Anda di halaman 1dari 9

makalah

pendidikan pancasila

DISUSUN OLEH

Puspa Ria .N. Lubis


(5182121007)

PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2019
BAB I: PENDAHULUAN
Kata Pengantar
Segala puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas segala
berkat dan karunianya saya berkesempatan menyelesaikan salah satu syarat tugas pada mata kuliah
Pendidikan Pancasila. Jika ada kesalahan pada penulisan makalah ini mohon dimaklumi. Akhir kata
saya ucapkan terimakasih.
BAB II : ISI

Pengantar Pendidikan Pancasila

1.1 Landasan Pendidikan Pancasila

a. Landasan Historis
- Pendidikan Pancasila merupakan bentukan proses sejarah bangsa Indonesia yang panjang
sejak jaman Kerajaan Kutai, Sriwijaya, Majapahit sampai dengan perjuangan untuk
menemukan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka dan mandiri, serta memiliki prinsip
yang tersimpul dalam pandangan hidup serta falsafah bangsa.
- Pandangan hidup dan falsafah bangsa tersebut memuat rumusan lima prinsip (sila) yang
memuat jati diri, ciri khas, sifat dan karakter bangsa Indonesia yang kemudian diberi nama
Pancasila;
- Jadi secara historis bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebelum
dirumuskan dan disahkan menjadi dasar negara Indonesia telah dimiliki bangsa Indonesia,
sehingga dapat dikatakan bangsa Indonesia merupakan kausa materialis Pancasila.

b. Landasan Kultural
Pancasila merupakan nilai-nilai kenegaraan dan kemasyarakatan yang tercipta dari hasil
pemikiran melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara seperti Soekarno, M. Yamin,
M. Hatta, Soepomo serta para tokoh pendiri negara lainnya;

c. Landasan Yuridis
- Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31 , Ayat (1) yang isinya adalah bahwa setiap warga
negara berhak mendapat pendidikan;
- Keputusan Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Nomor 38/Dikti/Kep/2002, tanggal 18 Juli
2002, tentang Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi;
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, yang mengisyaratkan bahwa Pancasila tetap menjadi landasan filosofi bagi sistem
pendidikan nasional.

d. Landasan Filosofis
Pancasila adalah sebagai dasar filsafat negara dan pandangan filosofis bangsa Indonesia. Oleh
karena itu sudah merupakan keharusan moral untuk secara konsisten merealisasikannya
dalam setiap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini berdasarkan
pada sutu kenyataan secara filosofis dan obyektif bahwa bangsa Indonesia dalam
bermasyarakat dan bernegara mendasarkan pada nilai-nilai yang tertuang dalam sila-sila
Pancasila yang secara filosofis merupakan filosofi bangsa Indonesia sebelum mendirikan
negara. (H. Kaelan, 2003:12-14)
1.2 Tujuan Pendidikan Pancasila

Berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 tentang
Kompetensi Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian adalah menguasai kemampuan
berpikir, bersikap rasional dan dinamis, serta berpandangan luas sebagai manusia intelektual
dengan cara mengantarkan mahasiswa :
1. Agar memiliki kemampuan untuk mengambil sikap bertanggung jawab sesuai dengan hati
nuraninya;
2. Agar memiliki kemampuan untuk mengenali masalah hidup dan kesejahteraan serta cara-
cara pemecahannya;
3. Agar mampu mengenali perubahan-perubahan dan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dan seni;
4. Agar mampu memaknai peristiwa sejarah dan nilai-nilai budaya bangsa untuk
menggalang persatuan I0020RFG IKTG
ndonesia. (Panti Setijo, 2006:6)

1.3 Tinjauan Pancasila dari Berbagai Segi


1. Segi Etimologis
Ditinjau dari asal kata (etimologis), istilah Pancasila (pancasyila) berasal dari bahasa
Sanskerta (India) yang mengandung dua macam arti, yaitu :
- Pancasyila, panca artinya lima, dan syila dengan huruf i yang dibaca pendek artinya dasar,
batu sendi atau alas, sehingga pancasyila artinya lima dasar.
- Pancasyila, panca artinya lima, dan syiila dengan huruf ii yang dibaca panjang artinya
peraturan tingkah laku yang penting, sehingga pancasyiila memiliki arti lima aturan tingkah
laku yang penting .

2. Segi Historis
Perkataan pancasila ditemukan di kepustakaan Budha di India yang bersumber pada kitab
suci Tri Pitaka (Suttha Pitaka, Abhidama Pitka, Vinaya Pitaka). Dalam ajaran Budha
terdapat ajaran moral untuk mencapai nirwana dengan melalui samadhi yaitu Dasasyiila,
Saptasyiila, Pancasyiila.
Khusus pada ajaran Pancasyiila, menurut Budha terdapat lima larangan yaitu :
a. Menghindari membunuh (panditipata– virati)
b. Menghindari mencuri (adinnadana – virati)
c. Menghindari berbuat asusila (kamesu-micchacara virati)
d. Menghindari berkata bohong (musavada-virati)
e. Menghindari minum yang memabukkan (surapana-virati)

Dengan masuknya kebudayaan India ke Indonesia melalui penyebaran agama Hindu dan
Budha, maka ajaran “Pancasila” Budhismepun masuk ke dalam kepustakaan Jawa terutama
pada zaman Majapahit di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih
Gajahmada. Dalam Buku Negara Kertagama, karangan Mpu Prapanca pada tahun 1365
dijumpai bait yang berbunyi :
“Yatnagegwani pancasyiila kertasangskarbhisekaka krama” yang artinya Raja menjalankan
dengan setia kelima pantangan Pancasila, begitu pula upacara-upacara ibadat dan penobatan-
penobatan.
Setelah Majapahit runtuh dan agama Islam mulai tersebar ke seluruh Indonesia maka sisa-sisa
pengaruh ajaran moral Budha (Pancasila) masih dikenal dalam masyarakat Jawa yang disebut
dengan lima larangan/ pantangan atau dikenal dengan istilah Mo Limo / M 5 yaitu Mateni
(membunuh), Maling (mencuri), Madon (berzina), Mabok (minuman keras atau candu), dan
Main (berjudi).

3. Segi istilah Resmi


Istilah Pancasila bagi rumusan lima prinsip yang diusulkan oleh Ir. Soekarno, secara resmi
disetujui para anggota sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.

4. Segi Yuridis
Secara Yuridis pengertian Pancasila dalam sila-sila sesuai tata urutannya tercantum pada
alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.(Panti Setijo, 2006:7-10)

1.4 Hakikat Nilai-nilai Sila-sila Pancasila

Tentang hakikat nilai sila-sila Pancasila perlu ditengarai makna dan arti dari setiap sila
Pancasila secara hakiki agar kita mendapatkan gambaran tentang inti arti Pancasila yang
semuanya akan sangat berkaitan dengan hal ikhwal dalam uraian selanjutnya. Maka,
sudah tepat hanya lima sila itu yang dimasukkan dalam dasar filsafat negara sebagai inti
kesamaan dari segala keadaan yang beraneka warna itu dan juga telah mencukupi, dalam arti
tidak ada lainnya yang tidak dapat dikembalikan kepada salah satu sila dari Pancasila
(Notonagoro, 1975:34)

1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa

Ketuhanan berasal dari kata Tuhan ialah pencipta segala yang ada dan semua makhluk.
Yang Maha Esa /Yang Maha Tunggal, tiada sekutu; esa dalam zatnya , esa dalam sifatnya,
esa dalam perbuatannya. Jadi, Ketuhanan YME mengandung pengertian dan keyakinan
adanya Tuhan YME, pencipta alam semesta beserta isinya.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ditegaskan meskipun bukan negara
agama, karena tidak menerapkan hukum agama tertentu sebagai hukum positif. Juga
bukan negara sekuler, yang memisahkan urusan negara dan urusan agama. Melainkan
adalah negara beragama, bahwa NKRI perlu hukum positif yang disepakati oleh seluruh
bangsa, termasuk seluruh penyelenggara negara (MPR, DPR, pemerintah) yang agamanya
beraneka ragam dan negara wajib melindungi segenap agama yang diakui keberadaannya
serta negara tidak dibenarkan mencampuri urusan akidah agama apa pun.
2. Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yaitu makhluk berbudi yang memiliki potensi
pikir, rasa, karsa dan cipta karena berpotensi menduduki/memiliki martabat yang tinggi.
Dengan akal budinya, manusia berkebudayaan, dengan hati nuraninya, manusia menyadari
nilai-nilai dan norma-norma.
Adil mengandung arti bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas norma-norma
yang objektif, tidak subjektif apalagi sewenang-wenang dan otoriter.
Beradab berasal dari kata adab, memiliki arti budaya yang telah berabad-abad dalam
kehidupan manusia. Jadi, beradab berarti berkebudayaan yang berabad-abad, bertata
kesopanan, berkesusilaan/bermoral, adalah kesadaran sikap dan perbuatan manusia
dalam hubungan dengan norma- norma dan kebudayaan umumnya, baik terhadap diri
pribadi, sesama manusia maupun terhadap alam dan Sang Pencipta.
Selain disebutkan di atas, NKRI merupakan negara yang menjunjung hak asasi manusia
(HAM), negara yang memiliki hukum yang adil dan berbudaya yang beradab.Negara ingin
menerapkan hukum secara adil berdasarkan supremasi hukum serta ingin mengusahakan
pemerintahan yang bersih dan berwibawa, di samping mengembangkan budaya IPTEK
berdasarkan adab cipta, karsa dan rasa serta karya yang berguna bagi nusa dan bangsa, tanpa
melahirkan primordial dalam budaya.

3. Persatuan Indonesia

Persatuan asal kata satu, yang berarti utuh tidak terpecah- belah, mengandung bersatunya
bermacam corak yang beraneka ragam yang bersifat kedaerahan menjadi satu kebulatan
secara nasional. Juga persatuan segenap unsur Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
mewujudkan secara nyata bhineka tunggal ika yang meliputi wilayah, sumber daya alam, dan
sumber daya manusia dalam kesatuan yang utuh. Selain itu, persatuan bangsa yang
bersifat nasional mendiami seluruh wilayah Indonesia, bersatu menuju kehidupan bangsa
yang berbudaya bebas dalam wadah negara RI yang merdeka dan berdaulat, menuju
terbentuknya suatu masyarakat madani.

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan


Perwakilan

Kerakyatan berasal dari kata rakyat, yang berarti sekelompok manusia yang berdiam dalam
satu wilayah tertentu. Kerakyatan berarti bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat,
disebut pula kedaulatan rakyat (rakyat yang berdaulat/berkuasa) atau demokrasi (rakyat yang
memerintah).
Hikmat kebijaksanaan berarti penggunaan pikiran/ratio yang sehat dengan selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat clan dilaksanakan
dengan sadar, jujur, dan bertanggung jawab serta didorong oleh itikad baik sesuai dengan hati
nurani.
Permusyawaratan artinya suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk merumuskan
atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat hingga tercapai keputusan
yang berdasarkan kebulatan pendapat/mufakat.
Perwakilan artinya suatu sistem dalam arti tata cara (prosedur) mengusahakan turut sertanya
rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara, antara lain dilakukan dengan melalui
badan-badan perwakilan.
Rakyat dalam NKRI menjalankan keputusannya dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh
pikiran yang sehat serta penuh tanggung jawab dari para pemimpin yang profesional, baik
kepada Tuhan YME, maupun kepada rakyat yang diwakilinya.

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia


Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat dalam segenap bidang
kehidupan, baik materiil, maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia artinya setiap orang
yang menjadi rakyat indonesia, baik yang berdiam di wilayah RI sebagai warga NKRI,
maupun WNI yang berada di luar negeri. Jadi, setiap bangsa Indonesia mendapat perlakuan
yang adil dan seimbang dalam bidang hukum, politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.

Pada hakikatnya dengan menyimak makna inti arti dari kelima sila Pancasila tersebut di
atas, tampaklah bahwa Pancasila secara bulat dan utuh sangat sesuai menjadi milik bangsa
Indonesia sebagai dasar negara dan juga sebagai suatu ideologi. Sila-sila dari pada
Pancasila sebagai dasar filasafat negara mengandung arti mutlak bahwa negara
Republik Indonesia harus menyesuaikan dengan hakikat dalam arti hakikat abstrak dari
Tuhan, manusia, satu , rakyat dan adil (Notonagoro, 1975: 58).
BAB III : PENUTUP
Dapat disimpulkan bahwa dengan kelima sila dari Pancasila secara bulat dan utuh
memiliki makna bahwa di dalam setiap sila terkandung atau berisi sila-sila yang lainnya, sila
yang nomor di atas menjadi dasar sila berikut atau nomor di bawahnya dan seterusnya serta
sebaliknya, sila yang berikutnya menjadi jelmaan (Notonagoro, 1975:64) dari sila-sila di
mukanya.
Daftar Pustaka :

Kaelan, H. 2003. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Paradigma.


Kansil, CST. 2005. Modul Pancasila dan Kewarganegaraan., Jakarta: Penerbit PT Pradnya
Paramita.
Setijo, Pandji. 2006. Pendidikan Pancasila Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa. Jakarta: Penerbit
Grasindo.

Anda mungkin juga menyukai