Anda di halaman 1dari 9

1) Istihsan

Menurut bahasa artinya menganggap baik sesuatu, sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah
berpindahnya seorang mujtahid dari tuntunan Qiyas jail kedapa Qiyas Khafi. Atau dari hukum kulli
kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang menyebabkan mencela akalnya, dan dimenangkan
baginya perpindahan ini. Jadi apabila terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat nash mengenai
hukumnya, maka untuk membicarakan hal itu ada dua segi yang bertentangan, yaitu:

Pertama : segi nyata yang menghendaki suatu hukum

Kedua : segi tersembunyi yang menghendaki hukum lain

Dan pada mujtahid sendiri sudah terdapat dalil yang memenangkan segi pandangan secra tersembunyi,
maka perpindahan dari segi pandangan yang nyata inilah yang menurut syara’ disebut dengan istihsan.

Para Ulama yang menggunakan hujjah istihsan, ialah kebanyakan Ulama Hanafiyah. Dalil mereka atas
kehujjahannya yaitu bahwasanya mengambil dalil dengan istihsan itu hanyalah istidlal dengan Qiyas khafi
yang menang atas Qiyas jail dengan dalil yang menuntut kemenangannya, atau istidlal dengan maslaha
mursalah (kepentingan umum) atas pengecualian bagian hukum kulli. Semua ini adalah istidlal yang
sahih.

Terdapat sebuah kelompok mujtahid yang menentang istihsan dan menggapnya sebagai istinbat hukum
syara dengan kemauan hawa nafsu dan rasa enak. Pimpinan kelompok ini adalah Imam Syafi’I, hal mana
telah dinukil dari padanya, bahwa ia berkata : “siapa melakukan istihsan berarti ia telah membentuk
syari’at. Artinya orang tersebut memulai hukum syari’at dirinya sendiri.

Contoh

Berpakaian sutera bagi laki – laki haram hukumnya, tetapi karena sangat membutuhkan memakai sarung
dari sutera, supaya tidak selalu menggaruk garuk sebab ia menderita penyakit gatal maka baginya
diperkenankan memakai sarung sutera

Contoh

haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita yang sedang haid
dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh
pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.

2) Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut Ulama Ushul yaitu, maslahah di mana syar’I tidak mensyari’atkan hukum untuk mewujudkan
maslahah itu, juga tidak terdapat dalil yang menunjukan atas pengakuannya atau pembatalannya.

Adapun syarat-syarat menjadikan Hujjah Maslahah al-Mursalah adalah sebagai berikut:

a) Berupa maslahah yang sebenarnya, bukan maslahah yang bersifat dugaan.

b) Berupa maslahah yang umum, bukan maslahah yang bersifat perorangan

c) Pembentukan hukum bagi maslahah ini tidak bertantangan dengan hukum atau prinsip yang telah
ditetapkan oleh nash atau Ijma.

Contoh-contoh maslahah mursalah adalah:

a. Dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasul tidak ada nash yang melarang mengumpulkan Al-Qur’an dari
hafalan kedalam tulisan, meskipun demikian, para sahabat dizaman Abu Bakarbersepakat untuk menulis
dan mengumpulkannya, karena mengingat kemaslahatan ummat, yang saat itu sahabat penghafal Al-
qur’an banyak yang meninggal dunia.

b. Tatkala Islam masuk ke irak, tanah Irak masih dimiliki oleh para pemilik asalnya dengan dikenaki
pajak (kharaj), karena untuk menjaga kemaslahatan umat islam umumnya. Seharusnya empat perlima
tanah tersebut diberikan kepada orang yang memerangi peperangan sebagai harta rampasan atau
keuntungan perang.

c. Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya gugatan dalam
perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan lainnya.

3) Al-‘Urf

‘Urf adalah sesuatu yang telah sering dikanal oleh manusia dan telah menjadi tradisinya, baik berupa
ucapan atau perbuatannya dan atau hal meninggalkan sesuatu juga disebut adat.

‘Urf itu ada dua macam, yaitu ‘Urf shohih dan ‘Urf fasid. ‘Urf shohih adalah sesuatu yang telah saling
dikenal oleh manusia dan tidak pula beertentangan dengan syara’. Sedangkan ‘Urf fasdi adalah sesuatu
yang telah saling dikelan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’.
Hukum dari ‘Urf shohih adalah harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan dalam pengadilan. Bagi
seorang Mujtahid harus memeliharanya dalam waktu membentuk hukum. Seorang Qhadi juga harus
memeliharanya ketika mengadili.

Ulama berkata, “ Adat itu adalah syari’at yang dikukuhkan sebagai hukum”. Imam Malik mendasarkan
sebagian hukumnya kepada amal perbuatan penduduk Madinah. Imam Abu Hanifah bersama-sama
muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum dengan dasar atas perbedaan ‘Urf mereka. Bahkan
Imam Syafi’I mengubah sebagian hukum yang telah menjadi pendapatnya (ketika di Baghdad) ketika
telah berada di Mesir, dikarenakan perbedaan ‘Urf.

Pembagian Jenis Urf dan Beberapa Contohnya

Para ulama membagi urf menjadi dua macam, yaitu urf yang bersifat perkataan (qauli) dan yang bersifat
perbuatan (amali).

1. Urf Qauli

Urf Qauli adalah ungkapan atau perkataan tertentu yang sudah dianggap lazim memiliki makna tertentu
oleh suatu masyarakat. Dimana boleh jadi untuk masyarakat yang lain yang urfnya berbeda, maknanya
bisa saja berbeda.

a. Dirham untuk Uang

Sebagai contoh, pada masyarakat tertentu sudah menjadi urf kalau menyebut dirham berarti maksudnya
adalah uang.

b. Dabbah untuk Hewan Berkaki Empat


Di masyarakat tertentu makna daabbah (‫ )دابة‬hanya terbatas pada hewan yang berkaki empat. Padahal
secara makna bahasa, daabbah adalah segala hewan yang melata di atas bumi, termasuk ayam, ular dan
lainnya.

c. Tha'am dan Burr

Ibnu Abidin menyebutkan bahwa di antara contoh urf qauli adalah ketika orang Arab kata tha'am (‫)طعام‬,
maka yang dimaksud bukan sekedar makanan, tetapi burr (‫)بر‬, yaitu gandum.

Sedangkan ketika mereka menyebut lahm (‫ )تحم‬maka yang dimaksud bukan sedekar daging melainkan
daging kambing.

d. Dalam Perceraian

Sebagaimana kita tahu bahwa lafadz talak itu ada dua macam, sharih dan kina’i. Lafadz sharih adalah
lafadz yang secara tegas menyebutkan kata talak atau yang searti dan tidak bisa diterjemahkan selain
talak.

Selangkan lafadz kina’i adalah lafadz yang sifatnya sindiran, atau bahasa yang diperhalus sedemikian
rupa, sehingga masih bisa ditafsirkan menjadi lain.

Misalnya ketika suami berkata kepada istrinya,”Pulanglah kamu ke rumah orang tuamu”. Kalimat ini
masih bersayap, bisa bermakna cerai dan bisa bermakna bukan cerai.

Dalam hal ini, apakah kalimat ini bermakna cerai atau tidak, tergantung dari ‘urf yang lazim dikenal di
suatu masyarakat. Bila masyarakat di suatu tempat sudah menganggapnya kalimat itu adalah cerai, maka
jatuhlah talak kepada istri. Dan bila urf di masyarakat itu tidak bermakna cerai, maka belum jatuh talak.

2. Urf Amali
Sedangkan urf amali adalah perbuatan-perbuatan tertentu yang telah menjadi kebiasaan di tengah
masyarakat dan dianggap lazim dan sah secara hukum.

a. Jual Beli Tanpa Lafadz Akad

Di antara contoh urf amali yang berkembang di tengah masyarakat adalah akad transaksi yang tidak
lewat lafadz perkataan, namun kedua belah pihak, yaitu penjual dan pembeli, telah bersepakat dan
saling rela untuk bertransaksi.

Padahal kalau kembali kepada rukun jual-beli, seharusnya penjual berkata,"Saya jual barang ini kepada
Anda dengan harga sekian", lalu pembeli harus menjawab dengan lafadz,"Saya beli barang ini dengan
harga sekian, tunai".

Namun akad dengan lafadz ini nyaris tidak digunakan oleh kebanyakan orang di masa sekarang ini,
khususnya untuk jual-beli yang ringan nilainya.

Akad jual-beli seperti ini dalam ilmu fiqih muamalat disebut dengan akad mu'athah (‫)معاطاه‬.

b. Mahar Muqaddam dan Muakhkhar

Di negeri Arab umumnya dikenal urf yang boleh jadi di negeri kita tidak dikenal, yaitu mahar atau mas
kawin dibagi menjadi dua macam, yaitu muqaddam dan muakkhar.

Mahar muqaddam adalah mahar yang diberikan di awal perkawinan dan mahar muakhkhar diberikan
kemudian.

E. Urf Aam dan Urf Khash


a. 'Urf Aam

Urf 'Aam 'urf yang berlaku pada suatu tempat, masa dan keadaan, seperti memberi hadiah (tip) kepada
orang yang telah memberikan jasanya kepada kita, mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah
membantu kita dan sebagainya.

Pengertian memberi hadiah di sini dikecualikan bagi orang-orang yang memang menjadi tugas
kewajibannya memberikan jasa itu dan untuk pemberian jasa itu, ia telah memperoleh imbalan jasa
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, seperti hubungan penguasa atau pejabat dan
karyawan pemerintah dalam urusan yang menjadi tugas kewajibannya dengan rakyat/masyarakat yang
dilayani, sebagai mana ditegaskan oleh Hadits Nabi Muhammad SAW:

‫ممنن مشفممع لمهخنيهه مشمفامعةة فمأ منهمدىَ لمهه همهدييِةة فمقمبهلممها فمقمند أممبىَ مباةبا معهظنيةما همنن أمنبموا ه‬
‫ب الررمبا‬

"Barangsiapa telah memberi syafa'at (misalnya jasa) kepada saudaranya berupa satu syafa'at (jasa), maka
orang itu memberinya satu hadiah lantas hadiah itu dia terima, maka perbuatannya itu berarti ia telah
mendatangi/memasuki satu pintu yang besar dari pintu-pintu riba. (HR. Ahmad dan Abu Daud)

Hadits ini menjelaskan hubungan penguasa/sultan dengan rakyatnya.

b. 'Urf Khash

Ialah 'urf yang hanya berlaku pada tempat, masa atau keadaan tertentu saja. Seperti mengadakan halal
bi halal yang biasa dilakukan oleh bangsa Indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai
menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam lain tidak dibiasakan.

F. Urf Shahih dan Urf Fasid

Para ulama sepakat membagi ‘urf ini menjadi dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan yang fasid.
1. ‘Urf Yang Shahih

‘Urf yang shahih adalah yang tidak menyalahi ketentuan akidah dan syariah serta akhlaq yang islami.

Contoh ‘urf yang sesuai dengan syariah Islam adalah kebiasaan masyarakat jahiliyah sebelum masa
kenabian untuk menghormati tamu, dengan memberi mereka pelayanan makan, minum dan tempat
tinggal. Semua itu ternyata juga dibenarkan dan dihargai di dalam syariat Islam.

Maka para ulama sepakat mengatakan bahwa ‘urf yang seperti itu dilestarikan dan tidak dihapus, karena
sesuai dengan ajaran Islam.

2. ‘Urf Yang Fasid

Al-‘Urf yang fasid adalah lawan dari yang shahih, yaitu al-‘urf yang jelas-jelas menyalahi teks syariah dan
kaidah-kaidahnya.

Di masa Rasulullah SAW, ‘urf seperti ini misalnya kebiasaan buruk seperti berzina, berjudi, minum
khamar, makan riba dan sejenisnya.

Para ulama sepakat untuk mengharamkan ‘urf seperti ini, dan mengenyahkannya dari kehidupan kita.

4) Al-Istishhab

Menurut bahasa Arab ialah : mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah Ulama
Ushul, yaitu menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sehingga terdapat dalil menunjukan
perubahan keadaan, atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal
menurut keadaan sehingga terdapat dalil yang menunjukan atas perubahannya.

Dan apabila seorang Mujtahid ditanya tentang hukum binatang atau benda-benda, atau tumbuh-
tumbuhan, atau makanan dan minuman apa saja, atau suatu amal, dan ia tidak menemukan dalil syara’
mengenai hukumnya, maka dihukumi atas kebolehannya, karena kebolehan itu adalah pangkal (asal),
dan tidak terdapat dalil yang menunjukan atas perubahannya. Sesuai dengan firman Allah SWT

(29 ‫هو اللذي خلق لكم ما فىَ الراض جميعا ) البقرة‬

Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu

Istishhab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali seorang Mujtahid untuk mengetahui
hukum suatu peristiwa yang dihadapkan kepadanya, karena Ulama Ushul berkata, “Sesungguhnya
istishhab adalah akhir tempat beredar fatwa”, yaitu mengetahui atas sesuatu menurut hukum yang telah
ditetapkan baginya selama tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan
dalil yang telah menjadi kebiasan dan tradisi manusia dalam segala pengelolaan dan ketetapan mereka.

Contoh Istishab

Pada suatu perkawinan antara si Ana dan si Budi, kemudian karena suatu hal, mereka harus berpisah
tempat (misal karena tugas), dan si Budi tidak bisa menunaikan tugasnya sebagai suami, maka apabila si
Ana ingin menika lagi dengan orang lain, tidak dapat dilakukan karena meskipun sudah berpisah lama
tapi masih ada ikatan perkawinan.

5) Syariat Orang Sebelum Kita

Apabila al-Quran dan al-Sunnah itu telah diisyaratkan oleh Allah kepada para ummatnya yang telah
mendahului kita melalui para Rasul-Nya, dan telah di-nash-kan bahwasanya syariat itu diwajibkan
kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak ada perselisihan bahwa syariat itu
adalah syariat untuk kita dan undang-undang yang wajib diikuti dengan menetapkan syariat kita
kepadanya. Sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 45, yang artinya:
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa,
mata dengan maat, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka pun ada
qishosnya.

Maka Jumhur Ulama Hanafiyah, dan sebagian Ulama Malikiya, serta sebagian Ulama Syafi’iyah berkata, “
Bahwasanya hukum itu adalah syari’at untuk kita, dan kita wajib mengikuti dan menerapkannya selama
hukum itu telah diceritakan kepada kita, dan dalam hukum kita tidak terdapat yang menasakhnya.

Anda mungkin juga menyukai