Intubasi Endotrakeal
Intubasi endotrakeal merupakan gold standard manajemen jalan napas, karena mampu
menjaga patensi jalan napas dengan baik, mencegah aspirasi dengan maksimal, dan
memungkinkan pemberian ventilasi dengan tekanan positif yang lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan penggunaan facemask atau supraglottic airway (SGA).7
A. Indikasi
Indikasi absolut dilakukannya intubasi endotrakeal antara lain pasien dengan
lambung yang terisi penuh atau pada pasien dengan risiko aspirasi isi lambung ataupun
darah, pasien yang sakit kritis, pasien dengan kelainan paru (misal, compliance yang
rendah, resistensi jalan napas yang tinggi, dan oksigenasi yang terganggu), pasien yang
akan menjalani bedah THT ataupun mulut dimana pemasangan SGA dapat menganggu
proses pembedahan, pasien yang membutuhkan ventilator pasca operasi, dan pada
pasien yang gagal dipasang SGA. Indikasi lain intubasi adalah tindakan bedah yang
memerlukan penggunaan obat-obatan neuromuscular blocker, posisi pasien yang
mempersulit tindakan manajemen jalan napas (misalnya tengkurap, atau miring dan
menjauhi pelaksana anestesi), dan prosedur operasi yang lama.7
B. Pipa Endotrakeal
Pipa endotrakeal atau disebut juga endotracheal tube (ETT), saat ini tersedia
dalam bentuk sekali pakai, memiliki cuff, terbuat dari plastik, dan dibentuk untuk
dimasukkan melalui hidung ataupun mulut dengan ujung distalnya berada di tengah
trakea, sehingga secara paten membuka jalan napas dan memungkinkan ventilasi paru-
paru.7
Terdapat berbagai jenis ETT yang dirancang untuk penggunaan pada kondisi tertentu,
tetapi terdapat standar yang sama pada berbagai jenis ETT tersebut, antara lain:
Penggunaan adapter 15 mm pada ujung proksimal untuk
ETT dengan mesin atau perangkat ventilasi
Ujung distal yang terpotong miring (beveled) untuk meningkatkan visibilitas dan
memudahkan proses intubasi
Lubang tambahan pada bagian samping ujung distal ETT, disebut juga Murphy eye,
sebagai jalur ventilasi cadangan apabila ujung distal lumen terobstruksi oleh jaringan
lunak ataupun sekret.7
Cuff volume tinggi dan tekanan rendah pada ETT diisi dengan udara untuk
menyegel ETT dengan dinding trakea sehingga melindungi paru-paru dari aspirasi dan juga
mencegah terjadinya kebocoran udara ke saluran napas atas saat ventilasi dilakukan.
Tekanan pada cuff tidak boleh melebihi 25 cm H2O. Tekanan berlebihan pada cuff dapat
menyebabkan kerusakan jaringan mukosa trakea, disfungsi pita suara karena palsi nervus
laryngeus recurrens, dan juga nyeri tenggorok. Ketika N2O digunakan, tekanan pada cuff
perlu dipantau karena difusi N2O ke dalam cuff dapat meningkatkan tekanan di dalam cuff.7
Beberapa jenis ETT yang terbentuk khusus untuk keadaan-keadaan tertentu, seperti
pipa nasal dan pipa oral Ring-Adair-Elwin (RAE) yang memiliki lekuk spesifik untuk
memudahkan tindakan operasi tertentu. Terdapat istilah ETT non-kinking untuk ETT yang
disematkan dengan kumparan kawat sehingga meminimalisir tekukan/bengkokkan
(kinking) pada posisi pasien yang tidak umum.7
D. Laringoskopi Langsung
Teknik yang paling umum digunakan pada intubasi endotrakeal adalah
laringoskopi langsung, dimana visualisasi glottis secara langsung dibantu dengan
menggunakan laringoskop. ETT dimasukkan melalui glottis menuju ke trakea sambil
dilakukan observasi dengan seksama.7
1. Persiapan dan Posisi
Persiapan laringoskopi langsung antara lain pemosisian pasien dengan
baik, preoksigenasi yang adekuat, dan ketersediaan peralatan yang dibutuhkan,
yaitu:
Scopes: stetoskop, laringoskop
Tubes: 3 ukuran ETT
Airways: airway alternatif selain ETT, seperti oropharingeal airway,
supraglottic airway
Tapes: micropore
Introducer: stylet
Connectors: untuk menghubungkan ETT dengan mesin/perangkat ventilasi
Suction: untuk membersihkan jalan napas dari sekret atau cairan lainnya7
Diperlukan juga spuit kosong untuk mengisi dan mengosongkan cuff,
dan perlengkapan ventilasi menggunakan sungkup beserta sumber oksigen.7
Supaya laringoskopi langsung dapat dilakukan dengan baik, garis
pandang dari mulut ke laring harus dapat ditemukan, garis pandang ini dapat
lebih mudah ditemukan dengan sniffing position. Terdapat 3 axis anatomis yaitu
oral, faringeal, dan laringeal. Pada sniffing position, fleksi leher menyelaraskan
aksis faringeal dan laringeal, sedangkan ekstensi kepala maksimal
menyelaraskan aksis oral dengan aksis-aksis yang lain.7
Pengaturan posisi pasien pada sniffing position membutuhkan fleksi
leher berkisar 35 derajat, yang dapat dilakukan dengan elevasi kepala
menggunakan alas setinggi 7 – 9 cm; pasien dengan leher pendek memerlukan
lebih sedikit elevasi kepala. Pasien dengan obesitas seringkali membutuhkan
elevasi pada bahu dan punggung atas untuk mencapai fleksi leher yang
adekuat.7
1. Propofol
Onset cepat, DOA pendek
Akumulasi minimal, cepat dimetabolisme
Tidak ada komplikasi pada tempat suntikan
Menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan GABA
(gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada
SSP.
Dapat melewati sawar darah plasenta tetapi dapat dikeluarkan
dengan cepat dari sirkulasi neonatus
Dimetabolisme oleh liver melalui proses konjugasi glucoronide dan
kemudian diekskresi oleh ginjal
Bolus intravena sering menyebabkan nyeri, beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kgBB (IV)
Kontraindikasi pemberian: pasien yang diketahui pernah mengalami
alergi dengan propofol, anak-anak dibawah umur 3 tahun, sedasi
pada perawatan intensive dibawah umur 16 tahun.8
2. Golongan barbiturat
Misalnya, pentothal. Pentothal atau sodium thiopenton adalah obat
anestesi intravena golongan barbiturate yang bekerja cepat (short acting).
Memiliki sifat mudah larut di dalam air dan alkohol. Indikasi pemberian sebagai
induksi pada anestesi umum, untuk tindakan bedah kecil, suplemen anestesi
regional, pengendalian kejang-kejang pada eklampsia, epilepsi, dan tetanus.
Kerugian pemakaian penthotal adalah depresi pernapasan dan sirkulasi,
cenderung mudah terjadi spasme laring, dengan dosis yang aman tidak terjadi
relaksasi otot, depresi sirkulasi sangat fatal pada pasien lemah, dan bisa terjadi
gerakan otot yang tak terordinasi.8
3. Ketamin
Ketamin adalah derivate fensiklidin yang menghasilkan anestesi
disosiatif yang menyerupai keadaan keteleptik dimana mata pasien tetap
terbuka dengan nistagmus lambat. Pada saat yang sama, pasien tidak dapat
berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang sangat baik. Disebut juga
dengan anestesi disosiatif yang menyebabkan terjadi delirium dan halusinasi.
Meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari base line, heart rate meningkat,
menyebabkan hipersekresi.8
Adapun indikasi pemberian ketamin yaitu pembedahan singkat dan
indikasi pada penderita dengan tekanan darah yang rendah, penderita yang
berisiko asma, dan untuk analgesik dan anestesi pada obstetrik. 15
Ketamin berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA),
reseptor opioid, reseptor monoaminergik, reseptor muskarik, dan saluran
voltage sensitive ion kalsium. Ketamin tidak berinteraksi dengan GABA. 8,10
D. Pelumpuh Otot
Obat pelumpuh otot yang ideal, adalah :
• Onset cepat, DOA yang pendek
• Recovery cepat, potensi yang tinggi
• Tidak akumulasi, metabolite tidak aktif
• Efek kardiovaskular tidak ada
• Tidak histamine release.8
Tanda- tanda kekurangan obat pelumpuh otot:
• Cegukan (hiccup)
• Dinding perut kaku
• Ada tahanan pada inflasi paru.8
Obat Dosis (mg/kg) OOA (menit) DOA (menit)
Succinylcholine 1-1,5 0,5-1 5-10
Atracurium 0,5 2,5 30-45
Vecuronium 0,08-0,12 2,5 45-60
Recuronium 0,6-1,0 1-1,5 30-45
Pancuronium 0,08-0,12 3 120
Tabel 2. Obat-obatan pelumpuh otot
E. Analgesik
1. Opioids
a. Mekanisme Aksi
Opioid berikatan dengan reseptor spesfik di SSP dan jaringan
lainnya. Terdapat empat receptor opioid utama yaitu mu (μ) dengan
subtipe μ1 dan μ2, kappa (κ), delta (δ), dan sigma (σ). Pada saat agonis
berikatan dengan reseptor opioid maka akan menyebabkan
hiperpolarisasi membran. Opioid akan menghambat voltage-gated
calcium channels. Aktivasi reseptor opioid menghambat pelepasan
presinaptik dan respons pascasinaps neurotransimter eksitatorik seperti
asetilkolin dan substansi P yang dilepaskan oleh neuron nosiseptif.
Opiod juga dapat berikatan dengan jaringan perifer seperti saluran cerna
sehingga dapat memberi efek samping konstipasi. Kerja opioid
bergantung pada reseptor yang berikatan dan afinitas pengikatan obat.
Agonis-antagonis (e.g. nalbuphine, nalorphine, butorphanol, dan
buprenorfin) kurang efektif daripada agonis penuh (e.g fentanyl atau
morfin). Terdapat juga antagonis opioid murni seperti nalokson atau
naltrekson.6
b. Farmakokinetik
i. Absorbsi
Absorbsi pada pemberian hydromorphone, morfin, atau
meperidine secara intramuscular atau injeksi subkutan
berlangsung cepat dan mencapai kadar tertinggi pada plasma
setelah 20-60 menit. Terdapat juga beberapa opioid yang efektif
diberikan secara oral yaitu oksikodon, hidrokodon, kodein,
tramadol, morfin, hidromorfon, dan metadon. Pemberian
fentanyl sitrat diberikan secara transmucosal oral kepada pasien
yang tidak dapat diberikan obat secara oral, intravena, atau
intramuscular atau sering digunakan untuk pasien rawat jalan
dengan nyeri kronik. Fentanyl juga dapat diberikan secara
transdermal oleh karena berat molekul yang kecil dan kelarutan
dalam lemak yang tinggi. Konsentrasi serum dari fentanyl akan
mencapai plateau 14-24 jam setelah aplikasi dan tetap konstan
hingga 72 jam.6
ii. Distribusi
Waktu paruh opioid setelah pemberian secara intravena
adalah 5-20 menit. Kelarutan lemak pada morfin lebih rendah
dari fentanyl sehingga butuh waktu yang lebih lama untuk
morfin melewati sawar darah otak. Hal ini akan menyebabkan
onset kerja obat lambat tetapi durasi kerja obat lebih lama. Untuk
fentanyl oleh karena memiliki kelarutan lemak yang lebih tinggi
maka mudah melewati sawar darah otak sehingga onset kerja
lebih cepat tetapi durasi kerja juga lebih pendek.6
iii. Biotransformasi
Semua opioid di biotransformasi di hepar kecuali
remifentanil. Opioid akan dimetabolisme oleh sistem sitokrom
P, terkonjungasi di hepar atau keduanya. Morfin dan
hidromophone akan mengalami konjugasi dengan glucuronic
acid. Morfin akan membentuk morphine 3-glucuronide dan
morphine 6-glucuronide sedangkan hydromorphone akan
membentuk hydromorphone 3-glucuronide. Meperidine akan
membentuk normeperidine. Normeperidine dalam dosis besar
sering dikaitkan dengan timbulnya kejang. Hasil akhir fentanyl,
sufentanil dan alfentanil adalah inaktif. Metabolit dari fentanyl
yaitu norfentanyl dapat terdeteksi pada urin walaupun di dalam
darah sudah tidak terdeteksi.6
Codein akan mencjadi aktif setelah dimetabolisme oleh
CYP2D6 menjadi morfin. Tramadol juga perlu dimetabolisme
oleh CYP untuk menjadi aktif yaitu 0-desmethyltramadol.
Hydrocodone dimetabolisme oleh CYP2D6 untuk menjadi
hydromorphone dan oleh CYP3A4 menjadi norhydrocodone.
Hydormorphone merupakan senyawa yang lebih poten dari pada
norhydrocodone.6
iv. Ekskresi
Produk akhir biotransformasi dari morfin dan meperidine
diekskresikan melalui ginjal dan kurang dari 10% diekskresikan
melalui empedu. Pada gagal ginjal, durasi kerja morfin akan
mengalami perpanjangan oleh karena 5-10% morfin yang
diekskresikan tidak berubah dalam urin. Selain itu, metabolit
morfin pada pasien dengan gagal ginjal dikaitkan dengan
narcosis yang berkepanjangan dan depresi napas. Gangguan
pada ginjal juga meningkatkan kemungkinan terjadinya efek
toksik dari akumulasi normeperidine yaitu timbulnya kejang.6
v. Efek terhadap organ
1. Kardiovaskular
Opioid memiliki efek langsung minimal pada
jantung. Meperidine cenderung meningkatkan denyut
jantung, sedangkan dosis morfin yang lebih tinggi,
fentanyl, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil
dikaitkan dengan bradikardi yang dimediasi oleh nervus
vagus. Tekanan darah sering turun oleh karena terjadinya
bradikardia, vasodilatasi, dan penurunan refleks simpatis
yang diinduksi oleh opioid.6
Pemberian meperidine, hydromorphone, dan
morfin secara bolus dapat menyebabkan pelepasan
histamin yang dapat menyebabkan penurunan resistensi
pembuluh darah dan tekanan darah. Hal ini dapat
diminimalkan dengan pemberian opioid dengan infus
lambat atau dengan pemberian obat antagonis H1 dan H2
sebelumnya. Efek samping histamin dapat diobati
dengan infus cairan intravena dan vasopresor.6
Hipertensi intraoperatf dapat terjadi oleh karena
tidak adekuatnya kedalaman anestesi, oleh karena itu
dilakukan penambahan agen anestesi seperti
benzodiazepin, propofol, atau agen inhalasi poten.
Setelah kedalamana anestesi memadai hipertensi diterapi
dengan pemberian antihipertensi.6
2. Respirasi
Opioid menekan napas terutama laju pernapasan.
Morfin dan meperidine menyebabkan bronkospasme
yang diinduksi oleh histamin. Pemberian fentanyl,
sulfetanil, remifentanil, dan alfentanil secara cepat dan
dosis tinggi dapat menyebabkan dinding dada menjadi
kaku sehingga tidak dapat dilakukan bag-mask
ventilation. Hal tersebut dapat diterapi dengan pemberian
agen neuromuscular block.6
3. Cerebral
Opioid mengurangi konsumsi oksigen otak,
aliran darah otak, volume darah otak, dan tekanan
intrakranial, tetapi pada tingkat yang lebih rendah
daripada propofol, benzodiazepin, atau barbiturate.
Kejang dapat terjadi dan dikaitkan dengan
normeperidine.6
Pemberian opioid yang sering seperti pemberian
dosis oral yang berkepanjangan akan menyebabkan
toleransi sehingga dibutuhkan dosis yang lebih besar
untuk menghasilkan respons yang sama. Pemberian
opioid yang sering dan berkepanjangan juga dapat
menyebabkan ketergantungan atau kecanduan, opioid-
induced hiperalgesia” di mana pasien menjadi lebih
sensitif terhadap rangsangan nyeri. Opioid walaupun
dalam dosis besar tidak dapat menyebabkan amnesia.6
4. Gastrointestinal
Opioid memperlambat motilitas gastrointestinal
dengan mengikat reseptor opioid di usus dan mengurangi
gerak peristaltik. Kolik bilier dapat terjadi akibat
kontraksi sfingter Oddi.6
Pasien yang menerima terapi opioid jangka
panjang (misalnya, untuk nyeri kanker) biasanya menjadi
toleran terhadap efek samping opioid tetapi terjadi
konstipasi. Opioid antagonis perifer seperti
methylnaltrexone, alvimopan, naloxegol, dan
naldemedine akan meningkatkan motilitas
gastrointestinal dan dapat digunakan untuk pengobatan
sindrom opioid usus atau efek samping dari pengobatan
opioid.6
5. Endokrin
Respon stress terhadap pembedahan dilihat dari
hormon katekolamin, antidiuretic dan kortisol. Pada
pemberian fentanyl atau sufentanil dalam dosis besar
dapat menghambat pelepasan hormon tersebut sehingga
menurunkan respon stress.6
vi. Interaksi obat
Kombinasi meperidine dan monoamine oksidase
inhibitor dapat menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik,
hiperpireksia, koma, henti napas atau kematian. Propofol,
barbiturat, benzodiazepin, anestesi inhalasi, dan depresan sistem
saraf pusat lainnya jika diberikan dengan opioid dapat memiliki
efek sinergis pada kardiovaskular, pernapasan, dan efek sedatif.
Eritromicin dapat menganggu ekskresi dan meningkatkan waktu
paruh eliminasi dari alfentanil.6
Gambar 3. Dosis Opioid
2. Inhibitor Cyclooxygenase
a. Mekanisme Aksi
COX mengkatalisasi pembentukan prostaglandin H1 dari asam
arachidonat. Reseptor COX-1 tersebar luas di seluruh tubuh,
termasuk usus dan trombosit. COX-2 diproduksi sebagai respons
terhadap peradangan. Agen yang menghambat COX secara non-
selektif (e.g. aspirin) mengendalikan demam, radang, nyeri, dan
trombosis. Agen yang selektif terhadap COX-2 (e.g. celecoxib,
etoricoxib) tidak menghambat trombosit atau gangguan pencernaan.
Inhibitor selektif COX-2 meningkatkan risiko serangan jantung,
trombosis, dan stroke. Inhibitor COX paling sering diberikan secara
oral. Asetaminofen, ibuprofen, diklofenak, dan ketorolak tersedia
juga dalam intravena.6
b. Farmakokinetik
i. Absorbsi
Secara oral konsentrasi tertinggi dalam darah tercapai
kurang dari 3 jam. terdapat juga sediaan topikal seperti gel
yang dioleskan pada sendi atau obat tetes mata.6
ii. Distribusi
Dalam darah COX inhibitor, sangat terikat oleh protein
plasma terutama oleh albumin. Selain itu, COX inhibitor
juga memiliki sifat larut dalam lemak sehingga dapat
menembus sawar darah otak dan menghasilkan analgesia
sentral dan antipiretik, dan menembus ruang sendi, dengan
pengecualian asetaminofen, untuk memberikan efek
antiinflamasi.6
iii. Biotransformasi
Biotransformasi COX inhibitor terjadi di hepar.
Acetaminophen dengan dosis tinggi akan menghasilkan
konsentrasi N-asetil-p-benzoquinon imine yang cukup besar
untuk menyebabkan kegagalan hati sehingga diperlukan
transplantasi hati.6
iv. Ekskresi adalah melalui urin.6
v. Efek terhadap organ
• Kardiovaskular
COX inhibitor tidak memberikan efek langsung terhadap
sistem kardiovaskular. Efek kardiovaskular dihasilkan oleh
karena efek obat yang menyebabkan koagulasi. Prostaglandin
mempertahankan patensi dari ductus arteriosus sehingga COX
inhibitor diberikan pada neonatus dengan patent ductus
arteriosus.6
• Respirasi
Overdosis Aspirin berefek pada keseimbangan asam-basa dan
respirasi.6
• Saluran pencernaan
COX-1 inhibitor menyebabkan gangguan pada saluran
pencernaan sampai menyebabkan pendarahan saluran cerna
bagian atas. Hal ini disebabkan oleh karena hilangnya efek
protektif prostaglandin di mukosa, dan inhibisi agregasi
platelet. Toksisitas asetaminofen dapat menyebabkan gagal
hati fulminan6
• Ginjal
NSAID dihindari pada pasien dengan penurunan kreatinin.6
3. Gabapentin dan Pregabalin
Gabapentin dan pregabalin merupakan obat antiepilepsi tetapi memiliki
sifat analgesik. Obat ini digunakan untuk nyeri neuropatik kronik dan
postherpetic neuralgia. Pregabalin digunakan untuk pengobatan neuropati
diabetik. Pengobatan untuk nyeri kronik dimulai dengan dosis kecil dan
ditingkatkan secara bertahap sampai muncul efek samping seperti pusing
atau sedasi. Uji coba gabapentin yang memadai dapat membutuhkan
waktu sebulan untuk mencapai dosis optimal. Penentuan dosis optimal
pada pregabalin umumnya membutuhkan waktu yang lebih sedikit. Agen
ini berikatan pada voltage-gated calcium channels dan reseptor NMDA.6