Anda di halaman 1dari 19

PERANAN NOTARIS DALAM JUAL BELI PROPERTY MELALUI DEVELOPER

1.1 Latar Belakang

Perkembangan bisnis properti di Indonesia mengalami kenaikan yang sangat

tajam pada dekade terakhir ini. Pesatnya bisnis properti ini didorong oleh kebutuhan

pokok manusia akan papan, disamping pangan dan sandang. Dan kebutuhan ini

termasuk kebutuhan utama yang secara naluri harus terpenuhi. Maka, sudah

sewajarnya bagi seseorang untuk mengidam-idamkan memiliki rumah hunian sendiri.

Disamping itu dalam rangka keperluan usaha, seseorang atau badan usaha

memerlukan tempat yang dapat digunakan untuk keperluan usahanya, misalnya

kantor, ruko ataupun gudang. Disamping itu, properti juga menjadi alternatif utama

untuk berinvestasi. Disamping harga yang relatif selalu naik dimasa yang akan datang,

juga dapat dijadikan bisnis sewa yang mendatangkan keuntungan pasif.

Dengan fenomena tersebut, membuat pemerintah berpikir untuk mendapatkan

penghasilan bagi negara dengan cara menarik pajak dari sektor ini lebih besar lagi.

Pajak digunakan untuk membiayai negara dalam banyak hal, baik itu pembangunan

maupun hal-hal yang terkait dengan kesejahteraan rakyat. Pajak merupakan sumber

utama dalam Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN) yang dari tahun ke

tahun mengalami peningkatan. Jika dilihat dari peningkatan jumlah penerimaan yang

demikian besar, nyata bahwa pajak merupakan sokoguru pembangunan negara kita.

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan


imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar besarnya

kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan

dan peran serta Wajib Pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan

kewajiban perpajakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai falsafah

undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi

merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta

terhadap pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban

kenegaran di bidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi

kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam

Sistem Perpajakan Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, sesuai

dengan fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan

pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat Jenderal Pajak berusaha

sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misi Direktorat

Jenderal Pajak.

Sebagaimana halnya perekonomian dalam suatu rumah tangga atau keluarga,

perekonomian negara juga mengenal sumber-sumber penerimaan dan pos-pos pengeluaran.

Pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan

negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja

pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana

umum seperti jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai

dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak.

Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman

bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan

meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai
dengan uang yang berasal dari pajak. Pajak juga digunakan untuk mensubsidi barang-barang

yang sangat dibutuhkan masyarakat dan juga membayar utang negara ke luar negeri. Pajak

juga digunakan untuk membantu UMKM baik dalam hal pembinaan dan modal. Dengan

demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan

dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan. Disamping

fungsi budgeter (fungsi penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi

pendapatan dari masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada

masyarakat yang kemampuannya lebih rendah. Oleh karena itu tingkat kepatuhan Wajib Pajak

dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik dan benar merupakan syarat

mutlak untuk tercapainya fungsi redistribusi pendapatan. Sehingga pada akhirnya

kesenjangan ekonomi dan sosial yang ada dalam masyarakat dapat dikurangi secara

maksimal.

1.2 Rumusan Masalah

1. Syarat-syarat transaksi dikenakan Pajak Barang Mewah ?

2. Peranan Notaris dalam jual beli property melalui developer ?

1.3 Metode Penelitian

Dalam paper ini menggunakan metode penelitian normatif karena ada kekaburan normative,

1.4 Landasan Teori


Teori Pemungutan Pajak

Teori pemungutan pajak memberikan penjelasan mengenai hak Negara untuk

memungut pajak. Teori-teori tersebut antara lain:

1. Teori Asuransi

Teori ini mengibaratkan pembayarn pajak seperti pembayarn premi dalam perjanjian

asuransi. Hal tersebut ditujukan untuk mengganti biaya yang dikeluarkan Negara

dalam melaksanakan kewajibannya yaitu melindungi keselamatan dan harta benda

warga negaranya. Teori ini banyak ditentang karena Negara tidak boleh disamkan

dengan perusahaan asuransi

2. Teori Kepentingan

Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-

masing warga Negara, termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta.

Semakin tinggi tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak

yang harus dibayarkan.

3. Teori Daya Pikul

Beban Pajak yang dibayar harus disesuaikan dengan daya pikul masing-masing

orang. Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan dua pendekatan: (1) Unsur

objektif, dilihat dari besarnya penghasilan dan kekayaan yang dimiliki seseorang, (2)

Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuha materiil yang harus

dipenuhi.

4. Teori Bakti

Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan

negaranya. Sebagai warga Negara yang berbakti, rakyat harus selalu menyadari

bahwa pembayaran pajak adalah sebagai suatu kewajiban.

5. Teori Asas Daya Beli

Dasar ekadilan terletak pada akibat pemungutan pajak. Maksudnya, memungut


pajak berarti menarik daya beli darirumah tangga masyarakat untuk rumah tangga

Negara. Selanjutnya Negara akan menyalurkannya kembali kepada masyarakat

dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian,

kepentingan seluruh masyarakat lebih diutamakan.

PEMBAHASAAN

2.1 Syarat-syarat PPnBM berdasarkan Pasal 1 ayat (2) PMK 90/2015


Penggolongan pajak berdasarkan lembaga pemungutannya di Indonesia dapat

dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-

pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian besar dikelola oleh

Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-

pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

Segala pengadministrasian yang berkaitan dengan pajak pusat, akan dilaksanakan di Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP)

dan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak.

Untuk pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak derah, akan dilaksanakan di

Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah atau Kantor sejenisnya yang

dibawahi oleh Pemerintah Daerah setempat.

Pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi:

1. Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan

yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan

penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau

diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar

Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib

Pajak yang bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian

maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan

lain sebagainya.

2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena

Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia). Orang Pribadi, perusahaan,
maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak

dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau

Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.

3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang KenaPajak tertentu yang

tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak

yang tergolong mewah adalah:

a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau

b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan

tinggi; atau

d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta

mengganggu ketertiban masyarakat.

4. Bea Meterai

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat

perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang

memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau

bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi

penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun

Kabupaten/ Kota.
Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota

adalah sebagai berikut:

1. Pajak Propinsi, meliputi:

a. Pajak Kendaraan Bermotor;

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;

d. Pajak Air Permukaan;

e. Pajak Rokok.

2. Pajak Kabupaten/Kota, meliputi:

a. Pajak Hotel;

b. Pajak Restoran;

c. Pajak Hiburan;

d. Pajak Reklame;

e. Pajak Penerangan Jalan;

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

g. Pajak Parkir;

h. Pajak Air Tanah;

i. Pajak sarang Burung Walet;

j. Pajak Bumi dan Bangunan perdesaan dan perkotaan;

k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan.

PPnBM disandarkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang

Pajak Pertambahan Nilai atas Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah,

dengan beberapa kali perubahan, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009

Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (untuk

selanjutnya disebut dengan UU PPN dan PPnBM) yang berlaku pada 1 April 2010,

menyebutkan, “Disamping pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4 ayat (1), dikenai juga Pajak Penjualan atas barang Mewah terhadap:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah, yang dilakukan oleh

pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean, dalam kegiatan

usaha atau pekerjaannya;

b. Impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah”.

(1) UU PPN dan PPnBM mengatur bahwa, “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

Pengusaha.

b. Impor Barang Kena Pajak.

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

Pengusaha.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam

Daerah Pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia, yang meliputi wilayah darat, perairan

dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Ekslusif dan

landas kontinen yang didalamnya berlaku undang-undang yang mengatur kepabeanan (Pasal

1 angka 1 UU PPn dan PPnBM). PPN dan PPnBM diatur dalam undang-undang yang sama,

karena PPnBM tidak dapat dikenakan tersendiri tanpa pengenaan PPN.


PPN merupakan pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari Barang Kena

Pajak atau Jasa Kena Pajak dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Hampir semua

barang konsumsi dikenakan PPN, maka PPN ditetapkan bertarif tunggal, 10% dari harga jual.

Sedangkan PPnBM lebih spesifik lagi, dikenakan hanya pada saat penyerahan Barang Kena

Pajak dan Jasa Kena Pajak yang berkategori mewah, dengan tarif beragam, sesuai jenis

barang.

Aturan pelaksana terakhir, pada PMK Nomor: 253/PMK.03/2008 Tentang Wajib Pajak

Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan Barang

Yang Tergolong Sangat Mewah, sebagaimana diubah dengan PMK Nomor: 90/PMK.03/2015

Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2008 tentang

Wajib Pajak Badan Tertentu Sebagai Pemungut Pajak Penghasilan Dari Pembeli Atas Penjualan

Barang Yang Tergolong Sangat Mewah (untuk selanjutnya disebut dengan PMK 90/2015).

PMK yang diundangkan pada 30 April 2015 dan berlaku efektif 30 Mei 2015 ini, berisi besaran

nilai barang yang masuk sebagai Barang kena Pajak tergolong mewah, sebagai panduan bagi

Pengusaha Kena Pajak untuk memungut PPnBM dari produk yang mereka hasilkan.

Segala sesuatu ditentukan oleh nilai. Nilai barang tergolong mewah ditentukan dengan

memperhatikan lima poin diatas dan diimplementasikan dalam Pasal 1 ayat (2) PMK 90/2015

yang saya sajikan dalam tabel dibawah ini, bergandengan dengan peraturan sebelumnya,

untuk memudahkan mengetahui perubahannya.

Pasal 1 ayat (2) PMK 90/2015

A. Pesawat terbang pribadi dan helikopter pribadi.

B. Kapal pesiar, yacht, dan sejenisnya.


C. Rumah beserta tanahnya, dengan harga jual atau harga pengalihannya lebih dari Rp

5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat

ratus meter persegi).

D. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya, dengan harga jual atau pengalihannya

lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau luas bangunan lebih dari 150

m2 (seratus lima puluh meter persegi).

E. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari 10 orang, berupa

sedan, jeep, sport utility vehicle (suv), multi purpose vehicle (mvp), minibus, dan

sejenisnya, dengan harga jual lebih dari Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) atau

dengan kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc; dan/atau

F. Kendaraan bermotor roda dua dan tiga, dengan harga jual lebih dari Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) atau dengan kapasitas silinder lebih dari 250

cc.

Harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersebut diatas, merupakan batasan

harga jual sehubungan dengan pembelian barang yang tergolong sangat mewah, yaitu

jumlah yang dibayarkan oleh pembeli kepada penjual, demikian Pasal 1 ayat (3) PMK

90/2015 menyebutkan.

2.2. Peranan Notaris dalam jual beli property melalui developer

1. PERJANJIAN PENGIKATAN JUAL BELI (PPJB)

PPJB dibuat untuk melakukan pengikatan sementara sebelum pembuatan AJB resmi di

hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Secara umum isi PPJB adalah kesepakatan

penjual untuk mengikatkan diri akan menjual kepada pembeli dengan disertai pemberian uang
tanda jadi atau uang muka berdasarkan kesepakatan. Demikian juga dalam PPJB tersebut

menyatakan kesediaan pembeli untuk membeli objek yang diperjual belikan.

Beberapa hal yang wajib ada pada setiap PPJB :

• Subjek Yang Saling Berikatan, dalam hal ini adalah penjual dan pembeli. Jika penjual dan

pembeli adalah orang pribadi maka subjek perjanjian diwakili oleh data-data yang ada dalam

Kartu Tanda Penduduk (KTP) masing-masing pihak. Jika subjeknya adalah Badan Hukum,

maka dalam PPJB diwakili oleh pihak yang berwenang mewakili Badan Hukum untuk menanda

tangani akta, sesuai dengan Akta Pendirian Badan Hukum tersebut dan Surat Keputusan dari

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang pengesahan sebagai Badan Hukum.

• Objek Yang Diperjanjikan, dalam hal ini objek perjanjian adalah tanah dan bangunan seperti

yang tertulis dalam sertifikat haknya. Mungkin saja sudah dalam bentuk Sertifikat Hak Milik

(SHM). Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) atau jenis sertifikat lainnya seperti disyaratkan

undang-undang. Apabila objeknya belum bersertifikat, maka dalam perjanjian dicantumkan

lokasi objek terebut dengan mencantumkan alas haknya. Mungkin saja alas haknya adalah

girik, ketitir, petok D, eigendom verponding, dan lain-lain.

• Pasal Tentang Tata Cara Pembayaran, pada pasal ini disepakati tata cara pembayaran dari

pembeli ke penjual. Apakah ada pembayaran uang tanda jadi, uang muka, termasuk besarnya

dan kapan pembayaran tersebut dilakukan. Selanjutnya disepakati juga tentang tahapan

pembayaran dan besarnya pembayaran tiap tahapan. Termasuk kapan pembayaran dilunasi.

• Pasal-Pasal Tentang Hak Dan Kewajiban, pasal inilah yang mengatur seluruh perjanjian

secara umum. Misalnya hak dari penjual adalah menerima penjualan sesuai dengan jadwal

yang sudah disepakati, demikian juga hak dari pembeli adalah menerima objek sesuai dengan

perjanjian.
• Pasal Tentang Sanksi, pasal ini memuat sanksi yang diberikan kepada para pihak apabila

ada salah satu pihak yang wanprestasi (cidera janji). Untuk penjual, wanprestasinya bisa

dalam bentuk tanahnya ada permasalahan di kemudian hari sehingga pembeli tidak dapat

menikmati apa yang dibelinya. Sanksi untuk penjual bisa jadi dia diminta untuk

mengembalikan uang yang sudah diterimanya ditambah dengan denda yang besarnya

disepakati secara bersama-sama. Sementara untuk pembeli, wanprestasi dalam bentuk

keterlambatan pembayaran cicilan kepada penjual. Sanksi yang bisa diberikan kepada pembeli

adalah dengan menerapkan denda untuk tiap keterlambatan. Termasuk keterlambatan

pelunasan.

• Pasal Tentang Penyelesaian Perselisihan, pasal ini berguna untuk panduan

menyelesaikan dispute antar para pihak. Biasanya penyelesaian sengketa untuk tahap

pertama dilakukan secara kekeluargaan, namun jika secara kekeluargaan tidak bisa

diselesaikan maka akan dilakukan melalui peradilan perdata di mana tempat para pihak

berada atau di pengadilan yang disepakati. Umumnya PPJB dibuat di bawah tangan saja,

tetapi tidak tertutup kemungkinan PPJB dibuat dengan akta notaris.

1. PENGIKATAN JUAL BELI (PJB)

PJB adalah kesepakatan antara penjual untuk menjual properti miliknya kepada

pembeli yang dibuat dengan akta notaris. PJB bisa dibuat karena alasan tertentu seperti belum

lunasnya pembayaran harga jual beli dan belum dibayarkannya pajak-pajak yang timbul

karena jual beli. PJB ada dua macamnya yaitu PJB lunas dan PJB tidak lunas.

• PJB Lunas, dibuat apabila harga jual beli sudah dibayarkan lunas oleh pembeli kepada

penjual tetapi belum bisa dilaksanakan jual beli, karena antara lain, sertifikat masih dalam

pengurusan atau sebab lainnya yang menyebabkan Akta Jual Beli belum bisa dilaksanakan.

Dalam pasal-pasal PJB tersebut dicantumkan kapan AJB akan dilaksanakan dan
persyaratannya. Di dalam PJB lunas juga dicantumkan kuasa dari penjual kepada pembeli

untuk menandatangani AJB, sehingga penandatanganan AJB tidak memerlukan kehadiran

penjual.

• PJB Belum Lunas, dibuat apabila pembayaran harga jual beli belum lunas diterima oleh

penjual. Didalam pasal-pasal PJB tidak lunas sekurang-kurangnya dicantumkan jumlah uang

muka yang dibayarkan pada saat penandatanganan akta PJB, cara atau termin pembayaran,

kapan pelunasan dan sanksi-sanksi yang disepakati apabila salah satu pihak wanprestasi. Jadi

secara umum pasal-pasal yang ada dalam PJB tidak lunas sama dengan pasal-pasal yang ada

dalam PPJB. Nantinya PJB tidak lunas juga harus ditindaklanjuti dengan AJB pada saat

pelunasan.

2. AKTA JUAL BELI (AJB)

AJB adalah akta otentik yang dibuat oleh PPAT untuk peralihan hak atas tanah dan

bangunan. Pembuatan AJB sudah diatur sedemikian rupa melalui Peraturan Kepala Badan

Pertanahan Nasional (Perkaban) No. 08 Tahun 2012 Tentang Pendaftaran Tanah, sehingga

PPAT tinggal mengikuti format-format baku yang sudah disediakan.

Pembuatan AJB dilakukan setelah seluruh pajak-pajak yang timbul karena jual beli

sudah dibayarkan oleh para pihak sesuai dengan kewajibannya masing-masing. Pajak penjual

berupa Pajak Penghasilan (PPh) final sementara pajak pembeli berupa Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Besarnya PPh final adalah 2,5% dari nilai perolehan hak,

sementara besarnya BPHTB adalah 5% dari nilai peroleh hak setelah dikurangi dengan Nilai

Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) yang besarnya berbeda untuk masing-

masing wilayah.

Pada proses jual-beli rumah ada biaya lebih yang perlu dikeluarkan baik oleh pihak

pembeli ataupun penjual. Kebanyakan dari para pembeli atau penjual rumah baru kurang
mengetahui hal ini, sehingga tidak mendapatkan (saat jual) atau pun mengeluarkan (saat

beli) uang yang sesuai dengan harapannya.

Hal ini kurang dipahami karena biasanya persoalan ini diurus oleh developer selaku penjual

rumah baru. Akibatnya, ketika proses jual–beli rumah seken kedua belah pihak kurang

memahaminya.

Nah, daripada merasa tertipu nantinya, ada baiknya Anda mengenal 10 biaya tambahan dalam

jual–beli rumah, baik yang dibebankan kepada pembeli, atau pun yang dibebankan kepada

penjual.

Berikutdi antaranya:

1. PPh

Umumnya biaya ini dibebankan kepada penjual dengan biaya yang sudah ditentukan, yakni

5% dari harga jual. Contoh, jika Anda menjual rumah seharga Rp 1.000.000.000, maka biaya

PPh yang dikeluarkan adalah Rp 50.000.000 (Rp 1.000.000.000 x 5%).

2. BPHTB

BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak jual–beli yang

dibebankan kepada pembeli. Hanya saja, besaran BPHTB agak berbeda, yakni 5% dari harga

beli dikurangi NJOPTKP/NPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak). Besaran NJOPTKP

berbeda–beda tergantung dari wilayahnya.

Contoh, jika Anda membeli rumah seharga Rp 500.000.000 dengan NJOPTKP/NPTKP senilai

Rp 60.000.000, maka biaya BPHTB yang dikeluarkan pembeli adalah Rp 22.000.000 (5% x

[Rp 500.000.000 – Rp 60.000.000]).

3. PPN

Pajak Pertambahan Nilai dibebankan kepada pembeli untuk properti primary (rumah baru)

senilai 10% dari harga rumah. Properti yang kena PPN nilainya di atas Rp 36 juta.
Contoh, jika Anda membeli rumah seharga Rp 500.000.000, maka biaya PPN yang dikeluarkan

adalah Rp 50.000.000 (Rp 500.000.000 x 10%).

4. PPnBM

PPnBM (Pajak Penjualan Barang Mewah) dibebankan kepada pembeli properti yang tergolong

barang mewah. Untuk saat ini, properti yang tergolong PPnBM adalah bila luas bangunannya

di atas 150 m2. Besarannya adalah 20% dari harga jual. Perlu diketahui, PPnBM tidak berlaku

untuk jual-beli rumah/tanah antar perorangan, PPnBM hanya berlaku jika pihak pembeli

membeli properti langsung dari developer

5. Biaya Cek Sertifikat

Tujuannya untuk mengetahui bahwa properti Anda tidak berada di atas lahan sengketa.

Dilakukan di kantor BPN, sarat pengajuannya adalah sertifikat asli dan kondisi rumah yang

dibeli tidak dalam sengketa (catatan blokir, sita dari bank, sertifikat ganda, dan sebagainya).

Nilai biaya yang dibebankannya pun berbeda–beda tergantung dari wilayahnya. Namun,

umumnya berkisar antara Rp 50.000 sampai Rp 300.000.

6. Biaya AJB

Sebelum mengurus AJB (Akta Jual Beli), ada beberapa prosedur yang harus dipenuhi. Seperti

pemeriksaan sertifikat, pembayaran PBB, melunasi PPh, BPHTB dan syarat lainnya dengan

besaran yang juga tak bisa ditentukan. Biasanya adalah 0,5%-1% dari harga jual. Biaya AJB

ditanggung oleh pembeli, tapi bisa juga melalui kesepakatan antar penjual dan pembeli

supaya biaya tersebut ditanggung bersama.


Perlu diketahui, menurut PP No.37 tahun 1998 pasal 2 ayat 1, AJB dibuat oleh PPAT (Pejabat

Pembuat Akta Tanah), bukan notaris ataupun BPN.

7. PNBP

PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) biasanya dibayarkan sekaligus saat pengajuan BBN

dengan anggaran (1/1000 x harga jual rumah) + Rp 50.000. Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 13 Tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang

berlaku di BPN telah mengatur hal ini.

8. Biaya Notaris

Ada beberapa hal terkait jual–beli rumah yang perlu melibatkan notaris, di antaranya adalah:

 Biaya cek sertifikat, Rp 100.000

 Biaya SK, Rp 1.000.000

 Biaya validasi pajak, Rp 200.000

 Biaya AJB, Rp 2.400.000

 Biaya BBN, Rp 750.000

 Biaya SKHMT (Surat Kuasa Hak Membebankan hak Tanggungan), bila kredit Rp 250.000

 Biaya APHT (Akte Pemberian Hak Tanggungan), bila kredit Rp 1.200.000

Jika ditotal, semua biaya untuk notaris sekitar Rp 5.000.000. Namun, biaya ini tergantung dari

notaris yang ditunjuk. Biaya bisa saja lebih mahal dari itu, atau bahkan lebih murah.

9. Biaya Asuransi

Biaya ini dibebankan untuk memberi rasa aman kepada pembeli kalau-kalau terjadi bencana

pada rumah tersebut. Misalnya kebakaran dan lain sebagainya. Meski besar biaya preminya
tak bisa ditentukan, namun secara umum, polis standar kebakaran sekitar 0,5% dari nilai total

aset.

Contoh, premi untuk rumah seharga Rp 500.000.000 adalah Rp 250.000 (Rp 500.000.000 x

0,5%).

10. BBN

BBN (Biaya Balik Nama) diurus oleh PPAT setempat bersamaan dengan AJB. Proses balik nama

baru bisa dikeluarkan jika masing-masing dari pembeli dan penjual telah melunasi PPh,

BPHTB, PBB, serta syarat lainnya.

Umumnya, balik nama paling cepat 2 minggu dan paling lama 3 bulan karena kantor PPAT

mengurus balik nama sertifikat ke kantor BPN secara kolektif. Besar biayanya adalah (1/1000

x NJOP) + Rp 50.000. Besar NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak) berbeda-beda tergantung dari

lokasi rumah tersebut.

Dengan selesainya balik nama sertifikat maka hak yang melekat pada tanah dan

bangunan sudah berpindah dari penjual kepada pembeli. “Masyarakat atau calon konsumen

sebelum melakukan transaksi property, bias mendapatkan penjelasan kejelasan legalitasnya

apa saja perihal sebuah property kepada Notaris & PPAT.

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Daftar Pustaka

https://finance.detik.com/properti/3172063/10-biaya-tambahan-dalam-jual-beli-rumah

Anda mungkin juga menyukai