Konsep Dasar Imunisasi
Konsep Dasar Imunisasi
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengembangan Asuhan Neonatus
Disusun Oleh:
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 10
Dessy Hutasoit (1310200150508)
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengembangan Asuhan Neonatus.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih jauh dari
sempurna, disebabkan waktu, pengetahuan dan pengalaman penulis. Kritik,
saran serta koreksi sangat penulis harapkan sehingga dapat dijadikan
perbandingan atau acuan pada penulisan tugas berikutnya. Sehingga, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah kebidanan komunitas yang telah memberikan tugas
sehingga penulis banyak mendapatkan ilmu, pengalaman dalam membuat tugas
ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukannya, penulis sadar bahwa penulisan tugas ini sangat jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan masukan yang membangun sangat penulis
harapkan.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................ iii
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
a. Mengkaji pemberian imunisasi dasar atau wajib
b. Mengkaji pemberian imunisasi pilihan
c. Memahami jadwal pemberian imunisasi dasar
d. Mengkaji penyimpanan vaksin
e. Mengkaji terjadinya KIPI dalam pemberian imunisasi
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian
a. Imunisasi
Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan vaksinasi
(imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif). Imunisasi aktif
menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler yang
melawan agen penginfeksi, sedangkan imunisasi pasif menyediakan proteksi sementara
melalui pemberian antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi
transplasenta dari ibu ke janin. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan /
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila
suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan. Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus
menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan.
Jenis imunisasi dasar terdiri atas: Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis
Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus
Influenza type B (DPT-HB-Hib), Hepatitis B pada bayi baru lahir, Polio dan Campak
b. Vaksin
Vaksinasi (imunisasi aktif) adalah suatu tindakan dengan sengaja memberikan
paparan antigen dari suatu pathogen yang akan menstimulasi sistem dan menimbulkan
kekebalan sehingga nanti orang yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika
terpajan oleh antigen serupa. Antigen yang diberikan dalam vaksinasi dibuat sedemiakn
rupa sehingga tidak menimbulkan sakit, namun dapat memproduksi limfosit yang peka,
antibody, maupun sel memori. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan
immunoglobulin yang berasal dari plasma donor. Pemberian imunisasi pasif hanya
memberikan kekebalan sementara kaena immunoglobulin yang diberikan akan
dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan immunoglobulin
yang lain (IgM, IgA, IgE, IgD) memiliki waktu paruh yang lebih pendek. Oleh Karen itu,
imunisasi yang rutin diberikan pada anak adalah imunisasi aktif yaitu vaksinasi
2.2 Imunisasi Dasar/Wajib
a. Imunisasi Hepatitis B
1) Definisi
Mengandung inactivated hepatitis B virus surface antigen (HBsAg). Ada 2 macam
imunisasi hepatitis B, yaitu:
Imunisasi pasif
Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat memberikan proteksi,
mekipun untuk jangka pendek. Sebaiknya dilanjutkan dengan pemberian imunisasi
aktif agar proteksi lama.
Imunisasi aktif
Vaksinasi hepatitis B (VH B). 3 seri pemberian. Dosis, injeksi itramuskular di paha
kanan. 3 dosis 0,5 ml
2) Dosis dan Cara Pemberian
a) Vaksin hepatitis B (Hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat
vaksinasi Hep B merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada
bayinya.
b) Jadwal dan dosis Hep B-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status I HBsAg ibu
saat melahirkan yaitu ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, ibu HBsAg
positif, atau ibu HBsAg negatif.
c) Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi HepB1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval
imunisasi HepB-2 dengan dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
d) Kementerian Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin HepB-0
monovolen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin
kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan
dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan
meningkatkan cakupan HepB-3 yang masih rendah
e) Pemberian vaksinasi Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HBsAg ibu:
1. Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui HepB-1 harus
segera diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada
umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status HbsAg ibu tidak
diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu
HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari.
2. Bayi lahir dengan ibu HbsAg-B positif: diberikan vaksin HepB-1 dan HBIg
0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir.
Tabel Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Umur Imunisasi
2 bulan DTwP/HepB-1
(kombinasi)
3 bulan DTwP/HepB-2
(kombinasi)
4 bulan DTwP/HepB-3
(kombinasi)
e. Imunisasi Campak
1) Definisi
Campak adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus. Virus
campak (measles virus) adalah anggota dari genusMorbilivirus pada keluarga
Paramyxoviridae. Virus ini berdiameter 100-200 nm, dengan inti RNA beruntai
tunggal. Dua membran protein yang membungkus penting dalam patogenesis.
Mereka adalah protein F (fusion), yang bertanggung jawab untuk fusi virus dan sel
inang membran, penetrasi virus, dan hemolisis, dan protein H (hemaglutinin), yang
bertanggung jawab untuk adsorpsi virus ke sel. Hanya ada satu jenis antigen virus
campak. Meskipun penelitian telah mendokumentasikan perubahan dalam
glikoprotein H, perubahan ini tidak tampak secara epidemiologis penting (yaitu,
tidak ada perubahan dalam efikasi vaksin telah diamati). Virus campak cepat untuk
tidak aktif oleh panas, cahaya, pH asam, eter, dan tripsin. Memiliki waktu hidup
yang singkat (kurang dari 2 jam) di udara atau pada objek dan permukaan.
Virus campak (Measles Virus) adalah patogen pernafasan yang sangat menular
yang menyebabkan penyakit sistemik; kebanyakan orang sembuh dengan kekebalan
seumur hidup untuk virus campak. Kemajuan besar menuju eliminasi campak telah
dibuat di seluruh dunia, sebagian besar karena ketersediaan vaksin yang aman dan
efektif. Namun, infeksi campak masih menyebabkan 500.000 kematian setiap
tahunnya, sebagian besar disebabkan oleh infeksi oportunistik berikutnya terkait
dengan virus campak yang menginduksi supresi imun. Sebelum pengenalan vaksin
dan program pemberantasan global yang dikoordinasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), angka kematian global masih tinggi, sekitar 7-8 juta anak-anak setiap
tahunnya. Pengenalan vaksin campak hidup telah secara signifikan mengurangi
kejadian campak akut di negara-negara industri. Namun di negara-negara
berkembang, campak masih merupakan masalah kesehatan yang penting dan virus
pembunuh utama anak-anak.
2) Dosis dan cara pemberian
a) Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-
kutan dalam, pada umur 9 bulan.
b) Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi dan eliminasi campak.
Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak
kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak) pada umur
6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah dilakukan secara
bertahap (5 tahap) di semua provinsi pada tahun 2006 dan 2007.
c) Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based
catch-up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam
program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).
d) Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan
umur 6 tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan
3) Efek Samping
Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis
serta ensefalitis (jarang).
4) Kontraindikasi
f. Imunisasi Hib
1) Definisi
Penyakit Hib disebabkan bakteri Haemophilus Influenza type B (Hib). Hib
biasa menyerang anak di bawah 5 tahun. Penularan Hib melalui kontak dengan
penderita Hib. Jika bakteri Hib berada di rongga hidung atau tenggorokan, mungkin
tidak menyebabkan sakit. Namun bakteri Hib dapat masuk ke paru-paru dan
peredaran darah dan menyebabkan penyakit serius. Sebelum ditemukannya vaksin
Hib, penyakit Hib merupakan penyebab utama radang selaput otak (meningitis) pada
anak di bawah 5 tahun. Meningitis menyebabkan kerusakan otak dan medulla
spinalis. Hib juga menyebabkan pneumonia, infeksi berat di tenggorokan, infeksi
pada persendian, tulang dan selaput jantung, bahkan kematian. Anak di atas 5 tahun
tidak perlu mendapatkan vaksin Hib. Namun dalam kondisi tertentu, vaksinasi Hib
perlu diberikan, seperti penderita sickle cell, HIV, pengangkatan limpa, transplantasi
sumsum tulang atau penderita kanker yang sedang menjalani kemoterapi.
Haemophilus influenzae tipe B adalah kuman penyebab UTAMA pneumonia
(radang paru) dan meningitis (radang selaput otak) pada anak kurang dari 5 tahun.
WHO menyatakan saat ini Hib merupakan penyebab dari 3 juta kasus meningitis dan
pneumonia di dunia, dengan 400.000 kematian setiap tahunnya. Di Indonesia
dilaporkan bahwa Hib di temukan pada 33% diantara kasus meningitis dan
bertanggung jawab terhadap 5-18% kejadian peumonia.
2) Jenis Vaksin
Vaksin Hib merupakan vaksin konjugat, artinya antigennya dikojugasikan
(digabung) dengan protein lain untuk meningkatkan kekuatannya. Di Indonesia ada
2 jenis vaksin :
a. PRP-OMP : konjugasi dengan protein luar di Nesisseria meningitis
b. PRP-TP : konjugasi dengan protein tetanus
Jenis Hib yang beredar di Indonesia adalah vaksin konjugasi dengan tetanus toksoid
(PRP-TP). Vaksin Hib ada yang berupa Hib tunggal artinya tidak digabung dengan
vaksin lain, misalnya Act-Hb dan Hiberix. Ada juga vaksin Hib yang di
kombinasikan dengan vaksin lain, misalnya digabung vaksin DPT, misalnya pediacel
dan Tetract-Hib. Vaksin kombinasi lebih di sukai karena mengurangi jumlah sutikan
pada anak
3) Jadwal
a. Vaksin Hib di berikan sejak umur 2 bulan
b. PRP-OMP diberikan 2 kali, PRP-TP diberikan 3 kali dengan jarak 2 bulan
c. Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir
d. Vaksin tidak boleh diberikan sebelumbayi berumur 2 bulan karena bayi tersebut
belum dapat membentuk antibodi.
e. 1 dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara IM
f. Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali
4) Cara Pemberian
Vaksin HiB dapat diberikan secara terpisah maupun kombinasi dengan vaksin lain.
Cara pemberiannya disuntikkan di bagian paha kaki bayi.
5) Efek samping
Setelah di imunisasi HiB umumnya bayi tidak mengalami efek samping atau dampak
buruk yang berarti. Artinya efek imunisasi HiB yang ditimbulkan cukup ringan.
Kalau pun ada nyeri di bagian yang disuntik itu merupakan sesuatu yang wajar.
6) Indikasi dan kontra indikasi
HIB tidak boleh diberikan ada anak yang sakit atau kekebalannya sedang menurun
untuk menghindari efek samping yang mungkin terjadi.
Kontra indikasi dari pemberian HIB adalah anak yang hipersensitivitas terhadap
komponen vaksin, anak dengan riwayat kejang demam dan pana lebih dari 38 ◦C
atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau kelainan saraf.
Kondisi dimana imunisasi tidak dapat diberikan:
- Sakit berat dan akut; Demam tinggi;
- Reaksi alergi yang berat atau reaksi anafilaktik;
Bila anak menderita gangguan sistem imun berat (sedang menjalani terapi steroid
jangka lama, HIV) tidak boleh diberi vaksin.
g. Imunisasi Pentavalen
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencanangkan program imunisasi
baru dengan pemberian vaksin pentavalent untuk balita mulai usia dua bulan. Dengan
vaksin pentavalen ini, maka dalam sekali pemberian vaksin, setiap balita dapat tercegah
dari lima penyakit sekaligus yaitu penyakit Difteri, Tetanus, Pertusis (batuk
rejan), Hepatitis B dan penyakit akibat infeksi oleh Haemophylus influenza tipe B
(HiB). Penggabungan lima antigen ini dimungkinkan karena jadwal pemberian kelima
antigen itu sama, yaitu pada saat bayi berusia dua bulan, tiga bulan dan empat bulan.
Dosis Pentavalen 0,5 ml yang mengandung zat aktif : Toksoid Difteri murni 20
Lf (k. 30 IU), Toksoid Tetanus murni 5 Lf 60 IU), B. pertussis inaktif 12 OU (k 4 IU),
HBsAg 10 mcg; Konjugat Hib 10 mcg dan Zat tambahan berupa : aluminium fosfat 0,33
mg, serta Thimerosal 0,025 mg. Merangsang tubuh membentuk antibodi terhadap difter-
i, tetanus, pertusis, hepatitis B, dan Haemophilus influenza tipe b.
1) Cara Pemberian
Vaksin harus disuntikkan secara intramuskular. Penyuntikan sebaiknya dilakukan
pada anterolateral paha atas. Penyuntikan pada bagian bokong anak dapat
menyebabkan luka saraf siatik dan tidak dianjurkan. Suntikan tidak boleh diberikan
ke dalam kulit karena dapat meningkatkan reaksi lokal. Satu dosis anak adalah 0,5
mL
2) Jadwal Imunisasi
Pentabio (Vaksin DTP-HB-Hib) TIDAK BOLEH digunakan pada bayi yang baru
lahir. Di negara-negara dimana pertusis menjadi bahaya tertentu pada bayi, vaksin ini
harus dimulai secepat mungkin dengan dosis pertama pada usia 6 minggu, dan dua
dosis berikutnya diberikan dengan jarak waktu 4 minggu.
Vaksin ini aman dan efektif diberikan bersamaan dengan vaksin BCG, campak, polio
(OPV atau IPV),yellow fever dan suplemen vitamin A. Jika vaksin ini diberikan
bersamaan dengan vaksin lain, harus disuntikkan pada lokasi yang berlainan. Vaksin
ini tidak boleh dicampur dalam satu vial atau syringe dengan vaksin lain.
3) Efek samping
Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak berbeda secara
bermakna dengan vaksin DTP, Hepatitis B dan Hib yang diberikan secara terpisah.
Untuk DTP, reaksi lokal dan sistemik ringan umum terjadi. Beberapa reaksi lokal
sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerahan pada lokasi suntikan disertai
demam dapat timbul dalam sejumlah besar kasus. Kadang-kadang reaksi berat
seperti demam tinggi, irritabilitas (rewel), dan menangis dengan nada tinggi dapat
terjadi dalam 24 jam setelah pemberian. Episode hypotonic-hyporesponsive pernah
dilaporkan. Kejang demam telah dilaporkan dengan angka kejadian 1 kasus per
12.500 dosis pember-ian. Pemberian asetaminofen pada saat dan 4-8 jam setelah
imunisasi mengurangi terjadinya demam. Studi yang dilakukan oleh sejumlah
kelompok termasuk United States institute of Medicine, The Advisory Committee on
Immunization Practices, dan asosiasi dokter spesialis anak di Australia, Canada,
Inggris dan Amerika, menyimpulkan bahwa data tidak menunjukkan adanya
hubungan kausal antara DTP, dan disfungsi sistem saraf kronis pada anak. Oleh
karenanya, tidak ada bukti ilmiah bahwa reaksi tersebut mempunyai dampak
permanen pada anak..
Vaksin hepatitis B dapat ditoleransi dengan baik. Dalam studi menggunakan
plasebo sebagai kontrol, selain nyeri lokal, dilaporkan kejadian seperti myalgia dan
demam r-ingan tidak lebih sering dibandingkan dengan kelompok plasebo. Laporan
mengenai reaksi anafilaksis berat sangat jarang. Data yang ada tidak menunjukkan
adanya hubungan kausalitas antara vaksin hepatitis B dan sindroma atau kerusakan
demyelinasi termasuk gangguan sklerosis multipel , dan juga tidak ada data
epidemiologi untuk menunjang hubungan kausal antara vaksinasi hepatitis B dan
sindroma fatigue kronis, artritis, kelainan autoimun, asthma, sindroma kematian
mendadak pada bayi, atau diabetes.
Vaksin Hib ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat terjadi dalam 24 jam
setelah vaksinasi dimana pener•ma vaksin dapat merasakan nyeri pada lokasi
penyuntikkan. Reaksi ini biasanya bersifat ringan dan sementara. Pada umumnya,
akan sembuh dengan sendir-inya dalam dua atau tiga hari, dan tidak memedukan
tindakan medis lebih lanjut. Reaksi sistemik ringan, termasuk demam, jarang terjadi
setelah penyuntikkan vaksin Hib. Reaksi berat lainnya sangat jarang; hubungan
kausalitas antara reaksi berat lainnya dan vaksin belum pernah ditegakkan.
4) Indikasi
Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan),
hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b secara simultan.
5) Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin, atau reaksi berat terhadap dosis vaksin
kombinasi sebelumnya atau bentuk-bentuk reaksi sejenis lainnya merupakan
kontraindikasi absolut terhadap dosis berikutnya. Terdapat beberapa kontraindikasi
terhadap dosis pertama DTP ; kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir
atau kelainan saraf serius lainnya merupakan kontraindikasi terhadap komponen
pertusis. Dalam hal ini vaksin tidak boleh diber-ikan sebagai vaksin kombinasi,
tetapi vaksin DT harus diberikan sebagai pengganti DTP, vaksin Hepatitis B dan Hib
diber-ikan secara terpisah. Vaksin tidak akan membahayakan individu yang sedang
atau sebelumnya telah terinfeksi virus hepatitis B.
2) Indikasi
a) Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan
dan rubella atau sudah mendapatkan imunisasi campak.
b) Anak dengan penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan,
kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
c) Anak berusia ≥ 1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan
playgroups.
d) Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.
3) Kontraindikasi
a) Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau dengan gangguan
imunitas, yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau
mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgBB/hari prednisolon)
b) Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit
bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin
c) Pemberian MMR harus ditunda pada anak dengan demam akut, sampai penyakit
ini sembuh
d) Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus
hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR ditunda lebih
kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif
akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin
e) Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR (karena komponen
rubela) dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat
suntikan MMR.
f) Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian
imunoglobulin atau transfusi darah yang mengandung imunoglobulin (whole
blood, plasma). Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh diberikan
dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.
g) Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya HIV
bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta
petunjuk pada dokter spesialis anak (konsultan).
4) Dosis
Dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan dalam.
5) Jadwal pemberian
a) Diberikan pada usia 12–18 bulan.
b) Pada populasi dengan insidens penyakit campak dini yang tinggi, imunisasi
MMR dapat diberikan pada usia 9 (sembilan) bulan.
5) Jadwal pemberian
a) Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan, diberikan sebanyak 3 kali dengan jarak
waktu 2 bulan.
b) Dosis ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir.
c. Vaksin tifoid
1) Jenis
a) Vaksin tifoid oral
1. Dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah
dilemahkan, menimbulkan respon imun sekretorik IgA, mempunyai reaksi
samping yang lebih rendah dibandingkan vaksin parenteral.
2. Kemasan dalam bentuk kapsul.
3. Penyimpanan pada suhu 2 – 80C.
b) Vaksin tifoid polisakarida parenteral
1. Susunan vaksin polisakarida: setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella
typhii; polisakarida 0,025 mg; fenol dan larutan bufer yang mengandung
natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat.
2. Penyimpanan pada suhu 2 – 80C, jangan dibekukan
3. Kadaluwarsa dalam 3 tahun
2) Indikasi
a) Vaksin tifoid oral diberikan untuk anak usia ≥ 6 tahun.
b) Vaksin Polisakarida Parenteral diberikan untuk anak usia ≥ 2 tahun.
3) Kontra Indikasi
a) Vaksin Tifoid Oral
1. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid atau
antimalaria yang aktif terhadap Salmonella.
2. Pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah
pemberian terakhir dari vaksin tifoid oral (karena vaksin ini juga
menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa)
b) Vaksin tifoid polisakarida parenteral
1. Alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin.
2. Pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.
d. Vaksin Varisela
1) Definisi
a) Vaksin virus hidup varisela-zoster yang dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk
kering
b) Penyimpanan pada suhu 2–80C
c) Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR (MMR/V)
d) Infeksi setelah terpapar apabila telah diimunisasi dapat terjadi pada 1%-2% kasus
setahun, tetapi infeksi umumnya bersifat ringan
2) Indikasi
a) Vaksin diberikan mulai umur masuk sekolah (5 tahun)
b) Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali selang 4
minggu
c) Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin
dapat diberikan dalam waktu 72 jam setelah penularan (dengan persyaratan:
kontak dipisah/tidak berhubungan
3) Kontra indikasi
a) Demam tinggi
b) Hitung limfosit kurang dari 1200/μl atau adanya bukti defisiensi imun selular
seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi
c) Pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per
hari atau lebih)
d) Alergi neomisin
4) Jadwal pemberian
a) Dosis 0,5 ml suntikan secara subkutan, dosis tunggal
e. Vaksin Hepatitis A
1) Definisi
Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Pemberian bersama
vaksin lain tidak mengganggu respon imun masing-masing vaksin dan tidak
meningkatkan frekuensi efek samping.
2) Indikasi
a) Populasi risiko tinggi tertular Virus Hepatitis A (VHA).
b) Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia >2 tahun
antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya semakin
luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap makanan dan minuman yang
tercemar.
c) Pasien Penyakit Hati Kronis, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular
VHA.
d) Kelompok lain: pengunjung ke daerah endemis; penyaji makanan; anak usia 2–3
tahun di Tempat Penitipan Anak (TPA); staf TPA; staf dan penghuni institusi
untuk cacat mental; pria homoseksual dengan pasangan ganda; pasien
koagulopati; pekerja dengan primata bukan manusia; staf bangsal neonatologi.
3) Kontraindikasi
Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami reaksi berat
sesudah penyuntikan dosis pertama.
4) Jadwal pemberian
a) Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien
b) Vaksin diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster bervariasi antara 6 sampai
18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk
c) Vaksin diberikan pada usia ≥ 2 tahun
f. Vaksin Influenza
1) Definisi
a) Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus).
b) Vaksin influenza mengandung antigen dari dua sub tipe virus influenza A dan satu
sub tipe virus influenza B, subtipenya setiap tahun direkomendasikan oleh WHO
berdasarkan surveilans epidemiologi seluruh dunia
c) Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus-menerus, maka perlu
dilakukan vaksinasi secara teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang
mengandung galur yang mutakhir.
d) Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenesitas tinggi.
e) Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2º- 8ºC. Tidak
boleh dibekukan
2) Indikasi
a) Semua orang usia ≥ 65 tahun
b) Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal dan
kelemahan sistem imun
c) Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk diabetes,
penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi
d) Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko tinggi
mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas
kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua
orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orang-orang
yang melayani atau erat dengan orang yang mempunyai risiko tinggi
e) Imunisasi influenza dapat diberikan kepada anak sehat usia 6–23 bulan
3) Kontraindikasi
a) Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza
sebelumnya dan protein telur jangan diberi vaksinasi influenza
b) Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami
pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan
c) Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita
penyakit demam akut yang berat
4) Jadwal pemberian dan dosis
a) Dosis untuk anak usia kurang dari 2 tahun adalah 0,25 ml dan usia lebih dari 2
tahun adalah 0,5 ml
b) Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza pada usia ≤ 8 tahun,
vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian
imunisasi diulang setiap tahun
c) Vaksin influenza diberikan secara suntikan intra muskular di otot deltoid pada
orang dewasa dan anak yang lebih besar, sedangkan untuk bayi diberikan di paha
anterolateral
d) Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan dua (2) dosis dengan
jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan
e) Bila anak usia ≥ 9 tahun cukup diberikan satu kali saja, teratur, setiap tahun satu
kali
g. Vaksin Pneumokokus
1) Definisi
Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus polisakarida
(pneumococcal polysacharide vaccine/PPV) dan vaksin pneumokokus polisakarida
konyugasi (pneumococcal conjugate vaccine/PCV).
Tabel Perbandingan PPV dan PCV
2) Indikasi
a) Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV) diberikan pada:
1. Lansia usia > 65 tahun
2. Anak usia > 2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD (Invasive
Pneumococcal Disease) yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau didapat),
penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua
minggu sebelum splenektomi
3. Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom
nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi
organ
4. Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis
yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes
5. Pasien usia > 2 tahun kebocoran cairan serebrospinal
b) Vaksin polisakarida konjugat (PVC) direkomendasikan pada:
1. Semua anak sehat usia 2 bulan–5 tahun
2. Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik kongenital
atau didapat, termasuk anak dengan penyakit sickle cell, splenic dysfunction
dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum splenektomi
3. Pasien dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel
mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ
4. Pasien dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit
paru atau ginjal kronis, diabetes
5. Pasien kebocoran cairan serebrospinal
6. Selain itu juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya
padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis
media
3) Kontra Indikasi
Umur Jenis
0 bulan Hepatitis B0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak
Tabel : Penyelenggaraan Imunisasi (Permenkes No. 42 Tahun 2013)
Keterangan:
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014
Tabel Recommended Routine Immunizations for Children
Jenis Vaksin Dosis Cara Pemberian Tempat
Hepatitis B 0,5 ml Intra muskuler Paha
BCG 0,05 ml Intra kutan Lengan kanan atas
Polio 2 tetes Oral Mulut
DPT-HB-Hib 0,5 ml Intra Muskuler Paha untuk bayi,
lengan kanan untuk
balita
Campak 0,5 ml Sub kutan Lengan kiri atas
DT 0,5 ml Intra muskuler Lengan kiri atas
Td 0,5 ml Intra muskuler Lengan kiri atas
TT 0,5 ml Intra muskuler Lengan kiri atas
Sumber: (Permenkes No 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi)
Tabel : Dosis dan Cara Pemberian Imunisasi
Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2°C s/d 8°C atau pada suhu ruang terhindar dari
sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan pada suhu 2°C s/d 8
°C. Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara
berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa kadaluwarsa vaksin, waktu
pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian sisa vaksin.
a. Keterpaparan vaksin terhadap panas
Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan
dengan perubahan kondisi VVM A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu
meskipun masa kadaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C
dan D tidak boleh digunakan.
b. Masa kadaluarsa vaksin
Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih pendek masa
kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO)
c. Waktu penerimaan vaksin (First In First Out/FIFO)
Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih awal mempunyai jangka
waktu pemakaian yang lebih pendek.
d. Pemakaian Vaksin Sisa
Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit atau praktek swasta) bisa
digunakan pada pelayanan hari berikutnya.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1. Disimpan pada suhu 2 °C s.d. 8 °C
2. VVM dalam kondisi A atau B
3. Belum kadaluwarsa
4. Tidak terendam air selama penyimpanan
5. Belum melampaui masa pemakaian
1) Sarana Penyimpanan
a. Kamar dingin dan kamar beku
1. Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000
liter (100 M3). Suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara +2°C s/d
+8°C. Kamar dingin ini berfungsi untuk menyimpan vaksin BCG, campak, DPT,
TT, DT, hepatitis B dan DPT-HB.
2. Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000
liter (100 M3), suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara -15°C s/d
-25°C. Kamar beku utamanya berfungsi untuk menyimpan vaksin polio.
3. Kamar dingin dan kamar beku umumnya hanya terdapat di tingkat provinsi
mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan
dalam jangka waktu yang cukup lama. Secara teknis sistem pendingin kamar
dingin dan kamar beku dibagi dalam 3 (tiga) sistem, yaitu:
1) Sistem pendingin dengan menggunakan “Hermatic Compressor”;
2) Sistem pendingin dengan menggunakan “Semi Hermatic Compressor”
3) Sistem pendingin dengan menggunakan “Open type Compressor”.
b. Lemari es
Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, TT, DT, hepatitis B, Campak
dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan +2 °C s.d. +8 °C dapat juga
difungsikan untuk membuat kotak dingin cair (cool pack).
Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu yang ditentukan antara
15°C s/d -25°C atau membuat kotak es beku (cold pack).
Sistem Pendinginan:
2) Sistem Kompresi
Pada sistem pendinginan kompresi, lemari es/freezer menggunakan
kompresor sebagai jantung utama untuk mengalirkan refrigerant (zat
pendingin) ke ruang pendingin melalui evaporator, kompresor ini digerakkan
oleh listrik AC 110 volt/220 volt/380 volt atau DC 12 volt/24 volt. Bahan
pendingin yang digunakan pada sistem ini adalah refrigerant type R-12 atau
R134a.
3) Sistem absorpsi
Pada sistem pendingin absorpsi, lemari es/freezer menggunakan pemanas litrik
(heater dengan tegangan 110 volt AC/220 volt AC/12 Volt DC) atau
menggunakan nyala api minyak tanah atau menggunakan nyala api dari gas
LPG (Propane/Butane). Panas ini diperlukan untuk menguapkan bahan
pendingin berupa amoniak (NH3) agar dapat berfungsi sebagai pendingin di
evaporator.
Perbedaan antara sistem kompresi dan absorpsi berdasarkan penggunaan di
lapangan dapat digambarkan seperti di bawah ini:
Sistem Kompresi Sistem Absorpsi
Lebih cepat dingin Pendinginan lebih lambat
Menggunakan kompresor sebagai Tidak menggunakan mekanik sehingga
mekanik yang dapat menimbulkan aus tidak ada bagian yang bergerak
sehingga tidak ada aus
Hanya dengan listrik AC/DC Dapat dengan listrik AC/DC atau nyala
api minyak tanah /gas
Bila terjadi kebocoran pada sistem Bila terjadi kebocoran pada sistem
mudah diperbaiki tidak dapat diperbaiki
Bagian yang sangat penting dari lemari es/freezer adalah thermostat. Thermostat
berfungsi untuk mengatur suhu bagian dalam pada lemari es atau freezer.
Thermostat banyak sekali tipe dan modelnya, namun hanya 2 (dua) sistem cara
kerjanya.
Cara kerja thermostat
1. Cara kerja dengan sistem mekanik Sensor (1) diletakkan di bagian dalam
lemari es/freezer, pada saat suhu di dalam lemari es/freezer menjadi rendah
maka gas yang berada di dalam bulb melalui pipa kapiler (2) akan menyusut
pula dan tekanannya menjadi turun akibatnya pada bellow akan menyusut dan
menarik kontak 4 dan 5, sehingga kompresor menjadi off (berhenti). Begitu
juga sebaliknya bila sensor yang diletakkan di bagian dalam lemari es/freezer,
pada saat suhu di dalam lemari es/freezer menjadi naik (panas) maka gas yang
berada di dalam sensor melalui pipa kapiler (2) akan mengembang pula dan
tekanannya menjadi naik akibatnya pada bellow (3) akan menekan dan
mendorong kontak 4 dan 5, sehingga kompresor menjadi on (hidup). Kesalahan
pengukuran sekitar + 2%.
2. Cara Kerja system elektronik
Sistem kerja thermostat ini menggunakan sensor berupa resistor (tahanan) yang
akan menginformasikan keadaan suhu yang dapat divisualisasikan pada layar
digital, pengaturan suhu secara elektronik dapat disesuaikan melalui setting
sehingga suhu yang dikehendaki dengan mudah dapat diketahui. Termostat ini
bekerja dengan sumber power listrik 12 volt atau 220 volt, kesalahan
pengukuran + 0,1%.
Bila suhu pada lemari es sudah stabil antara +2 °C s.d. +8 °C, maka posisi
thermostat jangan dirubah-rubah BERI SELOTIP
Merubah thermostat bila suhu pada lemari es di bawah +2 °C atau di atas
+8 °C
Perubahan thermostat tidak dapat merubah suhu lemari es dalam sesaat
Perubahan suhu dapat diketahui setelah 24 jam
Perbedaan antara bentuk pintu buka depan dan bentuk pintu buka ke atas
Bentuk buka dari depan Bentuk buka dari atas
Suhu tidak stabil Suhu lebih stabil
Pada saat pintu lemari es dibuka ke depan Pada saat pintu lemari es dibuka ke
maka suhu dingin dari atas akan turun ke atas maka suhu dingin dari atas akan
bawah dan keluar turun ke bawah dan tertampung
Bila listrik padam relative tidak dapat Bila listrik pada relatif suhu dapat
bertahan lama bertahan lama
Jumlah vaksin yang dapat ditampung Jumlah vaksin yang dapat ditampung
sedikit lebih banyak
Susunan vaksin menjadi mudah dan Penyusunan vaksin agak sulit karena
vaksin terlihat jelas dari samping depan vaksin bertumpuk dan tidak jelas
dilihat dari atas
Penentuan jumlah kapasitas coldchain harus dihitung berdasarkan volume puncak kebutuhan
vaksin rutin (maksimal stok) ditambah dengan kegiatan tambahan (bila ada). Maksimal stok
vaksin provinsi adalah 2 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Kabupaten/kota 1
bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Puskesmas 1 bulan kebutuhan ditambah
dengan 1 minggu cadangan. Selain kebutuhan lemari es dan freezer, harus direncanakan juga
kebutuhan vaksin carrier untuk membawa vaksin ke lapangan serta cool pack sebagai
penahan suhu dingin dalam vaksin carrier selama transportasi vaksin. Cara perhitungan
kebutuhan coldchain adalah dengan mengalikan jumlah stok maksimal vaksin (semua jenis
vaksin) dengan volume setiap jenis vaksin, dan membandingkannya dengan volume lemari
es/freezer.
2) Klasifikasi kausalitas
Klasifikasi kausalitas mengelompokkan KIPI menjadi 6 (enam) kelompok yaitu:
a. Very likely / Certain
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin (masuk akal) terhadap
pemberian vaksin dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau
obat atau zat kimia lain.
b. Probable
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal dengan pemberian
vaksin dan sepertinya tidak berhubungan dengan penyakit penyerta atau obat
atau zat kimia lain.
c. Possible
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal dengan pemberian
vaksin namun dapat berhubungan dengan penyakit penyerta atau obat atau zat
kimia lain.
d. Unlikely
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin (masuk akal) terhadap
pemberian vaksin menyebabkan hubungan kasual tidak mungkin namun
mungkin dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia
lain.
e. Unrelated
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang tidak mungkin (masuk akal)
terhadap pemberian vaksin dan dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta
atau obat atau zat kimia lain.
f. Unclassifiable
Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk memungkinkan
dilakukan penilaian dan identifikasi penyebab.
Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI
dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis seperti tabel
Tabel Gejala Klinis menurut jenis vaksin dan saat timbul KIPI
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid Tetanus Syok anafilaksis 4 jam
(DPT, DT, TT) Neuritis brakhial 2-18 hari
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
Pertusis whole Syok anafilaksis 4 jam
cell (DPwT) Ensefalopati 72 jam
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
Campak Syok anafilaksis 4 jam
Ensefalopati 5-15 hari
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
Trombositopenia 7-30 hari
Klinis campak pada resipien 6 bulan
imunokompromais tidak tercatat
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
Polio hidup Polio paralisis 30 hari
(OPV) Polio paralisis pada resipien 6 bulan
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
Hepatitis B Syok anafilaksis 4 jam
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
BCG BCG-it is 4-6 minggu
g. Pemantauan KIPI
Bagian yang terpenting dalam pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi KIPI
secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisis untuk mengidentifikasi dan
merespon suatu masalah. Respon merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting
dalam pemantauan KIPI. Pemantauan KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan,
pelacakan, analisis kejadian, tindak lanjut, pelaporan dan evaluasi, seperti tertera pada
diagram berikut:
Kurun waktu pelaporan berdasarkan jenjang administrasi yang menerima laporan terlihat
seperti tabel dibawah ini:
KIPI yang harus dilaporkan dapat dikategorikan sesuai tabel
Tabel Kasus KIPI yang harus dilaporkan
Reaksi Khusus a. Lumpuh layu, Rujuk segera ke RS untuk Perlu untuk survei
: simetris, asendens perawatan dan pemeriksaan AFP
Sindrom (menjalar ke atas) lebih lanjut
Guillain- Barre biasanya tungkai
(jarang terjadi) bawah
b. Ataksia
c. Penurunan refleksi
tendon
d. Gangguan menelan
e. Gangguan
pernafasan
f. Parestesi
g. Meningismus
h. Tidak demam
i. Peningkatan
protein dalam
cairan
serebrospinal tanpa
pleositosis
j. Terjadi antara 5
hari sd 6 minggu
setelah imunisasi.
k. Perjalanan
penyakit dari 1 s/d
3-4 hr
l. Prognosis
umumnya baik.
a. Nyeri dalam terus a. Parasetamol
Neuritis menerus pada b. Bila gejala menetap
brakialis daerah bahu dan rujuk ke RS untuk
(Neuropati lengan atas fisioterapi.
pleksus b. Terjadi 7 jam sd 3
brakialis) minggu setelah
imunisasi
3 Faktor penerima/pejamu
4 Faktor psikologis