Anda di halaman 1dari 16

ETIKA PERUNDANG-UNDANGAN

PEMAHAMAN PROFESI, CIRI PROFESI, APOTEKER, KODE ETIK, LAFAL


SUMPAH, LEGALITAS PRAKTEK PROFESI (REGISTRASI, LISENSI, DAN
SERTIFIKASI APOTEKER)

Disusun oleh:
Agnes Kurnia Hana P., S.Farm. (148115003)
Archie Tobias, S.Farm. (148115010)
Giovanna Martina A., S.Farm. (148115026)
Isabela Anjani, S.Farm. (148115029)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2014
BAB I
KASUS

80 Persen Apotek Terindikasi Langgar Aturan

SORONG – Dari sekitar 40 apotek dan klinik dokter yang beroperasi di Kota Sorong, 80
persennya terindikasi melanggar Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 36 dan
PP Nomor 51 tahun 2009 tentang kefarmasian. Kedua aturan tersebut mengatur bahwa
apotek haruslah beroperasi dengan ada apoteker atau apoteker pendamping.
Hal ini disampaikan oleh Ketua Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Kota Sorong,
Ruslan Belang, S.Si Apt. kemarin (2/11). Dikatakannya, sebagian besar apotek di
Kota Sorong beroperasi tanpa adanya apoteker pendamping. ”Kalau apotekernya tidak ada,
maka apotek bisa beroperasi jika ada apoteker pendamping. Tapi, di Kota Sorong, dari sekitar
40 apotek dan klinik dokter praktek, hampir 80 persennya tetap beroperasi tanpa adanya
apoteker dan apoteker pendamping, dan ini adalah sebuah pelanggaran,”ujar Ruslan.
Lebih lanjut dikatakan, saat ini, ada apotek nakal yang masih tetap beroperasi tanpa
adanya apoteker penanggung jawab.”Kemudian, dari 5 klinik praktek dokter, hanya ada dua
klinik yang memiliki apoteker, dan sebenarnya itu jelas-jelas pelanggaran hukum,”tandasnya.
Atas pelanggaran yang dilakukan klinik-klinik tersebut, pihaknya lanjut Ruslan
sudah menyurat kepada Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota Sorong serta Balai
Pengawasan Obat-dan Makanan (BPOM) untuk menyikapi soal pelanggaran tersebut.
“Harus beroperasi dengan adanya apoteker, dan kita kasih kesempatan mereka untuk
melakukan subtitusi aturan itu. Dan kini beberapa sudah melakukan pengurusan untuk
apoteker pendamping. Tapi kami dari IAI menilai itu terlalu lama, karena batas tenggang
waktu yang diberikan pemerintah itu sampai pada bulan Agustus, tapi ini kan sudah bulan
November,” jelasnya.
Ruslan juga mewarning kepada para pengusaha apotek dengan memberikan tiga
alternatif jika ingin tetap beroperasi. Disamping pihaknya tetap menyurat kepada para
apoteker untuk sesegera mungkin mencari apoteker pendamping. “Kita tetap bersurat kepada
apoteker penanggung jawabnya untuk mencari apoteker pendamping atau ada 3 alternatif
yang kami berikan, yakni yang pertama dia (Apoteker, red) harus masuk secara terus
menerus, kedua kalau dia tidak ada dia harus pakai apoteker pendampingnya, ketiga, apotek
hanya boleh buka pada saat apoteker berada di tempat,” terang Ruslan. (ans)
Sumber: http://www.radartimika.com/index.php?mib=berita.detail&id=3868
BAB II
PERMASALAHAN

Dalam artikel “80 Persen Apotek Terindikasi Langgar Aturan” yang terdapat pada
Bab I, terdapat beberapa permasalahan yang muncul, yaitu:
1. Adanya sejumlah klinik yang melakukan pelayanan kefarmasian di Sorong yang
beroperasi tanpa adanya apoteker.
2. Adanya sejumlah apotek di Sorong yang beroperasi tanpa kehadiran Apoteker Pengelola
Apotek maupun Apoteker Pendamping selama jam apotek beroperasi.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


BAB III Hak dan Kewajiban (Bagian Kesatu: Hak)
Pasal 7
Setiap orang berhak untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang
seimbang dan bertanggung jawab.
Pasal 8
Setiap orang berhak memperoleh informasi tentang data kesehatan dirinya termasuk tindakan
dan pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga kesehatan.
Pelanggaran
Kasus tidak adanya apoteker di sejumlah klinik dan apotek di Sorong dinilai telah melanggar
hak pasien untuk memperoleh informasi dan edukasi kesehatan yang seimbang dan
bertanggung jawab, serta pengobatan yang telah maupun yang akan diterimanya dari tenaga
kesehatan. Pasien berhak untuk menerima informasi-informasi tersebut dari tenaga kesehatan
dalam hal ini yaitu apoteker. Apoteker sebagai pihak yang memiliki kompetensi untuk
menyampaikan informasi yang bertanggung jawab terkait kesehatan dan pengobatan.

BAB V Sumber Daya di Bidang Kesehatan (Bagian Kesatu: Tenaga Kesehatan)


Pasal 24 ayat (1)
(1) Tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 harus memenuhi ketentuan
kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan
standar prosedur operasional.
Pelanggaran
Tenaga kesehatan, dalam hal ini apoteker, yang tidak ada di tempat selama jam apotek
beroperasi dan klinik merupakan pelanggaran terhadap kode etik apoteker. Semua bentuk
pelayanan kefarmasian sudah seharusnya dilakukan oleh seorang apoteker. Pelanggaran
terhadap Kode Etik Apoteker Indonesia akan dibahas lebih lanjut di bawah (poin E).

BAB VI Upaya Kesehatan (Bagian Kelimabelas: Pengamanan dan Penggunaan Sediaan


Farmasi dan Alat Kesehatan)
Pasal 108 ayat (1)
(1) Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan
farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat
atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan
obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan
kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pelanggaran
Tidak adanya apoteker atau ketidak hadiran apoteker di sejumlah klinik dan apotek selama
jam buka klinik dan apotek menunjukkan bahwa tidak adanya praktik kefarmasian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan dalam bidang
tersebut.

B. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian


BAB I Ketentuan Umum
Pasal 1 butir 4
Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada
pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti
untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien.
Pasal 1 butir 5
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan telah mengucapkan
sumpah jabatan apoteker.
Pasal 1 butir 13
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh
apoteker.
Pasal 2 ayat (2)
(2) Pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.
Pelanggaran
Berdasarkan pasal-pasal di atas, sejumlah klinik dan apotek dinilai telah melanggar
ketentuan-ketentuan tersebut. Pelayanan kefarmasian seharusnya dilakukan secara langsung
dan bertanggung jawab kepada pasien. Dalam hal ini khususnya di apotek, telah dinyatakan
dengan jelas bahwa praktek kefarmasian harus dilakukan oleh seorang apoteker. Apoteker
yang tidak melaksanakan hal-hal tersebut juga melanggar sumpah jabatan apoteker.
Pelanggaran terhadap sumpah jabatan apoteker akan dibahas lebih lanjut di bawah (poin F).
BAB II Penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian (Bagian Kelima: Pelaksanaan
Pekerjaan Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian)
Pasal 21
(1) Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker
harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian.
(2) Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh apoteker.
Pelanggaran
Apoteker yang tidak ada atau tidak hadir selama jam apotek beroperasi atau klinik
menyebabkan pelayanan kefarmasian yang tidak dilakukan oleh apoteker, yaitu orang yang
berwenang dan berkompetensi dalam hal ini. Pada kenyataannya, penyerahan dan pelayanan
obat berdasarkan resep dokter jarang dilaksanakan oleh apoteker.

Pasal 24 butir a
Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker
dapat mengangkat seorang apoteker pendamping yang memiliki SIPA.
Pelanggaran
Apoteker Pengelola Apotek (APA) ataupun Apoteker Penanggung Jawab di suatu klinik yang
berhalangan hadir selama jam apotek beroperasi atau klinik sudah seharusnya menunjuk
seorang apoteker pendamping. Sehingga dalam keadaan APA tidak ada di tempat, pelayanan
kefarmasian tetap dilakukan oleh seorang apoteker, dan bukan oleh tenaga lain yang tidak
berwenang dalam pelayanan kefarmasian.

Pasal 25 ayat (2)


(2) Dalam hal apoteker yang mendirikan apotek bekerja sama dengan pemilik modal maka
pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh apoteker yang bersangkutan.
Pelanggaran
Sejumlah apotek dimungkinkan telah melanggar ketentuan ini. Walaupun apotek adalah milik
apoteker itu sendiri, ataupun apoteker bekerja sama dengan pemilik modal, pekerjaan
kefarmasian harus tetap dilakukan oleh apoteker sebagai pihak yang berkompetensi.

BAB III Tenaga Kefarmasian


Pasal 51 ayat (1)
(1) Pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit hanya
dapat dilakukan oleh apoteker.
Pelanggaran
Sejumlah klinik dan apotik dinilai telah melanggar ketentuan ini karena sudah jelas
dinyatakan bahwa pelayanan kefarmasian di semua fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat
harus dilakukan oleh apoteker.

C. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik


Pasal 14
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di klinik harus bekerja sesuai dengan standar profesi,
standar prosedur operasional, standar pelayanan, etika profesi, menghormati hak pasien, serta
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
Pasal 21
(1) Klinik rawat jalan tidak wajib melaksanakan pelayanan farmasi
(2) Klinik rawat jalan yang menyelenggarakan pelayanan kefarmasian wajib memiliki
apoteker yang memiliki Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA) sebagai penanggung jawab
atau pendamping.
Pasal 22 ayat (1)
(1) Klinik rawat inap wajib memiliki instalasi farmasi yang diselenggarakan apoteker.
Pelanggaran
Dalam kasus ini dari total 5 klinik, hanya 2 klinik yang memiliki apoteker. Selama klinik
tersebut memiliki instalasi farmasi dan melakukan pelayanan kefarmasian, maka klinik
diwajibkan memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab. Dalam kasus ini
terindikasi sebagai sebuah pelanggaran apabila pelayanan kefarmasian tetap dilakukan tanpa
adanya apoteker. Apoteker yang tidak ada di tempat selama jam buka klinik tidak sesuai
dengan kode etik dan standar profesi. Apoteker juga tidak mengutamakan kepentingan dan
keselamatan pasien, karena pelayanan kefarmasian dilakukan oleh tenaga lain yang bukan
seorang apoteker.

D. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Ketentuan


dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek
BAB I Ketentuan Umum
Pasal 12 ayat (1)
(1) Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan sediaan farmasi
yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin.
Pasal 19 ayat (1) dan (2)
(1) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya pada jam apotek
beroperasi, Apoteker Pengelola Apotek harus menunjuk apoteker pendamping.
(2) Apabila Apoteker Pengelola Apotek dan apoteker pendamping karena hal-hal tertentu
berhalangan melakukan tugasnya, Apoteker Pengelola Apotek menunjuk apoteker
pengganti.
Pelanggaran
Pelanggaran jelas terjadi pada pasal ini dikarenakan apoteker, baik Apoteker Pengelola
Apotek maupun apoteker pendamping tidak berada di apotek saat apotek tersebut beroperasi.
Apoteker dinilai telah melanggar ketentuan tersebut karena selama apotek masih beroperasi
dan selama jam apotek beroperasi harus ada seorang apoteker yang ada di tempat, baik
Apoteker Pengelola Apotik, apoteker pendamping atau apoteker pengganti.

E. Kode Etik Apoteker Indonesia


Praktik pelayanan kefarmasian oleh seorang apoteker dilakukan berdasarkan Kode
Etik Apoteker Indonesia yang dikeluarkan oleh organisasi profesi, yaitu Ikatan Apoteker
Indonesia (IAI). Apoteker di sejumlah klinik dan apotek di Sorong dinilai telah melanggar:
BAB I Kewajiban Umum
Pasal 1
Seorang apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah/Janji
Apoteker.
Pasal 2
Seorang apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan
Kode Etik Apoteker Indonesia.
Pasal 3
Seorang apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai kompetensi Apoteker
Indonesia serta selalu mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam
melaksanakan kewajibannya.
Pasal 5
Di dalam menjalankan tugasnya seorang apoteker harus menjauhkan diri dari usaha mencari
keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur jabatan
kefarmasian.
Pasal 7
Seorang apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya.
Pelanggaran
Apoteker yang bekerja pada sejumlah klinik dan apotik di Sorong dinilai telah melanggar
pasal-pasal di atas dalam Kode Etik Apoteker Indonesia. Apoteker yang tidak hadir selama
jam apotek beroperasi tidak mengamalkan sumpah atau janji apoteker serta tidak sungguh-
sungguh dalam mengamalkan kode etik profesinya (pasal 1 dan 2). Apoteker juga seharusnya
berada, dalam hal ini, di klinik atau apotek, melakukan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan
kompetensinya, seperti pelayanan dan penyerahan resep dokter, serta pemberian informasi
dan edukasi pengobatan kepada pasien (pasal 3).
Apoteker juga dinilai melanggar pasal 5 dalam Kode Etik Apoteker Indonesia. Apoteker yang
tidak hadir selama jam operasional klinik dan apotek cenderung hanya berorientasi pada
materi karena tidak sungguh-sungguh dalam melakukan pekerjaan kefarmasian yang
merupakan kewajibannya.

BAB V Penutup
Pasal 15
Seorang apoteker bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker
Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari.
Pelanggaran
Apoteker dinilai telah melanggar Kode Etik Apoteker Indonesia dalam pekerjaan kefarmasian
yang dilakukannya. Apoteker dinilai tidak bersungguh-sungguh dalam mengimplementasikan
Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari-hari.

F. Sumpah/Janji Apoteker
Sebelum melakukan pekerjaan yang menjadi kewenangan dan kompetensinya,
seorang apoteker harus mengucapkan lafal sumpah atau janji menurut agama yang
dipeluknya. Isi sumpah/janji apoteker sesuai dengan PP Nomor 20 Tahun 1962 tentang Lafal
Sumpah Janji Apoteker adalah sebagai berikut:
1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan, terutama dalam
bidang kesehatan.
2. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
keilmuan saya sebagai apoteker.
3. Sekalipun diancam, saya tidak akan mempergunakan pengetahuan kefarmasian saya untuk
sesuatu yang bertentangan dengan hukum perikemanusiaan.
4. Saya akan menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan
tradisi luhur jabatan kefarmasian.
5. Dalam menunaikan kewajiban saya, saya akan berihtiar dengan sungguh-sungguh supaya
tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, politik, kepartaian
atau kedudukan sosial.
6. Saya ikrarkan sumpah/janji ini dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh keinsyafan.
Pelanggaran
Apoteker yang tidak hadir di sejumlah klinik dan apotek selama jam operasional di Sorong
juga melanggar lafal sumpah/janji apoteker yang telah diucapkannya. Apoteker tersebut
dinilai telah melanggar sumpah/janji apoteker pada butir 1 dan 4. Apoteker yang tidak hadir
tersebut sudah jelas tidak menjalankan tugas yang menjadi kewajibannya dengan sebaik-
baiknya. Apoteker tersebut juga tidak mengimplementasikan isi dari butir 1 sepenuhnya.
Dengan ketidak hadiran apoteker di klinik atau apotek, tidak ada pelayanan kesehatan dalam
bidang kefarmasian yang dilakukan oleh apoteker tersebut. Sudah seharusnya sumpah/janji
apoteker dijadikan landasan bagi seorang apoteker sebagai landasan moral dalam pengabdian
profesinya.
BAB IV
SANKSI

A. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


BAB XVIII Pembinaan dan Pengawasan (Bagian Kedua: Pengawasan)
Pasal 188 ayat (1) dan (3)
(1) Menteri dapat mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
(3) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. peringatan
secara tertulis; b. pencabutan izin sementara atau izin tetap.

BAB XX Ketentuan Pidana


Pasal 198
Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik
kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (serratus juta rupiah).
Pasal 201
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191,
pasal 192, pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199, dan pasal 200 dilakukan oleh
korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat
dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192,
pasal 196, pasal 197, pasal 198, pasal 199, dan pasal 200.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi
pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan
hukum.

B. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Ketentuan


dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek
Pasal 19 ayat (5)
(5) Apabila Apoteker Pengelola Apotek berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 (dua)
tahun secara terus menerus, Surat Izin Apotek atas nama Apoteker bersangkutan dicabut.
Pasal 25 ayat (1)
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut surat izin apotek apabila:
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi ketentuan yang dimaksud dalam pasal 5 dan atau;
b. Apoteker tidak memenuhi kewajiban dimaksud dalam pasal 12 dan pasal 15 ayat (2)
dan atau;
c. Apoteker Pengelola Apotek terkena ketentuan dimaksud dalam pasal 19 ayat (5) dan
atau;
d. Terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 31 dan atau;
e. Surat Izin Kerja Apoteker Pengelola Apotek dicabut dan atau;
f. Pemilik Sarana Apotek terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-undangan di
bidang obat dan atau;
g. Apotek tidak lagi memenuhi persyaratan dimaksud dalam pasal 6.

C. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang Klinik


BAB VI Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 41
(1) Dalam rangka pembinaan dan pengawasan, menteri, gubernur, kepala dinas kesehatan
provinsi, bupati/walikota, dan kepala dinas kesehatan kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangan masing-masing dapat mengambil tindakan administratif.
(2)Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan izin tenaga kesehatan; dan/atau
d. pencabutan izin/rekomendasi klinik.

D. Kode Etik Apoteker Indonesia


Jika seorang apoteker baik dengan sengaja maupun tak sengaja melanggar atau tidak
mematuhi Kode Etik Apoteker Indonesia, maka dia wajib mengakui dan menerima sanksi
dari pemerintah, ikatan/organisasi profesi farmasi yang menanganinya (IAI) dan
mempertanggungjawabkannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Apabila apoteker melakukan pelanggaran kode etik apoteker, yang bersangkutan
dikenakan sanksi organisasi. Sanksi dapat berupa pembinaan, peringatan, pencabutan
keanggotaan sementara, dan pencabutan keanggotaan tetap.
BAB V
SOLUSI

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 889/MENKES/PER/V/2011 tentang


Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga Kefarmasian, dijelaskan mengenai Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA), Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA), dan Surat Izin Kerja
Apoteker (SIKA).
BAB I Ketentuan Umum
Pasal 1 butir 8, 11, dan 12
8. Surat Tanda Registrasi Apoteker, yang selanjutnya disingkat STRA adalah bukti tertulis
yang diberikan oleh menteri kepada apoteker yang telah diregistrasi.
11. Surat Izin Praktik Apoteker, yang selanjutnya disingkat SIPA adalah surat izin yang
diberikan kepada apoteker untuk dapat melaksanakan praktik kefarmasian pada fasilitas
pelayanan kefarmasian.
12. Surat Izin Kerja Apoteker, yang selanjutnya disebut SIKA adalah surat izin praktik yang
diberikan kepada Apoteker untuk dapat melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada
fasilitas produksi atau fasilitas distribusi atau penyaluran.

BAB II Registrasi
Bagian Kesatu: Umum
Pasal 2
(1) Setiap tenaga kefarmasian yang menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki
surat tanda registrasi.
(2) Surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. STRA bagi Apoteker; dan
b. STRTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian

Bagian Kedua: Persyaratan Registrasi


Pasal 7 ayat (1)
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker harus memenuhi persyaratan:
a. memiliki ijazah Apoteker;
b. memiliki sertifikat kompetensi profesi;
c. memiliki surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji Apoteker;
d. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin
praktik; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.

Bagian Keempat: Tata Cara Memperoleh Surat Tanda Registrasi


Pasal 12
(1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker mengajukan permohonan kepada KFN dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 1 terlampir.
(2) Surat permohonan STRA harus melampirkan:
a. fotokopi ijazah Apoteker;
b. fotokopi surat sumpah/janji Apoteker;
c. fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku;
d. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memilikisurat izin praktik;
e. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi; dan
f. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3
cm sebanyak 2 (dua) lembar.
(3) Permohonan STRA dapatdiajukan dengan menggunakan teknologi informatika atau
secara online melalui website KFN.
(4) KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat
permohonan diterima dan dinyatakan lengkap menggunakan contoh sebagaimana
tercantum dalam Formulir 2 terlampir.

Bagian Keenam: Pencabutan STRA dan STRTTK


Pasal 16 ayat (1)
(1) STRA atau STRTTK dapat dicabut karena:
a. permohonan yang bersangkutan;
b. pemilik STRA atau STRTTK tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental
untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan surat keterangan dokter;
c. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian; atau
d. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan
putusan pengadilan.

BAB III Izin Praktik dan Izin Kerja


Bagian Kesatu: Umum
Pasal 17
(2) Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian wajib memiliki
surat izin sesuai tempat tenagakefarmasian bekerja.
(3) Surat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanankefarmasian;
b. SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
c. SIKA bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas produksi atau
fasilitas distribusi/penyaluran; atau
d. SIKTTK bagi Tenaga Teknis Kefarmasian yang melakukan pekerjaan kefarmasian
pada fasilitas kefarmasian.
Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3)
(1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian atau SIKA
hanya diberikan untuk 1 (satu) tempat fasilitas kefarmasian.
(2) Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan kefarmasian berupa puskesmas dapat
menjadi Apoteker pendamping di luar jam kerja.
(3) SIPA bagi Apoteker pendamping dapat diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat
fasilitas pelayanan kefarmasian.

Bagian Kedua: Tata Cara Memperoleh SIPA, SIKA, dan SIKTTK


Pasal 21
(1) Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan
menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir.
(2)Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan:
a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari
pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau
distribusi/penyaluran;
c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan
d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua)
lembar;
(3) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan
secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau
ketiga.
(4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling
lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap
dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir 8
terlampir.

Bagian Ketiga: Pencabutan


Pasal 23
(1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPA, SIKA atau SIKTTK
karena:
a. atas permintaan yang bersangkutan;
b. STRA atau STRTTK tidak berlaku lagi;
c. yang bersangkutan tidak bekerja pada tempat yang tercantum dalam surat izin;
d. yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk
menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan pembinaan dan pengawasan dan
ditetapkan dengan surat keterangan dokter;
e. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian berdasarkan rekomendasi
KFN; atau
f. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan
putusan pengadilan.
DAFTAR PUSTAKA

Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia, 2009, Kode Etik Apoteker Indonesia dan Implementasi-
Jabaran Kode Etik, Ikatan Apoteker Indonesia, Jakarta.

Menteri Kesehatan RI, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor


1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin
Apotek, Menteri Kesehatan RI, Jakarta.

Menteri Kesehatan RI, 2011, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktik, dan Izin Kerja Tenaga
Kefarmasian, Menteri Kesehatan RI, Jakarta.

Menteri Kesehatan RI, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2014 tentang
Klinik, Menteri Kesehatan RI, Jakarta.

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Jakarta.

Radar Timika, 2012, 80 Persen Apotek Terindikasi Langgar Aturan,


http://www.radartimika.com/index.php?mib=berita.detail&id=3868, diakses pada
tanggal 17 September 2014.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai