Anda di halaman 1dari 23

1.

Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal merupakan gold standard manajemen jalan napas, karena mampu
menjaga patensi jalan napas dengan baik, mencegah aspirasi dengan maksimal, dan
memungkinkan pemberian ventilasi dengan tekanan positif yang lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan penggunaan facemask atau supraglottic airway (SGA).7
A. Indikasi
Indikasi absolut dilakukannya intubasi endotrakeal antara lain pasien dengan
lambung yang terisi penuh atau pada pasien dengan risiko aspirasi isi lambung ataupun
darah, pasien yang sakit kritis, pasien dengan kelainan paru (misal, compliance yang
rendah, resistensi jalan napas yang tinggi, dan oksigenasi yang terganggu), pasien yang
akan menjalani bedah THT ataupun mulut dimana pemasangan SGA dapat menganggu
proses pembedahan, pasien yang membutuhkan ventilator pasca operasi, dan pada
pasien yang gagal dipasang SGA. Indikasi lain intubasi adalah tindakan bedah yang
memerlukan penggunaan obat-obatan neuromuscular blocker, posisi pasien yang
mempersulit tindakan manajemen jalan napas (misalnya tengkurap, atau miring dan
menjauhi pelaksana anestesi), dan prosedur operasi yang lama.7
B. Pipa Endotrakeal
Pipa endotrakeal atau disebut juga endotracheal tube (ETT), saat ini tersedia
dalam bentuk sekali pakai, memiliki cuff, terbuat dari plastik, dan dibentuk untuk
dimasukkan melalui hidung ataupun mulut dengan ujung distalnya berada di tengah
trakea, sehingga secara paten membuka jalan napas dan memungkinkan ventilasi paru-
paru.7
Terdapat berbagai jenis ETT yang dirancang untuk penggunaan pada kondisi tertentu,
tetapi terdapat standar yang sama pada berbagai jenis ETT tersebut, antara lain:
 Penggunaan adapter 15 mm pada ujung proksimal untuk
 ETT dengan mesin atau perangkat ventilasi

 Cuff dengan volume tinggi dan tekanan rendah

 Ujung distal yang terpotong miring (beveled) untuk meningkatkan visibilitas dan
memudahkan proses intubasi

 Lubang tambahan pada bagian samping ujung distal ETT, disebut juga Murphy eye,
sebagai jalur ventilasi cadangan apabila ujung distal lumen terobstruksi oleh jaringan
lunak ataupun sekret.7

Cuff volume tinggi dan tekanan rendah pada ETT diisi dengan udara untuk
menyegel ETT dengan dinding trakea sehingga melindungi paru-paru dari aspirasi dan juga
mencegah terjadinya kebocoran udara ke saluran napas atas saat ventilasi dilakukan.
Tekanan pada cuff tidak boleh melebihi 25 cm H2O. Tekanan berlebihan pada cuff dapat
menyebabkan kerusakan jaringan mukosa trakea, disfungsi pita suara karena palsi nervus
laryngeus recurrens, dan juga nyeri tenggorok. Ketika N2O digunakan, tekanan pada cuff
perlu dipantau karena difusi N2O ke dalam cuff dapat meningkatkan tekanan di dalam cuff.7
Beberapa jenis ETT yang terbentuk khusus untuk keadaan-keadaan tertentu, seperti
pipa nasal dan pipa oral Ring-Adair-Elwin (RAE) yang memiliki lekuk spesifik untuk
memudahkan tindakan operasi tertentu. Terdapat istilah ETT non-kinking untuk ETT yang
disematkan dengan kumparan kawat sehingga meminimalisir tekukan/bengkokkan
(kinking) pada posisi pasien yang tidak umum.7

C. Intubasi Orotrakeal dan Nasotrakeal


Intubasi endotrakeal dapat dilakukan melalui jalur orotrakeal ataupun
nasotrakeal. Intubasi nasotrakeal umumnya diindikasikan ketika jalur orotrakeal tidak
memungkinkan dilakukannya intubasi, misalnya pada pasien dengan pembukaan mulut
yang terbatas, atau pada tindakan bedah yang dilakukan di sekitar jalur orotrakeal.
Intubasi nasotrakeal tidak memicu refleks muntah dan biasanya lebih ditoleransi oleh
pasien dalam kondisi sadar. Tetapi, terdapat risiko epistaksis, trauma pada turbinasi
nasal, dan submucosal tunneling pada nasofaring. Pada beberapa teknik intubasi,
seperti blind intubation, awake intubation, dab flexible scope intubation, jauh lebih
mudah dilakukan melalui jalur nasotrakeal.7
Apabila tidak ada indikasi intubasi melalui jalur nasotrakeal, biasanya jalur
orotrakeal digunakan karena memiliki beberapa keuntungan, antara lain:
 Risiko trauma dan perdarahan jalan napas yang lebih kecil
 Dapat menggunakan ETT dengan ukuran yang lebih besar
 Lebih banyak teknik manajemen jalan napas yang dapat dilakukan7

D. Laringoskopi Langsung
Teknik yang paling umum digunakan pada intubasi endotrakeal adalah
laringoskopi langsung, dimana visualisasi glottis secara langsung dibantu dengan
menggunakan laringoskop. ETT dimasukkan melalui glottis menuju ke trakea sambil
dilakukan observasi dengan seksama.7
1. Persiapan dan Posisi
Persiapan laringoskopi langsung antara lain pemosisian pasien dengan
baik, preoksigenasi yang adekuat, dan ketersediaan peralatan yang dibutuhkan,
yaitu:
Scopes: stetoskop, laringoskop
Tubes: 3 ukuran ETT
Airways: airway alternatif selain ETT, seperti oropharingeal airway,
supraglottic airway
Tapes: micropore
Introducer: stylet
Connectors: untuk menghubungkan ETT dengan mesin/perangkat ventilasi
Suction: untuk membersihkan jalan napas dari sekret atau cairan lainnya7
Diperlukan juga spuit kosong untuk mengisi dan mengosongkan cuff,
dan perlengkapan ventilasi menggunakan sungkup beserta sumber oksigen.7
Supaya laringoskopi langsung dapat dilakukan dengan baik, garis
pandang dari mulut ke laring harus dapat ditemukan, garis pandang ini dapat
lebih mudah ditemukan dengan sniffing position. Terdapat 3 axis anatomis yaitu
oral, faringeal, dan laringeal. Pada sniffing position, fleksi leher menyelaraskan
aksis faringeal dan laringeal, sedangkan ekstensi kepala maksimal
menyelaraskan aksis oral dengan aksis-aksis yang lain.7
Pengaturan posisi pasien pada sniffing position membutuhkan fleksi
leher berkisar 35 derajat, yang dapat dilakukan dengan elevasi kepala
menggunakan alas setinggi 7 – 9 cm; pasien dengan leher pendek memerlukan
lebih sedikit elevasi kepala. Pasien dengan obesitas seringkali membutuhkan
elevasi pada bahu dan punggung atas untuk mencapai fleksi leher yang
adekuat.7

Gambar 1. Aksis Visual


2. Teknik Laringoskopi
Teknik laringoskopi terdiri dari pembukaan mulut, insersi bilah
laringoskop, pengaturan posisi ujung bilah laringoskop, mengangkat
laringoskop dan memvisualisasi glottis, lalu memasukkan ETT melalui pita
suara masuk ke dalam trakea. Pembukaan mulut dapat dilakukan dengan tenik
scissors; ibu jari tangan kanan mendorong molar bawah sisi kanan ke arah
caudal sedangkan jari telunjuk atau jari tengah tangan kanan mendorong molar
atas sisi kanan ke arah yang berlawanan. 7
Bilah laringoskop dimasukkan dari sisi kanan mulut, dan kemudian sirip
bilah digunakan untuk menggeser lidah ke sebelah kiri. Bilah dimasukkan
menyelusuri lidah sampai epiglottis dapat tervisualisasi, bilah kemudian
dimasukkan hingga ujungnya terletah pada vallecula. Pengangkatan
laringoskop dengan sudut 45 derajat menjauh dari operator akan mengangkat
epiglottis secara tidak langsung sehingga glottis dapat terlihat. Setelah glottis
dapat terlihat, ETT dipegang dengan genggaman menyerupai genggaman pensil
oleh tangan kanan dan kemudian ETT dimasukkan ke trakea melalui glottis
yang sudah terlihat. 7
Terdapat beberapa manipulasi yang dapat dilakukan secara eksternal
untuk meningkatkan visibilitas glottis, salah satunya yang umum dilakukan
adalah BURP maneuver (backward, upward, rightward pressure) pada kartilago
tiroid. Manipulasi laringeal yang optimal dicapai ketika operator laringoskopi
menggunakan tangan kanannya untuk memposisikan kartilago tiroid yang
kemudian diberikan tekanan oleh seorang asisten. 7
Kesulitan pada saat dilakukannya intubasi endotrakeal melalui
laringoskopi langsung sangat dipengaruhi oleh visibilitas glottis. Terdapat
beberapa hal yang dapat memprediksikan pelaksanaan laringoskopi yang sulit,
antara lain:
 Gigi insisivus atas yang panjang
 Overbite yang prominen
 Kesulitan menggerakan mandibula ke anterior
 Pembukaan mulut yang kecil
 Klasifikasi Mallampati III atau IV
 Palatum yang tinggi dan melengkung
 Jarak tiromental yang pendek
 Leher yang pendek dan tebal
 Pergerakan leher yang terbatas
Cormack dan Lehane telah membuat skala penilaian berdasarkan
visualisasi laringoskopis:
Grade I: Epiglottis dan glottis tampak secara sempurna
Grade II: Epiglottis tampak utuh, glottis tidak tampak secara
keseluruhan
Grade III: Hanya epiglottis yang tampak
Grade IV: Tidak tampak epiglottis maupun laring

Gambar 2. Skala penilaian visualisasi laringoskopis (Cormack-Lehane)

3. Teknik Intubasi Nasotrakeal


Sebelum dilakukannya intubasi nasotrakeal, lubang hidung yang paling
paten dipilih terlebih dahulu sebagai jalur intubasi. Pemilihan ini dapat
dilakukan dengan cara satu persatu menutup lubang hidung pasien sambil
meminta pasien menarik napas yang dalam, biasanya pasien dapat mengatakan
lubang hidung yang mana yang lebih mudah digunakan untuk menarik napas.
Untuk mengurangi risiko epistaksis, vasokonstriktor mukosa nasal (kokain,
phenylephrine, oxymetazoline) dapat diberikan. ETT nasal perlu dilubrikasi
terlebih dahulu dan dimasukkan ke hidung dengan bevelnya menghadap ke arah
lateral, supaya menurunkan risiko avulsi turbinasi hidung. ETT dimasukkan
dengan menyelusuri dasar dari rongga hidung, di bawah konka inferior. Setelah
ETT masuk ke rongga orofaring, prosedur dilanjutkan dengan laringoskopi
langsung. Pemasukkan ETT ke dalam laring dibantu menggunakan forcep
Magill. 7
4. Konfirmasi Posisi Pipa Endotrakeal
Setelah ETT diposisikan pada tempatnya, laringoskop dikeluarkan dari
mulut, cuff ETT dikembangkan, kemudian pasien diventilasi secara manual
sambil mempertahankan posisi ETT secara manual. 7
Posisi intubasi endotrakeal dapat dikonfirmasi dengan:
• Adanya pengembangan dada
• Tampak kondensasi pada ETT
• Suara napas yang equal kiri dan kanan pada seluruh lapang paru
• Tidak ada suara udara pada epigastrium
• Volume tidak ekspirasi yang tinggi
• Compliance pada reservoir bag yang adekuat selama ventilasi manual
• Paling penting dan paling objektif: nilai capnograph yang normal
Hipoksemia, peningkatan tekanan pada jalan napas, pengembangan
dada yang asimetris, dan hilangnya suara napas pada salah satu paru (biasanya
paru kiri), mengindikasikan terjadinya intubasi endobronkial. 7
5. Ekstubasi
Ekstubasi merupakan salah satu komponen penting dalam pengelolaan
jalan napas. Risiko komplikasi saat ekstubasi dapat terjadi lebih sering terjadi
dibandingkan saat induksi dan intubasi. Beberapa contok komplikasi ekstubasi
antara lain:
• Laringospasme dan bronkospasme
• Obstruksi jalan napas atas
• Hipoventilasi
• Perubahan hemodinamik (hipertensi, takikardia)
• Batuk dan merejan, mengakibatkan terbukanya luka operasi
• Edema laring ataupun jalan napas
• Edema pulmonal tekanan negatif
• Pergerakan pita suara yang paradoksik
• Dislokasi aritenoid
• Aspirasi
Berdasarkan keuntungan dan kerugiannya, perlu dipertimbangkan
apakah ekstubasi dilakukan saat pasien sudah sadar ataupun saat pasien masih
dalam pengaruh anestesi yang dalam. Ekstubasi saat pasien sudah sadar dapat
lebih mudah menjaga patensi jalan napas karena tonus otot faring yang refleks-
refleks jalan napas yang sudah mulai kembali. Ekstubasi saat pasien masih
dalam keadaan teranestesi secara dalam dapat menghindari terjadinya batuk dan
komplikasi hemodinamik, tetapi berisiko terjadi obstuksi jalan napas bagian
atas dan hipoventilasi. Ekstubasi saat pasien masih dalam keadaan anestesi
derajat ringan (stage II) perlu dihindari karena meningkatkan risiko
laringospasme dan komplikasi jalan napas lainnya. 7
Persiapan ekstubasi perlu mencakup reversal obat-obat neuromusular
blocker, stabilitas hemodinamis, normothermia, dan pemberian analgetik yang
adekuat. Perlu dilakukan preoksigenasi terlebih dahulu dengan oksigen murni
(100%). Penghisapan sekret/cairan pada jalan napas, pengeluaran throat packs,
dan pemasangan bite lock perlu dilakukan selama pasien masih dalam keadaan
teranestesi dalam. Bite block penting digunakan terutama saat dilakukan
ekstubasi saat pasien sadar, karena mencegah tergigitnya dan obstruksi jalan
napas ketika pasien terbangun (emergence). Penggunaan oropharyngeal airway
tidak direkomendasikan digunakan sebagai bite block, karena dapat
menyebabkan kerusakan pada gigi; penggunaan kassa yang digulung dan
ditaruh diarea molar dapat digunakan. 7
Sniffing posisition merupakan standar posisi saat melakukan ekstubasi
karena posisi jalan napas yang optimal. Pada pasien dengan risiko aspirasi
tinggi, ekstubasi dapat dilakukan dengan posisi lateral decubitus. 7
Pemberian tekanan positif sejenak sebelum dikempiskannya cuff dapat
membantu mengeluarkan sekresi yang terbendung di atas cuff. Ekstubasi harus
dilakukan dengan cuff dalam kondisi sepenuhnya kempis; ekstubasi dengan
cuff dalam keadaan masih mengembang dapat menyebabkan cidera pita suara
atau dislokasi aritenoid. 7
2. Obat-obatan yang digunakan
A. Premedikasi
Premedikasi dilakukan untuk mengurangi kecemasan, mengurangi nyeri,
mengurangi kebutuhan obat-obat anestetik, mengurangi sekresi saluran pernapasan,
menyebabkan amnesia, mengurangi kejadian mual-muntah pascaoperasi, membantu
pengosongan lambung, mengurangi produksi asam lambung atau meningkatkan pH
asam lambung, dan mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan.1
1. Benzodiazepin: Diazepam, temazepam, lorazepam, dan midazolam.
Obat ini memberikan efek ansiolitik, sedative, dan amnesia. Midazolam
oral paling sering digunakan pada anak dengan dosis 0.2-0.4 mg/kgbb. Obat
sedative pada umumnya berpotensi menyebabkan hipotensi. Efek singinifikan
kardiovaskular dari midazolam terjadi akbiat vasodilatasi perifer yang diinduksi
oleh benzodiazepine. Waktu pulih midazolam akan meningkat pada pasien usia
lanjut, obesitas, dan penyakit hati berat.1
2. Opioid
Efek yang dapat ditimbulkan adalah sedasi oleh karena depress susunan
saraf pusat, sehingga dapat juga mendepresi napas. Opioid merupakan analgetik
dengan waktu paruh yang Panjang dan dapat juga memberikan efek analgesia
pascaoperasi. Pada pemberian opioid dapat terjadi depresi napas dan
hipoventilasi dapat mengakibatkan hipoksia dan hiperkapnia. Pemberian opiod
sebaikanya dihindarkan pada pasien dengan kesadaran menurun, yang akan
melahirkan, dan dengan gangguan fungsi pernapasan.1,6
Opioid merangsang chemoreceptor trigger zone di ventrikel IV otak
yang akan mencetuskan mual muntah sehingga pemberian opioid sering
bersamaan dengan antiemetic. Opioid juga memiliki efek yaitu terjadinya
penglepasan histamin. Pemberian jangka panjang dapat menyebabkan toleransi
dan ketergantungan. Pada overdosis yang berat terjadi triad overdosis opioid
yaitu miosis, hipoventilasi, dan koma.1,6
3. Fenotiazin
Fenotiazin merupakan obat golongan antipsikosis. Obat ini
menimbulkan efek sedasi dan ansiolitik, antiemetic, antagnis H2, dan
antikolinergik. Obat ini dapat menimbulkan efek samping yang berat yaitu
gejala ekstrapiramidal dan neuroleptic malignant syndrome yang diatasi dengan
pemberian dantrolene.1
4. Antikolinergik: Atropin, glikopirolat, difenhidramin, dimenhidrinat, dan
ipratropium bromide.
Antikolinergik merupakan obat yang memblokade neurotransmitter
asetilkolin dengan cara inhibis kompetitif. Obat ini menghambat tonus
parasimpatis sehingga tonus otot polos menurun. Atropin paling sering
digunakan untuk premedikasi dengan dosis 0.01-0.02 mg/kgbb dan dapat
menyebabkan dilatasi pupil sehingga perlu perhatian khusus pada pasien dengan
glaucoma sudut sempit.1
Obat ini digunakan untuk mendapatkan efek antisialagog atau untuk
mengurangi sekresi jalan nafas. Pada atropine juga memiliki efek vagolitik
sehingga dapat mengatasi refleks vagal. Pada keadaan takikaria, digunakan
glikopirolat sebagai alternative dari atropine.1
Efek samping dari obat ini adalah meningkatkan risiko refluks
gastroesofagus oleh karena menurunnya tonus sfinkter esophagus, agitasi,
konvulsi hingga koma, sikloplegia, demam oleh karena hambatan sekresi
keringat dan mulut yang kering berlebihan.1
5. Beta-blocker: Esmolol dan metoprolol.
Beta-blocker tidak diberikan sebagai premedikasi diruangan. Digunakan
untuk menghambat respon hemodinamik akibat stimulasi nosiseptif saat
intubasi serta menghambat respon nstres neuroendokrin. Penggunaan beta-
blocker yang non selektif tidak boleh digunakan pada pasien dengan asma
karena reseptor beta2 dibronkus akan menyebabkan bronkokonstriksi.1
6. Klonidin dan deksmedetomidin
Obat ini merupakan agonis alpha 2 yang memiliki efek anesthesia
dengan menurunkan aktivitas noradrenergic pusat serta simpatolitik. Pemberian
klonidin sebagai premedikasi adalah untuk antihipertensi dengan dosis 0.1 mg
dalam 30-60 menit sebelum operasi. Dexmedetomidine juga memiliki efek
analgetik. Obat golongan ini mengambat pelepasan norepinefrin secara sentral
sehingga tidak boleh diberikan kepada pasien dengan blok AV, syok
hipovolemik, dan lain-lain.1
7. Antagonis reseptor H2 inhibitor pompa proton: Omeprazol, lansoprazole,
dan pantoprazole.
Bekerja pada parietal lambung dan berikatan dengan pompa proton
sehingga menghambat sekresi asam lambung. Obat ini digunakan untuk
profilaksis aspirasi asam lambung pada anesthesia umum. Inhibitor reseptor H2
menghambat pengikatan histamin pada reseptor H2 sehingga mengurangi
sekresi, volume gaster dan menurunkan pH lambung. Dosis profilaksis
randitidin intravena adalah 50 mg, oral 150-300 mg diberikan malam hari dan
1-2 jam pra-anestesia.1
8. Antagonis serotonin: Ondansentron, granisetron, tropisetron, dan dolasetron.
Merupakan antiemetic yang digunakan sebagai profilaksis anti mual dan
muntah sebelum induksi dan pascabedah terutama pada pasien dengan riwayat
mual muntah, menjalani pembedahan yang berisiko tinggi menyebabkan mual
seperti laparoskopi, dan operasi yang memerlukan pencegahan mual muntah
seperti bedah saraf atau operasi mata. Ondansentron diberikan 4 mg.1
9. Metoklorpropamid
Obat ini bekerja sebagai cholinomimetic yang memfasilitasi transmisi
asetikolin pada resptor muskarinik selektif. Obat ini meningkatkan tonus
sfingter esophagus bagian bawah, mempercepat pengosongan lambung dan
menurunkan volume gaster. Dosis yang diberikan adalah 0.25 mg/kgbb secara
oral dengan awitan 30-60 menit dan intravena dengan awitan 1-3 menit. Obat
ini perlu diberikan secara hati-hati pada pasien dengan gangguan ginjal oleh
karena diekskresikan di urin dan dikontraindikasi obat ini adalah pasien dengan
parkinsonisme dan obstruksi usus.1
B. Anestesi inhalasi dan gas
a. Mekanisme kerja
Pada tingkat medula spinalis, anestesi inhalasi mengurangi transmisi
informasi aferen yang naik dari sumsum tulang ke korteks serebral, melalui
thalamus, sehingga mengurangi stimulasi supraspinal. Ada juga penghambatan
aktivitas neuron eferen tulang belakang sehingga mengurangi respon motorik
terhadap rasa sakit. Hipnosis dan amnesia dimediasi di tingkat supraspinal.
Agen inhalasi menekan aliran darah otak dan metabolisme glukosa.4
Agen inhalasi menghambat eksitasi presinaptik yang dimediasi oleh
reseptor neuronal nicotinic, serotonergic, dan glutaminergic. Terjadi juga
peningkatan efek inhibisi dari posti sinaptik yang dimediasi oleh reseptor
GABAa dan glycine. Kedua hal ini akan menyebabkan penurunan transmisi
neuronal dan sinpatik.4
b. Farmakokinetik
Ambilan alveolus terhadap gas anestetik inhalasi ditentukan oleh
ambilan oleh paru, difusi gas dari paru ke darah, dan distribusi oleh darah ke
otak dan organ lainnya. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan alveolus dan
hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus. Induksi dan pemulihan
berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat yag larut dalam
darah.5
Konsentrasi uap anestetik dalam alveoli selama induksi ditentukan oleh:4,5
 Konsentrasi inspirasi: Fresh gas flow yang besar dan absorbsi sirkuit
yang lebih rendah akan menyebabkan peningkatan konsentrasi gas
yang diinhalasi dan menyebabkan induksi dan emergence dari
anesthesia yang lebih cepat.4,5
 Ventilasi alveolar: Ventilasi alveolar meningkat maka konsentrasi
alveolar makin tinggi dan sebaliknya.4,5
 Koefisien darah/gas: Makin tinggi angkanya maka makin cepat larut
dalam darah, makin rendah konsentrasi dalam alveoli dan
sebaliknya.5
 Curah jantung atau aliran darah paru: Makin tinggi curah jantung,
makin cepat uap diambil darah.5
 Hubungan ventilasi-perfusi: Gangguan ventilasi-perfusi akan
memperlambat ambilan gas anestetik.5
 Kapasitas residual fungsional (FRC): FRC yang lebih besar akan
mengencerkan konsentrasi gas yang diinspirasikan sehingga
menghasilkan tekanan parsial alveolar yang lebih rendah dan onset
anestesi yang lebih lambat.4
Eliminasi sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi melalui paru dan
sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan system oksidasi sitokrom P450.
Sisa metabolime yang larut dalam air akan dikeluarkan melalui ginjal.5
c. Farmakodinamik
1. Respirasi
Semua halogenated agents mendepresi pernapasan dengan
menurunakan volume tidal. Semua agen inhalasi meningkatkan ambang
batas pusat respirasi terhadapt CO2 (menurunkan sensitivitas).
Isoflurane dan sevoflurane menurunakan resistensi jalan napas.4
2. Kardiovaskular
Semua halogenated agents menurunkan MAP dan curah jantung.
Penurunan MAP oleh desflurane, sevoflurane, dan isoflurane terutama
ditentukan oleh resistensi pembuluh darah sistemik. Sevoflurane dapat
memperpanjang interval QT sehingga perlu diberikan secara hati-hati
dengan pasien dengan sindroma interval QT. Efek aritmogenik
sevoflurane dan desflurane lebih rendah dari isoflurane.4
3. Cerebral
Semua agen inhalasi menurunkan laju metabolic dan konsumsi
oksigen otak. Agen inhalasi juga dapat menyebabkan vasodilatasi pada
otak sehingga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intracranial.
Isoflurane dan desflurane menurunakan MAP sehingga menyebabkan
penurunan tekanan perfusi otak.4
4. Hepar
Semua agen inhalasi menurunakn aliran darar hepar.4 anestetika
inhalasi golongan eter seperti enflurane, isoflurane, desflurane, dan
sevoflurane menyebabkan penurunan aliran darah porta dan
meningkatkan alirah darah arteri hepatica.5 Golongan etan seperti
halotan menyebabkan penurunan aliran pada porta dan arteri hepatica.5
Hanya 2-5% dari isoflurane, sevoflurane, dan desflurane yang
dimetabolisme, sisanya diekshalasi ke udara tanpa diubah.4
5. Ginjal
Bergantung pada konsentrasinya, anestetika inhalasi
menurunkan laju filtrasi glomerulus dan alirah darah ginjal.
Nefrotoksisitas terutama diduga karena ion fluoride inorgaink. Gas
inhalasi yang saat ini digunakan sebagian besar dimetabolisme di hati
sehingga relative tidak nefrotoksisk disbanding dengan metoksifluran
yang metabolismenya sebagian besar di ginjal.5
C. Anestesi Intravena
Indikasi anestesi intravena:
 Alternatif dari anestesi inhalasi
 Sebagai sedasi pada anestesi regional
 ODS (One Day Surgery), karena pemulihan total yang cepat
 Keterbatasan anestesi inhalasi karena tidak tersedianya N2O.8,10
Kriteria anestesi intravena ideal:
 Larut dalam air dan tidak mengiritasi jaringan
 Mulai kerja cepat, lama kerja pendek
 Tidak memiliki efek eksitatorik
 Memiliki efek amnesia dan analgesia
 Pemulihan yang cepat
 Tanpa efek samping (terutama mual dan muntah)
 Depresi respirasi dan kardiovaskuler yang minimal pada dosis
klinis.9

Obat Fungsi Dosis Onset Of Action Duration Of


(OOA) Action (DOA)
Propofol Induksi 2-2,5 mg/kg 30” 5-10 menit
Maintenance 6-10 mg/kg/jam
Sedasi 25-100
μg/kg/menit
Thiopental Induksi 4-6 mg/kg 10” 5-15 menit
Maintenance 1-3 mg/kg/jam
Sedasi 0,2-0,4 mg/kg
Ketamin Induksi IV 1-3 mg/kg 30” 10-20 menit
IM 9-11 mg/kg
Midazolam Premedikasi 0,03-0,04 mg/kg 30” 15-80 menit
Sedasi 0,5-2,5 mg/kg
Induksi 0,2-0,4 mg/kg
Infus 4-6 mg/jam
Diazepam Sedasi 0,04-0,2 mg/kg 30”-60” 10-15 menit
Induksi 0,3-0,6 mg/kg 45” 15-30 menit
Tabel 1. Obat anestesi Inravena

1. Propofol
 Onset cepat, DOA pendek
 Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme
 Tidak ada komplikasi pada tempat suntikan
 Menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA
(gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP.
 Dapat melewati sawar darah plasenta tetapi dapat dikeluarkan
dengan cepat dari sirkulasi neonatus
 Dimetabolisme oleh liver melalui proses konjugasi glucoronide dan
kemudian diekskresi oleh ginjal
 Bolus intravena sering menyebabkan nyeri, beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB (IV)
 Kontraindikasi pemberian: pasien yang diketahui pernah mengalami
alergi dengan propofol, anak-anak dibawah umur 3 tahun, sedasi
pada perawatan intensive dibawah umur 16 tahun.8
2. Golongan barbiturat
Misalnya, pentothal. Pentothal atau sodium thiopenton adalah obat
anestesi intravena golongan barbiturate yang bekerja cepat (short acting).
Memiliki sifat mudah larut di dalam air dan alkohol. Indikasi pemberian sebagai
induksi pada anestesi umum, untuk tindakan bedah kecil, suplemen anestesi
regional, pengendalian kejang-kejang pada eklampsia, epilepsi, dan tetanus.
Kerugian pemakaian penthotal adalah depresi pernapasan dan sirkulasi,
cenderung mudah terjadi spasme laring, dengan dosis yang aman tidak terjadi
relaksasi otot, depresi sirkulasi sangat fatal pada pasien lemah, dan bisa terjadi
gerakan otot yang tak terordinasi.8
3. Ketamin
Ketamin adalah derivate fensiklidin yang menghasilkan anestesi
disosiatif yang menyerupai keadaan keteleptik dimana mata pasien tetap
terbuka dengan nistagmus lambat. Pada saat yang sama, pasien tidak dapat
berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Disebut juga
dengan anestesi disosiatif yang menyebabkan terjadi delirium dan halusinasi.
Meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari base line, heart rate meningkat,
menyebabkan hipersekresi.8
Adapun indikasi pemberian ketamin yaitu pembedahan singkat dan
indikasi pada penderita dengan tekanan darah yang rendah, penderita yang
berisiko asma, dan untuk analgesik dan anestesi pada obstetrik. 15
Ketamin berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA),
reseptor opioid, reseptor monoaminergik, reseptor muskarik, dan saluran
voltage sensitive ion kalsium. Ketamin tidak berinteraksi dengan GABA. 8,10
D. Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot yang ideal, adalah :
• Onset cepat, DOA yang pendek
• Recovery cepat, potensi yang tinggi
• Tidak akumulasi, metabolite tidak aktif
• Efek kardiovaskular tidak ada
• Tidak histamine release.8
Tanda- tanda kekurangan obat pelumpuh otot:
• Cegukan (hiccup)
• Dinding perut kaku
• Ada tahanan pada inflasi paru.8
Obat Dosis (mg/kg) OOA (menit) DOA (menit)
Succinylcholine 1-1,5 0,5-1 5-10
Atracurium 0,5 2,5 30-45
Vecuronium 0,08-0,12 2,5 45-60
Recuronium 0,6-1,0 1-1,5 30-45
Pancuronium 0,08-0,12 3 120
Tabel 2. Obat-obatan pelumpuh otot
E. Analgesik
1. Opioids
a. Mekanisme Aksi
Opioid berikatan dengan reseptor spesfik di SSP dan jaringan
lainnya. Terdapat empat receptor opioid utama yaitu mu (μ) dengan
subtipe μ1 dan μ2, kappa (κ), delta (δ), dan sigma (σ). Pada saat agonis
berikatan dengan reseptor opioid maka akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran. Opioid akan menghambat voltage-gated
calcium channels. Aktivasi reseptor opioid menghambat pelepasan
presinaptik dan respons pascasinaps neurotransimter eksitatorik seperti
asetilkolin dan substansi P yang dilepaskan oleh neuron nosiseptif.
Opiod juga dapat berikatan dengan jaringan perifer seperti saluran cerna
sehingga dapat memberi efek samping konstipasi. Kerja opioid
bergantung pada reseptor yang berikatan dan afinitas pengikatan obat.
Agonis-antagonis (e.g. nalbuphine, nalorphine, butorphanol, dan
buprenorfin) kurang efektif daripada agonis penuh (e.g fentanyl atau
morfin). Terdapat juga antagonis opioid murni seperti nalokson atau
naltrekson.6
b. Farmakokinetik
i. Absorbsi
Absorbsi pada pemberian hydromorphone, morfin, atau
meperidine secara intramuscular atau injeksi subkutan
berlangsung cepat dan mencapai kadar tertinggi pada plasma
setelah 20-60 menit. Terdapat juga beberapa opioid yang efektif
diberikan secara oral yaitu oksikodon, hidrokodon, kodein,
tramadol, morfin, hidromorfon, dan metadon. Pemberian
fentanyl sitrat diberikan secara transmucosal oral kepada pasien
yang tidak dapat diberikan obat secara oral, intravena, atau
intramuscular atau sering digunakan untuk pasien rawat jalan
dengan nyeri kronik. Fentanyl juga dapat diberikan secara
transdermal oleh karena berat molekul yang kecil dan kelarutan
dalam lemak yang tinggi. Konsentrasi serum dari fentanyl akan
mencapai plateau 14-24 jam setelah aplikasi dan tetap konstan
hingga 72 jam.6
ii. Distribusi
Waktu paruh opioid setelah pemberian secara intravena
adalah 5-20 menit. Kelarutan lemak pada morfin lebih rendah
dari fentanyl sehingga butuh waktu yang lebih lama untuk
morfin melewati sawar darah otak. Hal ini akan menyebabkan
onset kerja obat lambat tetapi durasi kerja obat lebih lama. Untuk
fentanyl oleh karena memiliki kelarutan lemak yang lebih tinggi
maka mudah melewati sawar darah otak sehingga onset kerja
lebih cepat tetapi durasi kerja juga lebih pendek.6
iii. Biotransformasi
Semua opioid di biotransformasi di hepar kecuali
remifentanil. Opioid akan dimetabolisme oleh sistem sitokrom
P, terkonjungasi di hepar atau keduanya. Morfin dan
hidromophone akan mengalami konjugasi dengan glucuronic
acid. Morfin akan membentuk morphine 3-glucuronide dan
morphine 6-glucuronide sedangkan hydromorphone akan
membentuk hydromorphone 3-glucuronide. Meperidine akan
membentuk normeperidine. Normeperidine dalam dosis besar
sering dikaitkan dengan timbulnya kejang. Hasil akhir fentanyl,
sufentanil dan alfentanil adalah inaktif. Metabolit dari fentanyl
yaitu norfentanyl dapat terdeteksi pada urin walaupun di dalam
darah sudah tidak terdeteksi.6
Codein akan mencjadi aktif setelah dimetabolisme oleh
CYP2D6 menjadi morfin. Tramadol juga perlu dimetabolisme
oleh CYP untuk menjadi aktif yaitu 0-desmethyltramadol.
Hydrocodone dimetabolisme oleh CYP2D6 untuk menjadi
hydromorphone dan oleh CYP3A4 menjadi norhydrocodone.
Hydormorphone merupakan senyawa yang lebih poten dari pada
norhydrocodone.6
iv. Ekskresi
Produk akhir biotransformasi dari morfin dan meperidine
diekskresikan melalui ginjal dan kurang dari 10% diekskresikan
melalui empedu. Pada gagal ginjal, durasi kerja morfin akan
mengalami perpanjangan oleh karena 5-10% morfin yang
diekskresikan tidak berubah dalam urin. Selain itu, metabolit
morfin pada pasien dengan gagal ginjal dikaitkan dengan
narcosis yang berkepanjangan dan depresi napas. Gangguan
pada ginjal juga meningkatkan kemungkinan terjadinya efek
toksik dari akumulasi normeperidine yaitu timbulnya kejang.6
v. Efek terhadap organ
1. Kardiovaskular
Opioid memiliki efek langsung minimal pada
jantung. Meperidine cenderung meningkatkan denyut
jantung, sedangkan dosis morfin yang lebih tinggi,
fentanyl, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil
dikaitkan dengan bradikardi yang dimediasi oleh nervus
vagus. Tekanan darah sering turun oleh karena terjadinya
bradikardia, vasodilatasi, dan penurunan refleks simpatis
yang diinduksi oleh opioid.6
Pemberian meperidine, hydromorphone, dan
morfin secara bolus dapat menyebabkan pelepasan
histamin yang dapat menyebabkan penurunan resistensi
pembuluh darah dan tekanan darah. Hal ini dapat
diminimalkan dengan pemberian opioid dengan infus
lambat atau dengan pemberian obat antagonis H1 dan H2
sebelumnya. Efek samping histamin dapat diobati
dengan infus cairan intravena dan vasopresor.6
Hipertensi intraoperatf dapat terjadi oleh karena
tidak adekuatnya kedalaman anestesi, oleh karena itu
dilakukan penambahan agen anestesi seperti
benzodiazepin, propofol, atau agen inhalasi poten.
Setelah kedalamana anestesi memadai hipertensi diterapi
dengan pemberian antihipertensi.6
2. Respirasi
Opioid menekan napas terutama laju pernapasan.
Morfin dan meperidine menyebabkan bronkospasme
yang diinduksi oleh histamin. Pemberian fentanyl,
sulfetanil, remifentanil, dan alfentanil secara cepat dan
dosis tinggi dapat menyebabkan dinding dada menjadi
kaku sehingga tidak dapat dilakukan bag-mask
ventilation. Hal tersebut dapat diterapi dengan pemberian
agen neuromuscular block.6
3. Cerebral
Opioid mengurangi konsumsi oksigen otak,
aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan
intrakranial, tetapi pada tingkat yang lebih rendah
daripada propofol, benzodiazepin, atau barbiturate.
Kejang dapat terjadi dan dikaitkan dengan
normeperidine.6
Pemberian opioid yang sering seperti pemberian
dosis oral yang berkepanjangan akan menyebabkan
toleransi sehingga dibutuhkan dosis yang lebih besar
untuk menghasilkan respons yang sama. Pemberian
opioid yang sering dan berkepanjangan juga dapat
menyebabkan ketergantungan atau kecanduan, opioid-
induced hiperalgesia” di mana pasien menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri. Opioid walaupun
dalam dosis besar tidak dapat menyebabkan amnesia.6
4. Gastrointestinal
Opioid memperlambat motilitas gastrointestinal
dengan mengikat reseptor opioid di usus dan mengurangi
gerak peristaltik. Kolik bilier dapat terjadi akibat
kontraksi sfingter Oddi.6
Pasien yang menerima terapi opioid jangka
panjang (misalnya, untuk nyeri kanker) biasanya menjadi
toleran terhadap efek samping opioid tetapi terjadi
konstipasi. Opioid antagonis perifer seperti
methylnaltrexone, alvimopan, naloxegol, dan
naldemedine akan meningkatkan motilitas
gastrointestinal dan dapat digunakan untuk pengobatan
sindrom opioid usus atau efek samping dari pengobatan
opioid.6
5. Endokrin
Respon stress terhadap pembedahan dilihat dari
hormon katekolamin, antidiuretic dan kortisol. Pada
pemberian fentanyl atau sufentanil dalam dosis besar
dapat menghambat pelepasan hormon tersebut sehingga
menurunkan respon stress.6
vi. Interaksi obat
Kombinasi meperidine dan monoamine oksidase
inhibitor dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik,
hiperpireksia, koma, henti napas atau kematian. Propofol,
barbiturat, benzodiazepin, anestesi inhalasi, dan depresan sistem
saraf pusat lainnya jika diberikan dengan opioid dapat memiliki
efek sinergis pada kardiovaskular, pernapasan, dan efek sedatif.
Eritromicin dapat menganggu ekskresi dan meningkatkan waktu
paruh eliminasi dari alfentanil.6
Gambar 3. Dosis Opioid

2. Inhibitor Cyclooxygenase
a. Mekanisme Aksi
COX mengkatalisasi pembentukan prostaglandin H1 dari asam
arachidonat. Reseptor COX-1 tersebar luas di seluruh tubuh,
termasuk usus dan trombosit. COX-2 diproduksi sebagai respons
terhadap peradangan. Agen yang menghambat COX secara non-
selektif (e.g. aspirin) mengendalikan demam, radang, nyeri, dan
trombosis. Agen yang selektif terhadap COX-2 (e.g. celecoxib,
etoricoxib) tidak menghambat trombosit atau gangguan pencernaan.
Inhibitor selektif COX-2 meningkatkan risiko serangan jantung,
trombosis, dan stroke. Inhibitor COX paling sering diberikan secara
oral. Asetaminofen, ibuprofen, diklofenak, dan ketorolak tersedia
juga dalam intravena.6
b. Farmakokinetik
i. Absorbsi
Secara oral konsentrasi tertinggi dalam darah tercapai
kurang dari 3 jam. terdapat juga sediaan topikal seperti gel
yang dioleskan pada sendi atau obat tetes mata.6
ii. Distribusi
Dalam darah COX inhibitor, sangat terikat oleh protein
plasma terutama oleh albumin. Selain itu, COX inhibitor
juga memiliki sifat larut dalam lemak sehingga dapat
menembus sawar darah otak dan menghasilkan analgesia
sentral dan antipiretik, dan menembus ruang sendi, dengan
pengecualian asetaminofen, untuk memberikan efek
antiinflamasi.6
iii. Biotransformasi
Biotransformasi COX inhibitor terjadi di hepar.
Acetaminophen dengan dosis tinggi akan menghasilkan
konsentrasi N-asetil-p-benzoquinon imine yang cukup besar
untuk menyebabkan kegagalan hati sehingga diperlukan
transplantasi hati.6
iv. Ekskresi adalah melalui urin.6
v. Efek terhadap organ
• Kardiovaskular
COX inhibitor tidak memberikan efek langsung terhadap
sistem kardiovaskular. Efek kardiovaskular dihasilkan oleh
karena efek obat yang menyebabkan koagulasi. Prostaglandin
mempertahankan patensi dari ductus arteriosus sehingga COX
inhibitor diberikan pada neonatus dengan patent ductus
arteriosus.6
• Respirasi
Overdosis Aspirin berefek pada keseimbangan asam-basa dan
respirasi.6
• Saluran pencernaan
COX-1 inhibitor menyebabkan gangguan pada saluran
pencernaan sampai menyebabkan pendarahan saluran cerna
bagian atas. Hal ini disebabkan oleh karena hilangnya efek
protektif prostaglandin di mukosa, dan inhibisi agregasi
platelet. Toksisitas asetaminofen dapat menyebabkan gagal
hati fulminan6
• Ginjal
NSAID dihindari pada pasien dengan penurunan kreatinin.6
3. Gabapentin dan Pregabalin
Gabapentin dan pregabalin merupakan obat antiepilepsi tetapi memiliki
sifat analgesik. Obat ini digunakan untuk nyeri neuropatik kronik dan
postherpetic neuralgia. Pregabalin digunakan untuk pengobatan neuropati
diabetik. Pengobatan untuk nyeri kronik dimulai dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap sampai muncul efek samping seperti pusing
atau sedasi. Uji coba gabapentin yang memadai dapat membutuhkan
waktu sebulan untuk mencapai dosis optimal. Penentuan dosis optimal
pada pregabalin umumnya membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Agen
ini berikatan pada voltage-gated calcium channels dan reseptor NMDA.6

3. Perawatan Pasca Operasi di Ruang Pemulihan


Monitoring utama pasien di ruang pemulihan berkaitan dengan komplikasi
pernapasan dan sirkulasi, sehingga diperlukan evaluasi terhadap kesadaran, tekanan darah,
nadi, pernapasan, dan saturasi oksigen setiap 5-15 menit sekali di ruang pemulihan. Penilaia
yang digunakan terhadap kondisi pemulihan pasien di ruang pemulihan mengunakan skor
Aldrete score. Pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat apabila total skor Aldrete lebih dari
8.

Adapun beberapa komplikasi post operasi, yaitu:8


a. Lambat bangun
Terjadi bila ketidaksadaran selama 60-90 menit setelah anestesi umum. Hal ini biasanya
disebabkan oleh terlalu dalamnya anestetik yang diberikan atau akibat kondisi preanestesi
pasien seperti penggunaan alcohol kronik.
b. Permasalahan jalan nafas
a. Obstruksi jalan nafas atas
Biasanya ditandai dengan penurunan saturasi oksigen dan adanya bunyi napas abnormal
seprti snoring atau gurgling. Hal ini biasa disebabkan oleh jatuhnya lidah ke hipofaring,
adanya laringospasme, edema jalan napas akibat iritasi penggunaan alat bantu
pernapasan selama pembedahan, maupun akibat adanya sumbatan langsung ke trakea
seperti gumpalan darah atau hematoma.
b. Hipoventilasi
Ditandai dengan PaCO2 lebih dari 45mmHg. Sering disebabkan oleh residu muscle
relaxant yang digunakan selama pembedahan. Penanganan yang biasa diberikan sesuai
dengan penyebabnya:
• Bila penyebab gol. Opiate : nalokson 0,2 mg
• Bila penyebab gol. Pelumpuh otot : physostikmint 2 mg
• Bila penyebab gol benzodiazepine : flumazeni 0,5 mg
• Bila penyebab nyeri :analgesi adekuat
• Bila penyebab bronkospasme : steroid, simpatomimetik (epinefrin) dan aminofilin.
• Bila penyebab pneumothorax oleh karen aoperasi, maka dikerjakan : ventilasi O2
100% dan suntik dengan jarum no. 14-16 pada interkostal II garis midklavikula dan
diaspirasi udaranya.
c. Kardiovaskular
a. Hipertensi
Kedaan ini biasanya disebabkan oleh adanya neuroendokrin stress respon akibat
rangsangan nyeri yang berlebihan maupun akibat adanya distensi pada vesical urinaria.
Pada pasien dengan riwayat hipertensi, penghentian obat anti-hipertensi akan memicu
hipertensi pasca operasi.
b. Aritmia
- Takikardi, terjadi akibat adanya rangsangan nyeri, hipovolemi, demam, maupun efek
obat-obat anestetik seperti penggunaan agen antikolinergik
- Bradikardi, terapi dengan pemberian sulfas atropinterjadi akibat efek residu dari
penggunaan kolinesterase inhibitor, opioid, dan beta-adrenergik bloker.
d. Hiperpireksia maligna
Suatu keadaan dimana produksi panas melebihi kehilangan panas dari tubuh akibat
peningkatan suhu tubuh sedikitnya 2oC/ jam. Penanganan yang diberikan pada pasien
dengan hiperpireksia maligna pasca operasi :
- Hiperventlasi dengan O2 100%
- Asidosis dikoreksi dengan bikarbonas natrikus
- Bila terjadi hiperkalemia diberi infus glukosa 5% + 10 unit insulin
- Panas diturunkan dengan kompres es
- Beri kortikosteroid 30mg/kg BB iv
e. Reaksi anafilaksis, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe IV yang harus ditangani dengan
cepat menggunakan:
- Oksigenasi
- Tinggikan kaki
- Adrenalin bolus 50-100 μg, bla perlu ulang dengan dosis 1 mg
- Infuse kristaloid/ koloid dengan cepat paling sedikit 2 liter
- Bronkodilator: aminofilin bolus 250-500 mg pelan, anti histamine, steroid dan
bikarbonas bila asidosis.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarto RF, Chandra S. Buku Ajar Anestesiologi. Jakarta: Departemen Anestesiologi dan
Intensive Care Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal 197-206, 291-303
2. Daabiss M. Americah society of anaesthesiologists physical status classification. Indian J
Anaesth. 2011;55:111-5
3. Burke B, Kyker M. Speeds criteria vs modified Aldrete and fast track criteria for evaluating
recovery in outpatients. Open Journal of Anesthesiology. 2013;3:309-14
4. Khan KS, Hayes I, Buggy DJ. Pharmacology of anaesthetic agents II: inhalation anaesthetic
agents. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain. 2014; 4:106-11
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk praktis anestesiologi. Jakarta: FKUI. 2018.
Hal 48-54
6. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
New York: McGraw-Hill Education. 2018. Hal. 305-22
7. Miller RD, Cohen NH, Eriksson LI, et al. Miller’s Anesthesia. Elsevier. 2015;8:1665-81
8. Brahmi NH, Sutiyono D. Ketamin as post operative pain management. Jurnal Anestesiologi
Indonesia. 2015;7(2):114-9
9. Meriwijanti. Evaluasi efek analgesi pemakaian ketoprofen dan ketorolak intravena (tesis).
Semarang: Program Pascasarjana Universitas Diponegoro; 2001.
10. Pardo MC, Miller RD. Basics of Anesthesia. 2018;7:104-22

Anda mungkin juga menyukai