Anda di halaman 1dari 57

TUGAS

KONSEP DASAR IMUNISASI

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengembangan Asuhan Neonatus

Dosen Pengampu : Dr. Meita


Dhamayanti,dr,SpA(K),M.Kes

Disusun Oleh:

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 10
Dessy Hutasoit (1310200150508)

Norliana Karo Karo (1310200150526)

Parmiana Bangun (1310200150527)

PROGRAM MAGISTER KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS PADJADJARAN
2016

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan rahmat, karunia dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pengembangan Asuhan Neonatus.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas ini masih jauh dari
sempurna, disebabkan waktu, pengetahuan dan pengalaman penulis. Kritik,
saran serta koreksi sangat penulis harapkan sehingga dapat dijadikan
perbandingan atau acuan pada penulisan tugas berikutnya. Sehingga, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu mata kuliah kebidanan komunitas yang telah memberikan tugas
sehingga penulis banyak mendapatkan ilmu, pengalaman dalam membuat tugas
ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga tugas ini dapat bermanfaat bagi yang
memerlukannya, penulis sadar bahwa penulisan tugas ini sangat jauh dari
sempurna, oleh karena itu saran dan masukan yang membangun sangat penulis
harapkan.

Bandung, Oktober 2016

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................. ii
DAFTAR ISI............................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1


BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Definisi .....................................................................................
2.2 Imunisasi Dasar ........................................................................
2.3 Imunisasi Pilihan ......................................................................
2.4 Jadwal Imunisasi Dasar.............................................................
2.5 Penyimpanan Vaksin ................................................................
2.6 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi .............................................

BAB III PENUTUP .............................................................................

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Setiap tahun lebih 1,4 juta anak di dunia meninggal karena berbagai
penyakit yang sesungguhnya dapat dicegah dengan imunisasi. Beberapa penyakit
menular yang termasuk ke dalam Penyakit yang Dapat Dicegah dengan Imunisasi
(PD3I) antara lain : Difteri, Tetanus, Hepatitis B, radang selaput otak, radang
paru-paru, pertusis, dan polio. Anak yang telah diberi imunisasi akan terlindungi
dari berbagai penyakit berbahaya tersebut, yang dapat menimbulkan kecacatan
atau kematian.1
Sebagai salah satu kelompok yang menjadi sasaran program imunisasi,
setiap bayi wajib mendapatkan lima imunisasi dasar lengkap (LIL) yang terdiri
dari : 1 dosis BCG, 3 dosis DPT, 4 dosis polio, 3 dosis hepatitis B, dan 1 dosis
campak. Dari kelima imunisasi dasar lengkap yang diwajibkan tersebut, campak
merupakan imunisasi yang mendapat perhatian lebih yang dibuktikan dengan
komitmen Indonesia pada lingkup ASEAN dan SEARO untuk mempertahankan
cakupan imunisasi campak sebesar 90%. Hal ini terkait dengan realita bahwa
campak adalah salah satu penyebab utama kematian pada balita. Dengan
demikian pencegahan campak memiliki peran signifikan dalam penurunan angka
kematian balita.1
Masalah lain yang harus dihadapi adalah munculnya kembali PD3I yang
sebelumnya telah berhasil ditekan (Reemerging diseases), timbulnya penyakit-
penyakit menular baru (Emerging Infectious Diseases) serta penyakit infeksi yang
betul-betul baru (new diseases) yaitu penyakit-penyakit yang tadinya tidak
dikenal (memang belum ada, atau sudah ada tetapi penyebarannya sangat terbatas;
atau sudah ada tetapi tidak menimbulkan gangguan kesehatan yang serius pada
manusia). Penyakit yang tergolong ke dalam penyakit baru adalah penyakit-
penyakit yang mencuat, yaitu penyakit yang angka kejadiannya meningkat dalam
dua dekade terakhir ini, atau mempunyai kecenderungan untuk meningkat dalam
waktu dekat, penyakit yang area geografis penyebarannya meluas, dan penyakit
yang tadinya mudah dikontrol dengan obat-obatan namun kini menjadi resisten. 2
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyelenggaraan
imunisasi terus berkembang antara lain dengan pengembangan vaksin baru
(Rotavirus, Japanese Encephalitis, Pneumococcus, Dengue Fever dan lain-lain)
serta penggabungan beberapa jenis vaksin sebagai vaksin kombinasi misalnya
DPT-HB-Hib. 2
Saat ini vaksinasi yang diberikan pada bayi dan anak cukup banyak
jumlahnya, untuk itu diatur urutan pemberian vaksin dalam jadwal imunisasi yang
ditinjau ulang secara periodik. Urutan jadwal vaksinasi ditentukan berdasarkan
banyak pertimbangan antara lain: banyaknya penyakit itu di masyarakat, bahaya
yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut, umur mulai rawan tertular penyakit
tersebut, kemampuan tubuh bayi/anak membentuk zat anti melawan penyakit
tersebut, rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), rekomendasi organisasi
profesi yang berhubungan dengan imunisasi, ketersediaan vaksin yang efektif
terhadap penyakit tertentu, kejadian ikutan pasca-vaksinasi, dan kemampuan
pemerintah dalam menyediakan vaksin tersebut dan lain-lain3

1.2 Tujuan
a. Mengkaji pemberian imunisasi dasar atau wajib
b. Mengkaji pemberian imunisasi pilihan
c. Memahami jadwal pemberian imunisasi dasar
d. Mengkaji penyimpanan vaksin
e. Mengkaji terjadinya KIPI dalam pemberian imunisasi
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian
a. Imunisasi
Imunisasi adalah proses menginduksi imunitas secara buatan baik dengan vaksinasi
(imunisasi aktif) maupun dengan pemberian antibodi (imunisasi pasif). Imunisasi aktif
menstimulasi sistem imun untuk membentuk antibodi dan respon imun seluler yang
melawan agen penginfeksi, sedangkan imunisasi pasif menyediakan proteksi sementara
melalui pemberian antibodi yang diproduksi secara eksogen maupun transmisi
transplasenta dari ibu ke janin. Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan /
meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila
suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit
ringan. Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara terus
menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan imunisasi lanjutan.
Jenis imunisasi dasar terdiri atas: Bacillus Calmette Guerin (BCG), Diphtheria Pertusis
Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau Diphtheria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Hemophilus
Influenza type B (DPT-HB-Hib), Hepatitis B pada bayi baru lahir, Polio dan Campak
b. Vaksin
Vaksinasi (imunisasi aktif) adalah suatu tindakan dengan sengaja memberikan
paparan antigen dari suatu pathogen yang akan menstimulasi sistem dan menimbulkan
kekebalan sehingga nanti orang yang telah mendapatkan vaksinasi tidak akan sakit jika
terpajan oleh antigen serupa. Antigen yang diberikan dalam vaksinasi dibuat sedemiakn
rupa sehingga tidak menimbulkan sakit, namun dapat memproduksi limfosit yang peka,
antibody, maupun sel memori. Imunisasi pasif dilakukan dengan memberikan
immunoglobulin yang berasal dari plasma donor. Pemberian imunisasi pasif hanya
memberikan kekebalan sementara kaena immunoglobulin yang diberikan akan
dimetabolisme oleh tubuh. Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan immunoglobulin
yang lain (IgM, IgA, IgE, IgD) memiliki waktu paruh yang lebih pendek. Oleh Karen itu,
imunisasi yang rutin diberikan pada anak adalah imunisasi aktif yaitu vaksinasi
2.2 Imunisasi Dasar/Wajib
a. Imunisasi Hepatitis B
1) Definisi
Mengandung inactivated hepatitis B virus surface antigen (HBsAg). Ada 2 macam
imunisasi hepatitis B, yaitu:
 Imunisasi pasif
Hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat memberikan proteksi,
mekipun untuk jangka pendek. Sebaiknya dilanjutkan dengan pemberian imunisasi
aktif agar proteksi lama.
 Imunisasi aktif
Vaksinasi hepatitis B (VH B). 3 seri pemberian. Dosis, injeksi itramuskular di paha
kanan. 3 dosis 0,5 ml
2) Dosis dan Cara Pemberian
a) Vaksin hepatitis B (Hep B) harus segera diberikan setelah lahir, mengingat
vaksinasi Hep B merupakan upaya pencegahan yang sangat efektif untuk
memutuskan rantai penularan melalui transmisi maternal dari ibu kepada
bayinya.
b) Jadwal dan dosis Hep B-1 saat bayi lahir, dibuat berdasarkan status I HBsAg ibu
saat melahirkan yaitu ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui, ibu HBsAg
positif, atau ibu HBsAg negatif.
c) Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari imunisasi HepB1
yaitu saat bayi berumur 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal, interval
imunisasi HepB-2 dengan dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan.
Maka imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
d) Kementerian Kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin HepB-0
monovolen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan vaksin
kombinasi DTwP/HepB pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin HepB diberikan
dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah pemberian dan
meningkatkan cakupan HepB-3 yang masih rendah
e) Pemberian vaksinasi Hepatitis B saat bayi lahir, tergantung status HBsAg ibu:
1. Bayi lahir dari ibu dengan status HbsAg yang tidak diketahui HepB-1 harus
segera diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir, dan dilanjutkan pada
umur 1 bulan dan 3-6 bulan. Apabila semula status HbsAg ibu tidak
diketahui dan ternyata dalam perjalanan selanjutnya diketahui bahwa ibu
HbsAg positif maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml
sebelum bayi berumur 7 hari.
2. Bayi lahir dengan ibu HbsAg-B positif: diberikan vaksin HepB-1 dan HBIg
0,5 ml secara bersamaan dalam waktu 12 jam setelah lahir.
Tabel Pemberian Imunisasi Hepatitis B
Umur Imunisasi

Saat lahir HepB

2 bulan DTwP/HepB-1
(kombinasi)
3 bulan DTwP/HepB-2
(kombinasi)
4 bulan DTwP/HepB-3
(kombinasi)

3. Ulangan imunisasi hepatitis B


a) Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh
imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi Hep B
dengan jadwal 3 kali pemberian (catch-up vaccination)
b) Ulangan imunisasi hepatitis B (HepB-4) dapat dipertimbangkan pada
umur 10-12 tahun, apabila kadar pencegahan belum tercapai (anti HBs <
10 µg/ml).

b. Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)


1) Definisi
Vaksin BCG merupakan vaksin beku kering yang mengandung Mycobacterium
bovis hidup yang dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin)
2) Jadwal Pemberian
Berdasarkan Permenkes No 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi
jadwal imunisasi BCG optimal diberikan pada umur 2 sampai 3 bulan. Namun untuk
mencapai cakupan yang lebih luas, Kementerian Kesehatan menganjurkan
pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan
3) Dosis dan cara pemberian
a) Tiap ampul vaksin mengandung : Bacillus Calmette Guerin hidup 1,5 mg dan
pelarut mengandung Natrium klorida 0,9 %
b) Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak (>1 tahun).
Vaksin BCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada
insersio M. deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak ditempat lain (misalnya
bokong, paha). Hal ini mengingat penyuntikan secara intradermal di daerah
deltoid lebih mudah dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang
terbentuk tidak mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan pemberian
daerah gluteal lateral atau paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk
keperluan diagnosis apabila diperlakukan.
c) Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid
jangka panjang, atau bayi yang telah diketahui atau dicurigai menderita infeksi
HIV).
d) Apabila BCG diberikan setelah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Apabila uji
tuberkulin tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi
dalam waktu 7 hari. Apabila terdapat reaksi lokal cepat di tempat suntikan, perlu
tindakan lebih lanjut.
e) Vaksin yang telah dilarutkan diberikan secara intradermal, sebanyak 0,05
mL untuk bayi dibawah usia 1 tahun. Kulit tidak boleh dibersihkan dengan
antiseptik. Vaksin dilarutkan dengan menambahkan seluruh isi ampul pelarut vial
vaksin. Seluruh pelet harus terlarut. Sebelum pemberian suntikan, vaksin yang
telah dilarutkan harus diamati secara visual. Jika tampak benda asing maka
vaksin harus dibuang.
f) Gunakan syringe dan jarum steril untuk setiap penyuntikan. Vaksin BCG sensitif
terhadap sinar ultraviolet, maka harus dilindungi dari sinar matahari.
g) Jika setelah dilarutkan tidak segera digunakan maka disimpan pada suhu antara
+2°C s/d +8°C, selama maksimal 3 jam.
h) Vaksin hanya boleh dilarutkan dengan pelarut yang telah disediakan oleh PT. Bio
Farma. Jangan gunakan pelarut dari jenis vaksin lain maupun produsen lain. Air
untuk injeksi juga tidak bisa digunakan. Menggunakan pelarut yang tidak tepat
dapat menyebabkan kerusakan pada vaksin dan reaksi serius pada pasien.
4) Efek samping
Efek samping, reaksi secara normal akan timbul 2 minggu seperti pembengkakan
kecil, merah pada tempat penyuntikan yang kemudian abses kecil dengan diameter
10 mm, luka akan sembuh sendiri meninggalkan jaringan parut. Biasanya setelah
suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam.
5) Indikasi
a) Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap penyakit tuberkulosa
b) Untuk proteksi maksimum vaksin BCG diberikan rutin kepada semua bayi
segera setelah lahir. Tidak ada bukti perihal manfaat vaksinasi BCG yang
diulang. Vaksin ini dapat diberikan bersama vaksin DTP, Campak, Polio (OPV &
IPV), Hepatitis B, Haemophilus influenzae tipe b, yellow fever, pada lokasi
penyuntikan yang berbeda, dan suplemen vitamin A
6) Kontra indikasi
a) Defisiensi sistem kekebalan dan Individu yang terinfeksi HIV asimtomatis
maupun simtomatis tidak boleh menerima vaksinasi BCG.
b) Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, anak yang sedang mendapatkan pengobatan
steroid jangka panjang, atau bayi yang telah diketahui atau dicurigai menderita
infeksi HIV).
c) Apabila BCG diberikan setelah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberculin
terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberculin negatif. Apabila uji
tuberculin tidak memungkinkan, BCG dapat diberikan namun perlu diobservasi
dalam waktu 7 hari. Apabila terjadi reaksi local cepat di tempat suntikan
(accelerated local reaction), perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostic
tuberculosis).
c. Imunisasi Polio
1) Definisi
a) Poliomielitis (polio) adalah penyakit paralisis (lumpuh) yang disebabkan virus
polio. Virus penyebab polio, poliovirus (PV), masuk ke tubuh melalui mulut,
menginfeksi saluran usus. Virus polio dapat memasuki aliran darah dan
mengalir ke sistem saraf pusat, menyebabkan melemahnya otot dan kadang
kelumpuhan (paralisis).
b) Poliovirus adalah virus RNA kecil yang terdiri atas tiga strain berbeda dan amat
menular. Virus polio menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi
dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, lima puluh persen
kasus polio terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Masa inkubasi
polio dari gejala pertama berkisar dari 3 hingga 35 hari.
c) Poliovirus menular melalui kontak antar manusia. Polio dapat menyebar luas
karena sebagian besar penderita polio tidak memiliki. Virus polio masuk ke
dalam tubuh melalui mulut ketika seseorang memakan makanan atau minuman
yang terkontaminasi feses. Setelah seseorang terinfeksi polio, virus polio akan
keluar melalui feses penderita polio selama beberapa minggu dan saat itulah
dapat terjadi penularan virus polio.
2) Jenis Polio
a) Vaksin Polio Oral ( OPV)
Suatu suspensi yang berasal dari virus hidup yang dilemahkan. Yaitu virus
poliomyelitis tip 1, 2, 3 strain Sabin. Penyimpanan pada suhu -200C, potensi
sampai dengan 2 tahun. Pada suhu 2-80C hanya sampai 6 bulan. Vaksin ini sangat
stabil, tetapi setelah dibuka akan segera kehilangn potensinya, oleh karena itu sisa
vaksin setelah imunisasi harus dbuang. Dapat disimpan beku asal warna tidak
berubah dan blum kadaluarsa. Bila dimuntahkan dalam 10 menit, dosis perlu
diulang.
b) Polio Injeksi (IPV)
Dari antigen polio tipe1, 2, 3 yang telah mati. Disimpan pada suhu 2-80C, stabil
selama 3 tahun. Tidak boleh dibekukan. Imunitas mukosal IPV lebih rendah dari
OPV. Keduanya dapt diberikan secara bergantian. IPV dapat diberikan pada anak
sehat, anak dengan imunokompromise atau bersamaan dengan vaksin DPT. Tidak
ada KIPI VAVP dan VDVP. Dosis 0,05 ml, suntikan subkutan dalam/
intramuscular di paha kiri. Polio 1 pada saat bayi lahir, imunisasi dasar 3 kali
dengan interval minimal 4 minggu. Vaksin ulangan 1 tahun setelah polio 4.
3) Dosis dan Cara Pemberian
Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio 1, 2 dan 3.
 OPV (Oral Polio Vaccine), hidup dilemahkan, diberikan 2 tetes per-oral.
 IPV (Inactivated Polio Vaccine), in-aktif, dalam kemasan 0,5 ml, intramuskular.
Vaksin IPV dapat diberikan tersendiri atau dalam kemasan kombinasi
(DTaP/IPV, DTaP/Hib/IPV.
Kedua vaksin polio tersebut dapat dipakai secara bergantian. Vaksin IPV dapat
diberikan pada anak yang sehat maupun anak yang menderita imunokompromais,
dan dapat diberikan sebagai imunisasi dasar maupun ulangan. Vaksin IPV dapat juga
diberikan bersamaan dengan vaksin DTP, secara terpisah atau kombinasi.
Selama Indonesia belum dinyatakan WHO bebas polio liar, vaksinasi dasar
sebaiknya menggunakan vaksin polio tetes. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai
pedoman Kemenkes sebagai tambahan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang
tinggi. Hal ini diperlukan karena Indonesia rentan terhadap penyebaran virus polio
liar dari daerah endemic polio (India, Afganistan, Sudan). Mengingat OPV berisi
virus polio hidup maka diberikan saat bayi meninggalkan rumah sakit/rumah
bersalin agar tidak mencemari bayi lain karena virus polio vaksin dapat dikeluarkan
melalui tinja.
Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan,
interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi polio ulangan
diberikan satu tahun sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6
tahun).
4) Efek Samping
Efek samping yang mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.
Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer,
sedangkan dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan
antibodi sampai pada tingkat yang tertinggi. Setelah mendapatkan serangkaian
imunisasi dasar, kepada orang dewasa tidak perlu dilakukan pemberian booster
secara rutin, kecuali jika dia hendak bepergian ke daerah dimana polio masih banyak
ditemukan. Kepada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi polio
dan perlu menjalani imunisasi, sebaiknya hanya diberikan IPV.
Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah
pemberian IPV, streptomisin, polimiksin B atau neomisin, tidak boleh diberikan IPV.
Sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita gangguan sistem kekebalan (misalnya
penderita AIDS, infeksi HIV, leukemia, kanker, limfoma), dianjurkan untuk
diberikan IPV. IPV juga diberikan kepada orang yang sedang atau berat, sebaiknya
pelaksanaan imunisasi ditunda sampai mereka benar-benar pulih. IPV bisa
menyebabkan nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan, yang biasanya
berlangsung hanya selama beberapa hari
5) Kontraindikasi
a) Diare berat
b) Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid)
c) Kehamilan

d. Imunisasi Imunisasi DPT (Difteria, Pertusis, Tetanus)


1) Definisi
a) Penyakit difteri disebabkan bakteri Corynebacterium Diphtheriae. Difteri mudah
menular, menyerang terutama saluran napas bagian atas, dengan gejala demam
tinggi, pembengkakan amandel (tonsil) dan terlihat selaput putih kotor yang
makin lama makin membesar dan dapat menutup jalan napas. Racun difteri dapat
merusak otot jantung, berakibat gagal jantung. Penularan bakteri difteri
umumnya melalui udara (batuk/bersin). Selain itu, bakteri difteri dapat menular
melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
b) Pencegahan difteri paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan pertusis (vaksinasi DPT) sebanyak 3 kali sejak bayi berumur 2 bulan
dengan selang penyuntikan 1-2 bulan. Pemberian imunisasi DPT akan
memberikan kekebalan aktif terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Efek
samping imunisasi DPT yang mungkin timbul adalah demam, nyeri dan bengkak
pada permukaan kulit. Cara mengatasinya cukup diberikan obat penurun panas
c) Penyakit pertusis atau batuk rejan atau “Batuk Seratus Hari“ disebabkan bakteri
Bordetella Pertussis. Gejala pertusis khas yaitu batuk terus menerus, sukar
berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan dan muntah kadang-kadang
bercampur darah. Batuk pertusis diakhiri tarikan napas panjang dan dalam dan
berbunyi melengking.
d) Penularan bakteri pertusis umumnya melalui udara (batuk/bersin). Bakteri
pertusis juga dapat menular melalui benda atau makanan yang terkontaminasi.
Pencegahan pertusis paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan
tetanus dan difteri (vaksinasi DPT) sebanyak 3 kali sejak bayi berumur 2 bulan
dengan selang penyuntikan 1-2 bulan.
e) Penyakit tetanus berbahaya karena mempengaruhi sistem urat saraf dan otot.
Gejala tetanus diawali dengan kejang otot rahang (trismus atau kejang mulut),
pembengkakan, rasa sakit dan kejang di otot leher, bahu atau punggung. Kejang-
kejang segera merambat ke otot perut, lengan atas dan paha.
f) Neonatal tetanus umum terjadi pada bayi baru lahir. Neonatal tetanus menyerang
bayi baru lahir karena dilahirkan di tempat kotor dan tidak steril, terutama jika
tali pusar terinfeksi. Neonatal tetanus menyebabkan kematian bayi dan banyak
terjadi di negara berkembang. Di negara-negara maju, dimana kebersihan dan
teknik melahirkan sudah maju, tingkat kematian akibat neonatal tetanus dapat
ditekan. Selain itu, antibodi dari ibu kepada jabang bayinya juga mencegah
neonatal tetanus.
g) Infeksi tetanus disebabkan bakteri Clostridium Tetani yang memproduksi toksin
tetanospasmin. Tetanospasmin menempel di area sekitar luka dan dibawa darah
ke sistem saraf otak dan saraf tulang belakang, sehingga terjadi gangguan urat
saraf, terutama saraf yang mengirim pesan ke otot. Infeksi tetanus terjadi karena
luka terpotong, terbakar, aborsi, narkoba (misalnya pememakaian silet untuk
memasukkan obat ke dalam kulit) maupun frostbite.
h) Periode inkubasi tetanus terjadi dalam waktu 3-14 hari dengan gejala mulai
timbul di hari ketujuh. Gejala neonatal tetanus mulai pada dua minggu pertama
kehidupan seorang bayi. Penyembuhan tetanus umumnya terjadi selama 4-6
minggu. Tetanus dapat dicegah dengan pemberian imunisasi sebagai
bagian vaksinasi DPT. Setelah lewat masa kanak-kanak, imunisasi tetanus terus
dilanjutkan walaupun telah dewasa, dengan vaksin TT (Tetanus Toxoid).
Dianjurkan imunisasi tetanus setiap interval 5 tahun: 25, 30, 35 dst. Wanita hamil
sebaiknya mendapat imunisasi tetanus dan melahirkan di tempat bersih dan
steril.
2) Dosis dan cara pemberian
a) Saat ini telah ada vaksin DTaP (DTP dengan komponen accelluler pertussis)
disamping vaksin DTwP (DTP dengan komponen whole cell pertussis) yang
telah dipakai selama ini. Kedua vaksin DTP tersebut dapat dipergunakan dalam
jadwal imunisasi.
b) Imunisasi dasar DTP (primary immunization) diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan
(DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8
minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur 2
bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan
booster DTP selanjutnya (DTP-4) diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu pada
umur 18-24 bulan dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
c) Dosis vaksinasi DPT: DTwP, DTaP, DT atau dT adalah 0,5 ml diberikan secara
intramuscular, baik untuk imunisasi dasar maupun ulangan.
d) Vaksin DTP dapat dikombinasi dengan vaksin lain yaitu Hepatitis B, Hib, atau
polio injeksi (IPV) sesuai jadwal.
3) Efek samping
Efek samping yang ringan, seperti demam ringan atau nyeri di tempat penyuntikan
selama beberapa hari. Efek samping tersebut terjadi karena adanya komponen
pertusis di dalam vaksin.
4) Perhatian Khusus
a) Demam > 40°C dalam 48 jam
b) Pasca DPT sebelumnya, yang
c) Tidak berhubungan dengan
d) Penyebab lain
e) Kolaps dan keadaan seperti syok (episode hipotonik-hiporesponsif) dalam 48
jam pasca DPT sebelumnya
f) Kejang dalam 3 hari pasca DPT sebelumnya
g) Menangis terus >3 jam dalam 48jam pasca DPT sebelumnya
h) Sindrom Guillain-Barre dalam 6

e. Imunisasi Campak
1) Definisi
Campak adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus. Virus
campak (measles virus) adalah anggota dari genusMorbilivirus pada keluarga
Paramyxoviridae. Virus ini berdiameter 100-200 nm, dengan inti RNA beruntai
tunggal. Dua membran protein yang membungkus penting dalam patogenesis.
Mereka adalah protein F (fusion), yang bertanggung jawab untuk fusi virus dan sel
inang membran, penetrasi virus, dan hemolisis, dan protein H (hemaglutinin), yang
bertanggung jawab untuk adsorpsi virus ke sel. Hanya ada satu jenis antigen virus
campak. Meskipun penelitian telah mendokumentasikan perubahan dalam
glikoprotein H, perubahan ini tidak tampak secara epidemiologis penting (yaitu,
tidak ada perubahan dalam efikasi vaksin telah diamati). Virus campak cepat untuk
tidak aktif oleh panas, cahaya, pH asam, eter, dan tripsin. Memiliki waktu hidup
yang singkat (kurang dari 2 jam) di udara atau pada objek dan permukaan.
Virus campak (Measles Virus) adalah patogen pernafasan yang sangat menular
yang menyebabkan penyakit sistemik; kebanyakan orang sembuh dengan kekebalan
seumur hidup untuk virus campak. Kemajuan besar menuju eliminasi campak telah
dibuat di seluruh dunia, sebagian besar karena ketersediaan vaksin yang aman dan
efektif. Namun, infeksi campak masih menyebabkan 500.000 kematian setiap
tahunnya, sebagian besar disebabkan oleh infeksi oportunistik berikutnya terkait
dengan virus campak yang menginduksi supresi imun. Sebelum pengenalan vaksin
dan program pemberantasan global yang dikoordinasikan oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO), angka kematian global masih tinggi, sekitar 7-8 juta anak-anak setiap
tahunnya. Pengenalan vaksin campak hidup telah secara signifikan mengurangi
kejadian campak akut di negara-negara industri. Namun di negara-negara
berkembang, campak masih merupakan masalah kesehatan yang penting dan virus
pembunuh utama anak-anak.
2) Dosis dan cara pemberian
a) Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara sub-
kutan dalam, pada umur 9 bulan.
b) Departemen Kesehatan mengubah strategi reduksi dan eliminasi campak.
Disamping imunisasi umur 9 bulan, diberikan juga imunisasi campak
kesempatan kedua (second opportunity pada crash program campak) pada umur
6-59 bulan dan SD kelas 1-6. Crash program campak ini telah dilakukan secara
bertahap (5 tahap) di semua provinsi pada tahun 2006 dan 2007.
c) Selanjutnya imunisasi campak dosis kedua diberikan pada program school based
catch-up campaign, yaitu secara rutin pada anak sekolah SD kelas 1 dalam
program BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah).
d) Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia 15-18 bulan dan ulangan
umur 6 tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak diperlukan
3) Efek Samping
Efek samping yang mungkin terjadi berupa demam, ruam kulit, diare, konjungtivitis
serta ensefalitis (jarang).
4) Kontraindikasi

Vaksin Kontraindikasi Perkiraan


Campak, - Reaksi alergi yang parah - Penyakit akut sedang atau
gondok, (misalnya, anafilaksis) setelah berat dengan atau tanpa
rubella dosis sebelumnya atau komponen demam
(MMR) vaksin - Baru-baru ini (dalam 11
- Disebut immunodeficiency parah bulan) menerima produk
(misalnya, dari hematologi dan darah antibodi yang
tumor padat, penerimaan mengandung (interval
kemoterapi, imunodefisiensi tertentu tergantung pada
kongenital, atau jangka panjang produk)
imunosupresif therapy atau pasien - Sejarah trombositopenia atau
dengan human immunodeficiency thrombocytopenic purpura
virus [HIV] infeksi yang parah - Perlu untuk testing kulit
immunocompromised) tuberkulin
Reaksi parah setelah imunisasi campak jarang terjadi. Di Amerika Serikat, gangguan
neurologis, termasuk ensefalitis dan ensefalopati, telah dilaporkan terjadi kira-kira
sekali untuk setiap juta dosis vaksin yang diberikan . Namun, tingkat kejadian
ensefalitis atau ensefalopati yang dilaporkan terjadi setelah imunisasi campak lebih
rendah dari tingkat kejadian yang diamati dari etiologi ensefalitis yang tidak
diketahui, dan merupakan 2 per 1 juta anak per periode dalam 28-hari. Hal ini
menunjukkan bahwa beberapa gangguan neurologis parah yang dilaporkan mungkin
tidak disebabkan oleh imunisasi campak tetapi terkait hanya dalam waktu. Di
Inggris, studi National Childhood Encephalopathy menemukan hubungan yang
signifikan secara statistik antara onset penyakit neurologis akut dan imunisasi
campak diberikan 7-14 hari sebelum timbulnya penyakit pada kasus dibandingkan
dengan kontrol.

f. Imunisasi Hib
1) Definisi
Penyakit Hib disebabkan bakteri Haemophilus Influenza type B (Hib). Hib
biasa menyerang anak di bawah 5 tahun. Penularan Hib melalui kontak dengan
penderita Hib. Jika bakteri Hib berada di rongga hidung atau tenggorokan, mungkin
tidak menyebabkan sakit. Namun bakteri Hib dapat masuk ke paru-paru dan
peredaran darah dan menyebabkan penyakit serius. Sebelum ditemukannya vaksin
Hib, penyakit Hib merupakan penyebab utama radang selaput otak (meningitis) pada
anak di bawah 5 tahun. Meningitis menyebabkan kerusakan otak dan medulla
spinalis. Hib juga menyebabkan pneumonia, infeksi berat di tenggorokan, infeksi
pada persendian, tulang dan selaput jantung, bahkan kematian. Anak di atas 5 tahun
tidak perlu mendapatkan vaksin Hib. Namun dalam kondisi tertentu, vaksinasi Hib
perlu diberikan, seperti penderita sickle cell, HIV, pengangkatan limpa, transplantasi
sumsum tulang atau penderita kanker yang sedang menjalani kemoterapi.
Haemophilus influenzae tipe B adalah kuman penyebab UTAMA pneumonia
(radang paru) dan meningitis (radang selaput otak) pada anak kurang dari 5 tahun.
WHO menyatakan saat ini Hib merupakan penyebab dari 3 juta kasus meningitis dan
pneumonia di dunia, dengan 400.000 kematian setiap tahunnya. Di Indonesia
dilaporkan bahwa Hib di temukan pada 33% diantara kasus meningitis dan
bertanggung jawab terhadap 5-18% kejadian peumonia.

Gambar 1.1. Haemophilus Influenza Infections

2) Jenis Vaksin
Vaksin Hib merupakan vaksin konjugat, artinya antigennya dikojugasikan
(digabung) dengan protein lain untuk meningkatkan kekuatannya. Di Indonesia ada
2 jenis vaksin :
a. PRP-OMP : konjugasi dengan protein luar di Nesisseria meningitis
b. PRP-TP : konjugasi dengan protein tetanus
Jenis Hib yang beredar di Indonesia adalah vaksin konjugasi dengan tetanus toksoid
(PRP-TP). Vaksin Hib ada yang berupa Hib tunggal artinya tidak digabung dengan
vaksin lain, misalnya Act-Hb dan Hiberix. Ada juga vaksin Hib yang di
kombinasikan dengan vaksin lain, misalnya digabung vaksin DPT, misalnya pediacel
dan Tetract-Hib. Vaksin kombinasi lebih di sukai karena mengurangi jumlah sutikan
pada anak
3) Jadwal
a. Vaksin Hib di berikan sejak umur 2 bulan
b. PRP-OMP diberikan 2 kali, PRP-TP diberikan 3 kali dengan jarak 2 bulan
c. Ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir
d. Vaksin tidak boleh diberikan sebelumbayi berumur 2 bulan karena bayi tersebut
belum dapat membentuk antibodi.
e. 1 dosis vaksin Hib berisi 0,5 ml, diberikan secara IM
f. Apabila anak datang pada umur 1-5 tahun, Hib hanya diberikan 1 kali
4) Cara Pemberian
Vaksin HiB dapat diberikan secara terpisah maupun kombinasi dengan vaksin lain.
Cara pemberiannya disuntikkan di bagian paha kaki bayi.
5) Efek samping
Setelah di imunisasi HiB umumnya bayi tidak mengalami efek samping atau dampak
buruk yang berarti. Artinya efek imunisasi HiB yang ditimbulkan cukup ringan.
Kalau pun ada nyeri di bagian yang disuntik itu merupakan sesuatu yang wajar.
6) Indikasi dan kontra indikasi
HIB tidak boleh diberikan ada anak yang sakit atau kekebalannya sedang menurun
untuk menghindari efek samping yang mungkin terjadi.
Kontra indikasi dari pemberian HIB adalah anak yang hipersensitivitas terhadap
komponen vaksin, anak dengan riwayat kejang demam dan pana lebih dari 38 ◦C
atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau kelainan saraf.
Kondisi dimana imunisasi tidak dapat diberikan:
- Sakit berat dan akut; Demam tinggi;
- Reaksi alergi yang berat atau reaksi anafilaktik;
Bila anak menderita gangguan sistem imun berat (sedang menjalani terapi steroid
jangka lama, HIV) tidak boleh diberi vaksin.

g. Imunisasi Pentavalen
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mencanangkan program imunisasi
baru dengan pemberian vaksin pentavalent untuk balita mulai usia dua bulan. Dengan
vaksin pentavalen ini, maka dalam sekali pemberian vaksin, setiap balita dapat tercegah
dari lima penyakit sekaligus yaitu penyakit Difteri, Tetanus, Pertusis (batuk
rejan), Hepatitis B dan penyakit akibat infeksi oleh Haemophylus influenza tipe B
(HiB). Penggabungan lima antigen ini dimungkinkan karena jadwal pemberian kelima
antigen itu sama, yaitu pada saat bayi berusia dua bulan, tiga bulan dan empat bulan.
Dosis Pentavalen 0,5 ml yang mengandung zat aktif : Toksoid Difteri murni 20
Lf (k. 30 IU), Toksoid Tetanus murni 5 Lf 60 IU), B. pertussis inaktif 12 OU (k 4 IU),
HBsAg 10 mcg; Konjugat Hib 10 mcg dan Zat tambahan berupa : aluminium fosfat 0,33
mg, serta Thimerosal 0,025 mg. Merangsang tubuh membentuk antibodi terhadap difter-
i, tetanus, pertusis, hepatitis B, dan Haemophilus influenza tipe b.
1) Cara Pemberian
Vaksin harus disuntikkan secara intramuskular. Penyuntikan sebaiknya dilakukan
pada anterolateral paha atas. Penyuntikan pada bagian bokong anak dapat
menyebabkan luka saraf siatik dan tidak dianjurkan. Suntikan tidak boleh diberikan
ke dalam kulit karena dapat meningkatkan reaksi lokal. Satu dosis anak adalah 0,5
mL
2) Jadwal Imunisasi
Pentabio (Vaksin DTP-HB-Hib) TIDAK BOLEH digunakan pada bayi yang baru
lahir. Di negara-negara dimana pertusis menjadi bahaya tertentu pada bayi, vaksin ini
harus dimulai secepat mungkin dengan dosis pertama pada usia 6 minggu, dan dua
dosis berikutnya diberikan dengan jarak waktu 4 minggu.
Vaksin ini aman dan efektif diberikan bersamaan dengan vaksin BCG, campak, polio
(OPV atau IPV),yellow fever dan suplemen vitamin A. Jika vaksin ini diberikan
bersamaan dengan vaksin lain, harus disuntikkan pada lokasi yang berlainan. Vaksin
ini tidak boleh dicampur dalam satu vial atau syringe dengan vaksin lain.
3) Efek samping
Jenis dan angka kejadian reaksi simpang yang berat tidak berbeda secara
bermakna dengan vaksin DTP, Hepatitis B dan Hib yang diberikan secara terpisah.
Untuk DTP, reaksi lokal dan sistemik ringan umum terjadi. Beberapa reaksi lokal
sementara seperti bengkak, nyeri dan kemerahan pada lokasi suntikan disertai
demam dapat timbul dalam sejumlah besar kasus. Kadang-kadang reaksi berat
seperti demam tinggi, irritabilitas (rewel), dan menangis dengan nada tinggi dapat
terjadi dalam 24 jam setelah pemberian. Episode hypotonic-hyporesponsive pernah
dilaporkan. Kejang demam telah dilaporkan dengan angka kejadian 1 kasus per
12.500 dosis pember-ian. Pemberian asetaminofen pada saat dan 4-8 jam setelah
imunisasi mengurangi terjadinya demam. Studi yang dilakukan oleh sejumlah
kelompok termasuk United States institute of Medicine, The Advisory Committee on
Immunization Practices, dan asosiasi dokter spesialis anak di Australia, Canada,
Inggris dan Amerika, menyimpulkan bahwa data tidak menunjukkan adanya
hubungan kausal antara DTP, dan disfungsi sistem saraf kronis pada anak. Oleh
karenanya, tidak ada bukti ilmiah bahwa reaksi tersebut mempunyai dampak
permanen pada anak..
Vaksin hepatitis B dapat ditoleransi dengan baik. Dalam studi menggunakan
plasebo sebagai kontrol, selain nyeri lokal, dilaporkan kejadian seperti myalgia dan
demam r-ingan tidak lebih sering dibandingkan dengan kelompok plasebo. Laporan
mengenai reaksi anafilaksis berat sangat jarang. Data yang ada tidak menunjukkan
adanya hubungan kausalitas antara vaksin hepatitis B dan sindroma atau kerusakan
demyelinasi termasuk gangguan sklerosis multipel , dan juga tidak ada data
epidemiologi untuk menunjang hubungan kausal antara vaksinasi hepatitis B dan
sindroma fatigue kronis, artritis, kelainan autoimun, asthma, sindroma kematian
mendadak pada bayi, atau diabetes.
Vaksin Hib ditoleransi dengan baik. Reaksi lokal dapat terjadi dalam 24 jam
setelah vaksinasi dimana pener•ma vaksin dapat merasakan nyeri pada lokasi
penyuntikkan. Reaksi ini biasanya bersifat ringan dan sementara. Pada umumnya,
akan sembuh dengan sendir-inya dalam dua atau tiga hari, dan tidak memedukan
tindakan medis lebih lanjut. Reaksi sistemik ringan, termasuk demam, jarang terjadi
setelah penyuntikkan vaksin Hib. Reaksi berat lainnya sangat jarang; hubungan
kausalitas antara reaksi berat lainnya dan vaksin belum pernah ditegakkan.
4) Indikasi
Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan),
hepatitis B, dan infeksi Haemophilus influenzae tipe b secara simultan.
5) Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap komponen vaksin, atau reaksi berat terhadap dosis vaksin
kombinasi sebelumnya atau bentuk-bentuk reaksi sejenis lainnya merupakan
kontraindikasi absolut terhadap dosis berikutnya. Terdapat beberapa kontraindikasi
terhadap dosis pertama DTP ; kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir
atau kelainan saraf serius lainnya merupakan kontraindikasi terhadap komponen
pertusis. Dalam hal ini vaksin tidak boleh diber-ikan sebagai vaksin kombinasi,
tetapi vaksin DT harus diberikan sebagai pengganti DTP, vaksin Hepatitis B dan Hib
diber-ikan secara terpisah. Vaksin tidak akan membahayakan individu yang sedang
atau sebelumnya telah terinfeksi virus hepatitis B.

2.3 Imunsasi Pilihan


Imunisasi pilihan adalah imunisasi lain yang tidak termasuk dalam imunisasi wajib, namun
penting diberikan pada bayi, anak, dan dewasa karena mengingat bahwa di Indonesia beban
penyakit dari masing-masing penyakit yang ada. Yang termasuk dalam imunisasi pilihan ini
adalah (PMK, No 42 Tahun 2013):
a. Vaksin Measles Mumps Rubella
1) Definisi

2) Indikasi
a) Vaksin MMR harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan
dan rubella atau sudah mendapatkan imunisasi campak.
b) Anak dengan penyakit kronis seperti kistik fibrosis, kelainan jantung bawaan,
kelainan ginjal bawaan, gagal tumbuh, sindrom Down.
c) Anak berusia ≥ 1 tahun yang berada di day care centre, family day care dan
playgroups.
d) Anak yang tinggal di lembaga cacat mental.

3) Kontraindikasi
a) Anak dengan penyakit keganasan yang tidak diobati atau dengan gangguan
imunitas, yang mendapat pengobatan dengan imunosupresif atau terapi sinar atau
mendapat steroid dosis tinggi (ekuivalen dengan 2 mg/kgBB/hari prednisolon)
b) Anak dengan alergi berat (pembengkakan pada mulut atau tenggorokan, sulit
bernapas, hipotensi dan syok) terhadap gelatin atau neomisin
c) Pemberian MMR harus ditunda pada anak dengan demam akut, sampai penyakit
ini sembuh
d) Anak yang mendapat vaksin hidup yang lain (termasuk BCG dan vaksin virus
hidup) dalam waktu 4 minggu. Pada keadaan ini imunisasi MMR ditunda lebih
kurang 1 bulan setelah imunisasi yang terakhir. Individu dengan tuberkulin positif
akan menjadi negatif setelah pemberian vaksin
e) Wanita hamil tidak dianjurkan mendapat imunisasi MMR (karena komponen
rubela) dan dianjurkan untuk tidak hamil selama 3 bulan setelah mendapat
suntikan MMR.
f) Vaksin MMR tidak boleh diberikan dalam waktu 3 bulan setelah pemberian
imunoglobulin atau transfusi darah yang mengandung imunoglobulin (whole
blood, plasma). Dengan alasan yang sama imunoglobulin tidak boleh diberikan
dalam waktu 2 minggu setelah vaksinasi.
g) Defisiensi imun bawaan dan didapat (termasuk infeksi HIV). Sebenarnya HIV
bukan kontra indikasi, tetapi pada kasus tertentu, dianjurkan untuk meminta
petunjuk pada dokter spesialis anak (konsultan).

4) Dosis
Dosis tunggal 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan dalam.
5) Jadwal pemberian
a) Diberikan pada usia 12–18 bulan.
b) Pada populasi dengan insidens penyakit campak dini yang tinggi, imunisasi
MMR dapat diberikan pada usia 9 (sembilan) bulan.

b. Haemophilllus influenzae tipe b (Hib)


1) Definisi
Vaksin Hib adalah vaksin polisakarida konyugasi dalam bentuk liquid, yang dapat
diberikan tersendiri atau dikombinasikan dengan vaksin DPaT (tetravalent) atau
DpaT/HB (pentavalent) atau DpaT/HB/IPV (heksavalent).
2) Indikasi
3) Kontraindikasi
Vaksin tidak boleh diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan karena bayi tersebut
belum dapat membentuk antibodi
4) Dosis

5) Jadwal pemberian
a) Vaksin Hib diberikan sejak umur 2 bulan, diberikan sebanyak 3 kali dengan jarak
waktu 2 bulan.
b) Dosis ulangan umumnya diberikan 1 tahun setelah suntikan terakhir.

c. Vaksin tifoid
1) Jenis
a) Vaksin tifoid oral
1. Dibuat dari kuman Salmonella typhi galur non patogen yang telah
dilemahkan, menimbulkan respon imun sekretorik IgA, mempunyai reaksi
samping yang lebih rendah dibandingkan vaksin parenteral.
2. Kemasan dalam bentuk kapsul.
3. Penyimpanan pada suhu 2 – 80C.
b) Vaksin tifoid polisakarida parenteral
1. Susunan vaksin polisakarida: setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella
typhii; polisakarida 0,025 mg; fenol dan larutan bufer yang mengandung
natrium klorida, disodium fosfat, monosodium fosfat.
2. Penyimpanan pada suhu 2 – 80C, jangan dibekukan
3. Kadaluwarsa dalam 3 tahun
2) Indikasi
a) Vaksin tifoid oral diberikan untuk anak usia ≥ 6 tahun.
b) Vaksin Polisakarida Parenteral diberikan untuk anak usia ≥ 2 tahun.
3) Kontra Indikasi
a) Vaksin Tifoid Oral
1. Vaksin tidak boleh diberikan bersamaan dengan antibiotik, sulfonamid atau
antimalaria yang aktif terhadap Salmonella.
2. Pemberian vaksin polio oral sebaiknya ditunda dua minggu setelah
pemberian terakhir dari vaksin tifoid oral (karena vaksin ini juga
menimbulkan respon yang kuat dari interferon mukosa)
b) Vaksin tifoid polisakarida parenteral
1. Alergi terhadap bahan-bahan dalam vaksin.
2. Pada saat demam, penyakit akut maupun penyakit kronik progresif.

4) Dosis dan Jadwal


a) Vaksin tifoid oral
1. Satu kapsul vaksin dimakan tiap hari, satu jam sebelum makan dengan
minuman yang tidak lebih dari 370C, pada hari ke 1, 3 dan 5.
2. Kapsul ke 4 diberikan pada hari ke 7 terutama bagi turis.
3. Kapsul harus ditelan utuh dan tidak boleh dibuka karena kuman dapat mati
oleh asam lambung.
4. Imunisasi ulangan diberikan tiap 5 tahun. Namun pada individu yang terus
terekspose dengan infeksi Salmonella sebaiknya diberikan 3–4 kapsul tiap
beberapa tahun.
5. Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, walaupun telah mendapatkan
imunisasi tetap dianjurkan untuk memilih makanan dan minuman yang
higienis.
b) Vaksin tifoid polisakarida parenteral
1. Dosis 0,5 ml suntikan secara intra muskular atau subkutan pada daerah
deltoid atau paha
2. Imunisasi ulangan tiap 3 tahun
3. Daya proteksi vaksin ini hanya 50%-80%, walaupun telah mendapatkan
imunisasi tetap dianjurkan untuk memilih makanan dan minuman yang
higienis

d. Vaksin Varisela
1) Definisi
a) Vaksin virus hidup varisela-zoster yang dilemahkan terdapat dalam bentuk bubuk
kering
b) Penyimpanan pada suhu 2–80C
c) Vaksin dapat diberikan bersama dengan vaksin MMR (MMR/V)
d) Infeksi setelah terpapar apabila telah diimunisasi dapat terjadi pada 1%-2% kasus
setahun, tetapi infeksi umumnya bersifat ringan
2) Indikasi
a) Vaksin diberikan mulai umur masuk sekolah (5 tahun)
b) Pada anak ≥ 13 tahun vaksin dianjurkan untuk diberikan dua kali selang 4
minggu
c) Pada keadaan terjadi kontak dengan kasus varisela, untuk pencegahan vaksin
dapat diberikan dalam waktu 72 jam setelah penularan (dengan persyaratan:
kontak dipisah/tidak berhubungan
3) Kontra indikasi
a) Demam tinggi
b) Hitung limfosit kurang dari 1200/μl atau adanya bukti defisiensi imun selular
seperti selama pengobatan induksi penyakit keganasan atau fase radioterapi
c) Pasien yang mendapat pengobatan dosis tinggi kortikosteroid (2 mg/kgBB per
hari atau lebih)
d) Alergi neomisin
4) Jadwal pemberian
a) Dosis 0,5 ml suntikan secara subkutan, dosis tunggal
e. Vaksin Hepatitis A
1) Definisi
Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Pemberian bersama
vaksin lain tidak mengganggu respon imun masing-masing vaksin dan tidak
meningkatkan frekuensi efek samping.
2) Indikasi
a) Populasi risiko tinggi tertular Virus Hepatitis A (VHA).
b) Anak usia ≥ 2 tahun, terutama anak di daerah endemis. Pada usia >2 tahun
antibodi maternal sudah menghilang. Di lain pihak, kehidupan sosialnya semakin
luas dan semakin tinggi pula paparan terhadap makanan dan minuman yang
tercemar.
c) Pasien Penyakit Hati Kronis, berisiko tinggi hepatitis fulminan bila tertular
VHA.
d) Kelompok lain: pengunjung ke daerah endemis; penyaji makanan; anak usia 2–3
tahun di Tempat Penitipan Anak (TPA); staf TPA; staf dan penghuni institusi
untuk cacat mental; pria homoseksual dengan pasangan ganda; pasien
koagulopati; pekerja dengan primata bukan manusia; staf bangsal neonatologi.
3) Kontraindikasi
Vaksin VHA tidak boleh diberikan kepada individu yang mengalami reaksi berat
sesudah penyuntikan dosis pertama.
4) Jadwal pemberian
a) Dosis vaksin bervariasi tergantung produk dan usia resipien
b) Vaksin diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster bervariasi antara 6 sampai
18 bulan setelah dosis pertama, tergantung produk
c) Vaksin diberikan pada usia ≥ 2 tahun

f. Vaksin Influenza
1) Definisi
a) Vaksin influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus).
b) Vaksin influenza mengandung antigen dari dua sub tipe virus influenza A dan satu
sub tipe virus influenza B, subtipenya setiap tahun direkomendasikan oleh WHO
berdasarkan surveilans epidemiologi seluruh dunia
c) Untuk menjaga agar daya proteksi berlangsung terus-menerus, maka perlu
dilakukan vaksinasi secara teratur setiap tahun, menggunakan vaksin yang
mengandung galur yang mutakhir.
d) Vaksin influenza inaktif aman dan imunogenesitas tinggi.
e) Vaksin influenza harus disimpan dalam lemari es dengan suhu 2º- 8ºC. Tidak
boleh dibekukan
2) Indikasi
a) Semua orang usia ≥ 65 tahun
b) Anak dengan penyakit kronik seperti asma, diabetes, penyakit ginjal dan
kelemahan sistem imun
c) Anak dan dewasa yang menderita penyakit metabolik kronis, termasuk diabetes,
penyakit disfungsi ginjal, hemoglobinopati dan imunodefisiensi
d) Orang yang bisa menularkan virus influenza ke seseorang yang berisiko tinggi
mendapat komplikasi yang berhubungan dengan influenza, seperti petugas
kesehatan dan petugas di tempat perawatan dan orang-orang sekitarnya, semua
orang yang kontak serumah, pengasuh anak usia 6–23 bulan, dan orang-orang
yang melayani atau erat dengan orang yang mempunyai risiko tinggi
e) Imunisasi influenza dapat diberikan kepada anak sehat usia 6–23 bulan
3) Kontraindikasi
a) Individu dengan hipersensitif anafilaksis terhadap pemberian vaksin influenza
sebelumnya dan protein telur jangan diberi vaksinasi influenza
b) Termasuk ke dalam kelompok ini seseorang yang setelah makan telur mengalami
pembengkakan bibir atau lidah, atau mengalami distres nafas akut atau pingsan
c) Vaksin influenza tidak boleh diberikan pada seseorang yang sedang menderita
penyakit demam akut yang berat
4) Jadwal pemberian dan dosis
a) Dosis untuk anak usia kurang dari 2 tahun adalah 0,25 ml dan usia lebih dari 2
tahun adalah 0,5 ml
b) Untuk anak yang pertama kali mendapat vaksin influenza pada usia ≤ 8 tahun,
vaksin diberikan 2 dosis dengan selang waktu minimal 4 minggu, kemudian
imunisasi diulang setiap tahun
c) Vaksin influenza diberikan secara suntikan intra muskular di otot deltoid pada
orang dewasa dan anak yang lebih besar, sedangkan untuk bayi diberikan di paha
anterolateral
d) Pada anak atau dewasa dengan gangguan imun, diberikan dua (2) dosis dengan
jarak interval minimal 4 minggu, untuk mendapatkan antibodi yang memuaskan
e) Bila anak usia ≥ 9 tahun cukup diberikan satu kali saja, teratur, setiap tahun satu
kali
g. Vaksin Pneumokokus
1) Definisi
Terdapat dua macam vaksin pneumokokus yaitu vaksin pneumokokus polisakarida
(pneumococcal polysacharide vaccine/PPV) dan vaksin pneumokokus polisakarida
konyugasi (pneumococcal conjugate vaccine/PCV).
Tabel Perbandingan PPV dan PCV

2) Indikasi
a) Vaksin Pneumokokus polisakarida (PPV) diberikan pada:
1. Lansia usia > 65 tahun
2. Anak usia > 2 tahun yang mempunyai risiko tinggi IPD (Invasive
Pneumococcal Disease) yaitu anak dengan asplenia (kongenital atau didapat),
penyakit sickle cell, splenic dysfunction dan HIV. Imunisasi diberikan dua
minggu sebelum splenektomi
3. Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom
nefrotik, multipel mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi
organ
4. Pasien usia > 2 tahun dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis
yaitu penyakit paru atau ginjal kronis, diabetes
5. Pasien usia > 2 tahun kebocoran cairan serebrospinal
b) Vaksin polisakarida konjugat (PVC) direkomendasikan pada:
1. Semua anak sehat usia 2 bulan–5 tahun
2. Anak dengan risiko tinggi IPD termasuk anak dengan asplenia baik kongenital
atau didapat, termasuk anak dengan penyakit sickle cell, splenic dysfunction
dan HIV. Imunisasi diberikan dua minggu sebelum splenektomi
3. Pasien dengan imunokompromais yaitu HIV/AIDS, sindrom nefrotik, multipel
mieloma, limfoma, penyakit Hodgkin, dan transplantasi organ
4. Pasien dengan imunokompeten yang menderita penyakit kronis yaitu penyakit
paru atau ginjal kronis, diabetes
5. Pasien kebocoran cairan serebrospinal
6. Selain itu juga dianjurkan pada anak yang tinggal di rumah yang huniannya
padat, lingkungan merokok, di panti asuhan dan sering terserang akut otitis
media
3) Kontra Indikasi

4) Jadwal pemberian dan dosis


a) Vaksin PCV diberikan pada bayi umur 2, 4, 6 bulan dan diulang pada umur 12-15
bulan
b) Pemberian PCV minimal umur 6 minggu
c) Interval antara dua dosis 4-8 minggu
d) Paling sedikit diberikan 2 bulan setelah dosis PCV ketiga
e) Apabila anak datang setelah berusia lebih dari 7 bulan maka diberikan jadwal dan
dosis seperti pada tabel berikut ini:
Tabel Jadwal dan dosis vaksin polisakarida konjugat (PVC) untuk anak datang setelah
berusia lebih dari 7 bulan
h. Vaksin Rotavirus
Terdapat dua jenis Vaksin Rotavirus (RV) yang telah ada di pasaran yaitu vaksin
monovalent dan pentavalent. Vaksin monovalent oral berasal dari human RV vaccine
RIX 4414, dengan sifat berikut:
1) Live, attenuated, berasal dari human RV/galur 89 – 12
2) Monovalen, berisi RV tipe G1, P1A (P8), mempunyai neutralizing epitope yang
sama dengan RV tipe G1, G3, G4 dan G9 yang merupakan mayoritas isolat yang
ditemukan pada manusia
3) Vaksin diberikan secara oral dengan dilengkapi bufer dalam kemasannya
4) Pemberian dalam 2 dosis pada usia 6–12 minggu dengan interval 8 minggu
Sedangkan vaksin pentavalent oral merupakan kombinasi dari strain yang diisolasi dari
human dan bovine yang bersifat:
1) Live, attenuated, empat reassortant berasal dari human G1,G2,G3 dan G4 serta
bovine P7. Reassortant kelima berasal dari bovine G6P1A(8).
2) Pemberian dalam 3 (tiga) dosis dengan interval 4 – 10 minggu sejak pemberian dosis
pertama
3) Dosis pertama diberikan umur 2 bulan. Vaksin ini maksimal diberikan pada saat bayi
berumur 8 bulan.
Pemberian vaksin rotavirus diharapkan selesai pada usia 24 minggu

i. Vaksin Japanese Ensephalitis


1) Vaksin diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari ke 0,7
dan ke 28. Untuk anak yang berumur 1–3 tahun dosis yang diberikan masing-masing
0,5 ml dengan jadwal yang sama
2) Booster diberikan pada individu yang berisiko tinggi dengan dosis 1 ml tiga tahun
kemudian
j. Vaksin Human Papiloma Virus
1) Definisi
Vaksin HPV yang telah beredar di Indonesia dibuat dengan teknologi rekombinan.
Vaksin HPV berpotensi untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan infeksi HPV. Terdapat dua jenis vaksin HPV yaitu:
a) Vaksin bivalen (tipe 16 dan 18)
b) Vaksin quadrivalen (tipe 6, 11, 16 dan 18)
Vaksin HPV mempunyai efikasi 96–98% untuk mencegah kanker leher rahim yang
disebabkan oleh HPV tipe 16/18.
2) Indiikasi
Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan sejak usia > 10 tahun
3) Dosis dan Jadwal:
a) Dosis 0,5 ml, diberikan secara intra muskular pada daerah deltoid
b) Vaksin HPV bivalen, jadwal 0,1 dan 6 bulan pada anak usia lebih dari 10 tahun
c) Vaksin HPV quadrivalen, jadwal 0,2 dan 6 bulan pada anak usia lebih dari 10
tahun

2.4 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar


WHO merangkum rekomendasi untuk pemberian vaksin dengan tujuannya adalah untuk
membantu perencanaan untuk mengembangkan jadwal imunisasi yang tepat. Petugas
kesehatan harus mengacu pada jadwal imunisasi nasional mereka masing-masing.
Sementara vaksin secara universal dianjurkan, beberapa anak mungkin memiliki
kontraindikasi terhadap vaksin tertentu. Vaksin secara umum dapat diberikan secara
bersamaan (yaitu lebih dari satu vaksin yang diberikan pada waktu yang berbeda selama
kunjungan yang sama). Dosis dikelola oleh program mungkin atau tidak mungkin akan
menyebabkan jadwal imunisasi rutin anak tergantung pada jenis dan tujuan program
(misalnya tambahan terhadap rutinitas / program karena alasan akses) dan atau dosis
penguat tidak tersedia. Sebaliknya, kriteria untuk usia pada dosis pertama harus ditentukan
dari data epidemiologi lokal.

Umur Jenis
0 bulan Hepatitis B0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak
Tabel : Penyelenggaraan Imunisasi (Permenkes No. 42 Tahun 2013)

Rekomendasi jadwal imunisasi IDAI tahun 2014, mengakomodasi Permenkes RI no 42


tahun 2013 yang menganjurkan imunisasi booster untuk DTP-HB-Hib (18 bulan) dan
campak (24 bulan).

Keterangan:
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014
Tabel Recommended Routine Immunizations for Children
Jenis Vaksin Dosis Cara Pemberian Tempat
Hepatitis B 0,5 ml Intra muskuler Paha
BCG 0,05 ml Intra kutan Lengan kanan atas
Polio 2 tetes Oral Mulut
DPT-HB-Hib 0,5 ml Intra Muskuler Paha untuk bayi,
lengan kanan untuk
balita
Campak 0,5 ml Sub kutan Lengan kiri atas
DT 0,5 ml Intra muskuler Lengan kiri atas
Td 0,5 ml Intra muskuler Lengan kiri atas
TT 0,5 ml Intra muskuler Lengan kiri atas
Sumber: (Permenkes No 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Imunisasi)
Tabel : Dosis dan Cara Pemberian Imunisasi

2.5 Rantai Penyimpanan Vaksin


Untuk menjaga kualitas vaksin tetap tinggi sejak diterima sampai didistribusikan ketingkat
berikutnya (atau digunakan), vaksin harus selalu disimpan pada suhu yang telah ditetapkan,
yaitu :
a) Provinsi
1) Vaksin Polio disimpan pada suhu -15°C s/d -25°C pada freeze room atau freezer
2) Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2°C s/d 8°C pada coldroom atau lemari es.
b) Kabupaten/kota
1) Vaksin polio disimpan pada suhu -15°C s/d -25°C pada freezer.
2) Vaksin lainnya disimpan pada suhu 2 °C s/d 8°C pada coldroom atau lemari es.
c) Puskesmas
1) Semua vaksin disimpan pada suhu 2 °C s/d 8 °C, pada lemari es.
2) Khusus vaksin Hepatitis B, pada bidan desa disimpan pada suhu ruangan, terlindung
dari sinar matahari langsung.

Sumber : (Permenkes No 42 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan


Imunisasi)

Penyimpanan pelarut vaksin pada suhu 2°C s/d 8°C atau pada suhu ruang terhindar dari
sinar matahari langsung. Sehari sebelum digunakan, pelarut disimpan pada suhu 2°C s/d 8
°C. Beberapa ketentuan yang harus selalu diperhatikan dalam pemakaian vaksin secara
berurutan adalah paparan vaksin terhadap panas, masa kadaluwarsa vaksin, waktu
pendistribusian/penerimaan serta ketentuan pemakaian sisa vaksin.
a. Keterpaparan vaksin terhadap panas
Vaksin yang telah mendapatkan paparan panas lebih banyak (yang dinyatakan
dengan perubahan kondisi VVM A ke kondisi B) harus digunakan terlebih dahulu
meskipun masa kadaluwarsanya masih lebih panjang. Vaksin dengan kondisi VVM C
dan D tidak boleh digunakan.
b. Masa kadaluarsa vaksin
Apabila kondisi VVM vaksin sama, maka digunakan vaksin yang lebih pendek masa
kadaluwarsanya (Early Expire First Out/EEFO)
c. Waktu penerimaan vaksin (First In First Out/FIFO)
Vaksin yang terlebih dahulu diterima sebaiknya dikeluarkan terlebih dahulu. Hal ini
dilakukan dengan asumsi bahwa vaksin yang diterima lebih awal mempunyai jangka
waktu pemakaian yang lebih pendek.
d. Pemakaian Vaksin Sisa
Vaksin sisa pada pelayanan statis (Puskesmas, Rumah Sakit atau praktek swasta) bisa
digunakan pada pelayanan hari berikutnya.
Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah:
1. Disimpan pada suhu 2 °C s.d. 8 °C
2. VVM dalam kondisi A atau B
3. Belum kadaluwarsa
4. Tidak terendam air selama penyimpanan
5. Belum melampaui masa pemakaian

MASA PEMAKAIAN VAKSIN


Jenis Vaksin Masa Pemakaian Keterangan
Polio 2 minggu Cantumkan tanggal
TT 4 minggu pertama kali vaksin
DT 4 minggu digunakan
Td 4 minggu
DPT-HB-Hib 4 minggu
BCG 3 jam Cantumkan waktu
Campak 6 jam vaksin dilarutkan
Vaksin sisa pelayanan dinamis (posyandu, sekolah) tidak boleh digunakan kembali
pada pelayanan berikutnya, dan harus dibuang.
e. Monitoring vaksin dan logistik
Setiap akhir bulan atasan langsung pengelola vaksin melakukan monitoring
administrasi dan fisik vaksin serta logistik lainnya. Hasil monitoring dicatat pada
kartu stok dan dilaporkan secara berjenjang bersamaan dengan laporan cakupan
imunisasi.

1) Sarana Penyimpanan
a. Kamar dingin dan kamar beku
1. Kamar dingin (cold room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000
liter (100 M3). Suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara +2°C s/d
+8°C. Kamar dingin ini berfungsi untuk menyimpan vaksin BCG, campak, DPT,
TT, DT, hepatitis B dan DPT-HB.
2. Kamar beku (freeze room) adalah sebuah tempat penyimpanan vaksin yang
mempunyai kapasitas (volume) mulai 5.000 liter (5 M3) sampai dengan 100.000
liter (100 M3), suhu bagian dalamnya mempunyai kisaran antara -15°C s/d
-25°C. Kamar beku utamanya berfungsi untuk menyimpan vaksin polio.
3. Kamar dingin dan kamar beku umumnya hanya terdapat di tingkat provinsi
mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan
dalam jangka waktu yang cukup lama. Secara teknis sistem pendingin kamar
dingin dan kamar beku dibagi dalam 3 (tiga) sistem, yaitu:
1) Sistem pendingin dengan menggunakan “Hermatic Compressor”;
2) Sistem pendingin dengan menggunakan “Semi Hermatic Compressor”
3) Sistem pendingin dengan menggunakan “Open type Compressor”.

Aturan pengoperasian kamar dingin dan kamar beku:


1) Kamar dingin/kamar beku harus dioperasikan secara terus menerus selam 24
jam.
2) Listrik dan suhu bagian dalam harus selalu terjaga.
3) Kamar dingin/kamar beku hanya untuk menyimpan vaksin.

Setiap kamar dingin/kamar beku mempunyai atau dilengkapi dengan:


1) 2 (dua) buah cooling unit sebagai pendinginnya dan diatur agar cooling unit ini
bekerja bergantian.
2) Satu unit generator (genset) automatis atau manual yang selalu siap untuk
beroperasi bila listrik padam.
3) Alarm control yang akan berbunyi pada suhu di bawah +2°C atau pada suhu di
atas +8 °C atau pada saat power listrik padam.
4) Satu buah termograf yang dapat mencatat suhu secara automatis selama 24 jam.
5) Satu thermometer yang terpasang pada dinding luar kamar dingin atau kamar
beku.
6) Freeeze watch atau freeze-tag yang harus diletakkan pada bagian dalam kamar
dingin untuk mengetahui bila terjadi penurunan suhu dibawah 0°C.

Pemantauan kamar dingin dan kamar beku:


1) Periksa suhu pada termograf dan thermometer setiap hari pagi dan sore. Bila
terjadi penyimpangan suhu segera laporkan pada atasan;
2) Jangan masuk ke dalam kamar dingin atau kamar beku bila tidak perlu;
3) Sebelum memasuki kamar dingin atau kamar beku harus memberitahu petugas
lain;
4) Gunakan jaket pelindung yang tersedia saat memasuki kamar dingin atau
kamar beku;
5) Pastikan kamar dingin dan kamar beku hanya berisi vaksin;
6) Membuka pintu kamar dingin atau kamar beku jangan terlalu lama
7) Jangan membuat cool pack bersama vaksin di dalam kamar dingin, pembuatan
cool pack harus menggunakan lemari es tersendiri;
8) Jangan membuat cold pack bersama vaksin di dalam kamar beku, pembuatan
cold pack harus menggunakan freezer tersendiri.

b. Lemari es
Lemari es adalah tempat menyimpan vaksin BCG, Td, TT, DT, hepatitis B, Campak
dan DPT-HB-Hib, pada suhu yang ditentukan +2 °C s.d. +8 °C dapat juga
difungsikan untuk membuat kotak dingin cair (cool pack).
Freezer adalah untuk menyimpan vaksin polio pada suhu yang ditentukan antara
15°C s/d -25°C atau membuat kotak es beku (cold pack).
Sistem Pendinginan:
2) Sistem Kompresi
Pada sistem pendinginan kompresi, lemari es/freezer menggunakan
kompresor sebagai jantung utama untuk mengalirkan refrigerant (zat
pendingin) ke ruang pendingin melalui evaporator, kompresor ini digerakkan
oleh listrik AC 110 volt/220 volt/380 volt atau DC 12 volt/24 volt. Bahan
pendingin yang digunakan pada sistem ini adalah refrigerant type R-12 atau
R134a.
3) Sistem absorpsi
Pada sistem pendingin absorpsi, lemari es/freezer menggunakan pemanas litrik
(heater dengan tegangan 110 volt AC/220 volt AC/12 Volt DC) atau
menggunakan nyala api minyak tanah atau menggunakan nyala api dari gas
LPG (Propane/Butane). Panas ini diperlukan untuk menguapkan bahan
pendingin berupa amoniak (NH3) agar dapat berfungsi sebagai pendingin di
evaporator.
Perbedaan antara sistem kompresi dan absorpsi berdasarkan penggunaan di
lapangan dapat digambarkan seperti di bawah ini:
Sistem Kompresi Sistem Absorpsi
Lebih cepat dingin Pendinginan lebih lambat
Menggunakan kompresor sebagai Tidak menggunakan mekanik sehingga
mekanik yang dapat menimbulkan aus tidak ada bagian yang bergerak
sehingga tidak ada aus
Hanya dengan listrik AC/DC Dapat dengan listrik AC/DC atau nyala
api minyak tanah /gas
Bila terjadi kebocoran pada sistem Bila terjadi kebocoran pada sistem
mudah diperbaiki tidak dapat diperbaiki

Bagian yang sangat penting dari lemari es/freezer adalah thermostat. Thermostat
berfungsi untuk mengatur suhu bagian dalam pada lemari es atau freezer.
Thermostat banyak sekali tipe dan modelnya, namun hanya 2 (dua) sistem cara
kerjanya.
Cara kerja thermostat
1. Cara kerja dengan sistem mekanik Sensor (1) diletakkan di bagian dalam
lemari es/freezer, pada saat suhu di dalam lemari es/freezer menjadi rendah
maka gas yang berada di dalam bulb melalui pipa kapiler (2) akan menyusut
pula dan tekanannya menjadi turun akibatnya pada bellow akan menyusut dan
menarik kontak 4 dan 5, sehingga kompresor menjadi off (berhenti). Begitu
juga sebaliknya bila sensor yang diletakkan di bagian dalam lemari es/freezer,
pada saat suhu di dalam lemari es/freezer menjadi naik (panas) maka gas yang
berada di dalam sensor melalui pipa kapiler (2) akan mengembang pula dan
tekanannya menjadi naik akibatnya pada bellow (3) akan menekan dan
mendorong kontak 4 dan 5, sehingga kompresor menjadi on (hidup). Kesalahan
pengukuran sekitar + 2%.
2. Cara Kerja system elektronik
Sistem kerja thermostat ini menggunakan sensor berupa resistor (tahanan) yang
akan menginformasikan keadaan suhu yang dapat divisualisasikan pada layar
digital, pengaturan suhu secara elektronik dapat disesuaikan melalui setting
sehingga suhu yang dikehendaki dengan mudah dapat diketahui. Termostat ini
bekerja dengan sumber power listrik 12 volt atau 220 volt, kesalahan
pengukuran + 0,1%.
 Bila suhu pada lemari es sudah stabil antara +2 °C s.d. +8 °C, maka posisi
thermostat jangan dirubah-rubah BERI SELOTIP
 Merubah thermostat bila suhu pada lemari es di bawah +2 °C atau di atas
+8 °C
 Perubahan thermostat tidak dapat merubah suhu lemari es dalam sesaat
 Perubahan suhu dapat diketahui setelah 24 jam

Bentuk pintu lemari es/ freezer


1. Bentuk buka dari depan (front opening)
Lemari es/freezer dengan bentuk pintu buka dari depan banyak digunakan
dalam rumah tangga atau pertokoan, seperti: untuk meyimpan makanan,
minuman, buah-buahan yang sifat penyimpanannya sangat terbatas. Bentuk
ini tidak dianjurkan untuk penyimpanan vaksin.
2. Bentuk buka keatas (top opening)
Bentuk top opening pada umumnya adalah freezer yang biasanya digunakan
untuk menyimpan bahan makanan, ice cream, daging atau lemari es untuk
penyimpanan vaksin. Salah satu bentuk lemari es top opening adalah ILR (Ice
Lined Refrigerator) yaitu: freezer yang dimodifikasi menjadi lemari es dengan
suhu bagian dalam +2°C s/d +8°C, hal ini dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan akan volume penyimpanan vaksin pada lemari es. Modifikasi
dilakukan dengan meletakkan kotak dingin cair (cool pack) pada sekeliling
bagian dalam freezer sebagai penahan dingin dan diberi pembatas berupa
aluminium atau multiplex atau acrylic plastic.

Perbedaan antara bentuk pintu buka depan dan bentuk pintu buka ke atas
Bentuk buka dari depan Bentuk buka dari atas
Suhu tidak stabil Suhu lebih stabil
Pada saat pintu lemari es dibuka ke depan Pada saat pintu lemari es dibuka ke
maka suhu dingin dari atas akan turun ke atas maka suhu dingin dari atas akan
bawah dan keluar turun ke bawah dan tertampung
Bila listrik padam relative tidak dapat Bila listrik pada relatif suhu dapat
bertahan lama bertahan lama
Jumlah vaksin yang dapat ditampung Jumlah vaksin yang dapat ditampung
sedikit lebih banyak
Susunan vaksin menjadi mudah dan Penyusunan vaksin agak sulit karena
vaksin terlihat jelas dari samping depan vaksin bertumpuk dan tidak jelas
dilihat dari atas

c. Alat pembawa vaksin


1) Cold box adalah suatu alat untuk menyimpan sementara dan membawa vaksin.
Pada umumnya memiliki volume kotor 40 liter dan 70 liter. Kotak dingin (cold
box) ada 2 macam yaitu terbuat dari plastic atau kardus dengan insulasi
poliuretan.
2) Vaccine carrier adalah alat untuk mengirim/membawa vaksin dari puskesmas
ke posyandu atau tempat pelayanan imunisasi lainnya yang dapat
mempertahankan suhu +2 °C s/d +8 °C.

d. Alat untuk mempertahankan suhu


1) Kotak dingin beku (cold pack) adalah wadah plastic berbentuk segi empat yang
diisi dengan air yang dibekukan dalam freezer dengan suhu -15 °C s/d -25 °C
selama minimal 24 jam.
2) Kotak dingin cair (cool pack) adalah wadah plastik berbentuk segi empat yang
diisi dengan air kemudian didinginkan dalam lemari es dengan suhu +2°C s/d
+8°C selama minimal 24 jam

e. Pemeliharaan sarana Cold Chain


1) Pemeliharaan harian
a. Melakukan pengecekan suhu dengan menggunakan
Thermometer atau alat pemantau suhu digital setiap pagi dan sore, termasuk
hari libur.
b. Memeriksa apakah terjadi bunga es dan memeriksa ketebalan
Bunga es. Apabila bunga es lebih dari 0,5 cm lakukan defrosting (pencairan
bunga es).
c. Melakukan pencatatan langsung setelah pengecekan suhu
Pada thermometer atau pemantau suhu dikartu pencatatan suhu setiap pagi
dan sore.
2) Pemeliharaan Mingguan
a. Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan obeng untuk
mengencangkan baut.
b. Melakukan pengamatan terhadap tanda-tanda steker hangus dengan
melihat perubahan warna pada steker, jika itu terjadi gantilah steker
dengan yang baru.
c. Agar tidak terjadi konsleting saat membersihkan badan lemari es, lepaskan
steker dari stop kontak. Lap basah, kuas yang lembut/spon busa dan sabun
dipergunakan untuk membersihkan badan lemari es.
d. Keringkan kembali badan lemari es dengan lap kering.
e. Selama membersihkan badan lemari es, jangan membuka pintu lemari es
agar suhu tetap terjaga °s.d. 8°C.
f. Setelah selesai membersihkan badan lemari es colok kembali steker.
g. Mencatat kegiatan pemeliharaan mingguan pada kartu pemeliharaan lemari
es.
3) Pemeliharaan Bulanan
a. Sehari sebelum melakukan pemeliharaan bulanan, kondisikan cool
pack (kotak dingin cair), vaksin carrier atau cold box dan pindahkan
vaksin ke dalamnya.
b. Agar tidak terjadi konsleting saat melakukan pencairan bunga es
(defrosting), lepaskan steker dari stop kontak.
c. Membersihkan kondensor pada lemari es model terbuka menggunakan
sikat lembut atau tekanan udara. Pada model tertutup hal ini tidak perlu
dilakukan.
d. Memeriksa kerapatan pintu dengan menggunakan selembar kertas, bila
kertas sulit ditarik berarti karet pintu masih baik, sebaliknya bila kertas
mudah ditarik berarti karet sudah sudah mengeras atau kaku. Olesi karet
pintu dengan bedak atau minyak goreng agar kembali lentur.
e. Memeriksa steker jangan sampai kendor, bila kendor gunakan obeng untuk
mengencangkan baut.
f. Selama membersihkan badan lemari es, jangan membuka pintu lemari es
agar suhu tetap terjaga 2° s.d. 8°C.
g. Setelah selesai membersihkan badan lemari es colok kembali steker.
h. Mencatat kegiatan pemeliharaan bulanan pada kartu pemeliharaan lemari
es.

Pencairan bunga es (defrosting) :


a. Pencairan bunga es dilakukan minimal 1 bulan sekali atau ketika bunga es
mencapai ketebalan 0,5 cm.
b. Sehari sebelum pencairan bunga es, kondisikan cool pack (kotak dingin cair),
vaksin carrier atau cold box.
c. Memindahkan vaksin ke dalam vaksin carrier atau cold box yang telah berisi
cool pack (kotak dingin cair).
d. Mencabut steker saat ingin melakukan pencairan bunga es.
e. Melakukan pencairan bunga es dapat dilakukan dengan cara membiarkan
hingga mencair atau menyiram dengan air hangat.
f. Pergunakan lap kering untuk mengeringkan bagian dalam lemari es termasuk
evaporator saat bunga es mencair.
g. Memasang kembali steker dan jangan merubah thermostat hingga suhu lemari
es kembali stabil (2°Cs.d. 8°C).
h. Menyusun kembali vaksin dari dalam vaksin carier atau cold box kedalam
lemari es sesuai dengan ketentuan setelah suhu lemari telah mencapai 2°C s.d.
8 °C.
i. Mencatat kegiatan pemeliharaan bulanan pada kartu pemeliharaan lemari es.

Skema Rantai Dingin (COLD CHAIN)


Sasaran angkutan Sasaran penyimpanan

Biofarma/ BLN Kamar dingin


Masuk cold box
diangkut dengan kendaraan
Pusat Kamar dingin
Masuk cold box
diangkut kendaraan
Propinsi Kamar dingin,freezer,lemari es
Masuk cold box
diangkut kendaraan
Kabupaten Freezer, lemari es
Masuk vaccine carier/ col box
diangkut dengan kendaran
Puskesmas Lemari es
Masuk termos
dibawa ke lapangan
Lapangan Termos

Perencanaan Safety Box


Safety box digunakan untuk menampung alat suntik bekas pelayanan imunisasi sebelum
dimusnahkan. Safety box ukuran 2,5 liter mampu menampung 50 alat suntik bekas,
sedangkan ukuran 5 liter menampung 100 alat suntik bekas. Limbah imunisasi selain alat
suntik bekas tidak boleh dimasukkan ke dalam safety box.

Perencanaan Kebutuhan Peralatan Cold Chain


Vaksin merupakan bahan biologis yang mudah rusak sehingga harus disimpan pada suhu
tertentu (pada suhu 2 s/d 8 ºC untuk vaksin sensitif beku atau pada suhu -15 s/d -25 ºC untuk
vaksin yang sensitif panas).
Sesuai dengan tingkat administrasi yang dibutuhkan maka sarana coldchain yang yang
dibutuhkan adalah :
Provinsi : Coldroom, freeze room, lemari es dan freezer
Kabupaten/ kota : Coldroom, lemari es dan freezer
Puskesmas : lemari es

Penentuan jumlah kapasitas coldchain harus dihitung berdasarkan volume puncak kebutuhan
vaksin rutin (maksimal stok) ditambah dengan kegiatan tambahan (bila ada). Maksimal stok
vaksin provinsi adalah 2 bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Kabupaten/kota 1
bulan kebutuhan ditambah 1 bulan cadangan, Puskesmas 1 bulan kebutuhan ditambah
dengan 1 minggu cadangan. Selain kebutuhan lemari es dan freezer, harus direncanakan juga
kebutuhan vaksin carrier untuk membawa vaksin ke lapangan serta cool pack sebagai
penahan suhu dingin dalam vaksin carrier selama transportasi vaksin. Cara perhitungan
kebutuhan coldchain adalah dengan mengalikan jumlah stok maksimal vaksin (semua jenis
vaksin) dengan volume setiap jenis vaksin, dan membandingkannya dengan volume lemari
es/freezer.

2.6 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi


a) Definisi
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi yang selanjutnya disingkat KIPI adalah kejadian medik
yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek vaksin ataupun efek simpang,
toksisitas, reaksi sensitifitas, efek farmakologis maupun kesalahan program, koinsidens,
reaksi suntikan atau hubungan kausal yang tidak dapat ditentukan (PMK, No 42 Tahun
2013) Menurut Komite Nasional Pengkajian dan Penaggulangan KIPI (KN PP KIPI),
KIPI adalah semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah
imunisasi. Pada keadaan tertentu lama pengamatan KIPI dapat mencapai masa 42 hari
(arthritis kronik pasca vaksinasi rubella), atau bahkan 42 hari (infeksi virus
campak vaccine-strain pada pasien imunodefisiensi pasca vaksinasi campak, dan polio
paralitik serta infeksi virus polio vaccine-strain pada resipien non imunodefisiensi atau
resipien imunodefisiensi pasca vaksinasi polio) (PMK, No 1626 pedoman kipi)
b) Klasifikasi
Komnas PP KIPI mengelompokkan etiologi KIPI dalam 2 (dua) klasifikasi yaitu
klasifikasi lapangan dan klasifikasi kausalitas.
1) Klasifikasi lapangan
Sesuai dengan manfaat di lapangan maka Komnas PP KIPI memakai kriteria WHO
Western Pacific untuk memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu:
a. Kesalahan prosedur/teknik pelaksanaan (programmatic errors)
Sebagian besar KIPI berhubungan dengan masalah prosedur dan teknik
pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan prosedur penyimpanan,
pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat terjadi
pada berbagai tingkatan prosedur imunisasi, misalnya:
1. Dosis antigen (terlalu banyak)
2. Lokasi dan cara menyuntik
3. Sterilisasi semprit dan jarum suntik
4. Jarum bekas pakai
5. Tindakan aseptik dan antiseptik
6. Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
7. Penyimpanan vaksin
8. Pemakaian sisa vaksin
9. Jenis dan jumlah pelarut vaksin
10. Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat
kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
b. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung
maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi suntikan
langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan,
sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing, mual,
sampai sinkope.
c. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi
terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis
biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti
reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko kematian.
d. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi secara
kebetulan saja setelah imunisasi. Salah satu indikator faktor kebetulan ini
ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama di saat bersamaan pada
kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat
imunisasi.
e. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke
dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam
kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan
kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI.

2) Klasifikasi kausalitas
Klasifikasi kausalitas mengelompokkan KIPI menjadi 6 (enam) kelompok yaitu:
a. Very likely / Certain
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin (masuk akal) terhadap
pemberian vaksin dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau
obat atau zat kimia lain.
b. Probable
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal dengan pemberian
vaksin dan sepertinya tidak berhubungan dengan penyakit penyerta atau obat
atau zat kimia lain.
c. Possible
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang masuk akal dengan pemberian
vaksin namun dapat berhubungan dengan penyakit penyerta atau obat atau zat
kimia lain.
d. Unlikely
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang mungkin (masuk akal) terhadap
pemberian vaksin menyebabkan hubungan kasual tidak mungkin namun
mungkin dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta atau obat atau zat kimia
lain.
e. Unrelated
Kejadian klinis dengan hubungan waktu yang tidak mungkin (masuk akal)
terhadap pemberian vaksin dan dapat dijelaskan berdasarkan penyakit penyerta
atau obat atau zat kimia lain.
f. Unclassifiable
Kejadian klinis dengan informasi yang tidak cukup untuk memungkinkan
dilakukan penilaian dan identifikasi penyebab.

f. Gejala Klinis KIPI


Gejala Klini KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi
gejala lokal, sistemik, reaksi susunan syaraf pusat, serta reaksi lainnya seperti tabel.
apabila seorang anak telah mendapat imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga
dipastikan bahwa tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya
sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian stiap jenis imunisasi harus
dilakukan observasi selama 15 menit.
Tabel Gejala KIPI
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokal Abses pada tempat suntikan
Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis, BCG-itis
SSP Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang
Lain-lain Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema
Reaksi anafilaksis
Syok anafilaksis
Artralgia
Demam tinggi >38,5°C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus (3jam)
Sindrom syok septik

Untuk menghindarkan kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI
dibatasi dalam jangka waktu tertentu timbulnya gejala klinis seperti tabel

Tabel Gejala Klinis menurut jenis vaksin dan saat timbul KIPI
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI Saat timbul KIPI
Toksoid Tetanus Syok anafilaksis 4 jam
(DPT, DT, TT) Neuritis brakhial 2-18 hari
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
Pertusis whole Syok anafilaksis 4 jam
cell (DPwT) Ensefalopati 72 jam
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
Campak Syok anafilaksis 4 jam
Ensefalopati 5-15 hari
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
Trombositopenia 7-30 hari
Klinis campak pada resipien 6 bulan
imunokompromais tidak tercatat
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
Polio hidup Polio paralisis 30 hari
(OPV) Polio paralisis pada resipien 6 bulan
imunokompromais
Komplikasi akut termasuk
kecacatan dan kematian
Hepatitis B Syok anafilaksis 4 jam
Komplikasi akut termasuk tidak tercatat
kecacatan dan kematian
BCG BCG-it is 4-6 minggu

g. Pemantauan KIPI
Bagian yang terpenting dalam pemantauan KIPI adalah menyediakan informasi KIPI
secara lengkap agar dapat dengan cepat dinilai dan dianalisis untuk mengidentifikasi dan
merespon suatu masalah. Respon merupakan suatu aspek tindak lanjut yang penting
dalam pemantauan KIPI. Pemantauan KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan,
pelacakan, analisis kejadian, tindak lanjut, pelaporan dan evaluasi, seperti tertera pada
diagram berikut:

Kurun waktu pelaporan berdasarkan jenjang administrasi yang menerima laporan terlihat
seperti tabel dibawah ini:
KIPI yang harus dilaporkan dapat dikategorikan sesuai tabel
Tabel Kasus KIPI yang harus dilaporkan

h. Kelompok Risiko Tinggi KIPI


Untuk mengurangi risiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan apakah resipien
termasuk dalam kelompok risiko. Yang dimaksud dengan kelompok risiko adalah:
1) Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu.
2) Bayi berat lahir rendah.
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi cukup bulan.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah daripada bayi cukup
bulan
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi ditunda dan
diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau berumur 2 bulan; kecuali
untuk imunisasi hepatitis B pada bayi dengan ibu yang HBs Ag positif
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio yang
diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga tidak menyebabkan
penyebaran virus vaksin polio melalui tinja
3) Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat peyakit dasar atau
pengobatan imunosupresan (kemoterapi, kortikosteroid jangka panjang). Jenis
vaksin hidup merupakan indikasi kontra untuk pasien imunokompromais, untuk
polio dapat diberikan IPV bila vaksin tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada
pengobatan kortikosteroid dosis kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi
imunisasi harus ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis
2 mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/hari selama 14 hari. Imunisasi dapat
diberikan setelah 1 (satu) bulan pengobatan kortikosteroid dihentikan atau 3 (tiga)
bulan setelah pemberian kemoterapi selesai.
4) Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan untuk menghindarkan
hambatan pembentukan respons imun.
5) Pasien HIV mempunyai risiko lebih besar untuk mendapatkan infeksi Walaupun
responnya terhadap imunisasi tidak optimal atau kurang, penderita HIV memerlukan
imunisasi. Pasien HIV dapat diimunisasi dengan mikroorganisme yang dilemahkan
atau yang mati sesuai dengan rekomendasi yang tercantum pada tabel
Vaksin Rekomendasi Keterangan
IPV Ya Pasien dan keluarga serumah
DPT Ya Pasien dan keluarga serumah
Hib Ya Pasien dan keluarga serumah
Hepatitis B* Ya Sesuai jadwal anak sehat
Hepatitis A Ya Sesuai jadwal anak sehat
MMR** Ya Diberikan umur 12 bulan
Influenza Ya Tiap tahun diulang
Pneumokok Ya Secepat mungkin
BCG*** Ya Dianjurkan untuk Indonesia

*Dianjurkan dosis Hepatitis B dilipat gandakan dua kali


**Diberikan pada penderita HIV yang asimptomatik atau HIV dengan gejala ringan
***Tidak diberikan bila HIV yang berat

i. Penanganan Masalah KIPI


Tabel
N KIPI Gejala Tindakan Keterangan
o
1 Vaksin
Reaksi lokal a. Nyeri, eritema, a. Kompres hangat a. Pengobatan
ringan bengkak di daerah b. Jika nyeri mengganggu dapat dilakukan
bekas suntikan < 1 dapat diberikan oleh guru UKS
cm. parasetamol 10 mg atau orang tua
b. Timbul < 48 jam /kgBB/kali pemberian. b. Berikan
setelah imunisasi < 6 bln : 60 mg/kali pengertian
pemberian kepada
6 – 12 bl:90 mg/kali ibu/keluarga
pemberian bahwa hal ini
1 – 3 th : 120 mg/kali dapat sembuh
pemberian sendiri
walaupun tanpa
obat

Reaksi lokal a. Eritema/indurasi > a. Kompres hangat Jika tidak ada


berat (jarang 8 cm b. Parasetamol perubahan hubungi
terjadi) b. Nyeri, bengkak dan Puskesmas
manifestasi terdekat.
sistemik

Reaksi Arthus a. Nyeri, bengkak, a. Kompres hangat


indurasi dan b. Parasetamol
edema c. Dirujuk dan dirawat
b. Terjadi akibat di RS
reimunisasi pada
pasien dengan
kadar antibodi
yang masih tinggi
c. Timbul beberapa
jam dengan
puncaknya 12-36
jam setelah
imunisasi

Reaksi umum Demam, lesu, nyeri a. Berikan minum


(sistemik) otot, nyeri kepala, dan hangat dan selimut
menggigil b. Parasetamol

Kolaps/ a. Episode hipotonik- a. Rangsang dengan


keadaan hiporesponsif wangian atau bauan
seperti syok b. Anak tetap sadar yang merangsang.
tetapi tidak b. Bila belum dapat
bereaksi terhadap diatasi dalam waktu 30
rangsangan. menit segera rujuk ke
c. Pada pemeriksaan Puskesmas terdekat
frekuensi,
amplitudo nadi
serta tekanan darah
tetap dalam batas
normal.

Reaksi Khusus a. Lumpuh layu, Rujuk segera ke RS untuk Perlu untuk survei
: simetris, asendens perawatan dan pemeriksaan AFP
Sindrom (menjalar ke atas) lebih lanjut
Guillain- Barre biasanya tungkai
(jarang terjadi) bawah
b. Ataksia
c. Penurunan refleksi
tendon
d. Gangguan menelan
e. Gangguan
pernafasan
f. Parestesi
g. Meningismus
h. Tidak demam
i. Peningkatan
protein dalam
cairan
serebrospinal tanpa
pleositosis
j. Terjadi antara 5
hari sd 6 minggu
setelah imunisasi.
k. Perjalanan
penyakit dari 1 s/d
3-4 hr
l. Prognosis
umumnya baik.
a. Nyeri dalam terus a. Parasetamol
Neuritis menerus pada b. Bila gejala menetap
brakialis daerah bahu dan rujuk ke RS untuk
(Neuropati lengan atas fisioterapi.
pleksus b. Terjadi 7 jam sd 3
brakialis) minggu setelah
imunisasi

a. Terjadi mendadak a. Suntikan adrenalin Setiap petugas


Syok b. Gejala klasik: 1:1.000, dosis 0,1 - 0.3 yang berangkat ke
anafilaktik kemerahan ml, sk/im. lapangan harus
merata, edem b. Jika pasien membaik membawa
c. Urtikaria, sembab dan stabil dilanjutkan emergency kit yang
pada kelopak dengan suntikan berisi: epinephrine,
mata, sesak, nafas deksametason (1 dexamethasone
berbunyi ampul) secara dan antihistamine
d. Jantung berdebar intravena/
kencang intramuskular
e. Tekanan darah c. Segera pasang infus
menurun NaCl 0,9% 12
f. Anak tetes/menit
pingsan/tidak d. Rujuk ke RS terdekat
sadar
g. Dapat pula terjadi
langsung berupa
tekanan darah
menurun dan
pingsan tanpa
didahului oleh
gejala lain

2 Tata laksana Program


Abses dingin Bengkak dan keras, a. Kompres hangat Jika tidak ada
nyeri daerah bekas b. Parasetamol perubahan
suntikan. Terjadi hubungan
karena vaksin Puskesmas
disuntikkan masih terdekat
dingin

Pembengkaka a. Bengkak di sekitar Kompres hangat Jika tidak ada


n suntikan perubahan
b. Terjadi karena hubungan
penyuntikan Puskesmas
kurang dalam terdekat
Sepsis a. Bengkak di sekitar a. Kompres hangat
bekas suntikan b. Parasetamol
b. Demam c. Rujuk ke RS terdekat
c. Terjadi karena
jarum suntik tidak
steril
d. Gejala timbul 1
minggu atau lebih
setelah
Penyuntikan
Tetanus Kejang, dapat disertai Rujuk ke RS terdekat
dengan demam, anak
tetap sadar

Kelumpuhan/ a. Lengan sebelah Rujuk ke RS terdekat untuk


kelemahan (daerah yang di fisioterapi
otot disuntik) tidak bisa
digerakkan.
b. Terjadi karena
daerah penyuntikan
salah (bukan
pertengahan
muskulus deltoid)

3 Faktor penerima/pejamu

Alergi a. Pembengkakan Suntikan dexametason 1 Tanyakan pada


bibir dan ampul im/iv orang tua adakah
tenggorokan, sesak Jika berlanjut pasang infus penyakit alergi
nafas, eritema, NaCl 0,9%
papula, terasa gatal
b. Tekanan darah
menurun

4 Faktor psikologis

Ketakutan Tenangkan penderita Sebelum


penyuntikkan guru
sekolah dapat
memberikan
pengertian dan
menenangkan
murid

Berteriak Beri minum air hangat


Pingsan a. Beri wewangian/ Bila berlanjut
alkohol hubungi
b. Setelah sadar beri Puskesmas
minum teh manis
hangat

5 Koinsiden (faktor kebetulan)

a. Gejala penyakit a. Tangani penderita


terjadi secara sesuai gejala
kebetulan b. Cari informasi di sekitar
bersamaan dengan anak apakah ada kasus
waktu imunisasi lain yg mirip tetapi anak
b. Gejala dapat tidak diimunisasi.
berupa salah satu c. Kirim ke RS untuk
gejala KIPI pemeriksaan lebih
tersebut di atas lanjut
atau bentuk lain
BAB III
PENUTUP

Pemberian Imunisasi dapat mengurangi bahkan mencegah munculnya


penyakit tertentu. Imunisasi diberikan sesuai jadwal yang ada agar kekebalan yang
didapatkan tepat dan dalam jangka waktu yang lama. Selain memperhatikan
jadwal, penyimpanan yang sesuai juga akan mengoptimalkan kerja vaksin di dalam
tubuh. Ketepatan program ini dapat membantu dalam mengatasi masalah kesehatan
yang dimulai dari bayi baru lahir.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dekes RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013


2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2013
Tentang Penyelenggaraan Imunisasi
3. Indonesia Ida. Panduan Imunisasi Anak mencegah lebih baik dari pada
mengobati. In: Sri rezeki Hadinegoro HDP, Soedjatmiko, Hanifah Oswari,
editor. Jadwal Imunisasi. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2011. p. 95-110
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1626
/Menkes/Sk/Xii/2005 Tentang Pedoman Pemantauan Dan Penanggulangan
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
5. Depkes RI. Pedoman pengelolaan vaksin. 2009
6. Ranuh IGN, SuyitnoH, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Ismoedijanto,
Soejatmiko. Pedoman Imunisasi di Indonesia.2014. Satgas Imunisasi IDAI

Anda mungkin juga menyukai