Anda di halaman 1dari 4

1. Kebijakan PKP untuk membuat faktur PPN pada saat pembayaran oleh pelanggan.

Menurut kami, kebijakan yang dilakukan oleh PKP tersebut membuat faktur pajak saat pembayaran
merupakan langkah yang efisien. Kembangkan sendiri lanjutannya

4. Mr Smith adalah warga negara australia yang bekerja di Indonesia (ekspatriat). Eskpatriat dapat
berstatus sebagai subjek pajak luar negeri dan subjek pajak dalam negri.

Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, yang dimaksud dengan subjek pajak dalam negeri adalah
orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang
dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
Sedangkan, subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia
dan orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan
badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
bentuk usaha tetap di Indonesia.

Karena kontrak Mr Smith untuk bekerja di Indonesia selama 2 tahun (>183 hari) maka berdasarkan
Undang-undang Pajak penghasilan ersebut dapat diambil kesimpulan bahwa Mr. Smith merupakan
subjek pajak dalam negri.

PPh terutang tahun 2018:

Gaji sebulan Rp 50.000.000,00

Pengurangan:

Biaya jabatan:

Karena pegawai kontrak tidak ada biaya jabatan

Penghasilan neto sebulan Rp 50.000.000,00

Penghasilan neto setahun Rp 600.000.000,00

PTKP (TK/0) Rp 54.000.000,00

Penghasilan kena pajak disetahunkan Rp 546.000.000

PPh

5%* 50.000.000= 2.500.000


15%* 250.000.000= 37.500.000

25%*246.000.000= 61.500.000

Total PPh terutang setahun = 101.500.000

PPh terutang selama 5 bulan 5/12*101.500.000 = 42.291.667

PPh perbulan: 42.291.667/5 = 8.458.333,00

3. Perlakuan perpajakan (Pajak Penghasilan) bagi BUT di Indonesia dipersamakan dengan perlakuan
perpajakan (Pajak Penghasilan) bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang PPh dan Undang-undang KUP. Dengan demikian, penghasilan yang menjadi Objek Pajak
bagi BUT di Indonesia adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh BUT di Indonesia baik berasal
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia. Namun demikian, ketentuan Pasal 24 Undang-undang PPh
tidak mengatur pengkreditan pajak yang dibayar, dipotong, atau terutang di luar negeri atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh BUT di Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, apabila di kemudian hari dilakukan perubahan Undang-undang
PPh, maka akan lebih baik kalau diberikan pengaturan berupa ketentuan pengkreditan pajak yang
dibayar, dipotong, atau terutang di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh BUT di
Indonesia agar tidak menimbulkan pajak berganda internasional.

PAJAK PENGHASILAN ATAS BUT

Karena BUT diperlakukan sebagai wajib pajak dalam negeri, maka seperti wajib pajak
dalam negeri lainnya bahwa penghasilan kenakan atas penghasilan neto.

Artinya, atas penghasilan bruto dikurangi dengan biaya-biaya untuk mendapatkan


penghasilan neto tersebut. Hanya saja ada beberapa biaya yang tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto, yaitu:

 royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten, atau hak-
hak lainnya,
 imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya,
 bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan.

Kenapa ketiga biaya tersebut tidak boleh dibiayakan? Karena BUT merupakan satu
kesatuan atau satu entitas dengan kantor pusat di luar negeri. Pembayaran BUT kepada
kantor pusat terkait 3 biaya diatas merupakan perputaran dana dalam satu
perusahaan.

Pengecualian pembebanan biaya diatas diatur di Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang PPh.
Selain dari sisi biaya, ada keistimewaan penghitungan PPh di BUT, yaitu penghasilan
kantor pusat yang harus dicatat sebagai penghasilan BUT. Kenapa harus dicatat di
BUT? Sebenarnya dicatat di kantor pusat tetapi Undang-undang PPh mengharuskan
memasukkan sebagai penghasilan BUT.

Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur bahwa objek BUT :

 penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai,
 penghasilan kantor pusat dari usah aatau kegaitan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan oleh
BUT di Indonesia,
 penghasilan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau
kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.

Undang-undang menginginkan bahwa semua usaha subjek pajak luar negeri yang
berasal dari Indonesia harus melalui BUT dan dimasukkan sebagai penghasilan BUT.
Walaupun penghasilan dicatat di kantor pusat, dan nyata-nyata merupakan kegiatan
kantor pusat.

Penghasilan kantor pusat yang harus digabungkan dengan penghasilan BUT ada 2 jenis,
yaitu :

 penghasilan tersebut berasal dari kegiatan di Indonesia yang kegiatannya


sama dengan BUT,
 penghasilan tersebut berasal atau terkait dengan harta BUT (seperti sewa) atau justru
kegiatan dilakukan oleh BUT di Indonesia.

Penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau kegiatan, penjualan barang dan
pemberian jasa, yang sejenis dengan yang dilakukan oleh BUT dianggap sebagai
penghasilan BUT, karena pada hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut termasuk
dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan dan dapat dilakukan oleh BUT.

Usaha atau kegiatan yang sejenis dengan usaha atau kegiatan BUT, misalnya terjadi
apabila sebuah bank di luar Indonesia yang mempunyai BUT di Indonesia, memberikan
pinjaman secara langsung tanpa melalui BUT-nya kepada perusahaan di Indonesia.

Penjualan barang yang sejenis dengan yang dijual oleh BUT, misalnya kantor pusat di
luar negeri yang mempunyai BUT di Indonesia menjual produk yang sama dengan
produk yang dijual oleh BUT tersebut secara langsung tanpa melalui BUT-nya kepada
pembeli di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh BUT,
misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di luar Indonesia memberikan konsultasi
yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan BUT tersebut secara langsung tanpa
melalui BUT-nya kepada klien di Indonesia.

Ini merupakan dasar pengenaan untuk menghitung PPh Badan dari BUT.

Jika ada penghasilan BUT yang dikirim ke kantor pusat, maka atas penghasilan yang
dikirim tersebut dikenakan lagi PPh sebesar 20% sesuai Pasal 26 ayat (4) Undang-
undang PPh. Ketentuan ini disebut juga branch profit tax.

Karena BUT diperlakukan sebagai subjek pajak dalam negeri, dalam hal terdapat
transaksi jasa yang merupakan penghasilan BUT, maka atas penghasilan tersebut
dipotong PPh Pasal 23. Bukan Pasal 26!

Anda mungkin juga menyukai