Anda di halaman 1dari 4

Bakteriologi

Klasifikasi diftheri

Pernyakit difteri termasuk penyakit menular yang sangat


berbahaya karena dapat menimbulkan kematian. Terutama pda anak-anak. Penyebabnya adalah
kuman Corynebacterium diphtheriae yang dapat menghasilkan eksotoksin yang menimbulkan
miokarditis dan neuropati, menyerang sitem pernafasan, membrana mukosa maupun kulit.
Morfologi kuman Difteri

C.diphtheriae termasuk kuman bersifat Gram-Positif, tidak bergerak, bentuknya mirip tongkat
pemukul, dan tidak membentuk spora. Pada pewarnaan atas hapusan kuman, bakteri tersusun
saling menyudut, mirip gambaran huruf kanji (China).
Klasifikasi
Biasanya pembagian di buat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena
infeksi.pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit jug di ajukan oleh beach dkk.(1950)
sebagai berikut:

1. infeksi ringan
Pseudomembran terbatas pada mukosa hidung atau fausial dengan gejala hanya
nyeri menelan.

2. infeksi sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas sampai ke dinding posterior faring dengan edema
ringan laring yang dapat diatasi dengan pegobatan konservatif.

3. infeksi berat
Di sertai gejala sumbatan jalan nafas yang berat,yang hanya dapat diatasi
dengan trakeastomi.juga gejala komplikasi miokarditis,paralisis ataupun nefritis dapat menyertainya.
Klasifikasi
Kerajaan : Bacteria
Filum : Actinobacteria
Ordo : Actinomycetales
Famili : Corynebacteriaceae
Genus : Corynebacterium
Spesies : C. diphtheria
Klasifikasi difteri sebagai berikut: Suspek difteri: adalah orang dengan gejala faringitis, tonsillitis,
laryngitis, trakeitis (atau kombinasi), tanpa demam atau kondisi subfebris disertai adanya
pseudomembran putih keabu-abuan/kehitaman pada salah satu atau kedua tonsil yang berdarah
bila terlepas atau dilakukan manipulasi. Sebanyak 94% kasus difteri mengenai tonsil dan faring.
Kasus probable difteri adalah orang dengan gejala laringitis, nasofaringitis atau tonsilitis ditambah
pseudomembran putih keabu-abuan yang tak mudah lepas dan mudah berdarah di faring, laring,
tonsil (suspek difteri) ditambah salah satu dari :
a) Pernah kontak dengan kasus (<2minggu)
b) status imunisasi tidak lengkap ,termasuk belum dilakukan booster
c)stridor,bullneck
d) pendarahan submukosa atau petekle pada kulit
e) gagal jantung toksik ,gagal ginjal akut
f) miokarditis dan atau kelumpuhan motorik 1 s/d 6 minggu setelah onset
g ) meninggal
2. diagnosis

Diagnosis Difteri Dapat ditegakkan berdasarkan klinis, sebagai berikut:


Anamnesis
Suara serak, nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi, hingga adanya stridor, “ngences”,
dan tanda lain dari obstruksi napas atas, dengan riwayat imunisasi tidak lengkap, serta kontak erat
dengan kasus difteri. Kontak erat yang dimaksud adalah orang serumah dan teman bermain; kontak
dengan sekret nasofaring (a.l.: resusitasi tanpa alat pelindung diri); individu seruang dengan
penderita dalam waktu >4 jam selama 5 hari berturut-turut atau >24 jam dalam seminggu (a.l.:
teman sekelas, teman seruang tidur, teman mengaji, les).
Pemeriksaan fisis
Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan pseudomembran/selaput pada
tempat infeksi berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada keadaan berat
dapat ditemukan pembesaran leher (bull neck), tampak toksik dan sakit berat, padahal demam tidak
terlalu tinggi, muka pucat bahkan sampai sianosis, tanda-tanda syok, serta kesulitan menelan.
Laboratorium
Kriteria konfirmasi laboratorium difteri adalah kultur atau PCR positif. Untuk mengetahui
toksigenisitas difteri, dilakukan pemeriksaan tes Elek. Pengambilan sampel kultur dilakukan pada
hari ke-1, ke-2, dan ke-7. Media yang digunakan saat ini adalah Amies dan Stewart, dahulu Loeffler
atau telurit. Keberhasilan kultur hidung tenggorok di indonesia kurang dari 10%, sehingga
diupayakan untuk menggunakan PCR untuk diagnosis pasti. Sampel diambil dari jaringan di bawah
atau sekitar pseudomembran. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop atau pewarnaan
Gram/Albert tidak dapat dipercaya karena di rongga mulut banyak terdapat bakteri berbentuk mirip
C. diphtheriae (difteroid).

Klinis

ngingat difteri harus ditangani dengan segera, maka tanpa menunggu hasil pemeriksaan
laboratorium penderita harus segera diobati sebagai difteri jika terdapat gejala-gejala klinis sebagai
berikut :
1. Terdapat faringitis, tongsilitis, radang uvula dan palatum lunak yang tidak menimbulkan rasa
sakit
2. Terdapat edema yang tidak berwarna merah
3. Terdapat membran difteri yang khas pada tonsil
4. Demam tinggi
3. Pencegahan dan Pengobatan

Pengobatan Difteri

Penderita harus segera diberi pengobatan dengan antitoksin dengan dosis :


 Infeksi Ringan (difteri laring atau awal difteri faring) : 20.000-40.000 unit
 Infeksi Sedang. (difteri Nasofaring) : 40.000-60.000 unit
 Infeksi Berat (dan infeksi lebih dari 3 hari) : 80.000-100.000 unit
Antibiotika. Untuk menunjang pengobatan dengan antitoksin depat diberikan ampisilin
(4x500mg/hari), amoksisilin (3x250-500mg?hari) atau eritromisin (dosis dewasa x500mg/hari,
dosis anak-anak 30-50mg/kg berat badan/hari terbagi dalam 4 dosis). Antibiotika diberikan
selama 7-10 hari
Perawatan. Penderita harys diisolasi dan dirawat dengan intensif. Dehidrasi harus diatasi, dan
terhadap komplikasi sistem saraf dan jantung yang terjadi diberikan tindakan yang sesuai. Jika
terjadi sumbatan jalan nafas, membran dapat dikeluarkan dengan laringoskopi atau bronkoskopi

Bagaimana cara mencegah penyakit difteri?


cara paling efektif untuk mencegah penyakit difteri adalah dengan memastikan setiap anak pada
setiap daerah mendapatkan imunisasi DPT lengkap. pemutusan rantai penularan dan eradikasi
penyakit difteri melalui pemberian imunisasi pada suatu daerah akan mencegah timbulnya kasus
baru sehingga tidak ada lagi yang tertular.
Imunisasi difteri pada anak terdapat pada vaksin DPT (difteri,pertusis & tetanus) dimana
pemberian vaksin ini masuk dalam program wajib pemerintah Indonesia. Pemberian vaksin DPT
pada anak diberikan 5 kali yakni saat anak usia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, 18 bulan dan 5 tahun
(kelas 1 SD). untuk perlindungan tambahan sebaiknya dilakukan booster (penambah antibodi)
vaksin di usia 10 tahun & 18 tahun yang disebut dengan vaksin Td/Tdap, dimana vaksi tersebut
dapat diulang setiap rentang waktu 10 tahun.

2.7 Pencegahan dan Pengobatan


1. Pencegahan
a. Isolasi Penderita
Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan sediaan
langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae.
b. Imunisasi
Pencegahan dilakukan dengan memberikan imunisasi DPT (difteria, pertusis, dan tetanus)
pada bayi, dan vaksin DT (difteria, tetanus) pada anak-anak usia sekolah dasar.
c. Pencarian dan kemudian mengobati karier difteria
Dilakukan dengan uji Schick, yaitu bila hasil uji negatif (mungkin penderita karier pernah
mendapat imunisasi), maka harus diiakukan hapusan tenggorok. Jika ternyata
ditemukan Corynebacterium diphtheriae, penderita harus diobati dan bila perlu dilakukan
tonsilektomi.
2. Pengobatan
Tujuan pengobatan penderita difteria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat
secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi
C. diptheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
difteria.
a. Pengobatan Umum
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali
berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring
selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat. Khusus pada
difteria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan
menggunakan humidifier.
b. Pengobatan Khusus
1. Antitoksin : Anti Diptheriar Serum (ADS)
Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan pemberian
antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita kurang dari 1%. Namun dengan
penundaan lebih dari hari ke-6 menyebabkan angka kematian ini bisa meningkat sampai
30%. Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih dahulu.
2. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk membunuh
bakteri dan menghentikan produksi toksin. Pengobatan untuk difteria digunakan
eritromisin , Penisilin, kristal aqueous pensilin G, atau Penisilin prokain.
3. Kortikosteroid
Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang disertai gejala.
c. Pengobatan Penyulit
Pengobatan terutama ditujukan untuk menjaga agar hemodinamika tetap baik. Penyulit
yang disebabkan oleh toksin umumnya reversibel. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta
gangguan pernafasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi.
d. Pengobatan Kontak
Pada anak yang kontak dengan pasien sebaiknya diisolasi sampai tindakan berikut
terlaksana, yaitu biakan hidung dan tenggorok serta gejala klinis diikuti setiap hari sampai
masa tunas terlampaui, pemeriksaan serologi dan observasi harian. Anak yang telah
mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteria.
e. Pengobatan Karier
Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan, mempunyai uji Schick negatif
tetapi mengandung basil difteria dalam nasofaringnya. Pengobatan yang dapat diberikan
adalah penisilin 100 mg/kgBB/hari oral/suntikan, atau eritromisin 40 mg/kgBB/hari selama
satu minggu. Mungkin diperlukan tindakan tonsilektomi/adenoidektomi.

Anda mungkin juga menyukai