“ARIYAH”
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kulih Fikih Muamalah
Dosen Pengampu: Jumailah, S.H.I, M.S.I
Oleh:
Kelas A
2
.DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 11
B. Saran ....................................................................................................................... 11
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di dalam ekonomi islam terdapat akad-akad yang mendasari suatu
perbuatan bermuamalah, akad-akad tersebut berguna untuk menghindari suatu
amalan yang dilarang seperti masyir, gharar, riba dan lain-lain. Dimana perbuatan
yang dilarang tersebut mengandung dampak negative bagi manusia. Dari hal
tersebut maka muncullah akad-akad baik yang berasal dari Rasulullah maupun
ijma‟ para ulama untuk mengatasi hal dilarang dalam agama Islam, dengan tujuan
untuk saling tolong menolong demi kemaslahatan umat Islam.
Tolong-menolong dalam bermuamalah salah satunya diwujudkan
dengan akad Ariyah atau pinjam-meminjam. Dengan adanya akad Ariyah,
masyarakat yang memerlukan bantuan dapat meminjam pada yang memiliki
barang dengan tanpa imbalan apapun dan yang menjamin berkewajiban menjaga
merawat dan mengembalikan seperti dalam keadaan awal. Ariyah itu berbeda
dengan hutang karena ariyah merupakan meminjam barang pada orang lain, dan
barang yang dipinjam itulah yang harus dikembalikan dan tidak boleh digantikan
dengan barang yang lain.
B. Rumusan masalah
Adapun Rumusan masalah yang akan kita bahas dalam makalah ini yaitu:
1. Apa pengertian „ariyah?
2. Apa sajakah rukun dan syarat „ariyah?
3. Apa dasar hukum ariyah?
4. Bagaimana cara meminjam dan menyewakan barang pinjaman?
5. Bagaimana berakhirnya akad al ariyah?
6. Apa saja permasalahan yang ada dalam praktek „ariyah?
4
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-„Ariyah
Secara etimologi, „ariyah adalah Al-‘Aariyah diambil dari kata ‘Aara yang
berarti datang dan pergi Menurut sebagian pendapat, „ariyah berasal dari kata
“at-ta’awur” yang sama artinya dengan saling menukar dan mengganti yakni
dalam tradisi pinjam-meminjam..
Adapun beberapa pendapat mengenai „ariyah, sebagai berikut :
1. Menurut Hanafiyah, „ariyah adalah memiliki manfaat secara Cuma-Cuma
2. Menurut Malikiyah, „ariyah adalah memiliki manfaat dalam waktu tertentu
dengan tanpa imbalan,
3. Menurut Syafi‟iyah, „ariyah adalah kebolehan mengambil manfaat dari
seseorang yang membebaskannya, apa yang mungkin untuk dimanfaatkan,
serta tetap zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.
4. Menurut Hanabilah, „ariyah adalah kebolehan memanfaatkan suatu zat
barang tanpa imbalan dan peminjam atau lainnya.1
Jadi, Al-„Ariyah adalah meminjamkan suatu benda kepada orang lain untuk
diambil manfaat atas benda tersebut, dengan ketentuan dikembalikan setelah
selesai digunakan kepada pemiliknya dan pada saat pengembalian benda
tersebut harus dalam keadaan utuh sesuai dengan awal peminjaman. Contohnya,
seseorang meminjam baju untuk dipakai maka ia harus mengembalikan lagi
kepada pemiliknya dalam keadaan seperti saat ia meminjam atau sesuai dengan
perjanjian yang ditetapkan.2
1
Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor: Ghalia Indonesia,2011) hlm. 139-
140
2
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2014) hlm. 139
6
B. Rukun dan Syarat Al-„Ariyah
Rukun al-„ariyah ada lima, yaitu sebagai berikut :
1. Peminjaman (al-„iarah), peminjaman merupakan bentuk transaksi pinjam-
meminjam atau ungkapan pemberian pinjaman, yaitu bentuk perkataan yang
menunjukkan pemberian persetujuan atas apa yang di pinjamkan.
2. Orang yang meminjamkan (al-mu‟ir) dengan syarat: dewasa, atas kerelaan
sendiri, bukan karena paksaan.
3. Peminjam (al-muta‟ir) dengan syarat balig, safih (tidak pemboros), dan sehat
akalnya.
4. Barang yang dipinjamkan (al-mu‟ar), barang yang dipinjamkan adalah
barang milik sendiri, bukan milik orang lain.
5. Shighat, yaitu bentuk ungkapan pemberian pinjaman, baik secara lisan
maupun tulisan.3
ِ اَّلل َد ِدلدُ الْ ِعقَا َ َّ َوتَ َع َاونُوا عَ ََل الْ ِ ِّب َوالتَّ ْق َو ٰى ۖ َو ََل تَ َع َاونُوا عَ ََل ْاَل ْ ِْث َوالْ ُعدْ َو ِان ۚ َوات َّ ُقوا
َ َّ اَّلل ۖ ا َّن
ِ ِ
3
Siah Khosyi’ah, Fiqh Muamalah Perbandingan, (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm 141
4
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah,2015, hlm. 270
7
“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” ( Al-Maidah: 2)
ِاَّلل لَأْ ُم ُرُ ُْك َأ ْن تُ َؤ ُّدوا ْ َاْل َماَنَ ِت ا َ َٰل َأ ْه ِلهَا َوا َذا َح َ َْك ُ ُْت ب َ ْ َْي النَّ ِاس َأ ْن َ َْت ُ َُكوا ِِبلْ َع ْدل
َ َّ ا َّن
ِ ِ ِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil.” (Al-Nisa: 58)
Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari
Shafwan Ibn Umayyah, dimyatakan bahwa Rasulullah SAW. pernah meminjam perisai
dari shafwan ibn Umayyah pada waktu perang Humain. Shafwan bertanya, “Apakah
engkau merampasnya, ya Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan aku
bertanggungjawab”.6
Madzhab Syafi‟I, Hanafi, Abu Hasan Ubaidillah bin Hasan Al-Karkhi berpendapat,
bahwa akad „ariyah hanya bersifat nmemanfaatkan benda tersebut, sehigga pemanfaatnya
terbatas pada pihak keduasaja (peminjam) dan tidak boleh dipinjamkan kepada pihak
5
Sohari Sahrani dan Ru’fah Adullah, Fikih Muamalah,2002 (Bogor : Ghalya Indonesia), hlm,
141
6
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah,2004 (Bandung : CV PUSTAKA SETIA), hlm 140
8
lain. Namun semua ulama sepakat, bahwa benda tersebut tidak boleh disewakan kepada
orang lain. 7
7
Sohari Sahrani dan Ru’fah Adullah, Fikih Muamalah,2002 (Bogor : Ghalya Indonesia), hlm,
142
8
Abdullah bin Muhammad dan Muhammad bin Ibrahim, Ensiklopedia Fiqih Muamalah Dalam
Pandangan 4 Mazhab, Cet. 1, (Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009), hlm 349.
9
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet.1, (Jakarta: Pena Pundi Aksra, 2006), hlm. 243.
9
2. Peminjan mengembalikan barang pinjaman, baik setelah jangka waktu yang
disepakati berakhir atau belum.
3. Peminjam dan atau pemberi pinjaman tidak cukup hukum, baik gila, dungu (safah),
taghayur (akalnya berubah-ubah), maupun karena berada di bawah pengampunan
(dihukum).
4. Kematian salah satu pihak pelaku akad.10
F. Praktek „Ariyah
Ketika seseorang meminjam barang sedangkan pemiliknya tidak
memberikan batasan-batasan atau ketentuan tertentu dalam pemakaiannya, maka
peminjam boleh memakai barang tersebut untuk keperluan apa pun yang
dibenarkan secara „urf (kebiasaan). Dengan kata lain, peminjam bebas
menggunakan untuk tujuan apa pun selama penggunaannya masih dalam batas
kewajaran. Hal ini senada dengan kaidah fiqih : “sesuatu yang dianggap sebagai
kebiasaan kedudukannya seperti syarat.”
Contohnya : Seseorang meminjam mobil sedan kepada temannya. Selama
temannya itu tidak memberikan batasan atau ketentuan pemakaian, si peminjam
boleh menggunakannya untuk keperluan apa pun, selama itu dianggap sebagai
pemakaian wajar, contohnya dipakai untuk jalan-jalan, mengantarkan teman, dan
lain-lain. Tetapi peminjam tidak boleh menggunakan mobil tersebut untuk
mengangkut beras misalnya, atau mengangkut hewan qurban. Karena, secara urf hal
tersebut sudah keluar dari batas kewajaran. Jika pemilik baramh memberikan syarat
atau batasan-batasan tertentu dalam pemakaian barangnya, maka peminjam harus
patuh terhadap syarat tersebut. Jika tidak, si peminjam dianggap sebagai ghasib.11
10
Jamaluddin, Konsekuensi Akad Al-Ariyah dalam Fiqh Muamalah, Jurnal Qawanin, No.2
vol.2, Juli 2018, hlm.13
11
Muhammad Abdul Wahab, Fiqih Pinjam Meminjam (‘Ariyah),2018, Jakarta:Rumah Fiqih
Publishing, hlm. 9-10
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. SARAN
Penyusun menyadari keterbatasan ilmu pengetahuan dan pengalaman. Maka
penyusun mengharapkan saran-saran dari pembaca. Dan semoga makalh ini
bermanfaat bagi penyusun khususnya, dan bagi pembaca umumnya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Cet.1, Jakarta: Pena Pundi Aksra, 2006.
12