena akan mengakibatkan relaksasi spinkter esofagus. Kedua,
hindari makan dan minum pada jam tidur dan sebaiknya tunggu 2-3 jam setelah
makan baru kemudian tidur atau posisi ditinggikan. Bila sudah ada gejala refluks
mungkin diperlukan obat-obatan untuk menetralisir asam lambung atau
mengurangi produksinya. Terapi dapat berupa:11

1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa terutama ditujukan untuk mengurangi oedem jaringan
dengan pemberian obat-obat anti inflamasi steroid atau nonsteroid. Indikasi
penggunaan antibiotik atau dekongestan antihistamin pada pasien dengan suara
parau jarang walaupun pada pasien juga terdapat rhinosinusitis atau bakterial
laringotrakeitis, yang mungkin menyebabkan terjadi komplikasi pada pasien
dengan suara parau.

2. Terapi suara dan bicara (Voice-speech therapy)


Ditujukan untuk meningkatkan aspek teknik penggunaan suara termasuk
pernapasan perut, latihan penggunaan tinggi nada dan istirahat yang benar,
meningkatkan phrasing dan tehnik-tehnik spesifik lainnya.

3. Tindakan operatif
Tindakan operatif untuk mengatasi gangguan suara disebut Phonosurgery.
Phonosurgery dapat didefinisikan sebagai operasi untuk memperbaiki suara atau

23
mengembalikan ke suara yang normal, yang termasuk phonosurgery adalah
pembedahan laringeal internal dengan endoskopi, teknik injeksi, insisi laser,
tyroplasty eksternal atau disebut juga laryngeal frame work surgery.

24
BAB III
KESIMPULAN

Suara serak bukan merupakan suatu penyakit, tetapi merupakan gejala dari
suatu penyakit. Berbagai dampak yang mungkin timbul akibat suara parau, yaitu
dampak terhadap kualitas hidup dan kelainan permanent pada laring. Dampak
kualitas hidup terutama terjadi akibat ketidakmampuan untuk berbicara terus
menerus dalam waktu lama, sehingga dapat mengganggu pekerjan, sosialisasi
dengan masyarakat sekitar dan juga secara ekonomis baik secara langsung
maupun tidak langsung. Gangguan dalam bersuara seperti suara serak, biasanya
disebabkan berbagai macam faktor yang prinsipnya menimpa laring dan
sekitarnya. Penyebabnya dapat berupa radang, tumor, paralisis otot-otot laring,
kelinan laring sepserti sikatriks akibat operasi, fiksasi pada sendi krikoaritenoid
dan lain-lain. Serta dikarenakan penggunaan suara yang berlebihan. Diagnosis
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Pengobatan suara serak sendiri sesuai dengan kelainan atau penyakit
yang mejadi etiologinya.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz SR, Cohen SM, Dailey SH. Clinical Practice Guidelines :


Hoarseness(dysphonia). In : Otolaryngology ± Head And Neck Surgery. Vol
141. 2009.
2. Sulica L. Hoarseness. In : Archives Of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Vol. 137 No. 6, June 2011.
3. Rubin JS, Scheren SC. Basics Of Voice Production. Otolaryngology Basic
Sciences AndClinical Review. Thieme. New York 2005. p:525-526
4. Sulica L. Voice : Anatomy, Physiology And Clinical Evaluation. Head And
Neck Surgery -Otolaryngology, 4th ed. Lippincott Wiliam Wilkins. 2006.
Chap. V.
5. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology -Head
and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
6. MacKenzie K, Millar A, Wilson JA, Sellar C, Deary IJ. Is voice therapy an
effective treatment for dysphonia? a randomised controlled trial.
BMJ.2001;323:658-61.
7. Cohen SM, Kim J, Roy N, Asche C, Courey M. Prevalence and causes of
dysphonia in a large treatment-seeking population. The Laryngoscope.
2012;122:343-8.
8. Roy N, Stemple J, Merrill RM, Thomas L. Epidemiology of voice disorders in
the elderly: preliminary findings. The Laryngoscope. 2007;117:1-6.
9. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 724-736, 747, 755-
760.
10. Woodson, G.E. Upper airway anatomy and function. In : Byron J. Bailey.
Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Third edition. Volume 1.
Philadelphia : Lippincot Williams and Wilkins, 2001: 479-486
11. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Ed 7. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.2015

26
12. Lundy SD, Casiano R. Diagnosis and management of hoarseness. Hospital
Physician. 2000.p: 59-61.
13. Mau T. Diagnostic evaluation and management of hoarseness. Med Clin N Am
Elsevier Inc. 2001;94:945-60.
14. Cohen SM, Pitman MJ, Noordzij JP, Courey M.Management of dysphonic
patients by otolaryngologists. American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery Foundation. 2012;147(2):289–94.
15. Cobzeanu MD, Voineag M, Drug VL, Ciubotaru A, Cobzeanu BM, Palade
OD. Laryngeal morphological changes due to gastroesophageal reflux disease.
Rev Med Chir Soc Med Nat Lasi Internal Medicine-Pediatrics.
2012;116(4):1011-5
16. Sulica I. Voice: anatomy, physiology and clinical evaluation. In: Johnson
Jonas T, Rosen Clark A, editors. Bailey’s head and neck surgery
otolaryngology. fifth ed. Philadelphia Lippincott Inc; 2014. p:945-55
17. Izdebski K. Clinical voice assessment: The role&value of the phonatory
function studies. In: Lalwani A.K editors. Current diagnosis & threatment
otolaryngology head & neck surgery. Second ed. McGraw-Hill Companies,
Inc; 2008. p:417-29
18. Probst R, Grevers G; Iro H. Voice disorders. In: Basic otorhinolaryngology, a
step by learning guide. Thieme; 2006. p:385-95
19. Sulica L. Hoarseness. In : Archives Of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Vol. 137 No. 6, June 2011.
20. Sulica L. Voice : Anatomy, Physiology And Clinical Evaluation. Head And
Neck Surgery -Otolaryngology, 4th ed. Lippincott Wiliam Wilkins. 2006.
Chap. V.
21. Feierabend RH, Malik SN. Hoarseness in adults. Am Fam Physician.
2009;80(4)363-370.

27

Anda mungkin juga menyukai